Anda di halaman 1dari 15

STORYTELLING DALAM PENDIDIKAN ANAK

USIA DINI

Oleh:
Michelle L. S. Lolombulan
15202111080

Dosen:
Dr. dr. Taufik Pasiak, M.Kes, M.Pdi

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat


Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi
Manado
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Usia dini sebagai masa keemasan (golden age) yang hanya terjadi satu kali dalam
perkembangan kehidupan manusia, merupakan masa yang kritis dalam perkembangan anak dan
merupakan masa yang tepat untuk meletakan dasar bagi kemampuan fisik, bahasa, sosial
emosional, konsep diri, seni, moral dan nilai agama. Karena itu, upaya pengembangan potensi
anak usia dini harus dimulai sejak masa ini agar pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai
secara optimal.
Pendidikan usia usia dini merupakan tanggung jawab bersama semua pihak. Salah satu
lembaga pendidikan yang dapat melakukan hal itu adalah Taman Kanak-kanak (TK) yang
merupakan salah satu lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang bersifat formal. Masih
banyak lembaga PAUD lain seperti: Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitiapan Anak (TPA),
pendidikan keluarga, dan pendidikan lingkungan.
Dalam membimbing dan mengembangkan potensi anak usia dini perlu memilih metode
yang tepat. Pemilihan metode yang dilakukan pendidik atau guru semestinya dilandasi alasan
yang kuat dan faktor-faktor pendukungnya seperti karakteristik tujuan kegiatan dan karakteristik
anak yang diajar. Karakteristik tujuan adalah pengambangan kognitif, pengembangan kreativitas,
pengembangan bahasa, pengembangan emosi, pengembangan motorik, dan pengembangan nilai
serta pengembangan sikap dan perilaku. Untuk mengembangkan nilai dan sikap anak dapat
dipergunakan metode-metode yang memungkinkan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan yang

didasari oleh nilai-nilai agama dan moralitas agar anak dapat menjalani kehidupan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.
Metode mengajar pada anak usia dini sangatlah bervariasi, diantaranya bercerita
(storytelling), bernyanyi, bermain, bersajak dan karya wisata. Masing-masing metode ini
mempunyai kelemahan dan kelebihannya sendiri.
Sudah banyak penelitian peran storytelling dalam pendidikan anak usia dini. Salah
satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno dkk, yakni meneliti storytelling bagi
pendidikan anak usia dini di Yogyakarta dalam perspektif neurosains pendidikan. Hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa storytelling dapat dibedakan menjadi tiga, yakni cerita
robotik, akademik dan neurostory science.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk menyelesaikan tugas dari mata kuliah Pendidikan Kesehatan dan Perilaku
Kesehatan Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat UNSRAT.
1.2.2 Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui pengertian, bentuk dan teknik bercerita (storytelling) yang baik dalam
pembelajaran anak usia dini.
2) Untuk membahas penelitian yang dilakukan oleh Sutrisno dkk mengenai storytelling dalam
pembelajaran anak usia dini di Yogayakarta dalam perspektif neurosains pendidikan.

1.3 Manfaat

Manfaat yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah sebagai bahan
pembelajaran bagi penulis mengenai storytelling dalam pembelajaran/pendidikan anak usia dini
sebagai salah satu metode pengajaran.

BAB II

LANDASAN TEORI

Pendidikan untuk anak usia dini merupakan pendidikan yang memiliki karakteristik
berbeda dengan anak usia lain, sehingga pendidikannya pun perlu dipandang sebagai sesuatu
khusus. Bahkan ada yang berpendapat bahwa usia dini merupakan usia emas (golden age) yang
hanya terjadi sekali selama kehidupan seorang manusia. Apabila usia dini tidak dimanfaatkan
dengan menerapkan pendidikan dan penanaman nilai serta sikap yang baik tentunya kelak ketika
ia dewasa nilai-nilai yang berkembang juga nilai-nilai yang kurang baik. Oleh karena itu,
pendidikan anak usia dini di negara-negara maju mendapat perhatian yang luar biasa.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa
pendidikan terdiri atas Pendidikan Anak Usia Dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi, yang keseluruhannya merupakan kesatuan yang sistematik. Artinya,
pendidikan harus dimulai dari usia dini, yaitu Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Dengan
demikian,

PAUD

diselenggarakan

sebelum

jenjang

pendidikan

dasar. PAUD

dapat

diselenggarakan melalui jalur pedididkan formal, non formal, dan atau informal. PAUD pada
jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau
bentuk lain yang sederajat. PAUD dalam pedidikan non formal berbentuk kelompok bermain
(KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD dalam pendidikan
informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan,
bisa pula yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang memiliki prodi Pendidikan RA/TK.
Dalam Standar Kompetensi PAUD dinyatakan bahwa fungsi pendidikan TK dan RA
adalah:

1. Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin pada anak


2. Mengenalkan anak pada dunia sekitar
3. Menumbuhkan sikap dan perilaku baik
4. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi
5. Mengembangkan keterampilan, kreativitas dan kemapuan yang dimiliki anak
6. Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar.

