Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering


ditemukan pada bayi baru lahir dan menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan ini
timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15Z bilirubin IX alpha) yang berwarna ikterus
pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang merupakan
komponen haemoglobin mamalia. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi
secara optimal, sehingga proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal.
Keadaan ini akan menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah. Pada
kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena
transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara
berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian
dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele
neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan apakah
ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah
mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia yang berat.
Di Amerika Serikat, sebanyak 65 % bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu
pertama kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah sakit pemerintah
dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi baru lahir
menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di Indonesia, insidens ikterus
neonatorum pada bayi cukup bulan di beberapa RS pendidikan antara lain RSCM, RS Dr.
Sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85%.
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian besar
neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan
bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang
bulan. Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan perhatian, terutama
apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin
meningkat > 5 mg/dL (> 86mol/L) dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat,
ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk >1 mg/dL juga merupakan
keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis. Dalam keadaan tersebut
1

penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat
dihindarkan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hiperbilirubinemia


Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar bilirubin total pada minggu pertama
kelahiran.

Kadar

normal

maksimal

adalah

12-13

mg%

(205-220

mikromol/L).

Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah
terjadinya

kern

ikterus

atau

ensefalopati

bilirubin

bila

kadar

bilirubin

tidak

dikendalikan(Mansjoer,2008). Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar,


tetap tergolong non patologis sehingga disebut Excess Physiological Jaundice. Digolongkan
sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani

Ga
mbar 2.1 Kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani

Sumber:http://www.juliathomson.co.uk/guidelines/other-guidelines/neonataljaundice/bhutanis-nomogram
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah keadaan
klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi
bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila
serum bilirubin >2 mg/dl(>17mol/L) sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum
bilirubin >5mg/dl(86mol/L). Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa
pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran
kadar bilirubin serum total.
2.2 Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis.
Ikterus fisiologis

: terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 68 mg/dL biasanya tercapai pada hari ke 3-5. Pada bayi kurang bulan
nilainya

10-12

mg/dL,

bahkan

sampai

15

mg/dL.

Peningkatan/akumulasi bilirubin serum < 5 mg/dL/hr.


Ikterus patologis

: terjadi dalam 24 jam pertama. Peningkatan akumulasi bilirubin serum


> 5 mg/dL/hr. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin total serum >
17mg/dL. Ikterus menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan dan
setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Bilirubin direk >2 mg/dL.

Sebagai neonatus , terutama bayi prematur, menunjukkan gejala ikterus pada hari
pertama. Ikterus ini biasanya timbul pada hari kedua, kemudian menghilang pada hari ke
sepuluh, atau pada akhir minggu ke dua. Bayi dengan gejala ikterus ini tidak sakit dan tidak
memerlukan pengobatan,kecuali dalam pengertian mencegah terjadinya penumpukan
bilirubin tidak langsung yang berlebihan.
Ikterus dengan kemungkinan besar menjadi patologik dan memerlukan pemeriksaan
yang mendalam antara lain :

Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama


Bilirubin serum meningkat lebih dari 5 mg % per hari
Bilirubin melebihi 10mg% pada bayi cukup bulan
Bilirubin melebihi 15mg% pada bayi prenatur
Ikterus yang menetap sesudah minggu pertama

Ikterus dengan bilirubin langsung melebihi 1mg%pada setiap


waktu.

Ikterus yang berkaitan dengan penyakit hemoglobin, infeksi,


atau suatu keadaan patologik lain yang telah diketahui.
2.3 Etiologi
Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi :
pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi
oleh hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam
empedu akibat faktor intra hepatik yang bersifat opbtruksi fungsional atau mekanik.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama,
sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan terkonjugasi.
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan
penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering
disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsungnormal, tetapi
suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus
hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal ( hemoglobin S pada animea sel sabit),
sel darah merah abnormal (sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun),
pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan
peningkatan hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh
peningkatan destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang (talasemia,
anemia persuisiosa, porviria). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif Kadar
bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern
Ikterus.
2. Gangguan pengambilan bilirubin
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati dilakukan
dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Hanya
beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin
oleh sel-sel hati, asam flafas pidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), nofobiosin, dan
beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya
menghilang bila obat yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu Ikterus Neonatal dan
5

beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan
dalam pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di temukan
defisiensi glukoronil tranferase sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat
konjugasi bilirubin.
3. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai terjadi
pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada Neonatus. Ikterus
Neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik transferase.
Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar
minggu ke dua, dan setelah itu Ikterus akan menghilang.
Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak
terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati
maka akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini
dilakukan pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan
fototerapi.
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang yang
panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer yang
larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di
konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukororil
transferase sering kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini.
4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor Fungsional maupun
obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi .Karena bilirubin
terkonjugasi latut dalam air,maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen
kemih sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi
dapat di sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe
alkali dalam serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam
empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh
hiperbilirubinemia

terkonjugasi

biasanya

lebih

kuning

di

bandingkan

dengan
6

hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau
tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan
bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis
dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra
hepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati ). Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan
niokimia yang sama.
Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
a. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah,
penurunan umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah
(inkompatibilitas golongan darah dan Rh), defek sel darah merah pada defisiensi
G6PD atau sferositosis, polisetemia, sekuester darah, infeksi)
b. Penurunan konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek congenital yang jarang)
c. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberian
ASI yang terlambat, obstruksi saluran cerna.
d. Kegagalan eksresi cairan empede : infeksi intrauterine, sepsis, hepatitis, sindrom
kolestatik, atresia biliaris, fibrosis kistik).
2.4 Patofisiologi
1.Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi reduksi.
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel
hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru.
Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui
reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat
dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan,
diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.

Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang
dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan oleh masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan
orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat
dan juga reabsorpsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).
1. Transportasi Bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial, selanjutnya
dilapaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang
rendahdan kapasitas ikatan molar yang kurang.Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini
merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam
sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susuna syaraf pusat
dan bersifat nontoksik.
Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat obatan yang
bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat obat tersebut akan menempati tempat
utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat pula
melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin.
8

Obat obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin:

Analgetik, antipiretik ( Natrium salisilat, fenilbutazon )

Antiseptik, desinfektan ( metal, isopropyl )

Antibiotik dengan kandungan sulfa ( Sulfadiazin, sulfamethizole, sulfamoxazole )

Penicilin ( propicilin, cloxacillin )

Lain lain ( novabiosin, triptophan, asam mendelik, kontras x ray )

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:


1) Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian
besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum.
2) Bilirubin bebas
3) Bilirubin terkonjugasi yaitu bilirubin yang siap dieksresikan melalui ginjal.
4) Bilirubin terkonjugasi yang terikat denga albumin serum.
2. Asupan Bilirubin
Pada saat kompleks bilirubin albumin mencapai membrane plasma hepatosit,
albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel
membran yang berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga dengan protein ikatan
sitosilik lainnya
3. Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut
dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl
transferase (UDPG T). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin
monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida.
Bilirubin ini kemudian dieksresikan kedalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul
bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi
berikutnya.
4. Eksresi Bilirubin
Setelah mengalami proses konjugasi , bilirubin akan dieksresikan kedalam kandung
empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui feses. Setelah berada
9

dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta glukoronidase
yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati
untuk di konjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa usus
halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim -glukoronidase yang dapat menghidrolisa
monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang
selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya
steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang
tidak dapat diabsorbsi).

Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup
bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80 % bilirubin
yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar
per kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih
pendek.
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus
10

biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak
lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu,
kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia
dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.
2.5 Manifestasi klinis
Bayi baru lahir(neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira
6mg/dl. Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai
kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus
obstruksi(bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning-kehijauan atau kuning kotor.
Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat.
Gambaran klinis ikterus fisiologis:
a) Tampak pada hari 3,4
b) Bayi tampak sehat(normal)
c) Kadar bilirubin total <12mg%
d) Menghilang paling lambat 10-14 hari
e) Tak ada faktor resiko
f)Sebab: proses fisiologis(berlangsung dalam kondisi fisiologis)
Gambaran klinik ikterus patologis:
a) Timbul pada umur <36 jam
b) Cepat berkembang
c) Bisa disertai anemia
d) Menghilang lebih dari 2 minggu
e) Ada faktor resiko
f) Dasar: proses patologis
2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
a)Riwayat kehamilan dengan komplikasi(obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi
intrauterine, infeksi intranatal)
b)Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi
c)Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya
d)Riwayat inkompatibilitas darah
e)Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
11

b. Pemeriksaan fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan
terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang,
terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila
penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer(1969). Caranya dengan jari telunjuk
ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,dada,lutut dan
lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada
masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar
bilirubinnya(Mansjoer et al, 2007).
Derajat Ikterus pada Neonatus menurut Kramer
Derajat ikterus
I
II
III

Daerah Ikterus
Perkiraan kadar Bilirubin
Kepala dan leher
5,0 mg%
Sampai badan atas (diatas 9,0 mg%
umbilicus)
Sampai
badan

bawah 11,4 mg%

(dibawah umbilicus sampai


IV

tungkai atas diatas lutut)


Seluruh
tubuh
kecuali 12,4 mg%

telapak tangan dan kaki


Seluruh tubuh

16,0 mg%

12

Sumber:Arif Mansjoer.Kapita Selekta Kedokteran jilid 2,edisi Media Aesculapius FK


UI.2007:504
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut(Etika et al, 2006).
c.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan

serum

bilirubin(direk

dan

indirek)

harus

dilakukan

pada

neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.

Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin
total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin
total < 15 mg/dL (<257 mol/L), dan tidak reliable pada kasus ikterus yang sedang
mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan
tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan
terapi sinar atau transfusi tukar.

13

Penegakan diagnosis ikterus neonatarum berdasarkan waktu kejadiannya:


Penegakan diagnosis ikterus Diagnosis banding
neonatarum

Anjuran Pemeriksaan

berdasarkan

waktu kejadiannya: Waktu


Hari ke-1

*Penyakit hemolitik

Kadar bilirubin serum berkala

Inkompatibilitas

Hb,

darah(Rh,ABO)

hapus darah golongan darah

Sferositosis.

Ht,

retikulosit,sediaan

Anemia ibu/bayi, uji Coomb

hemolitik
nonsferositosis(defisiensi
Hari ke-2 s.d ke-5

G6PD)
Kuning pada bayi prematur

Hitung jenis darah lengkap

Kuning fisiologik, Sepsis

Urin mikroskopik dan biakan

Darah

Hari ke-5 s.d ke-10

Hari ke-10 atau lebih

ekstravaskular, urin, Pemeriksaan terhadap

Polisitemia

infeksi

Sferositosis kongenital
Sepsis, Kuning karena ASI

darah ibu/bayi, uji Coomb


Uji fingsi tiroid, Uji tapis

Def G6PD, Hipotiroidisme

enzim G6PD, Gula dalam

Galaktosemia, Obat-obatan

urin

Atresia

biliaris,

neonatal

golongan

Pemeriksaan terhadap sepsis


Hepatitis Urin mikroskopik dan biakan
Uji serologi TORCH, Alfa

Kista

koledokusm, fetoprotein,

Sepsis(terutama
infeksi

bakteri,

saluran

alfa1antitripsin,

Kolesistografi,

Uji

Rose-

kemih), Bengal

Stenosis pilorik

Sumber:Levine Ml,Tudehope D.Thearle J.Essentials of Neonatal Medicine Brookes:Waterloo


1990:165
Tabel 2.2 Penegakan diagnosis ikterus neonatarum berdasarkan waktu kejadiannya
Sumber:Arif Mansjoer.Kapita Selekta Kedokteran jilid 2,edisi Media Aesculapius FK
UI.2007:505
2.7 Penatalaksanaan

14

Tujuan

utama

dalam

penatalaksanaan

ikterus

neonatorum

adalah

untuk

mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan
kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi.
Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin
dapat lebih cepat berlangsung . Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya
glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan (luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau
albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau
transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan
Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi
dan ekskresi bilirubin.
. Strategi Pencegahan
a. Pencegahan Primer

Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 12 kali/ hari untuk beberapa
hari pertama.

Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

b. Pencegahan Sekunder

Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesusu serta penyaringan
serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.

Harus memastikan bahwa semua bayi secar rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus
dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa
tanda tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 12 jam.

2. Penggunaan Farmakoterapi
a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi bayi dengan rhesus yang
berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan
transfusi tukar.

15

b. Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG T dan ligandin serta


dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin berlangsung
lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan hiperbilirubenemia pada neonatus
selama tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi prematur lebih
banyak memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital dapat diberikan dengan
dosis 8 mg/kg berat

badan sehari, mula-mula parenteral, kemudian dilanjutkan secara oral.

Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan dengan terapi sinar ialah bahwa


pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah. Kerugiannya ialah diperlukan waktu paling
kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang berarti.
c. Metalloprotoprophyrin adalah analog sintesis heme.
d. Tin Protoporphyrin ( Sn Pp ) dan Tin Mesoporphyrin ( Sn Mp ) dapat
menurunkan kadar bilirubin serum.
e. Pemberian inhibitor b - glukuronidasi seperti asam L aspartikdan kasein
holdolisat dalam jumlah kecil ( 5 ml/dosis 6 kali/hari ) pada bayi sehat cukup bulan yang
mendapat ASI dan meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang
dibandingkan dengan bayi contro.
3. Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh
seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi
bayi yang mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang
dibandingkan bayi bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai
melakukan penyelidikan mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari
penelitiannya terbukti bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga
mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi bayi prematur lainnya.6
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial dan
ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa
metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan bahwa
fototerapi merupakan obat perkutan.3 Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan
foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh
bilirubin dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.

16

2.8 Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak.
Pada kern ikterus, gejala klinis pada permulaan tidak jelas antara lain: bayi tidak mau
menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu.

17

BAB 3
KESIMPULAN
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau
usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data
epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang
dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya
Ikterus adalah perubahan warna kulit / sclera mata (normal beerwarna putih) menjadi
kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir
dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25% 50% pada bayi
yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal) misalnya
akibat berlawanannya Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi berat), penyumbatan
saluran empedu, dan lain-lain. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam
darah >13 mg/dL.
Mempercepat proses konjugasi misalnya dengan pemberian fenobarbital,memberikan
substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi, melakukan dekomposoisis bilirubin
dengan fototerapi dan tranfusi tukar. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin
dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi tukar pada proses hemolisis berat.
Fototerapi dapat digunakan untuk pra- dan pasca tranfusi tukar.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,
panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh
neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.

18

DAFTAR PUSTAKA

1
2

Abdhul latief, dkk. Ilmu Kesehatan Anak . edisi kesebelas.2007.EGC:FKUI


Behrmand Kliegelman. Nelson Essential of Pediatrics,hal 592-98. Edisi 17. 2014.

EGC: Jakarta
Etika, Risa, Dkk. 2010. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Surabaya: Divisi

4
5
6

Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo.


HTA Indonesia. 2004. Tatalaksana Ikterus Neonatorum.
HTA Indonesia. 2010. Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir di Rumah Sakit.
Kapita Selekta edisi 3 jilid 1. Ilmu Kesehatan Anak : Hiperbilirubinemia.Media

Aesculapius FKUI. 2008


Meredith L. Porter, Beth L. Dennis. Hyperbilirubinemia In The Term Newborn.
American Family Physician. 2008. Dewitt Army Community Hospital, Fort Belvoir,

Virginia.
Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak

Indonesia, Jilid 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.


Sholeh K, Ari Y, Rizalya D, Gatot IS, Ali U. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Edisi

pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; p. 147-169


10 Wong RJ, Bhutani VK, Vreman HJ, Stevenson DK. Tin mesophorphirin for the
prevention of severe neonatal hyperbulirubinemia. Pharmacology review, Neo
reviews 2007;3:77-84

19

Anda mungkin juga menyukai