Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah
maju. Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7
di Malaysia, nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam.
Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat
penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia
dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per
1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi
pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di Amerika
adalah 10 %.
Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya
ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu
beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat
menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal
pneumonia diberikan antibiotika secara empiris.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit
infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di
Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan
penyakit paru utama, 58 % diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan
11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8 %
kasus infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam
Malik Medan 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi
nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180
pneumonia komuniti dengan angka kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia
komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang
dirawat per tahun.

Tingginya angka merokok pada masyarakat akan menjadikan kanker paru


sebagai salah satu masalah kesehatan di Indonesia, seperti masalah keganasan
lainnya. Peningkatan angka kesakitan penyakit keganasan, seperti penyakit kanker
dapat dilihat dari hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang pada 1972
memperlihatkan angka kematian karena kanker masih sekitar 1,01 % menjadi 4,5
% pada 1991. Data yang dibuat WHO menunjukan bahwa kanker paru adalah
jenis penyakit keganasan yang menjadi penyebab kematian utama pada kelompok
kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki laki tetapi juga pada
perempuan2. Buruknya prognosis penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan
jarangnya penderita datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam
stadium awal penyakit. Hasil penelitian pada penderita kanker paru pascabedah
menunjukkan bahwa, rerata angka tahan hidup 5 tahunan stage I sangat jauh
berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage II, apalagi jika dibandingkan
dengan staging lanjut yang diobati adalah 9 bulan.
1.2.Tujuan
Mahasiswa kepaniteraan klinik senior dapat mampu mengetahui ,
memahami dan menjelaskan tentang :
1. Pneumonia
2. Pneumonia Aspirasi
3. Tumor Paru
1.3.Manfaat
a. Bagi Penulis
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi, dan mengembangkan teori yang telah disampaikan
mengenai Pneumonia, Pneumonia Aspirasi, Tumor Paru.
b. Bagi institute pendidikan
Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi
kegiatan yang ada kaitannya dengan pelayanan kesehatan, khususnya
yang berkaitan dengan Pneumonia, Pneumonia Aspirasi, Tumor Paru.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia
2.1.1 Definisi

Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang


disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.
Berdasarkan klinis dan epidemiologis, pneumonia dibedakan atas
komunitas (Community-Acquired Pneumonia = CAP), Pneumonia yang
didapatkan di Rumah Sakit (Hospital Acquired Pneumonia = HAP), Health Care
Associated Pneumonia = HCAP dan Pneumonia akibat pemakaian ventilator
(Ventilator Associated Pneumonia = VAP).1
2.1.2

Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu

bakteri, virus, jamur dan protozoa. Penelitian di beberapa Negara melaporkan


bahwa bakteri gram positif penyebab utama pneumonia komunitas.
Tabel 1. Etiologi Pneumonia
Tipe pasien
Rawat jalan

Etiologi
Streptococcus pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Haemophilus influenza
Chlamidophila pneumonia
Virus respirasi
S. pneumonia

Rawat inap (non ICU)

M. pneumonia
C. pneumonia
H. influenzae
Legionella spp
Aspirasi
Virus respirasi
S. pneumonia

Rawat ICU

S. pneumonia
Staphylococcus aureus
Legionella spp
Basil gram positif

H. influenza
Data dari beberapa rumah sakit di Indonesia tahun 2012 menunjukkan
bahwa penyebab terbanyak pneumonia komunitas di ruangan rawt inap dari bahan
sputum adalah kuman gram negative seperti Klebsiella pneumonia, Acinetobacter
baumanii, Pseudomonas aeroginosa sedangkan gram positif seperti Streptococcus
pneumonia, Streptococcus viridians, Staphylococcus aureus ditemukan dalam
jumlah sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terjadi
perubahan pola kuman pada pneumonia komunitas di Indonesia sehingga perlu
penelitian lebih lanjut.1
Faktor risiko yang berkaitan dengan infeksi pseudomonas menurut
ATS/IDSA 2007 adalah pemakaian kortikosteroid 10 mg perhari, riwayat
penggunaan antibiotic spectrum luas 7 hari pada bulan sebelumnya dan
malnutrisi. Faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi gram negative lainnya
adalah keganasan, penyakit kardiovaskular dan merokok.
Pemberian antibiotic yang ideal adlaah berdasarkan kuman penyabab
sehingga diperlukan pemeriksaan specimen untuk mendapatkan etiologi. Cara
pengambilan dan pengiriman specimen harus benar agar didapatkan hasil yang
representatif.
2.1.3

Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.

Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi


ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang
biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1.
2.
3.
4.

Inokulasi langsung
Penyebaran melalui pembuluh darah
Inhalasi bahan aerosol
Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara


Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal,
mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui
4

udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses
infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring)
kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi
paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal
waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol
dan pemakai obat (drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan
titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.
Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas
sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian
tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama.
Bronchopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus, Haemophilusinfluenza atau karena
aspirasi makanan dan minuman. Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan

paru.

Terdapatnya

bakteri

di

dalam

paru

merupakan

ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh sehingga mikroorganisme dapat


berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Bila pertahanan tubuh
tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang
menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu
mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi
empat stadium, yaitu :
1.

Stadium I/Hiperemia (4 12 jam pertama/kongesti)


Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon
peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi.
Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediatormediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan
cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan

prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.


Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler
dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida
maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu
alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan
oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang
terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit
dan cairan sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 8 hari)
Stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah
putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan
fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis
sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai di reabsorbsi, lobus
masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi
pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV/Resolusi (7 11 hari)
Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi
oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula
2.1.4

Klasifikasi
Pneumonia diklasifikasikan atas :

1. Berdasarkan klinis dan epideologis :


Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
6

Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial

pneumonia)
Pneumonia aspirasi
Pneumonia pada penderita Immunocompromised

Pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.


2. Berdasarkan bakteri penyebab
Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya
Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita

pasca infeksi influenza.


Pneumonia atipikal, disebabkan

Chlamydia.
Pneumonia virus
Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama

pada

penderita

Mycoplasma,

dengan

daya

Legionella

tahan

dan

lemah

(immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi
dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya :

pada aspirasi benda asing atau proses keganasan.


Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering
pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi

bronkus.
Pneumonia interstisial

Pneumonia
Segmentalis

Gambar 1. Klasifikasi Pneumonia

Yang terkena :
LOBUS BAWAH

Gambar 2. Lobus paru yang terkena


2.1.5

Diagnosa
Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan foto thoraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia


komunitas ditegakkan jika pada foto thoraks terdapat infiltrate / air bronchogram
ditambah dengan beberapa gejala dibawah ini.
-

Batuk
Perubahan karakteristik sputum/purulen
Suhu tubuh 38C (aksila) / riwayat demam
Nyeri dada
Sesak nafas
Pada pemeriksan fisik dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara

nafas bronchial dan ronki.


Leukosit 10.000 atau < 4000.

