Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN DAN

ASUHAN KEPERAWATAN

CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID HEMORRHAGE


(CVA-SAH)

Disusun Oleh :
I PUTU WIDYA MUSTIKA
NIM: 015.02.0119

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM
MALANG
2016

LAPORAN PENDAHULUAN
CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID HEMORRHAGE
(CVA-SAH)
1. DEFINISI
Stroke

atau

penyakit

serebrovaskular

setiap gangguan

neurologik mendadak

pembatasan atau

terhentinya aliran

mengacu

pada

yang terjadi

akibat

darah melalui

system

suplai arteri otak.( Sylvia A. Price, 2006 )


Menurut American Association of Neuroscience

Nurses

(AANN)

pada

tahun

2009

mendefinisikan

subarakhnoid

hemorrhage (SAH) adalah stroke perdarahan dimana darah dari


pembuluh darah memasuki ruang subarachnoid yaitu ruang di
antara

lapisan

dalam

(Pia

mater)

dan

lapisan

tengah

(arachnoid mater) dari jaringan selaput otak (meninges).


Penyebab paling umum adalah pecahnya tonjolan (aneurisma)
dalam arteri basal otak atau pada sirkulasi willisii.
2. ETIOLOGI
Dewanto

et

all

(2009)

menyebutkan

bahwa

perdarahan subarakhnoid meliputi:


1. Ruptur aneurisma sakular
(70-75%)
2. Malformasi arteriovena
3. Ruptur aneurisma fusiform
4. Ruptur aneurisma mikotik
5. Kelainan
darah:
diskrasia
darah,

etiologi

penggunaan

antikoagulan, dan gangguan pembekuan darah


6. Infeksi
7. Neoplasma
8. Trauma
3. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan risiko
tinggi

aneurisma

SAH

menurut

Feigin

et

al.

(2005)

Teunissen et al. (1996) dalam Lemonick (2010) meliputi:


a. Riwayat keluarga dengan aneurisma intrakranial
b. Hipertensi
c. Merokok
d. Atherosklerosis
e. Kontrasepsi oral
f. Usia lanjut
g. Jenis kelamin
h. Pecandu alkohol berat

dan

4. PATOFISIOLOGI
CVA subarakhnoid
disebabkan
setelah

oleh

hemorrhage

rupturnya

perdarahan,

(SAH)

aneurisma

rongga

sebagian

besar

serebral.

subarakhnoid

Segera

dipenuhi

dengan

eritrosit di CSF. Eritrosit ini mengikuti salah satu dari


beberapa

jalan

kecil

berikatan menjadi

di

otak.

bekuan pada

Beberapa

eritrosit

area perdarahan.

akan

Sebagian

besar eritrosit akan berikatan dengan arachnoid villi dan


trabekulae. Akibatnya, otak akan mengalami edema. Eritrosit
juga berpindah dari ruang subarakhnoid melalui fagositosis.
Proses

ini

terjadi

dalam

24

jam

setelah

perdarahan.

Makrofag CSF, muncul dari sel mesotelial arakhnoid atau


memasuki
dapat

ruang

secara

merubahnya
Keadaan

subarakhnoid
langsung

menjadi

ini

berkurang,

memecah

bekuan

menyebabkan
sehingga

melalui

darah

eritrosit
(Hayman

aliran

menyebabkan

darah

infark akan

jaringan

meningeal,

di
et

ke

CSF

al.,

atau
1989).

otak

terjadinya

jaringan otak dan lama-lama akan


infark serebri.
Selanjutnya,

pembuluh

menjadi

iskemi

pada

menyebabkan terjadinya

otak

yang

menyebabkan gangguan/

mengalami

iskemi/

kerusakan pada

sistem

saraf. Pada pasien dengan SAH yang masih hidup, sering


mengalami kelumpuhan pada saraf kranial kiri, paralisis,
aphasia,

kerusakan

kognitif,

kelainan

perilaku,

dan

gangguan psikiatrik (Bellebaum et al., 2004 dalam American


Association of Neuroscience Nurses, 2009).
5. PATHWAY
Ruptur

aneurisma

sakular,

Malformasi

arteriovena,

Ruptur

aneurisma fusiform, Ruptur aneurisma mikotik, Kelainan darah:


diskrasia

darah,

penggunaan

antikoagulan,

dan

gangguan

pembekuan darah, infeksi, neoplasma, trauma


Pembuluh darah
Ekstravasasi darah dari pembuluh darah arteri di otak
Masuk ke dalam ruang subarakhnoid
Menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama
cairan serebrospinalis

