Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Eucheuma Spinosum Sebagai


Anti Bakteri

Kelompok 3
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Usman
Supriyadi
Musrifah Tahar
Diana Sanda Salu
Fauziah Nur Usfa
Rismauli Simanjuntak

H311 12 007
H311 13 013
H311 13 035
H311 13 311
H311 13 326
H311 13 504

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
KATA PENGANTAR

Tiada untaian kata yang lebih indah selain ucapan syukur ke hadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan karunia, taufik, hidayah, serta inayah-Nya,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tidak lupa pula senantiasa kita
panjatkan salawat serta salam kepada junjungan dan panutan kita Muhammad
SAW. Dalam

penyusunan

makalah

ini,

disadari

bahwa

dalam

tahap

penyusunannya, tidak terlepas dari berbagai kendala yang menghambat


penyusunan. Namun berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak, sehingga
kendala dan halangan tersebut dapat teratasi.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada dosen mata kuliah, temanteman, serta pihak pihak lainnya yang telah membantu dalam menyelesaikan
makalah ini yang tidak sempat disebutkan.
Dalam penulisan ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu, kritik dan
saran yang sifatnya membangun sangat saya harapkan. Walau demikian, saya
tetap berharap makalah ini dapat memberikan manfaat.
Amin.

Makassar, 16 Maret 2016

PENYUSUN

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDULi
KATA PENGANTAR.ii
DAFTAR ISI...iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........1
1.2 Rumusan Masalah...........2
1.3 Tujuan.....................2
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Rumput Laut........................... ...3
2.2 Rumput laut (Eucheuma spinosum)............................................................6
2.3 Rumput laut (Eucheuma spinosum) Sebagai Anti Bakteri.............8
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan...13
3.2 Saran.....13
DAFTAR PUSTAKA.....iv

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai 81.000
km serta terdiri dari 70% perairan dan 30% daratan merupakan kawasan pesisir
lautan yang memiliki berbagai sumber daya hayati yang sangat besar
dan beragam. Berbagai sumber daya hayati tersebut merupakan potensi
pembangunan yang sangat penting sebagai sumber-sumber pertumbuhan
ekonomi baru.Indonesia merupakan pemasok utama rumput laut dunia yaitu
sekitar 60-70 % kebutuhan pasar dunia (Fatmawati, dkk., 2013).
Indonesia mempunyai potensi yang baik untuk mengembangkan dan
memanfaatkan kekayaan lautnya, termasuk rumput laut (Sulistyowati, 2003).
Rumput laut memiliki kandungan metabolit primer dan sekunder. Kandungan
metabolit primer seperti vitamin, mineral, serat, alginat, karaginan dan agar
banyak dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik untuk pemeliharaan kulit. Selain
kandungan primernya yang bernilai ekonomis, kandungan metabolit sekunder
dari rumput laut berpotensi sebagai produser metabolit bioaktif yang beragam
dengan aktivitas yang sangat luas sebagai antibakteri, antivirus, antijamur dan
sitotastik (Zainuddin dan Malina, 2009)
Rumput laut sudah banyak dibudidayakan dengan tujuan untuk memenuhi
permintaan pasar yang terus meningkat. Eucheuma spinosum merupakan salah
satu jenis algae merah menghasilkan karagenan yang banyak dimanfaatkan
dalam bidang

industri kimia. Di Indonesia budidaya rumput laut umumnya

menggunakan genus Eucheuma dan biasanya metode budidaya yang digunakan


adalah metode dasar dan lepas dasar atau metode terapung (Aslan, 2005). Usaha

budidaya dilakukan secara intensif akan memberikan hasil yang baik, yaitu
meningkatnya produksi dan ekspor rumput laut.
Pencegahan terhadap serangan infeksi

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan antibiotik. Seiring dengan meningkatnya resistensi bakteri di dunia


kesehatan, maka perlu adanya penemuan obat baru. Sumber antibakteri baru dapat
diperoleh

dari

senyawa

bioaktif

yang terkandung dalam suatu tumbuhan,

salah satunya dari rumput laut. Senyawa bioaktif diperoleh dengan cara ekstraksi.
Ekstraksi merupakan proses pemisahan dengan pelarut yang melibatkan
perpindahan zat terlarut ke dalam pelarut. Maka disusunlah makalah ini untuk
mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak kasar rumput laut terhadap bakteri uji
M. Tuberculosis

serta mengidentifikasi golongan senyawa yang terkandung

dalam ekstrak rumput laut.


B. Rumusan Masalah
1. Apakah Eucheuma spinosum mampu bersifat sebagai anti bakteri?
2. Senyawa metabolit sekunder apa yang terkandung dalam Eucheuma spinosum
dan bagaimana cara mengidentifikasinya?
3. Apakah senyawa Triterpenoid Asam

karboksilat

dapat

menghambat

pertumbuhan M. Tuberculosis?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sifat Eucheuma Spinosum sebagai anti mikroba.
2. Untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam
Eucheuma spinosum dan cara mengidentifikasinya.
3. Untuk mengetahui kereaktifat senyawa Triterpenoid Asam karboksilat
terhadap M. Tuberculosis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rumput Laut
Rumput laut (seaweed) adalah ganggang berukuran besar (macroalgae)
yang merupakan tanaman tingkat rendah dan termasuk kedalam divisi thallophyta.
Dari segi morfologinya, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan

antara akar, batang dan daun, Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai
morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk-bentuk tersebut
sebenarnya hanyalah thallus belaka. Bentuk thallus rumput laut ada bermacammacam, antara lain bulat, seperti tabung, pipih, gepeng, dan bulat seperti kantong
dan rambut dan sebagainya (Alam, 2011).
Thallophyta adalah tanaman yang morfologinya hanya terdiri dari thallus,
tanaman ini tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati. Fungsi ketiga bagian
tersebut digantikan oleh thallus. Tiga kelas utama rumput laut dari thallophyta
adalah Rhodophyceae (ganggang merah), Phaeophyceae (ganggang coklat),
Chlorophyceae (ganggang hijau) yang ketiganya dibedakan oleh kandungan
pigmen dan klorofil. Rhodophyceae yang umumnya berwarna merah, coklat, nila
dan bahkan hijau mempunyai sel pigmen fikoeritrin. Phaeophyceae umumnya
berwarna kuning kecoklatan karena selselnya mengandung klorofil a dan c.
Chlorophyceae umumnya berwarna hijau karena sel-selnya mengandung klorofil a
dan b dengan sedikit karoten (Alam, 2011).
Rumput laut bukanlah suatu hal yang asing. Bagi masyarakat yang
bermukim di daerah pesisir, masyarakat telah mengenal dan memanfaatkan
dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai bahan obat tradisonal maupun bahan
makanan. Adanya kemajuan teknologi dibidang penelitian rumput laut,
mendorong pemanfaatan rumput tidak terbatas pada aspek kesehatan tetapi
memasuki ke segala bidang (Siregar, dkk., 2012).
Rumput laut merupakan multiseluler yang berpotensi sebagai sumber daya
terbarukan dibidang lingkungan maupun komersil. Rumput laut mengandung
senyawa bioaktif farmakologi penting seperti, flavonoid, karatenoid, protein, serat

makanan, asam lemak esensial, vitamin dan mineral. Rumput laut saat ini banyak
digunakan sebagai suplemen makanan diet dalam kehidupan sehari-hari dan
mengatur kesehatan manusia dengan mengendalikan berbagai kondisi patogen. Di
akhir jalur metabolisme jika terdapat jumlah radikal bebas yang berlebih akan
berbahaya bagi manusia dan akan merusak sel (Foon, dkk., 2013).
Rumput laut mempunyai fungsi baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung atau dikenal secara ekologi rumput laut menyediakan
makanan bagi ikan dan invertebrta terutama thallus muda. Sedangkan secara
tidak

langsung

rumput

laut

digunakan

dalam

berbagai

industri

yaitu

pangan,kosmetik,obat- obatan,pupuk, tekstil, kulit dan industri lainnya (Indriani


dan Sumiarsih,1991). Rumput laut hijau, merah ataupun coklat

merupakan

sumber potensial senyawa bioaktif yang sangat bermanfaat bagi pengembangan


(1) industry farmasi seperti sebagai anti bakteri, anti tumor, anti kanker atau
sebagai reversal agent dan (2) industri agrokimia terutama untuk antifeedant,
fungisida dan herbisida (Bachtiar, 2007).
Saat ini, sekitar 50% dari obat

yang

digunakan

dalam

uji

klinis untuk aktivitas anti kanker diisolasi dari sumber alami seperti rumput laut
dan rempah-rempah. Sejumlah senyawa aktif seperti flavonoid, terpenoid, dan
alkaloid telah terbukti memiliki aktifitas anti kanker. Menurut laporan dari
National Cancer Institute (NCI), kriteria aktivitas anti kanker untuk ekstrak kasar
tumbuhan adalah IC50<30 g/ml (Sujatha, dkk., 2015).
Menurut Kordi

(2010)

bahwa rumput laut banyak dimanfaatkan

oleh masyarakat pesisir sebagai obat luar, salah satunya sebagai bahan
antiseptik alami. Hasil penelitian menunjukkan potensi rumput laut sebagai
antibakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit infeksi. Salah satu

penyakit infeksi yang sering terjadi adalah infeksi

pada kulit. Bakteri

Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa merupakan kuman


patogen yang sering menyebabkan infeksi

kulit pada manusia, sedangkan

Micrococcus luteus merupakan bakteri yang sering ditemukan menginfeksi kulit


ikan (Refdanita, dkk., 2004).
Rumput
manfaatkan dan

laut

merah

merupakan

jenis

yang

paling

banyak

di

bernilai ekonomis. Tumbuh di dasar perairan laut sebagai

fitobentos dengan menancapkan atau meletakkan pada substrat lumpur, pasir,


karang hidup dan mati. Jenis rumput laut merah yang banyak dimanfaatkan
seperti Eucheuma sp., Gelidium sp., Gracilaria sp., dan Hypnea sp. Di Indonesia
sudah banyak produksi bahan baku rumput laut karena kandungan yang
dimilikinya yaitu agar-agar, karaginan, porpiran, maupun pigmen fikobilin. Ciri
khas rumput laut merah yaitu mengandung pigmen fikobilin yang terdiri dari
fikoeritrin dan fikosianin. Alga merah (Rhodophyceae) merupakan salah satu
organisme laut yang dapat menyediakan sumber bahan alam dalam jumlah yang
melimpah dan mudah untuk dibudidayakan. Berbagai bahan aktif dari alga telah
ditemukan penggunaannya seperti antibakteri, antivirus, antijamur, sitotoksik,
antialga dan lainnya (Fattah, dkk.,).
B. Rumput laut (Eucheuma spinosum)
Rumput laut dianggap sebagai sumber biomassa generasi ketiga untuk
produksi bioetanol. Rumput laut memiliki produktivitas yang tinggi per satuan
luas per tahun, dan tidak ada persaingan dengan tanaman pangan. Saat ini,
Eucheuma spinosum dibudidayakan komersial di Filipina, Cina, Indonesia,
Malaysia (Sabah), Tanzania, dan Kiribati. Polisakarida di spesies Eucheuma

sebagian besar dalam bentuk karagenan, sebagai komponen dinding sel.


Karagenan adalah utama polisakarida hadir dalam banyak makroalga merah
(rumput laut) (Ra, dkk., 2015).
Eucheuma adalah alga merah yang biasa ditemukan di bawah air surut
rata-rata pada pasut bulan-setengah. Alga ini mempunyai thallus yang silindris
berdaging dan kuat dengan bintil-bintil atau duri-duri yang mencuat ke samping
pada beberapa jenis, thallusnya licin. Warna alganya ada yang tidak merah, tetapi
hanya coklat kehijau-hijauan kotor atau abu-abu dengan bercak merah.
Di Indonesia tercatat empat jenis, yakni Eucheuma spinosum, Eucheuma edule,
Eucheuma alvarezii dan Eucheuma serra (Alam, 2011).
Eucheuma spinosum merupakan rumput laut dari kelompok Rhodopyceae
(alga merah) yang mampu menghasilkan karaginan. Eucheuma dikelompokkan
menjadi beberapa spesies yaitu Eucheuma edule, Eucheuma spinosum, Eucheuma
cottoni, Eucheuma cupressoideum dan masih banyak lagi yang lain. Kelompok
Eucheuma yang dibudidayakan di Indonesia masih sebatas pada Eucheuma
cottoni dan Eucheuma spinosum. Eucheuma cottoni dapat menghasilkan
kappa karaginan dan telah banyak diteliti baik proses pengolahan maupun
elastisitasnya. Sedangkan Eucheuma spinosum mampu menghasilkan iota
karaginan (Alam, 2011).
Eucheuma spinosum tumbuh melekat pada rataan terumbu karang, batu
karang, batua, benda keras, dan cangkang kerang. Eucheuma spinosum
memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis sehingga hanya hidup pada
lapisan fotik. Habitat khas dari Eucheuma adalah daerah yang memperoleh aliran
air laut yang tetap, lebih menyukai variasi suhu harian yang kecil dan substrat
batu karang mati (Alam, 2011).

Eucheuma spinosum termasuk dalam kelas Rhodophyceae atau alga merah dengan
klasifikasi sebagai berikut:.
Kingdom : Plantae
Divisi

: Rhodophyta

Kelas

: Rhodophyceae

Ordo

: Gigartinales

Famili

: Solieracea

Genus

: Eucheuma

Species :Eucheuma spinosum

Gambar 1. Rumput laut Eucheuma spinosum


Menurut Prajitno (2006) telah didapatkan fakta bahwa rumput laut
Halimeda opuntia mengandung senyawa polifenolik atau flavonoid yang terdiri
dari quercitrin, epigallocathecin, cathecol, hesperidin, miricetin dan morin.
Epigallocathecin merupakan komponen penting yang digunakan sebagai aktivitas
antioksidan. Penggunaan rumput laut Euceuma spinosum juga merupakan salah
satu alternatif yang dapat dilakukan adalah sebagai bahan antimikroba.

C. Rumput laut (Eucheuma spinosum) Sebagai Anti Bakteri


Terapi penyakit menular dengan meggunakan obat anti mikrtoba memiliki
keterbatasan karena perubahan pola resistensi di patogen dan efek samping yang
dihasilkan. Dengan kekurangan ini, maka perlu meningkatkan propeto farma
kinetik yang memerlukan penelitian lebih jauh untuk pencarian senyawa
antimikroba baru sebagai pengembangan obat. Rumput laut telah banyak
digunakan sebagai obat tradisional yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri
sejak tahun 1971. Sejak itu, banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan
dan mengekstrak senyawa antimikrobadari ganggang laut Eucheuma denticulatum
yang sekarang dikenal dengan nama komersial dan perdagangan yaitu Eucheuma
spinosum (Al-hajj, dkk., 2009).
Tuberkulosis adalah penyakit menular kronis dan salah satu musuh utama
manusia dari dahulu. Hari ini masih tetap sebagai salah satu yang paling serius
dari masalah medis dan sosial. Menurut estimasi oleh Dunia Organisasi Kesehatan
(WHO), sekitar satu sepertiga dari populasi dunia terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis, delapan juta orang mengembangkan penyakit TBC setiap tahunnya,
sementara dua juta orang meninggal dan tiga lain juta kasus baru yang
ditambahkan setiap satu tahun (WHO, 2008).
M. tuberculosis kompleks isolat ditemukan menjadi faktor risiko
potensial untuk MDR-TB. Untuk mengatasi situasi ini, perlu dan penting
untuk mengembangkan tidak hanya pengobatan baru, seperti terapi kombinasi
antara obat klinis dengan produk senyawa alami, tetapi juga obat anti mikobakteri
untuk kontrol klinis berkhasiat terhadap pasien Tuberkolosis (TBC). Di sisi
lain, lingkungan laut mengandung lebih dari 80% tanaman dan species

hewan dengan lebih dari 150.000 rumput laut ditemukan di zona intertidal
dan perairan tropis lautan, sebagai sumber produk alami. Penelitian hasil
produk alam telah memberikan sejumlah obat dan senyawa baru, yang
diisolasi dari alga laut ditemukan menjadi aktif terhadap MDR TB. Mengingat
potensi dan keanekaragaman hayati flora alami di Indonesia terutama
ganggang laut, penting untuk menjelajahinya untuk prototipe obat baru untuk
penyakit TBC (Ahmad dan Massi, 2013).
Menurut (Ahmad dan Massi, 2013),

tahap-tahap Euchema spinosum

sebagai anti bakteri, yaitu:


1. Ekstraksi dan Isolasi
Sebanyak 3,2 kg alga kering dimaserasi dengan MeOH selama 72 jam,
disaring, dan pelarut menguap untuk mendapatkan ekstrak coklat gelap sebesar
312 g. Ekstrak dipartisi dengan kloroform menghasilkan 51 g produk. Ekstrak
kloroform difraksinasi dengan VLC dan menghasilkan fraksi utama. Tes
kemurnian dilakukan dengan analisis KLT.
2. Instrumen
Titik leleh ditentukan dengan menggunakan mikro pengukuran titik leleh.
Penentuan IR spektrum dilakukan dengan spektrometer Shimadzu (Jepang). NMR
spektrum 1H, 13C dan HMBC diperoleh menggunakan Bruker, Jerman DPX-500
spektrometer pada 300 MHz (1H) dan 125 MHz (13C) dengan TMS sebagai standar
eksternal. Pemisahan dan identifikasi senyawa dilakukan dengan VLC oleh Merck
Si gel 60 (230-400 mesh), dan TLC pada aluminium atau kaca piring dilapisi
dengan Si gel 60 F254 dan ketebalan 0,25 mm.
3. Uji Anti Mikroba

Untuk screening bioaktivitas awal,dilakukan tes untuk menilai antimikroba


yang aktif terhadap ekstrak Methanol, fraksi kloroform, dan senyawa 1 dengan
konsentrasi akhir 10 mg / mL, masing-masing, menggunakan strain M.
Tuberculosis H37Rv dan pelarut DMSO sebagai kontrol negatif ditambah INH
sebagai kontrol positif . Untuk menguji aktivitas anti mikobakteri dari senyawa 1,
M. tuberculosis H37Rv ditumbuhkan pada Middlebrook 7H19-OADC (oleat
asam, albumin, dekstrosa, katalase) pada 37 C selama 3 minggu.
Hasil yang di peroleh dari tahap-tahap tersebut bahwa ekstrak metanol dari
bubuk ganggang merah Eucheuma spinosum menghasilkan fraksi kloroform,
fraksi selanjutnya dipisahkan dengan silika gel kromatografi dan mengkristal
untuk mendapatkan senyawa 1. Senyawa 1 yang di peroleh adalah kristal bubuk
putih dengan titik leleh 176-177 C, memberikan indikasi adanya triterpenoid.
Menggunakan spektrum inframerah menunjukkan pita serapan untuk hidroksil
(1097), kelompok alifatik (2962, 2918 dan 2850), C = C (1635), CH2 (1459),
CH3 (1378), C= O (1705, 1072) dan pita serapan kuat di 1026 yang ditandai
sebagai senyawa asam karboksilat (Ahmad dan Massi, 2013).

Gambar 2. Struktur Senyawa Triterpenoid Asam Karboksilat dari


alga merah Eucheuma spinosum

Pada analisis dengan menggunakan NMR

C NMR dan DEPT

13

memperlihatkan spektrum 30 karbon (7 CH 3, 11 CH2, 4 CH, 8 C


termasuk COOH), sehingga rumus molekul Senyawa 1 itu disimpulkan menjadi
C30H46O2. Spektrum 1H NMR memperlihatkan kehadiran tujuh kelompok metil
tersier pada karbon jenuh yang merupakan proton aksial yang melekat pada C-4
mengandung gugus metil, satu olefin proton dan dua karbon olefin yang
menunjukkan bahwa senyawa 1 milik triterpenoid, dan ikatan rangkap C=C
adalah pada C-12 dan C-13 (Ahmad dan Massi, 2013).
Pada uji antimikroba dari semua fraksi, dan senyawa 1 pada konsentrasi 10
g / mL diukur dengan menginkubasi sel mikobakteri pada media. Fraksi MeOH
pada konsentrasi 10 ug / mL mampu menurunkan pertumbuhan sel mikobakteri,
dimana fraksi kloroform dan senyawa 1 di konsentrasi yang sama tidak ada
pertumbuhan koloni M. tuberculosis pada medium. Namun, kontrol negatif
(DMSO) melakukan aktivitas anti-mikobakteri ini senyawa terhadap uji M.
Tuberculosis dilakukan dengan media MGIT. Aktivitas anti-mikobakteri senyawa
1 pada konsentrasi yang berbeda 0, 0,5, 2, dan 4 mg/ mL. Senyawa 1 pada
konsentrasi 0,5 dan 2 mg / mL mampu menurunkan pertumbuhan sel mikobakteri.
Selanjutnya, pada konsentrasi 4 mg/ mL menunjukkan penghambatan yang
signifikan dari pertumbuhan M. tuberculosis (Ahmad dan Massi, 2013).
Selain sebagai anti bakteri Eucheuma spinosum juga bisa sebagai
anti oksidan. Elektron sel manusia biasanya tidak dalam kesetimbangan
akibat serangan radikal bebas yang membawa berbagai penyakit sebagai
akibat dari perubahan dalam rantai elektron dalam tubuh. Mengkonsumsi
tanaman yang mengandung anti oksidan adalah sebagai salah satu solusi

untuk menetralkan radikal bebas tersebut. Rumput laut merah merupakan salah
satu tanaman yang mengandung anti oksidan yang dapat diperoleh dari ekstrak
pelarut organik (Dotulong, dkk., 2013)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Jenis rumput laut merah (Eucheuma spinosum) mempunyai banyak
manfaat salah satunya dapat digunakan sebagai anti bakteri.
2. Eucheuma spinosum mengandung senyawa metabolit sekunder aktif
yang telah di identifikasi dengan menggunakan FTIR, NMR dan
pengujian titik leleh.
3. Senyawa Triterpenoid Asam Karboksilat yang diisolasi dari rumput
laut merah (Eucheuma spinosum) bersifat aktif terhadap M.
Tuberkulosis.

B. Saran
Dengan

adanya

makalah

ini

diharapkan

para

pembaca

dapat

mengetahui lebih banyak lagi tentang alga merah khususnya Eucheuma spinosum
serta manfaat-manfaatnya guna menambah wawasan untuk pembelajaran

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A., dan Massi, M. N., 2013, Inhibitive Enhancement of Isoniasid


Treatment On Mycobacterium Tubercolosis Through Triterpenoid
Carbocylic Acid From Red Algae Euchema Spinosum, International
Journal of Pharma and Bio Sciences, 4 (2): 231-237.
Al-hajj, N., Mashan, N.I., Shamsudin, M.N., Mohamad, H., Virappan, C.S.,
Sekawi, Z., 2009, Antibacterial Activity in Marine Algae Eucheuma
denticulatum Against Staphylococcus aureus and Streptococus Pyogenes,
Research Jurnal Of Biological Sciences, 4 (4): 519-524.
Alam, A.A., 2011, Kualitas Karaginan Rumput Laut Jenis Eucheuma spinosum Di
Perairan Desa Punaga Kabupaten Takalar, Skripsi pada FIKP Universitas
Hasanuddin: Diterbitkan.
Aslan, 2005, Budidaya rumput laut. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Bachtiarp, A. 2007. Penelusuran Sumber Daya Hayati Laut (Alga) Sebagai
Biotarget Industri. [Makalah], Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Padjadjaran, Jatinagor.
Dotulong, V., Widjanarko, S.B., Yunianta, Mamahit, L.P, 2013, Antioxidant
Activity of Three-Marine Algae Methanol Extract Collected from North
Sulawesi Waters, Indonesia, International Journal of Science and
Engineering Investigations, 2 (20): 26-30
Fathmawati, D., Abidin, R.P., Roesyadi, A., 2013, Studi Kinetika Pembentukan
Karaginan Dari Rumput Laut, Jurnal Teknik Pomits, 1, 2301-9271.
Fattah, A., Muslimin, L., Omar, S.B.A., Efektifitas Alga Merah Eucheuma
spinosum Sebagai Anti Bakteri Patogen Pada Organisme Budidaya
Pesisir dan Manusia, Makassar, Sulawesi Selatan.
Foon, T.S., Ai, L.A., Kuppusamy, P., Yusoff, M., Govindan, N., 2013, Studies on
in-vitro antioxidant activity of marine edible seaweeds from the east
coastal region of Peninsular Malaysia using different extraction methods,
Journal of Coastal Life Medicine, 1 (3): 193-198.
Indriani, H dan Sumiarsih, E., 1997, Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran
Rumput Laut.
Kordi, K. 2010. A to Z Budi Daya Biota Akuatik untuk Pangan, Kosmetik
dan Obat-obatan. Penerbit Andi, Yogyakarta: 226 hlm.

Prajitno, A. 2006. Pengendalian Penyakit Vibrio harveyii dengan Ekstrak Rumput


laut (Halimeda opuntia) pada Udang Windu (Penaeus monodon Fab)
PL-13. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang.
Ra, C.H., Jung, J.H., Sunwoo, I.Y., Kang, C.H., Jeong, G.T., Kim, S.K., 2015,
Detoxification of Eucheuma spinosum Hydrolysates with Activated
Carbon for Ethanol
Production by the Salt-Tolerant Yeast Candida
tropicalis, J. Microbiol. Biotechnol, 25 (6): 856862
Refdanita, Maksum, R., Nurgani, A., dan Endang, P. 2004. Faktor yang
Mempengaruhi Ketidaksesuaian Penggunaan Antibiotika dengan Uji
Kepekaan di Ruang Intensif Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun
2001-2002. Makara, Kesehatan, 8 (1): 21-26.
Sujatha, S., Rajasree, S.R., Sowmya, J.D., Donatus, M., 2015, Imminent
Intriguing Acquired Potential Biological Effect Of Marine Sea Weeds,
World Jurnal Of Pharmaceutical Research, 4 (5): 524-541.
Sulistyowati, H. 2003, Struktur Komunitas Seaweed (rumput laut) di Pantai Pasir
Putih Kabupaten Situbondo, Jurnal Ilmu Dasar. 4 (1): 58-61.
World Health Organization (2008). Global Tuberculosis Control: Surveillance,
Planning, Financing. WHO report 2008, WHO/HTM/TB/2008.
Zainuddin, E. N dan Malina, A, C. 2009. Skrining Rumput Laut Asal
Sulawesi Selatan sebagai Antibiotik Melawan Bakteri Patogen pada
Ikan. [Laporan Penelitian] Research Grant, Biaya IMHERE-DIKTI.

Anda mungkin juga menyukai