Pemeriksaan

biakan

diperlukan

untuk

menentukan

penyebab

menggunakan bahan sputum, darah atau aspirat endotrakeal, aspirat jaringan paru
dan bilasan bronkus. Pemeriksaan invasif hanya dilakukan asda pneumoniae berat
dan pnneumoniae yang tidak respon terhadap pemberian antibiotik. Penyebab
pneumoniae sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk
mendapatkan hasilnya sedangkan pneumoniae dapat menyebabkan kematian bila
tidak segera diobati, maka pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotik secara
empiris. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya
ditemukan sebanyak 50 %.
Pemeriksaan diagnostik untuk pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan
berdasarkan 2 pertimbangan:
1. Apabila hasil biakan yang didapatkan kemungkinan mempengaruhi
pemberian antibiotic secara perorangan.
2. Apabila hasil biakan yang didapat kemungkinan memberikan hasil
yang tinggi.
Pemeriksaan biakan darah dan apusan sputum serta kultur sputum harus
dilakukan pada pasien rawat inap dengan indikasi klinis untuk pemeriksaan
diagnostik yang lebih lanjut.
Pemeriksaan apusan sputum gram, biakan darah dan sputum dapat
dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan apusan gram dan biakan sputum hanya
dapat dilakukan jika hasil sputum yang dikeluarkan kualitasnya baik termasuk
cara pengumpulan, transportasi dan proses pemeriksaan di laboratorium. Pasien
dengan pneumonia berat harus diperiksa minimal biakan darah dan pemeriksaan
uji antigen urin untuk Legionella pneumophilla dan S. pneumonia. Hasil kultur
darah positif pada pneumonia yang dirawat hanya 5-14% sehingga pemeriksaan
kultur darah harus dilakukan secara selektif.
Tabel 2. Perbedaan Pneumonia Atipik dan Pneumonia Tipikal

2.1.5.1 Anamnesa
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 40C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadangkadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
2.1.5.2 Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada palpasi
fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara
napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus,
yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
2.1.5.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta
gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
10

gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,


Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia

sedangkan

Klebsiela

pneumonia

sering

menunjukkan

konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, atau <4.500/ul
dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan
dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25%
penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
2.1.6.

Penilaian derajat Keparahan penyakit


Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia kumuniti dapat dilakukan

dengan menggunakan sistem skor menurut Pneumonia Severity Index (PSI) atau
CURB-65. Sistem skor ini dapat mengidentifikasi apakah pasein dapat berobat
jalan atau rawat inap, dirawat diruangan biasa atau intensif. PSI menggunakan 20
variabel, ada riwayat penyakit dasarnua beserta umr mendaoat ilai tinggi.
Skor CURB-65 adalah penilaian terhadap setiap faktor risiko yang diukur.
Sistem skor pada CURB-65 lebih ideal digunakan untuk megidentifikasi pasei
dengan tingkat angka kematian yang tinggi. Setiap nilai faktor risiko dinilai satu.
Faktor risiko tersebut adalah :

C : Confusion yaitu tingkat kesadaran yag ditentukan berdasarkan

uji mental ( nilai 8 skor 1, nilai >8 skor 0)


U : Urea (>19 mg/dL skor 1; 19 mg/dL skor 0)
R : repiratory rate (RR > 30x/menit skor 1; RR 30x/menit skor

0)
B : Blood preasure (BP < 90/60 mmHg skor 1; BP 90/60 mmHg

skor 0)
65 : umur 65 tahun (umur 65 tahun skor 1; <65 tahun skor 0)

Tingkat kesadaran berdasarkan Abbreviation Mental Test (uji mental) yang


terdapat dalam tabel :

11

Tabel 3. Tingkat kesadaran berdasarkan Abbreviation Mental Test


(uji mental)
Respon
Umur

Nilai

Tanggal lahir
Waktu
Tahun sekarang
Nama rumah sakit
Dapat mengidentifikasi dua orang (misalnya dokter,
perawat)
Alamat rumah
Tanggal kemerdekaan
Nama raja/presiden
Hitung mundur (mulai dari 20 kebelakang)
Catatan :

Ada 10 pertanyaan
Tiap pertanyaan dijawab dengan benar mendapat nilai 1
Jawaban yang benar nilai 8 confusion skor 1
Jawaban yang benar nilai > 8 confusion skor 0

Setelah dilaporkan skor untuk confusion maka kemudian dinilai skor


lainnya yaitu urea, frekuensi nafas, tekanan darah dan umur. Mengingat
keterbatasan pemeiksaan BUN (Blood Urea Nitrogen) maka digunakan
pemeriksaan ureum tetepi dengan mengkonversikan nilai ureum dengan membagi
2,14. Bila nilai urea yang dihitung >19 mg/dL maka diberi skor 1 dan nilai urea
19 mg/dL diberi skor 0. Total skor yang didaatkan digunakan untuk menentukan
apakah pasien dapat berobat jalan atau rawat inap, dirawat diruangan biasa atau
diruangan intensif.
Penilaian berat pneumonia berdasarkan skor CURB65 adalah sebagasi berikut:

Skor 0-1
Skor 2

: risiko kematian rendah, pasein dapat berobat jalan


: risiko kematian sedang, dapat dipertimbangkan untuk

dirawat
Skor 3

: skor kematian tinggi dan dirawat harus ditatalaksana

sebagai pneumonia berat.


Skor 4-5
: harus dipertimbangkan perawatan intensif.

12

Tabel 4. Pneumonia Severity Index (PSI)

Perhimpunan

Dokter

Indonesia

(PDPI)

merekomendasikan

jika

menggunakan PSI kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
kominiti adalah :
1. Skor PSI lebih dari 70
2. Bila skor PSI kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.
o Frekuensi napas > 30/menit
o Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
o Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
o Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
o Tekanan sistolik < 90 mmHg
o Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Menurut ATS 2007 kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu
atau lebih' kriteria di bawah ini.

13

Kriteria minor:
- Frekuensi napas > 30/menit
- Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
- Foto toraks paru menunjukkan infiltrate multilobus
- Kesadarn menurun/disorientasi
- Uremia (BUN 20 mg/dl)
- Leucopenia (<4000 sel/mm3)
- Trombositopenia (<100.000 sel/mm3)
- Hipotermia (<36C)
- Hipotensi yang memerlukan resusitasi cairan yang agresif.
Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
- Membutuhkan ventilasi mekanik
- Syok septic ang membutuhkan vasopresor.
Kriteria perawatan intensif
Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif (ICU)
adalah :

Pasien syok septic yang membutuhkan vasopresor atau ARDS yang

membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis


Pasien dengan 3 gejala pneumoni berat

2.1.7. Penatalaksanaan
Tabel 5. Alur tatalaksana pneumoni komuniti.

14

Dalam mengobati pasien pneumonia sesuai dengan ATS/IDSA 2007 perlu


diperhatikan :

Pasien tanpa riwayat pemakaian antibiotic 3 bulan sebelumnya.


Pasein dengan riwayat pemakaian antibiotic 3 bulan sebelumnya.

Penatalaksanaan pneumonia komunitas dibagi menjadi :


a. Pasien rawat jalan
Pengobatan suportif/simptomatik
o Istirahat di tempat tidur
o Minum secukupnya untuk mencegah dehidrasi
o Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat

penurun panas
o Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang
dari 8 jam

15

b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa


Pengobatan suportif / simptomatik
o Pemberian terapi oksigen
o Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori
dan elektrolit
o Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik,

mukolitik
Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang

dari 8 jam
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
Pengobatan suportif / simptomatik
o Pemberian terapi oksigen
o Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori
dan elektrolit
o Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik,

mukolitik
Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik.

Pemberian antibiotic dievaluasi secara klinik dalam 72 jam pertama

Jika didapatkan perbaikan klinik terapi dapat dilanjutkan


Jika perburukan maka antibiotic harus diganti sesuai hasil biakan atau
pedoman empiris.