Temporal

Parietal

Penekanan
jaringan otak

Edema
serebri

Risiko peningkatan
TIK

Infark serebri

CVA

Penurunan perfusi jaringan


serebral

Defisit neurologis

Dominan

Frontal
Gangguan :
penilaian
,penampilan
Gangguan
afek&proses
pikir,fungs
i motorik

Nondomnian

Gangguan
memori
Kejang
psikomotor
Tuli
Konfabulasi
(mengingat

Oksipita

Ganggua
Afasia (tidak
Disorientas
Kemampuan
n
mampu
i
penglihata
sensori
berbicara dan
n
Apraksia
k
menulis)
berkurang
(kehilangan
bilate
Agrafia
dan buta
kemampuan
ral
(kehilangan
Risiko
melakukan
kemampuan
cidera
gerakan
menulis)
pengalaman
Kehilanga
bertujuan)
Penurun
Agnosia
imajiner)
n kontrol
Distorsi
an
(tidak mampu
volunter
konsep
kesadar
mengenali
Hemiplegia dan
ruang
Kerusakan
hemiparese
6. MANIFESTASI KLINIS strimuli
Hilang
komunikas
sensori)
Menurut Hunt dan Hess
(1968)
et al.
2009,
i verbaldalam Dewanto G,
Ketidakefektifa
kesadaran
Kerusakan
Defisit
perawatan
n bersihan
pada
sisi
gejala CVA
SAH dapat
dilihat dari derajat nya,
yaitu:
mobilitas
diri:
jalan nafas
tubuh yang
fisik
Derajat Mandi
GCS dan
Gejala
berlawanan

1
2

15

Asimtomatik atau nyeri kepala minimal

15

serta kaku kuduk ringan.


Nyeri kepala moderat sampai berat, kaku
kuduk, defisit neurologis tidak ada

13-

(selain parese saraf otak).


Kesadaran menurun (drowsiness) atau

14
8-12

defisit neurologis fokal.


Stupor, hemiparesis moderate sampai
berat, permulaan desebrasi, gangguan

3-7
Pasien

vegetatif.
Koma berat, deserebrasi.

dengan

perdarahan

sub

arachnoid

didapatkan

gejala klinis Nyeri kepala mendadak, adanya tanda rangsang


meningeal (mual, muntah, fotofobia/intoleransi cahaya, kaku
kuduk), penurunan kesadaran, serangan epileptik, defisit
neurologis

fokal

(disfasia,

hemiparesis,

hemihipestesia

(berkurangnya ketajaman sensasi pada satu sisi tubuh) .

Kesadaran

sering

gejala/tanda

terganggu

rangsangan

dan

sangat

meningeal.

bervariasi.

Edema

papil

Ada
dapat

terjadi bila ada perdarahan sub arachnoid karena pecahnya


aneurisma pada arteri (Dewanto et al., 2009).
Onset dari gejalanya biasanya tiba-tiba perjalanan
penyakit perdarahan subarochnoid yang khas dimulai dengan
sakit kepala yang sangat hebat (berbeda dengan sakit kepala
biasa), onset biasanya 1-2 detik hingga 1 menit dan sakit
kepalanya
yang

sedemikian

dilaksanakan

rupa

oleh

sehingga

penderita.

mengganggu
Sakit

aktivitas

kepala

makin

progresif, kemudian diikuti nyeri dan kekakuan pada leher,


mual

muntah

sering

dijumpai

perubahan

kesadaran

(50%)

kesadaran hilang umumnya 1-2 jam, kejang sering dijumpai


pada fase
sering
onset

akut (sekitar

diakibatkan
saat

oleh

melakukan

10-15%) perdarahan
arterivena

aktivitas

24-36

subarochnoid

malformasi.
jam

Umumnya

setelah

onset

dapat timbul febris yang menetap selama beberapa hari.


7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Radiologis
1) CT Scan
Hasil yang di dapatkan menunjukkan bahwa darah
SAH pada CT Scan tanpa bentuk berarti pada ruang
subarakhnoid

disekitar

otak,

kemudian

membentuk

sesuatu yang secara normal berwarna gelap muncul


menjadi putih. Efek ini secara khas muncul sebagai
bentuk bintang putih pada pusat otak seperti gambar
berikut ini.

