Anda di halaman 1dari 5

ajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Tujuan pembelajaran sastra di sekolah terkait pada tiga tujuan khusus di bawah ini.
1. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan
emosional dan sosial
2. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa
3. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual
manusia Indonesia.

Pengajaran sastra membawa siswa pada ranah produktif dan apresiatif. Sastra adalah
sistem tanda karya seni yang bermediakan bahasa. Pencipataan karya sastra merupakan
keterampilan dan kecerdasan intelektual dan imajinatif. Karya sastra hadir untuk dibaca dan
dinikmati, dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan.
Pembelajaran sastra menurut panduan penerapan KTSP perlu menekankan pada
kenyataan bahwa sastra merupakan seni yang dapat diproduksi dan diapresiasi sehingga
pembelajaran hendaknya bersifat produktif-apresiatif. Konsekuensinya, pengembangan materi
pembelajaran, teknik, tujuan, dan arah pembelajaran harus menekankan pada kegiatan
apresiati.
Pengembangan kegiatan pembelajaran apresiatif merupakan usaha untuk membentuk
pribadi imajinatif yaitu pribadi yang selalu menunjukkan hasil belajarnya melalui aktivitas
mengeksplorasi ide-ide baru, menciptakan tata artistik baru, mewujudkan produk baru,
membangun susunan baru, memecahkan masalah dengan cara-cara baru, dan merefleksikan
kegiatan apresiasi dalam bentuk karya-karya yang unik.
Potensi individu seperti itu menurut para ahli pendidikan akan berkembang jika
mendapat dukungan kultur lingkungan yang menghargai percobaan, melakukan langkahlangkah spekulatif, fokus pada pengembangan ide-ide baru, bahkan melakukan hal yang tidak
dapat dilakukan orang sebelumnya. Semua potensi dikembangkan melalui pengulangan yang
variatif sehingga terbentuk mutu keterampilan yang terasah.
A. Realitas Sastra Indonesia dalam Masyarakat Indonesia Kini

Sastra dianggap kurang penting dan kurang berperan dalam masyarakat Indonesia hari
ini. Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat ini sedang mengarah ke masyarakat industri
sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik
dianggap lebih penting dan mendesak untuk digapai. Sedikitnya perhatian anggota masyarakat
terhadap kegiatan kesastraan dan kebudayaan pada umumnya merupakan salah satu indikasi
adanya kecenderungan tersebut. Kegiatan kesastraan dan kebudayaan dianggap hanya
memberi manfaat nonmaterial, batiniah, sehingga dianggap kurang mendesak dan masih dapat
ditunda.
Kondisi di atas juga terjadi dalam dunia pendidikan. Perhatian para murid dan pengelola
sekolah terhadap mata pelajaran yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik
jauh lebih besar bila dibandingkan dengan mata pelajaran kemanusiaan. Ketiadaan
laboratorium bahasa, sanggar seni, buku bacaan kesastraan, dan berbagai fasilitas lain yang
diperlukan dalam pengajaran merupakan bukti konkret adanya ketidakperhatian tersebut.

Bila kita menganggap pendidikan merupakan upaya lain untuk memanusiakan manusia,
perhatian terhadap semua materi ajar di sekolah haruslah seimbang. Seorang guru dapat
melakukan hal-hal seperti dibawah ini untuk mewujudkan pembelajaran sastra di sekolah
sehingga mata pelajaran ini menjadi menarik dan mendapat tempat di hati siswa.
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah meyakinkan siswa bahwa pengajaran sastra
tidak hanya menawarkan hiburan sesaat, tetapi juga akan memberi berbagai manfaat lain bagi
siswa. Penikmatan yang apresiatif terhadap puisi, prosa fiksi, drama dalam berbagai genre
akan membuktikan kemanfaatan tersebut pada siswa.
Selanjutnya, guru pun harus berusaha mengubah teknik pembelajaran sastra di sekolah.
Selama ini pengajaran sastra dan juga bahasa Indonesia lebih diarahkan pada aspek sejarah
dan pengetahuan sehingga siswa dipacu untuk menghafal, bukan untuk mengahayati karya
yang diajarkan.
Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya sastra
oleh siswa. Kegiatan ini dapat juga diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan
berbagai teknik pembelajaran. Kegiatan deklamasi, lomba penulisan puisi, musikalisasi puisi,
dramatisasi puisi, mendongeng, pembuatan sinopsis, bermain peran, penulisan kritik dan esei,
dan berbagai kegiatan lain dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan apresiasi sastra pada
siswa. Berbagai kegiatan tersebut akan menumbuhkan penghayatan, pencintaan, dan
penghargaan yang relatif baik pada para siswa terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia.
Hal lain yang juga perlu dipikirkan saat ini adalah pemanfaatan dan pengadaan buku/
bacaan kesastraan di sekolah. Pemerintah, di satu sisi, telah berusaha melengkapi buku bacaan
untuk para siswa melalui Proyek Pengadaan Buku Bacaan. Meskipun bahan yang dikirimkan
ke sekolah belum memadai, guru seharusnya dapat memanfaatkan sarana yang ada itu untuk
memancing kreativitas membaca dan mencipta pada siswa. Di samping itu, guru dan pihak
sekolah harus juga berusaha membeli bacaan lain, seperti surat kabar, kumpulan puisi, dan
berbagai media lain yang harganya relatif murah.
Kendala lain yang tampaknya juga perlu dicarikan pemecahannya adalah sistem
evaluasi pengajaran sastra dan bahasa yang cenderung ke aspek kognitif/pengetahuan. Selama
ini, ulangan semester dan ebtanas memang lebih terfokus pada evalusi pengetahuan para
siswa. Kalau mau guru dapat melakukan evaluasi yang mengarah ke penumbuhan
keterampilan dan apresiasi masih dapat dilaksanakan di berbagai kesempatan lain di luar
evaluasi di atas. Evaluasi keterampilan dan apresiasi siswa ini dapat saja dilakukan melalui
penugasan di rumah, kegiatan ekstrakurikuler, dan berbagai kegiatan lain. Sekarang tinggal
lagi mau atau tidakkah guru bahasa/guru kelas memanfaatkan kesempatan itu untuk evaluasi
yang tidak hanya mengagungkan aspek hafalan pada siswa.
Terakhir, guru bahasa dan pihak sekolah tampaknya juga perlu mengaktifkan kembali
sanggar-sanggar siswa di sekolah. Kegiatan sanggar di luar jam belajar secara langsung pasti
akan berpengaruh terhadap penumbuhan keterampilan, kecintaan, penghayatan, dan
penghargaan yang positif terhadap sastra dan bahasa Indonesia pada siswa. Bagaimanapun
kita tetap bersepakat bahwa penumbuhan kreativitas, penyaluran bakat/minat, dan pembinaan
moral siswa tidak hanya dilaksanakan pada saat-saat belajar secara formal di dalam kelas,
tetapi juga melalui kegiatan ekstrakurikuler di luar jam belajar.
B. Pengajaran Sastra

Pengajaran sastra di SMP maupun SMA bukan berupa program pengetahuan budaya.
Sastra Indonesia hanya semata-mata menumpang pada pengajaran bahasa Indonesia dan
diberikan hanya selama 2-3 jam per minggu.
Pengajaran sastra di sini lebih banyak kegiatannya untuk mempelajari ragam bahasa, di
sisi-sisi ragam bahasa lainnya. Hal ini terlihat bahwa pembobotan beban materinya hanya
seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia, dengan nama
pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan pemberian nama ini sudah
terlihat terjadinya penyempitan kedudukan sastra.
Dalam pembelajaran sastra usakan siswa diminta untuk mencoba membuat pantun
sendiri dengan kreatifitas mereka masing-masing dengan mengambil tema dari Pendidikan
Moral, yaitu pantun didaktis yang berisi ajakan-ajakan atau pesan-pesan moral. Hal serupa
juga bisa diterapkan untuk pelajaran drama, dimana guru Bahasa Indonesia bekerjasama
dengan guru sejarah. Siswa bisa diberi instruksi tentang aspek-aspek teknis dari drama dan
kemudian diminta untuk membuat pertunjukan drama dengan mengambil tema dari pelajaran
sejarah yang sedang diberikan pada saat itu, mungkin misalnya mengadegankan
kepahlawanan Diponegoro saat ditangkap Jendral De Kock sebagai bentuk ekspresi dari
tragedi. Dalam kegiatan seperti ini kelas akan ditangani oleh dua guru sekaligus.
Pembelajaran dengan pola pengajaran tim (team teaching) berdasar tema bukan rumpun dan
bersifat sementara.
Dengan pola seperti ini siswa akan mendapat dua nilai sekaligus dalam satu kegiatan
pembelajaran, yaitu mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan mata pelajaran yang
dipadukan materinya, dalam dua contoh di atas disebutkan mata pelajaran Sejarah dan
Pendidikan Moral, dan ini tidak menutup kerjasama dengan yang lainnya. Mengingat begitu
banyaknya Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh siswa dalam satu tahun pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Diharapkan bahwa dengan cara ini, efesiensi waktu pembelajaran juga bisa diperoleh
dengan kegiatan ini. Beban siswa terhadap standart kompetensi yang disusun dalam silabus
masing-masing guru mata pelajaran bisa terpenuhi dengan tidak terlalu banyak pengulangan.
Mengadakan kegiatan yang melibatkan siswa secara aktif ini akan meningkatkan kompetensi
siswa dalam sastra tanpa harus menambah rasa kebosanan mereka dan sekaligus membuat
pengajaran bahasa dan sastra Indonesia menjadi lebih menarik dan meningkatkan daya kreasi
siswa.
Sastra tak bisa dan tak perlu diajarkan. Yang bisa dilakukan oleh seorang guru sastra
dalam mengajar adalah mengajak anak didiknya untuk melihat kemanfaatan sastra.
Memposisikan sastra sedemikian rupa pada tempatnya yang tepat sehingga jelas kaitannya,
relevansinya dengan kehidupan dan proses pembelajaran. Dengan lain kata, seorang guru
sastra berdiri di depan kelas di hadapan murid-muridnya, bagaikan seorang pembela di dalam
sebuah peristiwa pengadilan, untuk membuktikan, untuk menunjukkan, bahwa sastra adalah
ilmu.
Mengajarkan sastra tidak boleh dimulai dengan sastra itu sendiri, tetapi siapa yang akan
mempelajarinya. Lingkungan, latar belakang dan kebutuhan mereka yang hendak diberikan
pelajaran sastra, tidak boleh kalah penting dari suara karya-karya itu. Tidak seperti pelajaran
sejarah, sastra bukanlah masa lalu, karenanya harus mulai dari aksi-aksi yang nyata.

Kerucut sistim pembelajaran yang mengajak guru memulai pelajaran sastra seperti
pelajaran sejarah sastra, sehingga harus mulai dengan menghapal apa itu pantun, gurindam,
soneta dan seloka, perlu dibalik total. Pelajaran sastra harus hidup, dimulai dengan apa yang
nyata di sekitar dalam lingkungan mereka yang diajar.
Sebuah sajak, novel, lakon, cerpen, esei dan sebagainya hanya alat untuk
menyampaikan/mengekspresikan gagasan dari penulisnya/pengarangnya. Di balik cerita, di
dalam kata-kata ada rembukan dan kesaksian. Itulah yang harus ditontonkan kepada mereka
yang belajar sastra. Membaca karya sastra seperti menggali tambang mengeruk, memburu
makna-makna yang bersembunyi di balik kata-kata.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran sastra sangatlah penting terlebih pada jenjang Pendidikan Sekolah Dasar, karena
di dalam pembelajaran sastra tersebut terdapat beberapa aspek humaniora yang dapat mengasah
kepekaan sosial, ketajaman watak, serta dengan mempelajari sastra, seseorang dapat belajar
bagaimana caranya mengharagai karya-karya orang lain, karena pada dasarnya sastra dapat membantu
seseorang lebih memahami kehidupan dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan
B. Saran
Pembelajaran sastra dianggap tidaklah penting, karena pada jenjang pendidikan umumnya lebih
mengedepankan serta mementingkan pembelajaran yang ilmiah dan bertehnologi. Padahal dengan
adanya pembelajaran sastra dapat turut berperan dalam pembentukan kepribadian, watak, dan sikap
yang tentunya akan lebih baik jika diterapkan sejak dini dalam tahapan jenjang Pendidikan Sekolah
Dasar pada umumnya. Seharusnya Sastra dapat dioptimalkan pembelajarannya sehingga dapat
diapresiasikan dengan baik

DAFTAR PUSTAKA
Leroy, Diana. 2003. Soal-Soal dan Pembahasan UAN (Ujian Akhir Nasional) Bahasa Indonesia SMP
(Edisi Kedua). Jakarta:Erlangga.
Wijaya, Putu. 2011. Pengajaran Sastra. http://sastra-indonesia.com/2011/03/pengajaran-sastra/. Diakses
pada tanggal 20/12/2011 10:03
Wibisono,
B
Kunto.
2010.
Pembelajaran
Sastra
Dorong
Sikap
Kritis.
http://www.antaranews.com/berita/206353/pembelajaran-sastra-dorong-sikap-kritis. Diakses pada
tanggal 31/12/2011 7:47
Arif,
Mohammad.
2008.
Pembelajaran
Sasta
Secara
Integratif.
searchengines.com/mohamad0708.html. Diakses pada tanggal 20/12/2011 9:53

http://re-

Hamid,
Mukhlis
A.
Pengajaran
Sastra
Indonesia
Di
Sekolah.
http://gemasastrin.wordpress.com/2007/04/20/pengajaran-sastra-indonesia-di-sekolah/. Diakses pada
tanggal 31/12/2011 7:42
Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah. http://gurupembaharu.com/home/?p=9911. Diakses pada
tanggal 31/12/2011 8:0

Anda mungkin juga menyukai