Tabel 6. Petunjuk Terapi Empiris untuk Pneumonia Komunitas Menurut


PDPI.
Rawat Jalan

Pasien yang sebelumnya sehat atau tanpa riw pemakaian AB 3

bulan sebelumnya
- Golongan laktam atau laktam + anti laktamase; ATAU
- Mkarolid baru ( Klaritomisin, azitromisin
Pasien dengan komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian AB
3 bulan sebelumnya
- Flourokuinolon

Rawat inap non ICU

respirasi

(levofloksasin

750

mg,

moksifloksasin); ATAU
- Golongan laktam + anti laktamase; ATAU
- laktam + makrolid
Flourokuinolon
respirasi
(levofloksasin

750

mg,

moksifloksasin); ATAU

16

Ruang Rawat Intensif

laktam + makrolid
Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas
Golongan laktam (sefotaksim, seftriaxon atau ampisilin
sulbaktam) + makrolid baru; ATAU Flourokuinolon respirasi

Pertimbangan khusus

intravena (IV)
Bila ada faktor risiko infeksi pseudomonas :
Antipneumokokal, antipseudomonas laktam (piperacilin
tazobaktam, sefipime, imipenem atau meropenem) +

Levoflokasasin 750 mg; ATAU


laktam seperti tersebut diatas ditambah aminoglikosida

dan azitromisin; ATAU


laktam seperti tersebut diatas ditambah aminoglikosida
dan antipneumokokal flourokuinolon (untuk pasien yang
alergi penisilin, laktam diganti dengan aztreonam)

Bila dicurigai disertai infeksi MRSA

+ vankomisin atau linezolid

Terapi Sulih (switch therapy)


Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan
perubahan obat suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk
mengurangi biaya perawatan dan mencegah infeksi nosokomial.
Perubahan obat suntik ke pral harus memperatikan keresediaan
antibiotic yang diberikam secara intervena dan antibiotic oral yang
efektifitasnya mampu mengimbangi efektivitas antibiotic iv yang telah
digunakan. Perubahan ini dapat diberika secara sequential (obat sama, potensi
sama), switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama
atau berbeda tetapi potensi lebih rendah).

Contoh terapi sekuensial : levoflokasisin, moksifloksasin.


Contoh switch over : seftasidim iv kr siprofloksasin oral.
Contoh step down : amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke
cefiksim oral.

Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian ada
haru ke 4 diganti obat oral dan pasien dapat berobat ja;an. Pada pasien yang
dirawat diruangan pemberian iv dapat di sulih terapi ke aral seteah 3 hari dan
pasien di ICU dapat diberikan sulih terapi ke oral setelah 7 hari.
Kriteria untuk perubahan obar suntik ke oral pada pneumonia
komunitas :
17

Hemodinamika stabil
Gejala klinis membaik
Dapat minum obat oral
Fungsi gastrointestinal normal

Kriteria klinis stabil :

Suhu 37,8
Frekuensi nadi 100x/menit
Frekuensi nafas 24 x/menit
Tekanan darah sistolik 90 mmHg
Saturasi oksigen arteri 90% atau Po2 60 mmHg

Pasien harus dipulangkan secepatnya jika klinis stabil, tidak ada lagi
masalah medis dan keadaan lingkungannya aman untuk melanjutkan
perawatan dirumah.

Tabel 7. Pemilihan antibiotic untuk sulih terapi pada pneumonia komunitas.


Golongan Obat

Flourokuinolon
Siprofloxacin
Levofloksasin
Beta laktamase
Ampisilin

Sefuroksim

Obat oral yang dianjurkan


Bioavail
Antibiotik
abiliti %
Siproflokasain
Levoflokasasi
n
Ampisilin

Sefuroksim

70 80
99

30 55

37 52

Pilihan lain
Bioavailabiliti %

Antibiotik

Flourokuinolon G2
Flourokuinolon G3
Laktam + makrolid
Amoksisilin
Penisilin V
Amoksisilin/klavulanat
Sefaklor
Sefprozil
Sefadroksil
Amoksisilin/klavulanat
Flourokuinolon G2 atau
G3
TMP/SMZ
Flourokuinolon G3

88
88
Variabel
74 -92
70 80
74 92
>90
>95
>90
74 92
88
>90

Setriakson
Sefotaksim
Seftazidim
Imipenem, atau

Sefuroksim

37 - 52

Sefuroksim

37 52

18

Sefiksim
Sefodoksim
Seftibutin
Flourokuinolon G4

88
40 60
50
70 90
88

Piperasilin/Tazobaktam
Makrolid
Eritromisin

Eritomisin

Variabel

Azitromisin

Azitromisin

37

Tetrasiklin
Doksisiklin

Doksisiklin

Linkomisin
Klindamisin

Klindamisin

Sulfonamid
TMP/SMZ

TMP/SMZ

60 90
90
70 - 100

Klaritromisin
Flourokuinolon G3
Doksisiklin
Makrolid
Flourokuinolon G3
Metronidazol
+
laktam
Flourokuinolon G4
laktam
Flourokuinolon G2

50
88
60 90
Variable 88

Variable 88
Variable 88

Lama pemberian antibiotic (iv/oral) minimal 5 hari dan tidak


demam 48-72 jam. Sebelum terapi dihentikan pasien dalam keadan
sebagai berikut :

Tidak memerlukan suplemen oksigen (kecuali untuk penyakit


dasarnya)
Tidak lebih dari satu tanda-tanda ketidakstabilan klinis seperti :
o Frekuensi nadi > 100 x/menit
o Frekuensi nafas >24 x/menit
o Tekanan darah sistolik 90 mmHg

Lama pengobatan pada umumnya 7-10 hari pada pasien yang


menunjukkan respon dalam 72 jam pertama. Lama pemberian antibiotik
dapat diperpanjang bila :

Terapi awal tidak efektif terhadap kuman penyebab


Terdapat infeksi ekstraparu (meningitis atau endokarditis)
Kuman penyebab adalah P. aeruginosa, S. aureus,
Legionela spp atau disebabkan kuman yang tidak umu

seerti Burkholderia pseudomallei, jamur.


Necrotizing pneumonia, empiema atau abses.
Lama pengobatan pasein seperti ini sebaiknya individual berdasarkan
respon pengobatan dan komorbid. Pada pneumonia yang disebabkan oleh
MRSA tana infeksi di organ lainnya lama pengobatan bervariasi antara 721 hari terganutng luasnya infeksi.
2.1.8. Komplikasi
Atelektasis yaitu pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps

paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau reflex batuk hilang.


Empiema

19

Abses paru
Sepsis
2.1.9. Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,
bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan
yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita
yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5%
pada penderita rawat jalan, penderita rawat inap 20%. Penentuan prognosis
menrut IDSA dan British Thoracic Society (BTS) adalah :
Tabel 8. Angka Kematian Berdasarkan Derajat Beratnya Penyakit
CURB 65

Total skor

Tingkat
keparahan

Kelas risiko

Angka
kematian

Skor
0-1

PSI

Skor 2

Skor

Tidak

Skor

Skor 71

Skor 91

Skor

>2

diprediksi

< 70

- 90

- 130

> 130

Klas I

Klas II

Klas III

Klas IV

Klas V

Risiko

Risiko

Risiko

rendah

rendah

rendah

Sedang

Berat

0,1 %

0,6 %

2,8 %

8,2 %

29,2 %

Grup

Grup I

Grup II

Rendah

Sedang

Berat

1,5%

9,2 %

22 %

III

2.2.
PNEUMONIA ASPIRASI
2.2.1. Definisi
Pneumoni aspirasi adalah infeksi paru-paru yang disebabkan oleh
terhirupnya bahan-bahan ke dalam saluran pernapasan atau terbawanya
bahan yang ada diorofaring pada saat respirasi ke saluran napas bawah dan
dapat menyebabkan kerusakan parenkim paru.
2.2.2. Etiologi
Partikel kecil dari mulut sering masuk ke dala saluran pernapasan,
tetapi biasanya sebelum masuk keparu-paru, akan dikeluarkan oleh

20

mekanisme pertahanan normal atau menyebabkan peradangan maupun


infeksi. Jika partikel tersebut tidak dapat dikeluarkan, bisa menyebabkan
pneumonia.
Orang yang lemah, keracunan alkohol atau obat atau dalam
keadaan tidak sadar karena pengaruh obat bius atau karena kondisi
kesehatanya, memiliko resiko untuk mederita pneumoni jenis ini. Bahkan
orang normal yang menghirup sejumlah besar bahan makanan yang
dimuntahkannya, bisa menderita pnuemoni aspirasi.
Beberapa jenis aspirasi yang bisa masuk ke dalam paru-paru
1. Aspirasi cairan
Aspirasi yang berhubungan dengan asam lambung, muntah dengan
aspirasi masif bahan-bahan material yang berasal dari lambung
merupakan peristiwa yang sangat sering terjadi dan mungkin salah satu
penyebab paling umum penyakit aspirasi, dan masalah yang akan
timbul lebih bersifat iritasi, hal yang terjadi dengan segera adalah
sesak nafas dan peningkatan denyut jantung, gejala lain berupa
demam, dahak kemerahan dan kulit yang kebiruan karena darah yang
kurang teroksigenasi. Pengobatan terdiri dari terapi oksigen dan jika
perlu bisa diberikan ventilator mekanis, bisa dilakukan pengisapan
trakea untuk membersihkan saluran pernapasan dan mengeluarkan
benda yang dihirup. Untuk mencegah infeksi kadang-kadang diberikan
antibiotik.
2. Aspirasi bakteri
Adalah bentuk pneumoni aspirasi yang paling sering terjadi hal
nini biasanya terjadi karena bakteri tertelan dan masuk ke paru-paru
3. Aspirasi benda asing
Biasanya disebabkan oleh terhirupnya partikel atau benda asing.
Anak kecil beresiko tinggi karena sering memasukkan benda kedalam
mulutnya dan menelan ainan kecil atau bagian bagian dari mainanya.
2.2.3. Patofisiologi
Aspirasi pneumoni menunjukkan ada sebuah proses akut dimana
terjadi iritasi di paru akibat inhalasi ini lambung. Penyakit ini terjadi pada

21

orang-orang dengan perubahan tingkat kesadaran yang biasanya


disebabkan kejang, cerebrovascular acident (CVA), massa d SSP,
keracunan obat atau pun overdosis, dan trauma kapitis.
Resiko aspirasi ini secar tidak langsung berhubungan dengan
tingkat

kesadaran

meningkatnya

pasien

resiko

(penurunan

aspirasi).

GCS

Tingkat

berhubungan

keparahan

dengan

penyakit

ini

berhubungan langsung dengan volume dan kesamaan dari cairan yang


diaspirasi. Aspirasi dengan jumlah cairan gaster yang banyak juga dikenal
dengan sebagai sindrom mendelson, dimana biasanya terjadi penekanan
pernafasan dalam satu jam.
Organisme anaerob memainkan peranan penting dalam patogenesis
pneumoni aspirasi yang didapat hal ini terjadi karena pada individu dengan
mekanisme pertahanan jalan napas yang lemah. Ini meliputi gangguan
reflek, batuk, pergerakan silia dan mekanisme kekebalan imun yang
kemudian memudahkan bahan material (hasil kolonisasi bakteri) dengan
cepat ke jalan napas bawah.
2.2.4. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan
a. Gejala klinik mendadak batuk, sesak napas, setelah 1-2 minggu
sesudah aspirasi keluhan dapat berupa demam menggigil, nyeri
pleuritik, batuk dengan dahak purulen dan berbau, nyeri perut,
anoreksia, penurunan berat badan.
b. Pemeriksaan penunjang : leukositosis, LED meningkat
c. Pada foto thorak dijumpai gambaran infiltrat pada segmen paru
unilateral dapat disertai kavitas dan efusi pleura
d. Pemeriksaan lain elektrolit, BUN, kreatini, kultur darah.
2.2.5 Penatalaksanaan
Terapi awal aspirasi pneumoni
Pengisapan jalan napas
Pemberian oksigen
Pemberian cairan dan nutrisi
Pemberian antibiotik sesuai dengan kuman penyebab, namun karna
kendala diagnostik etiologi, diberikan antibiotik secara empiris.
2.3.
Tumor Paru
22

2.3.1. Defisini
Kanker laru dalam artian luas adalah semua penyakit keganasan di paru,
mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan daru luar
paru (metastasis tumor di paru). Dalam pedoman penatalaksanaan yang dimaksud
dengan kanker paru adalah kanker paru primer yakni tumor ganas yang berasal
dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus (bronchogenic carcinoma).
Menurut konsep masa kini kanker adalah penyakit gen. Sebuah sel normal
dapat menjadi sel kanker apabila oleh berbagai sebab terjadi ketidak seimbangan
antara fungsi onkogen dengan gen tumor suppresor dalam proses tumbuh dan
kembangnya sebuah sel. Perubahan atau mutasi gen yang menyebabkan terjadinya
hiperekspresi onkogen dan/atau kurang/hilangnya fungsi gen tumor suppresor
menyebabkan sel tumbuh dan berkembang tak terkendali. Perubahan ini berjalan
dalam beberapa tahap atau yang dikenal dengan proses multistep carcinogenesis.
Perubahan pada kromosom, misalnya hilangnya heterogeniti kromosom atau LOH
juga diduga sebagai mekanisme ketidak normalan pertumbuhan sel pada sel
kanker. Dari berbagai penelitian telah dapat dikenal beberapa onkogen yang
berperan dalam proses karsinogenesis kanker paru, antara lain gen myc, gen k-ras
sedangkan kelompok gen tumor suppresor antaralain, gen p53, gen rb. Sedangkan
perubahan kromosom pada lokasi 1p, 3p dan 9p sering ditemukan pada sel kanker
paru.
2.3.2

Epidemiologi
Kanker paru masih menjadi salah satu keganasan yang paling sering,

berkisar 20% dari seluruh kasus kanker pada laki-laki dengan risiko terkena 1 dari
13 orang dan 12% dari semua kasus kanker pada perempuan dengan risiko terkena
1 dari 23 orang. Di Inggris rata-rata 40.000 kasus baru dilaporkan setiap tahun.
Perkiraan insidensi kanker paru pada laki-laki tahun 2005 di Amerika Serikat
adalah 92.305 dengan rata-rata 91.537 orang meninggal karena kanker. American
Cancer Society mengestimasikan kanker paru di Amerika Serikat pada tahun 2010
sebagai berikut:
-

Sekitar 222.520 kasus baru kanker paru akan terdiagnosa (116.750 orang
laki-laki dan 105.770 orang perempuan).

23

Estimasi kematian karena kanker paru sekitar 157.300 kasus (86.220 pada
laki-laki dan 71.080 pada perempuan), berkisar 28% dari semua kasus
kematian karena kanker.
Risiko terjadinya kanker paru sekitar 4 kali lebih besar pada laki-laki

dibandingkan perempuan dan risiko meningkat sesuai dengan usia: di Eropa


insidensi kanker paru 7 dari 100.000 laki-laki dan 3 dari 100.000 perempuan pada
usia 35 tahun, tetapi pada pasien >75 tahun, insidensi 440 pada laki-laki dan 72
pada perempuan. Variasi insidensi kanker paru secara geografik yang luas juga
dilaporkan dan hal ini terutama berhubungan dengan kebiasaan merokok yang
bervariasi di seluruh dunia.
Di Indonesia data epidemiologi belum ada. Di Rumah Sakit Persahabatan
jumlah kasus tumor ganas intratoraks cukup sering ditemukan. Kekerapan kanker
paru di rumah sakit itu merupakan 0.06% dari jumlah seluruh penderita rawat
jalan dan 1.6% dari seluruh penderita rawat inap.
2.3.2. Faktor Resiko dan Etiologi
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru
belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat
karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain
seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain (Amin, 2006). Dibawah ini akan
diuraikan mengenai faktor risiko penyebab terjadinya kanker paru :
a. Merokok
Menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan
paling penting, yaitu 85% dari seluruh kasus ( Wilson, 2005). Rokok
mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, diantaranya telah diidentifikasi
dapat menyebabkan kanker. Kejadian kanker paru pada perokok
dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang diisap
setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti merokok.
Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara
perokok pasif, atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain
di dalam ruang tertutup, dengan risiko terjadinya kanker paru. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa pada orang-orang yang tidak

24

merokok, tetapi mengisap asap dari orang lain, risiko mendapat kanker
paru meningkat dua kali.
Diduga ada 3.000 kematian akibat kanker paru tiap tahun di
Amerika Serikat terjadi pada perokok pasif.
b. Polusi udara
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara,
tetapi pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek.
Kematian akibat kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah
perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Bukti statistik juga
menyatakan bahwa penyakit ini lebih sering ditemukan pada masyarakat
dengan kelas tingkat sosial ekonomi yang paling rendah dan berkurang
pada mereka dengan kelas yang lebih tinggi. Hal ini, sebagian dapat
dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial ekonomi yang lebih
rendah cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka,
tempat udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi. Suatu
karsinogen yang ditemukan dalam udara polusi (juga ditemukan pada asap
rokok) adalah 3,4 benzpiren.
c. Paparan zat karsinogen
Beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen,
kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat
menyebabkan kanker paru (Amin, 2006). Risiko kanker paru di antara
pekerja yang menangani asbes kira-kira sepuluh kali lebih besar daripada
masyarakat umum. Risiko kanker paru baik akibat kontak dengan asbes
maupun uranium meningkat kalau orang tersebut juga merokok.
d. Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi
terhadap betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya
risiko terkena kanker paru.

e. Genetik

25

Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko


lebih besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik
molekuler memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-gen
penekan tumor memiliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya
kanker paru. Tujuan khususnya adalah pengaktifan onkogen (termasuk
juga gen-gen K-ras dan myc) dan menonaktifkan gen-gen penekan tumor
(termasuk gen rb, p53, dan CDKN2).
f. Penyakit paru
Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif
kronik juga dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit
paru obstruktif kronik berisiko empat sampai enam kali lebih besar terkena
kanker paru ketika efek dari merokok dihilangkan.
2.3.3. Klasifikasi
Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung cancer,
SCLC) dan kanker paru sel tidak kecil (non-small lung cancer, NSCLC).
Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan terapi. Termasuk didalam golongan
kanker paru sel tidak kecil adalah epidermoid, adenokarsinoma, tipe-tipe sel besar,
atau campuran dari ketiganya.
Karsinoma sel skuamosa (epidermoid) merupakan tipe histologik kanker
paru yang paling sering ditemukan, berasal dari permukaan epitel bronkus.
Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka
panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Karsinoma sel skuamosa
biasanya terletak sentral di sekitar hilus, dan menonjol ke dalam bronki besar.
Diameter tumor jarang melampaui beberapa sentimeter dan cenderung menyebar
secara langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada, dan mediastinum.
Karsinoma ini lebih sering pada laki-laki daripada perempuan.
Adenokarsinoma, memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus
dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini timbul di bagian
perifer segmen bronkus dan kadang-kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut
lokal pada paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi sering kali meluas ke

26

pembuluh darah dan limfe pada stadium dini dan sering bermetastasis jauh
sebelum lesi primer menyebabkan gejala-gejala.
Karsinoma bronkoalveolus dimasukkan sebagai subtipe adenokarsinoma
dalam klasifikasi terbaru tumor paru dari WHO. Karsinoma ini adalah sel-sel
ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar
dan ukuran inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan
paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempattempat yang jauh.
Karsinoma sel kecil umumnya tampak sebagai massa abu-abu pucat yang
terletak di sentral dengan perluasan ke dalam parenkim paru dan keterlibatan dini
kelenjar getah bening hilus dan mediastinum. Kanker ini terdiri atas sel tumor
dengan bentuk bulat hingga lonjong, sedikit sitoplasma, dan kromatin granular.
Gambaran mitotik sering ditemukan. Biasanya ditemukan nekrosis dan mungkin
luas. Sel tumor sangat rapuh dan sering memperlihatkan fragmentasi dan crush
artifact pada sediaan biopsi. Gambaran lain pada karsinoma sel kecil, yang
paling jelas pada pemeriksaan sitologik, adalah berlipatnya nukleus akibat letak
sel tumor dengan sedikit sitoplasma yang saling berdekatan.
Karsinoma sel besar adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi
sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam-macam.
Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru perifer, tumbuh cepat dengan
penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat-tempat yang jauh.
Bentuk lain dari kanker paru primer adalah adenoma, sarkoma, dan
mesotelioma bronkus. Walaupun jarang, tumor-tumor ini penting karena dapat
menyerupai karsinoma bronkogenik dan mengancam jiwa.
2.3.4. Stadium Klinis
Tabel 9. Stadium Klinis Kanker
STADIUM
Karsinoma tersembunyi
Stadium 0
Stadium IA
Stadium IB
Stadium IIA
Stadium IIB

TNM
Tx, N0, M0
Tis, N0, M0
T1, N0, M0
T2, N0, M0
T1, N1, M0
T2, N1, M0
T3, N0, M0
27

Stadium IIIA
Stadium IIIB
Stadium IV

T3, N1, M0
T1-3, N2, M0
T berapa pun, N3, M0
T4, N berapa pun, M0
T berapa pun, N berapa pun, M1

Keterangan :
Status Tumor Primer (T)
T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer.
Tx : Kanker yang tersembunyi terlihat pada sitologi bilasan bronkus, tetapi
tidak terlihat pada radiogram atau bronkoskopi.
Tis : Karsinoma in situ.
T1 : Tumor berdiameter 3 cm dikelilingi paru atau pleura viseralis yang
normal.
T2 : Tumor berdiameter > 3 cm atau ukuran berapa pun yang sudah
menyerang pleura viseralis atau mengakibatkan ateletaksis yang meluas
ke hilus; harus berjarak > 2 cm distal dari karina.
T3 : Tumor ukuran berapa saja yang langsung meluas ke dinding dada,
diafragma, pleura mediastinalis, dan perikardium parietal atau tumor di
bronkus utama yang terletak 2 cm dari distal karina, tetapi tidak
melibatkan karina, tanpa mengenai jantung, pembuluh darah besar,
trakea, esofagus, atau korpus vertebra.
T4 : Tumor ukuran berapa saja dan meluas ke mediastinum, jantung,
pembuluh darah besar, trakea, esofagus, korpus vertebra, rongga
pleura/perikardium yang disertai efusi pleura/perikardium, satelit nodul
ipsilateral pada lobus yang sama pada tumor primer.
Keterlibatan Kelenjar Getah Bening Regional (N)
N0 : Tidak dapat terlihat metastasis pada kelenjar getah bening regional.
N1 : Metastasis pada peribronkial dan/atau kelenjar hilus ipsilateral.
N2 : Metastasis pada mediastinal ipsilateral atau kelenjar getah bening
subkarina.

28

N3 : Metastasis pada mediastinal atau kelenjar getah bening hilus


kontralateral; kelenjar getah bening skalenus atau supraklavikular
ipsilateral atau kontralateral.
Metastasis Jauh (M)
M0 : Tidak diketahui adanya metastasis jauh.
M1 : Metastasis jauh terdapat pada tempat tertentu misalnya otak (Huq,
2010).
2.3.5. Diagnosis Dan Penderajatan
Tujuan

pemeriksaan

diagnosis

adalah

untuk

menentukan

jenis

histopatologi kanker, lokasi tumor serta penderajatannya yang selanjutnya


diperiukan untuk menetapkan kebijakan pengobatan.
2.3.5.1.

Deteksi dini

Keluhan dan gejala penyakit ini tidak spesifik, seperti batuk darah, batuk
kronik, berat badan menurun dan gejala lain yang juga dapat dijurnpai pada jenis
penyakit paru lain. Penernuan dini penyakit ini berdasarkan keluhan saja jarang
terjadi, biasanya keluhan yang ringan terjadi pada mereka yang telah memasuki
stage II dan III. Di Indonesia kasus kanker paru terdiagnosis ketika penyakit telah
berada pada staging lanjut. Dengan rneningkatnya kesadaran masyarakat tentang
penyakit ini, disertai dengan meningkatnya pengetahuan dokter dan peralatan
diagnostik maka pendeteksian dini seharusnya dapat dilakukan.
Sasaran untuk deteksi dini terutama ditujukan pada subyek dengan risiko
tinggi yaitu:

Laki -laki, usia lebih dari 40 tahun, perokok


Paparan industri tertentu

Disertai dengan satu atau lebih gejala: batuk darah, batuk kronik, sesak
napas,nyeri dada dan berat badan menurun.
Golongan lain yang perlu diwaspadai adalah perempuan perokok pasif
dengan salah satu gejala di atas dan seseorang yang dengan gejala klinik : batuk
darah, batuk kronik, sakit dada, penurunan berat badan tanpa penyakit yang jelas.
Riwayat tentang anggota keluarga dekat yang menderita kanker paru juga perlu
jadi faktor pertimbangan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk deteksi dini

29

ini, selain pemeriksaan klinis adalah pemeriksaan radio toraks dan pemeriksaan
sitologi sputum.
Jika ada kecurigaan kanker paru, penderita sebaiknya segera dirujuk ke
spesialis paru agar tindakan diagnostik lebih lanjut dapat dilakukan lebih cepat
dan terarah.
2.3.6. Prosedur diagnostik
a. Gambaran Klinik
i. Anamnesis
Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak
berbeda dari penyakit paru lainnya, terdiri dari keluhan subyektif
dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan didapat keluhan utama
dan perjalanan penyakit, serta faktorfaktor lain yang sering sangat
membantu tegaknya diagnosis. Keluhan utama dapat berupa :

Batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih,

dapat juga purulen)


Batuk darah
Sesak napas
Suara serak
Sakit dada
Sulit / sakit menelan
Benjolan di pangkal leher
Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai
sembab lengan dengan rasa nyeri yang hebat.

Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan


akibat metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena
kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau patah tulang kaki.
Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti :
o
o
o
o

Berat badan berkurang


Nafsu makan hilang
Demam hilang timbul
Sindrom paraneoplastik,

seperti

"Hypertrophic

pulmonary

osteoartheopathy", trombosis vena perifer dan neuropatia.


b. Pemerikasaan jasmani
Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan
teliti. Hasil yang didapatkan sangat bergantung pada kelainan saat
pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran kecil dan terletak di

30

perifer dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan.


Tumor dengan ukuran besar terlebih jika fisertai dengan atelektasis
sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena
kava akan memberikan hasil yang lebih informative. Pemeriksaaan
ini juga dapat memberikan inforasi tentang metastasis dari
penyakit.
c. Pemeriksaan radiologis
Hasil pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan
penunjang yang mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi
tumor primer dan metastasis, serta penentuan stadium penyakit
berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan radiologi paru yaitu Foto
toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan toraks, bone scan, Bone
survey,

USG

abdomen

dan

Brain-CT

dibutuhkan

untuk

menentukan letak kelainan, ukuran tumor dan metastasis.


i. Foto toraks
Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat
dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1
cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang
ireguler, disertai identasi pleura, tumor satelit tumor, dll.
Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke
dinding dada, efusi pleura, efusi perikar dan metastasis
intrapulmoner.

Sedangkan

keterlibatan

KGB

untuk

menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks


saja.
Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker
paru pada seorang penderita penyakit paru dengan
gambaran yang tidak khas untuk keganasan penting
diingatkan. Seorang penderita yang tergolong dalam
golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis penyakit
paru, harus disertai difollowup yang teliti. Pemberian OAT
yang tidak menunjukan perbaikan atau bahkan memburuk
setelah 1 bulan harus menyingkirkan kemungkinan kanker
paru, tetapi lain masalahnya pengobatan pneumonia yang
31

tidak berhasil setelah pemberian antibiotik selama 1


minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan
tumor dibalik pneumonia tersebut
Bila foto toraks menunjukkan gambaran efusi
pleura yang luas harus diikuti dengan pengosongan isi
pleura dengan punksi berulang atau pemasangan WSD dan
ulangan foto toraks agar bila ada tumor primer dapat
diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila cairan
bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik.
ii. CT-Scan toraks
Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di
paru secara lebih baik daripada foto toraks. CT-scan dapat
mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm
secara lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses
keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan bila
terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intra bronkial,
atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi
invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa
gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB
yang sangat berperan untuk menentukan stage juga lebih
baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi.
Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan
metastasis intrapulmoner.
iii. Pemeriksaan radiologik lain
Kekurangan dari foto toraks dan CT - scan toraks adalah
tidak mampu mendeteksi telah terjadinya metastasis jauh. Untuk
itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain, misalnya Brain-CT
untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak, bone
scan dan/atau bone survey dapat mendeteksi metastasis diseluruh
jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat melihat ada tidaknya
metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam rongga
perut.
d. Pemeriksaan khusus

32

i. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik
sekaligus dapat dihandalkan untuk dapat mengambil jaringan atau
bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan
ada tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran
napas, seperti terlihat kelainan mukosa tumor misalnya, berbenjolbenjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif, mudah berdarah.
Tampakan yang abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan
biopsi tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan
bronkus
ii. Biopsi aspirasi jarum
Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan,
misalnya karena amat mudah berdarah, atau apabila mukosa licin
berbenjol, maka sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi jarum, karena
bilasan dan biopsi bronkus saja sering memberikan hasil negatif.
Specimen yang diperoleh adalah bhaan pemeriksaan sitologi.
iii. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)
TBNA di karina, atau trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas
karina) pada posisi jam 1 bila tumor ada dikanan, akan
memberikan informasi ganda, yakni didapat bahan untuk sitologi
dan informasi metastasis KGB subkarina atau paratrakeal.
iv. .Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)
Jika lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana
untuk fluoroskopik maka biopsi paru lewat bronkus (TBLB) harus
dilakukan.
v. Transthoracic Needle Aspiration
Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm,
TTNA dilakukan dengan bantuan flouroskopi atau USG. Namun
jika lesi lebih kecil dari 2 cm dan terletak di sentral dapat
dilakukan TTNA dengan tuntunan CT-scan. Spesimen yang
diperoleh adalah bahan pemeriksaan sitologi.
vi. Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB)

33

Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, TTB
dengan bantuan flouroscopic angiography. Namun jika lesi lebih
kecil dari 2 cm dan terletak di sentral dapat dilakukan TTB dengan
tuntunan CTscan.
vii. Biopsi lain
Biopsi

jarum

halus

dapat

dilakukan

bila

terdapat

pembesaran KGB atau teraba masa yang dapat terlihat superfisial.


Biopsi KBG harus dilakukan bila teraba pembesaran KGB
supraklavikula,

leher

atau

aksila,

apalagi

bila

diagnosis

sitologi/histologi tumor primer di paru belum diketahui. Biopsi


Daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat pembesaran KGB
suparaklavikula dan cara lain tidak menghasilkan informasi tentang
jenis sel kanker. Punksi dan biopsi pleura harus dilakukan jika ada
efusi pleura.
viii. Torakoskopi medik
Dengan tindakan ini massa tumor di bagaian perifer paru,
pleura viseralis, pleura parietal dan mediastinum dapat dilihat dan
dibiopsi.
ix. Sitologi sputum
Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling
mudah dan murah. Kekurangan pemeriksaan ini terjadi bila tumor
ada di perifer, penderita batuk kering dan tehnik pengumpulan dan
pengambilan sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan
inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran sputum dapat
ditingkatkan. Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan
tersebut di atas harus dikirim ke laboratorium. Patologi Anatomik
untuk pemeriksaan sitologi/histologi. Bahan berupa cairan harus
dikirim segera tanpa fiksasi, atau dibuat sediaan apus, lalu difiksasi
dengan alkohol absolut atau minimal alcohol 90%. Semua bahan
jaringan harus difiksasi dalam formalin 4%.
e. Pemeriksaan invasif lain

34

Pada kasus kasus yang rumit terkadang tindakan invasif seperti


Torakoskopi dan tindakan bedah mediastinoskopi, torakoskopi, torakotomi
eksplorasi dan biopsi paru terbuka dibutuhkan agar diagnosis dapat
ditegakkan. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir bila dari semua cara
pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosis histologis / patologis tidak
dapat ditegakkan. Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan
agar dapat ditentukan :

Jenis histologis.
Derajat (staging).
Tampilan (tingkat tampil, "performance status").

Sehingga jenis pengobatan dapat dipilih sesuai dengan kondisi


penderita.
f. Pemeriksaan lain
i. Petanda Tumor
Petanda tumor yang telah, seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan
lainya tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis tetapi masih
digunakan evaluasi hasil pengobatan.
ii. Pemeriksaan biologi molekuler
Pemeriksaan biologi molekuler telah semakin berkembang, cara
paling sederhana dapat menilai ekspresi beberapa gen atau
produk gen yang terkait dengan kanker paru,seperti protein p53,
bcl2, dan lainya. Manfaat utama dari pemeriksaan biologi
molekuler adalah menentukan prognosis penyakit.
2.3.7. Penderajatan (Staging) Kanker Paru
Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut International System
For Lung Cancer 1997, berdasarkan sistem TNM (Lampiran. 2). Pengertian T
adalah tumor yang dikatagorikan atas Tx, To s/d T4, N untuk keterlibatan kelenjar
getah bening (KGB) yang dikategorikan atas Nx, No s/d N3, sedangkan M adalah
menunjukkan ada atau tidaknya metastasis jauh.
a. Tampilan
Tampilan penderita kanker paru berdasarkan keluhan subyektif dan
obyektif yang dapat dinilai oleh dokter. Ada beberapa skala international untuk
menilai tampilan ini, antara lain berdasarkan Karnofsky Scale yang banyak
dipakai di Indonesia, tetapi juga dapat dipakai skala tampilan WHO. Tampilan

35

inilah yang sering jadi penentu dapat tidaknya kemoterapi atau radioterapi kuratif
diberikan.
2.3.8. Tatalaksana
Tabel 10. Alur deteksi dini kanker paru

Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multimodaliti terapi). Kenyataanya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya
diharapkan pada jenis histologis, derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga
kondisi non-medisseperti fasiliti yang dimilikirumah sakit dan ekonomi penderita
juga merupakan faktor yang amat menentukan.
a. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stadium I
dan II. Pembedahan juga merupakan bagian dari combine modality therapy,
misalnya kemoterapi neoadjuvan untuk KPBKSK stadium IIIA. Indikasi lain
adalah bila ada kegawatan yang memerlukan intervensi bedah, seperti kanker
paru dengan sindroma vena kava superiror berat.

36

Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap


berikut jaringan KGB intrapulmoner, dengan lobektomi maupun pneumonektomi.
Segmentektomi atau reseksi baji hanya dikerjakan jika faal paru tidak cukup
untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan potong beku untuk memastikan
bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB mediastinum diambil dengan
diseksi sistematis, serta diperiksa secara patologi anatomis. Hal penting lain yang
penting dingat sebelum melakukan tindakan bedah adalah mengetahui toleransi
penderita terhadap jenis tindakan bedah yang akan dilakukan. Toleransi penderita
yang akan dibedah dapat diukur dengan nilai uji faal paru dan jika tidak
memungkin dapat dinilai dari hasil analisis gas darah (AGD) :
Syarat untuk reseksi paru

Resiko ringan untuk Pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral baik,

VEP1>60%
Risiko sedang pneumonektomi, bila KVP paru kontralateral > 35%, VEP1

> 60%
b. Radioterapi
Radioterapi pada kanker paru dapat menjadi terapi kuratif atau paliatif.
Pada terapi kuratif, radioterapi menjadi bagian dari kemoterapi neoadjuvan untuk
KPKBSK stadium IIIA. Pada kondisi tertentu, radioterapi saja tidak jarang
menjadi alternatif terapi kuratif.
Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk
meringankan keluhan penderita, seperti sindroma vena kava superiror, nyeri
tulang akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastasis tumor di tulang atau
otak.
Penetapan kebijakan radiasi pada KPKBSK ditentukan beberapa faktor

Staging penyakit
Status tampilan
Fungsi paru
Bila radiasi dilakukan setelah pembedahan, maka harus diketahui :

Jenis pembedahan termasuk diseksi kelenjar yang dikerjakan


Penilaian batas sayatan oleh ahli Patologi Anatomi (PA)

37

Dosis radiasi yang diberikan secara umum adalah 5000 6000 cGy,
dengan cara pemberian 200 cGy/x, 5 hari perminggu.
Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah :

Hb > 10 g%
Trombosit > 100.000/mm3
Leukosit > 3000/dl
Radiasi paliatif diberikan pada unfavourable group, yakni :

PS < 70.
Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan.
Fungsi paru buruk.

Efektivitas radioterapi meningkat jika dikombinasikan dengan kemoterapi.


Pemberian radioterapi sampai dosis penuh (full dose 5000 6000 cGy
c. Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker paru. Syarat utama
harus ditentukan jenis histologis tumor dan tampilan (performance status) harus
lebih dan 60 menurut skala Karnosfky atau 2 menurut skala WHO. Kemoterapi
dilakukan dengan menggunakan beberapa obat antikanker dalam kombinasi
regimen kemoterapi. Pada keadaan tertentu, penggunaan 1 jenis obat anti kanker
dapat dilakukan.
Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian sebuah regimen
kemoterapi adalah:

Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)


Respons obyektif satu obat antikanker s 15%
Toksisiti obat tidak melebihi grade 3 skala WHO
Harus dihentikan atau diganti bila setelah pemberian 2 sikius pada

penilaian terjadi tumor progresif.


1. Kemoterapi lini pertama
Regimen untuk kemoterapi lini pertama untuk KPKBSK adalah :

Paklitaksel + sisplatin atau karboplatin siklus 3 mingguan


o Paklitaksel 175 mg/BSA + sisplatin 60-80 mg/BSA; atau
o Paklitaksel 175 mg/BSA + karboplatin AUC 5
Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin siklus 3 mingguan

38

o Gemsitabin 1250 mg/BSA (hari 1,8) + sisplatin 60 80


mg/BSA ( 1hari); atau
o Gemsitabin 1250 mg/BSA (hari 1,8) + karboplatin AUC

5 (1 hari).
Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin, siklus 3 mingguan
o Dosetaksel 75 mg/BSA + sisplatin 60 80 mg/BSA; atau
o Dosetaksel 75 mg/BSA + karboplatin AUC 5
Vinorelbin + sisplatin atau karboplatin siklus 3 mingguan
o Vinorelbin 30 mg/BSA (hari 1,8) + sisplatin 60 80
mg/BSA (hari 1); atau
o Vinorelbin 30 mg/BSA (hari 1,8) + karboplatin AUC 5
(hari 1)
Pada pusat pelayanan tertentu dengan keterbatasan pengadaan obat

dapat diberikan rejimen:

CAP II (sisplatin, adriamisin, siklofosfamid) siklus 28 hari


o Cisplatin 60 mg/BSA + adriamisin 40 mg/BSA +
siklofosdamid 400 mg/BSA.
PE (sisplatin atau karboplatin + etoposid). Siklus 3 mingguan
o Sisplatin 60 80 mg/BSA (hari 1) + etoposid 100
mg/BSA (hari 1,2,3); atau
o Karboplatin AUC 5 (hari 1), etoposid 100 mg/BSA (hari
1,2,3).

Syarat standar yang harus dipenuhi sebelum kemoterapi


1. Tampilan > 70-80, pada penderita dengan PS < 70 atau usia lanjut, dapat
diberikan obat antikanker dengan regimen tertentu dan/atau jadwal
2.

tertentu.
Hb > 10 g%, pada penderita anemia ringan tanpa perdarahan akut, meski
Hb < 10 g% tidak pertu tranfusi darah segera, cukup diberi terapi sesuai

3.
4.
5.
6.

dengan penyebab anemia.


Granulosit > 1500/mm3
Trombosit > 100.000/mm3
Fungsi hati baik
Fungsi ginjal baik (creatinin clearance lebih dari 70 ml/menit)
Dosis obat anti-kanker dapat dihitung berdasarkan ketentuan farmakologik

masing masing. Ada yang menggunakan rumus antara lain, mg/kg BB, mg/luas

39

permukaan tubuh (BSA), atau obat yang menggunakan rumusan AUC (area under
the curve) yang menggunakan CCT untuk rumusnya.
Luas permukaan tubuh (BSA) diukur dengan menggunakan parameter
tinggi badan dan berat badan, lalu dihitung dengan menggunakan rumus atau alat
pengukur khusus (nomogram yang berbentuk mistar)
LPB (m2) = BB x TB / 3600
Untuk obat anti-kanker yang mengunakan AUC ( misal AUC 5), maka
dosis dihitung dengan menggunakan rumus atau nnenggunakan nomogram.
Dosis (mg) = (target AUC) x ( GFR + 25)
Nilai GFR atau gromenular filtration rate dihitung dari kadar kreatinin dan
ureum darah penderita.

Evaluasi hasil pengobatan


Umumnya kemoterapi diberikan sampai 6 sikius/sekuen, bila penderita
menunjukkan respons yang memadai. Evaluasi respons terapi dilakukan dengan
melihat perubahan ukuran tumor pada foto toraks PA setelah pemberian (siklus)
kemoterapi ke-2 dan kalau memungkinkan menggunakan CT-Scan toraks setelah
4 kali pemberian.
Evaluasi dilakukan terhadap
-

Respons subyektif yaitu penurunan keluhan awal


Respons semisubyektif yaitu perbaikan tampilan, bertambahnya berat

badan
Respons obyektif
Efek samping obat

Respons obyektif dibagi atas 4 golongan dengan ketentuan


-

Respons komplit (complete response , CR) : bila pada evaluasi tumor

hilang 100% dan keadan ini menetap lebih dari 4 minggu.


Respons sebagian (partial response, PR) : bila pengurangan ukuran

tumor > 50% tetapi < 100%.


Menetap {stable disease, SD) : bila ukuran tumor tidak berubahatau
mengecil > 25% tetapi < 50%.

40

Tumor progresif (progresive disease, PD) : bila terjadi petambahan


ukuran tumor > 25% atau muncul tumor/lesi baru di paru atau di
tempat lain.

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemberian kemoterapi adalah


timbulnya efek samping atautoksisiti. Berat ringannya efek toksisiti kemoterapi
dapat dinilai berdasarkan ketentuan yang dibuat WHO.
2. Kemoterapi Lini Kedua
Penderita yang tidak respon (progresif) setelah pemberian kemoterapi 2
siklus atau progresif dalam masa evaluasi setelah selesai kemoterapi 4 siklus dapat
diberikan terai kemoterapi lini kedua (second line).

Dosetaksel 75 mg/m2, siklus 3 mingguan untuk 4-6 siklus; atau


Pemetrexed 500 mg/m2, 3 mingguan untuk 4 6 siklus; atau
Erlotinib 150 mg/x/ hari * atau
Gefitinib 250 mg/x/hari *
Catatan* hasil konsensus Bukittinggi 5 Desember 2005 tentang pengunaan

EGFR-TKI unutk kemoterapi lini kedua KPKBSK dengan atau tana pemeriksaan
mutasi gen EGFR.
Targeted Therapy
Beberapa jenis obat kanker dengan target kerja yang selektif atau targeted
therapy mulai digunakan untuk KPKBSK. Kelebihan dari beberapa obat-obat itu
adalah pemberian yang lebih sederhana yaitu peroral (golongan EGFR-TKI).
Sedangkan yang lain harus dikombinasi dengan kemoterapi atau radioterapi.
Inhibitor Reseptor Epidermal Growh Factor (EGFR-TKI)
Jenis yang mulai digunakan adalah obat yang bekerja sebagai inhibitor
pada reseptor pada reseptor epidermal growth factor (EGFR-TKI) antara lain
erlotinib, gefitinib dan jenis lain yang masih dalam penelitian. Golongan ini
(erlotinib dan gefinitb) direkomendasikan sebagai terapi liini kedua untuk
KPKBSK. Konsensus Bukkittinggi tahun 2005 menetapkan bahwa EGFR-TKI
daoat diberikan sebagai pengobatan definitive (lini pertama) jika pasien dengan
berbagai alasan tidak dapat atau menolak kemoterapi.
d. Pengobatan Paliatif Dan Rehabilitasi

41

i. Pengobatan Paliatif
Hal yang perlu ditekankan dalam terapi paliatif adalah tujuannya untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita sebaik mungkin. Gejala dan tanda
karsinoma bronkogenik dapat dikelompokkan pada gejala bronkopulmoner,
ekstrapulmoner intratorasik, ekstratoraksik non metastasis dan ekstratorasik
metastasis. Sedangkan keluhan yang sering dijumpai adalah batuk, batuk darah,
sesak napas dan nyeri dada. Pengobatan paliatif untuk kanker paru meliputi
radioterapi, kemoterapi, medikamentosa, fisioterapi, dan psikososial. Pada
beberapa keadaan intervensi bedah, pemasangan stent dan cryotherapy dapat
dilakukan.

ii. Rehabilitasi Medik


Pada penderita kanker paru dapat terjadi gangguan muskuloskeletal
terutama akibat metastasis ke tulang. Manifestasinya dapat berupa infiltrasi ke
vetebra atau pendesakan syaraf. Gejala yang tirnbul berupa kesemutan, baal, nyeri
dan bahkan dapat terjadi paresis sampai paralisis otot, dengan akibat akhir
terjadinya gangguan mobilisasi/ambulasi. Upaya rehabilitasi medik tergantung
pada kasus, apakah operabel atau tidak.

Bila operabel tindakan rehabilitasi medik adalah preventif dan restoratif.


Bila non-operabel tindakan rehabilitasi medik adalah suportif dan paliatif.
Untuk penderita kanker paru yang akan dibedah perlu dilakukan

rehabilitasi medik prabedah dan pascabedah, yang bertujuan membantu


memperoleh hasil optimal tindakan bedah, terutama untuk mencegah komplikasi
pascabedah (misalnya: retensi sputum, paru tidak mengembang) dan mempercepat
mobilisasi. Tujuan program rehabilitasi medik untuk kasus yang nonoperabel
adalah untuk memperbaiki ini juga termasuk penanganan paliatif penderita kanker
paru dan layanan hospis (dirumah sakit atau dirumah).
e. Evaluasi (follow-up)
Angka kekambuhan (relaps) kanker paru paling tinggi terjadi pada 2 tahun
pertarna, sehingga evaluasi pada pasien yang telah diterapi optimal dilakukan
setiap 3 bulan sekali. Evaluasi meliputi pemeriksaan klinis dan radiologis yaitu

42

foto toraks PA / lateral dan Ct-scan thoraks, sedangkan pemeriksaan lain


dilakukan atas indikasi.

43

Anda mungkin juga menyukai