PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Obat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2 kelompok
obat yang sangat berbeda. Pertama, kelompok yang digunakan selama prosedur
pembedahan dan unit perawatan intensif untuk menghasilkan efek paralisis pada
pasien yang membutuhkan bantuan ventilator (pelumpuh otot) dan kelompok lain
yang digunakan untuk mengurangi spastisitas pada sejumlah kelainan neurologis
(spasmolitik). Obat-obat pelumpuh otot bekerja pada transmisi neuromuscular endplate dan menurunkan aktivitas sistem saraf pusat. Golongan ini sering digunakan
sebagai obat tambahan selama anestesi umum untuk memfasilitasi intubasi trakea
dan mengoptimalkan proses pembedahan dengan menimbulkan imobilitas dan
pemberian ventilasi yang adekuat. Obat-obat spasmolitik biasa disebut pelumpuh
otot kerja pusat dan digunakan terutama untuk menangani nyeri punggung kronis
dan kondisi fibromialgia.
1.2.
Tujuan Penulisan
Memenuhi tugas kepanitraan klinik bagian anastesi di Rumah Sakit Umum
Solok.
menjalankan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
Sebaliknya,
obat-obat
nondepolarisasi
(misal
pancuronium)
mempunyai struktur ganda asetilkolin dalam satu dari dua tipe sistem cincin
besar dan semi-kaku. Ciri kimiawi lain yang dimiliki oleh semua pelumpuh
otot adalah keberadaan satu atau dua atom amonium kuartener yang
memberi muatan positif pada nitrogen untuk berikatan pada reseptor
nikotinik membuat obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat
entrinya ke sistem saraf pusat.
2.2.3 Mekanisme Kerja
Seperti yang telah disebut sebelumnya, obat pelumpuh otot
depolarisasi sangat mirip dengan asetilkolin dan dapat segera berikatan
pada reseptor asetilkolin dan membentuk potensial aksi otot. Namun, obatobat ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase dan konsentrasinya
dalam celah sinaptik tidak turun dengan cepat sehingga memperpanjang
depolarisasiend- plate otot.
Depolarisaseend-plate secara kontinu menimbulkan relaksasi otot
karena pembukaan lower gate di sekitar persimpanganchannel natrium
sangat singkat. Setelah eksitasi awal dan pembukaan,channel natrium akan
menutup dan tidak dapat membuka kembali sampai repolarisasiendplate.End- plate tidak dapat berepolarisasi sepanjang pelumpuh otot
depolarisasi terus mengikatkan diri pada reseptor asetilkolin; disebut blok
fase I.
Setelah beberapa waktu, pemanjangan depolarisasiend- plate dapat
menyebabkan perubahan ionik dan konformasional di dalam reseptor
asetilkolin, inisiasi depolarisasi end-plate akan menurun dan membran
mengalami repolarisasi. Meskipun membran mengalami repolarisasi,
membran tidak dapat dengan mudah mengalami depolarisasi lagi karena
telah mengalami desensitisasi. Mekanisme fase desensitisasi tidak
diketahui, namun beberapa bukti mengindikasikan bahwa blokchannel
mungkin lebih penting dari pada aksi agonis pada reseptor dalam fase II
4
aksi blok suksinilkolin. Blok fase II secara klinis menyerupai blok obat
pelumpuh otot nondepolarisasi.
10
Sebaliknya,
efek
suksinilkolin
menyerupai
efek
fisiologis
11
yang terlokasi di otot leher dianggap sebagai faringitis oleh pasien dan
dihubungkan dengan intubasi trakea oleh anestesiologis. Mialgia sendiri
diduga terjadi akibat kontraksi otot skeletal yang tidak sinkron serta
dikaitkan dengan depolarisasi umum. Pemberian obat pelumpuh otot
nondepolarisasi mencegah atau mengurangi mialgia setelah pemberian
suksinilkolin.
4. Mioglobinuria
Kerusakan pada otot skeletal ditandai dengan mioglobinuria,
khususnya pasien pediatrik. Dugaan mioglobinuria menggambarkan
kerusakan otot yang dicetuskan oleh fasikulasi.
5. Peningkatan Tekanan Intragastrik
Peningkatan tekanan intragastrik dapat berhubungan dengan
intensitas fasikulasi otot skeletal yang dicetuskan oleh suksinilkolin.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemberian obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dosis nonparalisis.
6. Peningkatan Tekanan Intraokuler
Suksinilkolin maksimum menaikkan tekanan intraokuler dalam 2
4 menit setelah pemberian. Peningkatan tekanan intraokuler ini bersifat
transien hanya berlangsung selama 5 10 menit. Mekanisme terjadi
peningkatan tekanan intraokuler masih belum diketahui meski kontraksi
otot ekstraokuler dengan distorsi dan kompresi bola mata telah lama
dianggap sebagai penyebab perubahan ini. Peningkatan tekanan intraokuler
terjadi akibat aksi sikloplegik suksinilkolin dengan pendalaman ruang
anterior dan peningkatan resistensi aliran keluar aqueous humor, sedikit
peningkatan volume darah koroid dan peningkatan tekanan vena sentral.
12
14
15
volatil
menurunkan
kebutuhan
dosis
obat
16
otot
nondepolarisasi
yang
baru
termasuk
atracurium,
17
atau
perubahan
struktural
antara
obat-obat
(misal
pasien
dengan
hiperkalsemia
tidak
dapat
diprediksi.
18
19
dimetabolisme
secara
ekstensif
sehingga
Dosis
Dosis 0,5 mg/kgBB diberikan melalui intravena dalam 30 60 detik
untuk intubasi. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis awal 0,25
20
21
hati. Laudanosine dimetabolisme oleh hati dan diekskresi dalam urin dan
empedu.
Temperatur dan Sensitivitas pH
Atracurium memiliki metabolisme yang unik sehingga durasi kerja
dapat memanjang akibat hipotermia dan pada cakupan yang lebih sempit
oleh asidosis.
Inkompatibilitas Kimia
Atracurium akan berubah menjadi asam bebas bila dimasukkan
melalui saluran intravena yang mengandung cairan alkali seperti tiopental.
Reaksi Alergi
Reaksi anafilaktoid terhadap atracurium telah dilaporkan meskipun
jarang terjadi. Mekanisme yang diduga berperan adalah imunogenisitas
langsung dan aktivasi imun yang dimediasi acrylate. Reaksi antibodi yang
dimediasi IgE yang melawan senyawa amonium substitusi termasuk
pelumpuh otot juga telah dilaporkan. Reaksi terhadap acrylate, metabolit
atracurium dan komponen struktural dari beberapa membran dialisis juga
dilaporkan terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis.
2. Cisatracurium
Cisatracurium adalah stereoisomer atracurium yang empat kali lebih
poten. Atracurium mengandung sekitar 15% cisatracurium.
Metabolisme dan Ekskresi
Seperti atracurium, cisatracurium mengalami degradasi dalam
plasma pada pH dan suhu fisiologis melalui eliminasi Hoffman yang tidak
tergantung organ. Metabolitnya (acrylate monokuartener dan laudanosine)
tidak memiliki efek blokade saraf-otot intrinsik. Karena potensinya yang
besar, jumlah laudanosine yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan
atracurium. Esterase nonspesifik tidak berperan dalam metabolisme
22
cisatracurium tidak
menyebabkan
seperti
suksinilkolin,
dimetabolisme
oleh
23
atipikal akan mengalami blok 2 kali lebih lama dari durasi normal, di mana
homozigot atipikal akan tetap terparalisis selama berjam-jam. Homozigot
atipikal tidak dapat memetabolisme mivacurium sehingga blokade sarafotot dapat berlangsung selama 3 4 jam. Antagonisme farmakologis
dengan inhibitor kolinesterase akan mempercepat pembalikan blokade
mivacurium tepat saat respons terhadap stimulasi saraf menjadi nyata.
Edrophonium membalikkan blokade mivacurium lebih efektif dibanding
neostigmine karena neostigmine menghambat aktivitas kolinesterase
plasma. Meskipun metabolisme dan ekskresi mivacurium tidak bergantung
pada ginjal atau hati, durasi kerja akan memanjang pada pasien dengan
gagal ginjal atau hati atau pada pasien yang hamil atau postpartum sebagai
akibat dari kadar kolinesterase plasma yang menurun.
Dosis
Dosis intubasi mivacurium adalah 0,15 0,2 mg/kg. Infus menetap
untuk relaksasi intraoperatif bervariasi sesuai kadar pseudokolinesterase
tapi dapat diinisiasi 4 10 g/kg/min. Anak-anak membutuhkan dosis yang
lebih tinggi dari pada orang dewasa jika dosis dihitung berdasarkan berat
badan, namun tidak demikian bila berdasarkan luas permukaan tubuh.
Mivacurium dapat bertahan selama 18 bulan bila disimpan pada suhu
ruangan.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Mivacurium melepas histamin dalam jumlah yang sama banyak
dengan atracurium. Efek samping kardiovaskuler dapat diminimalkan
dengan injeksi lambat selama 1 menit. Namun, pasien dengan penyakit
jantung dapat mengalami penurunan tekanan darah signifikan yang
meskipun jarang dapat terjadi setelah pemberian dosis lebih besar dari 0,15
mg/kg dengan suntikan lambat. Waktu onset mivacurium sama dengan
atracurium (2-3 menit). Keuntungan utamanya adalah durasi kerjanya yang
singkat (20 30 menit), yang masih 2 hingga 3 kali lebih lama dibanding
blok fase I suksinilkolin, namun setengah dari durasi atracurium,
24
vecuronium, atau rocuronium. Pada anak-anak onset lebih cepat dan durasi
kerja lebih singkat. Meskipun pemulihannya cepat, dalam pemberian
mivacurium semua pasien harus dimonitor untuk menentukan apakah
pembalikan farmakologis diperlukan. Durasi kerja mivacurium yang
pendek cukup nyata memanjang dengan pemberian pancuronium.
4. Doxacurium
Doxacurium
adalah
senyawa
benzylisoquinoline
yang
erat
25
5. Pancuronium
Pancuronium memiliki cincin steroid yang ditempati dua molekul
asetilkolin yang termodifikasi (pelumpuh otot biskuartener).
Metabolisme dan Ekskresi
Pancuronium dimetabolisme (deasetilisasi) oleh hati dalam batas
tertentu. Produk metaboliknya memiliki aktivitas blokade saraf-otot.
Ekskresi terutama melalui ginjal (40%), meskipun sebagian dari obat
dibersihkan oleh empedu (10%). Eliminasi pancuronium lambat dan efek
blokade saraf-otot diperpanjang oleh gagal ginjal. Pasien dengan sirosis
butuh dosis inisial yang lebih besar karena ada peningkatan volume
distribusi tapi membutuhkan dosis rumatan yang lebih rendah karena
penurunan klirens plasma.
Dosis
Dosis 0,08 0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi yang
adekuat untuk intubasi dalam 2 3 menit. Relaksasi intraoperatif dicapai
dengan memberikan 0,04 mg/kg dosis inisial diikuti dengan dosis 0,01
mg/kg setiap 20 40 menit.
26
pengambilan
kembali
katekolamin.
Pancuronium
harus
Dosis
Pipecuronium sedikit lebih poten dibanding pancuronium dan dosis
intubasi adalah antara 0,06 0,1 mg/kg. Dosis relaksasi rumatan dapat
dikurangi sekitar 20% bila dibandingkan dengan pancuronium. Bayi butuh
lebih sedikit pipecuronium pada dasar dosis per kilogram dari pada anakanak atau dewasa. Profile farmakologi pipecuronium tidak berubah secara
relatif pada pasien usia lanjut.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Keuntungan utama pipecuronium dibanding pancuronium adalah
efek samping kardiovaskulernya yang kurang karena penurunan ikatan pada
reseptor muskarinik jantung. Seperti relaksans steroid yang lain,
pipecuronium tidak menyebabkan pelepasan histamin. Onset dan durasi
kerja mirip dengan pancuronium.
7. Vecuronium
Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil
kuartener (pelumpuh otot monokuartener). Sedikit perubahan struktur
memberi efek samping menguntungkan tanpa mempengaruhi potensi.
28
29
dikemas
dalam
bentuk
bubuk
10
mg
yang
30
31
Rocuronium (0,1 mg/kg) adalah obat yang cepat (90 detik) dan
efektif (menurun fasikulasi dan myalgia postoperative) untuk precurarisasi
terutama pada pemberian suksinilkolin. Rocuronium juga memiliki
kecenderungan vagolitik.
Pelumpuh Otot Lain
Pelumpuh otot yang sudah lama seperti tubocurarine, metocurine,
gallamine, alcuronium, rapacuronium, dan decamethonium tidak lagi
diproduksi atau digunakan. Tubocurarine adalah agen pelumpuh otot
pertama, yang sering menyebabkan hipotensi dan takikardia karena
melepaskan histamin, memblok ganglia otonom, dan dapat menimbulkan
bronkospasme karena pelepasan histamin. Metocurine adalah agen yang
berhubungan dekat dengan tubocurarine sehingga memiliki banyak efek
samping yang sama. Orang yang alergi iodine dapat mengalami reaksi
hipersensitivitas terhadap metocurine karena sediaan ini juga mengandung
iodide. Gallamine memiliki sifat vagolitik. Alcuronium adalah obat
nondepolarisasi kerja lama dengan sedikit sifat vagolitik. Rapacuronium
memiliki onset kerja cepat, efek kardiovaskuler minimal, dan durasi kerja
yang pendek. Namun, produk ini ditarik dari peredaran karena terjadi
sejumlah kasus bronkospasme serius yang tidak dapat dijelaskan yang
diduga akibat pelepasan histamin. Decamethonium adalah agen depolarisasi
lama.
otot
depolarisasi
tidak
dimetabolisme
oleh
32
oleh obat pelumpuh otot nodepolarisasi yang tidak memiliki efek sirkulasi
(vecuronium, rocuronium, cisatracurium, doxacurium, pipecuronium).
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ke-4. Jakarta : FKUI. 2006.
2. Makalah impetigo. Availble at :
http://www.darwaners.co.cc/2010/08/makalah-impetigo.html
3. Penyakit Kulit. Available at :
http://mirzataqiem.blogspot.com/2009/10/penyakit-kulit.html
4. Arthur Rook, D.S. Wilkinson, F.J.G Ebling. Impetigo. Textbook of
Dermatology. Edisi ke-3, Vol 2, Hal 338-341. 1979.
5. Wahid, Dian Ibnu. Impetigo: Terapi dan Penggunaan Antibiotika Topikal
Berdasarkan Evidence Based Medicine. 18 Mei 2008. Diakses di
http://diyoyen.blog.friendster.com/ 2009/05/impetigo-terapi-danpenggunaan-antibiotik-topikal-berdasarkan-evidence-based-medicine/
6. Freedberg , Irwin M. (Editor), Arthur Z. Eisen (Editor), Klauss Wolff
(Editor), K. Frank Austen (Editor), Lowell A. Goldsmith (Editor), Stephen
Katz (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine (Two Vol.
Set). 6th edition (May 23, 2003): By McGraw-Hill Professional.
7. Diagnosa dan Pengobatan Impetigo. Available at :
http://www.topreference.co.tv/2010/04/diagnosa-dan-pengobatanimpetigo.html
8. Siregar, R.S, 2005. Atlas Berwama Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal. 45-49
9. Penatalaksanaan Terapi Penyakit Impetigo. Available at :
http://yosefw.wordpress.com/2007/12/28/penatalaksanaan-terapi-penyakitimpetigo/S
35