Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehamilan merupakan masa dimana tubuh sangat membutuhkan asupan makan yang
seimbang dan baik, serta merupakan masa dimana wanita hamil sangat rentan terhadap
penyakit karena kemampuan/daya tahan tubuh yang menurun. Kita biasa melihat wanita
hamil yang wajahnya pucat, mengeluh letih dan pusing, sesak napas, dan keluhan lainnya.
Keluhan-keluhan tersebut pada dasarnya merupakan indikasi bahwa wanita hamil itu sedang
menderita anemia.
Anemia ini dapat kita artikan secara sederhana sebagai kurangnya sel-sel darah
merah di dalam darah daripada biasanya, dan keadaan ini sering terjadi pada masa
kehamilan. Pada ibu hamil, peningkatan volume plasma mengakibatkan terjadinya
hemodilusi sehingga hematokrit menurun sebesar 20-30%. Hal ini menyebabkan kadar
hemoglobin dan hematokrit lebih rendah daripada keadaan tidak hamil (Purnadhibrata,
2010).
WHO melaporkan bahwa prevalensi anemia pada kehamilan di dunia adalah sebesar
55% dengan kecenderungan meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Angka
kejadian anemia pada kehamilan di Indonesia masih tinggi dengan angka berkisar 20-80%
(Novertiti, 2012). Wanita hamil dengan anemia umumnya memiliki insiden komplikasi yang
lebih tinggi, seperti infeksi, dibandingkan dengan wanita hamil dengan nilai hematologi
yang normal. Selain itu, ada risiko yang mempengaruhi keadaan janin selama masa

kehamilan serta risiko kehilangan darah pada saat persalinan yang membutuhkan transfusi
darah.
Sekitar 80% kasus anemia selama masa kehamilan adalah anemia tipe defisiensi besi
(Arias, 1993). Sisanya mencakup kasus anemia herediter dan berbagai anemia yang didapat
seperti anemia defisiensi asam folat, talasemia, dan lain-lain.

1.2 Tujuan
a. Tujuan umum:
Mengetahui bagaimana cara mengatasi dan mencegah kasus wanita hamil dengan
anemia sehingga tidak terjadi komplikasi lebih lanjut yang dapat mempengaruhi ibu dan
janin.
b. Tujuan khusus:
Mengetahui apa itu anemia dalam kehamilan
Mengetahui tanda dan gejala anemia dalam kehamilan
Mengetahui etiologi anemia dalam kehamilan
Mengetahui patofisiologi anemia dalam kehamilan
Mengetahui klasifikasi anemia dalam kehamilan
Mengetahui penatalaksaan anemia dalam kehamilan

1.3 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan mahasiswa mengenai anemia
pada masa kehamilan dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Definisi
2

Anemia adalah keadaan dimana jumlah eritrosit yang beredar berkurang atau
konsentrasi hemoglobin yang menurun. Akibatnya, terjadi penurunan transportasi oksigen
dari paru-paru ke jaringan perifer. Selama kehamilan, anemia lazim terjadi, seperti yang
disebutkan sebelumnya, dimana peningkatan volume plasma pada wanita hamil
mengakibatkan terjadinya hemodilusi sehingga hematokrit menurun sebesar 20-30%. Hal
inilah menyebabkan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih rendah daripada keadaan tidak
hamil (Purnadhibrata, 2010).
Menurut Wiknojosastro (2002), anemia adalah kondisi dengan kadar hemoglobin
dalam darah kurang dari 12 gr%. Sedangkan anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu
dengan kadar hemoglobin di bawah 11 gr% pada trisemester I dan III atau kadar hemoglobin
kurang dari 10,5 gr% pada trisemester II (Saifuddin, 2002).
Pada wanita tidak hamil, anemia diindikasikan bila hemoglobin kurang dari 12 g/dL,
atau kurang dari 10 g/dL pada wanita hamil.

