Anda di halaman 1dari 8

JURNAL READING

BLOK KEGAWATDARURATAN
DISTICT MU,DELTA AND KAPPA OPIOID RECEPTOR MECHANISMS UNDERLIE
LOW SOCIABILITY AND DEPRESSIVE LIKE BEHAVIORS DURING HEROIN
ABSTINENCE

Kelompok A14
Ketua

: Fahrul Rozy

(1102013103)

Sekretaris

: Annisa Rahmadhania

(1102013038)

Anggota

: Chairunnissa

(1102012045)

Maulidya Nur Amalia

(1102012156)

Amorrita Puspita Ratu

(1102013023)

Anita Indah Fitriani

(1102013034)

Dea Melinda Sabila

(1102013072)

Elda Amelinda Hazima

(1102013093)

Herwidyandari Permata P (1102013126)


Kartika Widyanindhita K (1102013145)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2016/2017

DISTICT MU,DELTA AND KAPPA OPIOID RECEPTOR MECHANISMS UNDERLIE


LOW SOCIABILITY AND DEPRESSIVE LIKE BEHAVIORS DURING HEROIN
ABSTINENCE
Pendahuluan
Penyalahgunaan obat-obatan adalah kelainan otak kronis dengan konsekuensi yang
membahayakan terhadap individu itu sendiri dan lingkungan sosialnya. Efek yang dialami
selama intoksikasi obat, yang diikuti dengan tanda-tanda fisik dan emosional saat obat tidak lagi
digunakan. Hal ini nantinya akan berganti menjadi fase preokupasi, dimana keinginan terhadap
obat memicu perilaku mencari obat dan menyebabkan kekambuhan. Beberapa penyebab dapat
mengganggu proses abstinensia obat. Faktor eksternal, seperti kejadian stres dalam kehidupan
dan berkaitan dengan obat-obatan telah diketahui dapat menyebabkan kekambuhan. Ditandai
oleh gejala berupa kecemasan dan depresi, termasuk penurunan mood dan anhedonia .
Pada abstinensia heroin akan mengaktifkan reseptor opoid mu(MOR) sebagai target
utama. Heroin menunjukan efek euforia yamg kuat. Peneliti kemudian menunjukkan bahwa
reseptor delta dan kappa (DOR dan KOR), mempunyai peran yang berbeda dalam
ketergantungan dan pengendalian mood, secara dua arah mempengaruhi perkembangan
gangguan emosional pada abstinensia heroin. Peneliti kemudian menunjukkan bahwa
penggunaan fluoksetin (inhibitor ambilan kembali 5-HT) jangka panjang mencegah timbulnya
ketertarikan sosial yang rendah pada hewan yang mengalami abstinensia heroin, secara langsung
menunjukkan sistem 5-HT. Peneliti pada akhirnya memfokuskan pada dorsal raphe nucleus
(DRN), nukleus utama serotonergik otak, dan menunjukkan bahwa tidak aktifnya gen yang
ditargetkan-DRN pada MOR mencegah perkembangan penurunan sosialisasi pada hewan yang
mengalami abstinensia heroin. Hal ini merupakan pertunjukkan pertama dari peran penting MOR
DRN pada konsekuensi jangka panjang dari paparan heroin terhadap perilaku sosial.
Materi dan Metode
1. Hewan
Tikus jantan (20-35g ) digunakan pada seluruh eksperimen yaitu DOR KO ,tikus
KOR KO, dan jenis liarnya (WT); begitu juga dengan tikus yang telah dimodifikasi dengan
gen MOR
2. Terapi Morfin dan Heroin
Morfin diberikan dua kali sehari (800 dan 1800 jam) dengan dosis yang meningkat
(20, 40, 60, 80, 100 mg/kg selama 5 hari, dilanjutkan dengan injeksi tunggal 100 mg/kg
pada hari ke-6) atau larutan salin sebagai kontrol. Regimen heroin nyaris serupa, kecuali
pada dosis yang dibagi dua (10-50 mg/kg)
3. Terapi Fluoxetin
Dosis fluoksetin 10 mg/kg dipilih berdasarkan penelitian awal dan pemeriksaan
peneliti sebelumnya (Goeldner et al, 2011).
4. Pengujian Perilaku
Respon yang menyerupai respon emosional diselidiki 1, 4, 7 minggu kemudian
berdasarkan urutan berikut: lapangan terbuka, interaksi sosial (SI), pemaksaan renang (FS),
labirin-Y (YM), dan ketertarikan sukrosa.
a. SI. Pasangan tikus dari kandang yang berbeda namun dengan kondisi terapi dan berat
yang sama, diletakkan bersamaan selama 10 menit di arena terbuka, dengan cahaya tak

langsung sebesar 50 lux. Penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa pembiasaan


terhadap arena dan penerangan yang redup mendukung SI pada kondisi ansiogenik yang
buruk. Menggunakan keyboard etologik, peneliti mengukur jumlah timbulnya dan durasi
total dari perilaku SI (mengendus, mengikuti, dan mencakar-cakar), begitu juga dengan
perilaku mengurus diri individu.
b. FS. Tikus diletakkan selama 6 menit dalam tabung kaca (tinggi, 27 cm; diameter, 18 cm)
diisi dengan air 3.5 liter (231oC), dan waktu imobilitas dicatat selama 4 menit terakhir
(Goeldner et al, 2010) dengan pengamatan langsung menggunakan keyboard etologik.
Waktu imobilisasi pertama juga dicatat.
c. Labirin-Y (YM). Tikus dianggap masuk ke dalam labirin bila keempat kaki menginjak
bagian dalam labirin. Urutan keberhasilan masuknya tikus ke dalam ketiga lengan dinilai
untuk setiap mencit, dan performa YM, misalnya, persentase dari performa spontan,
dinilai sebagai rasio dari perubahan yang sesungguhnya terhadap kemungkinan
perubahan ((total lengan yang dimasuki-2) x 100
d. Ketertarikan terhadap sukrosa. Hewan diberi larutan sukrosa selama 2 hari. Botol diisi
secara berimbang pada sisi kanan dan kiri dan ditukar-tukar posisinya dari hari ke hari.
tikus dikelompokkan di kandang mereka setelah satu sesi. Seluruh botol ditimbang
sebelum dan setelah setiap sesi untuk mengukur asupan air dan sukrosa untuk setiap
tikus. Ketertarikan terhadap sukrosa dikalkulasikan sebagai berikut: =(asupan larutan
sukrosa (ml)/total masukan cairan (ml) x 100.
Analisa statistik dianggap signifikan secara statistik bila p<0.05.
Hasil
Penghentian konsumsi heroin dalam waktu panjang membuat kondisi sosial menyerupai
depresi, dan defisit memori kerja spasial memanjang pada tikus. Tingkat keparahan
ketergantungan fisik diukur dengan akut naloxon e-precipitated withdrawal, adalah pengukuran
klasik terhadap efek opiat kronik.Untuk mengganti penghentian morfin pada model menjadi
heroin. Kami melakukan pemberian dosis intermiten bertahap mulai dari 10-50 mg/kg heroin
melalui penelitian ini.
Pada semua serial percobaan, kami melakukan penelitian kohort pada hewan berbeda
untuk (i) mengukur tingkat withdrawal presipitat naloxon pada akhir pemberian heroin, untuk
memastikan dan menghitung kondisi ketergantungan fisik, dan (ii) menganalisis respon
emosional dan memori kerja spasial selama penghentian jangka panjang pada hewan yang
mengalami withdrawal spontan dari terapi heroin kronik (seperti, penghentian injeksi naloxon).
Kami meneliti kecepatan perubahan emosi terkait tingkah laku dalam 1, 4, atau 7 minggu
dari withdrawal spontan (lihat garis waktu pada Gambar 1a).Kami mendapatkan bahwa pada preeksposur heroin tidak memiliki dampak pada perilaku cemas hanya menyebabkan sedikit
peningkatan aktivitas lokomotor (Gambar Suplementari S2). Analisis post-hoc menunjukkan
bahwa pasangan tikus yang akan diberikan heroin kurang berinteraksi secara signifikan
dibandingkan kelompok kontrol yang akan diberikan saline setelah 4 minggu (p<0,001) dan 7
minggu (p<0,001).
Analisis post hoc kembali mengindikasikan bahwa perawatan meningkat secara
bermakna setelah 4 minggu (p<0,001) dan 7 minggu (p<0,001), tetapi tidak pada 1 minggu
(p=1,0) periode penghentian. Oleh karena itu, gangguan terhadap interaksi sosial muncul setelah
minggu ke-4 penghentian heroin dan perubahan perilaku bertahan selama sekurang-kurangnya 3
minggu setelahnya.

