PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pasang surut laut (pasut) merupakan suatu fenomena pergerakan naik
turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya
gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari,
bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya
lebih jauh atau ukurannya lebih kecil(Dronkers dan Schnfeld, 1959). Fenomena
tersebut dapat diketahui dengan melakukan pengamatan pasut.
Tujuan dari pengamatan pasut adalah untuk mencatat atau merekam gerakan
vertikal dari permukaan air laut yang terjadi secara periodik, yang disebabkan oleh
gaya tarik-menarik antara bumi dan benda-benda langit khusunya matahari dan
bulan. Emery dan Thompson (1997) menyebutkan bahwa untuk mendapatkan
informasi pasang surut yang baik diperlukan adanya sejumlah persyaratan dasar yang
harus dipertimbangkan ketika merencanakan pengumpulan catatan data pasut
dilapangan, termasuk pertimbangan dasar seperti interval pencuplikan, lama
pengamatan dan lokasi pengamatan.
Informasi pasang surut mengenai karakteristik dan sifat pasang surut dapat
diperoleh setelah melakukan analisis harmonik pasut. Analisis harmonik pasut
dilakukan terhadap data pasut dengan periode waktu tertentu. Proses analisis
harmonik pasut menghasilkan gelombang harmonik yang biasa dinyatakan sebagai
konstanta harmonik pasut.
Pada umumnya analisis harmonik pasut menggunakan data pasut dengan
interval pencuplikan selama 1 jam untuk menentukan konstanta harmonik pasut
karena interval pencuplikan selama 1 jam sudah cukup menggambarkan grafik pasut,
namun tidak menutup kemungkinan dilakukan pencuplikan data pasut dengan
interval pencuplikan lebih dari 1 jam, misal 2 jam, 3 jam, 4 jam, dan seterusnya
Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar I.1
Gambar I.1 Bentuk grafik pasut dengan variasi interval pencuplikan data
Gambar I.1 menunjukkan ilustrasi bentuk grafik sinusoidal dengan interval
pencuplikan data 1 jam, 2 jam, 4 jam, 5 jam, dan 6 jam secara visual, interval
pencuplikan lebih dari 1 jam sebagian ada yang masih menggambarkan bentuk grafik
sinusoidal dan sebagian ada yang tidak sepenuhnya bisa menggambarkan bentuk
grafik sinusoidal. Disisi lain, berdasarkan teori pemrosesan sinyal, sinyal analog
yang dicuplik secara diskrit dengan periode atau frekuensi cuplik agar tidak terjadi
kesalahan (yang kemudian diberi nama aliasing), Nyquist memberikan aturan bahwa
frekuensi cuplik minimal harus 2 (dua) kali lipat frekuensi maksimum yang
dikandung sinyal yang bersangkutan (Emery dan Thompson, 1997).
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa informasi pasang surut laut
bergantung pada interval pencuplikan datanya. Penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui bagaimana interval pencuplikan data pasut berpengaruh terhadap nilai
konstanta harmonik pasut di stasiun pasut Sadeng, Yogyakarta.
Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali
lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut
karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi
menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge)
pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh
deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari.
m1
: massa benda ( 1 )
m2
: massa benda ( 2 )
Pasut tidak hanya dipengaruhi gaya tarik menarik antara bumi dan benda-benda
angkasa sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan I.1, namun juga dipengaruhi oleh
gaya sentrifugal yang akan timbul akibat rotasi bumi. Gaya pembangkit pasut
sebagai akibat adanya gaya tarik menarik dan gaya sentrifugal dapat dilihat pada
Gambar I. 2.
Bulan
Gaya Gravitasi
Bumi
Gaya Sentrifugal
= gayasentrifugal
= rotasi bumi
A,B
Gaya pembangkit pasut pada Gambar I.2 terjadi pada kondisi bumi ideal yaitu
kondisi bumi diasumsikan sebagai berikut:
1. Bumi berbentuk bola,
2. Permukaan bumi digenangi air yang homogen dengan kedalaman yang sama
(tanpa variasi topografi),
3. Bumi mengitari benda angkasa dengan kecepatan tetap dan orbit berbentuk
lingkaran, dan
4. Bidang orbit terletak pada bidang ekuator atau bidang orbit sebidang dengan
bidang ekuator bumi.
(I.2)
Keterangan:
: tinggi muka air pada waktu t, n = 1, 2, ...
: tinggi muka air rata-rata dari suatu datum
: amplitudo komponen ke- q
: fase gelombang komponen pasut ke-q pada t = 0
: frekuensi komponen ke q
M
: konstanta lingkaran
Nilai
amplitudo dan beda fase akibat gaya tarik benda angkasa terhadap
Keterangan
Simbol
Kec. Sudut
(/jam)
M2
28,9841
S2
30,0000
bulan
N2
28,4397
K2
30,0821
K1
15,0411
O1
13,9430
P1
14,9589
Dipengaruhi
oleh
akibat
lintasan
berbentuk ellips
ellips
Diurnal
Dipengaruhi
oleh
deklinasi
Bulan
dan
deklinasi matahari
10
yang
digunakan dalam analisis harmonik adalah teori Laplace yang menyatakan bahwa
gelombang komponen pasut setimbang selama penjalarannya akan mendapatkan
respon dari laut yang dilewatinya. Sehingga, amplitudo akan mengalami perubahan
dan fasenya akan mengalami keterlambatan, namun kecepatan sudut akan relatif
tetap (Emery dan Thompson, 1997).
Variasi tinggi muka laut di suatu tempat dinyatakan sebagai superposisi dari berbagai
gelombang komponen harmonik pasang surut.Dengan demikian tinggi muka air pada
saat t dapat dinyatakan pada persamaan I.2 (Emery dan Thompson, 1997).
I.7.5.1Analisis harmonik pasut dengan metode kuadrat terkecil
Secara prinsip analisis pasut bertujuan untuk menghitung konstituen harmonik
pasut yang meliputi beda fase komponen pasut dan amplitudo agar dapat digunakan
untuk prediksi pasut. Metode perhitungan yang digunakan adalah dengan metode
kuadrat terkecil. Persamaan I.2
]
(I.3)
Dengan
dan
(I.4)
(I.5)
sehingga didapatkan hasil pada persamaan I.6 :
Dalam persamaan I.6 terdapat dua variabel yang tidak diketahui yaitu,
(I.6)
dan
dalam hal ini dua variabel tersebut disajikan pada persamaan I.7 dan I.8:
(I.7)
11
(I.8)
Tujuan analisis dengan metode kuadrat terkecil dilakukan dengan meminimalkan
jumlah kuadrat residu pengamatan yang disajikan pada persamaan I.9 :
(I.9)
dengan
V
: Residu Pengamatan
adalah data pengamatan pasut dan x(n) adalah model matematis. Persamaan
]}
(I.10)
dengan
Keterangan:
: q/N t sehingga
: n t, waktu ke n
T
: N t
(I.11)
Kondisi yang diperlukan agar jumlah kuadrat residunya minimum adalah turunan
parsial terhadap parameter
dan
harus sama
dengan nol yang disajikan pada persamaan I.12 dan persamaaan I.13
*
)+ [
)]
12
*(
+)
)+
(I.12)
*(
)+ [
+)
)]
)+
(I.13)
N.
Persamaan I.12 dan I.13 dapat disederhanakan penulisannya dalam bentuk matriks
seperti pada persamaan I.14(Emery dan Thompson, 1997).
Dz y = 0
Dz = y
z = D-1y
(I.14)
Dengan matriks D adalah matriks koefisien dengan 2M+1 baris dan 2M+1 kolom,
matriks y mempunyai 2M+1 baris dan satu kolom serta matriks z memiliki 2M+1
baris dan satu kolom yang disajikan pada persamaan I.15:
2M+1D2M+1
(I.15)
dengan koefisien dalam matriks D disajikan pada persamaan I.16 sampai persamaan
I.20 sebagai berikut (Emery dan Thompson, 1997) :
(I.16)
(I.17)
13
dengan
)+
(I.19)
)+
(I.20)
N, sehingga
)+
menjadi
(I.18)
dapat dinyatakan seperti pada persamaan I.21 sampai dengan persamaan I.25.
(I.21)
(I.22)
dimana
(I.24)
(I.25)
(I.23)
2M+1z1
(I.26)
2M+1y1
(I.27)
14
dengan koefisien dalam matriks y yang disajikan pada persamaan I.28 dan
persamaanI.29 (Emery dan Thompson, 1997) :
(I.28)
(I.29)
. Parameter terkoreksi
dan
) dan beda fase
dengan persamaan I.7 dan persamaan I.8, untuk menghitung varian kovarian
amplitudo (
(I.30)
Keterangan:
G
: Matrik Jacobian
GT
: Transpose matrik G
: Matrik varian kovarian
: Matrik D
2MG2M+1
(I.31)
15
(I.32)
Dengan kata lain periode sinodik adalah panjang data pengamatan minimal yang
harus digunakan untuk mendapatkan nilai amplitudo dan beda fase dari komponen A
dan B.
I.7.7Konsep Aliasing
Interval pencuplikan data yang jauh lebih besar dibandingkan interval waktu
pencuplikan (dt) data pasut pada umumnya yaitu setiap 1 jam. Dengan pengamatan
dt =1 jam akan mencerminkan karakter fenomena pasut, sedangkan jika dt > 1 jam
maka semakin tidak menggambarkan fenomena pasut sebenarnya. Hal ini dikatakan
sebagai fenomena aliasing frekuensi komponen pasut, yaitu berubahnya frekuensi
asli komponen pasut menjadi frekuensi palsu (alias) yaitu nol, setengah tahunan,
maupun tahunan.
16
terjadinya
aliasing suatu frekuensi menjadi frekuensi alias atau palsu. Ilustrasinya, untuk
suatu data diskrit dengan interval waktu yang sama maka hanya komponen frekuensi
yang ada dalam kisaran frekuensi utama (Nyquist) yang dapat ditentukan. Kisaran
frekuensi utama tersebut disajikan pada persamaaan I.34 sebagai berikut (Emery dan
Thompson, 1997) :
-N -0 , 0 N ,
n 0
(I.34)
(I.35)
dengan,
N = frekuensi Nyquist ( frekuensi utama)
0 = 0
Frekuensi yang dapat dianalisis adalah frekuensi komponen pasut yang berada
dalam kisaran frekuensi nol sampai frekuensi utama. Jika frekuensi komponen pasut
berada diluar kisaran tersebut maka tidak dapat dianalisis. Pencuplikan data dengan
dt yang semakin besar akan mempersempit kisaran frekuensi utama dan frekuensi
komponen yang dianalisi akan semakin menjauh dari kisaran frekuensi utama. Agar
dapat dianalisis, maka frekuensi komponen yang berada diluar frekuensi utama harus
ditentukan frekuensi aliasnya yang berada dalam kisaran frekuensi utama dengan
cara folding (pelipatan) balik ( kekiri).
Frekuensi suatu komponen yang berada diluar kisaran frekuensi utamanya
dapat ditentukan frekuensi aliasnya. Bila suatu frekuensi komponen p , akibat dt
yang besar, tidak berada dalam kisaran 0 dan N, melainkan terletak pada kisaran kN
dan (k-1) N , maka nilai p pada kisaran (k-1) N dan (k-2) N diperoleh dengan
menggunakan persamaan I.36 berikut (Emery dan Thompson, 1997):
p(k-1) = N(k-1) (p(k) - N(k-1) )
dengan
k= bilangan lipatan
p = komponen pasut p
(I.36)
17
Frekuensi aliasing dihitung dengan metode folding menggunakan langkahlangkah sebagai berikut (Yanagi, et al., 1997) dalam (Nurmaulina, 2008) :
1. Menghitung frekuensi Nyquist (frekuensi terkecil yang bisa diamati oleh data
pengamatan dengan interval waktu pengamatan yang ada)
2. n = round ( x ), = frekuensi asli komponen pasut
3. a = 2 mN , m = 0,1,2, ... , n
I.7.8 Pengamatan Pasut
Pengamatan pasut bertujuan untuk mencatat atau merekam gerakan naik
turunnya permukaan air laut yang terjadi secara periodik, yang disebabkan oleh gaya
tarik-menarik antara bumi dengan benda-benda angkasa terutama bulan dan
matahari. Untuk mendapatkan informasi tersebut diperlukan suatu stasiun
pengamatan pasut yang perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Lokasi yang mudah dijangkau dan struktur bangunannya kokoh.
2. Ditempatkan di lokasi yang mudah diamati dalam berbagai cuaca.
3. Lokasi stasiun pasut hendaknya sedekat mungkin dengan benchmark
atau titik referensi yang ada.
4. Lokasi stasiun pasut hendaknya ditempatkan di lokasi yang mewakili
keadaan karakteristik daerah tersebut.
5. Kondisi air laut sebaiknya bersih untuk memudahkan pengamatan.
Peralatan yang digunakan dalam pengamatan pasut untuk penelitian ini
adalah alat pengamat pasut jenis tekanan (pressuretype tide gauge). Tipe ini
menggunakan tekanan air di atas suatu unit yang berubah-ubah akibat besar kecilnya
lapisan air di atas unit sensor tersebut sesuai gerakan turun naiknya permukaan laut.
Perubahan tekanan ini diteruskan ke unit recorder melalui selang udara yang
biasanya terbuat dari karet atau plastik (Gambar I.6).
18
19
Data asli
Data prediksi
(I.37)
Keterangan :
: standard deviasi
Xi
: nilai data ke i
: jumlah data
kemudian menghitung batas kanan dan batas kiri untuk data pasut tersebut, yaitu
dengan persamaan (I.38) dan persamaan (I.39) :
Batas Kanan = + 2
(I.38)
= -2
(I.39)
Batas Kiri
20
Data pasut yang diterima nilainya adalah data yang masuk diantara batas kanan dan
batas kiri, data yang memiliki nilai diluar batas kanan dan kiri dianggap sebagai
anomali dan nilainya diubah menjadi data kosong.
I.7.10Data spike
Data spike merupakan kesalahan sistematik yang disebabkan oleh kesalahan
pencatatan oleh alat perekaman data pasut, oleh sebab itu data spike harus
dihilangkan.Koreksi spike dilakukan pada data pasut yang memiliki nilai ekstrim.
Nilai ekstrim tersebut ditunjukkan dari adanya titik yang melonjak naik atau turun
dalam sebuah grafik.
Data spike dapat dihilangkan dengan cara sebagai berikut :
1.
2.
Menghitung selisih antara data ke-i dari data pengamatan pasut dengan data
ke-i dari data prediksi. Nilai selisih ini sebagai nilai x
3.
4.
Menentukan batas kanan dan batas kiri untuk data yang akan dikontrol
kualitasnya menggunakan persamaan (I.38) dan (I.39).
5.
Melakukan pengecekan data pasut, apabila nilai x terletak antara batas kanan
dan batas kiri maka data tersebut memiliki kualitas baik dan dapat digunakan
untuk proses analisis harmonik. Apabila nilai x terletak diluar batas kanan
dan batas kiri maka data tersebut dihapus nilainya dan dianggap sebagai data
kosong.
21
sebagai alternatif yang lebih baik adalah interpolasi metode cubic spline karena
metode ini menggunakan polinomial sepotong-sepotong yang menghasilkan
pencocokan data yang lebih baik (Matlab helpdesk, 2008).
Interpolasi cubic spline menggunakan polinom orde 3 untuk setiap selangnya.
Secara umum polinom orde 3 dinyatakan dalam persamaan I.40(Istarno, 2014) :
fi(x) = aix3 + bix2 + cix + di
(I.40)
Dengan :
ai, bi, ci, di
: koefisien
: titik ke-x
Untuk n+1 titik data ( i=0,1,2... n), terdapat n selang dan akibatnya terdapat 4n
koefisien. Untuk memecahkan koefisien tersebut diperlukan 4n persamaan kondisi,
yaitu (Istarno, 2014):
1. Nilai-nilai fungsi sama pada simpul dalam (2n-2 kondisi)
2. Fungsi-fungsi pertama dan terakhir harus melalui titik-titik ujung (2 kondisi),
3. Turunan-turunan pertama pada simpul dalam harus sama (n-1 kondisi).
4. Turunan-turunan kedua dari simpul dalam harus sama (n-1 kondisi).
5. Turunan-turunan kedua dari titik-titik ujung adalah nol (2 kondisi).
Syarat no 5 menyebabkan pada simpul ujung fungsi akan berupa garis lurus.
Permasalahan yang dihadapi untuk memecahkan persamaan kondisi diatas adalah
dimensi matrik yang cukup besar. Sebab untuk n+1 titik jumlah koefisien yang dicari
adalah 4n. Untuk mengatasi permasalah tersebut maka dilakukan penurunan cubic
spline dan dengan menerapkan syarat syarat tersebut,maka diperoleh persamaan I.41
untuk setiap selang(Istarno, 2014) :
*
*
(I.41)
Persamaan I.41 mengandung 2 koefisien, yaitu turunan kedua pada ujung tiap selang.
Koefisien-koefisien tersebut dapat dihitung dengan menggunakan persamaan I.42
berikut:
(I.42)
22
Jika persamaan I.42 ini dituliskan untuk semua simpul dalam, maka dihasilkan (n-1)
persamaan dengan n-1 koefisien (Istarno, 2014).
I.7.11Uji signifikansi antar dua buah sampel
Penelitian ini membandingkan antar dua macam data sampel yaitu nilai
amplitudo data dengan interval pengamatan 1 jam dengan nilai amplitudo data
dengan interval pengamatan lainnya serta membandingkan nilai beda fasedata
dengan interval pengamatan 1 jam dengan nilai beda fase data dengan interval
pengamatan lainnya. Untuk mengetahui hubungan dan signifikansi perbedaan antar
data sampel tersebut perlu dilakukan uji statistik komparatif menggunakan tabel
distribusi t. Dengan rumus separated varians pengujian hipotesis komparatif dua
sampel yang disajikan dalam persamaan I.37 sebagai berikut (Sugiyono, 2007) dalam
(Banna, 2013):
(I.37)
Dengan :
: nilai hasil hitungan uji t
: varian sampel pertama
: varian sampel kedua
(Ho) diterima apabila nilai hasil hitungan uji t lebih kecil dari nilai t tabel ( t hitungan<
ttabel ). Apabila nilai hasil hitungan uji t lebih besar dari nilai t tabel ( thitungan> ttabel ),
maka Ho ditolak dan hipotesis tandingan (Ha) yang diterima.
23
I.8 Hipotesis
Data dengan interval pencuplikan yang lebih kecil akan memiliki nilai
amplitudo dan fase yang lebih akurat dibandingkan amplitudo dan fase data dengan
interval pencuplikan yang lebih besar.