Sedangkan lokasi darah pada umumnya terdapat di


basal

cisterns,

fisura

sylvian,

atau

fisura

interhemisper yang mengindikasikan ruptur saccular


aneurysma. Darah berada di atas konfeksitas atau
dalam

parenkim

mengindikasikan

superfisial
arteriovenous

otak

sering

malformation

mycotic aneurysm rupture (AANN, 2009).


2) Pungsi lumbar
Hasilnya
menunjukkan
bahwa

atau

terdapat

xanthochromia (CSF berwarna kuning yang disebabkan


oleh

rusaknya

hemoglobin)

dimana

sensitivitas

pemeriksaan ini lebih besar dari 99% (AANN, 2009).


3) CTA (computed tomography angiography)
Dilakukan
jika
diagnosis
SAH
telah
dikonfirmasi dengan CT Scan atau LP.
4) Rotgen toraks untuk melihat adanya edema pulmonal
atau aspirasi.
5) Pemeriksaan laboratorium
6) Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya
anemia

atau

leukositosis

setelah

terjadinya

bangkitan atau infeksi sistemik (Dewanto et al.,


2009).
7) Adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia
atau trombosis (Weiner, 2000).
8) Pemeriksaan
koagulasi untuk

menentukan

riwayat

koagulopati sebelumnya.
9) Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia
akibat salt wasting.
8. PENATALAKSANAAN
a. Pemeriksaan umum
1) Sistem jalan nafas dan kardiovaskuler. Pantau ketat
di unit perawatan intensif atau lebih baik di unit
perawatan neurologis.
2) Lingkungan. Pertahankan

tingkat

bising

yang

rendah

dan batasi pengunjung sampai aneurisma ditangani.


3) Nyeri. Morfin sulfat (2-4 mg IV setiap 2-4 jam) atau
kodein (30-60 mg IM setiap 4 jam).
4) Profilaksis gastrointestinal. Ranitidin (150 mg PO 2x
sehari atau 50 mg IV setiap 8-12 jam) atau lansoprazol
(30 mg PO sehari)
5) Profilaksis deep
high

stockings

venous
dan

thrombosis.

rangkaian

Gunakan

peralatan

thigh-

kompresi

pneumatik;

heparin

(5000

SC

3x

sehari)

setelah

terapi aneurisma.
6) Tekanan darah. Pertahankan tekanan darah sistolik 90140

mmHg

sebelum

terapi

aneurisma,

tekanan darah sistolik < 200 mmHg.


7) Glukosa
serum.
Pertahankan
kadar

kemudian
80-120

jaga

mg/dl;

gunakan sliding scale atau infus kontinu insulin jika


perlu
8) Suhu inti tubuh. Pertahankan pada 37,2 0C; berikan
asetaminofen/parasetamol

(325-650

mg

PO

setiap

4-6

jam) dan gunakan peralatan cooling bila diperlukan.


9) Calcium antagonist. Nimodipin (60 mg PO setiap 4 jam
selama 21 hari).
10) Terapi
antifibrinolitik

(opsional).

Asam

aminokaproat (24-48 jam pertama, 5 g IV dilanjutkan


dengan infus 1,5 g/jam)
11) Antikonvulsan. Fenitoin (3-5 mg/kg/hari PO atau IV)
atau asam valproat (15-45 mg/kg/hari PO atau IV)
12) Cairan dan hidrasi. Pertahankan euvolemi (CVP, 58mmHg); jika timbul vasospasme serebri, pertahankan
hipervolemi

(CVP,

8-12

mmHg

atau

PCWP

capillary wedge pressure) 12-16 mmHg.


13) Nutrisi.
Coba
asupan
oral
(setelah

(pulmonal
evaluasi

menelan) untuk alternatif lain, lebih baik pemberian


makanan enteral.
b. Terapi lain
1) Surgical clipping. Dilakukan dalam 72 jam pertama
2) Endovascular coiling. Dilakukan dalam 72 jam pertama
c. Terapi medikamentosa
1) Edatif tranquilizer : fenobarbital (luminal) dan
diazepam (valium) u ntuk menghindari kegelisahan dan
tensi yang meningkat
2) Antiemetik: dimenhidrat
3) Analgetika: kodein fosfat, meperidin HCL, morfin, dan
fentanil
4) Antikonvulsan :
fenobarbital
perhari
5) Pencahar:

fenitoin

dengan
diotil

(dilantin),
mg

karbamazepin,

dosis

30

peroral

Na,

sulfosuksinat,

kali

psilium

hidrofilik musiloid sedium 100 mg peroral perhari

6) Antasida : magnesium aluminium hidroksida, simetidin,


ranitidine
7) Diuretik/ antiedema
: furosemid (lasix), manitol
8) Steroid
: deksametason (oradexon, kalmethasone)
9) Antifibrinolitik
: epsilon-amino-kaproat (amicar),
asam traneksamik. Pemberian anti fibrolitik dianggap
bermanfaat
lisis

untuk

atau

memecah

bekuan

perdarahan

darah

ditempat

ulang

yang

perdarahan
10) Antidiuretik
: vasopresin (pitresin)
11) Obat hipotensif intrakranial
:

akibat

mengalami

thiopental

(pentotal)
d. Perawatan jangka panjang
1) Rehabilitasi. Terapi fisik, pekerjaan, dan bicara
2) Evaluasi neuropsikologis. Lakukan pemeriksaan global
dan domain specifik, rehabilitasi kognitif
3) Depresi. Pengobatan antidepresan dan psikoterapi
Nyeri kepala kronis. NSAIDs, Antidepresan trisiklik,
atau SSRIs; gabapetin.
9. KOMPLIKASI UMUM
a. Hidrosefalus. Masukkan drain ventrikular eksternal atau
lumbar.
b. Perdarahan

ulang.

Berikan

darurat aneurisma.
c. Vasospasme
serebri.
hipervolemi

atau

fenilefrin,

terapi

Beri

hipertensi

norepinefrin,

suportif

nimodipin;
yang
atau

dan

terapu

pertahankan

diinduksi

dengan

dopamin;

terapi

endovascular (angioplasti transluminal atau vasodilator


langsung)
d. Bangkitan.
mg/menit)
fenitoin

Lorazepam
atau

(20

(0,1

diazepam

mg/kg

IV

mg/kg,

5-10
bolus

mg,

dengan

kecepatan

dilanjutkan

dengan

dengan

kecepatan

mg/menit sampai dengan 30 mg/kg).


e. Hiponatremia.
Pada
SIADH:
restriksi

cairan;

<

50
Pada

serebral salt wasting syndrome: secara agresif gantikan


kehilangan cairan dengan 0,9% NaCl atau NaCl hipertonis.
f. Aritmia miokardia. Metoprolol (12,5-100 mg PO 2x
sehari); evaluasi fungsi ventrikel; tangani aritmia
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN CEREBROVASCULAR ACCIDENT
SUBARACHNOID HEMORRHAGE (CVA-SAH)

1. PENGKAJIAN
a. Anamnesis
1) Identitas klien mencakup nama, usia, jenis kelamin,
pendidikan,

alamat,

pekerjaan,

agama,

suku

bangsa,

tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosa


medis.
2) Keluhan utama pada umumnya akan terlihat bila sudah
terjadi

disfungsi

didapatkan
tanda

neurologis.

meliputi:

rangsang

Nyeri

Keluhan

kepala

meningeal

yang

sering

mendadak,

adanya

(mual,

muntah,

fotofobia/intoleransi cahaya, kaku kuduk), penurunan


kesadaran,
fokal

serangan

(disfasia,

(berkurangnya
tubuh).
3) Riwayat

adanya
mendadak

aktivitas,

defisit

hemiparesis,

ketajaman

penyakit

meliputi
keluhan

epileptik,

neurologis

hemihipestesia

sensasi

pada

sekarang

yang

mungkin

riwayat

trauma,

lumpuh

keluhan

pada

pada

satu

didapatkan

riwayat

saat

sisi

klien

jatuh,

melakukan

gastrointestinal

seperti

mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar, di


samping

gejala

kelumpuhan

separuh

badan

atau

ganggguan fungsi otak yang lain, selisah, letargi,


lelah, apatis, perubahan pupil, dll.
4) Riwayat penyakit dahulu meliputi penggunaan
obatan

(analgesik,

sedatif,

antidepresan,

obatatau

perangsang syaraf), keluhan sakit kepala terdahulu,


riwayat

trauma

kepala,

kelainan

kongenital,

peningkatan kadar gula darah dan hipertensi.


5) Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan
adanya

keluarga

diabetes.
6) Pengkajian

yang

psikososial

menderita

tentang

hipertensi

meliputi

status

atau
emosi,

kognitif, dan perilaku klien.