2.2 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala anemia yang sering ditemukan pada masa kehamilan, yaitu:

Ibu hamil mengeluh cepat lelah/letih


Pusing
Konsentrasi berkurang
Pucat
Palpitasi
Letargi
Menurunnya daya tahan tubuh
Mata berkunang-kunang
Berkeringat dingin
Nafsu makan menurun (anoreksia)
Napas pendek bahkan sesak napas (pada anemia parah)
Mual muntah yang hebat pada kehamilan muda
3

2.3 Etiologi
Anemia dalam kehamilan paling sering disebabkan oleh defisiensi besi dan
perdarahan akut (Saifuddin, 2002). Menurut Mochtar (1998), penyebab anemia pada
umumnya adalah sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)

Kurang gizi (malnutrisi)


Kurang zat besi dalam diet
Malabsorpsi
Kehilangan darah yang banyak
Penyakit kronik, seperti TBC paru, cacing usus, malaria, dan lain-lain.

Berikut ini adalah etiologi anemia pada masa kehamilan menurut sumber lain:
1) Umur ibu.
Menurut Amiruddin (2007), 74,1% ibu hamil yang berumur <20 tahun dan >35 tahun
menderita anemia, dan 50,5% anemia terjadi pada ibu hamil yang berumur 20-35 tahun.
Karena itulah wanita hamil berumur <20 tahun dan >35 tahun termasuk dalam
kehamilan risiko tinggi sebab anemia akan membahayakan kesehatan dan keselamatan si
ibu serta janinnya.
2) Paritas.
Menurut Herlina (2006), ibu hamil dengan paritas tinggi mempunyai risiko 1,45 kali
lebih besar untuk mengalami anemia dibandingkan ibu hamil dengan paritas rendah.
3) Kurang energi kronis (KEK).
Sekitar 41% ibu hamil menderita kekurangan gizi. Pengukuran lingkar lengan atas
(LILA) adalah satu cara untuk mengetahui risiko KEK pada wanita usia subur (WUS).
Ibu hamil KEK adalah ibu hamil yang mempunyai ukuran LILA <23,5 cm. deteksi KEK
dengan pengukuran LILA yang rendah mencerminkan kekurangan energi dan protein
dalam asupan makan sehari-hari, yang biasanya diikuti juga dengan kekurangan zat gizi
lain seperti zat besi. Jadi, dapat diasumsikan bahwa ibu hamil yang menderita KEK
berpeluang untuk menderita anemia (Novertiti, 2012).
4) Infeksi dan penyakit.
4

Wanita yang sedang hamil sangat rentan terhadap infeksi dan penyakit menular. Meski
beberapa diantaranya tidak mengancam jiwa ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak
berbahaya bagi janin. Penyakit infeksi yang diderita oleh ibu hamil biasanya tidak
diketahui saat kehamilan. Hal tersebut biasanya baru diketahui setelah bayi lahir dengan
kecacatan. Pada keadaan terinfeksi penyakit, ibu hamil akan kekurangan banyak cairan
tubuh serta zat gizi lainnya (Susiloningtias, 2014).
Zat besi merupakan unsur penting dalam mempertahankan daya tahan tubuh agar tidak
mudah terserang penyakit. Dengan demikian, defisiensi besi yang menyebabkan anemia
dapat pula mengakibatkan penderita anemia mudah terkena penyakit dan infeksi.
Menurut penelitian, orang dengan kadar hemoglobin <10 g/dl memiliki kadar
leukosit/sel darah putih yang rendah pula, padahal leukosit berperan dalam melawan
bakteri.
5) Jarak kehamilan.
Jarak kehamilan yang terlalu dekat menyebabkan ibu hanya mempunyai waktu singkat
untuk memulihkan kondisi rahimnya agar bisa kembali ke kondisi sebelumnya. Pada ibu
hamil dengan jarak kehamilan yang terlalu dekat, kurang dari 2 tahun, berisiko terjadi
anemia dalam kehamilannya karena cadangan zat besi ibu hamil belum pulih
sepenuhnya.
Menurut Amiruddin (2007), proporsi kematian terbanyak terjadi pada ibu dengan
prioritas 1-3 anak, dan jika dilihat dari jarak kehamilan yang jaraknya kurang dari 2
tahun menunjukkan bahwa jumlah kematian maternal lebih banyak.
6) Pendidikan.
Beberapa pengamatan dan penelitian menunjukan bahwa kebanyakan anemia yang
diderita dalam masyarakat adalah akibat kekurangan gizi yang banyak dijumpai di
daerah pedesaan, persalinan dengan jarak kehamilan yang sangat dekat, serta ibu hamil
dengan pendidikan dan tingkat sosial ekonomi rendah (Seprasetya, 2012). Jadi, salah
satu faktor yang mempengaruhi status anemia adalah tingkat pendidikan rendah.
5

