simulta
n
CARI BANTUAN !
Hubungi 118 (ambulans) atau
RS terdekat
EPINEFRIN !
Segera injeksikan Epinefrin IM pada midanterolateral paha.
Dosis 0,01 mg/kgBB (sediaan ampul
1mg/ml); maksimal pada dewasa 0,5 mg,
maksimal pada anak 0,3 mg.
ELEVASI !
Telentangkan
pasien
dengan
tungkai bawah dielevasi. Posisi
pemulihan bila terjadi distres atau
pasien muntah.
JANGAN BIARKAN PASIEN
DUDUK ATAU BERDIRI
OBSERVASI !
Ulangi Epinefrin 5 15 menit kemudian
bila belum ada perbaikan
OKSIGEN !
Bila ada indikasi, beri Oksigen 6
8 liter / menit dengan sungkup
muka atau oro-pharyngeal airway
(OPA).
INTRAVENA !
Pasang infus (dengan jarum ukuran 14
16 gauge). Bila syok, berikan NaCl 0,9%
1 2 liter secara cepat (pada 5 10 menit
pertama, dapat diberikan 5 10 ml/kgBB
untuk dewasa dan 10 ml/kgBB untuk anak)
RJP !
Di setiap saat, apabila perlu, lakukan
Resusitasi Jantung Paru (RJP) dengan
kompresi jantung yang kontiniu (Dewasa:
100 120 x/menit, kedalaman 5 6 cm.
Anak: 100 x/menit, kedalaman 4 5 cm).
MONITOR !
Nilai dan catat TANDA VITAL, STATUS MENTAL, dan OKSIGENASI setiap 5 15 menit sesuai kondisi pasien.
Observasi 1 3 x 24 jam atau rujuk ke RS terdekat.
TERAPI TAMBAHAN
Kortikosteroid untuk semua kasus berat, berulang, dan pasien dengan asma
o Methyl prednisolone 125 250 mg IV
o Dexamethasone 20 mg IV
o Hydrocortisone 100 500 mg IV pelan
Inhalasi short acting 2-agonist pada bronkospasme berat
Vasopressor IV
Antihistamin IV
Bila keadaan stabil, dapat mulai diberikan kortikosteroid dan antihistamin
Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena edema laring dan
bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik.
Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal
pada kulit berupa urtikaria dan eritema.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy Organization telah
membuat beberapa kriteria di mana reaksi anafilaktik dinyatakan sangat mungkin bila:
1. Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang melibatkan kulit,
jaringan mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria generalisata, pruritus dengan
kemerahan, pembengkakan bibir/lidah/uvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda
berikut ini:
a. Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat bronkospasme, stridor,
penurunan arus puncak ekspirasi/APE, hipoksemia).
b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ
target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, sinkop, inkontinensia).
2. Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera (beberapa menit hingga
beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin (likely allergen), yaitu:
a. Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit
b. Gangguan respirasi
c. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ
target
d. Gejala gastrointestinal yang persisten (misal: nyeri kram abdomen, muntah)
3. Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa menit atau jam) setelah terpapar
alergen yang telah diketahui (known allergen), sesuai kriteria berikut:
a. Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau terjadi
penurunan > 30% dari tekanan darah sistolik semula.
b. Dewasa: Tekanan darah sistolik <90 mmHg atau terjadi penurunan>30% dari
tekanan darah sistolik semula.
Diagnosis Banding
1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis
a. Serangan asma akut
b. Sinkop
c. Gangguan cemas / serangan panik
d. Urtikaria akut generalisata
e. Aspirasi benda asing
f. Kelainan kardiovaskuler akut (infark miokard, emboli paru)
g. Kelainan neurologis akut (kejang, stroke)
2. Sindrom flush
a. Perimenopause
b. Sindrom karsinoid
c. Epilepsi otonomik
d. Karsinoma tiroid meduler
3. Sindrom pasca-prandial
a. Scombroidosis, yaitu keracunan histamin dari ikan, misalnya tuna, yang disimpan
pada suhu tinggi.
b. Sindrom alergi makanan berpolen, umumnya buah atau sayur yang mengandung
protein tanaman yang bereaksi silang dengan alergen di udara
4.
5.
6.
7.
Komplikasi
1. Koma
2. Kematian
selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila
dianggap perlu.
6. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua
obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan setelah
gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum
sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah
difenhidramin HCl 520 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan
deksametason 510 mg IV atau hidrokortison 100250 mg IV.
7. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest)
maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan
falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada
suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya di setiap ruang praktek seorang
dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga
perangkat resusitasi (Resuscitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
8. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis (Lihat Penjelasan 1)
Rencana Tindak Lanjut
Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan mencatatnya di rekam medis serta
memberitahukan kepada pasien dan keluarga.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda vital dan kesadaran. Pada kejang demam
tidak ditemukan penurunan kesadaran. Pemeriksaan umum ditujukan untuk mencari
tanda-tanda infeksi penyebab demam. Pemeriksaan neurologi meliputi kepala, ubunubun besar, tanda rangsang meningeal, pupil, saraf kranial, motrik, tonus otot, refleks
fisiologis dan patologis.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang lebih ditujukan untuk mencari penyebab demam. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan :
1. Pemeriksaan hematologi rutin dan urin rutin
2. Pemeriksaan lain atas indikasi : glukosa, elektrolit, pungsi lumbal.
Penegakan Diagnostik(Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Klasifikasi kejang demam terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Kejang demam sederhana
a. Kejang umum tonik, klonik atau tonik-klonik.
b. Durasi < 15 menit
c. Kejang tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks
a. Kejang fokal atau fokal menjadi umum.
b. Durasi > 15 menit
c. Kejang berulang dalam 24 jam.
Diagnosis Banding
1. Meningitis
2. Epilepsi
3. Gangguan metabolik, seperti: gangguan elektrolit.
Lorazepam
Fenitoin
Fenobarbital
Per rektal
Indikasi EEG
Tidak terdapat indikasi pemeriksaan EEG pada kejang demam, kecuali jika ditemukan
keragu-raguan apakah ada demam sebelum kejang.
Indikasi pencitraan (CT-scan/MRI kepala)
Pemeriksaan pencitraan hanya dilakukan jika terdapat kejang demam yang bersifat fokal
atau ditemukan defisit neurologi pada pemeriksaan fisik.
Konseling dan Edukasi
Konseling dan edukasi dilakukan untuk membantu pihak keluarga mengatasi
pengalaman menegangkan akibat kejang demam dengan memberikan informasi
mengenai:
1. Prognosis dari kejang demam.
2. Tidak ada peningkatan risiko keterlambatan sekolah atau kesulitan intelektual akibat
kejang demam.
3. Kejang demam kurang dari 30 menit tidak mengakibatkan kerusakan otak.
4. Risiko kekambuhan penyakit yang sama di masa depan.
5. Rendahnya risiko terkena epilepsi dan tidak adanya manfaat menggunakan terapi obat
antiepilepsi dalam mengubah risiko itu.
Kriteria Rujukan
1. Apabila kejang tidak membaik setelah diberikan obat antikonvulsan sampai lini ketiga
(fenobarbital).
2. Jika diperlukan pemeriksaan penunjang seperti EEG dan pencitraan (lihat indikasi
EEG dan pencitraan).
Peralatan
Tabung oksigen dan kelengkapannya, infus set, diazepam rektal/intravena, lorazepam,
fenitoin IV, fenobarbital IV, NaCl 0,9%.