2.1 Pendidikan Anak Usia Dini


Pendidikan anak usia dini merupakan program pendidikan yang dicanangkan pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan anak, seperti yang tercantum pada
UU Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 14: Pendidikan anak usia dini merupakan serangkaian
upaya sistematis dan terprogram dalam melakukan pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak
lahir sampai usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendiikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta rohani agar anak memiliki kesiapan
untuk memasuki pendidikan lebih lanjut.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pedidikan anak usia dini yaitu sebagai berikut :
a. Membentuk anak yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan
tingkat perkembangannya, sehingga memiliki kesiapan yang optimal didalam memasuki
pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
b. Membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
c. Prinsip-prinsip dalam Pendidikan Anak Usia Dini. Dalam melaksanakan Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD) terdapat prinsip-prinsip utama yang harus diperhatikan. Prinsip-prinsip
tersebut adalah sebagai berikut :

1) Mengutamakan kebutuhan anak. Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan
upaya-upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan, baik
perkembangan fisik maupun psikis, yaitu intelektual, bahasa, motorik, dan sosioemosional.
2) Belajar melalui bermain atau bermain seraya belajar. Melalui permainan, anak diajak
untuk bereksplorasi, menemukan, memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan mengenai
benda disekitarnya.
3) Lingkungan yang kondusif dan menantang. Lingkungan harus diciptakan sedemikian
rupa sehingga menarik dan menyenangkan, sekaligus menantang dengan memperhatikan
keamanan serta kenyamanan yang dapat mendukung kegiatan belajar melalui bermain.
4) Menggunakan pembelajaran terpadu dalam bermain, yang dilakukan melalui tema. Tema
yang harus dibangun harus menarik dan dapat membangkitkan minat anak, serta bersifat
kontekstual. Hal ini dimaksudkan agar anak mampu mengenal berbagai konsep serta
mudah dan jelas.
5) Mengembangkan berbagai kecakapan atau keterampilan hidup (lifeskills). Hal ini
dilakukan melalui berbagai proses pembiasaan dan dimaksudkan agar anak belajar untuk
menolong diri sendiri, mandiri, dan bertanggungjawab, serta memiliki disiplin diri.
6) Menggunakan berbagai media atau permainan edukatif dan sumber belajar.
7) Dilaksanakan secara bertahap dan berulang-ulang. Agar konsep dapat dikuasai dengan
baik, hendaknya guru menyajikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan berulang kali.
2.2 Standar Kompetensi Anak Usia Dini
Standar kompetensi anak usia ini terdiri atas pengembangan aspek-apek sebagai berikut:
1. Moral dan nilai-nilai Agama
a. Perilaku moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial.

Perilaku moral dikendalikan oleh konsep-konsep moral. Peraturan perilaku yang telah
menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang
diharapkan dari serluruh anggota kelompok.
b. Perilaku tak bermoral berarti perilaku yang tidak sesuai sengan harapan sosial.
c. Perilaku amoral berarti perilaku yang lebih disebabkan ketidakacuhan terhadap harapan
kelompok sosial dari pada pelanggaran yang sengaja terhadap standar.
d. Pada saat lahir, tidak ada anak yang memiliki hati nurani atau skala nilai. Akibatnya, tiap
yang baru lahir dapat dianggap amoral. Tidak seorang anak pun dapat diharapkan
mengembangkan kode moral sendiri. Maka, tiap anak harus diajarkan standar kelompok
tentang yang benar dan yang salah.
2. Bahasa
Perkembangan bahasa ditingkat pemula (bayi) dapat dianggap semacam persiapan
berbicara. Pada bulan-bulan pertama, bayi hanya pandai menangis. Dalam hal ini tangisan
bayi dianggap sebagai pernyataan rasa tidak senang. Kemudian ia menangis dengan cara
berbeda menurut maksud yang hendak dinyatakan. Selanjutnya, ia mengeluarkan bunyi
(suara-suara) yang banyak ragamnya tetapi bunyi-buny itu belum mempunyai arti, hanya
melatih pernapasan. Menjelang usia pertengahan ditahun pertama, meniru suara-suara yang
didengarkannya, tetapi bukan karena dia sudah mengerti apa yang dikatakan kepadanya.

3. Kognitif
Perbedaan-perbedaan individual dalam perkembangan kognitif bayi telah dipelajari
melalui penggunaan skala perkembangan atau tes intelegensi bayi. Adalah penting untuk
mengetahui apakah seorang bayi berkembang pada tingkat yang lambat, normal, atau cepat.
Adapun kemampuan kognisi atau kecerdasan yang harus dikusai oleh anak usia 3-4 tahun

meliputi kemampuan berfikir logis, kritis, memberi alasan, memecahkan masalah, dan
menemukan hubungan sebab akibat.
4.

Emosi
a. Sebelum bayi berusia satu tahun, ekspresi emosional diketahui serupa dengan ekspresi
pada orang dewasa. Lebih jauh lagi, bayi menunjukan berbagai reaksi emosional, antara
lain kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kebahagiaan.
b. Bukan hanya pola emosi umum yang mengikuti alur yang dapat diramalkan, tetapi pola
dari berbagai macam emosi juga dapat diramalkan. Sebagai contoh, reaksi ledakan marah
(temper tantrums) mencapai puncak usia antara 2 dan 4 tahun, dan kemudian diganti

dengan pola ekspresi yang lebih matang, seperti cemberut dan sikap bengal.
5. Sosial
Menurut keyakinan tradisional sebagian manusia dilahirkan dengan sifat sosial dan
sebagian tidak. Orang yang lebih banyak merenungi diri sendiri daripada bersama dengan
orang lain, atau mereka yang bersifat sosial pikirannya lebih banyak tertuju pada hal-hal di
luar dirinya, secara alamiah memang sudah bersifat demikian, atau karena faktor keturunan.
Juga orang yang menentang masyarakat yaitu orang yang antisosial.
6. Agama
Sejalan dengan kecerdasaannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi
menjadi 3 bagian:
1) The fairly stage (tingkat dongeng)
2) The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
3) The Individual Stage (Tingkat Individu)

2.3 Storytelling
Salah satu kegiatan yang bisa mengembangkan kecerdasan bahasa anak adalah
Storytelling. Dimana dalam kegiatan ini suatu proses kreatif anak-anak yang dalam
perkembangannya, senantiasa mengaktifkan bukan hanya aspek intelektual saja tetapi juga aspek

kepekaan, kehalusan budi, emosi, seni, daya berfantasi, dan imajinasi anak yang tidak hanya
mengutamakan kemampuan otak kiri tetapi juga otak kanan.
Menurut Asfandiyar (2007) Storytelling merupakan sebuah seni bercerita yang dapat
digunakan sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai pada anak yang dilakukan tanpa perlu
menggurui sang anak. Dalam kegiatan storytelling, proses bercerita menjadi sangat penting
karena dari proses inilah nilai atau pesan dari cerita tersebut dapat sampai pada anak.
Pada saat proses storytelling berlangsung terjadi sebuah penyerapan pengetahuan yang
disampaikan storyteller kepada audience. Proses inilah yang menjadi pengalaman seorang anak.
Kegiatan bercerita (storytelling) adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang,
yang dapat dilakukan baik dengan membaca ataupun disampaikan scara lisan. Bercerita bukan
hanya berbagi pengetahuan tentang isi cerita, atau berbagai pengalaman, tetapi juga memberikan
suatu nasihat atau suatu teladan kepada anak, selain itu bercerita juga dapat memperkenalkan
anak kepada nila-nilai moral. Tujuan dari metode storytelling ini antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.

Melatih daya tangkap


Melatih daya pikir
Melatih daya konsentrasi
Membantu perkembangan fantasi
Menciptakan suasana yang menyenangkan
Menurut Henny (2007) terdapat beberapa cara atau metode dalam membawakan cerita,

diantaranya:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Bercerita tanpa alat peraga


Bercerita dengan alat peraga langsung
Bercerita dengan menggunakan gambar
Bercerita dengan membaca
Bercerita dengan menggunakan papan planel
Bercerita dengan menggunakan boneka
Bercerita tentulah menimbulkan dampak, baik yang positif maupun yang negatif.

