Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kita semua sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan
baik. Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila yang
membahas tentang Pancasila sebagai Sistem Etika Politik. Terimakasih pula kami ucapkan
kepada ibu dosen yang telah memberikan kepercayaan kepada kelompok kami dalam
menyelesaikan tugas Pendidikan Pancasila yang mengakaji tentang Peranan Pancasila
Sebagai Etika Politik Bangsa.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah ini pada akhirnya. Akhir kata, penulis berharap semoga laporan ini dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
umumnya. Amin.

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ 1
BAB I...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN................................................................................................... 3
BAB II..................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN..................................................................................................... 5
STUDI KASUS.................................................................................................... 14
BAB III.................................................................................................................. 19
PENUTUP........................................................................................................... 19
KESIMPULAN.................................................................................................. 19
SARAN........................................................................................................... 20

Daftar Pustaka................................................................................................... 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semenjak Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,
bangsa Indonesia telah menetapkan suatu landasan yang dijadikan dasar yang fundamental
untuk mencapai cita-cita bangsa, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Dalam pembukaan
UUD 1945, telah ditetapkan dasar Negara Republik Indonesia itu adalah Pancasila. Pancasila
sebagai suatu system filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan
sumber dari segala sumber. Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa
cabang menurut lingkungan bahasannya masing-masing. Cabang-cabang itu dibagi menjadi
dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Etika Politik termasuk
dalam filsafat praksis yang isinya mempertanyakan, membahas tanggungjawab dan
kewajiban manusia.
Dalam pelaksanaannya selama Pemerintah Orde Lama, kedudukan Pancasila sebagai
Etika Politik Negara diselewengkan penggunaannya. Etika Politik Pancasila diterjemahkan
dan diamalkan menurut persepsi dari kepentingan golongannya sendiri. Dengan demikian
sering terjadi kekacauan, pemberontakan, korupsi, kolusi dan nepotisme muncul pada
oknum-oknum pengguna System Politik Pancasila yang tidak digunakan sebagaimana
mestinya.
Dalam rangka menyongsong era global diperlukan adanya generasi yang mantap,
baik dari segi lahiriah maupun batiniah. Hal ini mempunyai pengertian untuk memfilter dan
menerapkan System Etika Politik yang berdasar pada Pancasila, untuk membentuk manusia
seutuhnya yang berjiwa Pancasilais. Maka dari itu etika bermaksud untuk membantu manusia
untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan, karena setiap tindakannya
selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia untuk mempertanggung
jawabkan tindakannya itu karena memang ada alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan
yang kuat atas tindakannya itu.
Pancasila dikaitkan dengan system etika maka akan memberi jawaban mengenai
konsepsi dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan, sebab didalamnya terkandung
prinsip terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik.
Etika politik dengan rasa etik tidak lain adalah Etika Pancasila. Pancasila sebagai etika politik
bagi bangsa dan Negara Indonesia adalah etika yag dijiwai oleh falsafah Negara yaitu
Pancasila
3

B. Identifikasi Makalah
Bertitik tolak dari latar belakang, maka permasalahan yang timbul adalah Bagaimana
Pelaksanaan Pancasila sebagai Etika Politik.
C.

Batasan Pembahasan

Mengingat Permasalahan Pancasila yang sangat luas dan kompleks, yaitu menyangkut segala
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar tidak rancu, maka perlu diadakan
pembatasan pembahasannya. Adapun batasan pembahasannya adalah:
1.

Pengantar

2.

Pengertian nilai, norma, dan moral

3.

Pengertian Etika

4.

Pancasila sebagai System Etika.

5.

Etika Politik dan Etika Pancasila.

6.

Nilai-nilai Etika dalam Pancasila

7.

Etika dalam Kehidupan Kenegaraan dan Hukum .

8.

Evaluasi Penerapan dalam Kehidupan Kenegaraan.

9.

Etika Kehidupan Berbangsa.

D. Tujuan dan Manfaat


1. Sebagai salah satu tugas kelompok mata kuliah Pendidikan Pancasila.
2. Untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih jauh mengenai Pancasila sebagai
Sistem Etika Politik.
3. Untuk menambah literatur pengetahuan Pancasila dalam pengamalan kehidupan
sehari-hari khususnya yang berkaitan dengan etika politik.
4. Memahami, memperdalam, mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari yang berkaitan dengan etika politik yang sesuai dengan pengamalan
Pancasila.
5. Memahami penyimpangan etika politik, salah satunya black campaign

BAB II
PEMBAHASAN

A.

Pengantar
Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga
merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral, maupun
norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat pancasila terkandung di dalamnya suatu
pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis, dan komperhensif
(menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu
pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman
dalam suatu tindakan atau aspek praksis melainkan nilai-nilai yang bersifat mendasar.
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental
dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilainilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan yang
nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara maka nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam
suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut
meliputi:
1.

Norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat
diukur dari sudut baik maupun buruk.

2.

Norma hukum yaitu suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di


Indonesia.

B.

Pengertian nilai, norma, dan moral

1.

Pengerian Nilai
Nilai atau Value termasuk bidang kajian fisafat. Persoalan-persoalan tentang nilai
dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai. Di dalam Dictonary of
Sosciology and Related Sciences dikemukakan nilai adalah kemampuan yang dipercayai
yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Pada hakikaknya nilai adalah sifat
atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Nilai itu sebenarnya
adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya. Ada nilai
itu karena adanya kenyatan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai ( wartrager).
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan nilai

yang dilakukan oleh subyek penilai tentu berhubungan dengan unsur-unsur yang ada pada
manusia sebagai subyek penilai, yaitu unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa ( kehendak) dan
kepercayaan. Sesuatu itu bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, baik dan
lain sebagainya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang das Sollen, bukan das Sein, kita
masuk kerohanian bidang makna normatif, bukan kognitif, kita masuk ke dunia ideal dan
bukan dunia real. Meskipun demikian, diantara keduanya, antara das Sollen dan das Sein,
antara yang makna normatif dan kognitif, antara dunia ideal dan dunia real itu saling
berhubungan atau saling berkaitan secara erat. Artinya bahwa das Sollen itu harus menjelma
menjadi das Sein, yang ideal harus menjadi real yang bermakna normatif harus direalisasikan
dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta. ( Kodhi, 1989:21).
2. Hirarki Nilai
Terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai, hal ini sangat tergantung pada
titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian serta
hirarki nilai. Misalnya kalangan matrealis memandang bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai
material. Kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan.
Pada hakikatnya segala sesutau itu bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana
hubungan nilai tersebut dengan manusia.
Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan
sama tingginya. Menurut tinggi rendahnya nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat
tingkatan sebagai berikut:
1.

Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakan
dan tidak mengenakkan ( die Wertreihe des Angenehmen und Unangehmen), yang
menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.

2.

Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapatlah nilai-nilai yang penting bagi kehidupan
( Werte des vitalen Fuhlens) misalnya kesehatan, kesegaran jasmani, kesejahteraan umum.

3.

Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai (geistige werte) yang sama sekali
tidak tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini ialah
keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.

4.

Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapatlah modelitas nilai dari yang suci dan tak
suci ( wermodalitat des Heiligen ung Unheiligen ). Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri
dari nilai-nilai pribadi.
Walter G. Everet menggolong-golongkan nilai-nilai manusiawi kedalam delapan kelompok
yaitu:

1.

Nilai-nilai ekonomis ( ditujukan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat
dibeli).

2.

Nilai-nilai kejasmanian ( membantu pada kesehatan, efisiensi, dan keindahan dari


kehidupan badan).

3.

Nilai-nilai hiburan ( nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbangkan
pada pengayaan kehidupan).

4.

Nilai-nilai sosial ( berasal dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan).

5.

Nilai-nilai watak ( keseluruhan dari keutuhan kepribadian dan sosial yang diinginkan).

6.

Nilai-nilai estetis ( nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni).

7.

Nilai-nilai intelektual ( nilai-nilai pengetahuan dan pengajaran kebenaran).

8.

Nilai-nilai keagamaan.
Notonegoro membagi nilai menjadi tiga macam, yaitu:

1.

Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau
kebutuhan material ragawi manusia.

2.

Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan atau akivitas.

3.

Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai
kerokhanian ini dapat dibedakan atas empat macam:

a.

Nilai kebenaran yang bersumber pada akal ( ratio, budi, cipta) manusia.

b.

Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan ( estetis, gevoel,
rasa) manusia.

c.

Nilai kebaikan atau nilai moral, nilai yang bersumber pada unsur kehendak ( will, Wollen,
Karsa) manusia.
7

d.

Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini
bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.

Masih banyak lagi cara pengelompokan nilai, misalnya seperti yang dilakukan N.
Rescher, yaitu pembagian nilai berdasarkan pembawa nilai (trager), hakikat keuntungan yang
diperoleh, dan hubungan antara pendukung nilai dan keuntungan yang diperoleh. Begitu pula
dengan pengelompokan nilai menjadi nilai instrinsik dan ekstrinsik, nilai objektif dan nilai
subjektif, nilai positif dan nilai negatif ( disvalue), dan sebagainya.
Notonegoro berpendapat bahwa nilai-nilai pancasila tergolong nilai-nilai kerohanian,
tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan nilai vital. Dengan
demikian secara lengkap dari harmonis, baik nilai material, niali vital, nilai kebenaran, nilai
keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang
sisitematika-hirarkis, yang dimulai dari sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai dasar
sampai dengan sila keadilan social bagi seluruh Indonesia sebagai tujuan (Darmodiharjo,
1978).
Dalam kaitannya dengan derivasi atau penjabarannya maka nilai-nilai dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu:
1.

Nilai Dasar
Walaupun nilai memiliki sifat abstrak artinya tidak dapat diamati melalui indra
manusia, maupun dengan realisasinya nilai berkaitan dengan tingkah laku atau segala aspek
kehidupan manusia yang bersifat nyata (praksis) namun demikian setiap nilai memiliki nilai
dasar (dalam bahasa ilmiahnya disebut dasar onotologis), yaitu merupakan hakikat, esensi,
intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal
karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu misalnya hakikat tuhan,
manusia atau segala sesuatu lainnya.

2.

Nilai Instrumental
Nilai instrumental adalah manivestasi dari nilai dasar, dan ini berupa pasal-pasal UUD
1945, perundang-undangan, ketetapan-ketetapan, dan peraturan-peraturan lainnya yang
berfungsi menjadi pedoman, kaidah, petunjuk kepada masyarakat untuk mentaatinya.

3.

Nilai Praksis

Nilai praksis merupakan penjabaran dari instrumental dan nilai praksis ini berkaitan
langsung dengan kehidupan nyata yaitu suatu kehidupan yang penuh diwarnai oleh
pertimbangan-pertimbangantertentu
3. Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan
landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik didasari maupun
tidak.
Nilai juga berkaitan dengan harapan, cita-cita, keinginan, dan segala sesuatu
pertimbangan internal (batiniah) manusia. Nilai dapat bersifat objektif maupun subjektif.
Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan oleh subjek (dalam hal ini manusia
sebagai pendukung pokok nilai) dan bersifat objektif jika nilai tersebut telah melekat pada
sesuatu terlepas dari penilaian manusia.
Wujud yang lebih kongkrit dari nilai adalah norma. Terdapat berbagai macam norma,
dan norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya, Karena dapat dipaksakan oleh suatu
kekuasaan eksternal misalnya penguasa atau penegak hokum.
Nilai dan norma senantiasa saling berkaitan dengan moral etika. Istilah moral
mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat
ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam
kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah
maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Hubungan antara moral dan etika sangat erat dan kadang kala kedua hal tersebut
disamakan. Namun keduanya hal tersebut memiliki perbedaan. Moral yaitu merupakan suatu
ajaran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan
maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia
yang baik. Sedangkan etika adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut.
Ajaran moral sebagai buku petunjuk tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah
mobil dengan baik, sedangkan etika memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan
teknologi mobil itu sendiri. Demikianlah hubungan yang sistematik antara nilai, norma dan
moral yang pada gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praksis
dalam kehidupan manusia.
C.

Pengertian Etika
9

Etika berasal dari kata Yunani etos, yang artinya sepadan dengan arti kata susila. Etika
adalah sebuah ilmu, yaitu sebagai salah satu cabang ilmu filsafat yang mengajarkan
bagaimana hidup secara arif atau bijaksana, sehingga filsafat etika juga dikenal sebagai
filsafat moral. Jadi etika bukan sebuah ajaran, yang memberi ajaran tentang bagaimana
seseorang harus berperilaku dalam kehidupannya secara bermoral. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa moralitas adalah petunjuk konkrit yang siap pakai tentang bagaimana harus
hidup. Sedangkan etika adalah perwujudan secara kritis dan rasional ajaran moral yang siap
pakai itu. Keduanya mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi orientasi bagaimana dan
kemana harus melangkah dalam hidup ini.
Moralitas juga bisa diartikan sebuah pranata seperti halnya agama, politik,
bahasa dan sebagainya yang sudah ada sejak dahulu kala dan diwariskan secara turun
temurun. Sebaliknya etika adalah sikap kritis setiap pribadi dan kelompok masyarakat dalam
merealisasikan moralitas itu. Permasalahan penting dalam etika adalah saat dimana seseorang
harus mengambil keputusan konkrit untuk menentukan satu di antara dua masalah yang
sama-sama baiknya atau dua masalah yang sama tidak baiknya. Oleh karena itu, etika
bermaksud

membantu

manusia

untuk

bertindak

secara

bebas

dan

dapat

dipertanggungjawabkan , karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang
bebas dengan selalu bersedia untuk mempertanggungjawabkan tindakannya itu karena
memang ada alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang kuat atas tindakannya itu.
D.

Pancasila sebagai Sistem Etika


Etika adalah ilmu yang an mempertanyakan tanggungjawab dan kewajiban manusia.
Etika yang mempertanyakan prinsip-prinsip dasar dalam hubungan dengan kewajiban
manusia dalam berbagai lingkup kehidupan khusus disebut etika khusus. Dalam etika khusus
terdapat etika individual dan etika sosial. Etika individual yaitu etika yang mempertanyakan
tanggungjawab dan kewajiban manusia sebagai makhluk individu terhadap dirinya sendiri.
Sedangkan etika sosial adalah etika yang mempertanyakan tanggungjawab dan kewajiban
manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai umat manusia. Dalam etika sosial terdapat sikap
terdapat sikap terhadap sesama, etika keluarga, etika profesi, etika pendidikan, etika
lingkungan hidup, dan etika politik, dan kritik ideologi.
Pancasila dikaitkan dengan sistem etika maka akan memberi jawaban mengenai
kehidupan yang dicita-citakan, sebab di dalamnya terkandung prinsip terdalam dan gagasan
mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Selain itu, Pancasila memberi jawaban
bagaimana seharusnya manusia Indonesia bertanggungjawab dan berkewajiban sebagai
10

makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan
bernegara, selain etika kelompok bagaimana dengan sesama warga negara. Dalam hidup
berkelompok, selain etika kelompok bagaimana warga negara Indonesia bergaul dalam
hidupnya, akan muncul etika yang berkaitan dengan kerja atau profesi, seperti etika guru/
dosen Indonesia, etika jurnalistik/ wartawan Indonesia, dan sebagainya.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa Pancasila pun memiliki sistem etika seperti yang
telah diuraikan, yaitu memiliki etika yang bersifat umum dan khusus; mengatur etika
individual dan sosial, serta mengembangkan etika yang berkaitan dengan lingkungan dan
kerja atau profesi.
E.

Etika Politik dan Etika Pancasila


Kebijaksanaan adalah syarat yang harus dimiliki untuk menuju kebahagiaan hidup.
Karena itu, etika pada zaman itu bercorak eudomonistik ( bahagia).
Tampilnya ajaran Imanuel Kant pada abad ke-18, masalah etika bukan lagi masalah
kebijaksanaan melainkan sudah merupakan kewajiban. Etika menurut Imanuel Kant adalah
suatu kategori imperatif dalam arti bahwa etika bukanlah alat untuk mencapai tujuan tertentu,
melainkan menjadi tujuan di dalam dirinya sendiri. Artinya etika dipatuhi, dengan etika
tersebut orang berbuat baik atau susila bukan untuk mencapai suatu tujuan melainkan untuk
dan demi kebaikan atau kesusilaan itu sendiri.
Pengertian politik dalam proses pemakainnya dewasa ini terasa sudah sangat jauh
menyimpang, atau mungkin sudah jauh lebih luas dari pengertian asalnya. Konsekuensi dari
sinyalemen tersebut ialah timbulnya semacam prasangaka, sikap sinis, dan sebagainya.
Kaitan dengan Pancasila, maka etika politik dengan rasa etik tidak lain adalah Etika
Pancasila. Pancasila sebagai etika politik bagi bangsa dan negara Indonesia adalah etika yang
dijiwai oleh Falsafah negara Pancasila yang meliputi:
1.

Etika yang berjiwa Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung makna percaya akan
adanya Tuhan Yang Maha Esa, patuh pada perintah Tuhan dan menjauhi
Larangan-Nya.

2.

Etika yang berperikemanusiaan, mengandung makna menilai harkat kemanusiaan


tetap lebih tinggi dari nilai kebendaan, tidak membenarkan adanya rasialisme, dan
sikap membeda-bedakan manusia.

3.

Etika yang dijiwai oleh rasa Kesatuan Nasional, mengandung makna sifat bangsa
Indonesia yanh Bhineka Tunggal Ika dan bangsa yang cinta persatuan.

11

4.

Etika yang berjiwa demokrasi, mengandung makna lambang persaudaraan


manusia, sama-sama berhak akan kemerdekaan dan memperoleh kemerdekaan.

5.

Etika yang berjiwa keadilaan sosial, mengandung makna manifestasi dari


kehidupan masyarakat yang dilandasi oleh jiwa kemanusiaan, jiwa yang cinta
kepada persatuan, jiwa yang bersifat demokrasi, dan semangat mau bekarja keras.

F.

Nilai-nilai Etika dalam Pancasila


Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia melakukan semua tindakan sehari-harinya
baik dalam masyarakat maupun dalam bernegara. Etika mambantu manusia menunjukan
nilai-nilai untuk membulatkan hati mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu
dilakukan dan mengapa hal itu dilakukan.
Pancasila adalah etika bagi bangsa Indonesia dalam bermasyarakat dan bernegara.
Adapun nilai-nilai etika yang terkandung dalam Pancasila tertuang dalam berbagai
tatanan berikut ini:
1.

Tatanan bermasyarakat

2.

Tatanan bernegara

3.

Tatanan kerjasama antar negara atau tatanan luar negeri

4.

Tatanan pemerintah daerah

5.

Tatanan hidup beragama

6.

Tatanan bela negara

7.

Tatanan pendidikan

8.

Tatanan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat

9.

Tatanan hukum dan keikutsertaan dalam pemerintahan

10. Tatanan kesejahteraan sosial


G.

Etika dalam Kehidupan Kenegaraan dan Hukum


Manusia dalam hidupnya tidak lepas dari manusia lain. Untuk itu, manusia perlu
hidup berkelompok (zoon politicon) yang menampilkan insan berfikir sekaligus sebagai insan
usaha ( homo economicus). Hal itu dilakukan selain sebagai kodratnya, dimaksudkan untuk
mencapai kesejahteraan bersama.
Bangsa Indonesia memilih bentuk ( organisasi) negara yang dinamakan Republik
yang merupakan suatu pola yang mengutamakan pencapaian kepentingan umum ( respublica)
dan bukan kepentingan perseorangan atau kepentingan golongan.

12

Pada

umumnya,

kegiatan

kenegaraan

kaitannya

dengan

hasil

perjanjian

bermasyarakat, orang beranggapan bahwa kegiatan kenegaraan meliputi:


1.

Membentuk hukum atau kewenangan legislatif.

2.

Menerapkan hukum atau kewenangan eksekutif.

3.

Menegakkan hukum atau kewenangan yudikatif.


Oleh karena itu, analisis kenegaraan tidak dapat dipisahkan dari analisis tata hukum.
Konstitusi adalah suatu pola hidup berkelompok dalam organisasi negara, yang
seringkali diperluas dalam organisasi apapun. Sebagai pola hidup berkelompok dalam
organisasi negara maka konstitusi pada umumnya memuat:

1.

Hal-hal yang dianggap fundamental dalam berorganisasi.

2.

Hal-hal yang dianggap penting dalam hidup berkelompok oleh suatu bangsa, sekalipun oleh
bangsa lain tidak dianggap demikian.

3.

Hal-hal yang dicita-citakan, sekalipun hal itu seolah-olah sulit untuk dicapai karena
idealistik.

H.

Evaluasi Kritis Penerapan Etika dalam Kehidupan Kenegaraan


Dalam kaitan dengan nilai dan norma terdapat dua macam etika yaitu etika deskriptif
dan etika normatif. Etika deskriptif berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan
pola perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidupnya. Sedangkan etika
normatif ialah etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang
seharusnya dimiliki atau dijalankan oleh manusia, dan tindakan apa yang seharusnya diambil.
Kaitan dengan penerapan etika dalam kehidupan kenegaraan, kajiannya tidak lepas
dari sedikitnya empat kelompok masalah kenegaraan, yaitu tata organisasi, tata jabatan, tata
hukum, dan tata nilai yang dicita-citakan oleh suatu negara. Penerapan etika dalam kehidupan
kenegaraan, sorotannya tidak lepas dari fungsi etika bagi kehidupan kenegaraan. Fungsi etika
bagi kehidupan kenegaraan adalah alat untuk mengatur tertib hidup kenegaraan memberikan
pedoman yang merupakab batas gerak hak dan wewenang kenegaraan, menanamkan
kesadaran kemanusiaan dalam bermasyarakat dan bernegara, mempelajari dan menjadikan
objek tingkah laku manusia dalam hidup kenegaraan, memberi landasan fleksibilitas bergerak
yang bersumber dari pengalaman.

I.

Etika Kehidupan Berbangsa

13

Sejak terjadinya krisis multidimensional, muncul ancaman yang serius terhadap


persatuan bangsa dan terjadi kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa,
yang disebabkan oleh berbagai faktor baik yang berasal dari dalam negri maupun yang
berasal dari luar negri. Arah kebijakan untuk membangun etika kehidupan berbangsa di
implementasikan sebagai berikut:
1.

Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan kebudayaan luhur bangsa dalam kehidupan


pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan fornal, informal, dan
nonformal dan pemberian contoh keteladanan.

2.

Mengarahkan orientasi pendidikan yang mengutamakan aspek pengenalan menjadi


pendidikan yang bersifat terpadu.

3.

Mengupayakan agar setiap program pembangunan dan keseluruhan aktivitas kehidupan


berbangsa dijiwai oleh nilai-nilai etikad dan akhlak mulia.
Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedapankan kejujuran, amanah,
keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu,
tanggungjawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
Adapun uraian etika kehidupan berbangsa adalah sebagai berikut:

1.

Etika sosial dan budaya.

2.

Etika politik dan pemerintahan.

3.

Etika ekonomi dan bisnis.

4.

Etika penegakan hukum yang berkeadilan.

5.

Etika keilmuan.

6.

Etika lingkungan.

STUDI KASUS

Etika Politik (black campaign)


Kampanye politik selama ini hanya dilihat sebagai suatu proses interaksi intensif dari partai
politik kepada publik dari kurun waktu tertentu menjelang pemilihan umum. Dalam definisi
ini,
kampanye politik adalah periode yang diberikan oleh panitia pemilu kepada semua
kontestan, baik partai politik maupun perseorangan, untuk memaparkan program-program

14

kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan
suara kepada mereka sewaktu pencoblosan (Lilleker & Negrine, 2000).
Selama ini banyak kalangan yang hanya mengartikan kampanye politik sebagai
kampanye pemilu. Pemahaman sempit tentang kampanye politik ini membuat semua partai
politik dan kontestan individu memfokuskan diri pada periode kampanye pemilu belaka.
Semua usaha, pendanaan, perhatian dan energi dan energi dipusatkan untuk mempengaruhi
dan memobilisasi pemilih menjelang pemilu.
Kampanye hitam atau black campaign merupakan salah satu bentuk kampanye
pemilu. Dalam studi kasus pilkada DKI periode 2012-2015 , parktik kampanye hitam yang
sempat menyudutkan posisi pasangan Gubernur dan wakil gubernur DKI ini amat rentan
ditemui menjelang masa-masa pemilihan. Sebagai bagian dari strategi deversifikasi politik,
(Firmanzah : 2007)
image positif yang dimiliki kandidat dapat membantu untuk meyakinkan pemilih bahwa
janji serta harapan politik yang diberikan benar-benar dimaksudkan untuk perbaikan bangsa
dan negara, bukan untuk kepentingan politis saja. Sementara itu, image yang negatif akan
semakin menyulitkan kandidat yang bersangkutan untuk meyakinkan pemilih bahwa program
kerja yang disampaikannya benar-benar demi perbaikan kondisi masyarakat.
Penggunaan media elektronik dalam menyebarkan informasi secara massive telah
membuka peluang positif dan negatif dalam stabilitas sosial. Terbentuknya UU No. 11 tahun
2008 tentang informasi dan teknologi elektronik ini semata-mata bukan karena tanpa alasan,
melainkan akibat merebaknya kasus kejahatan di cyberspace yang memanfaatkan media
elektronik berupa internet untuk kepentingan kejahatan.
Kasus Prita Laura yang terkenal dengan aksi penggalangan koin secara massal di
media jejaring sosial, penipuan kontes online dan jual-beli fiktif seringkali dialami oleh
sejumlah masyarakat pengguna internet. Hal ini mengindikasikan bahwa keterbukaan akses
media elektronik khususnya internet, bila tidak menggunakan sebuah sistem proteksi akan
sangat berbahaya bagi sekelompok individu bahkan negara. Bahaya yang penulis maksudkan
disini adalah, adanya penyebaran propaganda secara massive sehingga dapat membentuk
opini publik yang merugikan bagi korban (subjek yang disudutkan dalam proganda tersebut).
Dengan adanya Undang-undangNo. 11 tahun 2008 ini, maka warga Indonesia telah
dipayungi secara legal dan formal dalam kegiatan aksesbilitas media internet, meskipun pada
kenyataannya hal ini belum dapat menjamin sepenuhnya tidak akan ada kejahatan di dunia
maya lagi. Sebagaimana yang tertera dalam Bab 1 Ketentuan umum UU No. 11 tahun 2008,
ruang lingkup pembahasan UU ini meliputi :
15

1.

Informasi Elektronik

2.

Transaksi Elektronik

3.

Teknologi Informasi

4.

Dokumen Elektronik

5.

Sistem Elektronik

6.

Penyelenggaraan sistem elektronik

7.

Jaringan sistem elektronik

8.

Agen elektronik

9.

Sertifikat elektronik

10. Dst.
(Sumber : www.kemenkominfo.go.id)
Pada ketentuan umum diatas, jelas bahwa UU No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan
teknologi elektronik ini menangani secara rinci segala bentuk transaksi dan perbuatan
jurnalisme masyarakat khususnya yang mengandung muatan hukum, atau pelanggaran
ketentuan yang diberikan dan dapat berdampak merugikan bagi masyarakat. Tak hanya
kerugian finansial, tetapi juga penyalahgunaan nama baik atau yang bersinggungan dengan
nilai-nilai SARA (Suku, Ras dan Antar golongan).
Ketentuan Black campaign Menurut UU No. 11 Tahun 2008
Black campaign atau kampanye hitam sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada
bab sebelumnya, memiliki kaitan yang sangat erat dengan ketentuan yang telah ditetapkan
dalam UU No. 11 tahun 2008. Tindakan kampanye yang secara sengaja menjatuhkan nama
baik seorang figur tokoh masyarakat berkaitan dengan bab VII tentang Perbuatan yang
dilarang dalam undang-undang No. 11 tahun 2008 pasal 28 sebagai berikut :
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak untuk menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, ras, agama dan antar golongan (SARA).
Pada studi kasus kampanye hitam yang ditujukan pada pasangan Jokowi dan Ahok di
pemilukada DKI periode 2012-2015 kemarin, kita dapat mengidentifikasi bahwa perbuatan
yang mengilustrasikan image negatif pasangan yang terdiri dari dua agama yang berbeda ini,
seolah-olah bukanlah kriteria ideal untuk menjadi pemimpin di daerah yang mayoritas
berpenduduk muslim. Hal ini selain akan menyinggung perasaan calon yang dituju (Ahok),
juga akan dikenai sanksi karena melanggar ketentuan dalam undang-undang tentang
informasi dan teknologi elektronik tahun 2008.

16

Mekanisme penyelesaian masalah tersebut bila diinterpretasikan dari isi perundangundangan yang dimaksud, akan meliputi beberapa tahapan yakni sebagai berikut :
1.

Tindakan terbukti telah melanggar ketentuan sesuai dengan perincian pada bab VII UU

No. 11 tahun 2008 tentang Perbuatan yang Dilanggar.


2.

Menjalani Tahapan penyelesaian masalah sesuai dengan ketentuan pada bab VIII UU

No. 11 tahun 2008 tentang Penyelesaian Sengketa.


3.

Mendukung proses penyelesaian sengketa berdasarkan peran baik sebagai pemerintah,

maupun masyarakat, bab IX UU No. 11 tahun 2008 tentang Peran Pemerintah dan
Masyarakat.
4.

Diproses ke tahapan penyidikan bila telah terdapat bukti yang mengarah kepada

tersangka, bab X UU No. 11 tahun 2008 tentang penyidikan


5.

Menjalankan hukuman sesuai dengan beratnya perbuatan hukum pada saat di

pengadilan, dan diberikan sanksi hukuman sesuai dengan bab XI UU No. 11 tahun 2008
tentang Ketentuan Pidana.
Kembali mengacu pada studi kasus yang penulis contohkan sebelumnya, yakni tindakan
Black campaign yang dilakukan melalui media internet untuk menyudutkan pasangan Jokowi
dan Ahok pada pemilukada DKI periode 2012-2015, hal ini dapat dikategorikan sebagai
perbuatan melanggar etika hukum dalam memanfaatkan teknologi internet sebagai media
propaganda kampanye pemilu. Hal ini disebabkan oleh, kampanye hitam yang berupa
propaganda bermuatan SARA tidaklah dibenarkan dalam UU nomor 11 tahun 2008.
Selain video, penulis mencoba merincikan beberapa bentuk kampanye hitam (Black
campaign) yang ditujukan kepada Jokowi dan Ahok sebagai berikut :
1.

Pemberitaan Tvone yang mengangkat fenomena iklan-iklan yang menyinggung SARA

di situs jejaring sosial


2.

Kampanye terlarang yang dilakukan oleh tokoh masyarakat H. Rhoma Irama pada saat

kajian majelis taqlim di salah satu masjid di Jakarta, berusaha mempengaruhi masyarakat
dengan kekhawatiran kritenisasi di hadapan para media massa yang pada saat itu sedang
meliput aktivitas kajian tersebut.
3.

Pengelompokkan ormas islam yang ikut menolak kehadiran Ahok sebagai calon wakil

gubernur Jokowi untuk DKI di saat setalah masa kampanye berakhir, menjelang masa tenang
Pemilu.
Dengan demikian, aktivitas kampanye hitam yang bersifat tertutup maupun terbuka pada
momentum Pilkada DKI periode 2012-2015 kemarin, selain bertentangan dengan pasal 28
bab VIII UU No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan teknologi elektronik karena telah
17

menyebarkan informasi negatif yang menyinggung SARA, juga dapat dikenai hukuman
sebagai berikut :
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun /atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(Pasal 22 bab X UU No. 11 tahun 2008 tentang Teknologi dan Informasi Elektronik)
Dalam terminology politik dan pemilu, ada yang disebut sebagai kampanye hitam atau black
campaign. Istilah ini bukan berarti kampanye yang dilakukan malam hari, atau kampanye
yang dilakukan oleh orang berkulit hitam. Black Campaign, memang istilah serapan dari
bahasa asing (Inggris), yang mencirikan kesan negatif dari makna kata tersebut.
Kejahatan kampanye hitam sekarang ini tidak hanya sebatas tindak pidana politik saja,
melainkan juga kejahatan di media elektronik karena penyebarannya melalui media cyber
atau yang lebih dikenal dengan internet. Perubahan tarnsaksi kejahatan ini tidak dapat
dipungkiri seiring dengan semakin majunya aksesbilitas internet di kalangan masyarakat.
Maka dari itu kejahatan berbasis medi elektronik saatini semakin marak terjadi di kalangan
masyarakat.
Pemerintah dalam hal ini tak hanya kunjung diam, melalui UU nomor 11 tahun 2008 tentang
Teknologi dan informasi elektronik hal ini dapat dijatuhi sanksi hukuman karena melanggar
beberapa ketentuan pasal undang-undang tersebut. Maka dari itu, penulis telah mencoba
menekankan beberapa tindakan yang dimaksud dengan perbuatan yang melanggar dalam
undang undang ini. Disini saya akan berikan sedikit tips untuk menghindari Kampanye
hitam ( Balck Campaign ) ;
1. Adanya kesadaran akan hak dan kewajiban setiap warga negara untuk memberikan
hak pilihnya sebagai bentuk kepedulian dan demi terselenggaranya kehidupan
berbangsa dan bernegara 5 tahun kedepan.
2. Adanya sosialisasi yang berkelanjutan dan menyeluruh sehingga dapat memberikan
pembelajarn yang positif dan terhindar dari permasalahan yang dapat mencederai
nilai-niali demokrasi.
3. Bersikap menahan diri dan aktif untuk untuk menciptakan kampaye-kampaye politik
yang lebih sehat dan bermoral.

18

4. Hindari dan jauhi hal-hal yang mengajak kita untuk tidak bersikap netral dan tidak
memberikan kesempatan untuk lebih saling menghargai dan menghormati antar
pendukung yang ada.
5. Mematuhi dan meberikan contoh yang baik dalam proses hidup berdemokrasi.
6. Meningkatkan pengawasan yang mengedepankan sikap saling menghormati dan
menghargai antar pendukung dalam berdemokrasi.
7. Berlapang dada dan berjiwa besar untuk dapat meyelesaikan masalah dengan
musyawarah dan mufakat
8. Tidak melakukan tindakan provokasi sengaja ataupun tidak sengaja sehingga proses
demokrasi bisa berjalan lancar dan dapat dipertanggung jawabkan pada akhirnya.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN:

Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga
merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral, maupun
norma kenegaraan lainnya.
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan
universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai
tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan yang nyata
dalam masyarakat, bangsa maupun negara maka nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam suatu
norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut
meliputi:
1.

Norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat
diukur dari sudut baik maupun buruk.

19

2.

Norma hukum yaitu suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di


Indonesia.

SARAN:

Sebagai calon penerus bangsa yang ber-intelektual seorang mahasiswa berkewajiban


untuk mempelajari dan menjunjung tinggi pancasila, karena pancasila memberikan dasardasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Daftar Pustaka

http://filosofikopi20.blogspot.com/2013/01/etika-black-campaign-menurut-undang.html
http://pdpd-pd.blogspot.com/2014/06/etika-politik-black-campaign.html?m=1
http://mfazrul99.blogspot.in/2014/09/etika-politik-dalam-proses-politik-dan.html?m=1

20

Anda mungkin juga menyukai