Anda di halaman 1dari 38

Bagian Ilmu Bedah Anak

Refleksi Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Hernia Skrotalis

oleh:
Cendhy G Ersedyabhakti (1410029046)
Pembimbing:
dr. Dadik Agus S, Sp.B, SP. BA
dr. Santi Rini, Sp. BA
dr. Slamet Suswantoro, Sp. B

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Ilmu Bedah Anak
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas rahmat Allah SWT karena berkat
rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan refleksi kasus mengenai
Hernia skrotalis ini dengan baik dan tepat waktu. Refleksi kasus ini disusun
berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan penulis yang bersumber dari textbook,
jurnal, guidelines terbaru dan referensi ilmiah lainnya.
Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan hingga terselesaikannya
laporan kasus ini, diantaranya:
1. dr. Soehartono, Sp. THT selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum.
2. dr. P. M.T. Mangalindung Ompusunggu Sp B, Sp.PD, selaku Ketua
Lab/SMF Bedah FK Unmul
3. dr. Dadik Agus S, Sp.B, SP. BA, dr. Santi Rini, Sp. BA, dan dr. Slamet
Suswantoro, Sp. B selaku dosen pembimbing di stase bedah anak yang
telah mendidik dan memberi banyak masukan mengenai bidang bedah
anak.
4. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar
Lab/SMF Bedah, terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan kepada
kami.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu, penulis berharap pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang
membangun kepada penulis. Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi
setiap pembaca.
Samarinda, 23 Agustus 2016
Cendhy G Ersedyabhakti

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................1
KATA PENGANTAR....................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................3
BAB 1.............................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................4
BAB 2.............................................................................................................5
DATA PASIEN........................................................................................5
BAB 3...........................................................................................................14
TINJAU PUSTAKA..............................................................................14
BAB 4...........................................................................................................30
PEMBAHASAN....................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................33

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hernia adalah penonjolan atau protrusi isi rongga melalui
defek dinding rongga organ tersebut (Sjamsjuhidajat & Jong,
2010). Beberapa bentuk hernia dapat terjadi pada anak, namun
hernia inguinalis menjadi hernia yang paling sering ditangani
pada kelompok usia ini (Hebra, 2015).
Insidens hernia inguinalis pada anak di dunia memiliki
persentase 0,8 4,4% (Glick & Boulanger, 2012). Angka kejadian
hernia inguinalis anak di Amerika Serikat belum diketahui secara
pasti, namun diperkirakan insidennya berkisar antara 1 5%
(Hebra, 2015). Di Indonesia, penelitian tentang hernia inguinalis
anak masih terbatas. Penelitian hernia inguinalis anak di RSUD
Haji Adam Malik Medan mendapatkan persentase sebesar 2,26%
(Napitupulu, 2010).
Distribusi hernia inguinalis anak juga bervariasi berdasarkan
usia. Erdoan, Karaman I., Aslan, Karaman A., dan avuolu
(2013) menyebutkan bahwa onset hernia inguinalis pada anak
laki-laki lebih cepat daripada anak perempuan. Usia anak yang
didiagnosis hernia inguinalis bervariasi antara 0 sampai 18
tahun. Kasus terbanyak ditemukan pada rentang usia 6 bulan
sampai 5 tahun dengan persentase yang beragam (Ramadhani,
2009; Napitupulu, 2010; Fraser & Snyder, 2014).
Sebagian besar kasus hernia inguinalis anak dapat
didiagnosis hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik hernia inguinalis anak meliputi inspeksi,
palpasi, dan transluminasi skrotum. Berdasarkan pemeriksaan
ini, diagnosis dapat ditegakkan berupa hernia inguinalis lateralis

atau hernia inguinalis medialis (Glick & Boulanger, 2012; Palmer,


2013).
Apabila isi kantong hernia telah mencapai skrotum, disebut
sebagai hernia skrotalis (Sjamsjuhidajat, 2010). Keterangan
selanjutnya yang dapat ditambahkan dari pemeriksaan fisik
adalah apakah hernia bersifat reponibel atau inkarserata
(ireponibel) (Lao, Fitzgibbons, & Cusick, 2012).
BAB II
DATA PASIEN
2.1 Identitas
Identitas Pasien
Nama

: An. AD

Umur

: 17 bulan (1 tahun 5 bulan)

TTL

: Samarinda, 23 maret 2015

Jenis kelamin

: Laki-Laki

Anak ke

: 2 dari 3 beraudara (lahir kembar)

Alamat

: Jl. Dr Soetomo

MRS tanggal 22 Agustus 2016


Identitas Orang Tua
Nama Ayah

: Tn.AM

Umur

: 36 tahun

Alamat

: Jl. Dr Soetomo

Suku

: Jawa

Pekerjaan

: Swasta

Pendidikan Terakhir

: SMA

Ayah perkawinan ke

:I

Nama Ibu

: Ny. ER

Umur

: 30 tahun

Alamat

: Jl. Dr Soetomo

Suku

: Banjar

Pekerjaan

: Pegawai swasta

Pendidikan Terakhir

: SMA

Ibu perkawinan ke

:I

2.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 22 Agustus 2016 pukul 17.00 WITA, di
Bangsal Melati Kamar 05 RSUD AW. Sjahranie Samarinda. Alloanamnesa oleh
Ibu kandung pasien.
Keluhan Utama
Terdapat benjolan pada kantong buah zakar kiri
Riwayat Penyakit Sekarang
Benjolan muncul sudah ada saat pasien berumur 1 bulan, benjolan tersebut
hilang timbul, timbul terutama saat pasien menangis. Pasien pernah direncanakan
operasi, namun saat itu ibu pasien menolak dengan alasan tidak tega dengan
anaknya yang baru berumur 1 bulan.
Saat ini pasien masih mempunyai benjolan pada daerah tersebut yang makin
lama makin terlihat membesar, benjolan tersebut bersifat hilang timbul, terkadang
hilang spontan, dan menghilang saat pasien berbaring (contoh saat bangun tidur),
dan menghilang ketika di dorong. Keluhan BAB dalam batas normal, BAB (+),
BAB lendir maupun darah disangkal, mencret (-), warna feses kuning dan padat.
Mual dan muntah tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah dirawat di RS kecuali sesaat setelah dilahirkan. Pasien
tidak pernah di operasi.
Riwayat Penyakit Keluarga
-

Tidak ada keluarga dengan keluhan yang serupa, baik ayah dan ibu pasien,
maupun kakak dan saudara kembarnya.

