Anda di halaman 1dari 17

1

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Limfogranuloma Venereum
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh bakteri obligat intraseluler Chlamydia trachomatis (C.
trachomatis) sub tipe L1, L2, dan L3. (1) Bentuk yang tersering adalah sindrom
inguinal, sindrom tersebut berupa limfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar
getah bening inguinal medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala
konstitusi, kemudian akan mengalami perlunakan yang serentak.(5)
Limfogranuloma venereum disebut juga limfopatia venereum atau
limfogranuloma inguinale yang dilukiskan pertama kali oleh Nicolas, Durand, dan
Favre pada tahun 1913, karena itu juga disebut penyakit Durand-Nicholas-Favre.
(4,5)

2.2. Epidemiologi Limfogranuloma Venereum


Penyakit ini terutama terdapat di negara tropik dan sub tropik. (5) LGV
endemik pada pada beberapa area, seperti Afrika, Asia Tenggara, Amerika Selatan,
dan Carribean.(1,2) Secara epidemiologis angka kejadian LGV sangat rendah pada
negara-negara industri sejak pertengahan tahun 1960.(3) Sejak tahun 2003 terjadi
wabah LGV pada beberapa kota di Eropa, terutama diantara kaum laki-laki
dengan HIV positif yang berhubungan seksual dengan sesama jenis (kaum
homoseksual).4) Sejak tahun 2003 hingga 2008, total sebanyak 849 kasus LGV
terjadi di Negara Inggris, mayoritas terjadi pada kaum homoseksual, dan hanya
lima kasus yang terjadi pada kaum heteroseksual (Gambar 1). Rata-rata usia
pasien yang terdiagnosis LGV adalah 37 tahun, berkisar antara 19 sampai 67
tahun (Gambar 2) dan sebagian besar dari mereka adalah etnis kulit putih (89%).
Mayoritas pasien memiliki coinfeksi HIV (75%) dan sebanyak 45% terdiagnosis
dengan penyakit menular seksual yang lain. Hampir seluruh kasus menunjukkan
gejala proktitis sebanyak 90%.(6)
Penderita pria pada sindrom inguinal lebih banyak daripada wanita, hal ini
disebabkan oleh perbedaan patogenesis yang akan disebutkan kemudian.(5)

Gambar 1. Jumlah Kasus LGV dengan Status HIV


di Inggris Sejak Tahun 2003-2008(6)

Gambar 2. Distribusi Usia pada Kasus LGV dengan Status HIV


Sejak Tahun 2003-2008(6)

2.3. Etiopatogenesis Limfogranuloma Venereum


Etiologi LGV adalah C.trachomatis sub tipe L1, L2 (L2a/L2b), dan L3.(2)
C.trachomatis merupakan famili dari Chlamydiaceae, yang diklasifikasikan
menjadi tiga, yakni C.trachomatis, C.pneumoniae, dan C.psittaci.(7) C.trachomatis
dibagi menjadi 15 sub tipe berdasarkan gen Omp 1 yang mengkode MOMP
(major outer membrane protein). Setiap sub tipe menyababkan penyakit yang
berbeda satu sama lain, sub tipe A-C menyebabkan penyakit trachoma atau
kebutaan, sub tipe D-K menyebabkan infeksi pada mukosa saluran genitalia dan
mata, sedangkan sub tipe L (L1, L2, dan L3) berproliferasi di jaringan limfoid
yang menyebabkan penyakit LGV, sub tipe ini lebih invasif dibanding sub tipe
yang lain.(2,7)
Tabel 1. Berbagai Penyakit yang Disebabkan oleh Chlamydiae (7)

