Anda di halaman 1dari 132

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT

Oleh:
Dra. YULFIRA MEDIA, M.Si
(Peneliti Bidang Perilaku Kesehatan)

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT

Oleh:
Dra. YULFIRA MEDIA, M.Si
(PenelitiBidangPerilakuKesehatan)

ABSTRAK
Perkembangan kasus HIV di Provinsi Sumatera Barat terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun, dan sejak tahun 2007 sampai akhir tahun 2013 tampak bahwa
setiap tahunnya telah terjadi peningkatan kasus baru lebih dari 100 orang. Pada tahun
2013 telah ditemukan 150 kasus AIDS baru dan 200 kasus HIV baru. Bukittinggi
merupakan salah satu kota yang memiliki jumlah kasus terbanyak kedua (148 kasus),
dan mempunyai rate kumulatif AIDS tertinggi di Sumbar, yaitu 119.75. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi
tingginya kasus HIV/AIDS, mendeskripsikan implementasi/pelaksanaan kegiatan
penanggulangan HIV/AIDS, dan merumuskan pengembangan strategi penanggulangan
HIV/AIDS melalui pendekatan sosial budaya. Penelitian ini merupakan penelitian
lapangan yang berbentuk deskriptif-interpretatif, yang menggunakan metode penelitian
kualitatif. Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam
dan observasi, Sedangkan data sekunder dilakukan melalalui penelusuran
dokumen/laporan penelitian dari instansi terkait, maupun sumber-sumber lain yang
sesuai dengan standar keilmiahan sumber data. Hasil penelitian mengungkapkan
bahwa ada beberapa faktor yang turut melatar belakangi tingginya kasus HIV/AIDS
yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan (lingkungan sosial dan budaya) dan faktor
akses negatif dari ineternet. Beberapa kendala dalam pelaksanaan penanggulangan
HIV/AIDS antara lain adalah adanya stigma dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS,
keterbatasan jangkauan dan penjaringan terhadap populasi kunci, dll. Selanjutnya
beberapa strategi yang dapat dikembangkan dalam penanggulangan HIV/AIDS
berdasarkan pendekatan sosial budaya adalah strategi peningkatan informasi dan
pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS secara komprehensif, pemberdayaan
masyarakat dan penguatan kelembagaaan, peningkatan akses jangkauan pelayanan
dan dukungan penguatan regulasi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Strategi
penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan pendekatan sosial budaya tersebut disusun
dalam rencana aksi (action plan) yang dituangkan dalam berbagai alternatif kegiatan.
Strategi dan program yang disusun diharapkan bisa menjadi pedoman dalam
menyusun rencana pembangunan bidang kesehatan pada tahun berikutnya di
beberapa kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat dalam upaya penanggulangan
HIV/AIDS.
Kata Kunci: Strategi, HIV/AIDS, sosial budaya

EXECUTIVE SUMMARY

Indonesia merupakan negara tercepat tingkat penyebaran virus


HIV/AIDS di Asia. Epidemi HIV/AIDS terjadi hampir di seluruh provinsi di
Indonesia, dan sejak tahun 2000 fase epidemiknya sudah berubah dari tingkat
low menjadi tahap concentrated epidemic (prevalensi lebih dari 5 %) pada sub
populasi beresiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (Penasun), wanita penjaja
seks (WPS), pelanggan penjaja seks, lelaki seks dengan lelaki lain dan waria
(Simarmata, 2010).
Di tinjau dari case rate kasus AIDS (rate kumulatif AIDS) di Indonesia,
case rate nasional tahun 2013 adalah sebesar 17,2. Sedangkan jika dilihat dari
case rate kasus AIDS per provinsi di Indonesia, Provinsi Sumatera Barat berada
pada peringkat 8 dari 34 propivinsi, dengan case rate sebesar 18,8. Kondisi ini
berada di atas case rate kasus AIDS nasional (17,2 ).
Perkembangan kasus HIV di Provinsi Sumatera Barat terus mengalami
peningkatan dan sangat mengkhawatirkan karena penularan serta wilayah
penyebarannya semakin meluas. Trend jumlah kasus baru HIV/AIDS di
Provinsi Sumatera dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dan sejak
tahun 2007 sampai akhir tahun 2013 tampak bahwa setiap tahunnya

telah

terjadi peningkatan kasus baru lebih dari 100 orang. Pada tahun 2013 telah
ditemukan 150 kasus AIDS baru dan 200 kasus HIV baru.
Walaupun jumlah kasus paling banyak di Kota Padang (348 kasus) dan
diikuti Bukittinggi (148 kasus), namun Kota Bukittinggi mempunyai rate
kumulatif AIDS tertinggi di Sumbar, yaitu 119.75.
Upaya memerangi HIV/AIDS merupakan salah satu tujuan pencapaian
target MDGs (tujuan 6) dengan target mengendalikan penyebaran HIV dan
mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015, dan indikator antara

ii

lain adalah

Prevalensi HIV/AIDS dari total populasi dan proporsi jumlah

penduduk yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDs.


Melihat dari faktor resiko penularan HIV/AIDS yang disebabkan oleh
faktor perilaku masyarakat, maka persoalan HIV/IDS tidak hanya dikatakan
sebagai masalah
sosial.

Oleh

kesehatan semata, tetapi hal ini juga merupakan masalah

karena

itu,

permasalahan

HIV/AIDS

juga

memerlukan

penanggulangan yang komprehensif dan melibatkan banyak pihak.


Sehubungan dengan kenyataan di atas, maka penting untuk dikaji dan
dianalisis

mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya kasus

HIV/AIDS dan bagaimana pengembangan strategi dalam upaya penanggulangan


HIV/AIDS yang sesuai dengan kondisi sosial budaya. Data ini diperlukan
sebagai bahan masukan untuk rekomendasi sebagai upaya mencari alternatif
solusi dalam upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS.
Tujuan Penelitian secara khusus adalah 1). Mengidentifikasi faktor-faktor
yang melatarbelakangi tingginya kasus HIV/AIDS, 2). Mendeskripsikan
pelaksanaan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, dan 3). Merumuskan
pengembangan strategi penanggulangan HIV/AIDS melalui pendekatan sosial
budaya.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang berbentuk deskriptifinterpretatif, yang menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian
dilaksanakan pada tahun 2014 di Kota Bukittingi, yang memiliki rumah sakit
layanan rujukan HIV/AIDS

yaitu di Klinik Serunai Rumah Sakit Achmad

Mochtar (RSAM). Data atau informasi yang dikumpulkan terdiri data primer
dan data sekunder. Data sekunder diperoleh

melalui dokumen/laporan dari

Dinas Kesehatan, Komisi Penangulangan AIDS, RSAM Bukittinggi,

dan

instansi terkait, maupun sumber-sumber lain yang sesuai dengan standar


keilmiahan sumber data. Selanjutnya data primer dilakukan dengan melakukan

iii

wawancara mendalam dan observasi. Pengolahan dan analisis data dilakukan


secara manual dengan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan kasus baru
HIV/AIDS di RSAM Kota Bukittinggi menunjukkan peningkatan terus dari
tahun 2012 sampai dengan 2014, yaitu dari 33 kasus (tahun 2012) meningkat
menjadi 40 kasus (tahun 2013), dan meningkat cukup tajam menjadi 72 kasus
(Agustus 2014). Penderita HIV/AIDS tidak hanya berasal dari Kota Bukittinggi,
tetapi juga berasal dari luar Kota Bukittinggi, yaitu dari Kota Payakumbuh,
Agam, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Tanah Datar, dan kab/kota lainnya.
Jika ditinjau dari latar belakang karakteristik kumulatif penderita
HIV/AIDS dari tahun 2007-2013, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar
penderita adalah dengan jenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 82,07%. Dari
kelompok usia, persentase kumulatif HIV/AIDS (2007-2013) yang berasal dari
kelompok umur 25-49 tahun cenderung lebih besar yaitu sebesar 58%,15 lakilaki dan 55,93% perempuan.
Hasil penelitian mengungkapkan ada beberapa faktor yang turut melatar
belakangi tingginya kasus HIV/AIDS yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan
(lingkungan sosial dan budaya) dan faktor dari pengaruh kemajuan teknologi
informasi. Dari faktor perilaku, perilaku seksual yang tidak aman merupakan
faktor resiko terbesar dalam penularan HIV/AIDS saat ini. Sebagian besar
penderita belum mempunyai pengetahuan tentang HIV/AIDS secara benar,
sehingga mereka tidak menyadari bahwa perilaku yang pernah dilakukan
sebelumnya berisiko untuk tertularnya infeksi HIV. Pada saat ini faktor risiko
terbanyak dari kasus HIV/AIDS adalah perilaku seks bebas pada kelompok
homoseksual (data RSAM tahun 2014) yaitu sebanyak 32,43%, dan diikuti
resiko penularan dari heteroseksual (25,6%).
Selanjutnya faktor lingkungan sosial budaya

juga cukup besar

pengaruhnya terhadap perilaku yang dianggap berisiko terhadap tertularnya

iv

HIV/AIDS. Kondisi lingkungan keluarga yang dianggap kurang harmonis, yang


mana masing-masing anggota keluarga tidak bisa menjalankan peran dan
fungsinya dengan baik (seperti adanya perpecahan keluarga dan kesibukan
orang tua dalam mencari nafkah) telah memberikan pengaruh kepada perilaku
menyimpang seperti narkoba dan seks bebas. Selanjutnya pengaruh lingkungan
sosial (lingkungan pertemanan) juga bisa memberikan situasi yang membuka
peluang terjadinya homoseksualitas. Hal ini

juga dimungkinkan karena

kurangnya pengawasan dari pihak keluarga. Apalagi saat ini ada juga ada
kecenderungan bahwa peran dan fungsi dari ninik mamak dan kelembagaan adat
relatif kurang. Di samping itu, akses negatif dari internet juga telah berdampak
terhadap perilaku reproduksi remaja, seperti perilaku seks bebas.
Dalam upaya

penanggulangan HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Kota

Bukittingi dan KPA Kota Bukittinggi telah melaksanakan beberapa kegiatan


antara lain melakukan sosialisasi, penjangkauan dan pendampingan kepada
kelompok resiko tinggi, pertemuan dan koordinasi dengan dinas instansi terkait,
LSM peduli AIDS ODHA dan kelompok resiko tinggi, koordinasi layanan
kesehatan, dll. Namun demikian, terdapat adanya beberapa kendala antara lain
adalah adanya stigma dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS, keterbatasan
jangkauan dan penjaringan terhadap populasi kunci, dll.
Penanggulangan HIV/AIDS tidak hanya menjadi permasalahan kesehatan
semata, tetapi juga perlu penanganan yang komprehensif/terintergrasi dari
berbagai lintas sektor. Beberapa strategi yang dapat dikembangkan dalam
penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan pendekatan sosial budaya adalah
1). Strategi peningkatan informasi dan pengetahuan masyarakat tentang
HIV/AIDS secara komprehensif, antara lain melalui penyebarluasan informasi
HIV/AIDS secara langsung kepada masyarakat melalui tokoh agama dan tokoh
masyarakat, 2). Strategi pemberdayaan masyarakat dan penguatan kelembagaan,
antara lain melalui lokakarya peningkatan peran dan fungsi/pengawasan dari

keluarga, ninik mamak dan kelembagaan adat terhadap penerapan nilai-nilai


sosial budaya dan agama dalam rangka

pencegahan & penanggulangan

HIV/AIDS, 3). Peningkatan akses jangkauan pelayanan, dan 4). Dukungan


penguatan regulasi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Strategi penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan pendekatan sosial
budaya tersebut disusun dalam rencana aksi (action plan) yang dituangkan
dalam berbagai alternatif
diharapkan

kegiatan. Strategi dan program yang disusun

bisa menjadi pedoman dalam menyusun rencana pembangunan

bidang kesehatan pada tahun berikutnya, khususnya dalam penanggulangan


HIV/AIDS. Rekomendasi yang disusun diharapkan juga bisa dimanfaatkan oleh
kabupaten/kota

lainnya

di

Provinsi

penanggulangan HIV/AIDS.

vi

Sumatera

Barat

dalam

upaya

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya,
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan laporan akhir penelitian dengan
judul Kajian Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS Berdasarkan
Pendekatan Sosial Budaya.
Mencermati perkembangan temuan kasus HIV/AIDS di Provinsi Sumatera
Barat dari tahun ke tahun yang menunjukkan peningkatan terus kita layak
prihatin, karena penularan serta wilayah penyebarannya yang semakin meluas.
Kecenderungan peningkatan kasus HIV/AIDS seperti ini menyebabkan beban
sosial dan ekonomi menjadi lebih berat lagi termasuk pembangunan manusia ke
depan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS yang intensif, terintegrasi dan terkoordinasi untuk menghasilkan
capaian program dengan cakupan yang lebih efektif, efesien dan berkelanjutan.
Penelitian merupakan salah satu upaya yang dapat dilaksanakan untuk
menghasilkan beberapa bahan masukan dalam perumusan kebijakan bidang
kesehatan khususnya dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Penelitian yang
berjudul

Kajian

Pengembangan

Strategi

Penanggulangan

HIV/AIDS

Berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya telah dilaksanakan melalui kegiatan


Pengembangan Kapasitas Peneliti pada Bidang Litbang Bappeda Provinsi
Sumatera Barat pada tahun 2014. Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
faktor-faktor

yang

melatarbelakangi

tingginya

kasus

HIV/AIDS,

mendeskripsikan implementasi atau pelaksanaan kegiatan penanggulangan


HIV/AIDS,

dan

merumuskan

pengembangan

strategi

penanggulangan

HIV/AIDS melalui pendekatan sosial budaya.


Kami menyadari atas segala keterbatasan dalam penulisan laporan ini,
dan untuk itu dengan senang hati kami menerima masukan dan saran dari semua
pihak. Semoga hasil kajian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pihak
vii

pengambil kebijakan dalam merencanakan program dan kegiatan untuk


penanggulangan HIV/AIDS, dan semoga dapat ditindaklanjuti dan bermanfaat
bagi kita semua, Amin.

Padang,

Desember 2014

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah


Provinsi Sumatera Barat
Kepala,

Ir. Afriadi Laudin, MSi


Pembina Utama Madya
NIP.19580521 198503 1 015

viii

DAFTAR ISI
Halaman
Abstrak ...................................................................................................
Executive Summary ..................................................................................
Kata Pengantar ..........................................................................................
Daftar Isi.....................................................................................................
Daftar Tabel ...............................................................................................
Daftar Grafik.............................................................................................
Daftar Singkatan/Akronim dan Istilah ......................................................

i
ii
vii
ix
xi
xii
xiii

BAB I.

PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ....................................................... .....
1
1.2. Rumusan Masalah Penelitian........................................
9
1.3. Tujuan Penelitian .........................................................
9
1.4. Manfaat Penelitian.........................................................
10
1.5. Keluaran penelitian.......................................................
10

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................


11
2.1. Penjelasan HIV dan AIDS............................................
11
2.2. Tes dan Konseling HIV atau Voluntary Counseling
14
and Testing (VCT) untuk Pencegahan.........................
2.3. Perilaku Kesehatan dan Penyakit................................. 15

BAB III.

METODOLOGI PENELITIAN ......................................


3.1.
3.2.
3.3.
3.4.
3.5.

23

Lokasi Penelitian ..........................................................


Disain Penelitian...........................................................
Teknik Pengumpulan Data............................................
Informan Penelitian.......................................................
Pengolahan dan Analisis Data ......................................

23
23
24
24
25

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...........................................


4.1. Gambaran Umum Lokasi penelitian...........................
4.1.1. Kondisi Geografis ..............................................
4.1.2.Keadaan Penduduk.... .........................................
4.1.3. Kondisi Ekonomi ...............................................
4.1.4.Sarana Kesehatan ................................................
4.2. Gambaran Kondisi Perkembangan Kasus HIV/AIDS
diKotaBukittinggi.......................................................

29
29
29
30
31
31

ix

32

4.3. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Tingginya kasus


HIV/AIDS.......................................................................
4.3.1. Karakteristik Penderita HIV/AIDS......................
4.3.2. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku yang
Beresiko Terhadap HI/AIDS ............................

BAB V.

40
40
42

4.3.3. Faktor Lingkungan..............................................


4.3.4. Faktor Akses Negatif Dari Internet...............
4.4. Implementasi Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS....
4.4.1. Kebijakan-kebijakan yang Terkait Dengan
Penanggulangan HIV/AIDS ............................
4.4.2. Pelaksanaan Penanggulangan HIV/AIDS di
KPA Kota Bukittinggi ....................................
4.4.3. Pelaksanaan Penanggulangan HIV/AIDS yang
dilaksanakan Dinas Kesehatan.......................
4.4.4. Dukungan Beberapa Lintas Sektor dalam Upaya
Penanggulangan HIV/AIDS
4.4.5. Beberapa Permasalahan/Hambatan Dalam
Penanggulangan HIV/AIDS ............................
4.4.6. Permasalahan/Hambatan dalam Implementasi
Program ............................................................
4.5. Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS
Berdasarkan Sosial Budaya ..........................................

53
62
64

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .........................


DAFTAR PUSTAKA

113
117

64
66
75
82

91
94
97

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Distribusi Sarana Pelayanan Kesehatan .....................................
31
Tabel 4.2 Jumlah Titik Spot Populasi Kunci di Kota Bukittinggi...............
71
Tabel 4.3 Jumlah Estimasi Populasi Kunci Berdasarkan Faktor Rsiko
Di Kota Bukittinggi....................................................................
71
Tabel4.4 Jumlah Tenaga Terlatih Yang Terdapat di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan .................................................................................... 76
Tabel 4.5. Capaian Layanan IMS tahun 2013 .............................................
81
Tabel 4.6Capaian Layanan HIV Tahun 2013 ............................................
82
Tabel 4.7 Analisis SWOT Pengembangan Strategi Penanggulangan
HIV/AIDS berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya ................. 101
Tabel 4.8 Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS
BerdasarPendekatan Sosial Budaya ........................................... 104
Tabel 4.9. Rencana Aksi Pengembangan Strategi Penanggulangan
HIV/AIDS Berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya.....................107

xi

DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 1.1Jumlah Kumulatif Kasus HIV dari tahun 2005-2014
(s/d Juni 2014) di Indonesia ......................................................
2
Grafik 1.2 Jumlah Kumulatif Kasus HIV dari tahun 2005-2014
(s/d Juni 2014) di Indonesia.......................................................
2
Grafik 1.3 Case Rate AIDS di Indonesia .......... ........................................
3
Grafik 1.4Trend Jumlah Kasus HIV/AIDS di Sumbar tahun 2013 ...........
4
Grafik 1.5 Jumlah Kumulatif Kasus HIV/AIDS
Per Kab/Kota di Sumbar Tahun 2002-2013 ............................. 5
Grafik 1.6 Case Rate Per Kab/Kota di Sumbar Tahun 2013......................
6
Grafik 4.1 Kumulatif Penemuan Kasus HIV Positif
Tahun 2007-2013 ...................................................................... 33
Grafik 4.2 Kumulatif Penemuan Kasus HIV/AIDS di RSAM
Bukittinggi Tahun 2012-2014 .................................................... 34
Grafik 4.3 Perkembangan Jumlah Kasus HIV/AIDS di RSAM
Bukittinggi Tahun 2012-2014 .................................................... 34
Grafik 4.4 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Daerah Asal
Tahun 2012-2014 ....................................................................... 36
Grafik 4.5 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Faktor Risiko
Tahun 2014 .................................................................................. 39
Grafik 4.6Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Faktor Risiko
Tahun 2013 ................................................................................. 39
Grafik 4.7 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin
Tahun 2007-2013 ........................................................................41
Grafik 4.8Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin
Dan Umur tahun 2007-2013 .....................................................42

xii

DAFTAR SINGKATAN/AKRONIM DAN ISTILAH


AIDS
ARV
BCL
Balita
Batita
Balitbangkes
Bappeda
CST
Dinkes
GWL
HIV
HRM
IMS
IPM
Jamkemas
Jamkesda
KDS
Kemenkes
KIE
KPA
KPAD
KPAN
KPAP
KPAK
LSL
LSM
MDGs
NAPZA
NGO
ODHA
Penasun
Perda
Perwako
Perbup
PMS
PSK
PID
Puskesmas
Pustu

: Acquired Immunnodeficiency Syndrome


: Antiretroviral
: Behaviour Change Intervensi
: Bawah lima tahun
: Bawah Tiga Tahun
: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
: Care Support and Treatment
: Dinas Kesehatan
: Gay, Waria, dan Lelaki Suka dengan Lelaki
: Human Immunodeficiency Syndrome
: High Risk Men
: Infeksi Menular Seksual
: Indeks Pembangunan Manusia
: Jaminan Kesehatan Masyarakat
: Jaminan Kesehatan Daerah
: Kelompok Dukungan Sebaya
: Kementerian Kesehatan
: Komunikasi, Informasi, Edukasi
: Komisi Penanggulangan AIDS
: Komisi Penanggulangan AIDS Daerah
: Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
: Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi
: Komisi Penanggulangan AIDS Kota
: Laki-laki yang berhubungan Seks dengan Laki: Lembaga Swadaya Masyarakat
: Millenium Development Goals
: Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif.
: Non Governmental Organization
: Orang Dengan HIV/AIDS
: Pengguna Napza suntikta
: Peraturan Daerah
: Peraturan Walikota
: Peraturan Bupati
: Penyakit Menular Seksual
: Penjaja Seks Komersial
: Pelvic inflammatory disease
: Pusat Kesehatan Masyarakat
: Puskemas Pembatu
xiii

Puskel
PMTCT
RSAM
Riskesdas
RPJMN
RPJMD
SKRT
TBC
VCT
WPS

: Puskesmas Keliling
: Prevention Mother To Chlild Transmision
: Rumah sakit Achmad Mochtar
: Riset Kesehatan Dasar
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
: Survey Kesehatan Rumah Tangga
: Tuberkulosis
: Voluntary Concealing Testing
: Wanita Penjaja Seks

xiv

I
PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang
Kita sadari

bahwa HIV/AIDS

semakin berpotensi untuk menjadi

masalah pembangunan masyarakat di Indonesia. Acquired Immune Deficiency


Syndrome (AIDS) disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV) yang
menyebabkan melemahnya sistem kekebalan tubuh seseorang, membuatnya
lebihrentan terhadap berbagai penyakit, sulit sembuh dari berbagai penyakit
infeksi oportunistik dan bisamenyebabkan kematian. (Kemenkes, 2010).
Indonesia merupakan negara tercepat tingkat penyebaran virus
HIV/AIDS di Asia. Epidemi HIV/AIDS di Indonesia telah berlangsung lebih
dari 20 tahun, dan sejak tahun 2000 fase epidemiknya sudah berubah dari
tingkat lowmenjadi tahap concentrated epidemic (prevalensi lebih dari 5 %)
pada sub populasi beresiko tinggi yaitu pengguna Napza suntik (Penasun),
wanita penjaja seks (WPS), pelanggan penjaja seks, lelaki seks dengan lelaki
lain dan waria (Simarmata, 2010).
Perkembangan jumlah kasus HIV dan AIDS

di Indonesia terus

meningkat sejak dilaporkan pertama kali pada tahun 1987. Berdasarkan laporan
Kemenkes RI, sampai dengan Juni 2014 jumlah kumulatif kasus HIV sudah
mencapai 142.951 orangdan kasus AIDS sudah mencapai55.623 orang, seperti
terlihat pada grafik 1.1 dan 1.2. Dari jumlah kasus AIDS yang dilaporkan
sampai bulan Juni 2014, persentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah
hubungan seks berisiko pada heteroseksual (86,4%), LSL (Lelaki Seks Lelaki)
(4,8%), dari ibu positif HIV ke anak (3,6%) dan penggunaan jarum suntik tidak
steril pada penasun (2,6%). Sedangkan persentase AIDS tertinggi pada

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 1

kelompok umur 30-39 tahun (37,7%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun
(26,0%) dan kelompok umur 40-49 tahun (20,4%).