7) Kemampuan koping normal meliputi pengkajian mengenai
dampak yang timbul pada klien seperti ketakutan akan
kecacatan,
melakukan

rasa

cemas,

aktivitas

rasa

secara

terhadap dirinya yang salah.

ketidakmampuan

optimal,

dan

untuk

pandangan

8) Pengkajian sosioekonomispiritual mencakup pengkajian


terhadap

fungsi

neurologis

neurologis

yang

akan

dengan

terjadi

dampak

pada

gangguan

gaya

hidup

individu.
b. Pemeriksaan fisik
1) Tingkat kesadaran
Tingkat

Klinis

Responsivitas
Terjaga

Normal

Sadar

Dapat tidur lebih dari biasanya, sedikit


bingung saat pertama kali terjaga, tetapi

Letargi

berorientasi sempurna ketika terbangun.


Mengantuk tetapi dapat mengikuti perintah

Stupor

sederhana ketika dirangsang.


Sangat

Semikomatosa

sulit

konsisten

untuk

dalam

dibangunkan,
mengikuti

tidak

perintah

sederhana atau berbicara satu kata atau


koma

frase pendek.
Gerak bertujuan ketika dirangsang tidak
mengikuti

perintah,

atau

berbicara

koheren.
Dapat
refleks

berespon
ketika

dengan

postur

distimulasi

atau

secara
dapat

tidak beresepon pada setiap stimulus.

Respon motorik
Menurut
6

Respon verbal
Orientasi

Membuka mata
Spontan

Terlokalisasi

Bingung

Terhadap

Menghindar

Kata

panggilan

Fleksi

dimengerti

Terhadap nyeri

abnormal

Hanya suara

Tidak dapat

Ekstensi

Tidak ada

tidak

abnormal
Tidak ada
2) Keadaan umum
penderita dalam kesadaran menurun atau
terganggu postur tubuh
adanya

kelemahan

pada

mengalami ganguan akibat


sisi

tubuh

sebelah

atau

keseluruhan lemah adanya gangguan dalam berbicara


kebersihan

diri

kurang

serta

tanda-tanda

vital

(hipertensi).
3) Sistem Integumen

Kulit tergantung pada keadaan penderita

apabila kekurangan O2 kulit akan kebiruan


kekurangan cairan turgor jelek berbaring terlalu
lama atau ada penekanan pada kulit yang lama akan
timbul dekubitus.

Kuku jika penderita kekurangan O2 akan tampak

kebiruan
4) Pemeriksaan Kepala atau Leher
Bentuk normal simetris
Bentuk kadang tidak simetris karena adanya
kelumpuhan otot daerah muka tampak gangguan pada
mata kadaan onga mulut kotor karena kuang perawatan
diri . Bentuk normal pembesaran kelenjar thyroid
tidak ada
5) Sistem pernafasan
Adanya pernafasan dispnoe, apnoe atau normal serta
obstrusi jalan nafas, kelumpuhan otot pernafasan
penggunaan otot-otot bantu pernafasan, terdapat
suara nafas ronchi dan whezing.
6) Sistem kardio vaskuler
Bila penderita tidak sadar dapat terjadi
hipertensi atau hipotensi, tekanan intrakranial
meningkat serta tromboflebitis, nadi bradikardi,
takikardi atau normal

7) Sistem pencernaan
Adanya distensi perut, pengerasan feses, penurunan
peristaltik usus, gangguan BAB baik konstipasi
atau diare .
8) Ekstrimitas
Adanya kelemahan otot, kontraktur sendi dengan
nilai ROM : 2, serta kelumpuhan.
9) Pemeriksaan urologis
Pada penderita dapat terjadi retensi urine,
incontinensia infeksi kandung kencing, serta
didapatkannya nyeri tekan kandung kencing.
10) Pemeriksaan nervus
Saraf Kranial I (olfaktorius/ penciuman)

Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan

pada fungsi penciuman.


Saraf Kranial II (optikus/ penglihatan)
Disfungsi
jaras

persepsi

sensorik

primer

di

karena
antara

gangguan
mata

dan

korteks visual.
Saraf Kranial III, IV, dan VI (okulomotorius/
mengangkat
abdusens)

kelopak
:

okularis
gerakan

mata,

Apabila

mengakibatkan

visual

akibat

paralisis

didapatkan
konjugat

troklearis,

otot-otot

penurunan

kemampuan

unilateral

trigeminus,

kemampuan

koodinasi

stroke

seisi
di

sakit.
Saraf Kranial V (trigeminus)
saraf

dan

didapatkan
gerakan

sisi

yang

paralisis
penurunan
mengunyah.

Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral


dan

kelumpuhan

seisi

otot-otot

internus dan eksternus.


Saraf Kranial VII (fasialis)
pengecapan

dalam

batas

pterigoideus
:

normal,

persepsi
wajah

asimetris, otot wajah tertarik ke bagian sisi


yang sehat.

Saraf Kranial VIII (vestibulokoklearis)


tidak

dietmukan

perseptif.
Saraf Kranial
vagus)

dan

Kemampuan

konduktif
X

otot

dan

tuli

(glosofaringeus

menelan

kesukaran membuka mulut.


Saraf Kranial XI (aksesoris)
atrofi

IX

tuli

kurang
:

trapesius.
Saraf Kranial XII (hipoglosus)

baik,

tidak

sternokleidomastoideus

dan

ada
dan

: lidah

simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan


fasikulasi. Indra pengecap normal.
11) Pemeriksaan neurologis
a) Tanda-tanda rangsangan meningen
Kaku kuduk umumnya positif, tanda kernig umumnya
positif, tanda brudzinsky I, II, III, IV umumnya
positif, babinsky umumnya positif.
b) Pemeriksaan fungsi sensorik
Terdapat gangguan penglihatan, pendengaran atau
pembicaraan.

12) Sistem Motorik


Refleks : pada fase akut refleks fisiologis sisi
yang

lumpuh

hari

refleks

akan

menghilang.

fisiologis

Setelah

akan

beberapa

muncul

kembali

didahului dengan refleks patologis.


Gerakan involunter :pada umumnya kejang.
13) Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan

darah

lengkap

untuk

mengetahui

adanya

anemia atau leukositosis setelah terjadinya bangkitan


atau infeksi sistemik
adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia
atau trombosis
Pemeriksaan
koagulasi
koagulopati sebelumnya.

untuk

menentukan

riwayat

Ureum

dan

elektrolit

untuk

menentukan

hiponatremia

akibat salt wasting.


Glukosa serum untuk menentukan hipoglikemi
Rotgen toraks untuk melihat adanya edema

pulmonal

atau aspirasi.
EKG 12 sadapan untuk melihat aritmia jantung atau
perubahan segmen ST (Dewanto et al., 2009)
CT scan kepala tanpa kontras dilakukan < 24 jam sejak
awitan.
Pungsi lumbal bila CT scan kepala tampak normal.
CTA (computed tomography angiography) dilakukan jika
diagnosis SAH telah dikonfirmasi dengan CT Scan atau
LP

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Risiko
peningkatan
TIK
yang
berhubungan
dengan
peningkatan volume intrakranial,
penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan
perdarahan intraserebri, oklusi otak, vasospasme, dan
edema otak.
c. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan
dengan akumulasi sekret, penurunan mobilitas fisik, dan
penurunan tingkat kesadaran.
d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/
hemiplegia, kelemahan neuromuskular pada ekstremitas.
e. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan penurunan
sensari, luas lapang pandang.
f. Defisit
perawatan
diri
:
mandi
dan
eliminasi
berhubungan dengan kelemahan neuromuskular, menurunnya
kekuatan dan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
g. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek
dari kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak,
kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan
kelemahan secara umum.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Risiko
peningkatan
TIK
yang
berhubungan
dengan
peningkatan volume intrakranial, penekanan jaringan
otak, dan edema serebri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK.