C.trachomatis adalah bakteri obligat intraseluler, yakni bergantung pada


sel host untuk melakukan produksi ATP dan melakukan replikasi. Organisme ini
dikelilingi oleh membran luar yang terdiri atas major outer membrane protein
(MOMP).(2) Kolonisasi C.trachomatis diawali dengan perlekatan reseptor asam
sialic pada mukosa genitalia. C.trachomatis bertahan di dalam elemetary body
(EB) sehingga tidak dapat difagosit oleh sel T atau sel B. Dinding sel yang unik
tersebut merupakan faktor virulensi dari C.trachomatis, karena dengan dinding
selnya mampu mengahambat fusi dari fagolisosom pada sel fagosit. Dinding sel
C.trachomatis merupakan jenis gram negatif yang terdiri atas membran
lipopolisakarida dan hanya sedikit peptidoglikan.(8)
C.trachomatis memiliki siklus hidup bifasik, yakni elementary body (EB)
dan reticulate body (RB).(9) Siklus diawali dengan perlekatan elementary body
yang sangat infeksius ke permukaan sel host yang rentan. Pada saat mengalami
perlekatan, EB ( = 350 nm) yang merupakan metabolit inaktif namun sangat
infeksius masuk ke dalam mukosa sel epitel melalui proses fagositosis, kemudian
EB dikelilingi oleh membran endosom membentuk suatu inklusi berupa vacuole.
Vacuole ini tidak bergabung dengan lisosom primer di dalam sel. Terhambatnya
fusi lisosom di sebabkan oleh antigen di permukaan Chlamydia dan adanya EB
yang masih hidup. Selama hidup di dalam vacuole, EB masih dalam keadaan intak
dan mengalami reorganisasi dalam waktu 8 jam, yang disebut dengan initial atau
reticulate body (RB). RB ( = 800-1000 nm) merupakan partikel metaboli aktif
yang tidak dapat hidup di luar sel host, namun dapat bereplikasi melalui
pembelahan biner untuk memproduksi RB selanjutnya. Setelah 20 jam, vacuole
terdiri atas banyak RB dan mulai membentuk EB. Setelah 40 jam post infeksi,

vacuole terdiri atas banyak EB yang sudah matur dan sebagian kecil RB yang
mengalami pembelahan. Setelah 48-72 jam post infeksi, sel host lisis dan
melepaskan vacuole yang terdiri dari EB matur yang berjumlah sekitar 100-1000.
Siklus hidup Chlamydia selesai dalam waktu 2-3 hari (Gambar 4).(7,9)

Gambar 3. Siklus Hidup Chlamydia trachomatis(9)

2.4. Gejala Klinis Limfogranuloma Venereum


Gejala klinis LGV dibagi menjadi 3 stadium. Stadium primer terjadi pada
tempat inokulasi bakteri, stadium sekunder terjadi pada limfo nodi dan kadang
pada anorektal, dan stadium tersier merupakan manifestasi lanjut yang terjadi
pada genital dan rektal.(1)
1. Stadium primer
Setelah masa inkubasi selama 3-30 hari, infeksi primer LGV
memberikan gejala klinis berupa erosi yang dangkal, vesikel, pustul, papul
yang kecil atau ulkus yang tidak nyeri, muncul pada tempat inokulasi
bakteri (biasanya pada prepusium atau glans penis, uretra, vulva, vagina,
rektum, perineum, dan pada serviks).(1,2,5) Lesi ekstra genital bisa terjadi
pada kavum oris (tonsil) dan ekstra genital limfo nodi. (4) Lesi biasanya
soliter dan cepat hilang tanpa meninggalkan jaringan parut. Karena itu
penderita biasanya tidak datang pada waktu timbul stadium primer.(1,2,5)

Gambar 4. Ulkus pada Prepusium Penis(1)

2. Stadium sekunder
Stadium sekunder terjadi 2-6 minggu setelah infeksi primer.
Stadium ini berlangsung sistemik dan menyerang limfo nodi inguinal,
anus, dan rektum. Jika lesi primer terletak pada penis, vulva, atau perianal,
maka akan tampak limfadenopati inguinal atau femoral.(1,2) Limfadenopati
ingunal lebih sering terjadi pada pria jika lesi primernya terletak pada
genitalia eksterna. Sedangkan pada wanita terjadi, jika lesi primernya
terletak pada genitalia eksterna dan vagina 1/3 bawah. Itulah sebabnya
limfadenopati lebih sering terdapat pada pria dari pada wanita, karena pada
umumnya lesi primer pada wanita terjadi pada tempat yg lebih dalam,
yakni di vagina 2/3 atas dan serviks. Jika lesi primernya pada tempat
tersebut, maka yang mengalami peradangan adalah kelenjar Gerota.(5)
Pada stadium ini, yang terserang adalah kelenjar getah bening
inguinal medial, karena kelenjar tersebut merupakan kelenjar regional bagi
genitalia eksterna. Kelenjar yang dikenal adalah beberapa dan dapat
diketahui karena permukaannya berbenjol-benjol. Kemudian akan
berkonfluensi. Karena LGV merupakan penyakit sub akut, maka akan
tampak kelima tanda radang, yakni dolor, rubor, kalor, tumor, dan fungsio
lesa. Selain limfadenitis, terjadi pula periadenitis yang menyebabkan
perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian terjadi perlunakan yang
tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacammacam, yakni keras, kenyal, dan lunak (abses). Perlunakan biasanya di
tengah, dan dapat terjadi abses dan fistel yang multipel. (5) Terbentuknya
abses di dalam limfo nodi yang meradang, disebut Bubo, yang dapat
ruptur secara tiba-tiba atau membentuk sinus. Bubo yang ruptur akan
mengalirkan eksudat selama beberapa minggu dan menyembuh. Limfo
nodi yang tidak ruptur akan membentuk massa yang mengalami indurasi
dan akan menyembuh dalam satu bulan.(2) Pada stadium lanjut terjadi

penjalaran ke kelenjar limfo nodi di fosa iliaka yang disebut Bubo


bertingkat atau Etage Bubonen), kadang juga ke kelenjar femoralis. (5)

Gambar 5. Gambar Bubo yang Belum Ruptur (Kiri)


dan Bubo yang Telah Ruptur (Kanan)(1)

Pada 2/3 kasus kelenjar yang diserang umumnya unilateral dan


sangat nyeri. Jika tejadi pembesaran kelenjar limfo nodi inguinal dan
femoral secara bersamaan, keduanya akan dipisahkan oleh ligamentum
inguinale, sehingga tampak adenopati di atas dan di bawah ligamentum
inguinale. Keadaan ini disebut Groove Sign yang merupakan gambaran
patognomonik pada LGV (tampak pada 10-20% kasus).(1,2,4)

Gambar 6. Pembesaran Kelenjar Limfonodi Ingunal dan Femoral yang


Dipisahkan oleh Ligamentum Inguinale (Groove Sign)(1)

Inokulasi ekstragenital menyebabkan limfadenopati di luar regio


inguinal. Sebagai contoh, adenopati servikal akibat LGV terjadi akibat
inokulasi pada hubungan seksual secara oral.(1)
Proktitis akibat LGV yang terjadi pada pria ataupun wanita yang
melakukan hubungan seksual secara anal, dan mungkin disebabkan oleh
inokulasi secara langsung. Keterlibatan anorektal lebih sering terjadi pada
kaum homoseksual, yang memberikan gejala klinis berupa proktitis
hemoragik akut.(1) Pada wanita dapat terjadi secara dua cara, pertama jika
hubungan seksual dilakukan secara genito-anal dan kedua jika lesi primer
terjadi pada vagina 2/3 atas atau serviks, sehingga terjadi penjalaran ke ke

kelenjar perirektal (kelenjar Gerota) yang terletak antara uterus dan


rektum. Pembesaran kelenjar tersebut hanya dapat diketahui dengan
palpasi secara bimanual. Proses selanjutnya hampir sama dengan sindrom
inguinal, yakni limfadenitis dan periadenitis, lalu mengalami perlunakan
hingga

terbentuk

abses.

Kemudian

abses

akan

pecah

sehingga

menyebabkan gejala keluarnya pus pada waktu defekasi, kemudian


terbentuk fistel. Abses dan fistel dapat berlokasi di perianal dan perirektal.
Kelainan tersebut umumnya mengenai seluruh lingkaran rektum sepanjang
4-10 cm dan berlokasi 3-8 cm atau lebih di atas anus. Keluhannya ialah
obstipasi, tinja kecil-kecil disertai perdarahan saat defekasi. Akibat lain
adalah tenesmus dan keluarnya darah dan pus dari rektum. (5) Pasien juga
sering disertai gejala sistemik berupa demam, menggigil, dan penurunan
berat badan. Pada proktoskopi tampak proktitis granular atau ulseratif,
menyerupai kolitis ulseratif, yang terbatas pada 10 cm di bagian distal
kanal anorektal.(1) Gejala yang terjadi hampir sama dengan Inflammatory
Bowel Disease dan sering salah diagnosis dengan Crohn disease.(2)
Pada stadium sekunder ini, gejala sistemik biasanya terjadi, seperti
demam, menggigil, berkeringat di malam hari, sakit kepala, malaise, dan
mialgia. Leukositosis sedang biasanya terjadi.(2)

3. Stadium tersier
Pada LGV kronik yang tidak diterapi, kelenjar limfo nodi akan
mengalami fibrosis sehingga aliran limfe terbendung yang menyebabkan
terjadinya edema dan elefantiasis pada genitalia. Elefantiasis tersebut
dapat bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistel-fistel dan ulkus-ulkus. Pada
pria, elefantiasis dapat terjadi di penis dan skrotum, sedangkan pada
wanita di labia dan klitoris, yang disebut Sindrom Esthiomen dengan
genitalia eksterna yang mengalami destruksi luas. Jika meluas akan
terbentuk elefantiasis genito-anorektalis yang disebut Sindrom Jersild.
(1,5)

Gambar 7. Groove Sign Bilateral dan Elefantiasis Penoscrotal (11)

Pada proktitis yang telah mengalami abses dan fistel, muara fistel
selanjutnya akan meluas menjadi ulkus yang kemudian menyembuh dan
menjadi sikatriks. Akibatnya terjadi retraksi yang menyebabkan striktura
rekti.(5)
Jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian menjadi
abses, lalu memecah dan menjadi fistel, akibatnya akan terbentuk striktur
hingga orifisium uretra eksternum berubah bentuk seperti mulut ikan yang
disebut Fish Mouth Urethra dan penis melengkung seperti pedang turki.
(5)

Tabel 2. Karakteristik Gejala Klinis pada Limfogranuloma Venereum(2)

Kelainan Lain pada Limfogranuloma Venereum


Kelainan tersebut lebih sering terdapat pada manifestasi dini daripada
manifestasi lanjut, dan jarang ditemukan. Pada kulit dapat timbul eksantema,
berupa eritema nidosum dan eritema multiformis. Fotosensitivitas dapat
terjadipada 10-30% kasus pada bentuk dini dan 50% pada bentuk lanjut.(5)
Kelainan pada mata dapat berupa konjungtivitis, biasanya unilateral
disertai edema dan ulkus pada palpebra. Sering pula bersama-sama dengan
pembesaran kelenjar getah bening regional dan demam. Sindrom tersebut disebut
Sindrom Okuloglandular PARINAUD. Selain itu dapat pula menimbulkan
kelainan pada fundus, berupa pelebaran pembuluh darah yang berliku-liku dan
disertai edema periapilar.(5)
Susunan

saraf

pusat

dapat

pula

mengalami

kelainan

berupa

meningoensefalitis. Kelainan lain ialah hepatosplenomegali, peritonitis, dan


uretritis. Uretritis tersebut dapat disertai ulkus-ulkus pada mukosa, dapat pula
bersama-sama dengan sistitis dan epididimitis.(5)
2.5. Penegakan Diagnosis Limfogranuloma Venereum
Diagnosis LGV ditegakkan baik melalui gejala klinis ataupun melalui
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang berguna untuk menyingkirkan
diagnosis banding dan membedakan sub tipe C.trachomatis pada LGV dengan sub
tipe lain diluar LGV. Terdapat beberapa macam pemeriksaan penunjang,
diantaranya adalah :
1. Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah tepi biasanya leukosit normal, sedangkan
LED meningkat. Peningkatan ini menunjukkan keaktifan penyakit, jadi
tidak khas untuk LGV, namun lebih berati untuk menilai proses
penyembuhan, jika menyembuh LED akan menurun.(5)
Sering terjadi hiperproteinemia beripa peningkatan globulin,
sedangkan albumin normal atau menurun, sehingga perbandingan albiminglobulin menjadi terbalik. Immunoglobulin yang meningkat adalah IgA
dan tetap meningkat selama penyakit masih aktif, sehingga bersama-sama
dengan LED menunjukkan keaktivan penyakit.(5)
2. Tes Frei

10

Pada tahun 1930-1970, LGV didiagnosis melalui tes kulit dengan


tes Frei, sebuah tes yang menunjukkan hipersensitifitas tipe lambat untuk
antigen Chlamydia, mirip dengan tes tuberkulin. Tes ini tidak sesensitif
seperti tes serologi, dan kadang menunjukkan hasil false positive karena
infeksi bakteri Chlamydia sub tipe D-K. Saat ini antigen untuk tes Frei
sudah tidak tersedia lagi.(1,4)
Melakukan tes Frei dengan antigen Frei. Frei memperolehnya dari
pus penderita LGV yang mengalami abses yang belum pecah, kemudian
dilarutkan dalam garam faal dan dilakukan pasteurisasi. Untuk
mendapatkan antigen yang tidak terkontaminasi oleh bakteri, dapat
diperoleh dari otak tikus yang telah ditulari.(5)
Cara melakukannya seperti pada tes tuberkulin, yakni 0,1 cc
disuntikkan intrakutan pada bagian anterior lengan bawah dan dibaca
setelah 48 jam. Jika terdapat infiltrat berdiameter 0,5 cm atau lebih berati
positif. Tes tersebut tidak khas karena penyakit yang segolongan juga
memberikan hasil positif. Kekurangan yang lain adalah tes tersebut baru
memberi hasil positif setelah 5-8 minggu dan jika positif hanya berati
sedang atau pernah menderita LGV.(5)
Pada tes Frei terbalik, antigen diambil dari penderita yang diduga
menderita LGV, kemudian disuntikkan pada penderita LGV. Jika positif
berati penderita yang diduga menderita LGV.(5)
3. Swab Speciment
Pada pasien yang diduga menderita LGV, spesimen yang diambil
dapat berasal dari swab rektum (pada proktitis) atau ulkus kemudian
dilakukan tes laboratorium. Spesimen swab dari lesi rektum yang
divisualisasikan dengan anoskopi memberikan hasil mikorobiologi yang
lebih baik dibanding swab rektum saja (blind). Pada pasien yang
menderita proktitis berat, harus dipertimbangkan adanya HSV, terutama
pada pasien dengan HIV positif, swab rektum untul kultur HSV atau tes
PCR harus dilakukan.(2)
4. Tes serologis

11

Tes serologi untuk infeksi C.trachomatis terdiri dari dua tes, yaitu
tes

ikatan

komplemen

(Complement

Fixation

(CF))

dan

tes

microimmunofluorescence (micro-IF) (Tabel 2). Tes CF mengukur adanya


antibodi yang melawan antigen LPS spesifik dari bakteri. (7) Tes ini spesifik
untuk genus Chlamydia, oleh karena itu tidak mampu membedakan antara
infeksi

C.trachomatis,

C.psittaci,

dan

C.pnuemoniae.

Karena

C.trachomatis lebih invasif, maka pada LGV titer antibodi dalam serum
lebih tinggi dibanding C.trachomatis sub tipe D-K.(1) Berdasarkan CDC,
kriteria diagnosis tes serologis untuk pasien LGV dengan gejala klinis
yang konsisten meliputi hasil positif tes serologis untuk C.trachomatis
dengan titer antibodi yang tinggi, yakni pada tes CF titer antibodi 1:64
dan pada tes micro-IF titer antibodi 1:256.(2)
Tes micro-IF awalnya adalah tes untuk menentukan sub tipe dari
spesies C.trachomatis, kemudian berkembang untuk mengukur respon
antibodi pada pasien yang terinfeksi C.trachomatis. Tes micro-IF lebih
bermanfaat dibandingkan tes CF, karena mampu mendeteksi antibodi yang
spesifik terhadap sub tipe C.trachomatis dan mampu mendeteksi kelas
imunoglobulin yang berbeda, serta lebih sensitif dibanding tes CF pada
mayoritas pasien.(7)
Tabel 3. Tes Serologis Untuk Mendeteksi Chlamydia (2)

5. Kultur dan Metode Molekuler


Kultur Chlamydia menunjukkan bukti langsung adanya infeksi
C.trachomatis. C.trachomatis dapat diidentifikasi dari cairan bubo yang

12

diaspirasi atau pada bahan-bahan ulkus. Berbeda dengan ulkus mole, bubo
ulkus mole terdiri atas pus yang berjumlah banyak, bubo LGV terdiri atas
sejumlah kecil cairan seperti susu yang encer, sehingga harus dilakukan
injeksi 2-5 ml saline steril untuk mendapatkan sejumlah cairan dari
aspirasi. C.trachomatis dapat diisolasi pada kultur jaringan, menggunakan
HeLa-229 atau sel McCoy, namun teknik ini jarang tersedia. Alternatif lain
C.trachomatis dapat diidentifikasi dengan fluorescent microscopy secara
langsung menggunakan antibodi monoklonal konjugasi yang tersedia pada
material bubo atau ulkus. Secara komersial tersedia EIA (Enzyme
Immunoassay), yang mampu mendeteksi antigen Chlamydia (LPS),
biasanya digunakan untuk mendiagnosis infeksi uretra dan serviks akibat
C.trachomatis sub tipe D-K, namun tidak digunakan pada LGV.(1)
DNA amplification assay (NAAT), seperti Polymerase Chain
Reaction (PCR) atau Ligase Chain Reaction (LCR), mampu mendeteksi
genom yang spesifik Chlamydia dan plasmid DNA, sehingga merupakan
tes yang paling sensitif untuk mendiagnosis infeksi Chlamydia, namun
belum digunakan untuk mendiagnosis LGV.(1)
Tabel 4. Jenis Spesimen dan Pemeriksaannya untuk Diagnosis LGV (12)

6. Pemeriksaan Khusus
Pasien

dengan

proktitis

yang

berat

perlu

dirujuk

untuk

mengevaluasi gastroenterologi, yakni endoskopi bagian bawah. Temuan


klinis LGV pada sigmoideskopi dan kolonoskopi diantaranya adalah
eksudat mukopurulen, eritema difus, mukosa rektal yang rapuh, ulkus

13

yang khas, dan massa yang mengalami inflamasi, meskipun hal ini bukan
merupakan temuan spesifik pada LGV.(2)

Gambar 8. Hasil endoskopi pada rektum dua pasien LGV dengan proktitis akut.
Kiri : proktoskopi menujukkan tumor yang luas dengan beberapa eksudak
purulen pada bagian distal rektum. Kanan : Sigmoideskopi menunjukkan ulserasi
rektum yang sirkuler dengan batas yang jelas diantara mukosa yang normal. (10)

2.6. Diagnosis Banding Limfogranuloma Venereum


Diagnosis banding LGV sangat bervariasi tergantung pada stadiumnya.
a) Stadium Primer
1. Ulkus durum
Lesi primer yang khas pada LGV berbeda dengan ulkus pada
sifilis primer (ulkus durum). Pada ulkus durum, ulkus bersih, indolen,
tidak terdapat tanda radang akut, lesi lebih besar, dengan tepinya yang
mengalami indurasi, dan biasanya muncul dengan ulkus yang
multiple. Lesi pada LGV dan ulkus sifilis primer biasanya tidak nyeri,
dan dapat diikuti oleh adenopati unilateral atau bilateral.(2)
2. Ulkus Mole
Ulkus pada ulkus mole sangat khas, yakni ulkus kecil, lunak
pada perabaan, tidak terdapat indurasi, berbentuk cawan, pinggir tidak
rata, sering bergaung, dan dikelilingi haloyang eritematosa. Ulkus
sering tertutup jaringan nekrotik, dasar ulkus berupa jaringan
granulasi yang mudah berdarah, dan pada perabaan terasa nyeri.(5)

14

Pada LGV lesi primer tidak spesifik dan cepat hilang. Terjadi
pembesaran kelejar getah bening inguinal, yang perlunakannya tidak
serentak.
b) Stadium Sekunder
1. Skrofuloderma
Antara LGV dan skrofuloderma yang mengenai daerah
inguinal terdapat persamaan, yakni keduanya terdapat limfadenitis
pada beberapa kelenjar, periadenitis, perlunakan tidak serentak
akibatnya konsistensi kelenjar bermacam-macam, serta pembentukan
abses dan fistel yang multipel. Kecuali itu, LED meningkat pada
keduanya, sedangkan leukosit biasanya normal.(5)
Perbedaannya ialah, pada LGV terdapat kelima tanda radang
akut, sedangkan pada skrofuloderma tidak terdapat kecuali tumor.
Lokasinya juga berlainan, pada LGV di inguinal medial, sedangkan
pada skrofuloderma pada inguinal lateral dan femoral. (5)
2. Limfadenitis piogenik
Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misalnya
dermatitis atau skabies pada genitalia eksterna yang mengalami
infeksi oleh piokokus, sedangkan pada LGV lesi primer umumnya
sudah tidak ada, karena cepat menghilang. Kelima tanda radang akut
juga terdapat, tetapi perlunakannya serentak, sehingga tidak
membentuk abses dan fistel yang multipel seperti pada LGV. Pada
pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan leukosit. (5)
3. Limfadenitis karena ulkus mole
Ulkus mole kini jarang

terdapat,

jika

menyebabkan

limfadenitis, maka lesi primer masih tampak. Kelima tanda radang


juga terdapat, tetapi perlunakannya serentak. (5)
4. Limfoma maligna
Penyakit ini, jika masih dini tanpa disertai kelima tanda
radang, kecuali tumor, biasanya tidak melunak. Pada gambaran darah
tepi terdapat kelainan dan gambaran histopatologisnya meberi
kelainan yang khas. (5)
5. Hernia inguinalis

15

Adakalanya hernia inguinalis atau femoralis disangka LGV


dan sebaliknya. Pada hernia tanda-tanda radang tidak ada kecuali
tumor, dan saat pasien mengejan tumor akan membesar. (5)
2.7. Penatalaksanaan Limfogranuloma Venereum
Pengobatan LGV dengan antibiotik dilakukan selama 21 hari. Antibiotik
yang direkomendasikan adalah doksisiklin oral 100 mg 2 kali sehari selama 21
hari, atau eritromisin oral 500 mg 4 kali sehari selama 21 hari, atau alternatif lain
adalah azitromisin oral 1 gr 1 kali (single dose ) selama 21 hari. Doksiksiklin
adalah pengobatan lini pertama pada LGV, sedangkan eritromisin adalah
pengobatan lini kedua (Tabel 4). Eritromisin diberikan pada wanita yang sedang
hamil dan menyusui, karena doksisiklin dikontraindikasikan untuk wanita hamil.
(2,4)

Eritromisin efektif untuk mengobati baik LGV maupun ulkus mole, namun

penggunaan eritromisin yang lama tidak direkomendasika untuk LGV.(1) Pasien


LGV yang juga menderita HIV positif mendapat pengobatan dengan regimen
yang sama dengan pasien LGV yang lain yang tidak terinfeksi HIV.(2)
Tabel 4. Regimen Terapi pada Penyakit LGV(2)

Seluruh pasien harus di follow up sampai gejala dan tanda klinis LGV
menyembuh. Hal ini mungkin berlangsung selama 3-6 minggu.(2) Bubo yang
fluktuatif harus diaspirasi karena tidak akan pulih hanya dengan pengobatan
antibiotik. Namun, tindakan insisi atau drainase atau eksisi pada bubo tidak akan

16

membantu dan akan meperlambat proses penyembuhan.(12) Komplikasi lanjut


LGV, seperti striktur pada rektum akan membaik dengan terapi antibiotik, namun
tidak dapat mengoreksi kerusakan akibat fibrosis. Fistula rekto-vagina, obstruksi
usus, dan esthiomene membutuhkan tindakan bedah dan pengobatan antibiotik.(1)

Gambar 10. Aspirasi Bubo pada Kelenjar Inguinal Kanan(2)


Penatalaksanaan LGV tidak hanya terbatas pada pasien saja, tetapi juga
pada partner hubungan seksual. Jika pasien telah didiagnosis LGV, maka partner
hubungan seksual selama 30 hari terakhir juga harus dievaluasi, jika menunjukkan
gejala klinis, maka harus diobati seperti pasien yang telah didiagnosis LGV.
Namun, jika partner hubungan seksual tidak menunjukkan gejala atau
asimtomatik, maka harus diobati dengan doksisiklin oral 100 mg 2 kali sehari
selama 7 hari, atau dosis tunggal 1 gr azitromisin.(2,4)
2.8. Prognosis Limfogranuloma Venereum
Prognosis pasien dengan LGV adalah baik, jika infeksi dikenali secara
tepat dan diterapi secara cepat sebelum terbentuk inflamasi yang berat, seperti
bubo dan pembentukan fistula. Disamping terapi yang tepat, pasien dengan bubo
juga harus di-follow up untuk melakukan tindakan aspirasi. Secara umum, adanya
jaringan parut yang terjadi akibat gejala klinis yang lanjut, membutuhkan waktu
yang lama untuk sembuh.(2)

17

Anda mungkin juga menyukai