Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dyspepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau
kumpulan gejala / keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman diulu
hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa
penuh/begah.
Keluhan dyspepsia sering dijumpai dalam praktek praktis sehari- hari.
Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada
praktek gastroenterologist merupakan kasus dyspepsia ini. Secara global,
prevalensi dari dyspepsia bervariasi antara 7% - 45%. Untuk prevalensi di Asia,
Ghoshal et al. (2011) memperoleh data sekitar 8% - 30%. Namun, di Indonesia
hingga saat ini belum ada data epidemiologi yang jelas.1
Dyspepsia bukan diagnosis, melainkan sindrom yang harus dicari
penyebabnya. Dyspepsia dibedakan menjadi dyspepsia penyebab organik dan
fungsional. Dyspepsia organik dapat disebabkan kelainan struktural, biokimia,
atau sistemik. Dyspepsia fungsional adalah dyspepsia yang setelah pemeriksaan
mendalam tidak ditemukan adanya penyebab organik.2
Dyspepsia fungsional adalah suatu kondisi yang sangat umum dengan
prevalensi tinggi di seluruh dunia yang dapat mempengaruhi kualitas hidup
pasien. Dyspepsia mempengaruhi sampai 40 persen orang dewasa setiap tahun
dan sering didiagnosis sebagai dyspepsia (nonulcer) fungsional. Gejala berupa
kepenuhan setelah makan, cepat kenyang, atau nyeri epigastrium atau terbakar
tanpa adanya penyebab struktural.3
Dyspepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok,yakni postprandial
distress syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distress syndrome
mewakili kelompok dengan perasaan begah setelah makan dan perasaan cepat
kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih

konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya
postprandial distress syndrome.
Studi studi di Amerika dan Eropa menunjukkan prevalensi dyspepsia
pada orang dewasa per tahun berkisar antara 25-40% dengan insidens antara 19%. Hanya setengahnya yang mencari pertolongan medis, sebagian lain tidak
diobati atau berusaha diobati sendiri dengan bantuan apoteker.2
Menurut profil data kesehatan Indonesia tahun 2011 yang diterbitkan oleh
Depkes RI pada tahun 2012, dyspepsia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat
inap di rumah sakit tahun 2010, pada urutan ke-5 dengan angka kejadian kasus
sebesar 9.594 kasus pada pria dan 15.122 kasus pada wanita. Sedangkan untuk 10
besar penyakit rawat jalan di rumah sakit tahun 2010, dyspepsia berada pada
urutan ke-6 dengan angka kejadian kasus sebesar 34.981 kasus pada pria dan
53.618 kasus pada wanita, jumlah kasus baru sebesar 88.599 kasus.4
Prevalensi dari dyspepsia sendiri berhubungan dengan berbagai macam
faktor: usia, jenis kelamin, suku, kebiasaan (pola makan, merokok, minum
alkohol), infeksi H.pylori, pengaruh obat tertentu, hubungan sosial- ekonomi, dan
hubungan psikologis.1
Faktor psikis dan emosi seperti pada kecemasan dan depresi dapat
mempengaruhi fungsi saluran cerna yang mengakibatkan perubahan sekresi asam
lambung. Mempengaruhi motilitas dan vaskularisasi mukosa lambung serta
menurunkan ambang rangsang, nyeri. Menurut Tantoro (2003) pasien dyspepsia
umumnya menderita gangguan kecemasan (anxietas), depresi dan neurotik lebih
jelas dibandingkan orang yang normal.5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Dyspepsia

2.1.1. Defenisi
Dyspepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu
atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di
epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada
saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa. 6 Untuk dyspepsia
fungsional, keluhan tersebut di atas harus berlangsung setidaknya selama
tiga bulan terakhir denegan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis
ditegakkan.
2.1.2. Epidemiologi
Dyspepsia merupakan salah satu masalah keseheatan yang sering
ditemui pada praktek sehari-hari. Diperkirakan hampir 30% kasus yang
dijumpai pada praktek umum dan 60% pada praktek gastroenterologi
merupakan dyspepsia.
Data mengenai prevalensi dyspepsia fungsional sangat beragam
pada berbagai populasi. Data tersebut mungkin menunjukkan perbedaan
epidemiologi dari berbagai wilayah. Pada suatu survei yang dilakukan oleh
Shaib dan El-Serag pada pegawai dalam suatu institusi di Amerika Serikat,
dengan

melakukan

pemeriksaan

endoskopi

mereka

mendapatkan

prevalensi dyspepsia fungsional sebanyak 15%.7 Dua penelitian yang


terpisah dilakukan di Inggris untuk menentukan prevalensi dyspepsia
fungsional, penelitian oleh Jones et al menggunakan barium enema dan
endoskopi pada seperlima dari 9936 subjek mendapatkan prevalensi
dyspepsia fungsional sekitar 23,8%, penelitian sebelumnya oleh Jones dan
Lydeard pada 20% dari 2066 orang dewasa, diperkirakan 11,5%

mengalami dyspepsia fungsional.8,9 Di Iceland dalam suatu penelitian


populasi selama 10 tahun, terdapat peningkatan dari 13,9% di tahun 1996
menjadi 16,7% di tahun 2006.10 Di Norwegia 14% dari 2027 orang dewasa
juga mengalami dyspepsia fungsional setelah diperiksa. 11 Di Jepang,
didapatkan 17% prevalensi dyspepsia fungsional pada sebuah program
skrining kanker lambung.12 Penelitian terhadap dyspepsia fungsional di
beberapa negara di Asia juga menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi,
yaitu Cina sebanyak 69% dari 782 pasien dyspepsia, di Hongkong 43%
dari 1.353 pasien, di Korea 70% dari 476 pasien, dan Malaysia 62% dari
210 pasien yang diperiksa.13 Di Indonesia, angka prevalensi dyspepsia
fungsional secara keseluruhan belum ada hingga saat ini. Pada tahun 1991
di RS Cipto Mangunkusumo, terdapat 44% kasus dyspepsia fungsional
dari 52 pasien dyspepsia yang menjalani pemeriksaan endoskopi. 14
Harahap pada penelitian di RS Martha Friska Medan tahun 2007
mendapatkan dyspepsia fungsional sebanyak 78,8% dari 203 pasien yang
diperiksa.15
Penderita dyspepsia fungsional dapat terjadi pada berbagai rentang
umur, jenis kelamin, etnik/suku, kondisi sosio-ekonomi. Hasil berbagai
survei belum dapat menunjukkan prevalensi umur pasti untuk dyspepsia
fungsional. Dalam beberapa penelitian di Asia, dyspepsia fungsional lebih
sering dijumpai pada kelompok umur yang lebih muda, di Jepang
prevalensinya 13% dan 8% untuk kelompok umur dibawah dan diatas 50
tahun, di Cina prevalensi terbanyak pada kisaran umur 41-50 tahun, dan di
Mumbai, India terbanyak pada umur >40 tahun.11 Di Indonesia,
prevalensi terbanyak pada umur 40 tahun yaitu 85%, penelitian lain
mendapatkan prevalensi terbanyak pada kisaran umur 26-35 tahun
sebanyak 50%.12,13
Mayoritas penelitian mengenai prevalensi berdasarkan jenis
kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pria dan
wanita. Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi

hasilnya menunjukkan perbandingan wanita lebih banyak menderita


dyspepsia fungsional daripada laki-laki yaitu 1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 :
1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di Malaysia dan 1,16 : 1,01 di Singapura. 12
Namun, suatu penelitian di Jepang menunjukkan perbandingan prevalensi
lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1.8 Penelitian mengenai
etnik juga pernah dilakukan, dua penelitian yang dilakukan di Malaysia
menemukan prevalensi dyspepsia fungsional pada suku Melayu 14,6%,
Cina 19,7%, India 11,2%dan lebih umum dijumpai pada etnis China
dibandingkan non-China (19,7% berbanding 14,2%).8,11 Penelitian di
Medan menunjukkan prevalensi terbesar pada suku Batak 45,5%,
menyusul Karo 27,3%, Jawa 18,2%, dan yang terkecil Melayu 4,5% serta
Mandailing 4,5%.15
Faktor sosio-ekonomi juga pernah diteliti dalam berbagai
penelitian berbasis-populasi, penelitian Drossman dkk. di Amerika Serikat
menemukan hubungan yang kuat antara pendapatan rendah dengan
kejadian gangguan saluran pencernaan fungsional termasuk dyspepsia
fungsional.19 Hasil serupa didapatkan di Cina, bahwa dyspepsia fungsional
berhubungan dengan ketidakpuasan terhadap pendapatan.11 Murni
menyebutkan adanya hubungan pengalaman pada masa kecil, stresor yang
dihadapi sepanjang hidup sampai usia dewasa serta dukungan sosial
mempengaruhi respon fisiologis dan psikologis seseorang termasuk
distress, kelainan psikiatri, agama serta mekanisme adaptasi (coping).13
2.1.3. Etiologi
Sebagai suatu gejala atau sindrom, dyspepsia dapat disebabkan
oleh berbagai penyakit. Berbagai penyakit yang dapat menyebabkan
dyspepsia dapat dilihat pada Tabel 2.1.