Kriteria hasil:
- Tidak gelisah
- Keluhan nyeri kepala tidak ada
- Mual dan muntah tidak ada
- GCS 456
- Tidak ada papiledema
- TTV dalam batas normal
Intervensi
Rasional
Kaji
keadaan
klien, Memperioritaskan
penyebab
koma/
penurnan intervensi,
status
perfusi
jaringan
dan neurologis/
tanda-tanda
kemungkinan
penyebab kegagalan untuk menentukan
peningkatan TIK
kegawatan
atau
tindakan
pembedahan.
Memonitor TTV tiap 4 jam.
Suatu keadaan normal bila
sirkulasi
serebri
terpelihara dengan baik.
Peningkatan
TD,
bradikardi,
disritmia,
dispnea
merupakan
tanda
peningkatan
TIK.
Peningkatan
kebutuhan
metabolisme dan O2 akan
meningkatkan TIK.
Evaluasi pupil.
Reaksi
pupil
dan
pergerakan
kembali
bola
mata merupakan tanda dari
gangguan saraf jika batang
otak
terkoyak.
Keseimbangansaraf
antara
simpatis dan parasimpatis
merupakan respons refleks
saraf kranial.
Kaji peningkatan istirahat Tingkah laku non verbal
dan tingkah laku pada pgi merupakan
indikasi
hari.
peningkatan
TIK
atau
memberikan refleks nyeri
dimana klien tidak mampu
mengungkapkan
keluha
secara verbal.
Palpasi pembesaran bladder Dapat meningkatkan respon
dan
monitor
adanya otomatis
yang
potensial
konstipasi.
menaikkan TIK.
Obaservasi
kesadaran Perubahan
kesadaran
dengan GCS
menunjukkan
peningkatan
TIK
dan
berguna
untuk
menentukan
lokasi
dan

perkembangan penyakit.
Kolaborasi:
O2 sesuai indikasi
Diuretik osmosis
Steroid (deksametason)
Analgesik
Antihipertensi

Mengurangi hipoksemia.
Mengurangi edema.
Menurunkan inflamasi dan
edema.
Mengurangi nyeri
Mengurangi
kerusakan
jaringan.

b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan


perdarahan intraserebri, oklusi otak, vasospasme, dan
edema otak.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
2x24 jam perfusi jaringan otak dapat tercapai secara
optimal.
Kriteria hasil:
- Tidak gelisah
- Keluhan nyeri kepala , mual, kejang tidak ada
- GCS 456
- Pupil isokor
- Refleks cahaya +
- TTV dalam rentang normal (TD: 110-120/80-90 mmHg;
nadi: 60-100 x/menit; suhu: 36,5-37,50C; RR: 16-20
x/menit)
Intervensi
Rasional
Tirah baring tanpa bantal.
Menurunkan
resiko
terjadinya herniasi otak.
Monitor
asupan
dan Mencegah
terjadinya
keluaran.
dehidrasi.
Batasi pengunjung.
Rangsangan
aktivitas
dapat
meningkatkan
tekanan intrakranial.
Kolaborasi:
Cairan
perinfus
dengan Meminimalkan
fluktuasi
ketat.
pada beban vaskuler dan
TIK, restriksi cairan dan
cairan dapat menurunkan
Monitor AGD bila perlu O2 edema.
tambahan.
Adanya asidosis disertai
pelepasan O2 pada tingkat
sel
dapat
menyebabkan
Steroid
iskemia serebri.
Aminofel.
Menurunkan
permeabilitas
Antibiotik
kapiler
Menurunkan edema serebri
Menurunkan konsumsi sel/
metabolik dan kejang.

c. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan


dengan akumulasi sekret, penurunan mobilitas fisik, dan
penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2x24 jam
klien mampu meningkatkan dan mempertahankan jalan nafas
tetap bersih dan mencegah aspirasi.
Klriteria hasil:
- Bunyi nafas bersih
- Tidak ada penumpukan sekrest di saluran nafas
- Dapat melakukan batuk efektif
- RR 16-20 x/menit
Intervensi
Rasional
Kaji keadaan jalan Obstuksi dapat terjadi karena
nafas
akumulasi sekret ata sisa cairan
mukus, perdarahan.
Evaluasi pergerakan Pergerakan dada simetris dengan
dada dan auskultasi suara
nafas
dari
paru-paru
kedua lapang paru.
mengindikasikan
tidak
ada
sumbatan.
Ubah posisi setap 2 Mengurangi risiko atelektasis.
jam dengan teratur.
Kolaborasikan:
Mengatur
venstilasi
dan
Aminofisil, alupen, melepaskan
sekret
karena
dan bronkosol.
relaksasi otot.

DAFTAR PUSTAKA
American Association of Neuroscience Nurses (AANN). 2009. Care
of the Patient with Aneurysmal Subarachnoid Haemorrhage.
www.aann.org
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan

Gangguan

Sistem

Persarafan.

Jakarta:

Salemba

Medika. Hal: 58.


Muttaqin A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Weiner, Howard L. 2000. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Ed. 4.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dewanto G, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tata
Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.
Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai