Anda di halaman 1dari 5

Biofuel Generasi Kedua, Dari Rumput dan Limbah

KAMIS, 25 AGUSTUS 2011 | 14:59 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Pipa dan tangki stainless steel tersusun


rapat dalam kolom setinggi 4lantai di sebuah pilot plant Pusat
Penelitian Kimia, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Puspiptek), Serpong, Banten. Dalam struktur rumit itu, para peneliti
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengubah kayu, jerami, dan
rumput menjadi bahan bakar.
"Pilot plant ini bagian dari tren baru dunia dalam menciptakan
bioenergi dari bahan nonpangan, menghasilkan pengganti bensin
generasi kedua," ujar peneliti bioetanol dari Pusat Penelitian Kimia,
LIPI, Yanni Sudiyani, kepada Tempo pekan lalu.
Berbeda dengan bioetanol generasi pertama yang dihasilkan dari pati,
misalnya dari tanaman singkong, tebu, atau jagung, yang teknologi
prosesnya mudah. Bioetanol generasi kedua berasal dari biomassa
limbah pertanian atau kehutanan.
Biomassa bahan selulosa atau lignoselulosa memerlukan teknologi
yang prosesnya sangat sulit karena perlu perlakuan awal
atau pretreatment. Teknologi pengembangan bioetanol yang menjadi
campuran bahan bakar premium generasi kedua untuk saat ini masih
banyak kendala dan masih terbilang mahal.

Pengembangan bioetanol dari tumbuhan ini dipicu oleh krisis energi


dunia. Menipisnya cadangan minyak dunia menimbulkan
kekhawatiran akan ketersediaan energi.
Data Dewan Energi Nasional (DEN) memperlihatkan selang waktu

2006 hingga 2030, permintaan energi dunia meningkat hingga 45


persen sehingga dibutuhkan sumber energi alternatif selain bahan
bakar fosil.
Peneliti kemudian melirik etanol sebagai bahan bakar alternatif. Etil
alkohol bersifat tak berwarna, sedikit berbau, dan mudah terbakar.
Pembakaran etanol menghasilkan uap air dan karbon dioksida dalam
jumlah relatif lebih rendah dibanding bahan bakar fosil. Rendahnya
emisi karbon etanol membuat bahan bakar ini sebagai alternatif tepat
pengganti bahan bakar fosil yang dituding sebagai sumber terbesar
gas rumah kaca.
Dalam satu dekade terakhir, Brasil menjadi negara paling gencar
menggenjot penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif.
Negara yang memproduksi seperempat suplai gula global ini menjadi
contoh bagaimana bioetanol dari tebu bisa dipakai untuk memenuhi
kebutuhan energi manusia.
Sayangnya, energi alternatif ini terhambat masalah harga. Bahan
baku pembuatan bioetanol umumnya berasal dari gandum, jagung,
tebu, dan kentang yang menjadi sumber utama pangan dunia.
Lonjakan harga komoditas ini membuat bioetanol tak ekonomis lagi.
Lignoselulosa yang berasal dari limbah berbagai tanaman pangan,
berupa kayu, jerami, dan rumput, dianggap sebagai alternatif bahan
baku bioenergi yang paling potensial. Dalam beberapa tahun terakhir,
LIPI meneliti pemanfaatan lignoselulosa sebagai bahan baku
pembuatan etanol.
Limbah rumput dan jerami kering serta kayu umumnya mengandung
biomassa lignoselulosa, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Pada
tumbuhan, kandungan lignoselulosa mencapai 90 persen total

biomassa.
Untuk memanfaatkan biomassa ini, para peneliti LIPI harus
memisahkan lignin atau zat kayu yang merupakan zat pengikat
senyawa lain pada tanaman. Kandungan lignin bisa mencapai 15-30
persen. Proses delignifikasi inilah yang membuat pengolahan
lignoselulosa berbeda dengan bioenergi yang bersumber dari pangan.
Setelah lignin dipisahkan, selulosa dan hemiselulosa bisa
difermentasi menjadi zat gula yang kemudian diubah menjadi etanol.
"Ada perlakuan awal khusus untuk memisahkan lignin dari selulosa
dan hemiselulosa agar menghasilkan glukosa," kata Yanni.
Perlakuan awal dimulai dengan proses pencacahan bahan baku
rumput, pelepah daun, dan jerami. Proses fisik ini dilakukan berulangulang sehingga bahan baku berubah menjadi bagian-bagian kecil.
Material yang telah halus tersebut diberi perlakuan kimia dengan
asam atau basa. Bubur material dimasukkan ke dalam mesin
hidrolisis agar lignin terpisah dari selulosa dan hemiselulosa.
Pemisahan ini merupakan proses yang sulit mengingat struktur
selulosa dan hemiselulosa terikat kuat dengan lignin.
Tahap berikutnya adalah hidrolisis enzimatis. Selulosa dan
hemiselulosa dimasukkan ke dalam reaktor untuk mengambil sari
patinya, gula-selulosa yang mengandung gula karbon 6 (C6) atau gula
karbon 5 (C5), seperti xylose. Untuk memecah gula tersebut,
diperlukan dua spesies bakteri berbeda, yaitu bakteri
ragi (Sacharomyces cerevisae) untuk C5 dan bakteri coli, Pichia sp,
untuk C6.
Glukosa hasil fermentasi ini selanjutnya diubah menjadi etanol
menggunakan proses yang sama dengan pengolahan bahan bakar

nabati dari zat pati yang berasal dari bahan pangan.


Menurut Yanni, LIPI pernah menguji bahan baku tandan kosong
kelapa sawit untuk menghasilkan etanol. Proses dalam skala
laboratorium menunjukkan 1 ton limbah padat ini bisa menghasilkan
151 liter etanol.
Bahan bakar dalam jumlah besar ini, kata dia, sangat potensial
dikembangkan di Indonesia, mengingat negara ini menjadi salah satu
penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Tak hanya kelapa sawit,
biomassa lignoselulosa lainnya juga bisa diperoleh dari tanamantanaman yang banyak tumbuh di Indonesia.
Jerami sebagai limbah tanaman padi juga bisa diolah menjadi etanol.
Demikian pula limbah kayu hutan, yang bisa diolah menjadi energi
hijau.
"Perlakuan awal khusus ini membuat harga bioetanol generasi kedua
relatif lebih mahal," kata Yanni. "Namun, ongkos ini bisa ditebus ketika
bahan bakar fosil semakin langka."
Haznan Abimayu, peneliti Puslit Kimia LIPI, mengatakan aneka pilihan
sumber bahan baku energi terbarukan belum termanfaatkan di
Indonesia. Sebut saja sisa merang atau batang padi dan ampas tebu.
Dua limbah industri pertanian ini mencapai 230 juta ton setiap
tahunnya. Jumlah ini bisa dikonversikan menjadi 17,618 miliar liter
bioetanol.
Potensi lain berasal dari tanaman aren. Haznan memperkirakan
produksi aren di Indonesia bisa dikonversi menjadi 11,7 miliar liter
bioetanol setiap tahun. Begitu pula tanaman singkong, yang bisa
menghasilkan 180 liter bioetanol untuk setiap hektare lahan per tahun.

"Selain berpotensi besar, tanaman-tanaman tersebut tidak dikonsumsi


manusia sehingga pengolahannya tak akan mengganggu stok dan
harga pangan nasional," ujar Haznan.

Anda mungkin juga menyukai