2.4 Patofisiologi
Terjadinya anemia menggambarkan adanya kegagalan sumsum tulang dalam
memproduksi eritrosit dalam jumlah normal, atau kehilangan sel darah merah yang
berlebihan, atau bahkan keduanya. Kegagalan sumsum tulang dalam memproduksi eritrosit
dapat diakibatkan oleh kekurangan nutrisi, pajanan zat toksik, inuasi tumor, dan sebagian
besar penyebabnya tidak diketahui.
Sel darah merah (eritrosit) dapat hilang melalui proses perdarahan atau hemolisis
(destruksi). Hemolisis merupakan masalah pada sel darah merah yang tidak sesuai dengan
ketahanan sel darah merah normal (defek pada eritrosit) atau dapat merupakan akibat dari
beberapa faktor di luar sel darah merah yang menyebabkan proses destruksi. Lisis sel darah
merah terjadi terutama dalam sistem fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial terutama
dalam hepar dan limpa. Hasil dari proses ini adalah terbentuknya bilirubin yang akan masuk
ke dalam aliran darah. Oleh karena itu, setiap peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis)
segera direfleksikan dengan meningkatnya bilirubin plasma, serta dapat dilihat adanya
ikterik pada sklera.
Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai dengan rendahnya kadar
hemoglobin dan sel darah merah (eritrosit). Seperti yang diketahui bahwa darah berfungsi
membawa nutrisi dan oksigen ke jaringan dan seluruh organ tubuh. Pada kondisi anemia,
suplai/asupan oksiden ke jaringan dan organ akan berkurang, sehingga pada akhirnya dapat
menghambat kerja dari organ-organ tubuh.

2.5 Klasifikasi
Menurut Mochtar (1998), klasifikasi anemia dalam kehamilan adalah sebagai
berikut:
1) Anemia Defisiensi Besi.
Anemia ini terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah.
Untuk menegakkan diagnosa anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan anamnesis.
Biasanya dari hasil anamnesis didapatkan keluhan cepat lelah, pusing, mata berkunangkunang, dan mual-muntah pada hamil muda. Pada pemeriksaan hemoglobin dapat
dilakukan dengan menggunakan alat sachli, dan pengawasannya dilakukan minimal 2
kali selama kehamilan yaitu trisemester I dan III.
Hasil pemeriksaan hemoglobin (Hb) dengan alat sachli dapat digolongkan sebagai
berikut:
Hb >11 gr% : tidak anemia
Hb 9-10 gr% : anemia ringan
Hb 7-8 gr% : anemia sedang
Hb <7 gr% : anemia berat
Kebuthan zat besi pada wanita hamil rata-rata berkisar 800 mg. Sekitar 300 mg zat besi
diperlukan untuk janin dan plasenta, 500 mg lagi digunakan untuk meningkatkan massa
hemoglobin maternal. Kurang lebih 200 mg akan diekskresikan melalui usus, urin dan
kulit. Makanan ibu hamil setiap 1000 kalori mengandung sekitar 8-10 mg zat besi.
Perhitungan makan 3 kali dengan 2500 kalori hanya akan menghasilkan sekitar 20-25
mg zat besi per hari. Hal ini masih kurang dari kebutuhan zat besi untuk wanita hamil
(Manuaba, 2001).
Pengobatan anemia defisiensi zat besi yang dianjurkan untuk wanita hamil, tidak hamil
dan dalam laktasi adalah pemberian tablet besi (SF).
7

2) Anemia Megaloblastik.
Anemia yang tejadi karena kekurangan asam folat, dan jarang sekali diakibatkan oleh
kekurangan vitamin B12.
Pengobatan:
Asam folat 15-30 mg per hari.
Vitamin B12: 3 x 1 tablet per hari.
Sulfas ferosus (SF).
Pada kasus berat dapat diberikan transfusi darah.
3) Anemia Hipoplastik.
Anemia ini disebabkan oleh hipofungsi sumsum tulang, membentuk sel darah merah
baru. Untuk diagnostik diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, diantaranya: pemeriksaan
darah tepi lengkap, pemeriksaan punksi dan pemeriksaan retikulosit.
4) Anemia Hemolitik.
Anemia yang disebabkan oleh penghancuran atau pemecahan sel darah merah yang lebih
cepat dari pembuatannya. Gejala utama adalah anemia dengan kelainan seperti pucat,
kelelahan, malaise, serta gejala komplikasi bila terjadi kelainan pada organ vital.
Pengobatannya tergantung pada jenis anemia hemolitik dan penyebabnya. Bila
disebabkan oleh infeksi, maka harus diatasi infeksinya dan diberikan obat-obat
penambah darah. Pada beberapa kasus diperlukan pemberian transfusi darah berulang.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


1) Jumlah darah lengkap: hemoglobin dan hematocrit menurun.
2) Jumlah eritrosit: menurun, menurun berat (anemia aplastik); MCV (mean corpuscular
volume) dan MCH (mean corpuscular hemoglobin) menurun, mikrositik dengan
eristrosit hipokromik (pada anemia defisiensi besi), pansitopenia (pada anemia aplastik).
3) Jumlah retikulosit: bervariasi. Pada anemia aplastik, retikulosit menurun, sementara
respon sumsum tulang akan meningkatkan produksi retikulosit pada kehilangan darah
atau hemolisis.
8

4) Pewarnaan sel darah merah: mendeteksi perubahan warna dan betuk eritrosit untuk
mengetahui tipe anemia.
5) LED: adanya peningkatan menunjukkan ada reaksi inflamasi akibat peningkatan
kerusakan sel darah merah atau penyakit malignansi.
6) Masa hidup sel darah merah: berguna dalam membedakan diagnosa anemia. Tes
kerapuhan eritrosit: menurun pada anemia defisiensi besi.
7) SDP: jumlah sel total sama dengan sel darah merah (diferensial) mungkin meningkat
(pada anemia hemolitik) atau menurun (pada anemia aplastik).
8) Hemoglobin elektroforesis: mengidentifikasi tipe struktur hemoglobin.
Bilirubin serum tak terkonjugasi meningkat pada anemia aplastik dan hemolitik.
9) Besi serum: tidak ada pada anemia defisiensi besi, atau tinggi pada anemia hemolitik.
10) TBC serum: meningkat pada anemia defisiensi besi.
11) Feritin serum: meningkat pada anemia defisiensi besi.
12) Masa perdarahan: memanjang pada anemia aplastik.
13) Tes schilling: penurunan ekskresi vitamin B12 urin pada anemia aplastik.
14) Aspirasi sumsum tulang/biopsi: sel mungkin tampak berubah dalam jumlah, ukuran dan
bentuk sehingga dapat membedakan tipe anemia.
15) Pemeriksaan andoskopik dan radiografik (Doenges, 2000).

BAB III
PEMBAHASAN

Anemia pada ibu hamil bukanlah tanpa risiko. Seperti yang diketahui bahwa anemia
dapat mempengaruhi wanita selama kehamilan dan persalinan, juga dapat membahayakan
janin yang dikandungnya. Menurut penelitian, tingginya angka kematian ibu berkaitan erat
dengan anemia. Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada
kehamilan dan persalinan, dimana risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan
bayi baru lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Selain itu, perdarahan
antepartum dan post partum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis dan sering
berakibat fatal sebab mereka tidak dapat mengkompensasi kehilangan darah.
Pengaruh anemia terhadap kehamilan dapat dilihat sebagai berikut:
a. Bahaya selama kehamilan
Dapat terjadi abortus
Persalinan prematuritas
Hambatan tumbuh kembang janin dalam Rahim
Mudah infeksi
10

Ancaman dekompensasi kordis (Hb <6 gr%)


Hiperemesis gravidarum
Perdarahan antepartum
b. Bahaya saat persalinan
Gangguan his (kekuatan mengejan)
Kala pertama dapat berlangsung lama
Kala kedua berlangsung lama sehingga sering memerlukan tindakan operasi
Kala ketiga dapat diikuti retensi plasenta dan perdarahan post partum karena atonia
uteri
Pada kala keempat dapat terjadi perdarahan post partum sekunder dan atonia uteri
c. Pada kala nifas
Terjadi subinvolusi uteri yang menimbulkan perdarahan post partum
Mudah terjadi infeksi puerpertum
Pengeluaran ASI berkurang
Terjadi dekompensasi kordis mendadak setelah persalinan
Mudah terjadi infeksi mammae

Bahaya terhadap janin akibat anemia dapat berupa gangguan-gangguan berikut ini:

Abortus
Terjadi kematian intra uterin
Terjadi persalinan prematur tinggi
Berat badan lahir rendah
Lahir dengan cacat bawaan
Bayi mudah terkena infeksi sehingga dapat menyebabkan kematian perinatal

Telah banyak dilakukan penelitian untuk mempelajari faktor-faktor yang


mempengaruhi terjadinya anemia dalam kehamilan serta pencegahan dan pengobatan
anemia. Pada penelitian yang dilakukan oleh Novertiti pada tahun 2012 di kota Padang
menunjukkan bahwa jarak kehamilan dan pengetahuan yang dimiliki ibu adalah faktor yang
sangat mempengaruhi terjadinya anemia defisiensi besi pada ibu hamil. Kemudian penelitian
oleh Susiloningtyas mengemukakan bahwa pemberian tablet besi sangat berguna untuk
meningkatkan kesehatan ibu dan janin serta mencegah perdarahan. Selain itu, diketahui ada
11

terapi alternatif berupa iron sucrose (pemberian Fe secara intravena) yang dapat
mengembalikan simpanan besi tubuh dengan cepat tanpa efek samping yang serius.
Sayangnya pengobatan ini hanya bisa dilakukan oleh dokter ahli.
Pencegahan anemia pada ibu hamil, antara lain:
a) Mengkonsumsi pangan lebih banyak dan beragam, misalnya sayuran berwarna hijau,
kacang-kacangan, protein hewani terutama hati.
b) Mengkonsumsi makanan yang kaya akan vitamin C seperti jeruk, tomat, dan lain-lain
yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi.
c) Suplemen zat besi yang diperlukan untuk kondisi tertentu, misalnya wanita hamil.

Penderita anemia ringan sebaiknya tidak menggunakan suplemen zat besi. Akan
lebih cepat bila mengupayakan perbaikan menu makanan, misalnya dengan konsumsi
makanan yang banyak mengandung zat besi seperti telur, susu, hati, ikan, daging, kacakacangan, sayuran hijau, dan buah-buahan (jeruk, manga, jambu biji). Perlu juga
menambahkan substansi yang memudahkan penyerapan zat besi seperti vitamin C, air jeruk,
dan sebagainya. Sedangkan substansi yang menghambat penyerapan zat besi, seperti teh dan
kopi, sebaiknya dihindari.
Tindakan pencegahan yang terpadu sangat diperlukan mengingat tingginya
prevalensi anemia di dalam masyarakat. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
penyuluhan kesehatan masyarakat serta penyuluhan gizi terutama gizi keluarga.
Pemberian suplementasi besi oral pada wanita hamil dimulai sejak pertama kali
memeriksakan kehamilannya sampai post partum, sedangkan bayi tetap diberikan ASI dan
saat berusia 6 bulan dapat diberikan sayur atau buah (Saprasetya, 2012). Sebagai tambahan,

12

perlu juga upaya pemberantasan infeksi cacing tambang yang menjadi sumber perdarahan
kronik, yang paling sering terjadi di daerah tropis.

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
13

Anemia mempunyai dampak yang besar terhadap kehamilan, persalinan, dan kondisi
janin dalam rahim. Anemia defisiensi zat besi adalah tipe anemia yang paling sering terjadi
selama masa kehamilan. Anemia dalam kehamilan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara
lain: malnutrisi, umur ibu, jarak kehamilan, paritas, infeksi dan penyakit yang menyertai,
pengetahuan ibu, dan lain sebagainya.
Pengobatan terhadap anemia umumnya tergantung dari penyebab anemia itu sendiri.
Apabila tidak berhasil dengan pemberian obat atau pada kasus anemia berat, sering
dilakukan transfusi darah.
Pencegahan terhadap anemia terutama mengkonsumsi pangan lebih banyak dan
beragam yang mengandung banyak zat besi, seperti protein hewani yakni daging dan hati,
sayuran berwarna hijau, kacang-kacangan, serta mengkonsumsi makanan yang kaya vitamin
C yang berguna meningkatkan penyerapan zat besi. Substansi seperti teh dan kopi yang
dapat menghambat penyerapan zat besi harus dihindari.
Pemantauan zat gizi pada ibu hamil bukan hanya tanggung jawab dari petugas
kesehatan, melainkan ini adalah tugas bagi semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsalam M. 2012. Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia Defisiensi Besi. Sari
Pediatri Vol 4(2): 74-77.

14

Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.


Loowdermilk. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC.
Manuaba IBG. 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB.
Jakarta: EGC.
Manuaba IBG. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.
Mochtar R. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid I. Jakarta: EGC.
Morgan G. 2009. Obstetri dan Ginekologi Panduan Praktik. Jakarta: EGC.
Novertiti E. 2012. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kejadian Anemia pada Ibu
Hamil Trisemester III di Wilayah Puskesmas Air Dingin di Kota Padang Tahun 2012.
Jurnal Kesehatan Universitas Negeri Padang.
Prawirohardjo S. 2006. Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Purbadewi L. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Anemia dengan Kejadian
Anemia pada Ibu Hamil. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang Vol
2(1): 31-37.
Purnadhibrata M. 2010. Upaya Pencegahan Anemia Gizi Besi pada Ibu Hamil. Jurnal Gizi
Poltekes Denpasar.
Saprasetya A. 2012. Efektivitas Pemberian Tablet Besi terhadap Anemia Ibu Hamil di
Puskesmas 1 Kembaran Kabupaten Banyumas. Jurnal Kesehatan Masyarakat FKIK
UNSOED.

15

Sinaga E. 2014. Hubungan Asupan Protein dan Zat Besi dengan Status Anemia pada Ibu
Hamil di Desa Naga Timbul Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang
Tahun 2014. Jurnal Kesehatan USU.
Susiloningtyas I. 2013. Pemberian Zat Besi (Fe). Jurnal Kesehatan Universitas Islam Sultan
Agung Semarang.

16

Anda mungkin juga menyukai