2.1.4. Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak
jelas, zat-zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan
stres, pemasukan makanan menjadi kurang sehingga lambung akan
kosong, kekosongan lambung dapat mengakibatkan erosi pada lambung
akibat gesekan antara dinding-dinding lambung, kondisi demikian dapat
mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan merangsang
terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla
oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik
makanan maupun cairan.

2.1.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi sindroma dyspepsia


Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya gejala-gejala
dyspepsia, antara lain:
1. Stres
Menurut WHO (2003) stres adalah reaksi/respon tubuh terhadap stressor
psikososial (tekanan mental/beban kehidupan).
2. Keteraturan makan
Ketidakteraturan makan adalah hitungan pola konsumsi makan per hari
yang diukur berdasarkan frekuensi makan. Jeda waktu makan yang baik
berkisar antara 4-5 jam. Jeda waktu yang lama dapat mengakibatkan
sindroma dyspepsia.
3. Makanan dan minuman iritatif16
Jenis makanan yang berpotensi meningkatkan asam lambung banyak
terdapat dalam menu harian kita, seperti cokelat (kakao,kafein,
theobromine), minuman bersoda/berkarbonasi, makanan yang digoreng,
minuman beralkohol, produk olahan susu yang tinggi lemak, daging yang
berlemak, kopi
4. Riwayat penyakit gastritis atau ulkus peptikum
2.1.5. Klasifikasi
Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka
dyspepsia dibagi atas dyspepsia organik dan dyspepsia fungsional.
Dyspepsia organik adalah apabila penyebab dyspepsia sudah jelas,
misalnya ada ulkus peptikum, karsinoma lambung, kholelithiasis, yang
bisa ditemukan secara mudah. Dyspepsia fungsional adalah apabila
penyebab dyspepsia tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada
pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukannya
adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik.

1. Dyspepsia Fungsional

Dyspepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama,


antara lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung,
hipersensitivitas viseral, dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang
dapat berperan adalah genetik, gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat
infeksi gastrointestinal sebelumnya.17,18
a. Peranan gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas
lambung dalam menerima makanan (impaired gastric accommodation),
inkoordinasi antroduodenal, dan perlambatan pengosongan lambung.
Gangguan motilitas gastroduodenal merupakan salah satu mekanisme
utama dalam patofisiologi dyspepsia fungsional, berkaitan dengan
perasaan begah setelah makan, yang dapat berupa distensi abdomen,
kembung, dan rasa penuh.19
b. Peranan hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dyspepsia
fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan
sentral terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik
intraluminal lambung bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau
memperberat gejala dyspepsia.17
c. Peranan faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan
dalam dyspepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial
sejalan dengan tingkat keparahan dyspepsia. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa depresi dan ansietas berperan pada terjadinya
dyspepsia fungsional.17
d. Peranan asam lambung
Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dyspepsia
fungsional. Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam
dari beberapa penelitian pasien dyspepsia fungsional. Data penelitian
mengenai sekresi asam lambung masih kurang, dan laporan di Asia masih
kontroversial.17
e. Peranan infeksi Hp

Prevalensi infeksi Hp pasien dyspepsia fungsional bervariasi dari 39%


sampai 87%. Hubungan infeksi Hp dengan ganggguan motilitas tidak
konsisten namun eradikasi Hp memperbaiki gejala-gejala dyspepsia
fungsional. Penanda biologis seperti ghrelin dan leptin , serta perubahan
ekspresi

muscle-specific

microRNAs

berhubungan

dengan

proses

patofisiologi dyspepsia fungsional, yang masih perlu diteliti lebih lanjut.20


Diagnosis Dyspepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma
III.Kriteria Roma III belum divalidasi di Indonesia. Konsensus AsiaPasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis
Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen
bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dyspepsia fungsional.19
Dyspepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan
satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di
gastroduodenal:

Nyeri epigastrium

Rasa terbakar di epigastrium

Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan

Rasa cepat kenyang


Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga
bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis
ditegakkan.
Kriteria Roma III membagi dyspepsia fungsional menjadi 2
subgrup, yakni epigastric pain syndrome dan postprandial distress
syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat
tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dyspepsia.17
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan
mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang
ada.

