BLOK KEGAWATDARURATAN
DISTICT MU,DELTA AND KAPPA OPIOID RECEPTOR MECHANISMS UNDERLIE
LOW SOCIABILITY AND DEPRESSIVE LIKE BEHAVIORS DURING HEROIN
ABSTINENCE
Kelompok A14
Ketua
: Fahrul Rozy
(1102013103)
Sekretaris
: Annisa Rahmadhania
(1102013038)
Anggota
: Chairunnissa
(1102012045)
(1102012156)
(1102013023)
(1102013034)
(1102013072)
(1102013093)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2016/2017
Penelitian pada kondisi putus asa pada kedua pemeriksaan suspensi ekor (TS) dan FS.
Didapatkan hasil Perilaku putus asa berkembang selama penghentian heroin tetapi hanya
terdeteksi secara signifikan pada minggu ke-7 .
Mengingat bahwa pasien yang ketergantungan sering menunjukkan defisit kognitif,
analisis post hoc menunjukkan bahwa defisit memori kerja tidak terdeteksi setelah 1 minggu
(p=0,10) tetapi tampak setelah 4 minggu (p=0,013) dan menetap setidaknya 3 minggu (p=0,002).
Paradigma perilaku tambahan akan dibutuhkan untuk menggambarkan cirri-ciri sepenuhnya dari
defisit sosial yang berhubungan dengan ketergantungan opiate (Ornstein et al, 2000) yang
mungkin akan dilakukan pada model tikus kami.
Reseptor Opioid Delta dan Kappa Secara Dua Arah Meregulasi Perilaku Sosial dan Tonus
Hedonik selama Putus Obat Heroin yang Berkepanjangan
Selanjutnya, kami mengeksplorasi kontribusi DOR dan KOR pada putus heroin. Kedua
respetor ini bukan merupakan target molekular langsung untuk heroin tetapi secara kuat
meregulasi fisiologi opioid endogen dan berkontribusi, dengan sangat berbeda, dari perilaku
adiktif dan gangguan mood. Aktibitas DOR seperti-antidepresan dan KOR seperti-prodepresan
saat ini telah ditegakkan tetapi belum diperiksa dalam konteks putus heroin.
Tikus DOR KO menunjukkan peningkatan kerentanan emosional. Mengindikasikan
bahwa ketergantungan fisik muncul secara normal pada tikus DOR KO.Data-data yang ada
mengindikasikan bahwa tikus DOR KO mengalami sindrom putus heroin yang lebih berat,
seperti gangguan sosial ditambah dengan gejala seperti anhedonia. Kesimpulannya, aktivitas
DOR tidak secara signifikan berkontribusi pada tanda-tanda fisik dari ketergantungan heroin
tetapi mengontrol tonus hedonik pada putus heroin.
Berbeda dengan tikus DOR KO, tikus KOR KO polos tidak menunjukkan fenotipe mood
dalam kondisi dasar tetapi menunjukkan respon terhadap beberapa stressor. Oleh karena itu kami
mencoba hipotesis bahwa tikus KOR KO akan resisten terhadap perubahan mood setelah putus
heroin berkepanjangan. Analisis post-hoc mengungkapkan bahwa putus heroin secara signifikan
menurunkan Sis pada tikus WT (p<0,001), dan efek ini tidak ada pada tikus KOR KO (p=1,0).
Kami merangkum bahwa aktivitas KOR tonik meningkatan withdrawalakut dan dibutuhkan
untuk mengembangkan deficit SI setelah putus heroin berkepanjangan.
Penggunaan Fluoxetine Kronis Mencegah Perkembangan Defisit Memori Sosial namun
Tidak Defisit Memori Spasial
Untuk menguji apakah peningkatan fungsi 5-HT akan mencegah perkembangan defisit
memori yang sedang bekerja atau memori sosial, kami memeriksa efek dari pengobatan
antidepresan kronisselama periode pantang 4 minggu. Kami menggunakan fluoxetine, prototip
dari golongan SSRI, pada dosis rendah (E10 mg/kg/hari, per os) .Pemberian fluoxetine
kronissepenuhnya mencegah defisit yang diinduksi heroin ini, meskipun waktu interaksi antara
heroin-fluoxetine dan saline-fluoxetine pasangan tidak berbeda secara signifikan(P 1.0).
Penurunan SIS dan peningkatan kemampuan perawatan yang diamati pada tikus tanpa heroin
dicegah dengan pemberian fluoxetine kronis.
Pada YM (Gambar 3c), saaat heroin masih menurun spontan(F (1,56) 17,7; po0.001),
tidak adaefek yang menguntungkan dari fluoxetine (1,56) 1,4; p 0,24), dantidak terdapat
interaksi di antara faktor tersebut (F (1,56) 0,44;p 0,51). Jadi, potensiasi 5-HT tidak efektif
pada aspek sindrom abstinensi ini.
MOR Conditional Knockout (MOR CKO) pada DRN Mencegah Perkembangan Defisit
Memori Sosial tetapi Tidak Spasial pada Kondisi Pemantangan Heroin
Fluoxetine utamanya menargetkan neuron DRN 5-HT. MOR adalah target molekul utama
6-monoasetilmorfin danmorfin, dua metabolit aktif utama heroin pada tikus (Andersen et al,
2009). Meskipun reseptor inisebagian besar terdapat di seluruh sistem saraf, adabukti bahwa
Mors yang diekspresikan pada tingkat DRN mengontrol firing rates neuron 5-HT (Tao dan
Auerbach,2002, 2005). Karena itu kami menguji kontribusi populasi MOR ini terhadap
perkembangan defisit emosionaldalam kondisi pemantangan heroin.
Pada YM (Gambar 5d), terdapat efek yang kuat dari heroin(F (1,38) 23,5; p=0.001)
tapi bukan dari genotipe (F (1,38) 0,29; p 0.59), dengan tidak ada interaksi (F (1,38)
0,72;p 0,40). Oleh karena itu, DRN MORs tampaknya tidak berkontribusi terhadap gangguan
memori kerja terkait pemantangan heroindalam paradigma ini.
Diskusi
Studi ini menunjukkan contoh perilaku tikus dengan disfungsi emosional saat putus
heroin yang akan bermanfaat untuk mengetahui hubungan kecanduan dengan depresi. Hasilnya
telah dibuktikan bahwa DRN MORs memediasi perkembangan dari sosialisasi yang rendah pada
hewan putus heroin, secara keseluruhan menunjukkan tugas masing-masing reseptor opioid
dalam mengontrol atau mengendalikan mood dan fungsi social selama putus yang
berkepanjangan. MOR yang terstimulasi terus dari peningkatan dosis heroin merangsang
adaptasi otak jangka panjang, yang secara progresif akan mengarah ke defisiensi SI. Ditemukan
bahwa tikus-tikus yang putus heroin menunjukkan performance yang buruk di tes YM walaupun
ketergantungan dan gangguan emosional dari morfin dan heroin itu secara signifikan berbeda
tetapi tetap saja putus heroin itu akan mengarah ke social avoidance.
Kesimpulan
penelitian ini menunjukkan reseptor opioid memiliki peran esensial pada sindrom
emosional putus heroin. Selama pemanjangan putus heroin, DOR meregulasi homeostasis
hedonik, sementara persinyalan MOR pada jalur serotonergik dan kontrol perilaku sosial
bersama KOR. Temuan kami menekankan sistem opioid sebagai substrat krusial pada
persimpangan regulasi adiksi dan emosional.