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir
Panjang badan lahir
Tersenyum
Miring
Tengkurap
Duduk

2.500 gram
48 cm
3 bulan
3 bulan
Lupa
Lupa

Gigi keluar
Merangkak
Berdiri
Berjalan
Berbicara dua suku kata
Gigi keluar

Lupa
Lupa
Lupa
Lupa
4 bulan
Lupa

Riwayat Makan Minum anak :

ASI

: sudah tidak lagi

Alasan

: pasien tidak mau lagi

Dihentikan

: 13 bulan

Susu sapi/buatan

: susu sapi formula

Buah

: 6 bulan

Bubur susu

: 3 bulan , 3 x 1 mangkok (100 cc)

Tim saring

: 9 bulan, 3 x 1 mangkok (150 cc)

Makanan padat dan lauknya

: 1 tahun, 3 x 1 piring kecil (lauk,

ikan/ayam, sayur) ikut menu orang tua


Riwayat Prenatal
-

Pemeliharaan Prenatal

Periksa di

: di bidan posyandu

Penyakit kehamilan

: muntah pada awal kehamilan

Obat-obatan yang sering diminum :

tablet penambah darah, vitamin,

dan kalsium
Kunjungan ANC dilakukan 1 kali tiap bulan pada trimester I dan II. Trimester III
kunjungan menjadi 2 kali tiap bulannya
Riwayat Kelahiran :
-

Lahir di

: RSUD AWS

Di tolong oleh

: Dokter

Berapa bulan dalam kandungan

: 9 bulan

Jenis partus

: Sectio Caesaria atas Indikasi Kembar

Riwayat Postnatal :
-

Pemeliharaan postnatal

: Rutin

Periksa di

: Posyandu

Keadaan anak

: Sehat

Jadwal Imunisasi Lengkap


Imunisasi
BCG
Polio
Campak
DPT
Hepatitis B

I
1 bulan
1 bulan
9 bulan
2 bulan
0 bulan

II
////////////
2 bulan
////////////
3 bulan
2 bulan

Usia saat imunisasi


III
IV
////////////
////////////
3 bulan
4 bulan
////////////
////////////
4 bulan
////////////
3 bulan
4 bulan

Booster I
////////////
////////////
-

Booster II
////////////
////////////
-

2.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 22 Agustus 2016 pukul 17.15 WITA
Keadaan Umum : tampak baik
Kesadaran
: E2V2M3 (GCS 15) komposmentis
Tanda Vital
:
- Nadi
: 105 x/menit
- RR
: 32 x/menit
- Suhu (axila) : 36,8o C
Antropometri
-

Berat Badan : 10 kg
Panjang Badan : 78 cm
Status Gizi :

BB/U : <2SD >-2SD

TB/U : <2SD >-2SD

BB/TB : <1SD>-1SD

Gizi Cukup

Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tipis, seperti rambut jagung mudah
dicabut (-)
Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cowong (-/-) ,


kornea tampak suram (-/-), pupil isokor

Telinga

: sekret (-), darah (-)

Hidung
Mulut

: Sekret hidung (+), pernafasan cuping hidung (-)


: Mukosa bibir normal, sianosis (-), lidah bersih, faring hiperemis

Leher

(sde), pembesaran tonsil (sde)


: Pembesaran kelenjar getah bening (-)

10

Thorax
Paru

Jantung

Inspeksi

: bentuk dada normal, tampak simetris, costa


terlihat jelas, retraksi (-)
Palpasi
: pergerakan simetris
Perkusi
: Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Inspeksi
: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
: Ictus cordis teraba
Perkusi
: batas jantung kiri = ICS V MCL Sinistra
batas jantung kanan = ICS IV PSL Dextra
Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi

: Flat

Palpasi

: Soefl, nyeri tekan (-) pasien tidak menangis, organomegali (-),

turgor kulit kembali cepat


Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal

11

Ekstremitas
Akral hangat, pucat (-/-), edema (-),tidak ada pembengkakan sendi atau tulang.
Status Lokalis Skrotum
Inspeksi :Asimetris (dextra < Sinistra), tidak tampak berdenyut, Refleks
kremaster (+/SDE), Transiluminasi (-/-). Warna kulit skrotum
Palpasi

sama seperti kulit disekitarnya.


:Testis teraba (+/+) Teraba massa tambahan (-/+) dengan

konsistensi lunak, nyeri (-/-). Taxis (+) reponible.


Auskultsi : Terdengar bising usus (-/+) dengan kesan normal.

Tampak benjolan pada skrotum kiri

12

2.4 Pemeriksaan Penunjang

GDS
Kreatinin
HbsAg
Leukosit
Hemoglobin
Hematokrit
Natrium
Kalum
Clorida

Hasil Pemeriksaan Kimia Darah


125 mg/dL
Ureum
25,2 mg.dl
0,5 mg/dl
Hasil Pemeriksaan Serologi
Non Reaktif
Ab HIV
Non reaktif
Darah Lengkap
10.400 /L
Trombosit
331.000/L
11,5 g/dL
BT
3
33,6 %
CT
9
Hasil Pemeriksaan Serum elektrolit
134
4,5
100

Radiologi

Foto Thorax dalam batas normal

13

2.5 Diagnosis Kerja


Hernia Sinsitra Skrotalis Reponible (HSSR)
2.6 Penatalaksanaan
Pro Herniotomi

14

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Struktur Anatomis
Struktur anatomis yang penting pada hernia inguinalis
adalah kanalis inguinalis dan trigonum Hasselbach. Kanalis
inguinalis dibatasi oleh beberapa struktur anatomis. Di
kraniolateral, kanalis inguinalis dibatasi oleh cincin internus yang merupakan
bagian terbuka dari fascia dan aponeurosis m. tranversus abdominis. Di
kaudomedial, kanalis ini dibatasi oleh cincin eksternus yang merupakan bagian
terbuka dari aponeurosis m. obliqus eksternus. Sementara itu, di superior dan
inferior dari kanalis ini di batasi masing-masing oleh aponeurosis m. obliqus
eksternus dan ligamentum inguinal. Kanalis inguinalis berisi struktur korda
spermatika pada laki-laki dan ligamentum rotundum pada perempuan
(Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Struktur kanalis inguinalis dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Wagner
et.al., 2012).

Gambar 3.1 Anatomi Regio Inguinal


Struktur kanalis inguinalis pada anak lebih kecil dan pendek. Pada bayi,
cincin ekternus dan internus kanalis inguinalis sangat berdekatan. Sedangkan pada

15

anak yang lebih besar, kanalis inguinalis menjadi lebih panjang 2 kali lipat dari
kanalis inguinalis bayi. Hal ini menyebabkan terdapatnya variasi pada proses
pembedahan hernia inguinalis anak (Glick & Boulanger, 2012; Lao, Fitzgibbons,
& Cusick, 2012).
3.2 Definisi
Hernia adalah penonjolan atau protrusi isi rongga melalui
defek dinding rongga organ tersebut. Pada abdomen, hernia
merupakan protrusi organ intraabdominal melalui defek pada
dinding ventral abdomen (Sjamsjuhidajat & Jong, 2010).
Sebanyak 75% kasus hernia terjadi di regio ilioinguinal, yaitu
hernia inguinalis dan femoralis (Wagner, Brunicardi, Amid, &
Chen, 2014). Hernia inguinalis adalah salah satu bentuk hernia
abdominalis yang terjadi ketika struktur intraabdominal, seperti
usus dan omentum, mengalami protrusi melalui defek dinding
abdomen menuju kanalis inguinalis (Dorland, 2012; Hebra,
2015).
3.3

Klasifikasi
Hernia inguinalis diklasifikasikan dalam beberapa bentuk

pembagian.

Berdasarkan

letaknya,

hernia

inguinalis

dibagi

menjadi hernia inguinalis lateralis dan medialis. Hernia inguinalis


lateralis terjadi apabila hernia keluar melalui cincin internus, berjalan
melalui kanalis inguinalis, kemudian keluar melalui cincin eksternus. Hernia ini
disebut lateralis karena letaknya yang berada di lateral dari vasa epigastrika.
Hernia inguinalis lateralis kemudian dibagi lagi berdasarkan penurunan isinya
menjadi hernia insipiens dan hernia skrotalis. Hernia insipiens terjadi apabila isi
hernia masih berada di dalam kanalis inguinalis, sedangkan hernia skrotalis terjadi
apabila isi hernia sudah masuk ke skrotum. (Sjamsjuhidajat, 2010).
Klasifikasi kedua hernia inguinalis adalah berdasarkan sifatnya. Dalam
klasifikasi ini, hernia inguinalis dibagi berdasarkan responnya terhadap reduksi

16

menjadi hernia reponibel dan ireponibel. Hernia reponibel terjadi apabila isi
hernia dapat direduksi kembali ke tempat asalnya atau kembali saat dilakukan
perubahan posisi. Sedangkan hernia ireponibel terjadi apabila isi hernia tidak
dapat direduksi kembali ke tempat asalnya atau tidak kembali saat dilakukan
perubahan posisi. Pada klasifikasi ini juga dikenal bentuk hernia akreta, yaitu
hernia ireponibel yang disertai dengan perlekatan usus tanpa terjadinya obstruksi
usus (Sjamsjuhidajat & Jong, 2010).
Klasifikasi terakhir hernia inguinalis adalah berdasarkan komplikasinya,
yang terdiri atas hernia inkarserata dan hernia strangulata. Hernia inkarserata
terjadi apabila terdapat gangguan pasase usus yang terjepit di dalam kantong
hernia. Sedangkan hernia strangulata terjadi apabila terdapat gangguan
vaskularisasi usus yang terjepit di dalam kantong hernia (Sjamsjuhidajat & Jong,
2010). Pada hernia inguinalis anak, hernia ireponibel disebut juga sebagai hernia
inkarserata karena struktur anatomis anak yang memungkinkan hernia ireponibel
untuk mudah menjadi hernia inkarserata (Lao et.al., 2012).
3.4 Epidemiologi
Hernia inguinalis merupakan hernia yang paling banyak
ditangani pada anak-anak (Hebra, 2015). Insidens hernia
inguinalis pada anak di dunia berkisar antara 0,8 4,4% (Glick
2012). Angka kejadian hernia inguinalis pada anak di Amerika
Serikat belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan
insidennya berkisar antara 1 5% (Hebra, 2015). Sedangkan di
Indonesia, diperkirakan terdapat 102.000 kasus hernia inguinalis
pada anak, dengan persentase sebesar 2,26% pada penelitian
yang dilakukan di RSUD Haji Adam Malik Medan pada Juli 2008
Juli 2010 (Napitupulu, 2010).
Distribusi hernia inguinalis pada anak bergantung pada
usia, jenis kelamin, dan sisi inguinal yang terkena. Berdasarkan
usia, hernia inguinalis pada anak paling sering terjadi pada tahun
pertama kehidupan, dan semakin berkurang dengan

17

bertambahnya usia (Glick & Boulanger, 2012). Sebanyak 15%


pasien hernia inguinalis terjadi pada anak berusia 6 bulan atau
lebih muda, 54% terjadi pada anak berusia 6 bulan 5 tahun,
dan 31% terjadi pada anak berusia 5 tahun ke atas (Fraser &
Snyder, 2014). Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh
Ramadhani (2009) di RSUD Haji Adam Malik Medan didapatkan
persentase hernia inguinalis lateralis anak sebesar 4% pada usia
0 1 bulan, 20% pada usia 1 bulan 1 tahun, 40% pada usia 1
tahun 5 tahun, 28% pada usia 6 tahun 12 tahun, dan 8% pada
usia 12 tahun 18 tahun. Sedangkan Napitupulu (2010) pada
penelitiannya di lokasi yang sama mendapatkan persentase
hernia inguinalis anak sebesar 8,7% pada neonatus, 15,2% pada
bayi, 39,1% pada balita, 32,6% pada anak, dan 4,3% pada
remaja. Dari beberapa persentase di atas, hernia inguinalis anak
paling banyak didapatkan pada kelompok usia balita
(Ramadhani, 2009; Napitupulu, 2010; Fraser & Snyder, 2014).
Pada anak, hernia inguinalis lateralis lebih sering terjadi daripada hernia inguinalis
medialis. Insidens hernia inguinalis medialis berkisar antara 1,2 3,9% (Glick &
Boulanger, 2012).
3.5 Patofisiologi
Hernia inguinalis dibagi menjadi hernia inguinalis medialis
dan lateralis. Hernia inguingalis medialis disebabkan oleh
kelemahan struktur trigonum Hasselbach. Sedangkan hernia
inguinalis lateralis disebabkan oleh pelebaran cincin internus
kanalis inguinalis atau kelemahan faktor protektif regio
ilioinguinal akibat kelemahan otot-otot regio inguinal,
peningkatan tekanan intraabdominal yang melampaui batas,
serta kegagalan penutupan prosesus vaginalis (Sjamsjuhidajat &
Jong, 2010). Pada anak, hernia inguinalis lateralis merupakan
hernia yang paling banyak terjadi dan sebagian besar

