PENDAHULUAN
penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat
dihindarkan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Kadar
normal
maksimal
adalah
12-13
mg%
(205-220
mikromol/L).
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah
terjadinya
kern
ikterus
atau
ensefalopati
bilirubin
bila
kadar
bilirubin
tidak
Ga
mbar 2.1 Kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani
Sumber:http://www.juliathomson.co.uk/guidelines/other-guidelines/neonataljaundice/bhutanis-nomogram
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah keadaan
klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi
bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila
serum bilirubin >2 mg/dl(>17mol/L) sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum
bilirubin >5mg/dl(86mol/L). Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa
pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran
kadar bilirubin serum total.
2.2 Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis.
Ikterus fisiologis
: terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 68 mg/dL biasanya tercapai pada hari ke 3-5. Pada bayi kurang bulan
nilainya
10-12
mg/dL,
bahkan
sampai
15
mg/dL.
Sebagai neonatus , terutama bayi prematur, menunjukkan gejala ikterus pada hari
pertama. Ikterus ini biasanya timbul pada hari kedua, kemudian menghilang pada hari ke
sepuluh, atau pada akhir minggu ke dua. Bayi dengan gejala ikterus ini tidak sakit dan tidak
memerlukan pengobatan,kecuali dalam pengertian mencegah terjadinya penumpukan
bilirubin tidak langsung yang berlebihan.
Ikterus dengan kemungkinan besar menjadi patologik dan memerlukan pemeriksaan
yang mendalam antara lain :
beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan
dalam pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di temukan
defisiensi glukoronil tranferase sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat
konjugasi bilirubin.
3. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai terjadi
pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada Neonatus. Ikterus
Neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik transferase.
Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar
minggu ke dua, dan setelah itu Ikterus akan menghilang.
Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak
terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati
maka akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini
dilakukan pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan
fototerapi.
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang yang
panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer yang
larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di
konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukororil
transferase sering kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini.
4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor Fungsional maupun
obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi .Karena bilirubin
terkonjugasi latut dalam air,maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen
kemih sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi
dapat di sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe
alkali dalam serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam
empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh
hiperbilirubinemia
terkonjugasi
biasanya
lebih
kuning
di
bandingkan
dengan
6
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau
tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan
bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis
dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra
hepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati ). Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan
niokimia yang sama.
Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
a. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah,
penurunan umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah
(inkompatibilitas golongan darah dan Rh), defek sel darah merah pada defisiensi
G6PD atau sferositosis, polisetemia, sekuester darah, infeksi)
b. Penurunan konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek congenital yang jarang)
c. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberian
ASI yang terlambat, obstruksi saluran cerna.
d. Kegagalan eksresi cairan empede : infeksi intrauterine, sepsis, hepatitis, sindrom
kolestatik, atresia biliaris, fibrosis kistik).
2.4 Patofisiologi
1.Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi reduksi.
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru.
Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui
reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat
dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan,
diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.
Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan
orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat
dan juga reabsorpsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).
1. Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial, selanjutnya
dilapaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendahdan kapasitas ikatan molar yang kurang.Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini
merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam
sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susuna syaraf pusat
dan bersifat nontoksik.
Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat obatan yang
bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat obat tersebut akan menempati tempat
utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat pula
melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
8
dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta glukoronidase
yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati
untuk di konjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa usus
halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim -glukoronidase yang dapat menghidrolisa
monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang
selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya
steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang
tidak dapat diabsorbsi).
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup
bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80 % bilirubin
yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar
per kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih
pendek.
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus
10
biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak
lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu,
kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia
dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.
2.5 Manifestasi klinis
Bayi baru lahir(neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira
6mg/dl. Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai
kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus
obstruksi(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor.
Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat.
Gambaran klinis ikterus fisiologis:
a) Tampak pada hari 3,4
b) Bayi tampak sehat(normal)
c) Kadar bilirubin total <12mg%
d) Menghilang paling lambat 10-14 hari
e) Tak ada faktor resiko
f)Sebab: proses fisiologis(berlangsung dalam kondisi fisiologis)
Gambaran klinik ikterus patologis:
a) Timbul pada umur <36 jam
b) Cepat berkembang
c) Bisa disertai anemia
d) Menghilang lebih dari 2 minggu
e) Ada faktor resiko
f) Dasar: proses patologis
2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
a)Riwayat kehamilan dengan komplikasi(obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi
intrauterine, infeksi intranatal)
b)Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi
c)Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya
d)Riwayat inkompatibilitas darah
e)Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
11
b. Pemeriksaan fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang,
terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila
penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer(1969). Caranya dengan jari telunjuk
ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan
lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada
masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar
bilirubinnya(Mansjoer et al, 2007).
Derajat Ikterus pada Neonatus menurut Kramer
Derajat ikterus
I
II
III
Daerah Ikterus
Perkiraan kadar Bilirubin
Kepala dan leher
5,0 mg%
Sampai badan atas (diatas 9,0 mg%
umbilicus)
Sampai
badan
16,0 mg%
12
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan
serum
bilirubin(direk
dan
indirek)
harus
dilakukan
pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin
total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin
total < 15 mg/dL (<257 mol/L), dan tidak reliable pada kasus ikterus yang sedang
mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar atau transfusi tukar.
13
Anjuran Pemeriksaan
berdasarkan
*Penyakit hemolitik
Inkompatibilitas
Hb,
darah(Rh,ABO)
Sferositosis.
Ht,
retikulosit,sediaan
hemolitik
nonsferositosis(defisiensi
Hari ke-2 s.d ke-5
G6PD)
Kuning pada bayi prematur
Darah
Polisitemia
infeksi
Sferositosis kongenital
Sepsis, Kuning karena ASI
Galaktosemia, Obat-obatan
urin
Atresia
biliaris,
neonatal
golongan
Kista
koledokusm, fetoprotein,
Sepsis(terutama
infeksi
bakteri,
saluran
alfa1antitripsin,
Kolesistografi,
Uji
Rose-
kemih), Bengal
Stenosis pilorik
14
Tujuan
utama
dalam
penatalaksanaan
ikterus
neonatorum
adalah
untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan
kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi.
Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin
dapat lebih cepat berlangsung . Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya
glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan (luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau
albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau
transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan
Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi
dan ekskresi bilirubin.
. Strategi Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 12 kali/ hari untuk beberapa
hari pertama.
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
b. Pencegahan Sekunder
Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesusu serta penyaringan
serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
Harus memastikan bahwa semua bayi secar rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus
dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa
tanda tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 12 jam.
2. Penggunaan Farmakoterapi
a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi bayi dengan rhesus yang
berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan
transfusi tukar.
15
16
2.8 Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak.
Pada kern ikterus, gejala klinis pada permulaan tidak jelas antara lain: bayi tidak mau
menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu.
17
BAB 3
KESIMPULAN
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau
usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data
epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang
dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya
Ikterus adalah perubahan warna kulit / sclera mata (normal beerwarna putih) menjadi
kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir
dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25% 50% pada bayi
yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal) misalnya
akibat berlawanannya Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi berat), penyumbatan
saluran empedu, dan lain-lain. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam
darah >13 mg/dL.
Mempercepat proses konjugasi misalnya dengan pemberian fenobarbital,memberikan
substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi, melakukan dekomposoisis bilirubin
dengan fototerapi dan tranfusi tukar. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin
dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi tukar pada proses hemolisis berat.
Fototerapi dapat digunakan untuk pra- dan pasca tranfusi tukar.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,
panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh
neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.
18
DAFTAR PUSTAKA
1
2
EGC: Jakarta
Etika, Risa, Dkk. 2010. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Surabaya: Divisi
4
5
6
Virginia.
Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
19