Penelitian pada kondisi putus asa pada kedua pemeriksaan suspensi ekor (TS) dan FS.
Didapatkan hasil Perilaku putus asa berkembang selama penghentian heroin tetapi hanya
terdeteksi secara signifikan pada minggu ke-7 .
Mengingat bahwa pasien yang ketergantungan sering menunjukkan defisit kognitif,
analisis post hoc menunjukkan bahwa defisit memori kerja tidak terdeteksi setelah 1 minggu
(p=0,10) tetapi tampak setelah 4 minggu (p=0,013) dan menetap setidaknya 3 minggu (p=0,002).
Paradigma perilaku tambahan akan dibutuhkan untuk menggambarkan cirri-ciri sepenuhnya dari
defisit sosial yang berhubungan dengan ketergantungan opiate (Ornstein et al, 2000) yang
mungkin akan dilakukan pada model tikus kami.

Reseptor Opioid Delta dan Kappa Secara Dua Arah Meregulasi Perilaku Sosial dan Tonus
Hedonik selama Putus Obat Heroin yang Berkepanjangan
Selanjutnya, kami mengeksplorasi kontribusi DOR dan KOR pada putus heroin. Kedua
respetor ini bukan merupakan target molekular langsung untuk heroin tetapi secara kuat
meregulasi fisiologi opioid endogen dan berkontribusi, dengan sangat berbeda, dari perilaku
adiktif dan gangguan mood. Aktibitas DOR seperti-antidepresan dan KOR seperti-prodepresan
saat ini telah ditegakkan tetapi belum diperiksa dalam konteks putus heroin.
Tikus DOR KO menunjukkan peningkatan kerentanan emosional. Mengindikasikan
bahwa ketergantungan fisik muncul secara normal pada tikus DOR KO.Data-data yang ada
mengindikasikan bahwa tikus DOR KO mengalami sindrom putus heroin yang lebih berat,
seperti gangguan sosial ditambah dengan gejala seperti anhedonia. Kesimpulannya, aktivitas
DOR tidak secara signifikan berkontribusi pada tanda-tanda fisik dari ketergantungan heroin
tetapi mengontrol tonus hedonik pada putus heroin.
Berbeda dengan tikus DOR KO, tikus KOR KO polos tidak menunjukkan fenotipe mood
dalam kondisi dasar tetapi menunjukkan respon terhadap beberapa stressor. Oleh karena itu kami
mencoba hipotesis bahwa tikus KOR KO akan resisten terhadap perubahan mood setelah putus
heroin berkepanjangan. Analisis post-hoc mengungkapkan bahwa putus heroin secara signifikan
menurunkan Sis pada tikus WT (p<0,001), dan efek ini tidak ada pada tikus KOR KO (p=1,0).