18

disebabkan oleh kegagalan penutupan prosesus vaginalis (Glick


& Boulanger, 2012).
Prosesus vaginalis merupakan invaginasi peritoneum melalui cincin
internus kanalis inguinalis yang mulai diidentifikasi pada minggu ketiga
kehidupan janin. Testis yang berada intraabdominal berjalan melalui prosesus
vaginalis menuju skrotum pada bulan ke tujuh sampai sembilan kehidupan janin.
Hal ini menyebabkan pemanjangan prosesus vaginalis. Prosesus vaginalis yang
berada di bawah testis akan berkembang menjadi tunica vaginalis, sedangkan
prosesus vaginalis yang berada di atas testis akan menutupi cincin interna kanalis
inguinalis (Glick & Boulanger, 2012). Pada anak perempuan, kanalis Nuck
berperan sebagai prosesus vaginalis dan terhubung langsung dengan labia mayor.
Kanalis Nuck menutup sekitar bulan ke tujuh kehidupan janin, lebih cepat
daripada anak laki-laki (Fraser & Snyder, 2014).
Waktu penutupan prosesus vaginalis bervariasi pada setiap anak. Sekitar 80
- 100% anak lahir dengan prosesus vaginalis yang paten, namun menutup pada 6
bulan pertama kehidupan. Proses penutupan akan menurun setelah 6 bulan dan
plateau pada usia 3 sampai 5 tahun. Penutupan prosesus vaginalis kiri lebih cepat
daripada kanan,. Setelah menutup, prosesus vaginalis akan menutup seiring
dengan berjalannya waktu. Hernia inguinalis terjadi jika prosesus vaginalis gagal
untuk menutup (Glick & Boulanger, 2012).
Selain muncul sebagai suatu kelainan tunggal, hernia inguinalis anak dapat
muncul bersamaan dengan kondisi atau kelainan kongenital lain. Beberapa
kondisi dan kelainan kongenital tersebut terangkum dalam tabel 2.1 (Glick &
Boulanger, 2012; Palmer, 2013).
Tabel 3.1 Kondisi dan Kelainan Kongenital Penyerta Hernia Inguinalis Anak
Penyerta Hernia Inguinalis Anak
Kondisi Penyerta
Kelainan Kongenital Penyerta

19

Prematuritas

Undesensus Testis

Peningkatan Cairan Peritoneal

Hipospadia

Asites

Ekstrofi Vesika Urinaria

Venticuloperitoneal shunt

Peritonitis mekonium
Kistik fibrosis
Gastroschisis
Sindrom Respiratorik Kronik
Sindrome Prune-Belly
Sindrom Ehler-Danlos
Sindrom Hunter-Hurler
Sindrom Marfan
Kelainan Jaringan Ikat

20

3.6 Manifestasi Klinik


Hernia inguinalis sebagian besar bersifat asimtomatik. Pada
anak, hernia inguinalis lateralis ditemukan sebagai benjolan pada area inguinal,
skrotum, atau labia mayor. Benjolan ini dapat ditemukan secara tidak
sengaja oleh orang tua anak atau oleh dokter saat melakukan
pemeriksaan fisik. (Glick & Boulanger, 2012). Benjolan pada hernia
inguinalis bersifat tidak nyeri dan muncul terutama saat tekanan intraabdominal
anak meningkat, seperti saat anak menangis atau menegangkan perutnya.
Benjolan ini juga bergantung pada posisi anak, lebih terlihat saat anak berdiri dan
menghilang saat anak diminta untuk berbaring (Palmer, 2013). Hernia inguinalis
dapat ditemukan sejak anak lahir atau beberapa minggu, bulan, sampai tahun
setelah kelahiran (Glick & Boulanger, 2012).
Hernia inguinalis dapat bersifat simtomatik jika terjadi inkarserasi. Pada kondisi
ini, benjolan tidak dapat direduksi secara spontan (Palmer, 2013). Gejala awal
yang dirasakan adalah iritabilitas, penurunan nafsu makan, dan nyeri intermiten.
Selanjutnya, obstruksi usus akan terjadi dan ditandai dengan distensi abdomen,
muntah, dan obstipasi. Jika segmen usus tidak direposisi dengan segera, akan
memicu terjadinya strangulasi (gangguan aliran darah segmen usus) yang dapat
memicu terjadinya infark usus dan peritonitis. Keseluruhan proses ini dapat terjadi
hanya dalam waktu 2 jam setelah inkarserasi (Glick & Boulanger, 2012).
3.7 Penegakkan Diagnosa
3.7.1 Anamnesis
Penegakan diagnosis hernia inguinalis pada anak terutama
didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Keluhan
utama yang didapatkan pada anamnesis berupa benjolan yang
ditemukan secara tidak sengaja oleh orang tua anak atau dokter
saat pemeriksaan fisik. Benjolan bersifat tidak nyeri dan hilang
timbul. Benjolan ini ditemukan terutama saat anak berdiri, saat
terjadi peningkatan tekanan intraabdominal anak, dan

21

menghilang saat anak berbaring (Glick & Boulanger, 2012;


Palmer, 2013).
Keluhan lain yang dapat ditemukan berupa iritabilitas,
penurunan nafsu makan, nyeri intermiten, dan gejala obstruksi
usus, seperti distensi abdomen, muntah, dan obstipasi. Keluhan
ini muncul terutama jika hernia telah mengalami inkarserasi.
Tanda-tanda peritonitis dan syok septik dapat terjadi jika hernia
inkarserata telah mengalami strangulasi (Glick & Boulanger,
2012).
3.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi inspeksi, palpasi,
dan transluminasi skrotum. Hal yang paling pertama dilakukan
adalah memposisikan anak dalam posisi berbaring di meja
pemeriksaan. Inspeksi dilakukan pada kedua regio inguinal untuk
melihat benjolan dan asimetrisitas. Jika benjolan tidak dapat
terlihat pada posisi anak berbaring, posisikan anak berdiri
menghadap pemeriksa (Glick & Boulanger, 2012). Pada anak
yang menangis, pemeriksaan akan lebih mudah dilakukan untuk
melihat benjolan yang lebih tampak saat anak menangis dan
menghilang saat anak berhenti menangis (Palmer, 2013). Pada
anak yang lebih besar, pemeriksa dapat menginstruksikan anak
untuk melakukan manuver Valsava (Bickley & Szilagyi, 2009;
Glick & Boulanger, 2012).

22

Gambar 3.2 Benjolan Hernia Inguinalis Pada Skrotum dan Labia Mayor
Pemeriksaan selanjutnya adalah palpasi. Palpasi diawali
pada sisi yang tidak terdapat benjolan, kemudian dilakukan pada
sisi yang terdapat benjolan. Palpasi secara lembut dilakukan
dengan menggunakan 1 atau 2 jari pada arah kraniokaudal, dari
superior dan lateral tuberkulum pubikum, melalui struktur korda
spermatika sampai ke skrotum. Benjolan yang teraba di
proksimal atau distal jari kemudian direduksi dari ke arah
kraniolateral untuk menentukan apakah hernia bersifat reponibel
atau ireponibel. Setelah mengidentifikasi benjolan, palpasi
dilanjutkan untuk meraba apakah terdapat testis atau tidak pada
skrotum (Palmer, 2013). Pada palpasi juga dapat dilakukan
perabaan pada korda spermatika. Jari pemeriksa menggesek kedua korda
spermatika anak setinggi tuberkulum pubikum. Palpasi kedua korda spermatika
menunjukkan hasil positif jika terdapat sensasi seperti menggesek dua buah kain
sutera. Tanda ini disebut sebagai silk glove sign, yang biasanya menandakan
adanya penebalan korda spermatika pada pasien hernia inguinalis (Glick &
Boulanger, 2012).
Pemeriksaan selanjutnya adalah transluminasi skrotum untuk membedakan
antara hernia inguinalis dan hidrokel. Pemeriksaan transluminasi lebih

23

diutamakan untuk pemeriksaan hidrokel. Pada hernia inguinalis, didapatkan hasil


transluminasi yang tidak jelas pada skrotum (Palmer, 2013).
3.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Hernia inguinalis anak sebagian besar dapat ditegakkan
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
penunjang hanya diperlukan pada kasus-kasus tertentu.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa
pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Pemeriksaan laboratorium
dilakukan khususnya pada pasien hernia inkarserata, berupa pemeriksaan serum
dan leukosit. Pada pasien hernia inkarserata sering ditemukan adanya leukositosis
(Lao et.al., 2012; Palmer, 2013).
Pemeriksaan radiologi yang sering digunakan adalah herniografi atau USG
inguinal. Herniografi dilakukan dengan menyuntikkan kontras larut air ke dalam
kavum peritoneum melalui injeksi infraumbilikal dengan bantuan fluoroskopi.
Kontras yang dimasukkan akan menuju ke kantung hernia dengan bantuan
gravitasi. Selanjutnya, dilakukan foto inguinal pada menit ke-5, 10, dan 45 secara
serial. Herniografi dapat dilakukan untuk memeriksa hidrokel, hernia inguinalis
kontralateral, dan membedakan antara hernia inguinalis dengan hernia femoralis
(Glick & Boulanger, 2012).
Ultrasonografi (USG) inguinal digunakan sebagai pemeriksaan tambahan
untuk mendeteksi prosesus vaginalis paten, khususnya pada anak yang dicurigai
hernia inguinalis namun riwayat dan pemeriksaan fisiknya tidak mendukung.
Selain itu, USG ingunal juga digunakan sebagai evaluasi preoperatif inguinal
kontralateral pada pasien hernia inguinalis unilateral (Glick & Boulanger, 2012;
Fraser & Snyder, 2014).
3.8 Penatalaksanaan
3.8.1 Anestesi
Jenis anestesi yang digunakan pada operasi hernia
inguinalis anak dapat berupa anestesi umum, regional, atau
lokal. Pemilihan jenis anestesi yang digunakan bergantung pada beberapa faktor,

24

seperti usia anak dan faktor komorbiditas. Tidak ada data relevan yang
membandingkan antara penggunaan anestesi regional maupun general pada
operasi hernia inguinalis anak. Namun, sebagian besar pasien diberikan anestesi
umum dengan intubasi endotrakea atau masker laryngeal (Glick & Boulanger,
2012).
Pada bayi sehat yang lahir aterm dan anak yang lebih tua sering diberikan
anestesi umum endotrakea karena lebih aman. Namun, bayi preterm memerlukan
pendekatan lebih lanjut menggunakan anestesi regional, baik epidural maupun
kaudal (Glick & Boulanger, 2012). Tidak ada perbedaan antara anestesi spinal dan
anestesi umum dalam hal apnea pasca operasi, bradikardia, dan desaturasi oksigen
pada bayi preterm yang menjalani herniorafi (Fraser & Snyder, 2014).
3.8.2 Waktu Operasi
Keputusan untuk melakukan operasi pada pasien hernia
inguinalis anak sangat bergantung pada ahli bedah yang
memberikan penanganan. Keputusan ahli bedah untuk melakukan operasi
tidak hanya bergantung pada usia anak, namun juga faktor komorbid yang
menyertai anak tersebut (Fraser & Snyder, 2014).
Sebagian besar anak dan bayi akan dioperasi segera setelah didiagnosis
hernia inguinalis, kecuali pada bayi preterm yang dioperasi setelah berat badan
bayi mencapai 2 kg. Percepatan operasi dilakukan untuk meminimalisasi
terjadinya komplikasi hernia inguinalis, khususnya hernia inkarserata. Pada hernia
inguinalis anak, khususnya bayi berusia kurang dari 1 tahun, kemungkinan
terjadinya hernia inkarserata adalah 2 kali lebih tinggi jika dilakukan operasi
elektif dengan waktu tunggu lebih dari 30 hari daripada dengan waktu tunggu
kurang dari 14 hari (Glick & Boulanger, 2012).
3.8.3 Teknik Operasi
Prinsip utama operasi hernia inguinalis anak adalah ligasi tinggi kantung
hernia. Metode ini telah dimodifikasi sebagai metode Ferguson. Pada metode
Ferguson, m.obliqus externus dibuka kemudian dilakukan perbaikan pada kanalis
inguinalis tanpa mengganggu hubungan struktur inguinal dan korda spermatika
(Glick & Boulanger, 2012).

