Anda di halaman 1dari 27

I.

PENDAHULUAN
Informasi 1
Ny Ecce 40 tahun dibawa keluarganya ke IGD Suka Rawat karena sejak 6 jam yll
terlihat nafasnya cepat seperti sesak serta sulit berkomunikasi. 4 bulan SMRS
pasien mengeluhkan badannya sering terasa lemas, sering lapar, sering minum,
sering kencing terutama malam hari (>3x/malam), serta berat badannya menurun
akhir-akhir ini. 2 minggu SMRS pasien mengeluhkan luka di telapak kaki kiri
yang tidak sembuh-sembuh setelah menginjak paku pinus. Awalnya luka kecil dan
pasien tidak memeriksakan ke dokter, namun semakin lama semakin membesar,
nyeri, keluar darah serta nanah, dan bau.
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak pernah memeriksakan diri ke dokter,
jadi tidak pernah mengetahui memiliki riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung
ataupun alergi obat.
Riwayat Penyakit Keluarga : Ayah pasien menderita DM, Ibu pasien menderita
hipertensi, Nenek pasien menderita stroke, hipertensi dan DM.
Informasi 2
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum, Kesadaran : Tampak gelisah, E4M6E3
Vital Sign
TD
: 90/60 mmHg
Nadi : 120x/menit, reguler
RR
: 32x/menit, cepat, dalam, dan berbau khas
T
: 38o C
BB
: 45 kg
Mata
: SI -/- CA -/Leher
: dalam batas normal
Thorax
Jantung
: Insp
: ictus cordis tidak terlihat
Palp
: ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial LMCS
Perk
: dalam batas normal
Ausk
: S1S2 reguler, suara tambahan (-)
Paru
: Insp
: otot bantu nafas (-)
Palp
: simetris (+), takti fremitus (ka ki)
Perk
: sonor (+/+)
Ausk
: vesicular (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
Abdomen : Insp
: datar
Ausk
: BU (+) N
Perk
: tympani (+)
Palp
: NT (-), turgor kulit melambat, H/L tidak teraba
Extremitas : akral dingin (+/+), pitting edem (-/-)

Status lokalis regio plantar pedis sinistra


Insp
: tampak ulkus ukuran 4x2x0,5 cm, darah (+), pus (+), jar nekrotik
Palp

(+), warna kulit sekitar kemerahan


: nyeri (+)

Informasi 3
LABORATORIUM
Hb 13 g/dl
Ht 45%
Leukosit 18900/l
Trombosit 240000/l
GDS 530 mg/dl
Ureum 60,6 mg/dl
Creatinin 1,08 mg/dl
SGOT 15 /l
SGPT 20 /l
Na 135 mmol/l
K 4,2 mmol.l
Cl 100 mmol/l
AGD : pH 7,31
PaO2 65 mmHg
PaCO2 23 mmHg
HCO3- 10 meq/l
Base Exces -6 meq/l
SaO2 91%
Urinalisis
Makroskopis : Warna : kuning
Kejernihan : keruh
pH : 6
Mikroskopik : Sel epitel -/LPK
Leukosit 1-2/LPB
Eritrosit 0/LPB
Silinder
Kristal -/LPK
Bakteri -/LPK
Protein
Glukosa +
Keton +
Informasi 4
DIAGNOSIS
Krisis Hiperglikemia et causa ketoasidosis diabetik + sepsis et causa ulkus pedis
sinistra
Diabetes melitus type 2
Diabetic foot ulcer
Informasi 5

TATA LAKSANA
Krisis Hiperglikemia e.c KAD
O2 dengan NRM 8 lpm
Rehidrasi dengan ringer laktat guyur 2000 ml dalam 2 jam (double IV line),
pantau urine output
Regulasi gula darah dengan insulin syringe pump, dievaluasi tiap jam
Konsul ke bagian interna untuk indikasi KAD
Diabetic foot ulcer
Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr IV (skin test)
Injeksi Metronidazole 3x500 mg
Injeksi Ketorolac 3x30 mg IV
Kultur pus dan darah
Konsul ke bagian bedah untuk indikasi debridement.

II.

PEMBAHASAN

A. Klarifikasi Istilah
1. Nanah
Nanah atau pus adalah cairan kaya protein hasil proses peradangan yang
mengandung leukosit, debris selular, dan cairan encer (liquor puris)
(Dorland, 2012).
B. Batasan Masalah
C. Analisis Masalah
1. Menjelaskan ubungan penyakit sebelumnya dengan luka pasien dan
mengapa luka semakin lama semakin membesar dan parah
2. Sebutkan macam-macam pemeriksaan yang diperlukan pasien di IGD
3. Menjelaskan hubungan riwayat penyakit keluarga dengan penyakit
4.
5.
6.
7.

pasien
Sebutkan macam-macam kegawatdaruratan sistem metabolisme
Menjelaskan mekanisme keluhan utama dan penyerta
Menjelaskan perbedaan sesak nafas dari jantung, paru, dan metabolik
Menjelaskan definisi, etiologi, faktor resiko, tanda dan gejala, penegakan
diagnosis, patogenesis, patofisiologi, tata laksana, dan prognosis dari

Ketoasidosis diabetikum
8. Menjelaskan diagnosis banding dari Ketoasidosis diabetikum
D. Pembahasan Analisis Masalah
1. Menjelaskan ubungan penyakit sebelumnya dengan luka pasien dan
mengapa luka semakin lama semakin membesar dan parah
Penyakit yang ada pada pasien adalah penyakit diabetes mellitus yang
merupakan penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tanda
tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya
gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kurangnya insulin
efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme
karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan
protein. Penderita diabetes melitus dengan faktor resiko tertentu akan sulit
mengalami penyembuhan apabila terjadi perlukaan Oleh karena itu ketika
pasien diabetes melitus ini terluka karena trauma akan sangat mudah
terjadi komplikasi berupa ulkus diabetikum (Saad,2013).
Gangguan penyembuhan ulkus kaki diabetik menurut Tellechea dkk.
(2010) terjadi karena empat faktor yaitu adanya hiperglikemia yang
berlangsung secara terus menerus, lingkungan pro-inflamasi, penyakit

arteri perifir, dan neuropati perifir, keempat keadaan di atas secara


bersam-sama menyebabkan gangguan fungsi sel imun, respon inflamasi
menjadi

tidak

efektif,

disfungsi

sel

endotel,

dan

gangguan

neovaskularisasi.
2. Sebutkan macam-macam pemeriksaan yang diperlukan pasien di
IGD
a Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis,
pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat
trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary
survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan
segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
i
ii
iii
iv
v

Airway maintenance dengan cervical spine protection


Breathing dan oxygenation
Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
Disability-pemeriksaan neurologis singkat
Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan

primary survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan


yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah
sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota
tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim
dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway,
circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai
pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of
Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulangulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk
perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah,
kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai
serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment,
intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara
lain (Gilbert., DSouz a., & Pletz, 2009) :

General Impressions
1 Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara
umum.
Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
Menentukan status mental dan orientasi (waktu,

2
3
ii

tempat, orang)
Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan
adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak
pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat
berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
(Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan
belakang

bantuan airway dan ventilasi. Tulang

leher

harus

dilindungi

selama

intubasi

endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala,


leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak
sadar (Wilkinson & Skinner, 2000). Yang perlu
diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara
lain :
1 Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien
2

dapat berbicara atau bernafas dengan bebas?


Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada
pasien antara lain:
a Adanya snoring atau gurgling
b Stridor atau suara napas tidak normal
c Agitasi (hipoksia)
d Penggunaan otot bantu pernafasan

paradoxical chest movements


e Sianosis
Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran
napas bagian atas dan potensial penyebab
obstruksi :
a Muntahan
b Perdarahan
c Gigi lepas atau hilang
d Gigi palsu

e Trauma wajah
Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan

jalan nafas pasien terbuka.


Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak
perlu pada pasien yang berisiko untuk mengalami

cedera tulang belakang.


Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan
jalan nafas pasien sesuai indikasi :
a Chin lift/jaw thrust
b Lakukan suction (jika tersedia)
c Oropharyngeal
airway/nasopharyngeal
d

airway, Laryngeal Mask Airway


Lakukan intubasi

iii. Pengkajian Breathing (Pernafasan)


Pengkajian pada pernafasan

dilakukan

untuk

menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan


pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai,
maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi

dan

drainase

tension

pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury


dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000). Yang
perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien
antara lain :
a

Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap

ventilasi dan oksigenasi pasien.


Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding

dada pasien jika perlu.


Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji
lebih lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan

d
e
f

pasien.
Penilaian kembali status mental pasien.
Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat
dan / atau oksigenasi:
a Pemberian terapi oksigen
b Bag-Valve Masker

Intubasi
konfirmasi

(endotrakeal
penempatan

atau
yang

nasal

dengan

benar),

jika

diindikasikan.
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk

advanced airway procedures


iv. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya
perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah
penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock
didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia,
takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan
capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena
itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah
satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah
terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk
melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain
yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal
shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang
nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien
secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson &
Skinner, 2000).
v. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan
menggunakan skala AVPU :
a A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya
b

mematuhi perintah yang diberikan


V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan

suara yang tidak bisa dimengerti


P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat
tungkai jika ekstremitas awal yang digunakan untuk
mengkaji gagal untuk merespon)

vi. Expose, Examine dan Evaluate


Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa
cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera

leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk


dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan
pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam
melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos
pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan
selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika
diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme
trauma yang mengancam jiwa, maka Rapid Trauma
Assessment harus segera dilakukan:
a

Lakukan

pemeriksaan

kepala,

leher,

dan

ekstremitas pada pasien


Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa
pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang
berpotensi tidak stabil atau kritis.
3. Menjelaskan hubungan riwayat penyakit keluarga dengan penyakit
pasien
Diabetes Melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya
hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari
kerja dan atau sekresi insulin.Gejala yang dikeluhkan pada penderita
Diabetes Melitus yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan berat
badan, kesemutan (Fatimah, 2015).
Faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian diabetes melitus ada
dua, yaitu yang tidak dapat dirubah dan dapat dirubah. Salah satu faktor
yang tidak dapat dirubah adalah adanya riwayat keluarga yang dengan
diabetes melitus (Fatimah, 2015). Berdasarkan kasus di atas, terdapat
riwayat keluarga yang mengidap penyakit diabetes melitus, yaitu Ayah
(first degree relative) dan nenek. Sebagai perbandingan, probabilitas
orang yang memiliki riwayat keluarga dengan diabetes melitus akan
memiliki kejadian 4 kali lebih besar dibandingkan orang yang tidak
memiliki riwayat keluarga dengan diabetes melitus (Zahtamal et al.,
2007). Selain itu Ny. Ecce juga memiliki gejala yang menyerupai dengan

gejala penyakit diabetes melitus, yaitu polidipsi, poliuria, polifagia, dan


penurunan berat badan (Hakim, 2010).
Pada penyakit hipertensi, salah satu faktor tidak terkontrol yang
mempengaruhi kejadian penyakit ini adalah keturunan (Sigarlaki, 2006).
Salah satu keluarga dari Ny. Ecce juga memiliki hipertensi yaitu Ibu dari
beliau, sehingga Ny. Ecce kemungkinan memiliki penyakit hipertensi.
Karena riwayat keluarga (orang tua, kakek/nenek, dan saudara kandung)
yang menunjukkan adanya tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko
paling kuat bagi seseorang untuk mengidap hipertensi di masa yang akan
datang (Yeni et al., 2009).
Riwayat penyakit keluarga yang ada pada kasus tersebut selain dari
Ayah dan Ibu Ny. Ecce, adalah Nenek Ny. Ecce. Nenek Ny. Ecce
mengidap penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan stroke. Pada penyakit
stroke, faktor risiko yang mempengaruhi antara lain hipertensi, jenis
kelamin, diabetes melitus, kadar lemak, obesitas, penyakitjantung, TIA,
kurangnya aktivitas fisik dan olahraga serta adanya faktor faktor genetik
(Sulistyani dan Purhadi, 2013). Oleh karena itu walaupun Ny. Ecce tidak
memiliki gejala stroke, seperti defisit neurologis, peningkatan TIK,
gangguan kesadaran, sakit kepala, penurunan kesadaran (Arifputera et al.,
2014) tetapi ada kemungkinan di kemudian hari Ny. Ecce mengidap
penyakit tersebut.
4. Sebutkan macam-macam kegawatdaruratan sistem metabolisme
Mba dewi ga ngirim
5. Menjelaskan mekanisme keluhan utama dan penyerta
6. Menjelaskan perbedaan sesak nafas dari jantung, paru, dan
metabolik
Pada umumnya sulit membedakan sesak pada kelainan jantung atau non jantung
karena pada tahap awal biasanya mirip, seperti nafas yang tidak tuntas, rasa
tertekan di dada, rasa nafas pendek, nafas berbunyi, batuk dan lain lain. Yang
bisa dibedakan adalah (Simon et al.,2006) :
1

Sesak nafas karena penyakit jantung, biasanya disertai bengkak pada


tungkai, bunyi nafas khas (hanya diketahui dengan auskultasi), tekanan
darah meningkat, bisa juga turun, denyut jantung tak teratur, cepat.

Sesak nafas karena penyakit pada paru-paru, biasanya tidak ada bengkak
tungkai, bunyi nafas khas (dengan auskultasi), kalau asma ada wheezing
(bunyi ngik pada saat ekspirasi), tekanan darah biasanya normal, nadi yang

lebih cepat tapi masih teratur.


Sesak karena sakit maag, biasanya disertai sakit pada ulu hati, atau rasa
begah, rasa penuh, rasa kembung, bisa juga ada gangguan ke belakang.
Sebenarnya pada sakit maag, nafasnya tidak sesak, tapi rasa tidak tuntas.

Tabel 2.1. perbedaan gejala dyspneu pada berbagai kondisi penyakit


(simon et al.,2006)
Gejala tersebut di atas akan bervariasi pada tiap indivu, karena setiap orang itu
unik. Sesak pada kelainan jantung, terutama pada stadium awal dari gagal jantung,
penderita merasakan sesak nafas hanya selama melakukan aktivitas fisik. Sejalan
dengan memburuknya penyakit, sesak akan terjadi ketika penderita melakukan
aktivitas yang ringan, bahkan ketika penderita sedang beristirahat (tidak
melakukan aktivitas). Sebagian besar penderita merasakan sesak nafas ketika
sedang berada dalam posisi berbaring karena cairan mengalir ke jaringan paruparu. Jika duduk, gaya gravitasi menyebabkan cairan terkumpul di dasar paruparu dan sesak akan berkurang. Sesak nafas pada malam hari (nokturnal dispneu)
adalah sesak yang terjadi pada saat penderita berbaring di malam hari dan akan
hilang jika penderita duduk tegak (Eliott et al., 2010).
Akan tetapi, harus diingat juga bahwa sesak nafas tidak hanya terjadi
pada penyakit jantung. Penderita penyakit paru-paru, penyakit otot-otot

pernafasan atau penyakit sistem saraf yang berperan dalam proses


pernafasan juga bisa mengalami sesak nafas (Eliott et al., 2010).
Setiap penyakit yang mengganggu keseimbangan antara persediaan dan
permintaan oksigen juga bisa menyebabkan sesak nafas (misalnya
gangguan fungsi pengangkutan oksigen oleh darah pada anemia atau
meningkatnya metabolisme tubuh pada hipertiroidisme) (Simon et
al.,2006)
7. Menjelaskan definisi, etiologi, faktor resiko, tanda dan gejala,
penegakan diagnosis, patogenesis, patofisiologi, tata laksana, dan
prognosis dari Ketoasidosis diabetikum
a. Definisi KAD
b. Etiologi KAD
c. Faktor Resiko KAD
Menurut Wira Gotera (2010)

faktor

risiko

Ketoasidosis

Diabetikum antara lain:


1 Infeksi, meliputi pneumonia, infeksi traktus urinarius, abses,
2

sepsis.
Penyakit vaskular akut, meliputi penyakit serebrovaskular, infark

3
4
5

miokard, emboli paru, thrombosis vena mesenterika


Trauma, luka bakar, hematom subdural.
Heat stroke
Kelainan gastointestinal, meliputi pankreatitis akut, obstruksi

akut, kholesistitis akut


Obat-obatan, meliputi kortikosteroid, thiazid, pentamidine, beta

7
8
9

bloker, obat antipsikotik dan fenitoin.


Kehamilan
Pembedahan
Stress psikologis

d. Tanda dan gejala KAD (Carpenito, 2000)


1) Poliuria
2) Polidipsi
3) Penglihatan kabur
4) Lemah
5) Sakit kepala
6) Hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg
atau lebih pada saat berdiri)
7) Anoreksia, Mual, Muntah
8) Nyeri abdomen
9) Hiperventilasi
10) Perubahan status mental (sadar, letargik, koma)

11) Kadar gula darah tinggi (> 240 mg/dl) l. Terdapat keton di urin
12) Nafas berbau aseton
13) Bisa terjadi ileus sekunder akibat hilangnya K+ karena diuresis
osmotic
14) Kulit kering
15) Keringat
16) Kussmaul ( cepat, dalam ) karena asidosis metabolic
e. Penegakan Diagnosis KAD
Menurut Permenkes (2014) penegakkan diagnosis KAD sebagai berikut:
1 Anamnesis
a Keluhan
1 Polifagi
2 Poliuri
3 Polidipsi
4 Penurunan berat badan yang tidak jelas
b Keluhan tidak khas
1 Lemah
2 Kesemutan (rasa baal di ujung-ujung ekstremitas)
3 Mata kabur
4 Disfungsi ereksi pada pria
5 Pruritus vulvae pada wanita
6 Luka yang sulit sembuh
2 Pemeriksaan Fisik
a Penilaian berat badan
b Mata : penurunan visus, lensa mata buram
c Ekstremitas : uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen
d Muntah
e Sakit perut
f Tugor kulit menurun
g Respirasi kussmaul
3 Pemeriksaan Penunjang
a Gula darah puasa
b Gula darah 2 jam post prandial
c Urinalisis : glukosuria dan keton
f. Patogenesis KAD
Bara ga ngirim
g. Patofisiologi KAD
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan suatu keadaan dimana terdapat
defisiensi insulin absolut dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon,
katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan), sehingga semua keadaan
tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utililisasi glukosa
oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemi (Chiasson, 2003).

Akibat dari defisiensi insulin absolut, pasien mengalami: (1) hiperglikemi


dan glukosuria berat, (2) penurunan lipogenesis, (3) peningkatan lipolisis dan
peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton
(asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma
mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion
hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria akan menyebabkan
diuresis osmotik yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium,
potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Akibat dari kehilangan air
yang banyak (poliuria) akan menimbulkan uremia prarenal dan syok hipovolemi.
Asidosis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh tubuh dengan
peningkatan pelepasan CO2 ke luar tubuh melalui peningkatan ventilasi yang
dalam (pernafasan kussmaul). Akibat dari asidosis metabolik dan penurunan
penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma sampai meninggal.
Muntah biasanya sering terjadi akibat dari asidosis metabolik dengan
perangsangan pusat muntah di otak sehingga akan mempercepat kehilangan air
dan elektrolit (Price, S dan Wilson, L. 2005).
1

SUPLEMEN
Peranan utama insulin dalam metabolisme karbohidrat, lipid dan protein

dapat dipahami paling jelas dengan memeriksa berbagai akibat defisiensi insulin
pada manusia. Manifestasi utama penyakit diabetes melitus adalah hiperglikemia,
yang terjadi akibat (1) berkurangnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel; 2)
berkurangnya penggunaan glukosa oleh pelbagai jaringan; 3) peningkatan
produksi glukosa (glukoneogenesis) oleh hati. Masingmasing peristiwa ini akan
dibicarakan lebih rinci sebagai berikut (Price, S dan Wilson, L. 2005) :
Poluria, polidipsia dan penurunan berat badan sekalipun asupan kalorinya
memadai, merupakan gejala utama defisiensi insulin. Pada manusia normal kadar
glukosa plasma jarang melampaui 120 mg / dL, kendati kadar yang jauh lebih
tinggi selalu dijumpai pada pasien defisiensi kerja insulin. Setelah kadar tertentu
glukosa plasma dicapai (pada manusia umumnya > 180 mg/dl), taraf maksimal
reabsorbsi glukosa pada tubulus renalis akan dilampaui, dan gula akan
diekskresikan ke dalam urin (glikouria). Volume urin meningkat akibat terjadinya

diuersis osmotik dan kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat yang
bersamaan (poliuria), kejadian ini selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi
(hiperosmolaritas), tubuh akan segera memberikan sinyal kepusat rangsangan
haus di hipotalamusa akibat dari poliuria dan dehidrasi sehingga gejala yang
ditimbulkan yaitu banyak minum (polidipsia). Glikosuria menyebabkan
kehilangan kalori yang cukup besar (4,1 kal bagi setiap gram karbohidrat yang
diekskresikan keluar), kehilangan ini, kalau ditambah lagi dengan deplesi jaringan
otot dan adiposa, akan mengakibatkan penurunan berat badan yang hebat sehingga
tubuh akan mengkompensasi dengan merangsang pusat lapar di otak dengan
peningkatan selera makan (polifagia).
Sintesis protein akan menurun dalam keadaan tanpa insulin dan keadaan
ini sebagian terjadi akibat berkurangnya pengangkutan asam amino ke dalam otot
(asam amino berfungsi sebagai substrat glukoneogenik). Jadi, orang yang
kekurangan insulin berada dalam keseimbangan nitrogen yang negatif. Kerja
antiinsulin hilang seperti halnya efek lipogenik yang dimilikinya; dengan
demikian kadar asam lemak plasma akan meninggi. Kalau kemampuan hati untuk
mengaoksidasi asam lemak terlampaui, maka senyawa asam hidroksibutirat dan
asam asetoasetat akan bertumpuk (ketosis). Mula mula penderita dapat
mengimbangi pengumpulan asam organik ini dengan meningkatan pengeluaran
CO2 lewat sistem respirasi, namun bila keadaan ini tidak dikendalikan dengan
peningkatan insulin, maka akan terjadi asidosi metabolik dan pasien akan
meninggal dalam keadaan koma diabetik.
2

Efek insulin pada penggunaan glukosa


Insulin mempengaruhi penggunaan glukosa intrasel lewat sejumlah cara.

Pada orang yang normal, sekitar separuh dari glukosa yang dimakannya akan
diubah menjadi energi lewat lintasan glikolisis dan sekitar separuh lagi disimpan
sebagai lemak atau glikogen. Glikolisis akan menurun dalam keadaan tanpa
insulin, dan proses anabolik glikogenesis serta lipogenesis akan terhalang.
Sebenarnya, hanya 5% dari jumlah glukosa yang dikonsumsi, diubah
menjadi lemak pada penderita diabetes yang kekurangan hormon insulin. Hormon

insulin meningkatkan glikolisis hepatik dengan menaikkan aktivitas dan jumlah


beberapa enzim yang penting termasuk glukokinase, fosfofruktokinase dan
piruvat kinase. Bertambahnya glikolisis akan meningkatkan penggunaan glukosa
dan dengan demikian secara tidak langsung menurunkan pelepasan glukosa ke
dalam plasma. Insulin juga menurunkan aktivitas glukosa 6-fosfatase, yaitu suatu
enzim yang ditemukan dalam hati tetapi tidak terdapat pada otot. Karena glukosa
6 fosfat tidak dapat keluar dari membran plasma, kerja insulin ini mengakibatkan
retensi glukosa dalam sel hati.
Dalam otot skeletal, insulin meningkatkan aliran masuk glukosa lewat
pengangkut dan juga menaikkan kadar enzim heksokinase II yang melakukan
fosforilasi pada glukosa serta memulai metabolisme glukosa. Insulin merangsang
lipogenesis dalam jaringan adiposa dengan 1) menyediakan asetil KoA dan
NADPH yang diperlukan bagi sintesis asam lemak, 2) mempertahankan kadar
normal enzim asetil Ko-A karboksilase, yang mengkatalisasi konversi asetil-KoA
menjadi malonil-KOA, dan 3) menyediakan gliserol yang terlibat dalam sintesis
triasilgliserol. Pada keadaan defisiensi insulin, semua ini akan menurun, dengan
demikian, lipogenesis juga akan menurun. Sebab lain yang menimbulkan
penurunan lipogensis pada defisiensi insulin adalah pelepasan asam lemak dalam
jumlah besar akibat pengaruh beberapa hormon yang tidak dilawan oleh insulin,
pelepasan asam lemak ini akan menimbulkan hambatan umpan balik terhadap
proses sintesisnya sendiri lewat penghambatan enzim asetil KoA karboksilase.
Dengan demikian efek netto insulin terhadap lemak bersifat anabolik. Kerja akhir
insulin terhadap penggunaan glukosa melibatkan proses anabolik lainnya. Dalam
hati dan otot, insulin meransang konversi glukosa menjadi glukosa 6-fosfat
(masing-masing dengan kerja enzim gluokinase dan heksokinase II), yang
kemudian mengalami isomerisasi menjadi glukosa I-fosafat dan disatukan
kedalam glikogen oleh enzim glikogen sintase yang aktifitasnya dirangsang oleh
insulin. Kerja ini bersifat ganda dan tidak langsung. Insulin menurunkan kadar
cAMP dengan mengaktifkan fosfodiesterase. Karena fosforilasi yang tergantung
pada cAMP meniadakan keaktifan enzim glikogensintase, kadar nukleotida yang
rendah ini memungkinkan enzim tersebut untuk tetap berada dalam bentuk aktif.

Insulin juga mengaktifkan enzim fosfatase yang melaksanakan reaksi defoforilasi


glikogensintetase sehingga mengakibatkan aktivasi enzim ini. Akhirnya, insulin
menghambat fosforilase dengan suatu mekanisme yang melibatkan cAMP dan
fosfatase, dan hal ini mengurangi pembebasan glukosa dari glikogen. Efek netto
insulin terhadap metabolisme glikogen, juga bersifat anabolik.

Efek insulin terhadap glukoneogenesis


Kerja insulin terhadap pengangkutan glukosa, glikolisis dan glikogenesis

terjadi dalam waktu beberapa detik atau beberapa menit, karena semua peristiwa
ini terutama melibatkan akitavsi atau inaktivasi enzim lewat reaksi fosforilasi atau
defosforilasi. Efek yang berlangsung lebih lama terhadap glukosa plasma meliputi
inhibisi glukoneogenesis oleh insulin. Pembentukan glukosa dari prekursor
nonkarbohidrat melibatkan serangkaian tahap enzimatik yang banyak diantranya
dirangsang oleh preparat serta adrenergik, yaitu angiotensin II dan vasopresin.
Insulin menghambat tahap yang sama ini. Enzim glukoneogenik yang menjadi
kunci di dalam hati adalah phosfoenolpiruvat karboksikinase (PEPCK,
phosphoenol pyruvat carboxykinase) yang mengubah oksaloasetat menjadi
phosfoenolpiruvat. Insulin menurunkan jumlah enzim ini dengan menghambat
secara selektif transkirpsi gen yang mengkode mRAN bagi PPCK.
Efek insulin terhadap metabolisme glukosa
Kerja lipogenik insulin telah dibicarakan dalam konteks mengenai
penggunaan glukosa. Insulin juga merupakan inhibitor kuat proses lipolisis dalam
hati serta jaringan adiposa dan dengan demikian memiliki efek anabolik tak
langsung. Hal ini sebagian disebabkan oleh kemampuan insulin untuk
menurunkan kadar cAMP (yang dalam jaringan ini ditingkatkan oleh homon
lipolitik glukagon dan epinefrin) tetapi juga oleh kenyataan bahwa insulin juga
menghambat aktivitas enzim lipase. Inhibisi ini disebabkan oleh akitvasi fosfatase
yang melakukan reaksi defosforilasi dan dengan demikian meniadakan keaktifan

enzim lipase atau enzim protein kinase yang bergantung pada cAMP. Karena itu,
insulin menurunkan kadar asam lemak bebas yang berbeda. Hal ini turut
menghasilkan kerja insulin terhadap metabolisme karbohidrat, mengingat asam
lemak

menghambat

glikolisis

pada

beberapa

tahap

dan

menstimulasi

glukoneogeneis. Jadi, pengaturan metabolik tidak dapat dibicarakan dalam


konteks suatu hormon atau metabolit yang tunggal. Proses pengaturan merupakan
proses yang kompleks dimana aliran suatu lintasan tertentu terjadi akibat interaksi
sejumlah hormon dan metabolit.
Pada pasien defisiensi insulin akan terjadi peningkatan aktifitas enzim
lipase yang mengakibatkan penggalakan lipolisis dan peningkatan
konsentrasi asam lemak bebas dalam plasma serta hati. Kadar glukon
juga meningkat pada pasien ini dan hal ini menggiatkan pelepasan
asam lemak bebas. Glukagon melawan sebagian besar kerja insulin,
dan keadaan metabolisme pada diri seorang penderita diabetes
merupakan pencerminan kadar relatif glukagon dan insulin. Sebagian
asam lemak bebas dimetabolisasi menjadi asetil KoA daan kemudian
menjadi CO2 dn H2O lewat siklus asam sitrat.
h. Tata Laksana KAD
Penatalaksanaan ketoasidosis diabetik bersifat multifaktorial sehingga
memerlukan pendekatan terstruktur oleh dokter dan paramedis yang bertugas.
Prinsip-prinsip pengelolaan ketoasidosis diabetik ialah (Purwadianto & Budi,
2013):
1 Penggantian cairan dan garam yang hilang
2 Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoeogenesis sel hati dengan
3
4

pemberian insulin
Mengatasi stres sebagai pncetus ketoasidosis diabetik
Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya

pemantauan serta penyesuaian pengobatan.


Terapi ketoasidosis diabetik yaitu (Kavanagh, Sean, & Gurvinder, 2011):
1 Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan ketoasidosis diabetik adalah
terapi cairan (Alberti, 2004). Terapi insulin hanya efektif jika cairan
diberikan pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan saja akan
membuat ketoasidosis diabetikar gula darah menjadi lebih rendah. Studi
menunjukkan bahwa selama empat jam pertama, lebih dari 80%

penurunan ketoasidosis diabetik gula darah disebabkan oleh rehidrasi


(Trachtenbarg, 2005). Oleh karena itu, hal penting pertama yang harus
dipahami adalah penentuan difisit cairan yang terjadi.
Ada dua keuntungan rehidrasi pada ketoasidosis diabetik:
memperbaiki perfisi jaringan dan menurunkan hormone kontraregulator
insulin. Bila konsentrasi glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu
2

diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%).


Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis
ketoasidosis diabetik dan rehidrasi yang memadai (Soewondo, 2009).
Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai setelah diagnosis
ketoasidosis diabetik ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai.
Pemakaian insulin akan menurunkan ketoasidosis diabetikar hormon
glukagon, sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam
lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot
dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan (Soewondo, 2009).
Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus
intravena, intramuskular, ataupun subkutan. Sejak pertengahan tahun
1970-an protokol pengelolaan ketoasidosis diabetik dengan drip insulin
intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular. Cara ini
dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan
ketoasidosis diabetikar glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat
menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi
hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit (Gotara & Budiyasa, 2010).
Pemberian insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah terapi
pilihan pada ketoasidosis diabetik yang disebutkan oleh beberapa literatur,
sedangkan ADA menganjurkan insulin intravena tidak diberikan pada
KAD derajat ringan. Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3mEq/l), dapat
diberikan insulin regular 0,15 u/kg BB, diikuti dengan infus kontinu 0,1
u/kgBB/jam (5-7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus
dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang akan
dapat mengakibatkan aritmia jantung (Umpierrez, 2002).
Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan
kecepatan 50-75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih

tinggi. Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal
pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi
mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai
tercapai penurunan gula darah konstan antara 50-75 mg/dl/jam. Ketika
kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi
0,05-0,1 u/kgBB/jam (3-6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5-10%
(ADA, 2004).
Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose
harus disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis
membaik. Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat
diberikan, maka insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4-0,6 iu)/kgBB
yang terbagi menjadi setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi
secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara
intramuskular atau subkutan 0,1 iu/kgBB/jam, selanjutnya protokol
penatalaksanaannya sama seperti pemberian drip intravena (Soewondo,
3

2009).
Natrium
Penderita dengan ketoasidosis diabetik kadang-kadang mempunyai
kadar natrium serum yang rendah, oleh karena level gula darah yang
tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas 100 mg/dl
maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar
yang diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih
rendah. Kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi cairan
dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium
lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh karena
air tanpa natrium akan berpindah ke intraselular sehingga akan
meningkatkan kadar natrium. Serum natrium yang lebih tinggi daripada
150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45% (Gotara & Budiyasa,

2010).
Kalium
Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah
kadar kalium serum kurang dari 5, sumber lain menyebutkan nilai 5,5
mEq/l. Umumnya, 20-30 mEq kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap
liter cairan infus cukup untuk memelihara kadar kalium serum dalam

range normal 4-5mEq. Kadang-kadang pasien KAD mengalami


hipokalemia yang signfikan. Pada kasus tersebut, penggantian kalium
harus dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l, dan terapi insulin harus
ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau
5

gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan (Umpierrez, 2002).


Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Mengetahui
bahwa asidosis berat menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak
diinginkan, tampaknya cukup bijaksana menentukan bahwa pada pasien
dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium bikarbonat ditambahkan ke
dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200
ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9-7,0, 50mmol natrium bikarbonat
dicampur dalam 200 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan
200 ml/jam. Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0.
Sebagaimana natrium bikarbonat, insulin menurunkan kadar kalium
serum, oleh karena itu pemberian kalium harus terus diberikan secara
intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena
diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus diulangi
setiap 2 jam jika perlu (ADA, 2004).

Tatalaksana ulkus diabetik


Penatalaksanaan ulkus diabetik adalah sebagai berikut (Sudoyo et al., 2009).
1

Strategi Pencegahan
a Kaki diabetes, materi penyuluhan dan instruksi. Periksalah kaki setiap
hari terutama telapak kaki, jari kaki, dan sela jari kaki. Perhatikan
apakah terdapat kalus (pengerasan), bula (gelembung), luka ataupun
lecet. Pemeriksaan dilakukan di tempat yang terang dan untuk
memudahkan pemantauan gunakan cermin. Perhatikan apakah luka
atau tidak, kulit kemerahan atau penebalan kulit. Bersihkan kaki
dengan sabun dan air hangat (jangan air panas), keringkan dengan

handuk halus, terutama di celah jari kaki. Hindari penggunaan air


b

panas atau bantal pemanas.


Pakailah krim khusus untuk kulit kering, tapi jangan dipakai di celah
jari kaki. Jangan memakai powder karena dapat menjadi lebih kering

dan merupakan bahan iritan kulit.


Perawatan kuku dilakukan setiap hari bersamaan dengan perawatan
kulit kaki. Saat pemotongan kuku, jika kuku terlalu keras dan kotor,
rendam dalam air sabun hangat selama 5 menit agar kotoran mudah

lepas dan kuku menjadi agak lunak.


d Jangan berjalan tanpa alas kaki.
e Sepatu yang dipakai harus sesuai dengan bentuk dan besarnya kaki.
Hal ini dapat dilihat dari gambaran telapak kaki yang dibuat pada
kertas yang dapat dibuat sendiri. Permukaan atas sepatu harus lunak,
bagian tumit sepatu harus kokoh agar kaki stabil, bagian alas sepatu
yang bersentuhan dengan kaki (insole) permukaannya harus sesuai
dengan bentuk permukaan telapak kaki yang normal, yaitu memiliki
kelengkungan (arch support).
Dengan kelengkungan ini seluruh permukaan telapak kaki akan
tertahan dengan baik dan benar. Alas sepatu ini harus dilapisi dengan
bahan yang halus dan empuk agar permukaan telapak kaki tidak lecet.
Apabila sepatu yang dipakai baru dibeli, sebaiknya pada pemakaian
awal diperiksa adakah daerah kemerahan akibat penekanan yang
berlebihan.
Apabila memakai kaus kaki, sebaiknya memakai kaus kaki dari bahan
katun yang dapat menyerap keringat. Tebal kaus kaki harus sesuai
dengan sepatu yang dipakai, jangan terasa sempit. Gantilah kaos kaki
f
g

setiap hari.
Hindari trauma berulang
Lakukan olah raga kaki diabetes yang baik dan benar. Olah raga harus
dilakukan secara teratur. Tujuan olah raga bagi penderita DM adalah
melancarkan aliran darah kaki sehingga nutrisi terhadap jaringan lebih
lancar, menguatkan otot betis dan telapak kaki sehingga sewaktu
berjalan kaki menjadi lebih stabil, menambah kelenturan sendi
sehingga kaki terhindar dari sendi kaku, memelihara fungsi saraf.

h
2

Periksakan diri secara rutin ke dokter dan periksakan kaki setiap kali

kontrol walaupun ulkus/gangren telah sembuh.


Penanganan Ulkus

Tabel Pengelolaan berdasarkan kriteria Wagner


Derajat 0

Derajat I

Derajat II

Derajat III

Derajat IV
Derajat V

Sepatu yang layak


Edukasi
Perawatan Podiatrik paliatif
Bedah profilaksis
Prevensi
Infeksi : kultur permukaan ulkus dan antibiotic
Perawatan luka
Evaluasi Radiologi
Koreksi Stress
Pembedahan
Terapi antibiotic
Evaluasi dimensi luka
Evaluasi radiologi
Pembedahan
Rawat Rumah Sakit untuk terapi antibiotic intravena
Debribement agresif yang dalam untuk diagnosis osteomielitis
Control metabolic
Bedah plastic menutup sebagaimana diperlukan
Amputasi lokal sesuai lokasi nekrosis dan vaskularitas
Amputasi mayor dikehendaki

i. Prognosis KAD
Prognosis dari ketoasidosis diabetik biasanya buruk, tetapi sebenarnya
kematian

pada

pasien

ini

bukan

disebabkan

oleh

sindom

hiperosmolarnya sendiri tetapi oleh penyakit yang mendasar atau


menyertainya. Angka kematian masih berkisar 30-50%. Di negara
maju dapat dikatakan penyebab utama kematian adalah infeksi, usia
lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara maju angka
kematian dapat ditekan menjadi sekitar 12%. Ketoasidosis diabetik
sebesar 14% dari seluruh rumah sakit penerimaan pasien dengan
diabetes dan 16% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan
diabetes. Angka kematian keseluruhan adalah 2% atau kurang saat ini.
Pada anak-anak muda dari 10 tahun, ketoasidosis diabetikum

menyebabkan 70% kematian terkait diabetes (Kavanagh, Sean, &


Gurvinder, 2011).
Prognosis penderita ulkus diabetik sangat tergantung dari usia karena
semakin tua usia penderita diabetes melitus, semakin mudah untuk
mendapatkan masalah yang serius pada kaki dan tungkainya, lamanya
menderita diabetes melitus, adanya infeksi yang berat, derajat kualitas
sirkulasi, dan keterampilan dari tenaga medis atau paramedis
(Purwadianto & Budi, 2013).
8. Menjelaskan diagnosis banding dari Ketoasidosis diabetikum
a. Definisi HHS
HHS adalah satu dari dua perubahan metabolic serius yang terjadi
pada pasien DM yang dapat mengancam kehidupan.
b. Etiologi HHS
1) Dehidrasi.
2) Pneumonia.
3) UTI.
4) Penyakit akut: stroke, perdarahan intrakranial, miokard infark,
emboli

pulmo,

stress

meningkatkan

hormon

(kortisol,

katekolamin, glukagon) meningkatkan level glukosa.


5) Disfungsi ginjal.
6) Gagal jantung kongestif.
7) Obat yang meningkatkan level glukosa, menghambat insulin atau
menyebabkan dehidrasi : diuretik, B-bloker, antipsikotik tipikal,
alkohol, kokain, dextrose.
8) Elder abuse.
9) Non compliance terapi oral insulin.
c. Faktor Resiko HHS
1) Penyakit cardiovascular
2) Infeksi
3) Infark Miokard
4) Penyalahgunaan alkohol
5) Pankreatitis
6) DM tipe 1 onset baru
7) DM tipe 1 + masalah psikologis
8) DM tipe 2 usia lanjut yang kurang cairan
9) Insulin dosis inadekuat
10) Obat : Kortikosteroid, thiazid, simpatometik
terbutalin)
d. Tanda dan gejala HHS
1) Onset mulai beberapa hari
2) Hiperosmolaritas : 320 mOsm/kg atau lebih
3) Hiperglikemia : Glukosa serum 600mg/dl atau lebih

(dobutamin,

4) Dehidrasi
5) Ph > 7,3
6) Konsentrasi bikarbonat > 15 mEq/L
7) Tanpa ketoasidosis bermakna
8) Pada pasien DM tipe 1
e. Penegakan diagnosis HHS
Anamnesis
a
b
c
d

Gejala
Onset beberapa hari-minggu
Riwayat penyakit : DM
Riwayat pengobatan

a
b
c
d

Kesadaran umum
Vital sign : Takikardi, takipnea, hipotensi
Turgor kurang, bibir dan kulit kering
Kepala, mata, THT : Neuropati cranial, hilang lapang pandang, nistagmus,

e
f

sunken eyes, mulut kering.


Syok hipovolemik
GCS : Apatis-koma

A
a
b
c

Laboratorium :
Analisis gas darah : Ph > 7,3
Urinalisis : Keton urin sedikit, glukosuria, UTI
Kultur darah, urin, pus, usap tenggorok

PF

PP

B EKG.
C Foto thoraks, skrining pneumonia.
D Foto abdomen, indikasi nyeri perut dan muntah.
CT Scan kepala, indikasi gangguan neurologist.

DAFTAR PUSTAKA
Tellechea, A., Leal, E., Veves, A., Carvalho, E. 2010. Inflammatory and
Angiogenic

abnormalities

in

Diabetic

Wound

Healing:

Role

of

Neuropeptides and Therapeutic Perspectives. The Open Circulation and


Vascular Journal, 3: 43-55.
Saad, A.Z.M., Khoo,T.L., Halim, A.S. 2013. Wound Bed Preparation for Chronic
Diabetic Foot Ulcers (review article). ISRN Endocrinology Volume 2013,
Article ID 608313, 9 pages.
Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik.
Jakarta: Interna Publishing
PERKENI. Konsensus Pengelolaan DM Tipe 2 Di Indonesia. Jakarta: PB
PERKENI; 2011
Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC,
Jakarta
Thygerson, Alton. 2006. First aid 5th edition. Alih bahasa dr. Huriawati Hartantnto.
Ed. Rina Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.
Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. 2000. Primary trauma care standard
edition. Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95-39411-0-8.
Gilbert, Gregory., DSouza, Peter., Pletz, Barbara. 2009. Patient assessment
routine medical care primary and secondary survey. San Mateo County
EMS Agency.
Fulde, Gordian. (2009). Emergency medicine 5th edition. Australia : Elsevier.
Permenkes. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer Nomor 5. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia.
Wira Gotera, Dewa Gede Agung. 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosis
Diabetik (KAD). Jurnal Penyakit Dalam, Vol. II.
Kavanagh, Sean dan Gurvinder Rull, 2011. Diabetic ketoacidosis. Diabet Med. 2
(1), 216-221.
Purwadianto, Agus dan Budi Sampurna. 2013. Kedaruratan medik disertai contoh
kasus klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.

Sudoyo, Aru W., Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata, dan siti
Setiati. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi V jilid III. Jakarta:
Interna Publishing.
Dorland, W.A. Newman. 2012. Kamus Kedokteran Dorland; Edisi 28.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Chang, E., Daly, J., dan Elliott, D., 2010, Patofisiologi Aplikasi Pada Praktik
Keperawatan, Jakarta, EGC.
Simon A, Khurana K, Wilkesmann A, et al. Nosocomial respiratory syncytial
virus infection: impact of prospective surveillance and targeted infection
control. Int J Hyg Environ Health. 2006;209:31724.
Arifputera A., C. Tanto, T. Anindhita. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius.
Fatimah, R.N. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. J Majority Vol. 4(5): 93-101.
Yeni, Y., S. N. Djannah, Solikhah. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Hipertensi pada Wanita Usia Subur di Puskesmas Umbulhardjo I
Yogyakarta Tahun 2009. Kes Mas. Vol.4(2): 92-103
Zahtamal, F. Chandra, Suyanto, T. Restuastuti. 2007. Faktor-Faktor Risiko Pasien
Diabetes Melitus. Berita Kedokteran Masyarakat Vol 23(3): 142-147.
Hakim, B. 2010. Analisis Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe @ di Puskesmas
Tanrutedong, Sidenreg Rappan. Jurnal Ilmiah Nasional.
Sigarlaki, H.J.O. 2006. Karatkteristik da Faktor Berhubungan dengan Hipertensi
di Desa Bocor, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah,
Tahun 2006. Makara Kesehatan Vol. 10(2): 78-88.
Sulistyani, D. N., Purhadi. 2013. Analisis terhadap Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Laju Perbaikan kondisi Klinis Pasien Penderita Stroke dengan
Regresi Cox Weibull. Jurnal Sains dan Seni Pomits Vol. 2 (1): 72-77.

Anda mungkin juga menyukai