Kami merangkum bahwa aktivitas KOR tonik meningkatan withdrawalakut dan dibutuhkan
untuk mengembangkan deficit SI setelah putus heroin berkepanjangan.
Penggunaan Fluoxetine Kronis Mencegah Perkembangan Defisit Memori Sosial namun
Tidak Defisit Memori Spasial
Untuk menguji apakah peningkatan fungsi 5-HT akan mencegah perkembangan defisit
memori yang sedang bekerja atau memori sosial, kami memeriksa efek dari pengobatan
antidepresan kronisselama periode pantang 4 minggu. Kami menggunakan fluoxetine, prototip
dari golongan SSRI, pada dosis rendah (E10 mg/kg/hari, per os) .Pemberian fluoxetine
kronissepenuhnya mencegah defisit yang diinduksi heroin ini, meskipun waktu interaksi antara
heroin-fluoxetine dan saline-fluoxetine pasangan tidak berbeda secara signifikan(P 1.0).
Penurunan SIS dan peningkatan kemampuan perawatan yang diamati pada tikus tanpa heroin
dicegah dengan pemberian fluoxetine kronis.
Pada YM (Gambar 3c), saaat heroin masih menurun spontan(F (1,56) 17,7; po0.001),
tidak adaefek yang menguntungkan dari fluoxetine (1,56) 1,4; p 0,24), dantidak terdapat
interaksi di antara faktor tersebut (F (1,56) 0,44;p 0,51). Jadi, potensiasi 5-HT tidak efektif
pada aspek sindrom abstinensi ini.

MOR Conditional Knockout (MOR CKO) pada DRN Mencegah Perkembangan Defisit
Memori Sosial tetapi Tidak Spasial pada Kondisi Pemantangan Heroin
Fluoxetine utamanya menargetkan neuron DRN 5-HT. MOR adalah target molekul utama
6-monoasetilmorfin danmorfin, dua metabolit aktif utama heroin pada tikus (Andersen et al,
2009). Meskipun reseptor inisebagian besar terdapat di seluruh sistem saraf, adabukti bahwa
Mors yang diekspresikan pada tingkat DRN mengontrol firing rates neuron 5-HT (Tao dan
Auerbach,2002, 2005). Karena itu kami menguji kontribusi populasi MOR ini terhadap
perkembangan defisit emosionaldalam kondisi pemantangan heroin.
Pada YM (Gambar 5d), terdapat efek yang kuat dari heroin(F (1,38) 23,5; p=0.001)
tapi bukan dari genotipe (F (1,38) 0,29; p 0.59), dengan tidak ada interaksi (F (1,38)
0,72;p 0,40). Oleh karena itu, DRN MORs tampaknya tidak berkontribusi terhadap gangguan
memori kerja terkait pemantangan heroindalam paradigma ini.

Diskusi
Studi ini menunjukkan contoh perilaku tikus dengan disfungsi emosional saat putus
heroin yang akan bermanfaat untuk mengetahui hubungan kecanduan dengan depresi. Hasilnya
telah dibuktikan bahwa DRN MORs memediasi perkembangan dari sosialisasi yang rendah pada
hewan putus heroin, secara keseluruhan menunjukkan tugas masing-masing reseptor opioid
dalam mengontrol atau mengendalikan mood dan fungsi social selama putus yang
berkepanjangan. MOR yang terstimulasi terus dari peningkatan dosis heroin merangsang
adaptasi otak jangka panjang, yang secara progresif akan mengarah ke defisiensi SI. Ditemukan
bahwa tikus-tikus yang putus heroin menunjukkan performance yang buruk di tes YM walaupun
ketergantungan dan gangguan emosional dari morfin dan heroin itu secara signifikan berbeda
tetapi tetap saja putus heroin itu akan mengarah ke social avoidance.
Kesimpulan
penelitian ini menunjukkan reseptor opioid memiliki peran esensial pada sindrom
emosional putus heroin. Selama pemanjangan putus heroin, DOR meregulasi homeostasis
hedonik, sementara persinyalan MOR pada jalur serotonergik dan kontrol perilaku sosial
bersama KOR. Temuan kami menekankan sistem opioid sebagai substrat krusial pada
persimpangan regulasi adiksi dan emosional.

Anda mungkin juga menyukai