25

Pada metode Ferguson, pasien diposisikan supinasi, kemudian dilakukan


penandaan pada tuberkulum pubikum dan spina iliaka anterior superoir (SIAS).
Insisi kulit dibuat dengan ujung medial terletak pada superolateral tuberkulum
pubikum. Lokasi dan panjang insisi tergantung pada usia anak. Pada bayi, cincin
eksterna dan interna kanalis inguinalisnya lokasinya sangat berdekatan.
Sedangkan pada anak yang lebih tua, jarak antara cincin eksterna dan interna
kanalis inguinalis melebar 2 kali lipat, sehingga insisi yang dibuat harus lebih ke
arah lateral agar tidak menyebabkan diseksi struktur korda spermatika yang lebih
terletak ke medial (Glick & Boulanger, 2012).
Insisi di bawah kulit secara berurutan akan mengekspos fascia Camper dan
fascia Scarpa yang ada dibawahnya. Insisi yang dilakukan harus dilakukan secara
hati-hati agar tidak menyebabkan diseksi a.epigastrika inferior yang ada di atas
fascia Scarpa. Fascia Scarpa kemudian dibuka untuk mengekspos m.obliqus
eksternus yang ada dibawahnya. Kemudian, dilakukan insisi pada m.obliqus
externus di lateral dari cincin eksterna kanalis inguinalis. Pada bayi dengan usia
kurang dari 1 tahun, tidak perlu dilakukan insisi m.obliqus externa untuk
mencapai cincin interna kanalis inguinalis karena cincin eksterna dan internanya
berdekatan. Di bawah m.obliqus eksternus terdapat m.cremaster, diinsisi untuk
melihat struktur dibawahnya (Glick & Boulanger, 2012). Setelah diinsisi, korda
spermatika dielevasikan, sedangkan vas deferens dan pembuluh darah spermatika
dipisahkan dari kantong hernia (Fraser & Snyder, 2014). Kemudian dilakukan
inspeksi pada isi kantong hernia. Kantong hernia yang kosong dipisahkan
menggunakan 2 buah clamp menjadi ujung distal dan proksimal. Ujung distal
dikauterisasi lalu dibiarkan, sementara ujung proksimal didiseksi dan dilakukan
ligasi ganda setinggi cincin interna kanalis inguinalis. Testis dikembalikan ke
skrotum dan korda spermatika diluruskan ketempatnya semula. Kemudian
dilakukan penjahitan pada luka insisi lapisan demi lapisan dengan benang
absorbable (Glick & Boulanger, 2012).

26

Gambar 3.3 Teknik Operasi Hernia Inguinalis Anak

Teknik operasi hernia inguinalis pada anak perempuan


lebih sederhana daripada anak laki-laki, karena tidak
memerlukan indentifikasi korda spermatika pada anak
perempuan. Secara teknis, operasi hernia inguinalis anak
perempuan sama seperti anak laki-laki. Perbedaan di antara
keduanya adalah teknik tambahan pada kantong hernia anak
perempuan sebelum dilakukan ligasi. Kantong hernia dibuka
untuk menentukan adanya ovarium, tuba fallopi, atau uterus
yang meluncur ke dalam kantong tersebut. Jika tuba fallopi atau
struktur lain teridentifakasi di dalam kantong hernia, diseksi tidak
akan dilakukan. Penutupan kantong hernia dilakukan di atas
struktur tersebut dengan mereduksi kantong hernia ke cincin
internus kanalis inguinalis, kemudian dilakukan 1 atau 2
penjahitan pada cincin internus. Teknik ini disebut sebagai
metode Bevan (Glick & Boulanger, 2012).

27

Gambar 3.4 Teknik Operasi Hernia Inguinalis Anak Perempuan


Teknik operasi hernia dengan bedah laparoskopi mulai
populer dilakukan beberapa rumah sakit dewasa ini. Bedah
laparoskopi dilakukan dengan menempatkan Trocar berukuran 5
mm transumbilikal dan menggunakan kanula 2 mm yang
digunakan untuk menjahit. Teknik bedah laparoskopi dalam
operasi hernia inguinalis anak memiliki lebih banyak keuntungan
daripada teknik bedah terbuka. Teknik ini memungkinkan ahli
bedah untuk melihat hernia inguinalis kontralateral serta jenis
hernia lain yang jarang terjadi pada anak, seperti hernia
inguinalis medialis dan hernia femoralis (Glick & Boulanger,
2012; Fraser & Snyder, 2014). Teknik bedah laparoskopi juga
memungkinkan ahli bedah untuk melihat struktur vas deferens
dan pembuluh darah spermatika dengan lebih mudah, sehingga
mengurangi risiko terjadinya cedera pada struktur ini. Selain itu,
waktu operasi yang diperlukan lebih sedikit, angka rekurensi

28

lebih kecil, serta luka insisi yang dibuat juga lebih kecil sehingga
lebih unggul secara estetika (Shalaby et.al., 2012).
3.8.4 Monitoring Rawat Inap Post-Operatif
Monitoring rawat inap post-operatif tidak diperlukan pada anak yang sehat
atau bayi yang lahir aterm. Monitoring ini dikhususkan untuk bayi prematur
karena meningkatnya risiko apnea post-operatif dan bradikardia pada kelompok
ini (Fraser & Snyder, 2014).
Penentuan usia anak yang membutuhkan monitoring rawat inap postoperatif ditentukan berdasarkan usia post-konseptual anak, yaitu jumlah antara
usia gestasional dalam minggu dan usia kronologis dalam minggu. Anak dengan
usia post-konseptual kurang dari 41 46 minggu memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk terjadinya apnea post-operatif. Untuk itu, beberapa rumah sakit menentukan
usia post-konseptual anak 60 minggu sebagai cut-off untuk dilakukan monitoring
rawat inap post-operatif mengingat adanya risiko apnea pada kelompok anak di
bawah usia ini (Glick & Boulanger, 2012).
3.9 Komplikasi
3.9.1 Hernia Inkarserata
Insiden hernia inkarserata berkisar antara 12 18%. Hernia
inkarserata lebih banyak dialami oleh bayi yang lahir preterm
dan lebih rendah pada anak-anak yang dilakukan bedah elektif
(Fraser & Snyder, 2014). Hernia inkarserata terjadi akibat
terjepitnya organ visera pada cincin eksterna atau interna kanalis
inguinalis. Hernia inkarserata dapat berkembang menjadi
strangulasi atau terhambat alirannya darah organ visera hanya
dalam kurun waktu 2 jam. Strangulasi dapat meyebabkan
gangren dan perforasi pada organ visera, termasuk usus. Selain
itu, hernia inkarserata juga dapat menekan aliran darah testis
dan menyebabkan terjadinya atrofi testis (Glick & Boulanger,
2012).

29

Gejala yang muncul pada hernia inkarserata adalah anak


yang menjadi iritabel, nyeri abdomen, dan muntah yang bersifat
intermiten. Benjolan pada inguinal menjadi kemerahan dan
nyeri. Distensi abdomen dan buang air besar berdarah menjadi
gejala selanjutnya. Jika terdapat nyeri akibat rangsangan
peritoneal, dapat dipastikan hernia inkarserata sudah
berkembang menjadi strangulasi (Fraser & Snyder, 2014). Pada
pemeriksaan laboratorium, dapat ditemukan adanya leukositosis
pada pasien hernia inkarserata (Lao et.al., 2012).
Pasien hernia strangulasi yang berkembang menjadi
gangren usus, peritonitis, atau syok septik adalah kontraindikasi
absolut untuk dilakukan reduksi. Sementara itu, pasien hernia
inkarserata dengan gangguan obstruksi usus merupakan
kontraindikasi relatif untuk dilakukan reduksi. Reduksi dilakukan
setelah inflamasi yang terjadi pada hernia inkarserata mereda.
Oleh karena itu, penanganan awal pada pasien hernia
inkarserata dilakukan dengan manajemen non-operatif. Lakukan
pemasangan infus, rehidrasi cairan, dan pemberian sedasi
sampai fase akut teratasi. Setelah itu, barulah dilakukan reduksi
pada isi kantong hernia yang mengalami inkarserasi. Sebanyak
90 95% pasien hernia inkarserata berhasil ditangani dengan
manajemen non-operatif. Sebanyak 8% pasien yang gagal
ditangani dengan manajemen non-operatif akan dialihkan ke
manajamen operatif emergency hernia inkarserata. Tindakan ini
dilakukan di bawah anestesi umum, kemudian dilakukan
pembukaan kantong hernia dan eksplorasi isi kantong hernia
tersebut, baik komponen usus maupun darah yang membeku.
Tindakan ini juga disertai dengan pembukaan cincin interna
kanalis inguinalis untuk memindahkan komponen usus kembali
ke kavum abdomen (Fraser & Snyder, 2014).

30

3.9.2 Rekurensi
Rekurensi pada hernia inguinalis anak yang menjalani
bedah elektif didapatkan sebesar kurang dari 1%. Rekurensi
semakin meningkat pada remaja. Beberapa hal lain yang
menyebabkan peningkatan kejadian rekurensi adalah bayi
preterm, anak yang mengalami hernia inkarserata, dan penyakit
komorbid lain seperti kelainan jaringan ikat dan
mukopolisakaridosis (Fraser & Snyder, 2014). Pada bayi preterm,
risiko rekuren meningkat menjadi 15%, sementara pada hernia
inkarserata risikonya meningkat menjadi 20% (Glick & Boulanger,
2012). Bahkan, kelainan jaringan ikat dapat meningkatkan
terjadinya rekurensi hernia inguinalis sebesar 50%. Hernia
inguinalis dianggap sebagai gejala penyerta pada kelainan ini
(Fraser & Snyder, 2014).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bedah
laparoskopi dapat mengurangi angka kejadian rekurensi hernia
inguinalis pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Shalaby
et.al. (2012) menunjukkan angka rekurensi sebesar 0,8% pada
anak yang menjalani bedah laparoskopi dibandingkan dengan
anak yang menjalani bedah terbuka, yaitu dengan rekurensi
sebesar 2,4%. Namun, hal ini juga bergantung pada jenis bedah
laparoskopi yang digunakan dan semakin berkembang pada
kalangan ahli bedah anak (Glick & Boulanger, 2012).
3.9.3 Komplikasi Lain
Komplikasi lain dalam hernia inguinalis anak adalah cedera
vas deferens dan testis. Insidens cedera ini pada hernia
inguinalis yang dilakukan operasi elektif adalah sebesar 1 dari
1000 kasus (Fraser & Snyder, 2014). Presentase spesifik cedera
vas deferens pada hernia inguinalis anak adalah 1,6%. Hal ini
disebabkan oleh adanya cedera intra-operatif yang mengenai vas

31

deferens. Cedera vas deferens akan menyebabkan obstruksi vas


deferens disertai pengalihan spermatozoa ke aliran limfatik
testis. Kebocoran ini akan menyebabkan gangguan pada barier
testis-darah dan memicu pembentukan antibodi autoaglutinasi
pada spermatozoa yang masuk. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya hubungan antara kejadian cedera vas
deferens post-operatif hernia inguinalis dengan infertilitas pada
pria (Glick & Snyder, 2012).
Salah satu komplikasi lain hernia inguinalis anak adalah
atrofi testis yang disebabkan oleh cedera testis. Insidens atrofi
testis pada pasien anak yang menjalani bedah elektif adalah 1%.
Sementara itu, insidens didapatkan lebih tinggi pada anak yang
mengalami hernia inkarserata yaitu sebesar 2,6 5%. Atrofi
testis lebih banyak ditemukan pada pasien hernia inkarserata
akibat adanya penekanan aliran darah testis oleh isi kantong
hernia yang terperangkap di skrotum. Selain testis, ovarium dan
tuba fallopi juga dapat mengalami inkarserasi di kantong hernia,
dengan insidens sebesar 27 32%. Inkarserasi organ genitalia
pada hernia inguinalis anak perempuan disebabkan oleh adanya
gangguan vaskularisasi akibat inkarserasi, torsio organ tersebut
di dalam kantong hernia, ataupun operasi bilateral hernia
inguinalis pada pasien tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa
inkarserasi organ genitalia pada anak perempuan dapat memicu
terjadinya infertilitas (Glick & Boulanger, 2012).
Beberapa komplikasi lain yang dapat disebabkan oleh
hernia inguinalis anak meliputi pembengkakan skrotum,
undesensus testis iatrogenik, infeksi, cedera usus, nyeri kronik,
dan hilangnya domain/kekuatan abdomen. Komplikasi-komplikasi
ini memiliki presentase kejadian yang beragam (Glick &
Boulanger, 2012; Fraser & Snyder, 2014).

