TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Limfogranuloma Venereum
Limfogranuloma venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh bakteri obligat intraseluler Chlamydia trachomatis (C.
trachomatis) sub tipe L1, L2, dan L3. (1) Bentuk yang tersering adalah sindrom
inguinal, sindrom tersebut berupa limfadenitis dan periadenitis beberapa kelenjar
getah bening inguinal medial dengan kelima tanda radang akut dan disertai gejala
konstitusi, kemudian akan mengalami perlunakan yang serentak.(5)
Limfogranuloma venereum disebut juga limfopatia venereum atau
limfogranuloma inguinale yang dilukiskan pertama kali oleh Nicolas, Durand, dan
Favre pada tahun 1913, karena itu juga disebut penyakit Durand-Nicholas-Favre.
(4,5)
vacuole terdiri atas banyak EB yang sudah matur dan sebagian kecil RB yang
mengalami pembelahan. Setelah 48-72 jam post infeksi, sel host lisis dan
melepaskan vacuole yang terdiri dari EB matur yang berjumlah sekitar 100-1000.
Siklus hidup Chlamydia selesai dalam waktu 2-3 hari (Gambar 4).(7,9)
2. Stadium sekunder
Stadium sekunder terjadi 2-6 minggu setelah infeksi primer.
Stadium ini berlangsung sistemik dan menyerang limfo nodi inguinal,
anus, dan rektum. Jika lesi primer terletak pada penis, vulva, atau perianal,
maka akan tampak limfadenopati inguinal atau femoral.(1,2) Limfadenopati
ingunal lebih sering terjadi pada pria jika lesi primernya terletak pada
genitalia eksterna. Sedangkan pada wanita terjadi, jika lesi primernya
terletak pada genitalia eksterna dan vagina 1/3 bawah. Itulah sebabnya
limfadenopati lebih sering terdapat pada pria dari pada wanita, karena pada
umumnya lesi primer pada wanita terjadi pada tempat yg lebih dalam,
yakni di vagina 2/3 atas dan serviks. Jika lesi primernya pada tempat
tersebut, maka yang mengalami peradangan adalah kelenjar Gerota.(5)
Pada stadium ini, yang terserang adalah kelenjar getah bening
inguinal medial, karena kelenjar tersebut merupakan kelenjar regional bagi
genitalia eksterna. Kelenjar yang dikenal adalah beberapa dan dapat
diketahui karena permukaannya berbenjol-benjol. Kemudian akan
berkonfluensi. Karena LGV merupakan penyakit sub akut, maka akan
tampak kelima tanda radang, yakni dolor, rubor, kalor, tumor, dan fungsio
lesa. Selain limfadenitis, terjadi pula periadenitis yang menyebabkan
perlekatan dengan jaringan sekitarnya. Kemudian terjadi perlunakan yang
tidak serentak, yang mengakibatkan konsistensinya menjadi bermacammacam, yakni keras, kenyal, dan lunak (abses). Perlunakan biasanya di
tengah, dan dapat terjadi abses dan fistel yang multipel. (5) Terbentuknya
abses di dalam limfo nodi yang meradang, disebut Bubo, yang dapat
ruptur secara tiba-tiba atau membentuk sinus. Bubo yang ruptur akan
mengalirkan eksudat selama beberapa minggu dan menyembuh. Limfo
nodi yang tidak ruptur akan membentuk massa yang mengalami indurasi
dan akan menyembuh dalam satu bulan.(2) Pada stadium lanjut terjadi
terbentuk
abses.
Kemudian
abses
akan
pecah
sehingga
3. Stadium tersier
Pada LGV kronik yang tidak diterapi, kelenjar limfo nodi akan
mengalami fibrosis sehingga aliran limfe terbendung yang menyebabkan
terjadinya edema dan elefantiasis pada genitalia. Elefantiasis tersebut
dapat bersifat vegetatif, dapat terbentuk fistel-fistel dan ulkus-ulkus. Pada
pria, elefantiasis dapat terjadi di penis dan skrotum, sedangkan pada
wanita di labia dan klitoris, yang disebut Sindrom Esthiomen dengan
genitalia eksterna yang mengalami destruksi luas. Jika meluas akan
terbentuk elefantiasis genito-anorektalis yang disebut Sindrom Jersild.
(1,5)
Pada proktitis yang telah mengalami abses dan fistel, muara fistel
selanjutnya akan meluas menjadi ulkus yang kemudian menyembuh dan
menjadi sikatriks. Akibatnya terjadi retraksi yang menyebabkan striktura
rekti.(5)
Jika terbentuk infiltrat di uretra posterior, yang kemudian menjadi
abses, lalu memecah dan menjadi fistel, akibatnya akan terbentuk striktur
hingga orifisium uretra eksternum berubah bentuk seperti mulut ikan yang
disebut Fish Mouth Urethra dan penis melengkung seperti pedang turki.
(5)
saraf
pusat
dapat
pula
mengalami
kelainan
berupa
10
11
Tes serologi untuk infeksi C.trachomatis terdiri dari dua tes, yaitu
tes
ikatan
komplemen
(Complement
Fixation
(CF))
dan
tes
C.trachomatis,
C.psittaci,
dan
C.pnuemoniae.
Karena
C.trachomatis lebih invasif, maka pada LGV titer antibodi dalam serum
lebih tinggi dibanding C.trachomatis sub tipe D-K.(1) Berdasarkan CDC,
kriteria diagnosis tes serologis untuk pasien LGV dengan gejala klinis
yang konsisten meliputi hasil positif tes serologis untuk C.trachomatis
dengan titer antibodi yang tinggi, yakni pada tes CF titer antibodi 1:64
dan pada tes micro-IF titer antibodi 1:256.(2)
Tes micro-IF awalnya adalah tes untuk menentukan sub tipe dari
spesies C.trachomatis, kemudian berkembang untuk mengukur respon
antibodi pada pasien yang terinfeksi C.trachomatis. Tes micro-IF lebih
bermanfaat dibandingkan tes CF, karena mampu mendeteksi antibodi yang
spesifik terhadap sub tipe C.trachomatis dan mampu mendeteksi kelas
imunoglobulin yang berbeda, serta lebih sensitif dibanding tes CF pada
mayoritas pasien.(7)
Tabel 3. Tes Serologis Untuk Mendeteksi Chlamydia (2)
12
diaspirasi atau pada bahan-bahan ulkus. Berbeda dengan ulkus mole, bubo
ulkus mole terdiri atas pus yang berjumlah banyak, bubo LGV terdiri atas
sejumlah kecil cairan seperti susu yang encer, sehingga harus dilakukan
injeksi 2-5 ml saline steril untuk mendapatkan sejumlah cairan dari
aspirasi. C.trachomatis dapat diisolasi pada kultur jaringan, menggunakan
HeLa-229 atau sel McCoy, namun teknik ini jarang tersedia. Alternatif lain
C.trachomatis dapat diidentifikasi dengan fluorescent microscopy secara
langsung menggunakan antibodi monoklonal konjugasi yang tersedia pada
material bubo atau ulkus. Secara komersial tersedia EIA (Enzyme
Immunoassay), yang mampu mendeteksi antigen Chlamydia (LPS),
biasanya digunakan untuk mendiagnosis infeksi uretra dan serviks akibat
C.trachomatis sub tipe D-K, namun tidak digunakan pada LGV.(1)
DNA amplification assay (NAAT), seperti Polymerase Chain
Reaction (PCR) atau Ligase Chain Reaction (LCR), mampu mendeteksi
genom yang spesifik Chlamydia dan plasmid DNA, sehingga merupakan
tes yang paling sensitif untuk mendiagnosis infeksi Chlamydia, namun
belum digunakan untuk mendiagnosis LGV.(1)
Tabel 4. Jenis Spesimen dan Pemeriksaannya untuk Diagnosis LGV (12)
6. Pemeriksaan Khusus
Pasien
dengan
proktitis
yang
berat
perlu
dirujuk
untuk
13
yang khas, dan massa yang mengalami inflamasi, meskipun hal ini bukan
merupakan temuan spesifik pada LGV.(2)
Gambar 8. Hasil endoskopi pada rektum dua pasien LGV dengan proktitis akut.
Kiri : proktoskopi menujukkan tumor yang luas dengan beberapa eksudak
purulen pada bagian distal rektum. Kanan : Sigmoideskopi menunjukkan ulserasi
rektum yang sirkuler dengan batas yang jelas diantara mukosa yang normal. (10)
14
Pada LGV lesi primer tidak spesifik dan cepat hilang. Terjadi
pembesaran kelejar getah bening inguinal, yang perlunakannya tidak
serentak.
b) Stadium Sekunder
1. Skrofuloderma
Antara LGV dan skrofuloderma yang mengenai daerah
inguinal terdapat persamaan, yakni keduanya terdapat limfadenitis
pada beberapa kelenjar, periadenitis, perlunakan tidak serentak
akibatnya konsistensi kelenjar bermacam-macam, serta pembentukan
abses dan fistel yang multipel. Kecuali itu, LED meningkat pada
keduanya, sedangkan leukosit biasanya normal.(5)
Perbedaannya ialah, pada LGV terdapat kelima tanda radang
akut, sedangkan pada skrofuloderma tidak terdapat kecuali tumor.
Lokasinya juga berlainan, pada LGV di inguinal medial, sedangkan
pada skrofuloderma pada inguinal lateral dan femoral. (5)
2. Limfadenitis piogenik
Pada penyakit ini lesi primer masih tampak, misalnya
dermatitis atau skabies pada genitalia eksterna yang mengalami
infeksi oleh piokokus, sedangkan pada LGV lesi primer umumnya
sudah tidak ada, karena cepat menghilang. Kelima tanda radang akut
juga terdapat, tetapi perlunakannya serentak, sehingga tidak
membentuk abses dan fistel yang multipel seperti pada LGV. Pada
pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan leukosit. (5)
3. Limfadenitis karena ulkus mole
Ulkus mole kini jarang
terdapat,
jika
menyebabkan
15
Eritromisin efektif untuk mengobati baik LGV maupun ulkus mole, namun
Seluruh pasien harus di follow up sampai gejala dan tanda klinis LGV
menyembuh. Hal ini mungkin berlangsung selama 3-6 minggu.(2) Bubo yang
fluktuatif harus diaspirasi karena tidak akan pulih hanya dengan pengobatan
antibiotik. Namun, tindakan insisi atau drainase atau eksisi pada bubo tidak akan
16
17