Dampak positif bercerita diantaranya adalah:

a.
b.
c.
d.
e.

Menimbulkan minat untuk membaca


Memberikan motivasi untuk membaca
Meningkatkan minat baca
Menciptakan masyarakat gemar membaca
Membentuk budaya baca

Sedangkan dampak negatif dari bercerita adalah:


a. Menimbulkan rasa malas untuk membaca
b. Menjadikan bercerita sebagai suatu budaya

BAB III
PEMBAHASAN

Penelitian Sutrisno dkk mengenai storytelling dalam pembelajaran anak usia dini di
Yogyakarta yang dikaji dalam perspektif neurosains pendidikan, menunjukkan bahwa
storytelling dapat dibedakan menjadi tiga, yakni cerita robotik, akademik, dan saintifik. Di dalam
artikel tersebut juga disebutkan tentang storytelling (bercerita) sebagai warisan metode
pembelajaran paling tua, serta sebagai cara untuk mewariskan keyakinan, budaya, tradisi, dan
sejarah kepada generasi berikutnya.
Otak manusia mempunyai memori yang menyimpan pengalaman masa lalu. Pengalaman
tersebut, di satu sisi menjadi bahan cerita untuk anak-cucu di kemudian hari, dan di sisi lain
cerita dalam memori tersebut berevolusi menjadi kreatif dan imajinasi. Contoh paling nyata yang
dapat ditemukan adalah dongeng anak-anak yang diadopsi oleh salah satu perusahaan animasi
terkenal, Walt Disney, seperti Cinderella, Beauty and The Beast, Tangle, Mulan, Pocahontas, dan
lain-lain. Mari kita ambil contoh mengenai dongeng Cinderella. Dari cerita yang kita ketahui
selama ini mengenai Cinderella adalah cerita/dongeng Cinderella ala Disney. Cerita asli
Cinderella lebih kelam dan menakutkan. Pada cerita asli/original, saudari tiri Cinderella yang

jahat rela memotong jari kaki dan tumit mereka agar kaki mereka bisa muat dalam sepatu.
Dongeng Cinderella yang mengerikan ini cukup lama diceritakan turun temurun dan mengalami
perubahan besar dalam isi ceritanya setelah diadopsi oleh Walt Disney, yang lebih menekankan
moral cerita dan akhir cerita yang bahagia. Sekedar informasi, kebanyakan dongeng yang
diadopsi oleh Disney ini, pada cerita aslinya tidak memiliki akhir cerita yang bahagia. Perubahan
jalan cerita untuk dongeng-dongeng tersebut mungkin diakibatkan oleh fungsi otak (memori)
yang berevolusi menjadi sebuah imajinasi baru, dimana hal ini dapat mempengaruhi pembetukan
karakter anak. Selain itu, cerita asli dari dongeng-dongeng sama sekali tidak cocok karena dapat
memberikan dampak negatif bagi anak-anak, terutama pada perilaku mereka.
Berikut adalah beberapa contoh penelitian di Indonesia yang berhubungan dengan
storytelling:

Penelitian yang dilakukan oleh Tantin Yulianti mengenai efektivitas kegiatan storytelling
dalam meningkatkan minat baca anak usia dini pada pos PAUD Sakura RW 02,

Kelurahan Cigugur Tengah, Kota Cimahi.


Penelitian yang dilakukan oleh Junaidah mengenai metode storytelling pada pengajaran

anak usia dini. Studi ini dilakukan pada PAUD Kembang Ibu di Bandar Lampung.
Penelitian oleh Ayi Sobarna mengenai efektivitas metode storytelling bermedia boneka
untuk pengembangan kemampuan berkomunikasi. Penelitian ini mengambil lokasi pada

PAUD Humanis Jatinangor Kabupaten Sumedang.


Studi pengaruh metode storytelling terhadap pengembangan minat baca dan bahasa anak

kelompok B di TK Tunas Bangsa Pati tahun ajaran 2012-2013 oleh Syaadatun Niswah.
Kristina Arum Sari dkk meneliti efektivitas metode storytelling dalam pembudayaan
kebiasaan cuci tangan pada anak usia dini.

Sedangkan beberapa penelitian di luar negeri antara lain:

Studi mengenai efek storytelling dan story reading pada kompleksitas bahasa verbal dan

komprehensi cerita dari anak kecil, oleh Isbell dkk (2004).


Berkowitz (2011) menulis artikel ilmiah mengenai cerita verbal (oral storytelling) dalam

membangun komunitas melalui dialog, keterlibatan anak, dan pemecahan masalah.


Diteliti pula mengenai storytelling dan penggunaan teknologi mobile seperti iPods
sebagai salah satu media dalam bercerita (storytelling) oleh Olney dkk.

Pada umumnya, penelitian-penelitian seputar storytelling di atas berfokus pada metode,


bukan substansi materi atau isi ceritanya. Selain itu, belum ada cerita anak yang berorientasi
pada optimalisasi potensi otak anak. Artinya, masih sangat sedikit cerita anak yang menjadi
stimulasi edukatif bermuatan motivasional. Perlu diketahui bahwa banyak cerita anak di
Indonesia mengandung unsur-unsur negatif seperti kelicikan, mistik, seks, serta berbau kutukan.
Artikel yang ditulis oleh Sutrisno dkk, yang diterbitkan dalam Jurnal Otak dan Perilaku
Volume I No. 2 bulan Januari 2015, mengkaji dongeng atau cerita dalam pembelajaran anak usia
dini, khususnya di Yogyakarta, dengan tujuan: menemukan model cerita anak yang bebas dari
unsur licik, mistik, seks, dan berbau kutukan. Kajian dilakukan dengan menggunakan neurosains
dan pendidikan atau disingkat dengan neurosains pendidikan. Neurosains digunakan untuk
menganalisis isi materi cerita terhadap perubahan cara berpikir anak, sedangkan pendidikan
digunakan untuk menganalisa penggunaan storytelling sebagai metode atau strategi
pembelajaran. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa storytelling dibedakan menjadi tiga,
yakni cerita robotik, cerita akademik dan cerita saintifik.
Dari ketiga varian cerita tersebut, cerita saintifik (neurostory science) adalah model cerita
yang cocok untuk mengoptimalkan potensi otak anak yang bekerja secara fantastik, kreatif, dan
imajinatif. Neurostory science merupakan cerita yang dapat menjadi stimulasi edukatif

bermuatan motivasional, bernuansa arif bijaksana, serta jauh dari unsur negatif seperti mistik dan
seks.

DAFTAR PUSTAKA

Agus R. Pendidikan usia Dini yang Baik, Landasan Keberhasilan Pendidikan Masa Depan.
Bandung: Makalah. Darul maarif. 2007.
Berkowitz D. Oral Storytelling: Building Community through Dialogue, Engagement, and
Problem Solving. Young Children. March 2011.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Undang-undang No.20 Tahun 2009 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas. 2007.
Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Depdiknas. Kerangka Dasar Kurikulum Pendidikan
Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Negeri. 2007.
Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda. Acuan Menu Pembelajaran Pada
Pendidikan Anak Usia Dini (Menu Pembelajaran Generik). Jakarta: Depdiknas. 2002.
Hariwijaya, Bertiani ES. PAUD Melejitkan Potensi Anak dengan Pendidikan Sejak Dini.
Bandung. 2007.
Isbell R, Sobol J, Lindauer L, Lowrance A. The Effects of Storytelling and Story Reading on the
Oral Language Complexity and Story Comprehension of Young Children. Earl Child Edu
Journal Vol 32, No. 3. Dec 2004.

Junaidah. Metode Story Telling pada Pengajaran Anak Usia Dini (Studi pada PAUD Kembang
Ibu Bandar Lampung). Bandar Lampung: Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M Institut
Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung. 2015.
Moeslichatoen R. Metode Pengajaran di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Rineka Ciipta. 1999.
Niswah S. Pengaruh Metode Storytelling terhadap Pengembangan Minat Baca dan Bahasa Anak
Kelompok B di TK Tunas Bangsa Pati Tahun Ajaran 2012-2013. 2013.
Sari KA, dkk. Efektivitas Metode Storytelling dalam Pembudayaan Kebiasaan Cuci Tangan pada
Anak Usia Dini. 2013.
Sobarna A. Efektivitas Metode Storytelling Bermedia Boneka untuk Pengembangan
Kemampuan Berkomunikasi. MIMBAR Vol XXVI, No. 1: 71-80. 2010.
Slamet S. Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta. 2005.
Yuliani N. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: PT Indeks. 2009.
Yulianti T. Efektivitas Kegiatan Story Telling dalam Meningkatkan Minat Baca Usia Dini pada
Pos PAUD Sakura RW 02 Kelurahan Cigugur Tengah Kota Cimahi. 2012.

Anda mungkin juga menyukai