32

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Anamnesis
Fakta

Benjolan pada

kantong buah zakar


Muncul sejak
umur 1 tahun
Hilang timbul,

Teori
hernia yang paling banyak ditangani
pada anak-anak
paling sering terjadi pada tahun pertama
kehidupan (54% terjadi pada anak

berusia 6 bulan 5 tahun)


muncul terutama saat menangis, Pada anak, hernia inguinalis lateralis lebih
hilang saat bangun tidur
Tidak nyeri

sering terjadi daripada hernia inguinalis

medialis.
anak tidak rewel
Benjolan pada hernia inguinalis bersifat
Gangguan BAB
tidak nyeri dan muncul terutama saat
(-)
tekanan intraabdominal anak meningkat

4.2 Pemeriksaan Fisik


Fakta
Inspeksi

Teori
:Asimetris (dextra < Benjolan yang teraba di proksimal atau

Sinistra), tidak tampak


berdenyut, Refleks kremaster
(+/SDE), Transiluminasi (-/-).
Warna kulit skrotum sama

distal jari, sering reponible pada bayi


Terdapat testis atau tidak pada skrotum
Terdapat sensasi seperti menggesek dua
buah kain sutera
Transluminasi skrotum untuk membedakan

seperti kulit disekitarnya.

antara hernia inguinalis dan hidrokel

Palpasi

hernia inguinalis, didapatkan hasil

:Testis teraba (+/+)

Teraba massa tambahan (-/+)

transluminasi yang tidak jelas pada

dengan konsistensi lunak, nyeri

skrotum

(-/-). Taxis (+) reponible. Silk

glove sign (+)


Auskultsi : Terdengar bising

33

usus (-/+) dengan kesan normal.

4.3 Diagnosis
Fakta
HSSR (Hernia Sinistra
Skrotalis Reponible)

Teori

Penegakan diagnosis hernia


inguinalis pada anak terutama
didasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik

4.4 Pemeriksaan penunjang


Fakta
Teori
Keadaan umum pasien tampak Sebagian besar dapat ditegakkan
baik

dengan anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Pemeriksaan penunjang hanya
diperlukan pada kasus-kasus tertentu
Pemeriksaan laboratorium dilakukan
khususnya pada pasien hernia inkarserata
Pemeriksaan radiologi sebagai
pemeriksaan tambahan untuk mendeteksi
prosesus vaginalis paten, khususnya pada
anak yang dicurigai hernia inguinalis
namun riwayat dan pemeriksaan fisiknya
tidak mendukung

34

4.5 Penatalaksanaan
Fakta
Rencana Herniotomi metode??
Dengan bantuan General Anestesi
BB = 10 kg
Usia 1 tahun, 5 bulan

Teori
Pada bayi sering diberikan anestesi
umum endotrakea karena lebih aman
Percepatan operasi dilakukan untuk
meminimalisasi terjadinya komplikasi
hernia inguinalis, khususnya hernia
inkarserata
Sebaiknya saat usia bayi kurang dari 1
tahun
Prinsip utama menggunakan teknik ligasi
tinggi
Pada anak laki-laki, digunakan metode
Ferguson
Pada anak perempuan, digunakan metode
Bevan

35

DAFTAR PUSTAKA
Bickley, L.S., & Szilagyi, P.G. (2009). Bates Guide To Physical
Examination And History Taking (10th ed.). Philadephia,
USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Dorland, W.A.N. (2012). Kamus Kedokteran Dorland (31th ed.).
Jakarta, Indonesia: EGC.
Fraser, J.D., & Snyder, C.L. (2014). Inguinal Hernias and
Hydroceles. In Holcomb, G.W., Murphy, J.D., & Ostile, D.J.,
Ascrafts Pediatric Surgery (pp. 669-675). Philadelphia,
USA: Saunders Elsevier.
Glick, P.L., & Boulanger, S.C. (2012). Inguinal Hernias and
Hydroceles. In A.G. Coran, N.S. Adzick, & T.M. Krummel,
Pediatric Surgery (pp. 985-1001). Philadelphia, USA:
Elsevier Saunders.
Hebra, A. (2015). Pediatric Hernias. Diunduh pada August 22,
2016, dari http://emedicine.medscape.com/article/932680overview
Lao, O.B., Fitzgibbons, R.J., & Cusick, R.A. (2012). Pediatric
Inguinal Hernias, Hydroceles, and Undescended Testicles.
Surg Clin N Am, 92(2012), 487-504.
Napitupulu, S. (2010). Prevalensi Hernia Inguinalis pada Anak di
RSUP H. Adam Malik Medan Periode Juli 2008 Juli 2010
(Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia).
Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21381
Palmer, L.S. (2013). Hernias and Hydroceles. Pediatrics in
Review, 2013(34), 457-464.
Ramadhani, S. (2009). Persentase Kejadian Hernia Inguinalis
Lateralis Pada Anak Di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun
2009 (Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan,
Indonesia).
Diunduh dari http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21384
Sjamsjuhidajat, R., & Jong, W.D. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah
(3th ed.). Jakarta, Indonesia: EGC.

36

Shalaby, R., Ibrahem, R., Shahin, M., Yehya, A., Abdalrazek, M.,
Alsayaad, I., & Shouker, M.A. (2012). Laparoscopic Hernia
Repair Versus Open Herniotomy In Children: A Controlled
Randomized Study. Hindawi Publishing Corporation
Minimally Invasive Surgery, 1-8.
Diunduh dari
http://www.hindawi.com/journals/mis/2012/484135/
Wagner, J.P., Brunicardi, F.C., Amid, P.K., & Chen, D.C. (2012).
Inguinal Hernias. In F.C Brunicardi, D.K Andersen, T.R Billiar,
D.L Dunn, J.G Hunter, J.B Matthews, R.E Pollock, Schwartzs
Priciples of Surgery (pp. 1495-1521). New York, USA:
McGraw-Hill Educatio.

37

38

Anda mungkin juga menyukai