10

Penggunaan

prokinetik

seperti

metoklopramid,

domperidon,

cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala


pada beberapa pasien dengan dyspepsia fungsional. Hal ini terkait dengan
perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi
dyspepsia fungsional. Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan
cisaprid oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular.18
Data penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada
pasien dengan dyspepsia fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di
Jepang baru-baru ini menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada
pasien

dyspepsia

fungsional

yang

mendapatkan

agonis

5-HT1

dibandingkan plasebo. Di sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan


serotonin dan norepinerfrin tidak menunjukkan hasil yang lebih baik
dibanding plasebo.19

11

2. Dyspepsia Organik
Dyspepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik
sebagai penyebabnya. Sindroma dyspepsia organik terdapat kelainan yang
nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis,
stomach cancer, Gastro-Esophageal reflux disease, hiperacidity.

12

Jenis-jenis dyspepsia organik yaitu :


a. Tukak Pada Saluran Cerna Atas Tukak dapat ditemukan pada saluran
cerna bagian atas yaitu pada mukosa, submukosa dan lapisan muskularis,
pada distal esophagus, lambung dan duodenum. Keluhan yang sering
terjadi adalah nyeri epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri tajam
dan menyayat atau tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang lapar.
Nyeri epigastrum terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat menjalar ke
punggung. Nyeri dapat berkurang atau hilang sementara sesudah makan
atau setelah minum antasida. Gejala lain seperti mual, muntah, kembung,
bersendawa dan kurang nafsu makan.21
b.

Gastritis adalah peradangan/inflamasi pada lapisan mukosa dan


submukosa lambung. Penyebabnya oleh makanan atau obat-obatan yang
mengiritasi mukosa lambung dan adanya pengeluaran asam lambung
yang berlebihan. Gejala yang timbul seperti mual, muntah, nyeri
epigastrum, nafsu makan menurun dan kadang terjadi perdarahan.22

c. Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD) Gastro-Esophageal Reflux


Disease (GERD) adalah kelainan yang menyebabkan cairan lambung
mengalami refluks (mengalir balik) ke kerongkongan dan menimbulkan
gejala khas berupa rasa panas terbakar di dada (hearthburn), kadang
disertai rasa nyeri serta gejala lain seperti rasa panas dan pahit di lidah,
serta kesulitan menelan. Belum ada tes standar untuk mendiagnosa
GERD, kejadiannya diperkirakan dari gejala-gejala penyakit lain atau
dari ditemukannya radang pada esofagus seperti esofagitis.23
d. Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung, pankreas, kolon)
sering menimbulkan dyspepsia. Keluhan utama yaitu rasa nyeri diperut,
bertambah dengan nafsu makan turun, timbul anoreksia yang
menyebabkan berat badan turun.21
e. Pankreatitis Gambaran yang khas dari pankreatitis akut ialah rasa nyeri
hebat di epigastrum. Nyeri timbul mendadak dan terus menerus, seperti

13

ditusuktusuk dan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum kemudian


menjalar ke punggung. Perasaan nyeri menjalar ke seluruh perut dan
terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut yang tegang menyebabkan
mual dan kadang-kadang muntah. Rasa nyeri di perut bagian atas juga
terjadi pada penderita pankreatitis kronik. Nyeri yang timbul seperti
ditusuk-tusuk, menjalar ke punggung, mual dan muntah hilang dan
timbul. Pada pankreatitis kronik tidak ada keluhan rasa pedih, melainkan
disertai tanda-tanda diabetes melitus atau keluhan steatorrrhoe.21
f. Dyspepsia pada Sindrom Malabsorbs Malabsorpsi adalah suatu keadaan
terdapatnya gangguan proses absorbsi dan digesti secara normal pada
satu atau lebih zat gizi. Penderita ini mengalami keluhan rasa nyeri perut,
nausea, anoreksia, sering flatus, kembung dan timbulnya diare
berlendir.24
g.

Gangguan Metabolisme Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan


gastroparesis yang hebat sehingga muncul keluhan rasa penuh setelah
makan, cepat kenyang, mual dan muntah. Definisi gastroparesis yaitu
ketidakmampuan lambung untuk mengosongkan ruangan. Ini terjadi bila
makanan berbentuk padat tertahan di lambung. Gangguan metabolik lain
seperti hipertiroid yang menimbulkan nyeri perut dan vomitus.21

h.

Dyspepsia akibat Infeksi bakteri Helicobacter pylori Penemuan bakteri


ini dilakukan oleh dua dokter peraih Nobel dari Australia, Barry Marshall
dan Robin Warre yang menemukan adanya bakteri yang bisa hidup dalam
lambung manusia. Penemuan ini mengubah cara pandang ahli dalam
mengobati penyakit lambung. Penemuan ini membuktikan bahwa infeksi
yang disebabkan oleh Helicobacter pylori pada lambung dapat
menyebabkan peradangan mukosa lambung yang disebut gastritis. Proses
ini berlanjut sampai terjadi ulkus atau tukak bahkan dapat menjadi
kanker.25

14

2.1.6. Penatalaksanaan Medik


a

Penatalaksanaan non farmakologis


1

Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung

Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang peda, obatobatan yang berlebihan, nikotin rokok, dan stres

3
b

Atur pola makan

Penatalaksanaan farmakologis yaitu:


Sampai saat ini belum ada regimen pengobatan yang memuaskan terutama
dalam mengantisipasi kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti karena pross
patofisiologinya pun masih belum jelas. Dilaporkan bahwa sampai 70 % kasus
DF reponsif terhadap placebo.
Obat-obatan yang diberikan meliputi antacid (menetralkan asam lambung)
golongan antikolinergik (menghambat pengeluaran asam lambung) dan
prokinetik (mencegah terjadinya muntah)

15

BAB 3
STATUS ORANG SAKIT DAN FOLLOW UP PASIEN
Nomor RM: 0213744
Tanggal Masuk: 9 Agustus 2016

Ruang: VI

Jam: 02.10 WIB

Dokter Penanggung Jawab Pasien:


Dr. Bambang, Sp.PD

Nama
Umur
Jenis Kelamin
Status Perkawinan
Pekerjaan
Suku
Agama
Alamat

ANAMNESIS PRIBADI
: Medalin
: 19 tahun
: Perempuan
: Belum Menikah
: Mahasiswi
: Nias
: Kristen
: Jl. Putri Hijau, Medan.
ANAMNESIS PENYAKIT

Keluhan utama
Telaah

: Nyeri ulu hati


:Hal ini dialami OS satu hari sebelum masuk rumah sakit.
Rasa nyeri ulu hati dirasakan sampai menyesakkan perut
OS. OS mengatakan nyeri ulu hati yang dirasakannya
sering hilang timbul namun memberat 1 hari ini. Mual
dijumpai. Mencret dijumpai dengan frekuensi 4x sehari
selama 2 hari. Konsistensi encer. Tidak dijumpai darah
pada mencret. OS mengatakan setelah mencret perut terasa
panas. Demam tidak dijumpai. Riwayat tidak teratur
makan dan suka makan pedas dijumpai. Riwayat keluarga
mengalami hal yang sama seperti OS dijumpai yaitu ayah
dari OS.

RPT

: tidak ada

RPO

: Mylanta

16

ANAMNESIS ORGAN
Jantung

Sesak Napas

:-

Edema

:-

Angina Pektoris

:-

Palpitasi

:-

Lain-lain

:-

Saluran

Batuk-batuk

:-

Asma, bronkitis

:-

Pernafasan

Dahak

:-

Lain-lain

:-

Saluran

Nafsu Makan : normal

Penurunan BB

Pencernaan

Keluhan Menelan

:-

Keluhan Defekasi

:-

Keluhan Perut

:-

Lain-lain:-

:-

Saluran

Sakit BAK

:-

BAK tersendat

:-

Urogenital

Mengandung batu

:-

Keadaan urin

:-

Lain-lain

:-

Sendi dan

Sakit Pinggang

:-

Keterbatasan Gerak

:-

Tulang

Keluhan Persendian : -

Lain-lain

:-

Endokrin

Haus/Polidipsi

:-

Gugup

:-

Poliuri

:-

Perubahan suara

:-

Polifagi

:-

Lain-lain

:-

Sakit Kepala

:-

Lain-lain

:-

Hoyong

:-

Darah dan

Pucat

:-

Perdarahan

:-

Pembuluh Darah

Petechiae

:-

Purpura

:-

Lain-lain

:-

Saraf Pusat

:-

17

Sirkulasi Perifer

Claudicatio Intermitten: -

Lain-lain

:-

ANAMNESIS FAMILI: Ayah OS sering mengalami keluhan yang sama


PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK
STATUS PRESENS:
Keadaan Umum

Keadaan Penyakit

Sensorium

Pancaran Wajah

: Baik

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Sikap Paksa

:-

Nadi

: 80 x/i, reguler, t/v: cukup

Refleks Fisiologis

:+

Pernafasan

: 20 x/i

Refleks Patologis

:-

Temperatur

:36,5C

: Compos Mentis

Anemia(-/-), Ikterus (-/-), Dispnu (-)


Sianosis (-), Edema (-/-), Purpura (-)
TurgorKulit :Sedang
Keadaan Gizi: Normal
BW =

BW =

BB
TB100
44
160100

BW = 73,3%

x 100%

x 100%

TB

= 160 cm

BB

= 44 kg

IMT

= 17,2

Kesan :Underweight

1. KEPALA
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), ikterus (-/-), pupil: isokor,ukuran: 3
mm/3mm, refleks cahaya direk (+/+) / indirek (+/+) lain-lain : (-)

18

Telinga: tidak dijumpai sekret,, tidak oedem, warna tidak hiperemis


Hidung: tidak dijumpai deviasi septum, tidak ada sekret, tidak ada pernafasan
cuping hidung
Mulut: Lidah

: tidak ada deviasi, tidak ada atrofi papil, ukuran normal,


warna hiperemis

Gigi geligi

: dalam batas normal

Tonsil/faring : warna hiperemis, ukuran T1-2


2. LEHER
Struma tidak membesar, tingkat: (-)
Pembesaran kelenjarlimfa (-), lokasi(-), jumlah(-), konsistensi(-), mobilitas (-),
nyeri tekan (-)
Posisi trakea: medial, TVJ: R-2 cmH2O
Kaku kuduk (-), lain-lain (-)
3. THORAX DEPAN
Inspeksi
Bentuk

: simetris fusiformis

Pergerakan

: tidak ada ketinggalan bernapas

Palpasi
Nyeri tekan

:-

Fremitus suara

: SF kanan = kiri

Iktus

: tidak teraba

Perkusi
Paru
Batas Paru-Hati R/A

: ICS V LCMD (R) /ICS VI LCMD (A)

Peranjakan

: 1cm

Jantung
Batas atas jantung

: ICR III LMCS

19

Batas kiri jantung

: ICS V 1 cm medial LMCS

Batas kanan jantung

: LPSD

Auskultasi
Paru
Suara pernafasan

: vesikuler di kedua lapangan paru

Suara tambahan

:-

Jantung
M1 > M2, P2 > P1, T1 > T2, A2 > A1, desah sistolis (-), tingkat (-)
Desah diastolis (-), lain-lain: (-)
HR: 60 x/menit, reguler,intensitas: cukup
4. THORAX BELAKANG
Inspeksi

: simetris fusiformis

Palpasi

: SFkanan = kiri

Perkusi

: sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi

: SP: vesikuler di kedua lapangan paru


ST: -

5. ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk

: simetris

Gerakan Lambung/Usus

:-

Vena Kolateral
Caput Medusae

::-

Palpasi
Dinding Abdomen

: soepel, H/L/R tidak teraba, nyeri epigastrium(+)

6. HATI
Pembesaran

:-

Permukaan

:-

20

Pinggir

:-

Nyeri tekan

:-

7. LIMFA
Pembesaran

: (-), Schuffner: (-), Haecket: (-)

8. GINJAL
Ballotement

: (-), Kiri / Kanan, lain-lain : (-)

9. UTERUS/ OVARIUM :Perkusi


Pekak hati

:-

Pekak beralih

:-

Auskultasi
Peristaltik usus

: normoperistaltik

Lain-lain

:-

10. PINGGANG
Nyeri Ketuk Sudut Kosto Vertebra (-), Kiri / Kanan
11. INGUINAL

: tidak dilakukan pemeriksaan

12. GENITALIA LUAR

: tidak dilakukan pemeriksaan

13. PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT)


Perineum

: tidak dilakukan pemeriksaan

Spincter ani

: tidak dilakukan pemeriksaan

Ampula

: tidak dilakukan pemeriksaan

Mukosa

: tidak dilakukan pemeriksaan

Sarung tangan : tidak dilakukan pemeriksaan

21

14. ANGGOTA GERAK ATAS

ANGGOTA GERAK BAWAH


KiriKanan

Deformitas Sendi

:-

Edema

Lokasi

:-

Arteri Femoralis

Jari Tabuh

:-

Arteri Tibialis Posterior:

Tremor Ujung Jari

:-

Arteri Dorsalis Pedis :

Telapak Tangan Sembab

:-

Refleks KPR

Sianosis

:-

Refleks APR

Eritema Palmaris

:-

Refleks Fisiologis

Lain-lain

:-

Refleks Patologis

Lain-lain

RESUME
ANAMNESIS

Keluhan Utama : Nyeri ulu hati

22

Telaah :
Hal ini dialami Os 1 hari SMRS. Keluhan dirasakan
panas di perut dan rasa sesak di perut. Mencret (+)
dengan frekuensi 4x sehari selama 2 hari. Mual (+).
Riwayat tidak teratur makan dan suka makanan pedas

STATUS PRESENS

PEMERIKSAAN
FISIK

LABORATORIUM
RUTIN
DIAGNOSIS
BANDING

(+).Riwayat keluarga mengalami hal yang sama (+)


Keadaan Umum:Baik
Keadaan Penyakit: Sedang
Keadaan Gizi : Normoweight
Sensorium: Compos Mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi:80 kali / menit
Pernafasan: 20 kali / menit
Temperatur: 36,5C
Kepala
Mata : dalam batas normal
Leher
TVJ : R-2 cmH2O
Thorax
SP : vesikuler di kedua lapangan paru
ST : Abdomen
Simetris
Ekstremitas
Edema pretibial (-/-)
Darah
: kesan normal
Elektrolit : kesan normal
1. Dyspepsia
2. GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)
3. IBS ( Irritable Bowel Syndrom)

DIAGNOSIS

Dyspepsia
SEMENTARA
PENATALAKSANAAN Aktivitas : Tirah baring
Diet
: Diet MB
Tindakan suportif : IVFD NaCl 0.9% 20 gtt/i

23

Medikamentosa:
-

Inj Ranitidin/ 12 jam


Inj Ondansentron/12 jam
New Diatab 3x1
Ulsicral Syr. 3x1

Rencana Penjajakan Diagnostik / Tindakan Lanjutan:


1. Darah Rutin
2. Elektrolit, Anemia profile
3. Konsul ke dokter interna

FOLLOW-UP PASIEN
Tanggal 9 Agustus 2016
S : Nyeri ulu hati, Mencret (+)
O : Vital sign: Sensorium: Compos Mentis
TD: 120/80 mmHg
HR: 80x/i
RR: 20x/i
Temp: 36 OC
A : Dyspepsia
P : - IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
-

Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam


Inj. Ondansentron/ 12 jam
New Diatab 3x1
Berikan posisi nyaman
Anjurkan istirahat secukup mungkin

24

Pemeriksaan Darah Rutin


-

Hemoglobin : 13,3 g/dL


Hematokrit : 36.8 %
Leukosit : 7.000 sel/mm3
Trombosit : 186.000 sel/mm3
Laju Endap Darah : 8 mm
Natrium : 133 mmol/L
Kalium : 4,7 mmol/L
Klorida : 97 mmol/L

Tanggal 10 Agustus 2016


S : Nyeri perut
O : Vital sign: Sensorium: Compos Mentis
TD: 110/70 mmHg
HR: 80x/i
RR: 20x/i
Temp: 35,4 OC
A : Dyspepsia
P : - IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
-

Inj Ranitidine 1 amp /12 jam


Inj. Ondansentron/ 12 jam
Beri posisi nyaman
Anjurkan makan makanan yang lunak

Tanggal 11 Agustus 2016


S : Nyeri perut
O : Vital sign: Sensorium: Compos Mentis
TD: 100/70 mmHg
HR: 72x/i
RR: 24x/i
Temp: 35.9 OC
A : Dyspepsia
P : - IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
-

Inj Ranitidine 1 amp/12 jam


Inj. Ondansentron/ 12 jam
Beri posisi nyaman

25

Anjurkan istirahat mungkin

Pemeriksaan Darah Rutin


-

Hemoglobin : 12.3 g/dL


Hematokrit : 36 %
Leukosit : 3.500 sel/mm3
Trombosit :212.000 sel/mm3

Tanggal 12 Agustus 2016


S:O : Vital sign: Sensorium: Compos Mentis
TD: 110/80 mmHg
HR: 76x/i
RR: 16x/i
Temp: 36.1 OC
A : Dyspepsia
P : - IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/i
-

Inj Ranitidine 1 amp/12 jam


Inj. Ondansentron/ 12 jam
Beri posisi nyaman
Anjurkan istirahat secukup mungkin

26

BAB 4
KESIMPULAN
Seorang perempuan, M, 19 tahun, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang, didiagnosa dengan Dyspepsia. Pasien diberikan
tatalaksana berupa tirah baring, diet MB 1900 kalori, Inj Ranitidin/ 12 jam, Inj
Ondansentron/12 jam, New Diatab 3x1, Ulsicral Syr.3x1. Pasien masuk ke
RUMKIT Putri Hijau sejak tanggal 9 Agustus 2016 di Ruang I Kamar 5.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Maria, U. Faktor utama yang memengaruhi terjadinya sindroma
dyspepsia di kalangan mahasiswa, Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. USU Institutional Repository: 2015.
2. Lilihata, Gracia., Syam,AF. Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta : Media
Aesculapius : 2014.
3. Hutapea, MN. Hubungan tingkat stres dengan kejadian
dyspepsia fungsional pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. USU Institutional Repository: 2014.
4. Depkes. Riset Kesehatan Daerah. Jakarta: Depkes RI: 2012.
5. Widyasari, I. Hubungan antara kecemasan dan tipe kepribadian introvert
dengan dyspepsia fungsional. Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta: 2011.
6. Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report on
functional dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil: 2012
7. Shaib Y, El-Serag HB. Prevalence and risk factors of functional
dyspepsia. American Journal of Gastroenterology: 2004; 99(11).
8. Jones RH, Lydeard SE, Hobbs FD, Kenkre JE, Williams EI, Jones SJ, et
al. Dyspepsia in England and Scotland. Gut: 1990;31:401-5.
9. Jones R, Lydeard S. Prevalence of symptoms of dyspepsia in the
community. BMJ: 1989;298:30-2.
10. Olafsdottir LB, Gudjonsson H, Jonsdottir HH, Thjodleifsson B. Natural
history of functional dyspepsia: a 10-year population-based study.
Pubmed: 2010;81(1):53-61.
11. Bernersen B, Johnsen R, Straume B. Non-ulcer dyspepsia and peptic
ulcer: the distribution in a population and their relation to risk factor. Gut:
1996;38:822-5.
12. Mahadeva S, Goh KL. Epidemiology of functional dyspepsia: a global
perspective. Pubmed: 2006;12(17): 2661-6.
13. Goshal UC, Singh R, Chang F, Hou X, Wong B. CY, Kachintorn U.
Epidemiology of uninvestigated and functional dyspepsia in Asia: fact and
fiction. JNM: 2011;17(3).
14. Mudjaddid E. Dyspepsia fungsional. Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI: 2009. hlm.2109-10.

28

15. Harahap Y. Karakteristik penderita dyspepsia rawat inap di RS Martha


Friska Medan tahun 2007 (skripsi). Medan: Fakultas Kesehatan
Masyarakat: 2009.
16. Annisa. Hubungan Ketidakteraturan Makan dengan Sindroma Dyspepsia
Remaja Perempuan di SMA Plus Al-Azhar Medan (Skripsi). Medan:
Fakultas Kedokteran USU: 2009.
17. Ford AC, Moayyedi P. Dyspepsia. Curr Opin Gastroenterol: 2013;29:6628.
18. Choung RS, Talley NJ. Novel mechanisms in functional dyspepsia. World J
Gastroenterol: 2006;12:673-7.
19. Harmon RC, Peura DA. Evaluation and management of dyspepsia. Therap
Adv Gastroenterol:2010;3:87-98.
20. Altschuler S, Peura DA. Helicobacter pylori and peptic ulcer disease. In:
McNally PR, ed. GI/Liver Secrets Plus. 4th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier
Mosby: 2010:chap 11.
21. Hadi Setyo, 2002, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
22. Sutanto, Hariwijaya M., 2007. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit
Kronis, EDSA Mahkota, Jakarta
23. Berdanier, C.D., Dwyer, J., dan Feldman, E.B., 2008, Handbook of
Nutrition and Food Second Edition, CRC Press, USA.
24. Sudoyo A.W. dkk, 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam,

Internapublishing, Jakarta.
25. Rani A.A., Fauzi A., 2007, Ilmu Penyakit Dalam : Infeksi Helicobacter

Pylori dan Penyakit Gastro-Duodenal, Edisi IV. FKUI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai