Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Obat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2 kelompok

obat yang sangat berbeda. Pertama, kelompok yang digunakan selama prosedur
pembedahan dan unit perawatan intensif untuk menghasilkan efek paralisis pada
pasien yang membutuhkan bantuan ventilator (pelumpuh otot) dan kelompok lain
yang digunakan untuk mengurangi spastisitas pada sejumlah kelainan neurologis
(spasmolitik). Obat-obat pelumpuh otot bekerja pada transmisi neuromuscular endplate dan menurunkan aktivitas sistem saraf pusat. Golongan ini sering digunakan
sebagai obat tambahan selama anestesi umum untuk memfasilitasi intubasi trakea
dan mengoptimalkan proses pembedahan dengan menimbulkan imobilitas dan
pemberian ventilasi yang adekuat. Obat-obat spasmolitik biasa disebut pelumpuh
otot kerja pusat dan digunakan terutama untuk menangani nyeri punggung kronis
dan kondisi fibromialgia.

1.2.

Tujuan Penulisan
Memenuhi tugas kepanitraan klinik bagian anastesi di Rumah Sakit Umum

Solok.

1.3. Manfaat Penulisan


1. Menambah wawasan mengenai obat-obat muscle relaxan.
2. Sebagai proses pembelajaran bagi mahasiswa yang

menjalankan

kepaniteraan klinik senior stase anastesi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1

2.1 Transmisi Saraf - Otot


Neuromuscular junction (NM) adalah region di sekitar neuron motorik dan
sel otot. Membran sel neuron dan serabut otot dipisahkan oleh celah sempit (20
nm) yaitu celah sinaptik. Saat potensial aksi saraf mendepolarisasi terminalnya,
terjadi influks ion kalsium melalui voltage-gated calcium channel ke dalam
sitoplasma sehingga memungkinkan vesikel berfusi dengan membran terminal dan
melepaskan asetilkolin yang disimpan. Molekul asetilkolin berdifusi sepanjang
celah sinaptik untuk berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik pada bagian
khusus membran sel otot, yaitumotor end-plate. Setiap NM memiliki sekitar 5 juta
reseptor, tetapi untuk aktivasi saat kontraksi otot normal hanya dibutuhkan sekitar
500.000 reseptor.
Pada orang dewasa, reseptor NM terdiri dari 5 peptida: 2 peptida alfa, 1
beta, 1 gamma, dan 1 peptida delta. Ikatan dua molekul asetilkolin pada reseptor
subunit - dan - menyebabkan pembukaanchannel yang menimbulkan potensial
motor end-plate. Magnitudo potensialend-plate berhubungan secara langsung
dengan jumlah asetilkolin yang dilepaskan. Jika potensialnya kecil permeabilitas
dan potensialend- plate kembali normal tanpa penyampaian impuls dari ujungendplate ke seluruh membran sel serabut otot. Jika potensialend- plate besar, membran
sel otot yang berdekatan akan terpolarisasi, dan potensial aksi akan diteruskan ke
seluruh serabut otot. Kontraksi otot kemudian akan diinisiasi oleh proses kopling
eksitasi-kontraksi. Asetilkolin dengan cepat dihidrolisis menjadi asetat dan kolin
oleh substrat spesifik kolinesterase spesifik atau kolinesterase asli ditemukan
dalamend- plate membran sel motorik yang berdekatan dengan reseptor asetilkolin.
Akhirnya, terjadi penutupan ion channel menimbulkan repolarisasi. Ketika
pembentukan potensial aksi terhenti, channel natrium pada membran sel otot juga
menutup. Kalsium kembali masuk ke retikulum sarkoplasma dan sel otot akan
berelaksasi.

2.2 Farmakologi Dasar Obat-obat Pelumpuh Otot.


2.2.1 Pembagian Obat-obat Pelumpuh Otot
Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya, obatobat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi
(meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi
(mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi
menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama, sedang, dan singkat. Obat-obat
pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid.
Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi,
blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi.
2.2.2 Struktur Kimia
Semua obat pelumpuh otot memiliki kemiripan struktur dengan
asetilkolin. Sebagai contoh, suksinilkolin adalah dua molekul asetilkolin
yang berikatan pada kedua ujungnya.
3

Sebaliknya,

obat-obat

nondepolarisasi

(misal

pancuronium)

mempunyai struktur ganda asetilkolin dalam satu dari dua tipe sistem cincin
besar dan semi-kaku. Ciri kimiawi lain yang dimiliki oleh semua pelumpuh
otot adalah keberadaan satu atau dua atom amonium kuartener yang
memberi muatan positif pada nitrogen untuk berikatan pada reseptor
nikotinik membuat obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat
entrinya ke sistem saraf pusat.
2.2.3 Mekanisme Kerja
Seperti yang telah disebut sebelumnya, obat pelumpuh otot
depolarisasi sangat mirip dengan asetilkolin dan dapat segera berikatan
pada reseptor asetilkolin dan membentuk potensial aksi otot. Namun, obatobat ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase dan konsentrasinya
dalam celah sinaptik tidak turun dengan cepat sehingga memperpanjang
depolarisasiend- plate otot.
Depolarisaseend-plate secara kontinu menimbulkan relaksasi otot
karena pembukaan lower gate di sekitar persimpanganchannel natrium
sangat singkat. Setelah eksitasi awal dan pembukaan,channel natrium akan
menutup dan tidak dapat membuka kembali sampai repolarisasiendplate.End- plate tidak dapat berepolarisasi sepanjang pelumpuh otot
depolarisasi terus mengikatkan diri pada reseptor asetilkolin; disebut blok
fase I.
Setelah beberapa waktu, pemanjangan depolarisasiend- plate dapat
menyebabkan perubahan ionik dan konformasional di dalam reseptor
asetilkolin, inisiasi depolarisasi end-plate akan menurun dan membran
mengalami repolarisasi. Meskipun membran mengalami repolarisasi,
membran tidak dapat dengan mudah mengalami depolarisasi lagi karena
telah mengalami desensitisasi. Mekanisme fase desensitisasi tidak
diketahui, namun beberapa bukti mengindikasikan bahwa blokchannel
mungkin lebih penting dari pada aksi agonis pada reseptor dalam fase II
4

aksi blok suksinilkolin. Blok fase II secara klinis menyerupai blok obat
pelumpuh otot nondepolarisasi.

Obat pelumpuh otot nondepolarisasi mengikat diri ke reseptor


asetilkolin tapi tidak mampu menginduksi perubahan konformasional yang
dibutuhkan untuk pembukaan channel. Karena asetilkolin dicegah untuk
berikatan dengan reseptornya, tidak tercetus potensialend-plate. Blokade
saraf-otot terjadi bila hanya satu subunit yang diblok. Oleh sebab itu, obat
pelumpuh otot depolarisasi bekerja sebagai agonis reseptor, sedangkan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi berfungsi sebagai antagonis kompetitif.
2.2.4 Mekanisme Nonklasik Blokade Saraf-Otot
Beberapa obat mungkin dapat mengganggu fungsi reseptor
asetilkolin tanpa bertindak sebagai agonis ataupun antagonis. Obat-obat ini
mengganggu fungsi normal tempat ikatan pada reseptor asetilkolin atau
pada pembukaan dan penutupan reseptor channel. Obat-obat ini termasuk
agen anestetik inhalasi, anestetik lokal, dan ketamin. Membran lipid
reseptor asetilkolin adalah tempat kerja agen yang penting.
Obat-obat tertentu juga dapat menyebabkan penutupan ataupun
pembukaan blokadechannel. Selama blokadechannel yang tertutup, obatobat ini secara fisik menyumbat channel, mencegah kation lewat baik saat
asetilkolin sudah mengaktivasi reseptor ataupun belum. Pembuka
blokadechannel digunakan secara dependen karena obat-obat ini memasuki
dan mengobstruksichannel reseptor asetilkolin hanya setelah dibuka oleh
ikatan asetilkolin. Relevansi klinis dari blokadechannel adalah bahwa
peningkatan konsentrasi asetilkolin dengan inhibitor kolinesterase tidak
dapat mengatasi blokade saraf-otot. Obat-obat yang dapat menimbulkan
blokadechannel termasuk neostigmin, antibiotik tertentu, kokain, dan
kuinidin.

Reseptor asetilkolin nikotinik prejunksional telah diindentifikasi


pada ujung saraf dari NM. Meskipun peran fisiologisnya masih belum jelas,
aksi prejunksional untuk beberapa obat pelumpuh otot mungkin signifikan.

2.2.5 Farmakodinamik Obat-Obat Pelumpuh Otot


Farmakodinamik obat-obat pelumpuh otot ditentukan dengan
mengukur kecepatan onset dan durasi blokade saraf-otot. Secara klinis,
metode yang umum dipakai untuk menentukan tipe, kecepatan onset,
magnitudo, dan durasi blokade saraf-otot adalah dengan mengamati atau
merekam respons otot skeletal yang ditimbulkan oleh stimulus elektrik yang
dikirim dari stimulator saraf perifer. Paling sering dipakai untuk
menentukan efek obat pelumpuh otot adalah kontraksi m.adductor pollicis
(respons kedutan tunggal sampai 1 Hz) setelah stimulasi n.ulnaris.
Potensi setiap obat dapat ditentukan dengan mengonstruksi kurva
dosis-respons yang mendeskripsikan hubungan antara depresi kedutan dan
dosis . Dosis efektif 50 (ED50) adalah dosis median setara 50% depresi
kedutan yang telah dicapai. Nilai yang lebih relevan secara klinis dan lebih
sering dipakai adalah ED95 setara blok 95%. Sebagai contoh, ED95
vecuronium adalah 0,05 mg/kgBB yang berarti setengah dari pasien akan
mencapai minimal 95% blok kedutan tunggal (dibandingkan dengan
sebelum pemberian vecuronium) dengan dosis tersebut, dan setengah dari
pasien akan mencapai kurang dari 95% blok. ED95 rocuronium adalah 0,3
mg/KgBB. Oleh karena itu, potensi rocuronium adalah seperenam dari
potensi vecuronium karena dibutuhkan enam kali lipat dosis rocuronium
untuk menghasilkan efek yang sama. Jika tidak disebutkan lain, ED95
dianggap mewakili potensi obat-obat pelumpuh otot bersamaan dengan
pemberian anestetik N2O-barbiturat-opioid. Bila disertai dengan anestetik
volatil, ED95 menurun jauh dibandingkan dengan keadaan tanpa obat-obat
anestetik ini.
6

Contoh hubungan dosis-respons. Angka yang tercantum adalah


nilai perkiraan untuk rocuronium. Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi
otot skeletal yang kecil dan cepat (mata, digiti) sebelum otot abdomen
(diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah pemberian obat pelumpuh
otot nondepolarisasi adalah lebih cepat namun kurang intens pada otot-otot
laring (pita suara) dari pada otot perifer (m.adductor pollicis). Efek sparing
obat pelumpuh otot nondepolarisasi pada otot-otot laring mungkin
merefleksikan peran tipe serabut otot skeletal. Otot yang berperan dalam
penutupan glotis (m.thyroarytenoid) adalah tipe kontraksi cepat, di mana
m.adductor pollicis terutama dibentuk oleh tipe serabut lambat. Konsentrasi
reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga
dibutuhkan jumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe
cepat dibanding otot tipe lambat. Semakin cepat onset kerja pada otot pita
suara dari pada m.adductor pollicis semakin cepat pula ekuilibrium
konsentrasi plasma dan konsentrasi pada otot-otot jalan napas saat
dibandingkan dengan m.adductor pollicis. Dengan obat pelumpuh otot
nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat, periode paralisis otot laring
adalah cepat dan hilang sebelum mencapai efek maksimum pada
m.adductor pollicis. Hal penting yang harus diperhatikan adalah dosis obat
yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat tertentu blokade diafragma
adalah dua kali lipat dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan blokade
yang sama dari m.adductor pollicis. Telah diketahui bahwa monitoring
m.adductor pollicis adalah indikator relaksasi otot laring yang jelek
(m.cricothyroid) sedangkan stimulasi saraf fasial dan monitoring respons
m.orbicularis oculi lebih merefleksikan onset blokade saraf-otot diafragma.
Oleh karena itu, m.orbicularis oculi lebih disukai dari pada m.adductor
pollicis sebagai indikator blokade otot laring.
2.2.6 Farmakokinetik Obat Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot adalah kelompok amonium kuartener yang
merupakan senyawa larut dalam air yang mudah terionisasi pada pH

fisiologis, dan memiliki kelarutan yang terbatas dalam lipid. Volume


distribusi obat-obat ini terbatas dan sama dengan volume cairan
ekstraseluler (kira-kira 200 mL/kg). Sebagai tambahan, obat pelumpuh otot
tidak dapat dengan mudah melewati sawar membran lipid seperti sawar
darah otak, epitel tubulus renal, epitel gastrointestinal, atau plasenta. Oleh
karena itu, obat pelumpuh otot tidak dapat mempengaruhi sistem saraf
pusat, reabsorpsinya di tubulus renal minimal, absorpsi oral yang tidak
efektif dan pemberian pada ibu hamil yang tidak mempengaruhi fetus.
Redistribusi obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga memainkan peran
dalam farmakokinetik obat-obat ini. Klirens plasma, volume distribusi, dan
waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot dapat dipengaruhi oleh usia,
anestesi volatil, dan penyakit hati atau ginjal. Eliminasi renal dan hepatik
dibantu oleh fraksi pemberian obat yang besar karena sifatnya yang mudah
mengalami ionisasi sehingga mempertahankan konsentrasi plasma obat
yang tinggi dan juga mencegah reabsorpsi renal obat yang dieksresi.
Penyakit ginjal sangat mempengaruhi farmakokinetik obat pelumpuh otot
nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh otot tidak terlalu kuat terikat
pada protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya bila ada perubahan
ikatan protein tidak akan menimbulkan efek yang signifikan pada eksresi
ginjal obat pelumpuh otot.
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung
setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang
dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan)
diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan
distribusi dalam aliran darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau
tidak sama sekali pada farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan
blok saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik,
seperti dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh
otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu
dengan adanya anestesi volatil.

Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein,


dehidrasi, atau perdarahan akut, dosis obat yang sama menghasilkan
konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat.
Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan
durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena.
2.3 Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi
Satu-satunya obat pelumpuh otot depolarisasi yang dipakai adalah
suksinilkolin. Suksinilkolin memiliki 2 ciri unik dan penting, yaitu menyebabkan
paralisis yang intens dengan cepat dan efeknya akan berkurang sebelum pasien
yang dipreoksigenasi menjadi hipoksia. Suksinilkolin 0,5 1 mg/kgBB IV,
memiliki onset kerja cepat (30 60 detik) dan durasi kerja singkat (3 5 menit).
Ciri ini membuat suksinilkolin obat yang bermanfaat untuk relaksasi otot untuk
memfasilitasi intubasi trakea. Suksinilkolin memiliki beberapa efek samping yang
dapat membatasi bahkan kontraindikasi pada keadaan tertentu.
2.3.1 Dosis
Dosis suksinilkolin untuk fasilitasi intubasi trakea adalah 1
mg/kgBB IV. Dosis tersebut setara untuk 3,5 4 kali ED95. Secara konsep,
pemberian dosis 1mg/kgBB pada pasien yang terpreoksigenasi akan
dihubungkan dengan nafas spontan sebelum hipoksemia arteri signifikan.
Pernafasan spontan terjadi dalam 5 menit setelah paralisis akibat pemberian
suksinilkolin. Durasi rata-rata sebelum mencapai 90% tingkat kedutan
setelah pemberian 1 mg/kgBB adalah lebih besar dari 10 menit. Dengan
demikian, diperkirakan orang dewasa yang sudah dipreoksigenasi dapat
mengalami 8 menit apnea sebelum saturasi oksigen arteri menurun ke 90%.
Dosis dapat bervariasi antara 0,5 1,5 mg/kgBB, dosis kurang dari
1 mg/kgBB tidak mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau
pernafasan spontan. Selain itu, pada keadaan di mana blokade saraf-otot
penuh sangat diperlukan, dosis 1,5 mg/kgBB masih tepat.

Durasi kerja suksinilkolin yang singkat (3 5 menit) disebabkan


hidrolisis oleh kolinesterase plasma (pseudokolinesterase). Kolinesterase
plasma disintesis di hati dan merupakan glikoprotein tetrametrik
mengandung 4 subunit identik dengan masing-masing satu tempat katalitik
aktif. Metabolit suksinilkolin adalah suksinilmonokolin dengan potensi 1/20
1/80 suksinilkolin. Plasma kolinesterase mempengaruhi durasi kerja
suksinilkolin karena memiliki kapasitas yang besar untuk menghidrolisis
suksinilkolin dalam waktu singkat sehingga hanya sedikit fraksi dosis IV
awal yang benar-benar mencapai NMJ.
2.3.2 Efek samping
Efek samping yang dapat timbul dengan pemberian suksinilkolin
antara lain: 1) aritmia jantung, 2) hiperkalemia, 3) mialgia, 4)
mioglobinuria, 5) peningkatan tekanan intragastrik, 6) peningkatan tekanan
intraokuler, 7) peningkatan tekanan intrakranial, dan 8) kontraksi otot terus
menerus. Efek samping ini dapat membatasi bahkan merupakan
kontraindikasi pemberian suksinilkolin.
1. Aritmia Jantung
Sinus bradikardi, junctional rhythm, dan bahkan sinus arrest dapat
terjadi setelah pemberian suksinilkolin. Efek kardiak ini mencerminkan
efek suksinilkolin pada reseptor kolinergik muskarinik di mana obat ini
memiliki efek fisiologis yang sama dengan asetilkolin. Disritmia kardiak
paling sering terjadi setelah pemberian dosis kedua yang kira-kira diberikan
5 menit setelah dosis pertama. Hal ini diduga akibat kerja metabolit
suksinilkolin (suksinilmonokolin dan kolin). Pemberian atropin dengan
dosis 6 g/kg IV, tidak mencegah penurunan denyut jantung sebagai
respons terhadap dosis kedua suksinilkolin.

10

Sebaliknya,

efek

suksinilkolin

menyerupai

efek

fisiologis

asetilkolin pada pada sistem saraf otonom. Efeknya adalah stimulasi


ganglionik, yaitu peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sistemik.
2. Hiperkalemia
Pemberian suksinilkolin dapat menimbulkan hiperkalemia pada
pasien dengan (a) distrofi otot yang tidak tampak secara klinis, (b) luka
bakar tingkat tiga yang tidak sembuh, (c) atrofi otot skeletal akibat
denervasi, (d) trauma otot skeletal berat, dan (e) lesi neuron motorik atas.
Infeksi abdomen berat telah dikaitkan dengan pelepasan kalium yang
diinduksi suksinilkolin. Potensi pelepasan kalium yang eksesif setelah
denervasi dapat berkembang dalam 96 jam dan bertahan sampai batas
waktu tak tentu sekitar 6 bulan atau lebih lama. Premedikasi dengan dosis
subparalisis obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak mempengaruhi
magnitudo pelepasan kalium. Hiperkalemia yang telah ada seperti pada
gagal ginjal dan tanpa disertai paralisis otot skeletal tidak dapat
dihubungkan dengan peningkatan risiko pelepasan kalium akut setelah
pemberian dosis intubasi suksinilkolin.
Pemberian suksinilkolin pada anak laki-laki dengan miopati yang
belum terdiagnosis dapat mencetuskan rhabdomiolisis, hiperkalemia, dan
cardiac arrest. Hal ini disebabkan diagnosis distrofi otot Duchenne baru
dapat dilakukan pada usia 2 6 tahun. Pada distrofi otot Becker, gejala
klinisnya lebih ringan sehingga menunda waktu diagnosis. Oleh karena itu,
klinisi lebih suka menghindari pemakaian suksinilkolin pada pasien
pediatrik bila respons yang hampir sama dapat dicapai dengan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi.
3. Mialgia
Mialgia otot skeletal post operasi, yang biasa timbul pada otot leher,
punggung dan abdomen, dapat terjadi setelah pemberian suksinilkolin,
khususnya dewasa muda setelah menjalani prosedur bedah minor. Mialgia

11

yang terlokasi di otot leher dianggap sebagai faringitis oleh pasien dan
dihubungkan dengan intubasi trakea oleh anestesiologis. Mialgia sendiri
diduga terjadi akibat kontraksi otot skeletal yang tidak sinkron serta
dikaitkan dengan depolarisasi umum. Pemberian obat pelumpuh otot
nondepolarisasi mencegah atau mengurangi mialgia setelah pemberian
suksinilkolin.
4. Mioglobinuria
Kerusakan pada otot skeletal ditandai dengan mioglobinuria,
khususnya pasien pediatrik. Dugaan mioglobinuria menggambarkan
kerusakan otot yang dicetuskan oleh fasikulasi.
5. Peningkatan Tekanan Intragastrik
Peningkatan tekanan intragastrik dapat berhubungan dengan
intensitas fasikulasi otot skeletal yang dicetuskan oleh suksinilkolin.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemberian obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dosis nonparalisis.
6. Peningkatan Tekanan Intraokuler
Suksinilkolin maksimum menaikkan tekanan intraokuler dalam 2
4 menit setelah pemberian. Peningkatan tekanan intraokuler ini bersifat
transien hanya berlangsung selama 5 10 menit. Mekanisme terjadi
peningkatan tekanan intraokuler masih belum diketahui meski kontraksi
otot ekstraokuler dengan distorsi dan kompresi bola mata telah lama
dianggap sebagai penyebab perubahan ini. Peningkatan tekanan intraokuler
terjadi akibat aksi sikloplegik suksinilkolin dengan pendalaman ruang
anterior dan peningkatan resistensi aliran keluar aqueous humor, sedikit
peningkatan volume darah koroid dan peningkatan tekanan vena sentral.

12

7. Peningkatan Tekanan Intrakranial


Peningkatan tekanan intrakranial setelah pemberian suksinilkolin
pada pasien dengan tumor intrakranial atau trauma kepala belum diamati
secara konsisten.
8. Kontraksi Otot Terus Menerus
Relaksasi otot rahang yang tidak sempurna dan rigiditas masseter
setelah pemberian halotan-suksinilkolin cukup sering terjadi pada anakanak dengan insidens 4,4% dari jumlah pasien dan dianggap sebagai
respons normal. Kesulitanyang timbul adalah rigiditas otot rahang sebagai
respons normal tidak mudah dibedakan dengan rigiditas otot rahang akibat
hipertermia malignan.
Spasme

otot skeletal juga dapat terjadi pada pemberian

suksinilkolin pada pasien dengan kongenital miotonia atau distrofi


miotonia. Kontraksi yang terus- menerus dapat mempengaruhi ventilasi
paru dan membahayakan hidup.
2.4 Obat Pelumpuh Otot Non Depolarisasi
Obat pelumpuh otot secara klinis dibagi menjadi kelompok kerja lama,
kerja sedang, dan kerja singkat. Perbedaan onset, durasi kerja, waktu pulih,
metabolisme, dan klirens dipengaruhi oleh keputusan klinis untuk memilih satu
obat dibanding obat yang lain. Berbagai variasi respons yang dicetus oleh obat
pelumpuh otot nondepolarisasi terjadi karena perbedaan farmakokinetik.
2.4.1 Ciri Blokade Saraf-Otot Nondepolarisasi
Respons otot skeletal saat terjadi blokade saraf-otot nondepolarisasi
seperti yang dicetuskan oleh stimulasi elektrik dari stimulator saraf perifer,
antara lain: a) penurunan respons kedutan terhadap stimulus tunggal, b)
respons tidak bertahan (lemah) selama stimulasi berkelanjutan, c) rasio TOF
13

< 0,7, d) potensiasi post-tetanik, e) potensiasi obat pelumpuh otot


nondepolarisasi yang lain, f) antagonisme untuk obat antikolinesterase, g)
tidak terjadi fasikulasi saat onset blokade saraf-otot nondepolarisasi.
Kontraksi otot skeletal adalah fenomena all or none. Setiap serabut
otot skeletal berkontraksi dengan maksimal atau tidak berkontraksi sama
sekali. Oleh karena itu, ketika respons kedutan menurun beberapa serabut
berkontraksi normal, sedangkan yang lain terblok secara total. Kontraksi
otot skeletal yang lemah terhadap stimulasi elektrik terus menerus
menerangkan bahwa beberapa serabut otot lebih suseptibel untuk diblok
oleh obat pelumpuh otot membutuhkan pelepasan asetilkolin lebih besar
yang berkelanjutan untuk mencetus responsnya.
2.4.2 Intubasi
Tidak satu pun dari obat pelumpuh otot yang tersedia saat ini
menyamai onset cepat atau durasi kerja singkat suksinilkolin. Namun, onset
obat pelumpuh otot dapat dipercepat dengan menggunakan dosis yang lebih
besar atau dosis awal. ED95 adalah dosis efektif obat pada 95% individu.
Satu sampai dua kali dosis ED95 biasa dipakai untuk intubasi. Meskipun
dengan dosis intubasi yang lebih besar mempercepat onset, namun dapat
mengeksaserbasi efek samping dan memperpanjang durasi blokade.
Sebagai contoh dosis 0,15 mg/kgBB pancuronium dapat memberi kondisi
intubasi dalam 90 detik, tapi akan timbul hipertensi dan takikardia yang
lebih nyata- dan blok yang ireversibel selama lebih dari 60 menit.
Konsekuensi dari durasi kerja yang panjang adalah kesulitan yang terjadi
dalam membalikkan blokade secara keseluruhan, khususnya pada pasien
usia tua dan mereka yang menjalani pembedahan abdomen. Menurut aturan
umum, semakin poten obat pelumpuh otot nondepolarisasinya, semakin
panjang kecepatan onsetnya, namun potensi yang lebih besar membutuhkan
dosis yang lebih kecil, yang kemudian akan menurunkan pengantaran obat
ke NMJ.

14

Kemunculan obat kerja singkat dan kerja sedang meningkatkan


penggunaan dosis awal. Secara teoritis pemberian 10 15% dari dosis
intubasi sebelum induksi akan membantu penempatan cukup banyak
reseptor sehingga paralisis akan cepat terjadi saat relaksans yang seimbang
diberikan. Penggunaan dosis awal dapat memberikan kondisi yang sesuai
untuk intubasi dalam waktu 60 detik pemberian rocuronium atau 90 detik
setelah pemberian obat nondepolarisasi kerja sedang lain. Dosis awal
biasanya tidak mencapai paralisis yang signifikan secara klinis, yang
membutuhkan sekitar 75 80% reseptor yang terblok (batas aman saraf
otot). Pada beberapa pasien, dosis awal menempati cukup banyak reseptor
untuk membuat distres, dispneu, diplopia, atau disfagia; pada keadaan
demikian, pasien harus ditenangkan dan induksi anestesi harus dilanjutkan
tanpa menunda. Dosis awal dapat menyebabkan deteriosasi signifikan
dalam fungsi respirasi (misal penurunan kapasitas vital paksa) dan dapat
menuju desaturasi oksigen pada pasien dengan cadangan paru terbatas. Efek
negatif ini sering terjadi pada pasien usia tua.
Perlu diingat bahwa kelompok otot memiliki variasi dalam
sensitivitas obat pelumpuh otot. Sebagai contoh, otot-otot laring yang
sangat penting dalam intubasi pulih dari blokade lebih cepat dari pada m.
adductor pollicis yang dimonitor oleh stimulator saraf perifer.
2.4.3 Mencegah Fasikulasi
Untuk mencegah fasikulasi dapat diberikan 10-15% dosis intubasi
obat pelumpuh otot nondepolarisasi 5 menit sebelum pemberian
suksinilkolin. Meskipun sebagian besar obat nondepolarisasi dapat
digunakan untuk tujuan ini, tubocurarine dan rocuronium adalah yang
paling baik efikasinya. Karena terdapat antagonisme antara sebagian besar
obat nondepolarisasi dengan fase I blok, dosis suksinilkolin yang
berikutnya harus dinaikkan menjadi 1,5 mg/kgBB.

15

2.4.4 Rumatan Relaksasi Otot


Setelah intubasi, paralisis otot diperlukan untuk membantu proses
pembedahan, misalnya pada operasi abdomen, atau dalam manajemen
anestesi misal dalam mengendalikan ventilasi. Variabilitas antara pasien
dalam respons terhadap dosis obat pelumpuh otot tidak dapat ditekankan
secara berlebihan. Monitoring fungsi saraf-otot dengan stimulator saraf
membantu mencegah dosis yang berlebihan atau dosis yang kurang dan
juga mencegah paralisis otot yang serius dalam ruang pemulihan. Dosis
rumatan dengan bolus intermiten atau infus kontinu harus dipandu dengan
stimulator saraf dan tanda-tanda klinis (usaha pernapasan spontan atau
pergerakan).
2.4.5 Potensiasi oleh Anestesi Inhalasi
Agen-agen

volatil

menurunkan

kebutuhan

dosis

obat

nondepolarisasi sampai sekitar 15%. Tingkat augmentasi postsinaptik


bergantung pada anestesi inhalasi (desfluran > sevofluran > isofluran dan
enfluran > halotan > N2O/O2/narkotik) dan obat pelumpuh otot yang
dipakai (pancuronium > vecuronium dan atracurium).
2.4.6 Potensiasi oleh Obat Nondepolarisasi yang Lain
Kombinasi beberapa obat nondepolarisasi (misal mivacurium dan
pancuronium) menghasilkan blokade saraf-otot yang lebih besar dari pada
efek aditif. Augmentasi yang kurang pada senyawa yang memiliki
hubungan dekat (vecuronium dan pancuronium) memunculkan teori bahwa
potensiasi adalah hasil dari sedikit perbedaan mekanisme kerja.
2.4.7 Efek Samping Otonom
Pada dosis klinis, obat nondepolarisasi mungkin mempunyai
perbedaan efek yang signifikan pada reseptor kolinergik muskarinik dan
nikotinik. Beberapa agen yang lebih tua (tubocurarine dan pada cakupan

16

yang lebih sempit, metocurine) memblok ganglia otonom, menghambat


kemampuan sistem saraf simpatis untuk meningkatkan kontraktilitas dan
denyut jantung sebagai respons terhadap hipotensi dan stres intraoperatif
yang lain. Sebaliknya, pancuronium (dan gallamine) memblok reseptor
vagal muskarinik di nodus sinoatrial, berakibat pada takikardi. Semua obat
pelumpuh

otot

nondepolarisasi

yang

baru

termasuk

atracurium,

cisatracurium, mivacurium, doxacurium, vecuronium, dan pipecuronium


adalah obat-obat tanpa efek otonom dalam penggunaan dosis yang
direkomendasikan.
2.4.8 Pelepasan Histamin
Pelepasan histamin dari sel mast dapat berakibat bronkospasme,
flushing kulit, dan hipotensi akibat vasodilatasi perifer. Baik atracurium
maupun mivacurium adalah dua agen yang dapat mencetus pelepasan
histamin, khususnya pada dosis yang lebih tinggi. Penyuntikan lambat dan
premedikasi antihistamin H1 dan H2 mengurangi efek samping ini.
2.4.9 Metabolisme di Hati
Hanya pancuronium dan vecuronium yang dimetabolisme secara
signifikan oleh hati. Metabolit yang aktif berkontribusi dalam efek klinis
kedua agen tersebut. Vecuronium dan rocuronium sangat bergantung pada
eksresi empedu. Secara klinis, gagal hati memperpanjang blokade
pancuronium dan rocuronium, dengan efek yang lebih sedikit pada
vecuronium dan tanpa efek pada pipecuronium.A tracurium,cisatracuriu m,
dan mivacurium adalah agen yang dimetabolisme secara ekstensif, namun
bergantung pada mekanisme ekstrahepatik. Penyakit hati berat tidak
mempengaruhi klirens atracurium ataupun cisatracurium, namun penurunan
kadar pseudokolinesterase mungkin dapat memperlambat metabolisme
mivacurium.

17

2.4.10 Ekskresi Renal


Doxacurium, pancuronium, vecuronium, dan pipecuronium sebagian
diekskresi oleh ginjal dan kerjanya lebih panjang pada pasien dengan gagal ginjal.
Eliminasi atracurium, cisatracurium, mivacurium, dan rocuronium tidak bergantung
pada fungsi ginjal.
Karakteristik Farmakologis Umum
Beberapa variabel mempengaruhi obat pelumpuh otot nondepolarisasi:
1. Suhu
Hipotermia memperpanjang blokade karena penurunan metabolisme
(misal mivacurium, atracurium, dan cisatracurium) dan menunda
ekskresi (misal pancuronium dan vecuronium)
2. Keseimbangan Asam-Basa
Asidosis respiratorik mempotensiasi blokade sebagian besar agen
nondepolarisasi dan mengantagonisasi pembalikannya. Hal ini dapat
mencegah pemulihan saraf-otot pada pasien post-operatif yang
mengalami hipoventilasi. Penemuan berkaitan dengan efek saraf-otot
sehubungan dengan perubahan asam- basa mungkin didasari oleh
perubahan dalam pH ekstraseluler, pH intraseluler, konsentrasi
elektrolit,

atau

perubahan

struktural

antara

obat-obat

(misal

monokuartener versus bikuartener, steroid versus isoquinolinium).


3. Abnormalitas Elektrolit
Hipokalemia dan hipokalsemia mengaugmentasi blok nondepolarisasi.
Respons

pasien

dengan

hiperkalsemia

tidak

dapat

diprediksi.

Hipermagnesia seperti yang dijumpai pada pasien dengan preeklampsia


yang diterapi dengan magnesium sulfat, mempotensiasi blokade dengan
berkompetisi dengan kalsium pada motor end-plate
4. Usia
Neonatus mempunyai sensitivitas yang meningkat pada obat pelumpuh
otot nondepolarisasi karena NMJ yang imatur. Sensitivitas ini tidak
harus diikuti dengan penurunan kebutuhan dosis karena neonatus
memiliki ruang ekstraseluler yang lebih besar menyediakan volume
distribusi yang lebih besar.
5. Interaksi Obat

18

Seperti yang disebut sebelumnya, banyak obat mengaugmentasi blokade


obat nondepolarisasi. Obat-obat ini memiliki beberapa tempat interaksi:
struktur prejunksional, reseptor kolinergik postjunksional, dan membran
otot.
6. Penyakit yang Diderita
Penyakit saraf atau otot memiliki efek yang besar pada respons
individual terhadap pelumpuh otot. Sirosis hepatis dan gagal ginjal
kronik berakibat pada peningkatan volume distribusi dan penurunan
konsentrasi plasma pada obat-obat yang larut dalam air seperti
pelumpuh otot. Di sisi yang lain, obat yang bergantung pada ekskresi
melalui hati atau ginjal mungkin memperpanjang klirens. Oleh karena
itu, bergantung pada obat yang terpilih, dibutuhkan dosis inisial yang
lebih tinggi, namun dengan dosis rumatan yang lebih besar.
7. Kelompok Otot
Onset dan intensitas blokade bervariasi di antara kelompok otot. Hal ini
mungkin karena perbedaan dalam aliran darah, jarak dari sirkulasi
sentral, atau tipe serabut otot yang berbeda. Lebih jauh, sensitivitas
relatif terhadap sekelompok otot mungkin bergantung pada pemilihan
pelumpuh otot. Secara umum, diafragma, rahang, laring, dan otot-otot
wajah (m.orbicularis oculi) berespons dan pulih lebih cepat dari
relaksasi otot dibanding ibu jari. Muskulatur glotis juga cukup resisten
terhadap blokade yang seringkali terbukti selama laringoskopi. ED95
otot-otot laring hampir dua kali m.adductor pollicis. Kondisi intubasi
yang baik biasanya dihubungkan dengan respons kedutan m.orbicularis
oculi yang hilang.
Dengan pertimbangan banyak faktor yang mempengaruhi durasi dan
magnitudo relaksasi otot, maka respons individu terhadap obat pelumpuh
otot harus dimonitor. Dosis rekomendasi harus dipertimbangkan sebagai
acuan yang membutuhkan modifikasi sesuai dengan kebutuhan pasien.
Sensitivitas yang bervariasi sering ditemukan dalam praktek sehari-hari.

19

2.5 Macam-macam Obat Pelumpuh Otot Non Depolarisasi


1. Atracurium
Atracurium adalah kelompok kuartener, struktur benzylisoquinoline
membuat cara degradasi senyawa ini menjadi unik. Obat ini merupakan
gabungan dari 10 stereoisomer.
Metabolisme dan Ekskresi
Atracurium

dimetabolisme

secara

ekstensif

sehingga

faramkokinetiknya tidak bergantung pada fungsi ginjal dan hati. Sekitar


10% dari obat ini diekskresi tanpa dimetabolisme melalui ginjal dan
empedu. Dua proses terpisah berperan dalam metabolisme. Pertama,
hidrolisis ester yang dikatalisis oleh esterase nonspesifik, bukan oleh
asetilkolinesterase atau pseudokolinesterase. Kedua, melalui eliminasi
Hoffmann di mana penghancuran kimia nonenzimatik spontan terjadi pada
pH dan suhu fisiologis.

Dosis
Dosis 0,5 mg/kgBB diberikan melalui intravena dalam 30 60 detik
untuk intubasi. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis awal 0,25
20

mg/kgBB, kemudian dosis inkremental 0,1 mg/kgBB setiap 10 20 menit.


Infus 5 10 g/kg/menit dapat menggantikan bolus intermiten secara
efektif. Kebutuhan dosis tidak bervariasi sesuai usia, namun atracurium
dapat bekerja lebih singkat pada anak-anak dan bayi dari pada orang
dewasa.
Atracurium tersedia dalam solutio 10 mg/mL, yag sebaiknya
disimpan pada suhu 28C karena potensinya akan berkurang 5 10% tiap
bulan bila terekspos suhu ruangan. Pada suhu ruangan obat ini harus
digunakan dalam waktu 14 hari untuk menjaga potensi.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Atracurium dapat mencetuskan pelepasan histamin yang bergantung
pada dosis terutama pada dosis di atas 0,5 mg/kgBB.
1.Hipotensi dan Takikardia
Efek samping kardiovaskuler jarang terjadi kecuali dosis melebihi
0,5 mg/kg diberikan. Atracurium juga dapat menimbulkan penurunan
transien resistensi vaskuler sistemik dan peningkatan indeks kardiak yang
tidak terpengaruh oleh pelepasan histamin. Injeksi lambat meminimalkan
efek ini.
2.Bronkospasme
Atracurium harus dihindari pada pasien dengan asma karena
bronkospasme berat dapat terjadi bahkan pada pasien dengan riwayat asma.
Toksisitas Laudanosine
Laudanosine, amin tersier, adalah produk penghancuran atracurium
melalui eliminasi Hoffmann dan telah dihubungkan dengan eksitasi sistem
saraf pusat, menyebabkan elevasi konsentrasi alveolar minimum dan
bahkan mencetuskan kejang. Semua hal di atas adalah irelevan kecuali
pasien mendapat dosis total yang sangat tinggi atau mengalami kegagalan

21

hati. Laudanosine dimetabolisme oleh hati dan diekskresi dalam urin dan
empedu.
Temperatur dan Sensitivitas pH
Atracurium memiliki metabolisme yang unik sehingga durasi kerja
dapat memanjang akibat hipotermia dan pada cakupan yang lebih sempit
oleh asidosis.
Inkompatibilitas Kimia
Atracurium akan berubah menjadi asam bebas bila dimasukkan
melalui saluran intravena yang mengandung cairan alkali seperti tiopental.
Reaksi Alergi
Reaksi anafilaktoid terhadap atracurium telah dilaporkan meskipun
jarang terjadi. Mekanisme yang diduga berperan adalah imunogenisitas
langsung dan aktivasi imun yang dimediasi acrylate. Reaksi antibodi yang
dimediasi IgE yang melawan senyawa amonium substitusi termasuk
pelumpuh otot juga telah dilaporkan. Reaksi terhadap acrylate, metabolit
atracurium dan komponen struktural dari beberapa membran dialisis juga
dilaporkan terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis.
2. Cisatracurium
Cisatracurium adalah stereoisomer atracurium yang empat kali lebih
poten. Atracurium mengandung sekitar 15% cisatracurium.
Metabolisme dan Ekskresi
Seperti atracurium, cisatracurium mengalami degradasi dalam
plasma pada pH dan suhu fisiologis melalui eliminasi Hoffman yang tidak
tergantung organ. Metabolitnya (acrylate monokuartener dan laudanosine)
tidak memiliki efek blokade saraf-otot intrinsik. Karena potensinya yang
besar, jumlah laudanosine yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan
atracurium. Esterase nonspesifik tidak berperan dalam metabolisme
22

cisatracurium. Metabolisme dan eliminasi tidak terpengaruh oleh keadaan


ginjal maupun hati. Variasi minor dalam pola farmakokinetik yang
berkaitan dengan umur tidak menyebabkan perubahan signifikan pada
durasi kerja.
Dosis
Dosis intubasi adalah 0,1 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit dan
menghasilkan blokade otot dengan durasi kerja sedang. Rata kecepatan
infus adalah antara 1,0 2,0 g/kg/menit. Potensi cisatracurium sama
dengan vecuronium dan lebih poten dibanding atracurium.
Cisatracurium harus disimpan dalam pendingin (28C) dan harus
digunakan dalam waktu 21 hari bila disimpan pada suhu ruangan.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Tidak seperti atracurium,

cisatracurium tidak

menyebabkan

peningkatan kadar histamin plasma. Cisatracurium tidak mempengaruhi


denyut jantung atau tekanan darah, juga tidak menimbulkan efek otonom,
bahkan pada dosis setinggi 8 kali ED95.
Efek samping cisatracurium yang berkaitan dengan toksisitas
laudanosine (dengan tingkat yang lebih rendah karena potensinya yang
lebih besar), sensitivitas pH dan suhu, dan inkompatibilitas kimia.
3. Mivacurium
Mivacurium adalah derivat benzylisoquinoline.
Metabolisme dan Ekskresi
Mivacurium,

seperti

suksinilkolin,

dimetabolisme

oleh

pseudokolinesterase dan hanya dimetabolisme secara minimal oleh


kolinesterase asli. Hal ini memungkinkan durasi kerja yang diperpanjang
pada pasien dengan kadar pseudokolinesterase rendah atau varian dari gen
pseudokolinesterase. Kenyataannya, pasien yang heterozigot untuk gen

23

atipikal akan mengalami blok 2 kali lebih lama dari durasi normal, di mana
homozigot atipikal akan tetap terparalisis selama berjam-jam. Homozigot
atipikal tidak dapat memetabolisme mivacurium sehingga blokade sarafotot dapat berlangsung selama 3 4 jam. Antagonisme farmakologis
dengan inhibitor kolinesterase akan mempercepat pembalikan blokade
mivacurium tepat saat respons terhadap stimulasi saraf menjadi nyata.
Edrophonium membalikkan blokade mivacurium lebih efektif dibanding
neostigmine karena neostigmine menghambat aktivitas kolinesterase
plasma. Meskipun metabolisme dan ekskresi mivacurium tidak bergantung
pada ginjal atau hati, durasi kerja akan memanjang pada pasien dengan
gagal ginjal atau hati atau pada pasien yang hamil atau postpartum sebagai
akibat dari kadar kolinesterase plasma yang menurun.
Dosis
Dosis intubasi mivacurium adalah 0,15 0,2 mg/kg. Infus menetap
untuk relaksasi intraoperatif bervariasi sesuai kadar pseudokolinesterase
tapi dapat diinisiasi 4 10 g/kg/min. Anak-anak membutuhkan dosis yang
lebih tinggi dari pada orang dewasa jika dosis dihitung berdasarkan berat
badan, namun tidak demikian bila berdasarkan luas permukaan tubuh.
Mivacurium dapat bertahan selama 18 bulan bila disimpan pada suhu
ruangan.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Mivacurium melepas histamin dalam jumlah yang sama banyak
dengan atracurium. Efek samping kardiovaskuler dapat diminimalkan
dengan injeksi lambat selama 1 menit. Namun, pasien dengan penyakit
jantung dapat mengalami penurunan tekanan darah signifikan yang
meskipun jarang dapat terjadi setelah pemberian dosis lebih besar dari 0,15
mg/kg dengan suntikan lambat. Waktu onset mivacurium sama dengan
atracurium (2-3 menit). Keuntungan utamanya adalah durasi kerjanya yang
singkat (20 30 menit), yang masih 2 hingga 3 kali lebih lama dibanding
blok fase I suksinilkolin, namun setengah dari durasi atracurium,
24

vecuronium, atau rocuronium. Pada anak-anak onset lebih cepat dan durasi
kerja lebih singkat. Meskipun pemulihannya cepat, dalam pemberian
mivacurium semua pasien harus dimonitor untuk menentukan apakah
pembalikan farmakologis diperlukan. Durasi kerja mivacurium yang
pendek cukup nyata memanjang dengan pemberian pancuronium.
4. Doxacurium
Doxacurium

adalah

senyawa

benzylisoquinoline

yang

erat

berhubungan dengan mivacurium dan atracurium.


Metabolisme dan Ekskresi
Relaksans kerja lama dan poten ini mengalami tingkat hidrolisis
yang rendah oleh kolinesterase plasma. Seperti obat pelumpuh otot kerja
lama yang lain, rute utama eliminasinya adalah melalui ekskresi ginjal.
Ekskresi hepatobiliaris hanya sedikit berperan dalam klirens doxacurium.
Dosis
Kondisi intubasi trakea yang adekuat dalam 5 menit membutuhkan
dosis doxacurium 0,05 mg/kg. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis
inisial 0,02 mg/kg diikuti dosis 0,005 mg/kg. Doxacurium dapat diberikan
dalam dosis yang disesuaikan dengan usia pada pasien muda dan orang tua,
meskipun pada orang tua dapat dijumpai durasi kerja yang memanjang.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Doxacurium tidak memiliki efek samping kardiovaskuler dan
pelepasan histamin. Karena potensinya yang lebih besar, doxacurium
memiliki onset kerja yang sedikit lebih lambat dari pada pelumpuh otot
nondepolarisasi kerja lama yang lain (4 6 menit). Durasi kerjanya sama
dengan pancuronium yaitu 60 90 menit.

25

5. Pancuronium
Pancuronium memiliki cincin steroid yang ditempati dua molekul
asetilkolin yang termodifikasi (pelumpuh otot biskuartener).
Metabolisme dan Ekskresi
Pancuronium dimetabolisme (deasetilisasi) oleh hati dalam batas
tertentu. Produk metaboliknya memiliki aktivitas blokade saraf-otot.
Ekskresi terutama melalui ginjal (40%), meskipun sebagian dari obat
dibersihkan oleh empedu (10%). Eliminasi pancuronium lambat dan efek
blokade saraf-otot diperpanjang oleh gagal ginjal. Pasien dengan sirosis
butuh dosis inisial yang lebih besar karena ada peningkatan volume
distribusi tapi membutuhkan dosis rumatan yang lebih rendah karena
penurunan klirens plasma.
Dosis
Dosis 0,08 0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi yang
adekuat untuk intubasi dalam 2 3 menit. Relaksasi intraoperatif dicapai
dengan memberikan 0,04 mg/kg dosis inisial diikuti dengan dosis 0,01
mg/kg setiap 20 40 menit.

26

Anak anak perlu dosis pancuronium yang lebih tinggi.


Pancuronium tersedia dalam larutan 1 atau 2 mg/mL dan disimpan pada
suhu 28C tapi stabil sampai 6 bulan pada suhu ruangan.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
1.Hipertensi dan takikardia
Efek kardiovaskuler disebabkan oleh kombinasi blokade vagal dan
stimulasi simpatis. Stimulasi simpatis adalah kombinasi stimulasi
ganglionik, pelepasan katekolamin dari ujung saraf adrenergik, dan
penurunan

pengambilan

kembali

katekolamin.

Pancuronium

harus

diberikan dengan hati-hati pada pasien yang dengan peningkatan denyut


jantung akan menimbulkan gangguan (misal penyakit arteri koronari,
stenosis hipertrofik subaortik idiopatik).
2.Aritmia
Peningkatan konduksi atrioventrikuler dan pelepasan katekolamin
meningkatkan disritmia ventrikuler pada individu yang rentan. Kombinasi
pancuronium, antidepresan trisiklik, dan halotan bersifat aritmogenik.
Reaksi Alergi
Pasien yang hipersensitif pada bromida mungkin mengalami reaksi
alergi pancuronium (pancuronium bromida).
6. Pipecuronium
Pipecuronium memiliki struktur steroid yang sangat mirip dengan
pancuronium.
Metabolisme dan Ekskresi
Metabolisme hanya sedikit berperan pada pipecuronium. Eliminasi
bergantung pada ekskresi yang paling utama ginjal (70%) dan biliaris
(20%). Durasi kerja meningkat pada pasien gagal ginjal, tapi tidak pada
insufisiensi hepatik.
27

Dosis
Pipecuronium sedikit lebih poten dibanding pancuronium dan dosis
intubasi adalah antara 0,06 0,1 mg/kg. Dosis relaksasi rumatan dapat
dikurangi sekitar 20% bila dibandingkan dengan pancuronium. Bayi butuh
lebih sedikit pipecuronium pada dasar dosis per kilogram dari pada anakanak atau dewasa. Profile farmakologi pipecuronium tidak berubah secara
relatif pada pasien usia lanjut.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Keuntungan utama pipecuronium dibanding pancuronium adalah
efek samping kardiovaskulernya yang kurang karena penurunan ikatan pada
reseptor muskarinik jantung. Seperti relaksans steroid yang lain,
pipecuronium tidak menyebabkan pelepasan histamin. Onset dan durasi
kerja mirip dengan pancuronium.
7. Vecuronium
Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil
kuartener (pelumpuh otot monokuartener). Sedikit perubahan struktur
memberi efek samping menguntungkan tanpa mempengaruhi potensi.

28

Metabolisme dan Ekskresi


Vecuronium dimetabolisme dalam jumlah sedikit oleh hati. Hal ini
sangat bergantung pada ekskresi empedu dan sekitar 25% oleh ekskresi
ginjal.
Vecuronium adalah obat yang cukup aman pada pasien dengan gagal
ginjal, durasi kerjanya akan memanjang dengan sebab yang tidak jelas.
Durasi kerja vecuronium yang singkat disebabkan oleh waktu paruh
eliminasinya yang lebih pendek dan klirens yang lebih cepat dibandingkan
pancuronium. Pemberian vecuronium jangka panjang pada pasien yang
dirawat dalam perawatan intensif menyebabkan perpanjangan blokade
(sampai beberapa hari), yang mungkin disebabkan oleh akumulasi metabolit
aktif 3-hidroksi, perubahan klirens obat, atau perkembangan dari
polineuropati. Faktor risikonya antara lain jenis kelamin wanita, gagal
ginjal, terapi kortikosteroid jangka panjang atau dosis tinggi, dan sepsis.
Oleh karena itu, pasien-pasien ini harus dimonitor dengan ketat dan dosis
vecuronium harus dititrasi dengan hati-hati. Pemberian pelumpuh otot
jangka panjang dan diikuti dengan pengurangan ikatan asetilkolin pada
reseptor nikotinik postsinaptik yang lama, dapat menimbulkan keadaan
yang mirip denervasi kronik dan disfungsi reseptor dan paralisis. Efek
saraf-otot vecuronium memanjang pada pasien dengan AIDS. Toleransi
terhadap obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga dapat terjadi setelah
pemakaian lama.
Dosis
Vecuronium ekuipoten dengan pancuronium dan dosis intubasinya
adalah 0,08 0,12 mg/kg. Dosis inisial 0,04 mg/kg diikuti dengan dosis
tambahan 0,01 mg/kg setiap 15 20 menit membantu relaksasi
intraoperatif. Sebagai alternatif, infus 1 2 g/g/menit menghasilkan
rumatan relaksasi yang baik.

29

Umur tidak mempengaruhi kebutuhan dosis inisial, meskipun dosis


tambahan jarang dibutuhkan pada neonatus dan bayi. Sensitivitas terhadap
vecuronium pada wanita 30% lebih dibanding pria yang dibuktikan dengan
tingkat blokade yang lebih besar dan durasi kerja yang lebih panjang
(ditemukan juga pada pancuronium dan rocuronium). Penyebab dari
sensitivitas ini mungkin berhubungan dengan perbedaan jumlah massa
lemak dan otot, ikatan protein, volume distribusi atau aktivitas metabolic.
Durasi kerja vecuronium juga dapat memanjang pada pasien postpartum
karena perubahan dalam aliran darah atau uptake hati.
Vecuronium

dikemas

dalam

bentuk

bubuk

10

mg

yang

direkonstitusi dengan 5 atau 10 mL air bebas tanpa pengawet sesaat


sebelum digunakan. Vecuronium dan tiopental dapat membentuk presipitat
yang dapat mengobstruksi aliran dalam kanul vena dan dapat menyebabkan
emboli paru.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
1.Kardiovaskuler
Hingga dosis 0,28 mg//kg, vecuronium tidak memiliki efek
kardiovaskuler. Potensiasi bradikardia yang diinduksi opioid dapat diamati
pada beberapa pasien.
2.Gagal Hati
Meskipun bergantung pada ekskresi bilier, durasi kerja vecuronium
biasanya tidak memanjang dengan signifikan pada pasien dengan sirosis,
kecuali diberikan dengan dosis yang lebih tinggi 0,15 mg/kg.
8. Rocuronium
Rocuronium adalah steroid monokuartener analog vecuronium,
namun dirancang untuk memberikan onset kerja yang cepat.

30

Metabolisme dan Ekskresi


Rocuronium tidak mengalami metabolisme dan dieliminasi terutama
oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi kerjanya tidak terlalu dipengaruhi
oleh penyakit ginjal, tapi cukup memanjang oleh gagal hati berat dan
kehamilan. Rocuronium tidak memiliki metabolit aktif, dan mungkin
merupakan pilihan yang lebih baik dari pada vecuronium untuk infus yang
lama (misal pada unit perawatan intensif). Pasien usia lanjut dapat
mengalami durasi kerja yang memanjang karena massa hati yang menurun.
Dosis
Rocuronium kurang potent dibanding pelumpuh otot steroid lain.
Dosis untuk intubasi 0,45 0,9 mg/kg i.v dan 0,15 mg/kg bolus untuk
rumatan. Dosis yang lebih rendah dari 0,4 mg/kg dapat memungkinkan
pembalikan 25 menit setelah intubasi. Rocuronium intramuskuler (1 mg/kg
untuk bayi, 2 mg/kg untuk anak-anak) menyebabkan paralisis pita suara dan
diafragma untuk intubasi, namun belum akan terjadi 3 6 menit kemudian
(injeksi deltoideus onsetnya lebih cepat dari pada quadricep) dan dapat
dibalikkan setelah 1 jam.
Infus rocuronium membutuhkan dosis 5 12 g/kg/menit.
Rocuronium durasi kerjanya akan memanjang pada pasien usia lanjut.
Dosis inisial akan meningkat pada penyakit hati lanjut, kemungkinan akibat
volume distribusi yang lebih besar.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Rocuronium pada dosis 0,9 1,2 mg/kg memiliki onset kerja yang
mendekati suksinilkolin (60 90 detik) sehingga cocok sebagai alternatif
untuk induksi urutan cepat, tapi dengan durasi kerja yang jauh lebih
panjang. Durasi kerja sedangnya sebanding dengan vecuronium atau
atracurium.

31

Rocuronium (0,1 mg/kg) adalah obat yang cepat (90 detik) dan
efektif (menurun fasikulasi dan myalgia postoperative) untuk precurarisasi
terutama pada pemberian suksinilkolin. Rocuronium juga memiliki
kecenderungan vagolitik.
Pelumpuh Otot Lain
Pelumpuh otot yang sudah lama seperti tubocurarine, metocurine,
gallamine, alcuronium, rapacuronium, dan decamethonium tidak lagi
diproduksi atau digunakan. Tubocurarine adalah agen pelumpuh otot
pertama, yang sering menyebabkan hipotensi dan takikardia karena
melepaskan histamin, memblok ganglia otonom, dan dapat menimbulkan
bronkospasme karena pelepasan histamin. Metocurine adalah agen yang
berhubungan dekat dengan tubocurarine sehingga memiliki banyak efek
samping yang sama. Orang yang alergi iodine dapat mengalami reaksi
hipersensitivitas terhadap metocurine karena sediaan ini juga mengandung
iodide. Gallamine memiliki sifat vagolitik. Alcuronium adalah obat
nondepolarisasi kerja lama dengan sedikit sifat vagolitik. Rapacuronium
memiliki onset kerja cepat, efek kardiovaskuler minimal, dan durasi kerja
yang pendek. Namun, produk ini ditarik dari peredaran karena terjadi
sejumlah kasus bronkospasme serius yang tidak dapat dijelaskan yang
diduga akibat pelepasan histamin. Decamethonium adalah agen depolarisasi
lama.

Pembalikan Blokade Saraf Otot


Pelumpuh

otot

depolarisasi

tidak

dimetabolisme

oleh

asetilkolinesterase, obat-obat ini akan terdifusi dari NMJ dan dihidrolisis


dalam plasma dan hati oleh enzim yang lain yaitu pseudokolinesterase.
Untungnya, proses sangat cepat, karena tidak ada agen khusus untuk
membalikkan blokade agen depolarisasi yang tersedia.

32

Agen nondepolarisasi yang hanya sedikit dimetabolisme adalah


mivacurium. Pembalikan blokade pelumpuh otot ini tergantung pada
redistribusi, metabolisme gradual, dan ekskresi pelumpuh otot dari tubuh,
atau pemberian agen khusus untuk membalikkan pasien, misal inhibitor
kolinesterase yang menghambat aktivitas enzim asetilkolinesterase. Inhibisi
ini meningkatkan jumlah asetilkolin pada NMJ dan dapat bersaing dengan
agen nondepolarisasi.
Pemilihan Obat
Pemilihan jenis pelumpuh otot yang digunakan dipengaruhi oleh
onset kerja, durasi kerja, dan kemungkinan efek samping yang diinduksi
oleh obat karena kerja obat pada tempat lain selain NMJ. Efek samping
yang tidak diharapkan adalah respons kardiovaskuler karena pelepasan
histamin yang dicetuskan oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi
benzylisoquinolinium. Onset yang cepat dan durasi yang singkat seperti
yang ditimbulkan oleh suksinilkolin dan pada cakupan yang lebih sedikit
(mivacurium) bermanfaat saat intubasi trakea merupakan alasan pemberian
obat pelumpuh otot. Rocuronium adalah satu-satunya obat pelumpuh otot
nondepolarisasi yang onset kerjanya singkat menyerupai suksinilkolin, tapi
dengan durasi kerja yang lebih panjang. Jika diperlukan blokade saraf- otot
yang dipertahankan dalam periode tertentu maka obat pelumpuh otot
nondepolarisasi adalah obat pilihan untuk dosis intermiten atau sebagai
infus kontinu. Saat tidak diperlukan onset cepat blokade saraf-otot, relaksasi
otot untuk fasilitasi intubasi trakea dapat dipilih obat pelumpuh otot
nondepolarisasi. Beberapa obat pelumpuh otot nondepolarisasi dapat
menimbulkan penurunan tekanan darah sistemik yang signifikan akibat
pelepasan histamin (atracurium atau mivacurium) atau dapat meningkatkan
denyut jantung (pancuronium). Efek sirkulasi yang dicetus oleh obat ini
biasa dihindari bila terdapat keadaan seperti hipovolemia, penyakit arteri
koroner, atau penyakit katup jantung. Sebaliknya, bradikardi yang
dicetuskan oleh anestetik opioid yang ditutupi sampai batas tertentu oleh
efek peningkatan denyut jantung oleh pancuronium dan tidak dapat ditutupi
33

oleh obat pelumpuh otot nodepolarisasi yang tidak memiliki efek sirkulasi
(vecuronium, rocuronium, cisatracurium, doxacurium, pipecuronium).

34

DAFTAR PUSTAKA
1. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ke-4. Jakarta : FKUI. 2006.
2. Makalah impetigo. Availble at :
http://www.darwaners.co.cc/2010/08/makalah-impetigo.html
3. Penyakit Kulit. Available at :
http://mirzataqiem.blogspot.com/2009/10/penyakit-kulit.html
4. Arthur Rook, D.S. Wilkinson, F.J.G Ebling. Impetigo. Textbook of
Dermatology. Edisi ke-3, Vol 2, Hal 338-341. 1979.
5. Wahid, Dian Ibnu. Impetigo: Terapi dan Penggunaan Antibiotika Topikal
Berdasarkan Evidence Based Medicine. 18 Mei 2008. Diakses di
http://diyoyen.blog.friendster.com/ 2009/05/impetigo-terapi-danpenggunaan-antibiotik-topikal-berdasarkan-evidence-based-medicine/
6. Freedberg , Irwin M. (Editor), Arthur Z. Eisen (Editor), Klauss Wolff
(Editor), K. Frank Austen (Editor), Lowell A. Goldsmith (Editor), Stephen
Katz (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine (Two Vol.
Set). 6th edition (May 23, 2003): By McGraw-Hill Professional.
7. Diagnosa dan Pengobatan Impetigo. Available at :
http://www.topreference.co.tv/2010/04/diagnosa-dan-pengobatanimpetigo.html
8. Siregar, R.S, 2005. Atlas Berwama Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal. 45-49
9. Penatalaksanaan Terapi Penyakit Impetigo. Available at :

http://yosefw.wordpress.com/2007/12/28/penatalaksanaan-terapi-penyakitimpetigo/S

35

Anda mungkin juga menyukai