160000
140000
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0

142,951

859 7,195 6,048 10,3629,793

21,59121,03121,51115,534

HIV

Grafik 1.1.Jumlah Kumulatif Kasus HIV dari Tahun 2005 - 2014 (s/d Juni
2014) di Indonesia
Sumber: Kemenkes (2014)

60,000
50,000
40,000
30,000
20,000
10,000
0

55,623

5,184 3,665 4,6555,114 6,073 6,9077,312 8,747 6,266 1,700

AIDS

Grafik 1.2. Jumlah Kumulatif Kasus AIDS dari Tahun 2005 - 2013 (s/d
September 2013) di Indonesia
Sumber: Kemenkes (2014)
2 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

Di tinjau dari case rate kasus AIDS(rate kumulatif AIDS) di Indonesia,


pada grafik 1.3terlihat bahwa case rate nasionaltahun 2013 adalah sebesar 17,2.
Sedangkan jika dilihat dari case rate kasus AIDS per provinsi di Indonesia,
Provinsi Papua memilikicase rate tertinggi dalam kasus HIV/AIDS

yaitu

sebesar319,9,dan Provinsi Sumatera Barat berada pada peringkat 8 dari 34


propivinsi, dengan case rate sebesar 18,8. Kondisi ini tampaknya berada di atas
case rate kasus AIDS nasional (17,2 )

Grafik 1.3. Case Rate AIDS (rate kumulatif AIDS) di Indonesia tahun
2013
Sumber: Dinkes Provinsi Sumbar (2014)
Perkembangan kasus HIV di Provinsi Sumatera Barat terus mengalami
peningkatan dan sangat mengkhawatirkan karena penularan serta wilayah
penyebarannya semakin meluas. Pada grafik 1.4 tampak bahwa trend jumlah
kasus baru HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Baratdari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, dan sejak tahun 2007 sampai akhir tahun 2013 tampak bahwa
setiap tahunnya telah terjadi peningkatan kasus baru lebih dari 100 orang. Pada
tahun 2013 telah ditemukan 150 kasus AIDS baru dan 200 kasus HIV baru.
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 3

Sampai dengan kondisi akhir tahun 2013 tercatat kumulatif kasus AIDS di
Sumatera Barat sebanyak 948 orang dan kumulatif kasus HIV sebanyak 964
orang (Dinkes, 2014). Kondisi peningkatan penemuan kasus ini juga dapat
mencerminkan bahwa akses terhadap layanan HIV-AIDS semakin meningkat.
250

Jumlah

200

150

100

50

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

HIV

47

19

227

131

134

200

200

AIDS

12

44

102

105

150

128

130

120

150

Grafik 1.4: Trend Jumlah Kasus HIV/AIDS di Sumbartahun 2013


Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Sumbar (2014)
Distribusi jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS tersebar di 19 kabupaten
dan kota di Provinsi Sumatera Barat. Pada grafik 1.5 terlihat bahwa distribusi
jumlah kumulatif kasus HIV dan AIDS terbesar terdapat di Kota Padang diikuti
oleh Kota Bukittinggi, Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar dan Kota
Payakumbuh. Dari grafik juga dapat dilihat bahwa sebagian besar penemuan kasus
di seluruh kab/kota sudah dalam status AIDS.

4 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

450
400
350
300
250
200
150
100
50
0

Padan Bukitti Agam Pdg Pessel T. Payak Paria Solok 50 Pasba D. Pasa Sawah Solsel P. Sijunj Kab. Menta
g nggi
Paria
Datar umbu man
Kota r
raya man lunto
Panja ung Solok wai
man
h
ng
AIDS 383 148 77
42
38
37
28
23
20
19
12
11
12
11
7
7
5
6
5
HIV

39

2
HIV

AIDS

Grafik1.5 :Jumlah Kumulatif Kasus HIV-AIDS per Kab/Kota tahun 2002 2013
Sumber: Dinkes Provinsi Sumbar (2014)

Walaupun jumlah kumulatif kasus AIDS paling banyak di Kota


Padang(383 kasus) dan diikuti Bukittinggi (148 kasus) pada grafik 1.5 diatas,
namun pada grafik 1.6 tampak bahwa Kota Bukittinggi mempunyai rate
kumulatif AIDS tertinggi di Sumbar, yaitu 119.75, sedangkan Kota Padang
hanya sebesar 35, 79, dan bahkan rate kumulatif dari Kota Bukittinggi ini
melebih case rate Provinsi Bali yang hanya 93.4 (grafik 1.3).

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 5

119.75
120
100
80
60
40

35.79

20

26.94

21.0618.01

12.7612.3111.98

8.12 6.20 5.82 5.25 5.23

14.38
4.21 3.47 2.74 2.68 1.72 1.46
ba
r
Su
m

Bu
ki

tti
n
Pa ggi
da
ng
S
Pa olok
ria
Pa
Pa yak man
da
u
ng mb
Pa uh
n
Sa
wa j a n g
hl
Pa
un
da
t
ng
Ag o
Pa
am
Ta riam
n
a
Pe
a
sis h D n
at
ir
Se ar
Me lata
n
Dh
n
ar taw
ma
a
sra i
y
So 50
a
lok
Ko
t
Se
a
l
Pa atan
Pa
s
sa
m a a ma
n
n
K a Ba
ra
b.
t
S
Si olok
jun
jun
g

Grafik 1.6. Case rate AIDS (rate kumulatif AIDS) per kab/kota di
Sumbar tahun 2013
Sumber: Dinkes Provinsi Sumbar (2014)
Kota Bukittinggi merupakan salah satu kota besar dan kota wisata di
Provinsi Sumatera Barat yang sarat dengan keindahan alam, budaya, dan
penduduknya yang agamais. Namun melihat kondisi permasalahan kasus
HIV/AIDS di Kota Bukittinggi tersebut tentunya harus benar-benar disikapi
dengan serius.
Salah satu tujuan yang ingin dicapai MDGs dalam kurun waktu 19902015 adalah memerangi HIV/AIDS (tujuan 6), dengan target mengendalikan
penyebaran HIV dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015.
Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau pencapaian target MDGs
6 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

adalah persentase penduduk umur 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan


komprehensif tentang HIV/AIDS. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan bahwa secara nasional tingkat
pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDadalah relatif rendah, di mana 11,4
persen penduduk yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang
HIV/AIDS.Provinsi dengan persentase urutan tertinggi adalah DKI Jakarta
(21,6%), dan Provinsi Sumatera Sumatera Barat menempati urutan ke 21,
dengan 9 % penduduk yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang
HIV/AIDS (Kemenkes, 2010).
Mengingat besarnya masalah yang dapat ditimbulkan oleh penyebaran
virus HIV/AIDS ini, maka pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam
penanggulangan HIV/AIDS, dan salah satunya adalah dengan membentuk
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

(KPAN).

KPAN ini terbentuk

didasarkan pada Peraturan Presiden No.75/2006, yang melibatkan 18


Departemen dan lima organisasi LSM (Kemenkes,2010).
Provinsi Sumatera Barat juga sudah melakukan beberapa upaya dalam
pengendalian HIV/AIDS dengan membentuk Komisi Penanggulangan AIDS
Provinsi Sumatera Barat sejak tahun 2008. Salah satu upaya yang dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk memutus rantai penularan
adalah dengan meningkatkan penemuan kasus melalui upaya peningkatan akses
layanan HIV/AIDS, baik VCT (Voluntary Concealing Testing), CST (Care
Support and Treatment), PMTCT (Prevention Mother To Chlild Transmision),
dan pelayanan lainnya (Pemerintah Provinsi, 2011).
Kota Bukittingi juga sudah melakukan berbagai upaya dalam
penanggulangan HIV/AIDS dengan membentuk

Komisi Penanggulangan

HIV/AIDS (KPA) sejak tahun 2008. Adapun upaya yang sudah dilakukan oleh
KPA Kota Bukittingi antara lain adalah melakukan sosialisasi kepada
masyarakat terkait dengan bahaya HIV/AIDS, melalukan pendampingan dan
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 7

pembinaan terhadap penderita positif HIV/AIDS atau Orang Dengan HIV/AIDS


(ODHA).
Walaupun beberapa upaya sudah dilakukan pemerintah Kota Bukittinggi
dalam penanggulangan HIV/AIDS, namun kondisi perkembangan kasus
HIV/AIDS tampaknyasulit untuk dikendalikan dan terus saja meningkat dari
tahun ke tahun. Permasalahan HIV/AIDS adalah merupakan fenomena gunung
es, di mana kasus yang tampak hanya sebagian kecil, tetapi yang sesungguhnya
terjadi jauh lebih besar. Pada hal jika ditinjau penduduk Sumatera Barat yang
mayoritas suku Minangkabau, dikenal sebagai penganut agama Islam yang kuat
dan teguh dengan adat dan tradisi mereka. Falsafah Adat Basandi Syarak
Basandi Kitabullah, Syarak mangato, Adat Mamakaiadalah filosofis dan jati
diri utama masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau secara normatif
mempunyai keseimbangan hidup antara agama dan budaya. Islam memberikan
fondasi bagi prinsip kehidupan yang agamais, sementara sistem adat
memberikan fondasi bagi kehidupan yang berbudaya (Bappeda, 2013).
Jika dilihat dari Indek Pembangunan Manusia (IPM), Kota Bukittingi
saat ini adalah yang tertinggi di Provinsi Sumatera Barat (79,29) pada tahun
2013. Namun, kondisi tersebut tidak cukup tanpa dilandasi dengan kematangan
emosi yang dilandasi nilai-nilai agama dan adat Minangkabau. Selanjutnya
dengan adanya perkembangan peradaban yang diikuti dengan perkembangan
informasi dan teknologi telah banyak membawa pengaruh ke dalam sendi-sendi
kehidupan, antara lain adalah penerapan nilai-nilai agama dan adat dewasa ini
yang mulai menurun dan menjadi perhatian semua kalangan (Bappeda Kota
Bukittingi, 2010).
Penerapan nilai-nilai agama dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat
saat ini tampaknya belum bisa diterapkan oleh sebagian masyarakat, seperti
tercermin dari perilaku menyimpang (perilaku seksual yang bebas dan narkoba),
dan beresiko pada penularan penyakit HIV/AIDS.
8 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

Melihat dari faktor resiko penularan HIV/AIDS disebabkan oleh faktor


perilaku masyarakat, maka persoalan HIV/IDS tidak hanya dikatakan sebagai
masalah kesehatan semata, tetapi hal ini juga merupakan masalah sosial. Oleh
karena itu, permasalahan HIV/AIDS juga memerlukan penanggulangan yang
komprehensif dan melibatkan banyak pihak.
Sehubungan dengan kenyataan di atas, maka penting untuk dikaji dan
dianalisis

mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi tingginya kasus

HIV/AIDS dan bagaimana pengembangan strategi dalam upaya penanggulangan


HIV/AIDS yang sesuai dengan kondisi sosial budaya. Data ini diperlukan
sebagai bahan masukan untuk rekomendasi sebagai upaya mencari alternatif
solusi dalam upaya penanggulanganpenyakit HIV/AIDS.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan penelitian dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi tingginya kasus HIV/AIDS dan
bagaimana pengembangan strategi penanggulanganHIV/AIDS yang berdasarkan
dengan pendekatan sosial budaya?
1.3. Tujuan Penelitian
TujuanUmum:
Mengembangkan

strategi

penanggulangan

HIV/AIDS

melalui

pendekatan sosial budaya.


Tujuan Khusus:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor (faktor internal dan eksternal penderita) yang
melatarbelakangi tingginya kasus HIV/AIDS.
2. Mendeskripsikan

implementasi/pelaksanaankegiatan

penanggulangan

HIV/AIDS.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 9

3. Merumuskan pengembangan strategi penaggulangan HIV/AIDS melalui


pendekatan sosial budaya.

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
pengambil kebijakan dalam upaya

pencegahan

dan pengendalian penyakit

HIV/AIDS, dan dapat ditindaklanjuti serta dimanfaatkan oleh instansi terkait,


sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
1.5.KeluaranPenelitian
Keluaran dari kajian ini adalah merupakan laporan penelitian yang
memuat hasil penelitian dan analisis serta rekomendasi sebagai alternatif solusi
dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit HIV/AIDS.

10 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PenjelasanHIV dan AIDS


Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh human
immunodeficiency virus (HIV) yang menyebabkan melemahnya sistem
kekebalan tubuh seseorang, membuatnya lebih rentan terhadap berbagai
penyakit, sulit sembuh dari berbagai penyakit infeksi oportunistik dan
bisamenyebabkan kematian. (Kemenkes, 2010).
Biasanya orang yang terinfeksi HIV dapat hidup bertahun-tahun tanpa
menunjukkan tanda-tanda penyakit. Mereka mungkin tampak sehat dan merasa
sehat, tetapi dapat menularkan virus kepada orang lain. AIDS adalah tahap
akhir infeksi HIV, dan mereka yang terkena AIDS semakin lama akan semakin
lemah karena badanya tidak mampu melawan penyakit. Timbulnya AIDS
setelah terinfeksi HIV 7-10 tahun, sedangkan pada anak-anak dapat berkembang
lebih cepat. AIDS tidak dapat sembuh, tetapi obat-obat baru dapat membuat
penderita AIDS hidup lebih lama (Kemenkes, 2010).
Cara penularan HIV pada umumnya adalah melalui hubungan
heteroseksual, penggunaan jarum suntik bersama padapengguna narkoba suntik
(Penasun), penularan dari ibu ke bayi selama periode kehamilan, kelahiran dan
menyusui, tranfusi darah yang tidak aman dan praktek tatto (Kemenkes, 2010).
Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA)yang tertularHIV/AIDS dalam
banyak kasus disebabkan karena perilaku mereka beresiko tinggi tertular
HIV/AIDS. Perilaku resiko tinggitertular AIDS adalahperilaku seseorang yang
berbahaya adalah meliputi perpindahan air mani yang dilakukan melalui aktivas
seksual-lewat vagina, oral atau anal-persetubuhan. Ataupun aktivitas yang yang
melibatkan perpindahan transfusi darah, dapat melalui aktivitas seksual,
transfusi darah atau berbagi jarum suntik dengan orang lain ((Dian, 2013).
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 11

HIV tidak ditularkan atau disebarkan melalui hubungan sosial yang biasa
seperti jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan
peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar
mandi atau WC/Jamban yang juga dipakai oleh penderita HIV/AIDS.
HIV/AIDS juga tidak tersebar melalui nyamuk atau serangga lain (Kemenkes,
2007).
Tanda-tanda klinis penderita AIDS adalah berat badan menurun lebih
dari 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan,
demam berkepanjangan lebih dari1 bulan, penurunan kesadaran dan gangguangangguan neurologis, dan dimensia/HIV ensefalopati.
HIV dan AIDS dapat menyerang siapa saja. Namun pada kelompok
rawan mempunyai risiko besar tertular HIV penyebab AIDS, yaitu orang-orang
yang berperilaku seksual (para homo seksual dan heteroseksual) yang suka
berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom, pengguna narkoba suntik
yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama, pasangan seksual
pengguna narkoba suntik, bayi yang ibunya positif HIV.
Adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS
diantaranya adalah seperti dibawah ini :
1. Saluran pernafasan.
Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri dada
dan demam seperti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang
diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.
2. Saluran Pencernaan.
Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti hilangnya
nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada
rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diare yang kronik.
3. Berat badan tubuh.

12 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu kehilangan
berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem
protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai Malnutrisi
termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada sistem
pencernaan yang mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah
kurang bertenaga.
4. System Persyarafan.
Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan kurang
ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan
respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral)
akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek
tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten.
5. System Integument (Jaringan kulit).
Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau carar api
(herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa
nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut
pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar retakretak) serta Eczema atau psoriasis.
6. Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita.
Penderita seringkali mengalami penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai
tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran kemih, menderita
penyakit syphillis, dan jika dibandingkan pria, maka wanita lebih banyak
jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS
wanita banyak yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal
sebagai istilah 'pelvic inflammatory disease (PID)' dan mengalami masa haid
yang tidak teratur (http://www.drogpatravel.biz/).

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 13

2.2. Tes dan Konseling HIV atau Voluntary Counseling and Testing
(VCT) untuk Pencegahan
Kebanyakan orang pengidap HIV terlihat sehat dan tidak terlihat
tandaatau gejala dari infeksi. Status HIV seseorang hanya dapat diketahui
dengan melakukan tes HIV. Salah satunya melalui layanan VCT (Voluntary
Counseling and Testing).Voluntary Counseling and Testing (VCT) dalam
bahasa Indonesiadisebut konseling dan tes sukarela. VCT merupakan kegiatan
konselingyang bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum atau
sesudah tesdarah untuk HIV dilaboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien
terlebihdahulu mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar. Proses VCT
inidiberlakukan

bagi

orang-orang

yang

tergolong

berisiko

tinggi

terhadappenularan HIV/AIDS, dan merupakan salah satuupaya untukmengecek


kebenaran, apakah seseorang tersebut terindikasikan berstatusHIV positif atau
negatif.
Jika seseorangseseorang dalam hidupnya pernahmelakukan hal-hal
berisiko tinggi seperti disebutkan diatas, maka melakukan tes HIV adalah
penting untuk dilakukan,sehingga bisalebih menjaga perilaku selanjutnya demi
kesehatan dirinya sendiri danpasangannya, serta (calon) anak-anaknya kelak.
Hal ini disebabkan selama ini banyakorang yang tidak menyadari resiko
perilakunya terhadap kemungkinantertular ataupun menularkan HIV, dan karena
tidak segera menjalani tesHIV perilakunya tetap saja berisiko tinggi. Secara
umum tes HIV jugaberguna untuk mengetahui perkembangan kasus HIV dan
AIDS serta untukmeyakinkan bahwa darah untuk transfusi dan organ untuk
transplantasitidak terinfeksi HIV.Dalam tes HIV, bisa saja memberi hasil negatif
bila orang yang ditesbaru saja terinfeksi. Hal ini dapat terjadi karena tubuh kita
membutuhkanwaktu beberapa minggu untuk mulai menghasilkan antibodi sejak
terjadinyainfeksi. ntibodi biasanya dapat dideteksi sekitar 3 8 minggu
setelahterinfeksi, dan masa ini disebut periode jendela (Faqih, 2013).
14 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

2.3.Perilaku Kesehatan dan Penyakit


Memahami

kondisi

masyarakat

merupakan

modal

awal

dalam

melakukan pengembangan berbagai bentuk program dan manifestasinya,


sebaliknya ketidakmengertian tentang kondisi masyarakat merupakan langkah
awal

gagalnya program pengembangan tersebut. Pengetahuan tentang

masyarakat juga menjadi dasar dalam melakukan adaptasi berbagai model


pengembangan,

mengingat

saat

ini

program

sedapat

mungkin

mempertimbangkan kebutuhan lokal dan permasalahan konkret yang dihadapi


oleh suatu masyarakat tertentu(Notoatmodjo, 1997).
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, dan
saling terkait dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Dalam
melakukan pemecahan masalah tidak hanya ditinjau dari segi kesehatannya
sendiri, namun harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap
sehat-sakit atau kesehatan tersebut (Notoatmodjo,1997).
Masalah kesehatan masyarakat, pada dasarnya menyangkut dua aspek
yang utama, yaitu aspek fisik seperti tersedianya sarana kesehatan dan
pengobatan penyakit, dan aspek non fisik yang menyangkut perilaku kesehatan.
Faktor perilaku ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan
individu maupun masyarakat (Sarwono, 1996).
Kesehatan merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor, baik faktor
internal (dari dalam diri manusia) maupun eksternal (di luar diri manusia).
Faktor internal terdiri dari faktor fisik dan psikis, sedangkan faktor eksternal
terdiri dari berbagai faktor antara lain meliputi sosial, budaya masyarakat,
lingkungan fisik, politik ekonomi, pendidikan, dan

sebagainya.

Menurut

Hendrik L Blum (Notoatmodjo, 2010) ada 4 faktor yang mempengaruhi status


derajat kesehatan masyarakat atau perorangan. Faktor-faktor tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 15

16 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

1. Lingkungan
Faktor lingkungan mempunyai pengaruh dan peranan terbesar diikuti
perilaku, fasilitas kesehatan dan keturunan. Lingkungan sangat beragam antara
lain

yang berhubungan dengan aspek fisik dan sosial. Lingkungan yang

berhubungan dengan aspek fisik contohnya sampah, air, udara, tanah, ilkim,
perumahan, dan sebagainya. Selanjutnya lingkungan sosial merupakan hasil
interaksi antar manusia seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan
sebagainya.
2. Perilaku
Faktor perilaku merupakan faktor kedua yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat,karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan
individu, keluarga dan masyarakat sangat ditentukan oleh perilaku manusia itu
sendiri. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat,
kebiasaan, kepercayaan, pendidikan, sosial ekonomi, dan perilaku-perilaku lain
yang melekat pada dirinya.
3. Pelayanan kesehatan
Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat
adalah faktor pelayanan kesehatan, karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat
menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap
penyakit, dan pengobatan kepadakelompok dan masyarakat yang membutuhkan
pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dipengaruhi oleh keterjangkauan
lokasi, dan

juga dipengaruhi oleh tenaga kesehatan pemberi pelayanan,

informasi dan motivasi masyarakat untuk mendatangi fasilitas dalam


memperoleh pelayanan serta program pelayanan kesehatan itu sendiri apakah
sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukan.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 17

4. Keturunan
Keturunan (genetik) merupakan faktor yang terdapat dalam diri manusia
dan dibawa sejak lahir, misalnya dapat dilihat dari golongan penyakit keturunan
seperti diabetes dan asma.
Jika ditinjau dari keempat faktor tersebut, faktor perilaku manusia
merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sulit untuk
ditanggulangi, dan disusul dengan faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena
faktor perilaku merupakan faktor yang lebih dominan dibandingkan dengan
faktor lingkungan karena lingkungan hidup manusia juga sangat dipengaruhi
oleh perilaku masyarakat (Notoatmojdo, 2010).
Perilaku kesehatan pada dasarnya merupakan suatu respons seseorang
(organisme) terhadap suatu stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, dan lingkungan. Dengan perkataan lain perilaku
kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat
diamati maupun yang tidak dapat diamati (misalnya pengetahuan, persepsi atau
motivasi) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
(Notoatmodjo, 2010). Respon menurut Sorlita Sarwono (1996) dapat bersifat
fasif (tanpa tindakan: berfikir berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan
tindakan). Dengan batasan ini, perilaku kesehatan merupakan segala bentuk
pengalaman, khususnya pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta
tindakannya yang berhubungan dengan dengan kesehatan.
Perilaku kesehatan secara garis besar dikelompokkan menjadi dua ,
yakni:
1). Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Perilaku ini
disebut perilaku sehat, yang mencakup perilaku-perilaku dalam mencegah
penyakit, penyebab penyakit, atau penyebab masalah kesehatan.
2). Perilaku orang yang sakit atau terkena masalah kesehatan, untuk
memperoleh penyembuhan atau pemecahan kesehatan. Perilaku ini disebut
18 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

perilaku pencarian pelayanan kesehatan. Tempat pelayanan kesehatan, baik


pelayanan kesehatan tradisional seperti dukun, maupun pengobatan modern
seperti rumah sakit, pukesmas, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).
Perilaku, menurut Blum (dalam Sarwono,1996) mempunyai peranan
yang

lebih besar dalam menentukan pemanfaatan sarana kesehatan bila

dibandingkan dengan penyediaan sarana kesehatan itu sendiri. Hasil beberapa


pengalaman menunjukkan bahwa penyediaan dan penambahan sarana pelayanan
tidaklah selalu diikuti oleh peningkatan pemanfaatan sarana-sarana tersebut.
Berdasarkan penelitian-penelitian

yang ada, faktor sosial budaya

merupakan faktor eksternal yang paling besar peranannya dalam membentuk


perilaku manusia. Faktor sosial sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi
perilaku antara lain meliputi struktur sosial, pranata-pranata sosial, dan
permasalahan-permasalahan sosial lainnya. Faktor budaya sebagai faktor
ekternal yang mempengaruhi perilaku seseorang antara lain mencakup nilainilai, adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan masyarakat, tradisi dan sebagainya.
Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi terbentuknya perilaku seperti
persepsi, pengetahuan, motivasi, dan sebagainya (Notoatmojdo, 2010).
Salah satu teori yang sering menjadi acuan dalam penelitian-penelitian
kesehatan masyarakat adalah teori Lawrence Green. Green menyatakan bahwa
kesehatan individu/masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor
perilaku dan faktor di luar perilaku (non perilaku). Faktor perilaku itu sendiri
ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu:
1). Faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor yang memungkinkan atau
yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor
pemungkin adalah tersedianya sarana dan prasarana pelayanan kesehatan
dan kemudahan untuk untuk mencapainya, misalnya Puskesmas, Poskesri
dan Posyandu.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 19

2). Faktor- faktor predisposisi (pre disposing factors), yaitu faktor-faktor yang
memberikan kemudahan

atau mempredisposisi terjadinya perilaku

seseorang antara lain tradisi, pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai,


norma sosial, dan sebagainya.
3). Faktor-faktor penguat (reinforcing factors merupakan faktor-faktor yang
memperkuat atau mendorong terjadinya perilaku, seperti sikap dari perilaku
petugas kesehatan. Tokoh masyarakat juga merupakan salah satu contoh
dari faktor penguat bagi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.
Selain itu, peraturan, undang-undang, surat keputusan dari para pejabat
pemerintah pusat atau daerah juga
Determinan

perilaku

itu

menurut

termasuk faktor penguat perilaku.


Green

secara

sistematis

dapat

digambarkan sebagai berikut:

B = F (Pf, Ef, Rf)


B = Behavior
F = Fungsi
Pf = Predisposing faktors
Ef = Enabling faktors
Rf = Reinforcing faktors

Selain faktor perilaku, juga terdapat aspek non perilaku yang dapat
mempengaruhi pemafaatan pelayanan kesehatan, dan ini berhubungan dengan

20 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

dana baik untuk biaya pengobatan maupun biaya untuk mencapai pelayanan
kesehatan (Notoatmojdo, 2010).
Pembicaraan mengenai perilaku kesehatan dan penyakit tidak dapat
dipisahkan dari pengertian sehat dan sakit. Hal ini sangat beralasan karena
penilaian individu terhadap status kesehatannya merupakan salah faktor yang
menentukan perilakunya, baik perilaku sakit maupun perilaku sehat. Perilaku
sakit diartikan sebagai salah bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang
sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah
tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri,
pejagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi (Elfemi, 2003).
Foster (1986) menyatakan bahwa dasar

utama penentuan tersebut

(bahwa ia sehat atau hanya mengidap suatu penyakit ringan yang tidak perlu
diperhatikan) adalah bahwa ia tetap dapat menjalankan peranan-peranan sosial
sehari-hari seperti biasa. Selanjutnya jika pada saat kegiatan menjalankan
peranan-peranannya mulai terganggu barulah pengakuan bahwa ia tidak sehat
dinyatakan, dan diikuti dengan usaha mencari pengobatan. Dalam konteks ini
penyakit didefinisikan sebagai pengakuan social bahwa seseorang itu tidak bisa
menjalankan peran normalnya secara wajar, dan harus dilakukan sesuatu
terhadap situasi tersebut.
Pengertian sakit seperti tersebut sangat berbeda dengan pengertian sakit
secara ilmiah (medis), di mana sakit diartikan sebagai gangguan fisiologis dari
suatu organism sebagai akibat dari infeksi atau tekanan dari lingkungan. Adanya
perbedaan

persepsi

inilah

yang sering

menimbulkan

masalah

dalam

melaksanakan program kesehatan sebab tidak merasa mengidap penyakit


(Sarwono, 1996).
Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana faktor internal dan eksternal
yang melatarbelakangi tigginya kasus HIV/AIDS di Kota Bukittinggi (data
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 21

penderita HIV/AIDS yang melakukan pengobatan di RSAM Kota Bukiittinggi).


Untuk memahami permasalahan tingginya kasus HIV/AIDS tersebut, peneliti
akan melakukan penggabungan antara teori yang dikemukakan oleh Blum dan
Green. Adapun faktor internal yang akan dilihat antara lain adalah latar
belakang, umur, pendidikan, pekerjaan, persepsi, pengetahuan, motivasi,
kebiasaan dan perilaku penderita. Sedangkan dari faktor eksternal antara lain
adalah, lingkungan pekerjaan, sosial budaya(nilai-nilai, tradisi, adat dsb).
Penelitian ini juga menjelaskan tentang upaya yang dilaksanakan dalam
penanggulangan HIV/AIDS dan apa saja kendalanya dalam pelaksanaan
program tersebut. Setelah itu penelitian ini juga akan menyusun alternatif
pengembangan strategi penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan pendekatan
sosial budaya.

22 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 23

III
METODOLOGI PENELITIAN

3. 1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tahun 2014 di Kota Bukittingi, Provinsi
Sumatera Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan bahwa
Kota Bukittingi adalah kota yang memiliki case rate AIDS paling tinggi di
Provinsi Sumatera Barat, yaitu sebesar 119,75. Di samping itu, di Kota
Bukittinggi juga terdapat salah satu rumah sakit layanan rujukan HIV/AIDS di
Provinsi Sumatera Barat, yaitu Rumah Sakit Achmad Mochtar (RSAM )
tepatnya di Klinik Serunai. Penderita HIV/AIDS yang melakukan pengobatan di
Klinik Serunai RSAM Bukittinggi tersebut tidak hanya berasal dari Kota
Bukittinggi, tetapi juga berasal dari kabupaten/kota di luar Kota Bukittinggi.
3.2. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang berbentuk deskriptifinterpretatif, yang menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna
yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari
masalah-masalah sosial. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya
penting,

mengajukan

pertanyaan-pertanyaan

dan

prosedur-prosedur,

mengumpulkan data yang spesifik dari partisipan, menganalisis data secara


induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema yang umum, dan
menafsirkan makna data. Bentuk penelitian kualititatif ini menerapkan cara
pandang penelitian yang bergaya induktif, berfokus makna individual, dan
menerjemahkan suatu persoalan (Cresswell, 2009).
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe
deskriptif,yang

mana

dalam

penelitian

inipeneliti

berupaya

untuk

mengumpulkan dan mencari data seluas-luasnya. Data yang dikumpulkan


24 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

berupa kata-kata, dan gambar(Moleong, 2001). Dengan demikian laporan


penelitian akan menjelaskan, memberikan gambaran dan berupaya untuk
mengungkapkan jawaban dari pertanyaan penelitian.

3.3. Teknik Pengumpulan Data


Data atau informasi yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, dokumen dari
Dinas Kesehatan dan instansi terkait, maupun sumber-sumber lain yang sesuai
dengan standar keilmiahan sumber data. Data-data tersebut berupa buku-buku,
laporan hasil-hasil penelitian yang relevan, jurnal/artikel hasil penelitian,
dokumen dari instansi terkait.
Pengumpulan data

primer dilakukan dengan wawancara mendalam

(indepth interview) kepada sejumlah informan

dengan menggunakan

panduan/pedoman wawancara, dan melakukan observasi.


Wawancara mendalam menurut Taylor (dalam Afrizal, 2008) dapat
dilaksanakan

berulang-ulang

antara

pewawancara

dengan

informan.

Pertanyaan berulang-ulang ini bertujuan untuk menanyakan hal-hal yang


berbeda atau mengklarifikasi informasi yang sudah didapat dalam wawancara
sebelumnya kepada informan yang sama. Dengan demikian, pengulangan
wawancara

yang

dilakukan

penelitibertujuan

untuk

mendalami

atau

mengkonfirmasi data, dan hal ini disebabkan wawancara dilakukan untuk


mendalami sebuah persoalan.
3.4. Informan Penelitian
Wawancara mendalam dilaksanakan dengan mewawancarai sejumlah
informan penelitian. Adapun yang dimaksud informan penelitian dalam hal ini
adalah orang-orang yang memberikan informasi baik tentang dirinya atau
orang lain, bahkan suatu kejadian atau peristiwa kepada peneliti. Informan ini
harus dipahami sebagai subyek penelitian, dan bukan dipahami sebagai obyek
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 25

atau orang-orang yang hanya memberikan respon terhadap sesuatu (hal-hal


yang berada di luar dirinya). Oleh sebab itulah dalam penelitian kualitatif
orang yang diwawancarai juga disebut sebagai subyek penelitian.
Adapun mekanisme yang digunakan peneliti untuk mendapatkan
informan penelitian adalah dengan mekanisme purposive, yaitu dengan cara
menetapkan kriteria-kriteria tertentu yang mesti dipenuhi oleh orang yang akan
dijadikan sumber informasi. Dalam penentuan kriteria ini yang terpenting
adalah kriteria yang ditentukan itu harus menjamin validitas data yang
dikumpulkan. Oleh sebab itu, dengan mekanisme ini, peneliti mengetahui
identitas orang-orang yang pantas menjadi informan penelitiannya (Afrizal,
2008).
Informan dalam penelitian ini terdiri dari kelompok masyarakat yaitu
para penderita HIV/AIDS dan kelompok berisiko (pendamping dan
penjangkau) yang berjumlah 10 orang. Selanjutnya informan yang berasal
instansi/lembaga terkait (Kepala/Kabid/Kasie/pemegang program di Dinas
Kesehatan Kota Bukittingi),KPA Bukittinggi, Pusat-pusat pelayanan kesehatan
(Rumah Sakit Ahmad Muchtar, Puskesmas/pemegang program HIV/AIDS),
Dinas Budaya dan Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Olah Raga, Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja, Kantor Pemberdayaan Perempuan KB,Satpol PP, praktisi
lapangan, organisasi sosial masyarakat sipil (LKAM danMUI), dll.Jumlah
informan dari kelompok ini adalah berdasarkan kecukupan informasi.
3.5. Pengolahan dan Analisis Data
Data Primer yang telah dikumpulkan dari lapangan sifatnya kualitatif,
maka pengolahan dan analisnya dilakukan secara manual oleh peneliti. Dalam
penelitian kualitatif analisis data merupakan kegiatan atau aktifitas yang
dilakukan peneliti secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung.
Hal ini dilakukan mulai dari pengumpulan data sampai

pada tahap penulisan

laporan. Oleh sebab itu, dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dan
26 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

analisis data dilakukan secara bersamaan. Selama proses penelitian peneliti bisa
secara terus menerus menganalisa datanya (Afrizal, 2008).
Proses analisis data dimulai dengan cara menelah seluruh data yang
tersedia

dari

berbagai

sumber,

yaitu

dari

wawancara

mendalam,

observasi/pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dan


dokumen resmi dari instansi terkait (Moleong,2001).
Miles dan Huberman(dalam Afrizal, 2008) membagi analisis data dalam
penelitian kualitatif secara umum ke dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah
tahap kodifikasi data yang merupakan tahap di mana dilakukan koding terhadap
data. Pada tahap pertama analisis data, peneliti menulis ulang catatan-catatan
lapangan yang sudah dibuat ketika wawancara mendalam dilakukan. Setelah
catatan

lapangan ditulis ulang secara

rapi,

kemudian peneliti membaca

keseluruhan cacatan untuk memilih informasi yang penting dan yang tidak
penting dengan cara memberikan tanda-tanda (kode). Setelah cacatan lapangan
telah penuh dengan tanda-tanda, dimana dengan tanda-tanda tersebut peneliti
dapat mengidentifikasi mana data yang penting dan mana yang tidak penting,
maka selanjutnya peneliti beralih kepada analisis data tahap kedua.
Tahap kedua

merupakan tahap lanjutan analisis, dimana peneliti

melakukan kategorisasi data atau pengelompokkan data ke dalam klasifikasiklasifikasi. Peneliti membuat kategori-kategori berdasarkan

kodifikasi data,

yang memilih data penting dan tidak penting pada tahap pertama.
Tahap ketiga adalah tahap lanjutan dimana pada tahap ini peneliti
mencari hubungan antara kategori-kategori yang telah dibuat sebelumnya. Miles
dan Huberman menganjurkan hubungan antara kategori-kategori tersebut
sebaiknya diilustrasikan dengan matrik-matrik atau diagram-diagram, bukan
dengan narasi.Ketiga langkah ini dilakukan atau diulangi terus setiap setelah
melakukan pengumpulan data dengan metode apapun. Ketiga langkah tersebut
dilakukan terus sampai penelitian berakhir. Jadi analisis data dalam penelitian
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 27

ini adalah proses kategorisasi data, menemukan pola/ tema dan mencari
hubungan dengan kategori yang telah ditemukan.
Sewaktu di lapangan juga dilakukan triangulasi untuk mengetahui dan
mencocokkan informasi dari berbagai instrumen dan sumber, karena instrumen
dalam penelitian adalah peneliti sendiri. Dalam pelaksanaan triangulasi atau
kroscek terhadap derajat kepercayaan data, peneliti juga melakukan kroscek data
dengan melakukan wawancara dengan beberapa informan penderita HIV/AIDS
dan SKPD terkait yang berasal dari luar Kota Bukittinggi. Hal ini didasarkan
kepada data asal penderita HIV/AIDS dari luar Kota Bukittinggi yaitu
Kabupaten Agam, Kabupaten 50 Kota, Kota Payakumbuh, Kabupaten Tanah
Datar, Kabupaten Pasaman Barat, Kota Solok dan Kota Padang Panjang,dll.
Selanjutnya untuk merumuskan pengembangan strategi penanggulangan
HIV/AIDS peneliti menggunakan analisis SWOT (Strenghs, Weaknesses,
Oppurtunities, dan Threats).

28 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 29

IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1. 1.Kondisi Geografis
Secara geografis, Kota Bukittinggi berada dalam lingkup Kabupaten
Agam, dan terletak pada posisi sentral dalam lingkup Provinsi Sumatera Barat
maupun antar provinsi terdekat. Letak geografis ini cukup strategis terhadap
lintasan regional, seperti lintasan dari Padang ke Medan, dan lintasan dari
Padang ke Pekanbaru. Kota Bukittinggi telah menjadi kota titik perlintasan dari
Jalur Lintas Tengah Sumatera serta jalur penghubung antara Jalur Lintas Tengah
dengan Jalur Lintas Timur Sumatera.
Luas Kota Bukittinggi adalah

25,239 Km2 (2.523,90 ha) atau

sekitar 0,06 % dari luas Propinsi Sumatera Barat. Wilayah administrasi Kota
Bukittinggi terdiri dari tiga kecamatan dan 24 kelurahan, yaitu:

Kecamatan Guguk Panjang dengan luas areal 6,831 km2 (683,10 ha) atau 27,06 % dari total
luas Kota Bukittinggi yang meliputi 7 kelurahan.

Kecamatan Mandiangin Koto Selayan dengan luas areal 12,156 km2 (1.215,60 ha) atau 48
% dari total luas Kota Bukittinggi yang meliputi 9 kelurahan.

Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh dengan luas areal 6,252 km 2 (625,20 ha) atau 24,77%
dari total luas Kota Bukittinggi yang meliputi 8 kelurahan.

Topografi Kota Bukittinggi berbukit dan berlembah, dan terbentang


sebuah lembah canyon yang khas dan diberi nama Ngarai Sianok. Ngarai ini
merupakan identitas geologis Kota Bukittinggi. Kota Bukittinggi memiliki iklim
pegunungan yang sejuk dengan temperatur udara berkisar antara 16,10 - 24,90C,
kelembaban udara antara 82,0 -90,8% dan tekanan udara antara 220C - 250C,
serta curah hujan rata-rata antara 136,4 mm/tahun.
Bukittinggi dengan dataran yang tinggi dan bergelombang serta
mempunyai udara yang sejuk berpeluang untuk menarik kunjungan wisata ke
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

29

Bukittinggi dengan memanfaatkan kondisi geografis kota. Oleh karena itu dalam
lingkup Kabupaten Agam, Kota Bukittinggi menjadi orientasi pelayanan utama
perdagangan, dan pariwisata.
4.1.2.KEADAAN PENDUDUK
Jumlah penduduk Kota Bukittinggi pada tahun berdasarkan data BPS
Kota Bukittinggi tahun 2013 tercatat sebesar 114.415 jiwa/km2 dengan tingkat
kepadatan 4.533 jiwa per km2. Kepadatan penduduk Kota Bukittinggi tidak
merata, yang mana kepadatan penduduk tertinggi adalah di Kecamatan Guguk
Panjang dengan kepadatan penduduk 6.240 jiwa/km2, diikuti Kecamatan Aur
Birugo Tigo Baleh sebanyak 4.070 jiwa/km2 dan Kecamatan Mandiangin Koto
Selayan sebanyak 3.812 jiwa/km2.
Penduduk sebagai determinan pembangunan harus mendapat perhatian
yang serius. Program pembangunan, termasuk pembangunan di bidang
kesehatan, harus didasarkan pada dinamika kependudukan. Upaya pembangunan
di bidang kesehatan tercermin

dalam program kesehatan melalui upaya

promotif, preventif, kuratif maupun

rehabilitatif. Untuk mendukung upaya

tersebut diperlukan ketersediaan data mengenai penduduk sebagai sasaran


program pembangunan kesehatan.
Penduduk sasaran program pembangunan kesehatan sangatlah beragam,
sesuai dengan karakteristik kelompok umur tertentu atau didasarkan pada
kondisi siklus kehidupan yang terjadi.

Beberapa upaya program kesehatan

memiliki sasaran ibu hamil, ibu melahirkan, dan ibu nifas. Beberapa program
lainnya dengan penduduk sasaran terfokus pada kelompok umur tertentu,
meliputi: bayi, batita (bawah tiga tahun), balita (bawah lima tahun), anak balita,
anak usia sekolah SD, wanita usia subur, penduduk produktif, usia lanjut dan
lain-lain.

30

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

4.1.3. Kondisi Ekonomi

Kondisi perekonomian Kota Bukittinggi pada tiga tahun terakhir relatif


stabil dan menunjukan perkembangan yang cukup memuaskan. Pada tahun 2012
jumlah penduduk miskin (berdasarkan Bidang Promosi dan Sumber Daya
Kesehatan) tercatat sebesar 31.090 jiwa atau 27.2% dari penduduk, dimana
sebesar 12.964 jiwa pelayanan kesehatannya di fasilitasi oleh Pemerintah Kota
Bukittinggi melalui Jamkesda dan selebihnya melalui Jamkesmas.
Peningkatan produktifitas ekonomi Kota Bukittinggi didominasi dari
sektor perdagangan dan wisata. Peningkatan ekonomi telah mendorong
berkembangnya taraf kehidupan masyarakat secara makro. Meningkatnya
aktifitas ekonomi menyebabkan peningkatan usaha kecil dan menengah di
sektor kerajinan dan industri kecil serta mengalami

kemudahan dalam

pengadaan bahan baku dan pemasaran hasil-hasilnya.


4.1.4. Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota Bukittinggi


adalah Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), Puskesmas Pembantu (Pustu)
dan Puskesmas Keliling (Puskel). Pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa jumlah
Puskesmas di kota Bukittinggi sejak tahun 2010 adalah sebanyak 7 Puskesmas,
yaitu dengan penambahan Puskesmas Plus Mandiangin, disamping Puskesmas
Guguk Panjang, Puskesmas Perkotaan Rasimah Ahmad, Puskesmas Tigo Baleh,
Puskesmas Mandiangin, Puskesmas Nilam sari dan Puskesmas Gulai Bancah.
Tabel 4.1. Distribusi Sarana Pelayanan Kesehatan Kota Bukittinggi 2013
Pemilikan/Pengelolaan
Fasilitas Kesehatan
Pem. Pem. Pem.
TNI Swasta Jumlah
Pusat Prov Kota
Rumah Sakit Umum
Rumah Sakit Jiwa
RS. Bersalin
RS. Khusus
Puskesmas
Pusk. Pembantu

0
0
0
1
0
0

1
0
0
0
0
0

0
0
0
0
7
14

1
0
0
0
0
0

2
0
0
1
0
0

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

4
0
0
2
7
14

31

Pusk. Keliling
0
0
17
0
Posyandu
0
0
0
0
Poskeskel
0
0
0
0
Rumah Bersalin
0
0
0
0
Balai Pengobatan/Klinik
0
0
0
0
Apotek
2
1
0
1
Toko Obat
0
0
0
0
IFK
0
0
1
0
Industri Obat Tradisonal
0
0
0
0
Praktek Dokter Bersama
0
0
0
0
Praktek Dokter
0
0
0
0
Perorangan
Jumlah
3
2
39
2
Sumber : Profil Kesehatan Kota Bukittinggi Tahun 2013

0
131
24
4
1
44
13
0
0
0

17
131
24
4
1
48
13
1
0
0

206

206

426

472

Rumah Sakit merupakan pelayanan kesehatan pada masyarakat yang


bergerak dalam kegiatan kuratif dan rehabilitatif. Rumah sakit juga berfungsi
sebagai sarana pelayanan kesehatan rujukan. Di Kota Bukittinggi terdapat
enam (6) Rumah Sakit milik pemerintah dan swasta yaitu sebagai berikut :
-

Rumah Sakit Achmad Muchtar (RSAM),milik Pemerintah

Rumah Sakit Stroke Nasional (RSSN), milik Pemerintah

Rumah Sakit Tentara, Milik TNI

Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Yarsi, Milik Swasta

Rumah Sakit Madina, Milik Swasta

Rumah Sakit Khusus THT Sitawa Sidingin, milik swasta

4.2. Gambaran Kondisi Perkembangan Kasus HIV/AIDS di Kota Bukittinggi

Berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi bahwa


kumulatif penemuan kasus HIV/AIDS dari tahun 2007 s/d 2013 adalah
sebanyak 297 kasus. Jika dibandingkan dari penemuan kasus sejak tahun 2007
tampaknya terjadi peningkatan kasus yang cukup tajam, yaitu 12 kasus pada
tahun 2007 menjadi 297 pada tahun 2013 seperti terlihat pada grafik 4.1 di
bawah ini.

32

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Grafik 4.1. Kumulatif penemuan kasus HIV positif tahun 2007 2013 di
Kota
Bukittinggi
Sumber: Dinkes Kota Bukittinggi (2013)
Selanjutnya berdasarkan data dari RSAM Bukittinggi bahwa kasus
HIV/AIDS tahun 2012-2014 (Agustus 2014) adalah sebanyak 145 kasus baru,
61 meninggal dan 27 kasus yang loss kontak (grafik 4.2). Jika dilihat dari
perkembangan kasus baru HIV/AIDS sejak tahun 2012 sampai dengan 2014
(Agustus 2014), tampak bahwa selama perkembangan 2 (dua) setengah tahun
telah terjadi peningkatan yang cukup tajam, yaitu dari 33 kasus tahun 2012
meningkat menjadi 40 tahun 2013, dan semakin meningkat terus pada Agustus
2014 (72 kasus), seperti terlihat pada grafik 4.3. Jika dilihat dari perkembangan
kasus baru sampai bulan Bulau Agustus 2014 yaitu 72 kasus, maka dari data
tersebut bisa diperkirakan akan terjadi peningkatan terus sampai dengan Bulan
Desember 2014, dan bahkan diramalkan pada akhir Desember tahun 2014 bisa
mencapai kurang lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya (tahun 2013
sebanyak 40 kasus).
Perkembangan kasus yang loss kontak juga menunjukkan peningkatan,
yaitu dari tahun 2012 sebanyak 3 kasus meningkat menjadi 5 kasus (tahun
2013), dan mengalami peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2014, yaitu
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

33

sebanyak 19 kasus (grafik 4.3). Kondisi cukup besarnya kasus yang loss kontak
ini ada kaitannya dengan kurangnya kepatuhan penderita dalam melakukan
pengobatan dan adanya stigma negatif serta diskriminasi terhadap penderita
HIV/AIDS.

Grafik 4.2. Kumulatif Kasus HIV/AIDS di RSAM Bukittinggi


tahun 2012-2014
Sumber : RSAM Bukittinggi

Grafik 4.3 Perkembangan Jumlah Kasus HIV/AIDS


di RSAM Bukittinggi Tahun 2012-2014
Sumber : RSAM Bukittinggi

34

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa data penderita HIV/AIDS


yang melakukan pengobatan di Poliklinik Serunai RSAM Bukittinggi tidak
hanya berasal dari warga Kota Bukittinggi saja, tetapi mereka juga berasal dari
beberapa kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat, dan bahkan yang berasal
dari luar Kota Bukittinggi kasusnya relatif cukup banyak. Hal ini disebabkan
karena Poliklinik Serunai RSAM Bukitinggi merupakan salah satu rumah sakit
rujukan HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Barat. Jika dilihat dari persentase
kasus HIV/AIDS tahun 2012-2014 berdasarkan daerah asal penderita, maka
persentase HIV/AIDS terbanyak

adalah berasal dari Bukittinggi (sebanyak

24,14%), dan diikuti daerah asal Payakumbuh (17,93%), Kabupaten Agam


(16,55%), Kabupaten 50 Kota (13,1%), Batusangkar (6,89%) serta Kabupaten
Tanah Datar sebanyak 6,89%, seperti terlihat pada grafik 4.4.
Pada grafik 4.4 juga dapat dilihat bahwa Payakumbuh menempati urutan
kedua

terbanyak

dari persentase penderita HIV/AIDS yang melakukan

pengobatan di RSAM Bukittinggi, yaitu sebanyak 17,93%. Setelah dilakukan


kroscek data dengan Dinas Kesehatan Kota Payakumbuh, informan menyatakan
bahwa data kumulatif HIV/AIDS (dari tahun 2004 s/d tahun 2014) di Kota
Payakumbuh adalah sebanyak 44 kasus. Perkembangan kasus HIV/AIDS ini
mengalami peningkatan setiap tahun, dan hal ini bisa dilihat dari data kumulatif
HIV/AIDS tahun 2011 yang sebanyak 24 kasus menjadi meningkat tahun 2012
yaitu sebanyak 28 kasus, dan terus mengalami peningkatan menjadi 38 kasus
tahun 2013 dan 44 kasus tahun 2014.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

35

Grafik 4.4. Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Daerah Asal


tahun 2012-2014
Sumber :
RSAM Bukittinggi dan data diolah
Pada grafik 4.4 di atas

juga tampak bahwa persentase penderita

HIV/AIDS yang berasal dari Kabupaten Agam relatif cukup banyak yaitu
sekitar 16,55%. Berkaitan dengan hal ini, telah dilakukan koscek data ke Dinas
Kesehatan Agam, dan berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa memang
sebagian penderita HIV/AIDS di Bukittinggi adalah merupakan warga dari
Kabupaten Agam, khususnya dari Agam Timur. Sebagian besar penderita
cenderung melakukan aktifitas di wilayah Kota Bukittinggi. Penularan
HIV/AIDS juga dianggap ada kaitannnya dengan Kota Bukittinggi sebagai
Kota Pariwisata. Adapun jumlah kasus HIV/AIDS yang terdapat di Kabupaten
Agam sampai dengan tahun 2013 adalah 65 kasus. Sebagian besar penderita
melakukan pengobatan di RSAM Bukittinggi, sedangkan sebagian lainnya
melakukan pengobatan di RSUP M. Jamil Padang.

36

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Pada grafik 4.4 juga terlihat bahwa sebagian penderita HIV/AIDS yang
melakukan pengobatan di RSAM Bukitinggi adalah berasal dari Kabupaten 50
Kota, yaitu sebesar 13,1%. Terkait dengan hal ini, pihak Dinas Kesehatan
Kabupaten 50 Kota menyatakan bahwa penderita HIV/AIDS yang berasal dari
warga Kabupaten 50 Kota memang

melakukan pengobatan di RSAM

Bukittinggi. Pada saat ini kegiatan pelayanan VCT HIV/AIDS belum ada di
wilayah kerja Puskesmas Kabupaten 50 Kota. Sedangkan Puskesmas yang
sudah melakukan pelayanan skrining tes HIV/AIDS adalah Puskesmas Guguk,
dan untuk pengobatan lebih lanjut dirujuk ke Rumah Sakit Achmad Mochtar
(RSAM).
Selanjutnya penderita HIV/AIDS juga berasal dari Kabupaten Tanah
Datar dan Kota Batusangkar dengan masing-masing sebesar 6,89% (grafik
4.4). Berkaitan dengan penderita HIV/AIDS yang berasal dari

Kabupaten

Tanah Datar ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Tanah Datar menginformasikan


bahwa kumulatif penderita HIV di Kabupaten Tanah Datar makin bertambah,
yaitu dari 28 kasus pada Bulan Desember tahun 2013 menjadi sebanyak 31
kasus pada Bulan Juni 2014. Sebagian besar penderita tersebut melakukan
pengobatan di RSAM

Bukittinggi. Kondisi penderita HIV/AIDS yang

menjalankan pengobatan di RSAM Bukittinggi saat ini cukup baik. Untuk


mendapatkan kondisi daya tahan tubuh yang baik, seorang penderita HIV/AIDS
tentunya harus teratur minum obat ARV setiap hari, dan obat ini harus mereka
ambil langsung ke RSAM Bukittinggi.
Berkaitan dengan asal penderita HIV/AIDS dari Kabupaten Pasaman
Barat yang melakukan pengobatan di RSAM Kota Bukittinggi, pihak Dinas
Kesehatan Kabupaten Pasaman Barat menyatakan bahwa jumlah kumulatif
kasus HIV/AIDS dari tahun 2010 - 2013 adalah sebanyak 15 orang. Sebagian
penderita HIV/AIDS

melakukan pengobatan di di RSAM Bukittinggi dan

sebagian lagi melakukan pengobatan di RSU Jamil Padang. Fasilitas pelayanan


BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

37

kesehatan yang terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS masih terbatas, yang


mana baru satu Puskesmas yang memiliki fasilitas LKB (Layanan Komprehensif
Bersama), yaitu di Puskesmas Sungai Aur. Tenaga konselor yang tersedia
adalah sebanyak 4 orang.
Kemudian penderita yang melakukan pengobatan HIV/AIDS di RSAM
Kota Bukittinggi juga berasal dari Solok, dan untuk tahun 2013 jumlah
kumulatif HIV/AIDS di Kota Solok sudah mencapai 20 kasus. Sebagian dari
mereka melakukan pengobatan di RSAM Bukittinggi dan sebagian lagi di
RSUD Solok dan di RSUP M. Jamil Padang.
Jika ditinjau dari faktor risiko penularan, pada grafik 4.5 tampak bahwa
perilaku seks bebas khususnya pada kelompok homoseksual saat ini (tahun
2014) dianggap merupakan sebagai

faktor

risiko terbanyak yang

melatarbelakangi tingginya kasus penyebaran HIV/AIDS, yaitu sebanyak


32,43%,

dan

diikuti

resiko

penularan

dari

heteroseksual

(25,6%).

Kecenderungan risiko penularan ini tampaknya menunjukkan pergeseran, yang


mana sebelumnya (tahun 2013) resiko penularan terbesar adalah dari
heteroseksual (35,5%), dan IDU serta pasangan risti (masing-masing 22,5%).
Sedangkan resiko penularan dari homo seksual pada tahun 2013 masih sebesar
12,5%, seperti terlihat pada grafik 4.6. Pada hal kecenderungan resiko penularan
sebelumnya (lebih kurang 3 tahun terakhir) masih didominasi oleh pemakaian
narkoba jarum suntik (IDU).

38

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Grafik 4.5 Persentase Kasus HIV/AIDS

Berdasarkan Faktor

risiko tahun 2014


Sumber :

RSAM Bukittinggi dan data diolah

Grafik 4.6 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Faktor risiko


tahun 2013
Sumber : RSAM Bukittinggi dan data diolah
Terkait dengan faktor risiko penularan, penderita HIV/AIDS yang
berasal dari luar Bukittinggi (Kota Payakumbuh, Kabupaten Agam, Kabupaten
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

39

50 dan Pasaman Barat, Kota Batusangkar dan Kota Solok) juga mengalami hal
yang tidak jauh berbeda. Pada umumnya faktor risiko penularan adalah berasal
dari perilaku menyimpang, dan hampir sebagian besar dilakukan pada saat
mereka di rantau (Jakata, Batam, Pekanbaru,dll), seperti homoseksual,
heteroseksual dan narkotika dengan jarum suntik yang bergantian. Mereka yang
terpengaruh oleh gaya hidup/perilaku bebas di rantau cenderung mengakibatkan
tertularnya penyakit HIV/AIDS.

Bahkan, ada sebagian dari mereka yang

sengaja pulang kampung karena setelah diperiksa di Jakarta sudah positif


HIV/AIDS. Latar belakang pekerjaan dari penderita HIV/AIDS tersebut antara
lain

adalah

wiraswasta/usaha,

sopir

Padang-Jakarta,

Padang-Pekanbaru

pedagang Padang Jakarta, pegawai hotel/bar, penjaja seks, kuli bangunan


(buruh), dll.
Menyikapi resiko penularan terkait dengan perilaku seks bebas tersebut,
maka perlu untuk ditingkatkan pemahaman tentang HIV/AIDS dan upaya
pencegahannya melalui peningkatan penyuluhan/sosialisasi kepada masyarakat,
dan meningkatkan penjangkauan terhadap kelompok yang berisiko tinggi
terhadap penularan HIV/AIDS.
4.3.

FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI TINGGINYA KASUS


HIV/AIDS

4.3.1. Karakteristik Penderita HIV/AIDS


Jika ditinjau dari latar belakang karakteristik kumulatif penderita HIV/AIDS dari tahun
2007-2013, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar penderita adalah dengan jenis kelamin
laki-laki, yaitu sebesar 82,07%. Sedangkan mereka yang berjenis kelamin perempuan
cenderung lebih sedikit, yaitu sebesar 17,97% (Grafik 4.7). Hal ini tampaknya tak lepas dari
pengaruh pengalaman masa lalu dan perilaku perilaku menyimpang seperti seks bebas dan
narkoba yang pernah dan cenderung dilakukan oleh penderita yang berjenis kelamin laki-laki.

40

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Grafik 4.7. Persentase Kumulatif HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin


Tahun 2007-2013
Sumber :
Dinas Kesehatan dan data
Grafik

4.8

menunjukkan bahwa persentase kumulatif HIV/AIDS

(2007-2013) yang berasal dari kelompok umur 25-49 tahun cenderung lebih
besar yaitu sebesar 58%,15 laki-laki dan 55,93% perempuan. Dalam hal ini
persentase kelompok umur laki-laki dan perempuan yang mengalami HIV/AIDS
menunjukkan tidak banyak perbedaan. Selanjutnya penderita yang berasal dari
kelompok umur 20-24 tahun juga cukup banyak yaitu sebesar 34,07% dari jenis
laki-laki dan 35,59 % dari jenis perempuan. Dari data ini tampak kecenderungan
penularan terjadi pada kelompok usia produktif, dan bahkan dari kelompok usia
remaja persentasenya juga cukup besar.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

41

Grafik 4.8 : Persentase Kumulatif HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin


dan Umur Tahun 2007-2013
Sumber : Dinas Kesehatan dan data diolah
4.3.2. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku yang Berisiko Terhadap HI/AIDS

Setiap individu di manapun berada tentunya menginginkan bahwa


mereka dan keluarganya dilindungi kesehatannya dan terhindar dari berbagai
penyakit. Selanjutnya kita juga memahami bahwa tidak ada seorang pun di
dunia ini yang secara sengaja ingin mengalami penyakit tertentu, apalagi
penyakit HIV/AIDS. Mereka yang sekarang menderita HIV/AIDS mungkin atau
tidak pernah membayangkan bahwa perilaku yang mereka lakukan sebelumnya
telah mengakibatkan kenyataan yang tidak terduga yaitu penyakit HIV/AIDS.
Orang dengan HIV positif sering terlihat sehat dan merasa sehat sebelum
melakukan tes darah. Apabila sudah melakukan tes HIV barulah seseorang
mengetahui dan menyadari bahwa dirinya tertular HIV. Tes HIV merupakan
satu-satunya untuk mendapatkan kepastian tertular HIV atau tidak. Pelayanan
tes darah ini telah disediakan oleh pemerintah di rumah sakit atau puskesmas
dengan tidak dipungut bayaran.

42

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa penderita HIV/AIDS


bahwa sebagian besar

informan

(penderita HIV/AIDS) mengakui belum

memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS secara benar, sehingga hal inilah yang
menyebabkan mereka tidak menyadari perilaku yang pernah dilakukan sebelum
mereka divonis HIV/AIDS turut berperan membuat rentannya terinfeksi
HIV/AIDS. Mereka sebelumnya hanya mengetahui bahwa penyakit HIV/AIDS
adalah penyakit yang menjijikan dan mematikan, dan kurang mengetahui
tentang penyebab atau risiko penularan dari penyakit tersebut. Seperti yang
diungkapkan informan bahwa awalnya dia pergi berobat ke dokter adalah karena
mengalami gejala mencret dan batuk-batuk terus. Selanjutnya informan juga
mengakui dia mempunyai riwayat penyakit penderita Tuberkulosis (TB) dan
toksoplasma.

Mengingat

kondisinya

yang

demikian

dokter

kemudian

menyarankan untuk melakukan pemeriksaan darah, dan ternyata dia dinyatakan


mengidap virus HIV. Hal ini tentunya tidak pernah dibayangkan sebelumnya,
dan dari dokter dia diberikan penjelasan terkait HIV/AIDS dan resiko penularan
HIV/AIDS.
Pengalaman hidup dan perilaku yang dilakukan informan masa lalu
(sejak tahun 2000) ternyata membuat dia terinfeksi HIV/AIDS (pada tahun
2007). Informan mengakui bahwa dia pernah melakukan hubungan seksual
dengan beberapa wanita, dan awalnya hanya diajak teman (pada waktu masih
sekolah SMA) yang akhirnya sampai melakukan seks bebas tersebut berkali-kali
(termasuk dengan PSK). Di samping itu dia juga termasuk pengguna narkoba
jarum suntik (putaw) yang diperoleh dari perantau Minang yang berdomisili di
Jakarta. Mengingat harga putaw yang relatif mahal, maka dia cenderung
membeli putaw tersebut dengan cara patungan bersama teman-temannya, dan
menggunakannya melalui jarum suntik yang berganti-ganti. Dengan kondisi
latarbelakang yang belum memiliki pengetahuan tentang pencegahan dan
penularan HIV/AIDS, dan mempunyai pengalaman masa lalu dengan perilaku
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

43

yang berisiko tersebut telah menyebabkan informan tertular

penyakit

HIV/AIDS. Namun informan masih bersyukur bahwa istri dan anak-anaknya


tidak tertular penyakit tersebut.
Perilaku yang menyebabkan mereka terinfeksi HIV tersebut di dalam
dunia medis disebut dengan istilah perilaku berisiko tinggi (high risk behavior).
Perilaku berisiko tinggi adalah segala perilaku seksual dan non seksual yang
menimbulkan

risiko

dan

memungkinkan

terjadinya

penularan/infeksi

HIV/AIDS. Risiko terkena atau tertular HIV adalah sebagai situasi yang diambil
yang dapat membahayakan kesehatan seseorang tanpa diketahui. Seseorang
dikatakan berisiko HIV jika orang tersebut berada pada suatu kesempatan untuk
terkena virus karena perilakunya, baik seksual maupun non seksual. HIV
merupakan virus yang rentan menginfeksi orang-orang dengan perilaku berisiko,
khususnya perilaku yang cenderung menyebabkan terjadinya kontak cairan
tubuh tertentu seperti darah, air mani dan cairan vagina. Faktor ketidakpedulian
sesorang dan kurang/tidak adanya pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS
juga berperan membuat rentannya individu terinfeksi HIV/AIDS. Selanjutnya
juga ada faktor biologis, budaya, ekonomis dan psikologis yang membuat orang
berisiko tertular HIV (Sulistiawati, 2013).
Hasil wawancara dengan beberapa ODHA dari ibu rumah tangga
(tertular dari suami) diketahui bahwa mereka juga belum memiliki pengetahuan
dan penularan HIV/AIDS secara medis. Mereka sangat kaget ketika suaminya
dinyatakan positif HIV/AIDS, dan tak lama kemudian informan juga dinyatakan
terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya yang pernah melakukan perilaku berisiko
tinggi terhadap HIV/AIDS (pengguna narkoba jarum suntik). Hal ini tentu tak
pernah dia bayangkan sebelumnya akan mendapatkan penyakit tersebut dari
suaminya, dan akhirnya juga menularkan kepada anaknya. Selanjutnya informan
lainnya juga menyatakan bahwa suaminya sudah meninggal akibat tertularnya
penyakit HIV/AIDS tersebut beberapa tahun yang lalu. Sebagai istri dia merasa
44

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

tidak pernah melakukan perilaku yang berisiko, tetapi dengan kondisi sebagai
ODHA dia tidak memiliki pilihan selain harus hidup dengan virus di tubuhnya
hingga batas waktu yang tidak menentu. Meskipun demikian, informan
menyatakan harus bisa menerima cobaan hidup yang paling berat ini dengan
iklas dengan tetap semangat serta tidak lupa menjalankan perawatan (minum
obat) secara teratur.
Menyikapi kasus HIV/AIDS yang terjadi pada ibu rumah tangga di atas,
tampak bahwa perlakuan terhadap perempuan yang tidak sama dengan laki-laki
dalam berbagai hal juga turut memberikan sumbangan pada tingginya kasus
HIV/AIDS pada ibu rumah tangga. Adanya anggapan bahwa dunia perempuan
adalah dapur, sumur atau dunia rumah tangga dapat menghambat akses terhadap
informasi termasuk informasi tentang HIV/AIDS. Kekurangan informasi ini
mengakibatkan banyak sekali perempuan yang tersentak kaget setelah suami
mereka sakit dan kesehatannya menurun drastis kemudian dibawa ke rumah
sakit lalu meninggal. Kemudian mereka diminta tes bersama dengan anak-anak
mereka dengan hasil semuanya positif HIV. Dalam kondisi ini perempuan tidak
tahu harus berbuat apa ketika baru saja ditinggal mati suami, kemudian baru
menyadari bahwa dirinya dan anak-anaknya yang sama-sama masih terlihat
sehat ternyata terinfeksi HIV (Faqih dkk, 2013).
Informan lainnya juga menyatakan bahwa dia mulai memiliki
pengetahuan tentang HIV/AIDS berdasarkan pengalaman suaminya yang
dinyatakan posistif HIV/AIDS, tetapi dia

belum mendapatkan pengetahuan

tersebut secara benar dan langsung dari sumber yang terpercaya (dokter/tenaga
kesehatan). Suaminya pernah dirawat di rumah sakit dan dinyatakan mengidap
penyakit HIV/AIDS pada tahun 2009. Adapun gejala yang dialami suaminya
pada waktu di bawa ke rumah sakit tersebut adalah sakit kepala yang sangat
hebat dan ada virus toksoplasma. Kemudian dokter menganjurkan untuk
melakukan pemeriksaan darah, dan hasil pemeriksaan tersebut dinyatakan
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

45

bahwa suaminya divonis terinfeksi virus HIV. Informan kemudian baru


mengetahui bahwa salah satu penyebab penularan virus HIV adalah melalui
penggunaan narkoba jarum suntik yang berganti-ganti.
Berdasarkan pengalaman dan perilaku suaminya yang berisiko terhadap
penularan HIV/AIDS, maka ketika informan mengalami gejala mata merah,
lidah menjamur, bibir penuh dengan sariawan, tubuh tidak bisa berdiri (tahun
2000), dan ditambah dia juga pernah menggunakan narkoba jenis putaw, maka
dia langsung memeriksakan kesehatannya ke Klinik Serunai di Rumah sakit
Achmad Mochtar. Dari hasil pemeriksaan darah ternyata dia juga dinyatakan
mengidap virus yang mematikan tersebut.
Informasi dan pengetahuan tentang pencegahan dan penularan
HIV/AIDS yang lebih lengkap kemudian informan dapatkan langsung dari
tenaga kesehatan (konselor) dan dari anggota Komisi Penanggunglangan
HIV/AIDS Kota Bukittinggi.

Lebih lanjut disampaikan bahwa penularan

HIV/AIDS tidak hanya disebabkan oleh suaminya yang mengidap penyakit


tersebut, namun penularan penyakit juga makin diperparah oleh kondisi
informan sebagai mantan pengguna putaw yang pernah menggunakan jarum
suntik berganti-ganti. Kenyataan ini makin diperburuk bahwa anaknya juga
dinyatakan pengidap HIV/AIDS.
Sementara itu, pada kasus lain adanya kebiasaan untuk melakukan
aktifitas dan tidur bersama di kalangan kelompok (komunitas) tertentu dan
kurangnya pengetahuan

mereka tentang orientasi seksual homo telah

memungkinkan munculnya peluang melakukan seks bebas, dan hal ini lama
kelamaan memperkuat orientasi seksual homonya. Peluang melakukan seks
bebas antara lelaki dengan lelaki atau lelaki seks dengan lelaki (LSL) ini
semakin besar risikonya terhadap HIV/AIDS.

Dalam hal ini informan

mengungkapkan bahwa pada awalnya dia tidak pernah berpikir bisa berperilaku
seksual dengan lelaki. Namun karena adanya kebiasaan sering pergi dan tidur
46

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

bersama dengan sesama teman lelaki menyebabkan dia tertarik dengan sesama
jenis dan sampai melakukan perilaku seks bebas yang berisiko terhadap
penularan HiV/AIDS. Adapun tempat yang cenderung digunakan kelompok ini
adalah tempat-tempat kos, sedangkan tempat yang biasa dimanfaatkan untuk
berkumpul dan bertukar informasi adalah kafe-kafe atau tempat hiburan.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya pada grafik 4.6 bahwa perilaku
seks bebas

khususnya pada kelompok homoseksual saat ini

dianggap sebagai

faktor

(tahun 2014)

risiko terbanyak yang melatarbelakangi tingginya

kasus penyebaran HIV/AIDS, yaitu sebanyak

32,43%, dan diikuti

risiko

penularan dari heteroseksual (25,6%).


Perilaku seksual dari kelompok homoseksual yang berganti-ganti
pasangan menjadi pemicu penularan HIV/AIDS dikalangan LSL (Lelaki Seks
Lelaki), dan hal ini dapat berdampak pula pada perluasan penularan HIV/AIDS
kepada orang lain yaitu melalui hubungan seksual dengan LSL yang
terindikasikan telah terkena virus HIV. Hal ini seperti yang diungkapkan
informan bahwa sebagian besar penderita yang dinyatakan posistif mempunyai
latar belakang adalah dari kelompok homo seksual atau LSL. Di samping itu
juga ada yang biseksual (hubungan seks dengan lelaki dan perempuan).
Berdasarkan hasil konseling dengan pasien yang berasal dari kelompok
gay/homo/ LSL,

informan

dari petugas kesehatan mengemukakan bahwa

tampaknya para gay tersebut juga mengalami kesulitan untuk menghindari


perilaku yang sudah menjadi kebiasaan tersebut. Kasus ketergantungan ini bisa
diilustrasikan sama halnya dengan yang dialami oleh pasien narkoba.
Tampaknya mereka sangat sulit keluar dari hal tersebut, dan bahkan salah
seorang pasien gay pernah mengungkapkan bahwa dia sudah pernah melakukan
hubungan seksual sejenis dengan puluhan orang. Mereka ini biasanya
mempunyai pasangan yang berganti-ganti atau hubungan mereka cenderung
tidak bertahan lama.

Akibat dari perilaku yang mereka lakukan tersebut

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

47

cenderung menyebabkan terjadinya perlukaan atau perdarahan, dan hal inilah


yang berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS.

Perilaku menyimpang

seperti seks bebas tersebut menurut informan bahkan juga ada yang dilakukan
oleh mahasiswa dari perguruan tinggi yang berlatar belakang agama, dan
kondisi ini tentunya perlu menjadi perhatian yang serius.
Adapun yang dimaksudkan dengan gay

adalah laki-laki yang

berorientasi seksual (ketertarikan seksual) pada sesama lelaki. Perempuan yang


mempunyai orientasi sejenis disebut lesbian. Istilah gay mengacu pada orientasi
seksual, bukan identitas seksual. Sementara itu, waria atau wanita pria adalah
sebutan bagi laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan. Istilah ini terkait
dengan

identitas

seksual,

bukan

orientasi

seksual.

Pada

perempuan,

kecenderungan seperti ini disebut tomboy. Karena ia identitas seksual, maka


orientasi seksualnya bisa heteroseksual (tetap memiliki ketertarikan sesksual
pada lawan jenis saja) dan bisa juga homoseksual atau memiliki ketertarikan
seksual dengan pada sejenis saja (Fakih dkk, 2013).
Perilakus seks bebas yang heteroseksual cenderung dilakukan dengan
wanita penghibur (PSK),

dan biasanya dilaksanakan di tempat-tempat

penginapan/hotel serta di tempat-tempat peristirahatan.

Mereka yang

mempunyai pekerjaan sebagai sopir yang rutenya relatif jauh seperti Jakarta,
Sumatera Utara dan Riau dianggap lebih berisiko terhadap perilaku seks bebas
yang berganti-ganti pasangan dan beresiko terhadap penularan HIV/AIDS.
Perilaku/gaya hidup dari pengguna narkoba pada 3 tahun yang lalu
masih dianggap sebagai faktor risiko terbesar yang melatarbelakangi tingginya
kasus HIV/AIDS. Perilaku mereka pada awalnya dilatarbelakangi oleh tindakan
coba-coba dan diajak teman (awalnya cenderung diberikan secara gratis).
Berawal dari coba-coba akhirnya menjadi ketergantungan terhadap barang
haram tersebut. Pengguna narkoba jarum suntik (putaw) cenderung memiliki
gaya hidup yang hanya mencari kesenangan, biasanya dilakukan secara
48

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

bersama-sama

dengan

kelompok

mereka

sesama

pengguna

dengan

menggunakan jarum suntik bersama-sama atau secara bergantian. Penggunaan


narkoba yang secara bersama-sama dengan menggunakan jarum suntik secara
bergantian ini dilakukan dengan alasan pertimbangan

harga narkoba jenis

putaw tersebut tergolong relatif mahal, sehingga mereka cenderung membelinya


secara patungan dan menggunakan bersama-sama. Narkoba jenis putaw tersebut
cenderung diperoleh dari teman mereka (perantau Minang) di Jakarta.
Frekwensi penggunaan narkoba pada saat itu menurut informan bisa dilakukan
setiap hari. Bahkan perilaku buruk seperti menjual barang-barang ketika
informan tidak mempunyai uang dan harus membeli putaw cukup sering
dilakukan.

Penggunaan narkoba dengan jarum suntik tersebut menurut

informan bisa memberikan suatu hal menyenangkan, di mana dia merasakan


kenikmatan karena pikirannya menjadi tenang dan segala persoalan yang
dihadapinya menjadi hilang. Kondisi yang menyenangkan itu bisa berlangsung
selama hampir 6 jam. Jika penggunaan narkoba tersebut terhenti, maka
dampaknya sangat besar terhadap keadaan fisik, yang mana seluruh badan terasa
sangat sakit sekali. Upaya untuk melepaskan diri dari barang haram tersebut
memang butuh perjuangan yang luar biasa, apalagi mengingat narkoba dengan
jarum suntik adalah berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS.
Terkait dengan penyalahgunaan narkoba tersebut, Kristanti menyatakan
(dalam Lestary, 2011) bahwa alasan remaja melakukan penyalahgunaan narkoba
adalah karena alasan ingin tahu, identitas pergaulan, modern, dan mendapatkan
pengakuan teman sebaya. Mereka tidak mengetahui bahwa perilaku yang pernah
mereka lakukan tersebut berisiko terhadap penularan HIV/AIDS.
Berdasarkan gambaran di atas tampak bahwa kurangnya pengetahuan
tentang penyakit HIV dan penularannya, sikap kurang peduli dan adanya
pengalaman serta perilaku masa lalu lalu yang berisiko tinggi menyebabkan
mereka tertular penyakit HIV/AIDS tersebut. Kurangnya pengetahuan tentang
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

49

HIV/AIDS

secara benar

antara lain terkait dengan masih terbatasnya

penyuluhan atau informasi tentang tentang HIV/AIDS yang dilakukan secara


medis pada waktu itu. Green menyatakan bahwa ada faktor yang mempermudah
atau mempredisposisikan perilaku seseorang diantaranya adalah pengetahuan
dan sikap masyarakat terhadap kesehatan. Dengan kurangnya pengetahuan yang
dimiliki ODHA sebelumnya menyebabkan mereka tidak mengetahui bahwa
perilaku/gaya hidup yang mereka lakukan telah memberikan konsekwensi
terinfeksi HIV/AIDS. Selanjutnya menurut Hendrik L Blum (Notoatmodjo,
2010) ada 4 faktor yang mempengaruhi status derajat kesehatan masyarakat atau
perorangan, yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan.
Faktor perilaku merupakan faktor kedua yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat, karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu,
keluarga dan masyarakat sangat ditentukan oleh perilaku manusia itu sendiri. Di
samping itu, juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat, kebiasaan,
kepercayaan, pendidikan, sosial ekonomi, dan perilaku-perilaku lain yang
melekat pada dirinya (Notoatmodjo, 2010).
Terkait dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS, boleh dikatakan bahwa
hampir sebagian besar masyarakat

belum banyak yang memahami tentang

penyebab penyakit dan cara penularannya secara benar.

Masyarakat masih

mempunyai persepsi bahwa penularan penyakit HIV/AIDS bisa terjadi karena


adanya kontak fisik dengan penderita seperti bersalaman dan makan sepiring
bersama dengan penderita. Hal ini terkait dengan kurangnya informasi atau
pengetahuan tentang HIV/AIDS

yang didapatkan masyarakat dari petugas

terkait. Kondisi ini disebabkan keterbatasan untuk melakukan penyuluhan


kepada masyarakat, karena selama ini penyuluhan memang cenderung dilakukan
pada kelompok berisiko terhadap HIV/AIDS seperti kelompok homo seksual
dan pekerja seks.

50

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Kondisi terbatasnya pengetahuan tentang HIV/AIDS dan adanya


diskriminasi serta stigma terhadap penyakit serta penderita HIV/AIDS tersebut
telah menyebabkan sebagian dari mereka yang pernah berperilaku berisiko
mempunyai sikap kurang peduli, cenderung malu dan merasa belum mempunyai
kesiapan mental untuk melakukan pemeriksaaan dan menerima hasil
pemeriksaan HIV. Hal ini diperburuk oleh masih adanya pandangan bahwa
penyakit HIV/AIDS merupakan penyakit memalukan dan menjijikan, sehingga
mereka yang pernah berperilaku berisiko akan cenderung bersikap relatif
tertutup. Dengan adanya stigma dan diskriminasi yang terjadi di masyarakat
tersebut sedikit banyaknya telah berpengaruh buruk terhadap kesediaan untuk
dilakukan test HIV.
Sikap diskriminasi atau pengucilan dan stigma sosial terhadap penyakit
HIV/AIDS, telah menyebabkan sebagian pasien yang sudah pernah diperiksa
satu kali di RSAM Bukittinggi tidak kembali lagi. Dalam hal ini telah
menyebabkan lost kontak, sehingga pemeriksaan yang harus dilakukan sampai 3
(tiga) kali menjadi tidak tuntas. Sikap pasien yang tidak mau datang lagi untuk
melakukan pemeriksaan disebabkan karena di samping karena adanya stigma
sosial, mereka juga belum siap untuk menjalankan pengobatan yang lama, dan
akhirnya mereka cenderung pergi ke pengobatan alternatif. Selanjutnya mereka
yang telah menjalankan pengobatan, ada juga sebagian yang kurang patuh
terhadap pengobatan. Stigma dan diskriminasi yang terjadi di masyarakat
adalah merupakan hal yang turut berpengaruh terhadap kurangnya disiplin dan
kepatuhan pengobatan dengan anti retroviral.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuniar, dkk (2013) juga
mengungkapkan bahwa adanya

pemaknaan negatif yaitu terkait dengan

stigma/diskriminasi yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan ODHA dalam


minum obat selain dari adanya efek samping, lupa, rasa bosan karena harus
menggunakan obat terus menerus. Di samping itu, adanya perasaan takut
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

51

diketahui oleh pacar atau masyarakat sekitar juga menjadi penghambat


kepatuhan minum obat.
Terkait dengan pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS, laporan
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menyatakan bahwa salah satu
indikator yang digunakan untuk memantau pencapaian target MDGs dan dapat
dikumpulkan melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 adalah persentase
penduduk umur 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif
tentang HIV/AIDS. Pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS ditentukan
berdasarkan lima hal yaitu bahwa HIV dapat dicegah dengan berhubungan
seksual dengan suami/istri saja, HIV dapat dicegah dengan menggunakan
kondom saat berhubungan seksual dengan pasangan berisiko, HIV/AIDS dapat
dicegah dengan tidak menggunakan jarum suntik bersama, HIV/AIDS tidak
dapat menular karena makan sepiring bersama dengan penderita AIDS; dan
HIV/AIDS tidak dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk. Dari hasil Riskesdas
2010 diketahui bahwa persentase penduduk di atas 15 tahun di Sumatera Barat
yang memiliki pengetahuan kompresif tentang HIV/AIDS adalah sebesar 9 %.
Sedangkan persentase penduduk di atas 15 tahun yang pernah mendengar
HIV/AIDS di Sumatera Barat adalah sebesar 57,9%.
Hasil Riskesdas 2010 juga mengungkapkan bahwa sebesar 19 %
penduduk di atas 15 tahun di Sumatera Barat menunjukkan sikap diskriminatif
terhadap anggota keluarga yang terinfeksi HIV dengan bersikap merahasiakan
apabila ada anggota keluarga terinfeksi HIV, sedangkan penduduk yang
bersikap mengucilkan sebesar 7,7%, dan yang mencari pengobatan alternatif
sebesar 42,3%.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa dari
beberapa kasus HIV/AIDS yang ada

dilatarbelakangi oleh kurangnya

pengetahuan keluarga atau orang tua terhadap HIV/AIDS. Apalagi gaya hidup
remaja saat ini yang cenderung bersikap ingin tampak lebih gaul atau modern
52

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

dengan meniru budaya dari luar, sehingga mereka tidak tahu lagi membedakan
mana

tingkah laku

yang tidak sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma

adat/budaya dan agama. Hal ini makin diperparah dengan adanya sikap dari
keluarga yang kurang peduli terhadap anaknya, dan anak pun sebaliknya juga
cenderung

tertutup,

sehingga

anak

lebih

cenderung

untuk

memilih

berkomunikasi dengan kelompok atau komunitasnya sendiri. Sikap remaja yang


cenderung ingin bebas dengan mencari kesenangan dan kurangnya kontrol sosial
dari keluarga, ninik mamak

serta masyarakat bisa menyebabkan mereka

terjerumus kepada perilaku yang berisiko seperti narkoba dan seks bebas.
Faktor perilaku merupakan gaya hidup perorangan yang beresiko
memberikan dukungan kepada kejadian dan kesulitan masalah kesehatan. Gaya
hidup hedonistik yang mencari kesenangan sesaat, semisal pengguna narkoba
jarum suntik yang melakukan tindakan sharing atau penggunaan jarum suntik
secara bersama-sama.
4.3. 3. Faktor Lingkungan
Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa Blum menyatakan ada 4 faktor yang
mempengaruhi status derajat kesehatan masyarakat atau perorangan, dan faktor lingkungan
mempunyai pengaruh dan peranan terbesar. Lingkungan sangat beragam antara lain yang
berhubungan dengan aspek fisik dan sosial. Lingkungan yang berhubungan dengan aspek fisik
contohnya sampah, air, udara, tanah, ilkim, perumahan, dan sebagainya. Selanjutnya lingkungan
sosial merupakan hasil interaksi antar manusia seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan
sebagainya. Faktor lingkungan merupakan semua faktor-faktor sosial dan fisiologis luar kepada
seseorang, sering tidak mencapai titik kontrol perorangan, yang dapat dimodifikasi untuk
mendukung perilaku atau mempengaruhi hasil kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
Berbicara mengenai penularan HIV/AIDS, siapa pun tanpa pandang bulu dapat
terinfeksi HIV, hal ini mengingat kontak cairan tubuh memungkinkan saja terjadi atas dasar
tindakan yang dilakukan berdasarkan kesadaran, keinginan atau kebiasaan si pelaku maupun
tidak. Banyak faktor yang saling terkait dalam kehidupan seseorang yang membuatnya
melakukan perilaku berisiko HIV. Latar belakang keluarga dan interaksi seseorang dengan
individu/kelompok tertentu turut berkontribusi terhadap berkembangnya perilaku berisiko
HIV/AIDS (Dian, 2013).

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

53

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diketahui bahwa latar belakang


kehidupan keluarga adalah salah satu faktor yang dianggap turut melatarbelakangi terjadinya
kasus HIV/AIDS. Kondisi perkawinannya yang dianggap kurang mendapat restu dari pihak
keluarga telah menyebabkan pikirannya cenderung terganggu dan merasakan adanya beban
pikiran. Dengan kondisi psikologis yang cenderung tidak stabil tersebut akhirnya dia tidak
kuasa menolak ketika ada yang menawarkan obat yang bisa untuk menghilangkan berbagai
masalah yaitu dengan menggunakan narkoba. Dengan berawal coba-coba akhirnya informan
menjadi ketagihan, karena setiap merasa ada masalah dia bisa menghilangkan dengan cara
menggunakan narkoba. Hal ini adalah suatu kesenangan dan kenikmatan yang dialaminya
ketika menggunakan narkoba jarum suntik dengan cara bersama-sama/bergantian jarum suntik.
Dalam lingkungan keluarga tentunya setiap anggota keluarga akan melakukan interaksi
dan aktifitas sesuai dengan perannya masing-masing. Namun, ketika ibu dari salah seorang
informan meninggal dan bapaknya menikah lagi serta pindah rumah, maka dia merasakan
bahwa dia sangat kehilangan bapaknya. Karena merasakan kurang mendapatkan perhatian dari
sang bapak, maka dia akhirnya cenderung berinteraksi dengan lingkungan teman-temannya,
dan suatu ketika dia terpengaruh ajakan temannya untuk menggunakan narkoba dan perilaku
seks bebas. Perilaku tersebut akhirnya sulit untuk dihindarkan, dan ini juga dialami oleh adik
serta kakaknya, sehingga dia dan saudara-saudaranya (lima orang) dinyatakan mengidap
HIV/AIDS. Bahkan, salah seorang adiknya sudah meninggal akibat virus yang mematikan
tersebut.
Menyimak dari kasus-kasus di atas tampak bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat
seperti disorganisasi keluarga juga dapat dianggap turut melatarbelakangi seseorang dalam
melakukan perilaku berisiko, sehingga tertularnya infeksi HIV/AIDS. Disorganisasi keluarga
menurut Soekanto (2006) adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit karena anggotaanggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan peran sosialnya.
Bentuk-bentuk disorganisasi keluarga antara lain adalah: 1). Disorganisasi keluarga karena
putusnya perkawinan sebab perceraian, 2). Adanya kekurangan dalam keluarga tersebut yaitu
dalam hal komunikasi antara angota-anggotanya, 3). Krisis keluarga karena salah satu yang
bertindak sebagai kepala keluarga, di luar kemampuannya sendiri meninggalkan rumah,
mungkin karena meninggal dunia, dihukum, atau karena peperangan. Disorganisasi keluarga
mungkin terjadi pada

masyarakat sederhana karena suami sebagai kepala keluarga gagal

memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer keluarganya atau mungkin karena menikah lagi.


Selanjutnya di dalam zaman modern ini, disorganisasi keluarga mungkin terjadi karena konflik
peranan sosial karena faktor sosial ekonomi. Pada hakikatnya, disorganisasi keluarga pada

54

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

masyarakat ytang sedang dalam ke adan transisi menuju masyarakat yang modern

dan

kompleks disebabkan karena keterlambatan untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosialekonomi yang baru.

Faktor lingkungan budaya juga dianggap berkaitan dengan peningkatan


kasus HIV/AIDS. Dalam kultur atau budaya sebagian besar masyarakat kita tabu
untuk membicarakan hal-hal yang sensitif seperti masalah seks, sehingga
pengetahuan masyarakat tentang informasi mengenai resiko penularan HIV
relatif kurang. Selanjutnya fenomena yang muncul dewasa ini, yang mana mulai
ada kecenderungan bahwa ibu rumah yang baik-baik (tidak pernah melakukan
perilaku berisiko) tertular dari suaminya yang pernah mempunyai pengalaman
masa lalu atau pernah melakukan perilaku berisiko terhadap HIV/AIDS. Hal ini
terkait dengan ada adanya budaya atau kebiasaan perempuan yang tidak berdaya
dan tidak mempunyai posisi tawar terhadap suaminya.

Apalagi ibu rumah

tangga cenderung tidak memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS yang


mengancam dirinya. Selanjutnya kurangnya pengetahuan dari suami terhadap
HIV/AIDS dan pencegahannya menyebabkan istri yang tidak pernah melakukan
perilaku berisiko dapat tertular dari suaminya yang terinfeksi HIV, dan bahkan
anak-anaknya juga bisa tertular penyakit tersebut (Suharto, 2005). Hal ini yang
dirasakan oleh beberapa informan (ibu rumah tangga) yang tertular HIV/AIDS
dari suaminya. Informan pada awalnya sangat shock dengan hasil tersebut,
namun lama kelamaan dia bisa menjalankan kehidupan dengan iklas dan terus
bangkit berjuang untuk keluarganya.
Lebih lanjut informan mengungkapkan bahwa lingkungan teman
bermain atau lingkungan pergaulan seperti berkumpul dan nongkrong dengan
komunitas mereka (kelompok gay dan lesbi) adalah merupakan faktor yang
turut mendorong dia untuk melakukan seks

dengan sesama jenis. Jumlah

anggota komunitas gay dan lesbi di Kota Bukittinggi menurut informan relatif
cukup banyak. Adapun tempat yang mereka manfaatkan pada saat ini untuk
berkumpul atau berinteraksi sesama mereka adalah di kafe-kafe. Tempat ini
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

55

biasanya mereka manfaatkan juga untuk saling bertukar informasi dan berbagi
pengalaman. Adanya pertukaran informasi dan berbagi pengalaman dari sesama
anggota komunitas turut berpengaruh terhadap

kualitas

hubungan atau

kedekatan diantara mereka, sehingga akhirnya sampai kepada praktek seksual


menyimpang yang akhirnya bisa berimplikasi terhadap HIV/AIDS. Seperti
yang diungkapkan informan bahwa

sejak kelas 3 (tiga)

SMP

dia sudah

mempunyai teman khusus dengan sesama jenis, tapi masih sebatas teman biasa.
Kemudian setelah SMA, karena dia sering pergi dan tidur bersama dengan
teman laki-lakinya tersebut, akhirnya dia sampai melakukan perilaku berisiko
yang tidak sesuai dengan norma-norma adat dan agama.
Adapun tempat yang cenderung dimanfaatkan oleh para homoseksual
untuk melakukan perilaku menyimpang tersebut adalah tempat kos. Walaupun
sebagian dari mereka mempunyai orang tua yang

bertempat tinggal di

Bukittinggi, namun dengan alasan ingin mandiri karena sudah bekerja, mereka
mencari tempat kos untuk menjadi pilihan tempat tinggal. Pilihan tempat kos
sebagai tempat untuk melakukan perilaku seks bebas dengan sesama jenis
tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, antara lain tempat kos adalah
tempat yang dianggap sebagai tempat yang lebih aman, nyaman, dan tidak perlu
mengeluarkan biaya/sewa penginapan. Di samping itu,

pemilik kos juga

biasanya tidak akan curiga kepada hubungan mereka, karena pemilik kos akan
melihat hubungan mereka sebagai hubungan pertemanan biasa seperti layak
teman bermain dengan sesama laki-laki, dan bukan hubungan pertemanan yang
khusus dengan lawan jenis.
Mereka yang berperilaku homo seksual (LSL) tersebut mempunyai latar
belakang pekerjaan yang bervariasi dan mereka cenderung mempunyai
pekerjaan yang tidak menetap seperti karyawan di hotel atau rumah makan. Di
samping itu, sebagian mereka juga berasal dari pelajar/mahasiswa serta yang
belum mempunyai pekerjaan.
56

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Menyikapi

persoalan

homo

seksual

tersebut,

Soekanto

(2006)

menyatakan bahwa terjadinya homoseksual tidak terlepas dari adanya faktorfaktor sosial atau lingkungan sosial yang memberikan situasi yang membuka
peluang terjadinya homoseksualitas. Pada

hakikatnya secara sosiologis

homoseksualitas bertitik tolak pada asumsi bahwa tidak ada pembawaan lain
pada dorongan seksual, selain untuk menyalurkan ketegangan. Oleh sebab itu,
baik tujuan maupun objek dorongan sesksual diarahkan oleh faktor sosial.
Dalam hal ini arah penyaluran ketegangan dipelajari dari pengalamanpengalaman sosial. Dengan demikian, tidak ada pola seksual alamiah, karena
yang ada adalah pemuasnya yang dipelajari dari adat istiadat lingkungan sosial.
Lingkungan sosial akan menunjang atau mungkin menghalangi sikap-tindak
dorongan-dorongan seksual tersebut. Seseorang akan menjadi homoseksual
karena pengaruh orang-orang disekitarnya. Sikap dan perilakunya yang
kemudian menjadi pola seksualnya dianggap sebagai sesuatu yang dominan,
sehingga menentukan segi-segi kehidupan lainnya.
Lely (2011) juga mengemukakan bahwa lingkungan teman sepermainan
(peer-gorup) merupakan hal yang tak kalah pentingya dalam permasalahan
perilaku seks di kalangan remaja. Hubungan kedekatan dengan peer-grupnya
cenderung relatif tinggi, dan hal ini selain disebabkan

peer-grup dapat

menggantikan ikatan keluarga, tetapi mereka juga merupakan sumber afeksi,


simpati, pengertian, saling berbagi pengalaman, dan selanjutnya juga sebagai
tempat remaja untuk mencapai otonomi dan independensi. Akibatnya tak heran
remaja mempunyai kecenderungan untuk mengadopsi informasi yang diterima
dari teman-teman, tanpa memiliki dasar informasi yang benar dari sumber yang
dapat dipercaya. Berkaitan dengan dengan perilaku seks, tak jarang
menimbulkan rasa keinginanan tahuan yang besar, dan bahkan mereka akhirnya
melakukan hubungan seks.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

57

Perilaku seks

yang terjadi pada masa remaja perlu mendapatkan

perhatian yang serius karena masa remaja adalah suatu masa yang berbahaya
karena periode ini seseorang meninggalkantahap kehidupan anak-anak untuk
menuju ke tahap kedewasaan. Masa ini dirasakan sebagai suatu krisis karena
belum adanya pegangan, sedangkan kepribadiannnya sedang mengalami
pembentukan. Pada masa ini dia memerlukan bimbingan, terutama dari orang
tuanya. Namun, ada kecenderungan generasi muda terutama di kota-kota besar
yang mengalami kekosongan lantaran kebutuhan akan bimbingan langsung dari
orang tua tidak ada atau kurang. Hal ini disebabkan karena keluarga mengalami
disorganisasi. Jika dilihat pada keluarga keluarga yang secara ekonomis kurang
mampu, kondisi tersebut disebabkan karena orang tua harus mencari nafkah
sehingga tidak banyak waktu untuk mengasuh anak-anaknya. Sedangkan pada
keluarga yang mampu, permasalahannya karena orang tua terlalu sibuk dengan
urusan-urusan di luar di rumah (Soekanto, 2006).
Lingkungan pertemanan di sekolah secara tidak langsung juga dapat
berpengaruh terhadap perilaku berisiko. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya
bahwa dalam lingkungan pertemanan di sekolah akan terjadi interaksi antara
seseorang

(siswa) dengan sesama siswa.

Hasil interaksi antara siswa ini

tentunya ada yang menyebabkan konsekwensi tertentu. Seperti yang


diungkapkan informan bahwa ada beberapa siswa pada salah satu lembaga
pendidikan di Kota Bukittingi yang sudah terpengaruh oleh perilaku homo
seksual. Kejadian ini berawal dari salah seorang siswa pindahan dari luar
Sumatera Barat

yang mempunyai perilaku homoseksual, dan dialah yang

mengajak serta mempengaruhi siswa yang lain untuk melakukan perilaku yang
dianggap berisiko terhadap HIV/ADS. Kondisi ini tentunya mengkhawatirkan
para orang tua murid, sebagaimana yang dikatakan informan

bahwa dia

mendapatkan informasi sebagian orang tua menjadi sangat khawatir dengan

58

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

kondisi anak mereka yang menjadi ikut-ikutan dalam kelompok yang


berperilaku menyimpang.
Lingkungan pekerjaan juga dianggap sebagai salah satu faktor yang turut
melatarbelakangi terjadinya kasus HIV/AIDS.
mengatakan bahwa

Dari beberapa informan

mereka yang berperilaku seks bebas (heteroseksual)

mempunyai latar belakang sebagai sopir dan mempunyai kebiasaan merantau.


Dalam hal ini sopir tersebut cenderung pergi merantau dan melaksanakan
pekerjaannya sebagai sopir dengan trayek ke luar provinsi, seperti ke Jakarta
dan Pekanbaru. Karena perjalanan yang ditempuh ke luar propinsi tersebut
memakan waktu yang lama, maka para sopir ini bisa dikatakan cenderung untuk
mampir dan beristirahat di warung-warung, sehingga kondisi ini bisa
memberikan peluang untuk melakukan perilaku yang dianggap tidak sesuai
dengan adat dan agama dengan beberapa pekerja seks komersil (PSK). Perilaku
seks bebas yang berganti-ganti pasangan seperti inilah yang berisiko untuk
tertularnya penyakit HIV/AIDS
Beberapa kasus HIV/AIDS yang terdapat di RSAM Bukitinggi bisa
dikatakan bahwa hampir sebagian besar mereka adalah pernah pergi merantau
seperti ke Jakarta, Bandung, Riau, Batam, dan mereka terpengaruh oleh
lingkungan kehidupan yang

cenderung bebas di kota-kota besar, sehingga

menyebabkan sebagian mereka terjerumus kepada perilaku menyimpang seperti


narkoba, seks bebas (homo seksual dan heteroseksual). Perilaku berisiko yang
dilakukan oleh waria yang berasal dari Minang juga dilatarbelakangi oleh
betapa kuatnya pengaruh lingkungan

sosial dan tuntutan

ekonomi untuk

mempertahankan hidup di rantau, sehingga mereka akhirnya bekerja sebagai


pekerja seks. Perilaku berisiko tersebutlah yang menyebabkan sebagian mereka
tertular HIV/AIDS.
Berkaitan dengan lingkungan sosial, manusia sebagai makluk sosial
tidak dapat menghindari pergaulan antar sesama. Setiap indivindu mempunyai
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

59

kebebasan untuk bergaul dan memasuki berbagai komunitas dengan beragam


latar belakangnya. Namun kebebasan itu tidak selamanya absolut. Dalam hal ini
tentunya ada batas-batas tertentu yang secara normatif disetujui oleh masyarakat
mau pun ajaran agama yang ia yakini kebenarannya. Tanpa adanya batasan itu.
Ia akan kehilangan kesempurnaan dan kemuliannya, karena ia akan terjebak ke
dalam kebejatan moral yang tidak mustahil merusak jasmani. Apabila sudah
meningkat pada kekebasan hubungan seksual, sadar atau tidak akan
mengakibatkan perilaku yang abnormal dari pandangan sosial dan agama.
Akibat lebih jauh adalah timbulnya kerusakan moral dan kehormatan yang tidak
jarang mengakibatkan kerusakan jasmani. Berjangkitnya penyakit seperti
HIV/AIDS lahir dari kebebasan seksual, tanpa kontrol terhadap kebersihan
lawan seks (Faqih dkk, 2013).
Terkait dengan kehidupan sosial di atas, di Minangkabau sejak dahulu
sampai sekarang, tatanan kehidupan masyarakatnya sangat ideal, karena didasari
nilai-nilai, norma-norma adat dan agama Islam yang menyeluruh, dalam satu
ungkapan adat yang berbunyi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Adat dan syarak di Minangkabau merupakan benteng kehidupan dunia akhirat
yang disebutkan dalam pepatah adat kesudahan adat ka balairung, kasudahan
syarak ka akhirat. Namun, fenomena saat ini tampak adanya kecenderungan
norma lama yang luhur mulai agak memudar. Nilai-nilai kehidupan yang
dahulunya bersifat kebersamaan, saat ini agak cenderung bersifat individual.
Kalau masa dahulu norma kehidupan berpegang kepada budi dan rasa malu,
sekarang cenderung mulai meninggalkan sifat tenggang rasa. Di samping itu,
saat ini ada kecenderungan terjadinya krisis kepercayaan terhadap ninik mamak
oleh anak kemenakan. Ninik mamak seharusnya memegang kendali dan
menentukan dalam pembentukan kepribadian anak kemenakan. Terjadinya
krisis kepercayaan di kalangan anak kemenakan terhadap ninik mamak saat ini
salah satunya disebabkan karena kurangnya pemahaman Ninik Mamak
60

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Pemangku Adat Minangkabau terhadap nilai-nilai adat syarak (Salmadanis,


2014).
Sementara itu, ada sistem norma di dalam masyarakat yang merupakan
patokan untuk berperilaku secara pantas. Norma-norma tersebut merupakan
patokan perilaku yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia,
dan semuanya mempunyai wadah tertentu, yang dinamakan lembaga sosial
(Soekanto, 2006).
Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau ada kelembagaan adat
yang merupakan cerminan dari bagaimana aturan adat dijaga dan dipraktekkan
dalam suatu kesatuan masyarakat hukum adat (nagari). Kelembagaan ini
diwakili oleh peran kaum adat, urang ampek jinih, ninik mamak,

atau

kelembagaan tungku tigo sajarangan. Eksistensi mereka bergantung kepada


keberadaan hukum adat yang dijalankan dan dipatuhi oleh seluruh anggota suatu
kaum dan suku. Filosofi aturan adat dalam sejarah atau asal usulnya datang dari
nilai ajaran agama Islam. Persoalannya dewasa ini adalah kelembagaan adat
semakin menurun fungsinya sejalan dengan semakin memudarnya kepatuhan
menjalankan norma dan nilai adat dalam masyarakat. Sehingga, semakin banyak
masyarakat yang tidak mengenal dengan baik tentang fungsi, peran dan tujuan
dari kelembagaan adat (Bappeda, 2011).
Dari gambaran di atas tampak bahwa faktor lingkungan sosial dan
budaya turut berperan besar dalam menentukan seseorang untuk bersikap dan
bertingkah laku. Jika seseorang berperilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
dan norma-norma yang seharusnya dipedomaninya, maka tidak mustahil akan
bisa terjebak ke dalam kebejatan moral, yang mengakibatkan perilaku yang
abnormal dari pandangan sosial dan agama, dan akhirnya bisa menyebabkan
tertularnya HIV/AIDS. Di samping itu kondisi

kehidupan saat ini yang

cenderung individual, kurangnya rasa malu dan tenggang rasa, kurangnya


kontrol

sosial,

kurang

berfungsinya

keluarga

dalam

memberikan

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

61

sosialisasi/penanaman nilai-nilai adat/budaya serta agama, adanya krisis


kepercayaan kemenakan terhadap mamak atau mulai berkurangnya fungsi dan
peran dari mamak serta lembaga adat juga dianggap turut melatarbelakangi
perilaku menyimpang di kalangan remaja, dan akhirnya bisa merusak jasmani,
seperti penyakit HIV/AIDS.
4.3.4

Faktor Akses Negatif dari Internet


Masyarakat Sumatera Barat cenderung dinamis dalam menyikapi adanya perubahan-

perubahan, baik perubahan karena derasnya arus globalisasi maupun perubahan-perubahan yang
disebabkan oleh arus teknologi informasi. Hal ini bisa dilihat dari adanya warung internet dan
penggunaan telepon seluler (HP) sampai ke pelosok daerah.
Penggunaan internet dan HP di kalangan remaja semenjak kurang lebih 10 tahun
terakhir cenderung meningkat. Adanya beberapa tugas yang diberikan oleh guru atau dosen di
sekolah/di kampus cenderung menyebabkan pelajar/mahasiswa pergi untuk mencari informasi
melalui internet. Penggunaan internet ini menurut informan saat ini malah makin bertambah
besar karena adanya pelaksanaan kurikulum pendidikan tahun 2013, yang mana sebagian besar
tugas-tugas sekolah yang diberikan di sekolah, cenderung mengharuskan siswa untuk mencari
informasi melalui internet baik melalui HP maupun di warnet. Namun kadang kala dengan
munculnya gambar-gambar porno yang kurang sopan telah menyebabkan sebagian remaja
cenderung ingin tahu dan penasaran, dan bahkan sampai melakukan hal yang seharusnya belum
boleh dilakukan anak remaja.

Hubungan seksual pra nikah

di kalangan remaja menurut Kristanti

(dalam Lestary, 2011) biasanya terjadi karena sedang mabuk, suka sama suka,
rasa ingin tahu dan ingin merasakannya setelah menonton video porno atau
melihat perempuan seksi, pengaruh teman, dan agar terlihat modern.
Perilaku berisiko yang dilakukan oleh kelompok lelaki seks lelaki (LSL)
menurut informan juga cenderung dipengaruhi oleh tayangan/gambar yang
terdapat pada HP atau setelah menonton video porno. Setelah menonton gambar
dan menonton video porno tersebut menurut pengakuan informan rasa ingin
tahu dan ingin melakukan perilaku menyimpang tersebut muncul, dan akhirnya
sampai melakukan seks bebas dengan sesama jenus. Selanjutnya bagi kalangan
62

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

lelaki seks lelaki (LSL) juga ada kecenderungan (misalnya LSL muda dan
waria dengan status ekonomi menengah hingga tinggi) menggunakan sosial
media untuk

berkomunikasi seperti face book, twitter dan situs lain yang

memuat informasi tentang gay. Dengan media jejaring sosial tersebut mereka
bisa saling mengenal dan berkomunikasi, dan akhirnya bisa berlanjut kepada
ketertarikan satu sama lainnya.
Jika ditinjau dari nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat dalam
kehidupan sosial dan budaya di Minangkabau, batas kesopan-santunan, nilai
budaya dan agama untuk pergaulan menjadi dasar bagi jati diri Minangkabau,
raso pareso, ereang jo gendeang. Semenjak masuknya arus globalisasi melalui
aplikasi komunikasi dan informasi pola interaksi sosial semakin berkembang.
Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembangnya ikatan komunitas di luar batas
kesatuan identitas sosial nagari, suku atau kaum. Ikatan sosial sudah
berdasarkan kepada kepentingan politik dan ekonomi. Sementara ini, sejalan
dengan perkembangan teknologi, peralatan canggih untuk menopang kehidupan
sehari-hari ditengah masyarakat justru melahirkan perilaku sosial yang keluar
dari nilai kemuliaan. Masyarakat berubah ke arah yang tidak menentu karena
tidak dapat diukur menurut tuntutan nilai-nilai budaya Minangkabau (Bappeda,
2011). Kondisi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi inilah yang
menyebabkan sebagian remaja sekarang cenderung terpengaruh oleh arus
informasi yang menyesatkan dan bisa menyebabkan tindakan yang keluar dari
batas-batas kesopanan, yang akhirnya bisa berisiko tertularnya HIV/AIDS.
4.4. Implementasi Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS

4.4.1 Kebijakan-kebijakan yang Terkait Dengan Penanggulangan


HIV/AIDS
Pemerintah
internasional

untuk

Indonesia berkomitmen
pengendalian

AIDS,

menjalankan kesepakatan

mempromosikan

kerja

sama

multilateral dan bilateral, serta memperluas kerja sama dengan negara tetangga
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

63

dalam Program Pengendalian AIDS. Hal ini mengingat epidemi HIV sudah
menjadi masalah global, pemerintah Indonesia berkomitmen menjalankan
kesepakatan Dasar hukum pengendalian tertuang antara lain dalam: Keputusan
Presiden Nomor 36, tahun 1994 tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan
AIDS

(KPA)

dan

KPA

Daerah

sebagai

lembaga

pemerintah

yang

mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian AIDS, dimana Pemerintah telah


membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat Pusat disusul
dengan terbentuknya KPA di beberapa provinsi di Indonesia.
Strategi Nasional Pengendalian HIV dan AIDS (1994) merupakan respon yang
sangat penting pada periode tersebut, dimana KPA telah mengkoordinasikan
upaya pengendalian baik yang dilaksanakan pemerintah, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) serta sektor lainnya. Sementara itu bantuan dari luar negeri
baik bantuan bilateral maupun multilateral mulai berperan meningkatkan upaya
pengendalian di berbagai level (Kemenkes, 2009).
Selanjutnya Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 mengamanatkan
perlunya peningkatan upaya pengendalian HIV dan AIDS di seluruh Indonesia.
Respon harus ditujukan untuk mengurangi semaksimal mungkin peningkatan
kasus baru dan kematian. Salah satu langkah strategis yang akan ditempuh
adalah memperkuat Komisi Penanggulangan AIDS di semua tingkat. Anggaran
dari sektor pemerintah diharapkan juga akan meningkat sejalan dengan
kompleksitas masalah yang dihadapi. Sektor-sektor akan meningkatkan sumber
daya dan cakupan program masingmasing. Masyarakat umum termasuk LSM
akan meningkatkan perannya sebagai mitra pemerintah sampai ke tingkat desa.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 21 Tahun 2013
penanggulangan HIV/AIDS

tentang

juga telah menjelaskan bahwa ruang lingkup

pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi penanggulangan HIV dan


AIDS secara komperehensif dan berkesinambungan yang terdiri atas promosi
kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan rehabilitasi terhadap
64

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

individu, keluarga dan masyarakat. Peraturan Menteri Kesehatan tersebut juga


mengamanatkan bahwa dalam penanggulangan HIV dan AIDS harus
menerapkan

beberapa prinsip antara lain adalah memperhatikan nilai-nilai

agama, budaya, dan norma kemasyarakatan, kegiatan diarahkan untuk


mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keluarga,
kegiatan dilaksanakan oleh masyarakat dan pemerintah berdasarkan kemitraan.
Sedangkan strategi yang diperlukan dalam melakukan kegiatan penanggulangan
HIV dan AIDS tersebut antara lain meningkatkan pemberdayaan masyarakat
dalam penanggulangan HIV dan AIDS melalui kerjasama nasional, regional,
dan global dalam aspek legal, organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan
kesehatan dan sumber daya manusia, meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan
mengembangkan kapasitas,

meningkatkan upaya penaggulanagan HIV dan

AIDS yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti,
dengan mengutamakan pereventif dan promotif (Kemenkes, 2013).
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga telah mengeluarkan Peraturan
Daerah

Provinsi

Sumatera

Barat

Nomor

Tahun

2012

Tentang

Penanggulangan HIV-AIDS, yang mana ruang lingkup penanggulangan HIVAIDS meliputi promotif, preventif, konseling dan testing sukarela, kuratif,
perawatan dan dukungan. Selanjutnya dalam upaya promotif dilakukan melalui
pemberdayaan masyarakat dalam bentuk kegiatan antara lain Komunikasi
Informasi dan Edukasi (KIE), peningkatan pemahaman agama dan ketahanan
keluarga dan peningkatan perilaku hidup sehat dan religius. Salah satu tindakan
preventif oleh masyarakat dan individu adalah dengan memfungsikan keluarga
secara optimal sebagai sarana untuk menciptakan generasi bangsa yang
berkualitas dan beraklak baik.

4.4.2. Pelaksanaan Penanggulangan HIV/AIDS di KPA Kota Bukittinggi

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

65

Provinsi Sumatera Barat juga sudah melakukan beberapa upaya dalam


pengendalian HIV/AIDS dengan membentuk Komisi Penanggulangan AIDS
Provinsi Sumatera Barat sejak tahun 2008. Salah satu upaya yang dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk memutus rantai penularan
adalah dengan meningkatkan penemuan kasus melalui upaya peningkatan akses
layanan HIV/AIDS, baik VCT (Voluntary Concealing Testing), CST (Care
Support and Treatment), PMTCT (Prevention Mother To Child Transmision),
dan pelayanan lainnya (PemProv, 2012).
KPA dibentuk di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota untuk
memimpin dan mengkoordinasikan kegiatan dalam rangka meningkatkan upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang lebih intensif, menyeluruh,
terpadu dan terkoordinasi sesuai dengan Strategi dan Rencana Aksi Nasional
(SRAN) Penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014 antara lain:
1.

Meningkatkan upaya pencegahan HIV/AIDS pada semua kelompok populasi kunci

2.

Menyediakan dan meningkatkan pelayanan perawatan, dukungan dan pengobatan yang


bermutu, terjangkau dan bersahabat bagi ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).

3.

Menciptakan dan memperluas lingkungan kondusif yang memberdayakan masyarakat sipil


untuk berperan secara bermakna sehingga stigma dan diskriminasi terhadap populasi kunci,
ODHA dan orang-orang terdampak oleh HIV/AIDS berkurang.

Mengingat bahwa kasus HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Barat, dan


khususnya di Kota Bukittingi (yang melakukan pengobatan di Rumah Sakit
Achmad Mochtar) terus mengalami peningkatan karena adanya penularan serta
wilayah penyebarannya semakin meluas, maka perlu dilakukan upaya
penanggulangan

secara

optimal.

Untuk

melaksanakan

penanggulangan

HIV/AIDS di Kota Bukittinggi telah dibentuk Komisi Penanggulangan AIDS


(KPA) Kota Bukittinggi
Bukittinggi

No.

pada bulan Maret 2008 melalui SK Walikota

188.45-153-2008

tentang

Pembentukan

Komisi

Penanggulangan AIDS Kota Bukittinggi (KPAK Bukittinggi) yang disusul

66

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

dengan SK Perubahan No. 188.45-778-2012 tertanggal 30 Maret 012 (KPAK


Bukittinggi, 2013).
a. Ketersediaan Input
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari KPA Kota Bukittinggi bahwa tenaga yang
tersedia dalam pelaksanaan kegiatan Komisi Penanggulangan AIDS Kota (KPAK) Bukittinggi
relatif cukup. Secara struktur KPA Kota Bukittinggi dipimpin oleh Ketua dan Sekretaris KPA.
Selanjutnya ada tenaga staf sekretariat, dan staf lapangan serta 4 (empat) kelompok komunitas
binaan KPAK Bukittinggi. Dalam upaya pelibatan komunitas dalam permasalahan narkotika dan
HIV/AIDS, KPAK Bukittinggi telah melakukan pembinaan pada 4 (empat) lembaga peduli
AIDS di Kota Bukittinggi, yaitu: 1). LSM Fort De Kock Society and Sosial (LSM Forsis), 2).
LSM Persaudaraan Korban Napza Bukittinggi, 3). LSM New Padoe Jiwa, dan 4). LSM New
Spirit Bukittinggi. Keberadaan LSM dengan ketersediaan tenaganya sangat membantu dalam
kegiatan penaggulanaagn HIV/AIDS.
Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bukittingi sejak tahun 2009 telah bekerja di
tengah-tengah masyarakat dengan dukungan dana stimulan dari lembaga donor Global Found
(GF) ATM Round 9 melalui KPA Nasional serta dukungan dana bantuan sosial dari APBD Kota
Bukittinggi tahun 2013.
b. Proses Implementasi dan Output Program
Sebagian besar kasus HIV dan AIDS terjadi pada kelompok perilaku risiko tinggi yang
merupakan

kelompok

yang

dimarjinalkan,

maka

program-program

pencegahan

dan

pengendalian HIV dan AIDS memerlukan pertimbangan keagamaan, adat-istiadat dan normanorma masyarakat yang berlaku di samping pertimbangan kesehatan. Penularan dan penyebaran
HIV dan AIDS sangat berhubungan dengan perilaku berisiko, oleh karena itu pengendalian
harus memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut.

Berdasarkan hasil laporan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS yang


dilaksanakan oleh KPAK Bukitinggi tahun 2013 ada beberapa kegiatan yang
sudah dilaksanakan, yaitu: 1). Kegiatan penjangkauan dan pendampingan pada
kelompok berperilaku resiko tinggi, 2). Pendampingan dan dukungan pada
ODHA, 3). Pemetaan titik hot spot kelompok populasi kunci, 4). Pertemuan dan
koordinasi, 5). Kegiatan pelatihan HIV/AIDS dan Support Group, 6). Kegiatan
penguatan kelembagaan LSM peduli AIDS, 7). Worshop dan Sosialisasi,
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

67

8).Kegiatan dialog interaktif dan spot iklan himbauan layanan masyarakat upaya
penanggulangan HIV/AIDS, 9). Media Informasi Tabuah KPA, dan 10).
Kegiatan pendukung lainnya.
1). Capaian Kegiatan Penjangkauan dan Pendampingan pada Kelompok Berperilaku
Resiko Tinggi
Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bukittinggi bersama dengan 4 (empat) kelompok
komunitas binaan KPA Kota

Bukittinggi telah melaksanakan beberapa kegiatan untuk

melakukan sosialisasi dan penyebaran informasi serta kegiatan outreach (penjangkauan dan
pendampingan) pada kelompok populasi kunci/komunitas berisiko tinggi yang terdiri dari
Penasun Pengguna Napza Suntik), Hight Man Risk (Ojek/Sopir dan Potensial Pelanggan), GWL
(Gay, Waria dan Lelaki Suja Dengan Lelaki) dan Pekerja Seks Terselubung.
KPA Kota Bukittinggi bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi telah
melaksanakan program Harm Reduction (pengurangan dampak buruk terhadap penyalahgunaan
narkotika) di Kota Bukittinggi dan telah membentuk layanan Harm Reduction di Puskesmas
Guguk Panjang dan Puskesmas Perkotaan yang memdapatkan dukungan dana dari APBD dan
Global Found Round 9 tahap II yang diberikan oleh KPA Nasional.
Pelaksanaan kegiatan Harm Reduction yang dilakukan oleh petugas lapangan telah
berhasil melakukan penjangkauan dan pendampingan pada kelompok IDU 82 kontak baru dan
lama Penasun untuk mengakses layanan alat suntik steril di dua Puskesmas yang terdapat di
Bukittinggi. Perilaku menyuntik pada penggunaan narkotika jenis putaw saat ini sudah menurun,
namun angka penyalahgunaan narkotika jenis amphetamin dan ganja cenderung meningkat
yang akan berakibat pada perilaku seksual berisiko karena pengaruh zat adiktif yang
dikonsumsinya.
Pelaksanaan program Behaviour Chage Intervensi/Komunikasi Perubahan Perilaku
pada kelompok Hight Man Risk (HRM), GWL, dan Pekerja Seks Terselubung hingga saat ini
sudah dapat membuka akses, dan melakukan 163 kontak baru dan lama pada lelaki berisiko
tinggi, 65 pada Pekerja Seks Terselubung, 40 kali kontak pada waria dan 3 kali kontak pada
kelompok LSL. Selanjutnya merujuk kelompok dampingan ke pusat-pusat layanan seperti
Puskesmas, Klinik IMS dan Klinik VCT.
2). Pendampingan dan Dukungan pada ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
KPA

Kota Bukittinggi pada tahun 2013 telah membina kelompok dukungan sebaya

(KDS) New Spirit Bukittinggi untuk melaksanakan kegiatan pendampingan dan konseling di
Klinik Serunai Rumah Sakit Rujukan HIV/AIDS DR. Achmad Mochtar. Kegiatan

68

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

pendampingan dan dukungan dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA. Dalam
pelaksanaannya KDS telah melakukan pendampingan 30 ODHA baru dan membantu pasien
ODHA untuk melakukan pemeriksaan kesehatan melalui kegiatan Care Support and Treatmen
di Klinik Serunai.
Dalam rangka upaya pengendalian dan penanggulangan HIV/AIDS telah dilaksanakan
kemitraan dengan melibatkan para penderita menjadi konselor, pendamping dan penjangkau.
Keterlibatan ODHA ini adalah sebagai salah satu upaya untuk mengajak mereka yang dianggap
beresiko terhadap HIV/AIDS untuk mau melakukan pemeriksaan atau tes HIV dan memberikan
motivasi terhadap mereka yang dinyatakan positif HIV/AIDS.
3). Pemetaan Titik Hot Spot kelompok Populasi Kunci
Berdasarkan laporan kegiatan dari KPA Kota Bukittinggi bahwa hasil pemetaan
populasi kunci yang telah dilaksanakan bekerja sama dengan LSM dan Perwakilan Komunitas
di Komunitas di Kota Bukittiggi diketahui bahwa telah terjadi peningkatan jumlah titik hot spot
dari tahun sebelumnya. Kondisi ini terkait dengan adanya pertumbuhan kafe dan tempat hiburan
yang ada di Kota Bukittinggi.

Selanjutnya dari hasil FGD yang dilakukan KPA Kota

Bukittinggi diperoleh informasi bahwa perilaku berisiko yang sebelumnya tidak menjadi target
intervensi di lapangan yaitu

kelompok lesbian, diketahui bahwa beberapa perilaku seks

kelompok lesbian juga berprofesi sebagai pekerja seks komersil. Data jumlah titik hot spot
kelompok populasi kunci di Kota Bukittinggi dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2. Jumlah Titik Hot Spot Populasi Kunci di Kota Bukittinggi 2013

Kecamatan

WPS

Lesbian

MKS
5
6
ABTB
7
2
GGK PJG
17
4
Jumlah
29
12
Sumber: KPA Kota Bukittinggi
Tabel 4.3.

LBT

IDU

10
10
13
33

8
3
3
14

NON
IDU
13
14
21
48

LSL

Waria

Jumlah

3
3
10
16

1
3
4
8

46
42
72
160

Jumlah Estimasi Populasi Kunci Berdasarkan Faktor Resiko di


Bukittinggi 2013

Kecamatan

WPS

Lesbian

LBT

IDU

GGK PJG
ABTB
MKS
Jumlah

107
51
61
219

25
26
63
114

341
245
205
291

7
6
15
28

NON
IDU
257
184
163
604

Kota

LSL

Waria

Jumlah

137
36
45
218

42
14
15
71

916
562
567
2045

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

69

Sumber: KPA Kota Bukittinggi


Berdasarkan data hasil pemutakhiran seperti yang terlihat pada

tabel 4.3 di atas

tampak bahwa ada penurunan jumlah titik hot spot dan estimasi populasi pada kelompok
Penasun/IDU, dan adanya peningkatan data hasil pemetaan baik jumlah titik hot spot maupun
estimasi populasi kunci khususnya pada kelompok orientasi seksual.
4). Pertemuan dan Koordinasi
KPA Kota Bukittinggi pada tahun 2013 telah melaksanakan kegiatan pertemuan dan
koordinasi dengan berbagai instansi terkait. Pelaksanaan kegiatan ini bertujuan untuk
menyamakan pemahaman dan program yang telah dilaksanakan dalam upaya penanggulangan
HIV/AIDS, baik yang dilaksanakan KPA Kota Bukittinggi maupun yang dilaksanakan oleh
instansi terkait. Di samping itu, juga dibahas mengenai kendala, permasalahan dan solusi serta
update informasi yang ada dari lapangan.
Pertemuan dan koordinasi yang dilaksanakan antara lain (1). Pertemuan dan Koordinasi
dengan instansi terkait, (2). Pertemuan dan Koordinasi dengan LSM Peduli AIDS, ODHA dan
Kelompok Resti, (3). Pertemuan dan Koordinasi Layanan Kesehatan.
5). Kegiatan Pelatihan HIV/AIDS dan Support Group
KPA Kota Bukittinggi juga telah melaksanakan kegiatan pelatihan HIV/AIDS dan
Support Group, baik terhadap komunitas yang terdampak secara langsung oleh permasalahan
HIV/AIDS maupun pada kelompok komunitas peduli AIDS yang telah dibina dan didampingi
oleh KPAK Bukittinggi. Kegiatan pelatihan ini merupakan salah satu bentuk upaya
meningkatkan pemahaman dan mendorong partisipasi aktif dari komunitas untuk terlibat aktif
dalam pencegahan dan penanggulangan.
6). Kegiatan Penguatan Kelembagaan LSM Peduli AIDS

KPA Kota Bukittinggi telah melakukan pembinaan pada 4 (empat)


lembaga peduli AIDS di Kota Bukittinggi, yang mana masing-masing lembaga
memiliki program yang saling berkaitan dengan permasalahan HIV/AIDS, yaitu
sebagai berikut:

70

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

- LSM NPJ (New Padu Jiwa)


LSM New Padoe Jiwa lebih memfokuskan pada

kegiatan pemberdayaan

bagi mantan pecandu narkotika. Lembaga ini juga mendapatkan dukungan


dari Badan Narkotika Nasional dan Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat.
- LSM FORCES (Fordekock Society Social)
LSM ini merupakan lembaga yang lebih fokus pada kegiatan penjangkauan
dan pendampingan pada kelompok berisiko tinggi yang berada di Kota
Bukittinggi dan sekitarnya. Kegiatan penjangkauan dan pendampingan pada
kelompok resti ini telah didukung oleh NU Provinsi Sumatera Barat.
- LSM Persaudaraan Korban Napza
Kegiatan utama LSM ini adalah kegiatan advokasi bagi pecandu narkotika
khususnya terkait dengan pecandu yang merupakan korban sesuai dengan
Peraturan presiden No. 255 tahun 2011 tentang Wajib Lapor bagi Pecandu
Narkotika.
- Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Semangat Baru (New Spirit) Bukittingi
Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) New Spirit Jiwa Bukittinggi adalah
kelompok

yang melakukan kegiatan pendampingan dan dukungan bagi

ODHA di Kota Bukittinggi.


7). Workshop dan Sosialisasi
Kegiatan workshop dan sosialisasi terkait Narkotika dan HIV/AIDS
pada

Tokoh

Tungku

Tigo

Sajarangan

telah

dilaksanakan

Komisi

Penanggulangan AIDS Kota Bukittingi pada tahun 2013. Peserta kegiatan ini
terdiri dari tokoh agama, alim ulama, cendiakiawan dan stake holder terkait. Di
samping itu, juga diadakan sosialisasi narkotika, HIV/AIDS serta perilaku
menyimpang pada anggota Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Kecamatan
Mandiangin Koto Selayan. Dengan adanya workshop dan sosialisasi tersebut
diharapkan para peserta dapat memahami dan peduli terhadap permasalahan
HIV/AIDS.
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

71

8). Kegiatan Dialog interaktif dan Spot Iklan Himbauan Layanan


Masyarakat Upaya Penanggulangan HIV/AIDS
Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Kota Bukittinggi telah bekerjasama
de ngan 2 (dua) media telivisi lokal di Kota Bukittinggi dalam mensosialisasikan
permasalahan narkoba dan HIV/AIDS melalui kegiatan dialog interaktif dan
penanyangan spot

iklan himbauan masyarakat

upaya penanggulangan

HIV/AIDS. Tema dialog interaktif terkait dengan peran KPA Kota Bukittinggi
dan LSM binaanya dalam melakukan upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Sedangkan untuk

penayangan iklan himbauan masyarakat, KPA Kota

Bukittinggi bekerjasama dengan PT Tri Arga Televisi telah menayangkan


himbauan terkait upaya penanggulangan HIV/AIDS yang disampaikan oleh
Walikota Bukittinggi selaku Ketua KPA Kota Bukittinggi.
9). Media Informasi Buletin Tabuah KPA
Salah satu wadah yang dimanfaatkan untuk menginformasikan kegiatan
yang

telah dilaksanakan Sekretariat KPA Kota Bukittinggi adalah

media

Buletin Tabuah KPA Kota Bukittinggi, yang telah menerbitkan 4 (empat) edisi
buletin pada tahun 2013. Infomasi yang disajikan beragam sesuai dengan
kegiatan yang dilaksanakan, dan sebagai topik dalam Buletin Tabuah KPA
dari ke empat edisi tersebut antara lain adalah mengenai peran KPA dalam
kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, perang terhadap LGBT (Lesbian, Gay,
Biseksual dan Trangender), mereka yang bangkit dari keterpurukan, siswa
berada di garda depan.
10). Kegiatan Pendukung lainnya
Kegiatan

pendukung

Penanggulangan AIDS

lainnya

yang

telah

dilaksanakan

Komisi

Kota Bukittinggi antara lain adalah melalui

pembentukan Warga Peduli AIDS. Dengan dukungan dana yang dari Global
Found, pada tahun 2013 telah dibentuk 8 (delapan) kelompok Warga Peduli
AIDS (WPA) di Kota Bukittinggi. Pembentukan WPA ini sesuai dengan strategi
72

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dalam upaya penanggulangan


HIV/AIDS dengan melibatkan masyarakat sebagai kelompok yang menjadi
ujung tombak dalam penanggulangan HIV/AIDS dengan tujuan utama yaitu:
a). Mengidentifikasi potensi masalah terkait dengan penyalahgunaan narkotika
dan HIV/AIDS di lingkungannya masing-masing.
b). Memfasilitasi kelompok berperilaku risiko tinggi ke pusat-pusat layanan
kesehatan untuk memeriksakan kesehatan dan status HIV mereka sedini
mungkin.
c). Menciptakan lingkungan yang kondusif tanpa ada stigma dan diskriminasi
terhadap penderita HIV/AIDS di wilayahnya masing-masing.
Kegiatan Warga Peduli AIDS (WPA) tersebut dilaksanakan bekerjasama
dengan pihak Kelurahan serta tokoh masyarakat

setempat. Kegiatan WPA

dilaksanakan pada 8 (delapan) kelurahan, antara lain adalah WPA Gulai Bancah
di kelurahan Kubu Gulai Bancah, WPA Ipuh Mandiangin di Kelurahan
Campago Ipuh, WPA Pakan Kurai di Kelurahan Pakan Kurai, WPA Pakan
Labuah di Kelurahan Pakan Labuah, dll.
Kelompok warga yang telah terbentuk tersebut selanjutnya akan
melakukan kegiatan penaggulangan HIV/AIDS pada masing-masing tempat dan
akan berkoordinasi dan dibina oleh KPA Kota Bukittingi.
4.4.3.
a.

Pelaksanaan Penanggulangan HIV/AIDS yang Dilaksanakan Dinas Kesehatan

Ketersediaan Input

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota


Bukitinggi bahwa sarana pelayanan HIV dan IMS adalah:
1). Rumah Sakit Achmad Mochtar (RSAM) : Layanan rujukan
Layanan HIV/AIDS di RSAM Bukittinggi terdapat di Poliklinik
Serunai, yang telah dibuka sejak tahun 2007, dan kemudian sejak tahun
2009 Poliklinik Serunai bekerjasama dengan KPAK Bukittinggi. Sarana

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

73

pelayanan yang tersedia di Poliklinik Serunai antara lain adalah Poliklinik


VCT, ketersediaan obat ARV dan tes HIV gratis.
2). Puskesmas LKB (Layanan Komprehensif Berkesinambungan)
Ada 5 (lima) Puskesmas LKB yang terdapat di Kota Bukittinggi,
yaitu: Puskesmas Guguk Panjang, Puskesmas Perkotaan RA, Puskesmas
Tigo Baleh Puskesmas Mandiangin dan Puskesmas Gulai Bancah.
Dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Kota Bukittinggi sudah
disediakan beberapa orang tenaga terlatih yang terdapat di tempat-tempat
pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit maupun di Puskesmas dengan total
jumlah sebanyak 49 orang. Tenaga terlatih yang telah dipersiapkan tersebut
terdiri dari tenaga dokter sebanyak 12 orang, konselor (21 orang), labor (7
orang), dan administrasi (9 orang), seperti terlihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4. Jumlah Tenaga Terlatih yang terdapat di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan
No

Fasyankes

Dokter

Konselor

Labor

Admin

Guguk Panjang

Perkotaan

Tigo baleh

Mandiangin

Nilam Sari

Gulai Bancah

Plus Mandiangin

8.

RSAM

11

Jumlah

12

21

Sumber Dinas Kesehatan, 2013


74

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

b. Proses Impelementasi dan Output Program

Beberapa kegiatan yang sudah dilaksanakan Dinas Kesehatan Kota


Bukittinggi

dalam

upaya

penanggulangan

HIV/AIDS

adalah

kegiatan

peningkatan upaya pencegahan, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan


sistem pelayanan.
1). Peningkatan Upaya Pencegahan HIV/AIDS
a). Pertemuan dan Koordinasi dengan Instansi Terkait
Pertemuan dan koordinasi dengan instansi terkait dilaksanakan
dengan pihak

rumah sakit, Komisi Penanggulangan AIDS Kota

Bukittinggi, LSM Peduli AIDS, LAPAS, jaringan orang dengan


HIV/AIDS (ODHA), SKPD terkait (Dinas Sosial, Dinas Pariwisata,
Kesbangpol, Dinas Pendidikan, Satpol PP, dll) dan kelompok risiko
tinggi. Pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan paling kurang satu kali
dalam satu tahun, dan biasanya dilaksanakan pada awal tahun. Salah
satu tujuan kegiatan ini adalah dalam rangka koordinasi dan sinergisitas
lintas sektor untuk pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS. Dalam
kegiatan ini sudah ada kesepakatan bahwa SKPD/institusi terkait
bersedia untuk merencanakan kegiatan pencegahan dan pengendalian
HIV/AIDS dengan alokasi anggaran di SKPD terkait tersebut. Namun
kendalanya sampai saat ini

tampaknya belum ada SKPD yang

melaksanakan kegiatan yang mendukung pelaksanaan penanggulangan


HIV/AIDS.
b). Melaksanakan penyediaan dan pendistribusian materi KIE
Bahan Media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) bagi
masyarakat dan kelompok berperilaku risiko tinggi yang dibuat berupa
leaflet, stiker, spanduk,

dsb. Bahan media KIE tersebut kemudian

didistribusikan ke Puskesmas-Puskesmas.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

75

c). Scrining darah donor oleh PMI


Setiap

individu

yang

mempunyai

keinginan

untuk

menyumbangkan darahnya (donor darah), maka pihak Palang Merah


Indonesia (PMI) akan melakukan scrining darah terlebih dahulu. Hal
ini dilakukan untuk mengantisipasi jika ada para penyumbang darah
yang mempunyai penyakit menular seperti hepatitis dan HIV/AIDS
bisa terdeteksi, sehingga tidak menyebar kepada orang lain. Kegiatan
ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2005. Ada beberapa kasus yang
ditemukan bahwa setelah dilakukan scrining terhadap peserta donor
darah, ternyata ada yang terinfeksi HIV/AIDS. Kalau kondisi darah dari
donor ternyata terinfeksi penyakit menular, maka darah tersebut tidak
akan dipergunakan.
2). Pemberdayaan masyarakat
Beberapa kegiatan sudah dilaksanakan yaitu:
a) Pelatihan Peer Educator ( penyuluh sebaya) kelompok Risiko Tinggi

Pelatihan penyuluh sebaya kelompok resiko tinggi dilaksanakan dengan


bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota
Bukittinggi.
b) Pembinaan Kepada kelompok binaan LAPAS
Kegiatan

pembinaan

kepada kelompok binaan LAPAS dilaksanakan oleh Dinas

Kesehatan Kota bekerjasama dengan LAPAS, RSAM Bukittinggi dan Puskesmas.


Kegiatan ini diawali dengan melakukan penyuluhan kepada para narapidana (napi), dan
selanjutnya dilakukan penjaringan/pemeriksaan HIV/AIDS. Kegiatan penyuluhan dan
penjaringan ini dilaksanakan ketika sudah terdapat 40 orang napi baru. Setiap napi baru
akan dilaksanakan pemeriksaan HIV/AIDS sebanyak 3 kali. Jika pemeriksaan pertama
negatif, maka akan dilaksanakan pemeriksaan berikut dalam jangka waktu selama 3
bulan setelah berikutnya.
c) Sosialisasi HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual di lingkungan sekolah

Kegiatan sosialisasi HIV/AIDS dan IMS di lingkungan sekolah


dilaksanakan oleh Puskesmas berdasarkan daerah wilayah kerjanya
76

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

masing-masing. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberikan


informasi dan pengetahuan kepada siswa/pelajar tentang tentang
penyakit HIV/AIDS dan IMS, penularan HIV/AIDS dan faktor yang
berisiko tertularnya serta upaya pencegahan. Terkait dengan penularan
HIV/AIDS, biasanya lebih difokuskan kepada informasi tentang perilaku
menyimpang seperti narkoba jarum suntik dan seks bebas diantara yang
berbeda jenis kelamin. Sedangkan informasi tentang risiko penularan
akibat perilaku homo seksual dianggap agak sulit disampaikan karena
informasi ini dianggap rawan untuk diinformasikan kepada siswa di
SMP. Hal ini dikhawatirkan bisa mempengaruhi keinginan siswa SMP
tersebut untuk coba-coba melakukan perilaku yang demikian.
d) Sosialisasi dan Pembinaan kepada kelompok berisiko tertular HIV(supir-supir, Tukang
Pangkas dan Salon)

Kegiatan sosialisasi dan pembinaan kepada kelompok berisiko tertular


HIV seperti sopir-sopir, tukang pangkas dan salon pernah dilaksanakan
beberapa tahun yang lalu, tetapi karena sesuatu hal kegiatan sosialiasi
untuk tahun 2014 belum dilaksanakan lagi. Tujuan kegiatan ini adalah
memberikan informasi dan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan perilaku
yang bersiko untuk tertularnya HIV/AIDS.
e) Sosialisasi kepada tokoh masyarakat (PKK, LPM Kelurahan & Kecamatan, Bundo
Kanduang, Tokoh Pemuda dll )

Kegiatan sosialisasi/penyuluhan kepada tokoh masyarakat seperti Bundo


Kanduang, PKK, LPM Kelurahan dan kecamatan telah dilakukan oleh
KPA Kota Bukittinggi. Tujuan sosialisasi ini adalah supaya tokoh
masyarakat tersebut memahami tentang penyakit HIV/AIDS dan
penularannya, dan selanjutnya diharapkan mereka bisa peduli dalam
menanggapi permasalahan HIV/AIDS.
f) Sosialisasi ke sekolah/ Universitas.
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

77

Kegiatan sosialisasi yang dilakukan Sekolah/Universitas biasanya


dilakukan sendiri-sendiri. Misalnya ada kegiatan sosialisasi yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan (Puskesmas), KPA Kota Bukittinggi
dan RSAM. Kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh Puskesmas antara
lain dilakukan melalui kegiatan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja
(PKPR) dengan membentuk kader kesehatan keluarga.
Kegiatan

sosialisasi

juga

dilaksanakan

oleh

RSAM

ke

Sekolah/Universitas, dan kegiatan ini terselenggara melalui dana sukarela yang


berasal dari Perhimpunan Dokter Peduli AIDS. Selanjutnya di RSAM juga ada
program pendidikan remaja sebaya dan pendidikan wanita sebaya dalam upaya
meningkatkan ketahanan keluarga serta mengembangkan sikap anti stigma dan
non diskriminatif terhada ODHA.
Dalam rangka upaya pengendalian dan penanggulangan HIV/AIDS telah
dilaksanakan kemitraan dengan melibatkan para penderita menjadi konselor,
pendamping dan penjangkau. Keterlibatan ODHA ini adalah sebagai salah satu
upaya untuk mengajak dan memotivasi mereka yang dianggap berisiko terhadap
HIV/AIDS untuk mau melakukan pemeriksaan atau tes HIV dan melakukan
pengobatan bagi yang positif HIV.
3). Peningkatan Sistem Pelayanan
Kegiatan yang telah dilaksanakan dalam upaya peningkatan sistem
pelayanan adalah:
-

Meningkatkan SDM petugas melalui pelatihan-pelatihan (konselor, Laboratorium )

Melengkapi sarana dan prasarana pelayanan (ruangan konseling, Labor, penyediaan


rapid tes HIV (layanan LKB di 5 Puskesmas)

Operasional Klinik Serunai di RSAM

Capaian layanan infeksi menular seksual (IMS) tahun 2013 bisa


dilihat dari kunjungan IMS yaitu sebanyak 516, mobile IMS 337, yang
positif sebanyak 124, dan pemberian kondom sebanyak 249. Jika dilihat
78

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

dari fasilitas pelayanan kesehatan, Puskesmas Guguk Panjang merupakan


tempat fasilitas pelayanan yang paling banyak mendapatkan kunjungan
yaitu kunjungan IMS sebanyak 301, mobile IMS (246), jumlah positif IMS
(76) dan pemberian kondom sebanyak 90 (tabel 4.5). Selanjutnya untuk
capaian layanan HIV tahun 2013, dapat dilihat dari jumlah kunjungan VCT
yaitu sebanyak 474, mobile VCT (1072), yang positif HIV tahun 2013
sebanyak 56, ODHA yang mendapat ARV adalah sebanyak 74, seperti
terlihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.5. Capaian Layanan IMS tahun 2013
No

Fasyankes

Kunjungan
IMS

Mobile
IMS

Jml Positif
IMS

Pemberian
Kondom

Guguk Panjang

301

`246

76

90

Perkotaan

54

44

11

21

TigoBaleh

103

25

16

54

Mandiangin

54

22

18

78

Nilam Sari

Gulai Bancah

Plus
Mandiangin

516

337

124

249

TOTAL

Sumber: Dinkes Kota Bukittinggi 2013

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

79

Tabel 4.6. Capaian Layanan HIV Tahun 2013


No

Fasyan
Kes

Tes &
terima
hasil

Positif
HIV

Guguk
Panjang

38

37

Perkotaan

Tigo
Baleh

17

17

Mandian
gin

Gulai
Bancah

107

10

Plus
Mandiang
in

RSAM

304

1072

1202

51

31

74

74

474

1072

1274

56

31

74

74

TOTAL

Kunjungan Mobile
VCT
VCT

ODHA yg ODHA ODHA di


dirujuk ke dpt scrining
LSM
ARV
TB

Sumber: Dinkes Kota Bukittinggi 2013

4.4.4 Dukungan Beberapa Lintas Sektor dalam Upaya Penanggulangan


HIV/AIDS
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olah Raga bahwa pengetahuan pelajar tentang penyakit HIV/AIDS, penyebab
dan penularan HIV memang dikatakan masih relatif kurang. Apalagi penyakit
ini berkaitan dengan perilaku menyimpang. Kalau selama waktu di sekolah
sebenarnya siswa bisa dikontrol/diawasi, namun kalau di luar lingkungan
sekolah seperti lingkungan bermain ini siapa yang bisa mengontrol.
Sehubungan dengan ini maka perlu ditingkatkan pemahaman siswa terhadap
penyakit HIV/AIDS, sehingga mereka bisa mengontrol untuk tidak melakukan
perilaku yang tidak sesuai dengan adat dan agama. Salah satu upaya yang bisa

80

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

dilaksanakan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman HIV/AIDS


adalah melalui kegiatan penyuluhan/sosialisasi kepada pelajar/siswa.
Kegiatan yang secara khusus dan langsung dilaksanakan oleh Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Disdikpora) dalam upaya penanggulangan
HIV/AIDS diakui memang belum ada. Namun demikian, pihak Disdikpora
menyatakan sudah terlibat dalam kegiatan penyuluhan yang terkait dengan
narkoba dan HIV/AIDS di sekolah-kolah. Biasanya yang melaksanaakan
kegiatan tersebut adalah Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota
Bukittinggi dan Dinas Kesehatan serta jajarannya.
Kegiatan lainnya yang dianggap sebagai upaya pencegahan penyakit
HIV/AIDS adalah melaksanakan pendidikan berkarakter di sekolah-sekolah.
Dalam mata pelajaran agama misalnya diselipkan materi tentang pengetahuan
dan perilaku yang terkait dengan narkoba dan HIV/AIDS. Selanjutnya di
sekolah-kolah juga perlu dilakukan penambahan kegiatan ekstra kulikuler.
Penambahan kegiatan yang positif di sekolah ini adalah sebagai salah satu
upaya untuk menyalurkan bakat siswa dan juga mencegah siswa dari perilaku
yang negatif. Kemudian setiap Bulan Ramadhan dilaksanakan kegiatan
Pesantren Ramadhan. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan para pelajar bisa
meningkatkan keimanannya dan sekaligus sebagai upaya untuk pencegahan
perilaku menyimpang seperti narkoba dan perilaku seks bebas.
Berdasarkan

hasil

wawancara

dengan

informan

dari

Kantor

Pemberdayaan Perempuan dan keluarga Berencana diketahui bahwa beberapa


upaya sudah dilakukan untuk meningkatkan kesehatan perempuan, dan salah
satunya adalah melalui sosialisasi yang terkait dengan kesehatan reproduksi
perempuan. Sosialisasi dilakukan kepada organisasi perempuan, PKK,
Dharmawanita, Persatuan Ibu dari Bayangkari, kelompok kader dan
Dasawisma. Selanjutkan sosialisasi juga dilakukan kepada Pusat Pelayanan
Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak. Materi yang disampaikan adalah
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

81

termasuk informasi tentang HIV/AIDS, dengan narasumber dari RSAM


(Psikolog, dokter spesialis anak), dan narasumber dari kepolisian.
Selanjutnya sosialisasi/informasi yang terkait dengan HIV/AIDS juga
telah dilaksanakan melalui Pusat Informasi Konseling (PIK) di sekolah-sekolah,
yaitu sebanyak 8 (delapan) SMP, 5 (lima) SMA dan satu MAN, dan sebanyak
7 (tujuh) Perguruan Tinggi. Sedangkan untuk sekolah-sekolah swasta belum
dilaksanakan. Materi yang disampaikan anta lain adalah masalah pendidikan
seks, HIV/AIDS dan narkoba/napza.
Pengurus PIK tersebut berasal dari siswa masing-masing sekolah, dan
pembinanya adalah guru BK (Bimbingan Konseling). Pusat Informasi
Konseling (PIK) ini terdiri dari pendidik sebaya dan konselor sebaya yang
dilatih dari BKKBN Pusat, dan bagi mereka yang sudah mengikuti pelatihan ini
diberikan sertifikat. Pendidik sebaya antara lain bertugas memberikan
informasi/pendidikan

tentang

kesehatan

reproduksi

remaja

(termasuk

HIV/AIDS), dan ini bisa menggunakan media elektronik dan majalah dinding
(mading). Sedangkan untuk konselor, di samping bertugas memberikan
informasi juga memberikan konseling kepada teman-teman atau siswa yang
lain. Dalam hal ini sudah ada jadwal konseling, dan jika ada siswa yang
mengalami

suatu permasalahan, maka konselor sebaya bisa memberikan

beberapa solusi.
Informan dari Kantor Pemberdayaan Masyarakat

Kota Bukittinggi

mengemukakan bahwa ada beberapa kegiatan yang sudah dilaksanakan terkait


dengan kegiatan penguatan kelembagaan yaitu melakukan

pembinaan,

pendampingan, dan evaluasi monitoring terhadap kelembagaan yang terdapat di


daerah seperti Lembaga Pemberdayaan masyarakat (LPM). Lembaga ini
nantinya yang melaksanakan kegiatan untuk motivasi/menggerakkan dan
memberdayakan

masyarakat

supaya

bisa

aktif

dalam

melaksanakan

pembangunan. LPM ini juga melaksanakan kegiatan manunggal sakato yang


82

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

melibatkan lembaga seperti KAN. Dalam kegiatan ini juga disampaikan


beberapa hal yang terkait dengan informasi kesehatan seperti perilaku hidup
bersih dan sehat, masalah narkoba dan HIV/AIDS.
Kegiatan lainnya yang dilaksanakan adalah terkait pemberdayaan
masyarakat dan sumber daya air. Untuk kegiatan yang terkait pemberdayaan
masyarakat

juga telah dilakukan pembinaan terhadap kelompok PKK dan

posyandu. Dalam kegiatan posyandu ini juga diselipkan pemberian informasi


terkait kesehatan masyarakat. Dengan adanya kegiatan posyandu dan PKK ini
diharapkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang hidup sehat dapat
ditingkatkan.
Selanjutnya

pihak Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Bukittinggi

menyatakan bahwa upaya secara langsung yang dilakukan Dinas Budaya dan
Pariwisata untuk pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS memang belum ada.
Namun demikian, Dinas Budaya dan Pariwisata telah melaksanakan program
pengembangan pariwisata, yaitu sapta pesona. Dalam rangka sapta pesona ini
telah dilaksanakan beberapa kegiatan antara lain adalah kegiatan pestival
silek/lomba silek (silat), yang pada umumnya diikuti oleh pelajar mulai umur 5
tahun sampai usia remaja. Adapun kegiatan ini dilaksanakan agar generasi
muda lebih mencintai dan ikut melestarikan seni dan dan budaya. Di samping
itu, kegiatan olah raga tradisional seperti silat ini adalah merupakan kegiatan
positif buat generasi muda, yang mana dengan kegiatan ini diharapkan agar
generasi muda bisa meluangkan waktunya untuk melaksanakan kegiatan yang
bermanfaat dan menghindari kegiatan atau perilaku yang menyimpang seperti
narkoba atau seks bebas.
Selanjutnya juga ada kegiatan pemilihan bujang dan gadis, yang mana
peserta yang ikut dalam kegiatan ini menggunakan pakaian muslim atau jilbab
buat yang wanita. Pada ajang pemilihan ini juga dilaksanakan semacam

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

83

pembinaan kepada generasi muda dengan memberikan materi seperti narkoba


dan HIV/AIDS. Pada kegiatan ini juga dilibatkan LKAM.
Permasalahan HIV/AIDS juga terkait dengan budaya, dimana pada saat
ini anak muda cenderung meniru budaya luar dan budaya yang berasal dari
daerah kita cenderung tergeser oleh nila-nilai budaya yang kurang baik. Hal ini
seperti tampak dari perilaku berpacaran yang mengenyampingkan

budaya

malu. Masalahnya sekarang adalah bagaimana budaya baru yang berasal dari
luar tersebut bisa menyesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang sudah menjadi
tradisi atau tertanam dan menjadi pendoman dalam kehidupan masyarakat
setempat.
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja juga telah melaksanakan beberapa upaya
preventif yang terkait dengan perbuatan maksiat telah dilaksanakan Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja bahwa, antara lain dengan melaksanakan pertemuan
dengan Karang Taruna dan Pekerja Masyarakat. Dalam hal ini diberikan unsur
pembinaan seperti ketrampilan dan memberikan informasi/sosialisasi bahwa
tato yang dianggap seni adalah salah satu hal yang bisa menularkan HIV/AIDS.
Lebih lanjut kegiatan yang dilaksanakan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
pada umumnya merupakan kegiatan dari Dinas Sosial Provinsi, dan tempatnya
dilaksanakan di Bukittinggi. Kegiatan ini adalah seperti penyuluhan dan
pemeriksaan kesehatan dan pelatihan ketrampilan. Dalam hal ini biasanya
cenderung diikuti oleh mereka yang berasal dari kelompok mantan pecandu
narkoba. Ketrampilan yang diberikan adalah ketrampilan perbengkelan.
Namun demikian, Dinas Sosial Kota dan Tenaga Kerja Bukittinggi sudah
melaksanakan kegiatan pembinaan kepada para Pekerja Seks Komersil (PSK)
yang telah terjaring oleh petugas Satpol PP dan diteruskan ke Dinas Sosial.
Mereka diberikan pembinaan dan ketrampilan seperti menjahit, sehingga
nantinya setelah mendapatkan ketrampilan mereka bisa melakukan pekerjaan
sesuai dengan ketrampilan yang sudah mereka dapatkan. Tetapi kenyataan yang
84

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

ditemukan di lapangan PSK tersebut sulit untuk meninggalkan pekerjaan


mereka sebagai PSK.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pengawasasan dan pelanggaran terhadap
Peraturan Daerah Kota Bukittingi No. 20 tahun 2003 tentang Penertiban dan
Penindakan penyakit masyarakat masih belum optimal dilaksanakan. Pemberian
sanksi terhadap pelanggaran Perda tersebut dianggap masih lemah. Jika dilihat
dari kenyataan di lapangan bahwa pelaksanaan razia yang dilakukan oleh
petugas Satpol PP cenderung dilakukan kepada PSK yang terdapat di hotelhotel melati bukan hotel yang berbintang.
Selanjutnya informan mengemukakan bahwa dalam rangka menyikapi
semakin meningkatnya kasus HIV/AIDS, maraknya pelecehan seksual terhadap
anak dan orang dewasa, pelacur, homo dan lesbi khususnya di Kota Bukittinggi,
maka pihak MUI telah melakukan beberapa kegiatan antara lain penyebarluasan
informasi berupa himbauan kepada masyarakat melalui pengurus mesjid se
Kota Bukittinggi. Adapun beberapa himbauan yang disampaikan yaitu: 1).
Agar setiap warga masyarakat peduli dan waspada penyakit masyarakat
tersebut, 2). Setiap pemilik kost atau rumah sewaan betul-betul mengetahui
perilaku penghuninya dan bersikap tegas bila ternyata melakukan pelanggaran
Adat dan Agama, 3). Masyarakat menolak berbagai

bentuk kegiatan yang

cenderung memfasilitasi pelanggaran Adat dan Agama seperti karauke yang


menghadirkan muda-mudi, tempat berkumpulnya muda-mudi, dll, 4). Pemuka
masyarakat, Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Pemerintah harus bergerak aktif
bersama-sama dan harus tegas dalam mengantisipasi menindak kasus yang
terjadi, 5). RT/RW harus peka terhadap kejadian atau kemungkinan terjadi
kasus-kasus tersebut, dan 6). Mesjid harus aktif dalam memfasilitasi kegiatan
generasi muda agar kegiatan mereka terkonsentrasi terhadap yang positif.
Informan dari MUI juga menyampaikan bahwa sejak dua tahun yang lalu
telah dilakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang permasalahan remaja kepada
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

85

siswa SLTP dan SLTA pada waktu bulan Ramadhan. Materi yang disampaikan
terkait dengan pergaulan dan seks bebas, kasus HIV/AIDS, dan maraknya kasus
gay dan lesbi.
MUI Kota Bukittinggi juga melakukan pemetaan atau survey terhadap
perilaku yang dianggap meresahkan masyarakat seperti perilaku seks bebas.
Berdasarkan laporan dari masyarakat dan berkoordinasi dengan pemuka
masyarakat, kemudian hal tersebut dilaporkan kepada Satpol PP.

Sebagai

tindak lanjut dari informasi yang diterima oleh Satpol PP, maka bersama-sama
dengan MUI, pemuka masyrakat/tokoh masyarakat, dan LKAM Satpol PP telah
melakukan tindakan razia gabungan ke tempat-tempat hiburan, seperti ke
tempat Pub Hotel Pusako (tahun 2012). Setelah dilakukan razia ke lokasi Pub
Hotel Pusako tersebut ditemukan adanya perilaku yang tidak sesuai dengan
Adat dan Agama. Dalam hal ini terungkap adanya sejumlah wanita yang
memberikan jasa hiburan (sebagai penari telanjang), dan kemudian juga
ditemukan adanya beberapa PSK yang bekerja dengan menggunakan jasa antar
jemput dengan Taxi.
Perilaku menyimpang seperti perilaku seks tersebut cukup meresahkan
masyarakat, apalagi perilaku tersebut bisa menyebabkan penularan HIV/AIDS.
Berdasarkan hasil razia terhadap Pub di Hotel Pusako tersebut, informan
menyatakan bahwa Walikota Bukittinggi telah memberikan teguran kepada
pihak hotel. Pihak hotel kemudian mengganti nama tempat hiburan tersebut.
Sehubungan dengan hal ini, maka perlu ditingkatkan lagi pengawasannya oleh
instasi terkait.
Masalah penggunaan kondom untuk pencegahan penularan HIV/AIDS
memang saat ini menurut informan masih ada sikap pro dan kontra. Dari satu
sisi penggunaan kondom untuk pencegahan HIV/AIDS bagi pasangan suami
istri tidak masalah. Namun penggunaan kondom bagi mereka yang berperilaku
menyimpang menurut informan dianggap rasanya sulit untuk dibenarkan,
86

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

karena sepertinya membolehkan orang untuk melakukan perilaku yang tidak


sesuai dengan agama dan adat.
Informan dari LKAM Kota Bukittinggi menginformasikan bahwa LKAM
sudah melakukan beberapa kegiatan yang terkait dengan upaya pencegahan
dan penanggulangan penyakit HIV/AIDS di Kota Bukittinggi, diantaranya
adalah dengan memberikan penyuluhan atau sebagai narasumber di sekolahsekolah, yang mana materinya juga meliputi persoalan HIV/AIDS. Selanjutnya
LKAM juga terlibat

sebagai pendamping dalam kegiatan-kegiatan yang

dilakukan Komisi Penanggulangan HIV/AIDS.


Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyakit masyarakat
LKAM dan MUI juga ikut terlibat dalam pelaksanaan razia yang dilaksanakan
oleh Satpol PP. Razia gabungan tersebut biasanya terlaksana setelah adanya
laporan masyarakat dan seterusnya dilaporkan kepada tokoh masyarakat, LKAM
dan MUI, dan ini biasanya dilakukan di tempat-tempat hiburan. LKAM juga
telah memberikan bimbingan adat dan budaya kepada generasi muda. Bahan
materi adat tersebut disampaikan kepada siwa SLTP/SLTA di Kota Bukittinggi
pada waktu kegiatan Ramadhan. Materi yang diberikan adalah terkait dengan
adat Minangkabau, sifat orang berbudi, sopan santun dalam kehidupan, tau di
nan ampek, sumbang salah, dan sumbang 12

seperti duduk, tagak, diam,

bajalan, batanyo, manjawek, maliek, berpakaian, bagaua, karajo dan kurenah.


Selanjutnya dalam rangka memasuki bulan suci Ramadhan tahun 2014,
sudah ada seruan bersama dari Walikota dan Musyawarah Pimpinan Daerah
serta Tokoh Masyarakat Kota Bukittinggi, yang ditandatangani oleh Walikota
Bukittinggi, Ketua DPRD, Kapolres, Ketua KLAM, Ketua MUI dll. Adapun
seruan bersama dalam rangka menyambut bulan Suci Ramadhan tersebut antara
lain adalah untuk menghindari dan membentengi diri, keluarga, dan lingkungan
dari bahaya terorisme, narkoba, perilaku amoral dan dari dari penyakit
masyarakat yang dapat menghancurkan masa depan umat. Selanjutnya
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

87

mengendalikan diri dari segala perbuatan yang dilarang agama, adat dan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan informasi dari kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) Kota Bukittinggi diketahui bahwa pihak mereka saat ini sudah mengajukan
Rancangan Peratuan Daerah (Ranperda) untuk penyempurnaan atau perubahan
terhadap Peraturan Daerah Kota Bukittingi No.20 tahun 2003 tentang penertiban
dan penindakan penyakit masyarakat.
Kantor Satpol PP melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penegak
Perda termasuk dalam menindak seseorang/masyarakat yang terlibat dalam
tindakan/perilaku menyimpang seperti melakukan perbuatan maksiat. Beberapa
upaya yang dilakukan oleh Satpol PP dalam rangka penertiban dan penindakan
penyakit masyarakat antara lain adalah dengan melakukan razia pada tempattempat hiburan dan hotel kelas melati, termasuk tempat kos.
Pelaksanaan

razia tersebut

tidak bisa dipastikan jadwalnya, dan

biasanya dilakukan berdasarkan pengaduan masyarakat dan informasi dari intel.


Pelaksanaan razia dilakukan secara bersama-sama dengan pihak kepolisian,
MUI dan LKAM. Hambatan yang dirasakan dalam pelaksanaan penegakan
Perda tersebut antara lain adalah kendala lemahnya untuk bisa membuktikan
bahwa seseorang dianggap telah melakukan perbuatan maksiat.
Setelah dilakukan razia dan terbukti sudah melakukan perbuatan asusila,
maka selanjutnya akan diproses, dan setelah itu akan dilakukan pembinaan oleh
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (di Sukarami Solok). Namun demikian
dikatakan bahwa para pekerja seks yang sudah dilakukan pembinaan tersebut
cenderung untuk kembali melaksanakan pekerjaaan yang sama, dan dalam hal
ini mereka tampaknya sulit untuk beralih profesi.
Satpol PP juga telah melaksanakan razia terhadap warnet, yang mana
sasarannya adalah para pelajar/siswa sekolah. Razia ini biasanya dilakukan

88

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

kurang lebih tiga bulan sekali, dan biasanya didasarkan pada informasi yang
diberikan oleh pihak sekolah.
4.4.5.

Beberapa Permasalahan/Hambatan Dalam Penanggulangan HIV/AIDS

a. Hambatan Sosial Budaya:


1).

Masih rendahnya pengetahuan/informasi dan kesadaran masyarakat tentang penyakit


HIV/AIDS

Hambatan dalam pelaksanaan program penanggulangan penyakit


HIV/AIDS tersebut menurut pihak Puskesmas terkait dengan masih
kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terutama yang pernah
melakukan perilaku menyimpang untuk melakukan pemeriksaan HIV/AID
di pelayanan kesehatan. Dari mereka yang datang untuk melakukan
konseling, mereka cenderung relatif tertutup dan belum siap untuk
pemeriksaan tes HIV. Bahkan mereka cenderung hanya dengan janji-janji
saja untuk tes HIV, seterusnya mereka tidak datang-datang lagi.
2).

Masih adanya Stigma sosial dan diskriminasi


Kendala yang dihadapi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS diantaranya
adalah masalah stigma sosial terhadap penyakit dan penderita HIV/AIDS. Dalam hal ini
sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa penyakit HIV/AIDS adalah penyakit
yang sangat memalukan dan penderitanya harus dikucilkan atau dipisahkan karena takut
ketularan penyakit tersebut. Sementara itu, dikalangan tenaga kesehatan sendiri juga ada
stigma (stigma tenaga kesehatan) terhadap penyakit HIV/AIDS.
Stigma dan diskriminasi merupakan salah satu hambatan dalam penanggulangan
HIV/AIDS, dan biasanya timbul akibat adanya persepsi yang salah tentang HIV/AIDS.
Oleh karena itu dengan adanya pemahaman dan persepsi yang keliru tentang HIV/AIDS di
lingkungan masyarakat perlu diketahui untuk pengembangan program intervensi.

3).

Masih kurangnya kesadaran (kesiapan) untuk pemeriksaan HIV dan kepatuhan pasien
untuk minum obat
Kendala lainnya terkait dengan kurangnya kesiapan seseorang yang pernah
berperilaku berisiko untuk melakukan pemeriksaan/tes HIV. Walaupun dari mereka yang
sudah melakukan konseling, namun kesediaan dan kesiapan untuk melakukan pemeriksaan

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

89

HIV masih relatif kurang. Begitu juga dengan mereka yang sudah pernah melakukan
pemeriksaan, tetapi tidak melanjutkan pemeriksaan lagi (3 kali pemeriksaan), sehingga
kehilangan kontak (loss). Hal inilah yang menjadi kendala dalam pencegahan dan
pengendalian HIV/AIDS.
Dalam hal pengobatan, penderita mengakui bahwa ketaatan minum obat adalah hal
yang penting untuk menjaga daya tahan tubuh para penderita. Di samping itu, juga perlu
diperhatikan kondisi fisik dan tidak boleh bekerja terlalu lelah. Efek samping yang
dirasakan akibat minum obat tersebut adalah emosi kurang stabil dan cenderung cepat
marah, dan ini merupakan hal yang sulit mereka kendalikan. Selanjutnya kendala dalam
penanggulangan HIV/AIDS adalah masalah terputusnya pengobatan pasien baru, yang
mana ada kecenderungan dari pasien yang baru tidak balik-balik lagi atau pindah
pengobatan dengan memanfaatkan tenaga dukun. Dalam hal ini perlu adanya upaya dari
tenaga kesehatan untuk lebih sensitif terhadap pasien HIV/AIDS, sehingga pasien tersebut
bisa termotivasi untuk menjalankan pengobatannya.

Kondisi mengenai kurangnya kesiapan (ketakutan) untuk pemeriksaan


HIV/AIDS dan terputusnya pengobatan HIV/AIDS tersebut terkait dengan
latar belakang adanya stigma sosial dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS.
Stigma dan diskriminasi yang terjadi di masyarakat dapat berpengaruh
buruk terhadap kesediaan

untuk dilakukan test HIV dan kepatuhan

pengobatan dengan anti retroviral. Pengurangan stigma dan diskriminasi


pada masyarakat merupakan indikator yang penting untuk mengukur
keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan HIV.
4).

Berkurangnya

peran dan fungsi dari keluarga, ninik mamak, kelembagaan adat serta

berkurangnya kontrol sosial


Seiring dengan perkembangan zaman dan kesibukan dari para orang tua untuk
mencari nafkah untuk keluarga, telah menyebabkan peran dan fungsi dari keluarga dalam
memberikan pemahaman/sosialisasi terhadap nilai-nilai adat/budaya dan agama dan upaya
pengawasan kepada anak-anak menjadi relarif berkurang. Begitu dengan kondisi ninik
mamak dalam upaya pengawasan terhadap perilaku kemenakan juga cenderung lemah. Hal
ini antara lain disebabkan karena hubungan atau interaksi sosial yang dilakukan dengan
lingkungan keluarga luas cenderung berkurang karena adanya faktor jarak tempat tinggal
yang berjauhan dan kesibukan dengan peran dan tanggung jawab terhadap kehidupan

90

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

keluarga inti. Disamping itu,

juga ada kecenderungan terjadinya krisis kepercayaan

terhadap ninik mamak oleh anak kemenakan. Ninik mamak seharusnya memegang kendali
dan menentukan dalam pembentukan kepribadian anak kemenakan. Namun karena peran
dan fungsi untuk mengontrol dan menentukan membina perilaku anak kemenakannya
tidak bisa dijalankan dengan baik, maka remaja bisa kehilangan kendali dan akhirnya bisa
terjerumus kepada perilaku yang tidak sesuai dengan dengan nilai/norma adat dan agama,
seperti perilaku yang berisiko tertularnya HIV/AIDS.
Selanjutnya persoalan dewasa ini adalah kelembagaan adat semakin menurun
fungsinya sejalan dengan semakin memudarnya kepatuhan menjalankan norma dan nilai
adat dalam masyarakat. Sehingga, semakin banyak masyarakat yang tidak mengenal
dengan baik tentang fungsi, peran dan tujuan dari kelembagaan adat. Kondisi memudarnya
kepatuhan menjalankan norma dan nilai adat dalam masyarakat tersebut tentunya bisa
berdampak kepada kebebasan bersikap dan bertindak dari remaja, dan akan berisiko
terhadap perilaku menyimpang.
Kondisi kehidupan saat ini yang cenderung individualistik

juga dapat

menyebabkan berkurangnya kontrol sosial/kepedulian sosial. Hal ini misalnya tampak dari
perilaku atau gaya pacaran remaja sekarang yang cenderung berkurangnya rasa malu dan
kurang peduli dengan lingkungan sekitar. Begitu juga sebaliknya lingkungan sosial juga
tampaknya juga relatif kurang peduli akan hal tersebut.
Pengusaha/pemilik tempat kos terkadang kurang memperhatikan atau kurang
melakukan pengawasan terhadap anak-anak kos. Begitu juga pengawasan pada tempattempat penginapan/hotel/wisma dianggap juga relatif kurang. Apalagi pada hotel-hotel
berbintang, bahkan hampir tidak pernah dilakukan razia. Pihak hotel bahkan cenderung
tidak pernah mempertanyakan tentang bukti surat nikah dari pasangan yang menginap.

4.4.6. Permasalahan/Hambatan dalam Implementasi Program


1).

Keterbatasan tenaga konselor dan psikolog


Peran konselor dalam pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS sangat penting.
Namun dalam pelaksanaannya tenaga konselor yang terlatih dirasakan masih kurang.

2).

Keterbatasan Jangkauan Penyuluhan/Sosialisasi dan Penjaringan


- Keterbatasan jangkauan penyuluhan dan penjaringan pada Masyarakat

Hambatan dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan dan penanggulangan


penyakit

HIV/AIDS

terkait

dengan

persoalan

keterjangkauan

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

91

penyuluhan dan penjaringan khusus pada masyarakat umum. Kalau pada


kelompok berisiko relatif mudah untuk menjangkaunya karena mereka
punya komunitas sendiri, tapi pada masyarakat umum relatif sulit untuk
menjangkaunya. Hal ini terkait dengan adanya stigma terhadap penyakit
HIV/AIDS, yang mana penyakit tersebut dianggap memalukan, sehingga
sulit untuk melakukan penjaringan.
-

Masih terbatasnya materi penyuluhan tentang HIV/AIDS di sekolah

Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa materi penyuluhan tentang


HIV/AIDS yang dilakukan di sekolah-sekolah cenderung lebih terfokus
pada masalah narkoba, sedangkan materi yang terkait infeksi menular
seksual dan perilaku seks menyimpang dianggap masih kurang. Hal ini
terkait dengan persoalan tabu untuk membicarakan seks dengan remaja,
dan apalagi masalah perilaku seksual antara sesama jenis karena
dikhawatirkan remaja akan terpengaruh untuk melakukan hal tersebut.
3). Kesulitan dalam menjangkau populasi kunci
Dalam rangka untuk

penemuan kasus baru, perlu dilakukan

penjaringan kasus. Namun dalam pelaksaksanaan ada kesulitan untuk


menjangkau populasi kunci. Kendala yang dihadapi dalam pendampingan
dan penjangkauan adalah mengajak mereka yang dianggap beresiko
HIV/AIDS untuk melakukan pemeriksaan HIV/AIDS, dan disebabkan
karena dirasakan agak susah dilakukan pendekatan karena mereka
cenderung tertutup (stigma). Selanjutnya mereka juga merasakan kesulitan
atau berat untuk menerima status sebagai penderita HIV/AIDS karena
mereka juga takut dikucilkan. Hal ini menurut informan (penderita) karena
sudah ada beberapa kasus penderita yang dikucilkan oleh keluarga dan
masyarakat.

92

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Sementara itu, dari dari sisi petugas penjangkau HIV/AIDS juga


terkendala dengan belum adanya

jaminan keselamatan kerja ketika

berhubungan dengan pihak penegak hukum. Apalagi tempat-tempat yang


akan dikunjungi atau yang menjadi sasaran untuk dilakukan penjangkauan
adalah merupakan tempat yang dianggap cukup berisiko tinggi terhadap
keselamatan diri. Dalam hal ini ada kekhawatiran jika terjadi razia dan
ditangkap polisi, mereka tidak memiliki kartu identitas sebagai penjangkau.
4).

Belum Optimalnya Koordinasi dan Dukungan Terhadap Penanggulangan HIV/AIDS

Pelaksanaan koordinasi dan sinergisitas lintas sektor untuk


pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS dianggap belum optimal. Pada hal
waktu pelaksanaan koordinasi sudah ada kesepakatan bahwa SKPD/institusi
terkait

bersedia

untuk

merencanakan

kegiatan

pencegahan

dan

pengendalian HIV/AIDS dengan alokasi anggaran di SKPD terkait tersebut.


Namun, dalam implemenntasinya masih terkendala dengan belum
optimalnya perhatian dan dukungan dari instansi terkait. Beberapa kegiatan
yang dilaksanakan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS cenderung
dilaksanakan hanya oleh KPA, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit dan
Puskesmas.

Pada hal upaya penanggulangan HIV/AIDS juga harus

melibatkan dukungan dari lintas sektor termasuk dalam pengalokasian dana.


Hal ini mengingat bahwa ada beberapa kegiatan yang seharusnya
dilaksanakan oleh mereka yang mempunyai keahlian dari SKPD tertentu
dengan mengusulkan kegiatan dan alokasi dana. Namun, dukungan dari
lintas sektor sampai saat ini belum bisa terlaksana. Adapun permasalahan
yang terkait ini dianggap berkaitan dengan belum adanya kebijakan yang
mengatur, baik

Perda maupun Perwako tentang penanggulangan

HIV/AIDS.

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

93

Pelaksanaan Permenkes No. 21 Tahun 2013 (Penanggulangan


HIV/AIDS) belum terlaksana seperti yang diharapkan. Dalam lingkungan
pelayanan kesehatan sendiri masih ada stigma dari tenaga kesehatan. Hal
ini antara lain terkait dengan adanya kekhawatiran terhadap keamanan
(safety) dan kurang peduli terhadap pemeriksaan HIV/AIDS. Walaupun
sudah ada kebijakan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) bahwa ibu
hamil dan pasien TB harus dilakukan pemeriksaan HIV/AIDS, namun
beberapa dokter masih belum melaksanakan hal tersebut. Mereka cenderung
untuk merujuk ke Padang. Dalam hal ini dianggap bahwa kurang adanya
sinergisitas antara Bagian Kebidanan/Kandungan dan Paru dengan klinik
Serunai di SRAM dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Pemeriksaan
HIV untuk ibu hamil

Kolaborasi TB

4.5. Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS Berdasarkan Sosial Budaya

Berdasarkan informasi mengenai peningkatan jumlah kasus dan risiko


penularan HIV/AIDS yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat dan di Kota
Bukittinggi tersebut di atas telah membuka mata kita bahwa siapa pun bisa
terkena

HIV/AIDS

jika

tidak

dengan

benar-benar

berupaya

untuk

menghindarinya. Permasalahan HIV/AIDS menjadi serius bukan hanya terdapat


pada masalah HIV/AIDS itu sendiri. Kondisi ketidaktahuan dan ketidakpedulian
masyarakat secara umum terhadap HIV/AIDS adalah justru yang lebih
berbahaya karena bisa menjadi pintu masuk penyebaran HIV/AIDS. Kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang penyakit dan resiko penularan HIV/AIDS telah
menyebabkan masyarakat kurang waspada, dan bisa menyebabkan terjadinya
penularan dan penyebaran HIV/AIDS kapan saja dan di mana saja. Kurangnya
kepedulian masyarakat terhadap HIV/AIDS menyebabkan pengedalian dan
penanggulangan HIV/AIDS tampaknya lebih cenderung dilakukan oleh
pemerintah dan lembaga-lembaga yang fokus dengan permasalahan tersebut
(Faqih dkk, 2013).

94

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Kompleksnya masalah HIV/AIDS sudah sedemikian rupa, sehingga


tidak mungkin hanya dibebankan kepada salah satu institusi, termasuk institusi
pemerintah. Oleh sebab itu, fenomena HIV/AIDS tersebut harus betul-betul
menjadi perhatian dari berbagai pihak. Seperti yang dikemukakannya
sebelumnya bahwa sebagian besar kasus HIV dan AIDS terjadi pada kelompok
perilaku risiko tinggi yang merupakan kelompok yang dimarjinalkan, maka
program-program pencegahan dan pengendalian HIV dan AIDS memerlukan
pertimbangan keagamaan, adat-istiadat dan norma-norma masyarakat yang
berlaku, di samping pertimbangan kesehatan. Oleh karena itu, penanggulangan
HIV/AIDS harus dilaksanakan secara komprehensif atau terintegrasi, termasuk
dengan melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama serta organisasi sosial
lokal. Dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan
HIV/AIDS diharapkan akan mampu meminimalisir jumlah penularan dan
penyebarannya di masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian telah diketahui beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan upaya penanggungan HIV/AIDS. Sehubungan dengan hal ini
akan dirumuskan kondisi lingkungan Internal (Kekuatan dan Kelemahan) dan
Lingkunan Eksternal (Peluang dan Tantangan) yang terkait pengembangan
strategi penanggulangan HIV/AIDS

berdasarkan pendekatan sosial budaya

dengan menggunakan analisis SWOT, seperti yang terdapat di bawah ini dan
juga terlihat pada tabel 4.7.
Faktor Internal:
Kekuatan (Strenght):
1.

Memiliki kelembagaan/institusi pemerintah, KPA dan LSM yang terorganisir dengan baik

2.

Memiliki tenaga yang sudah terlatih

3.

Memiliki rumah sakit layanan HIV /AIDS (Klinik Serunai RSAM)

4.

Sebagian besar Puskesmas sudah memiliki fasilitas layanan untuk IMS, VCT

5.

Sudah membentuk kelompok Warga Peduli AIDS

6.

Mendapatkan dukungan dari pemerintah

Kelemahan (Weakness):
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

95

1.

Masih kurangnya komitmet SKPD terkait untuk mengalokasikan dana penanggulangan


HIV/AIDS

2.

Masih kurangnya jumlah tenaga konselor HIV/AIDS

3.

Keterbatasan perangkat hukum

(Perda lokal)

yang mendukung penanggulangan

HIV/AIDS
4.

Masih lemahnya koordinasi dan dukungan dari instansi terkait

5.

Masih terbatasnya penyuluhan dan penjangkauan

pada masyarakat dan tempat-tempat

hiburan
6.

Masih sulitnya menjangkau dan meningkatkan akses layanan kelompok populasi kunci

Faktor Eksternal:
Peluang (Opportunity):
1.

Adanya Permenkes RI No. 21 thn 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS

2.

Intruksi Mendagri No. 444.24/2259 thn 2013 untuk pemberdayaan kelembagaan dan
masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS, memasukkan program HIV/AIDS dalam
RPJMD tingkat Provinsi/Kab/Kota

3.

Adanya Perda Provinsi Sumatera Barat No.5 tahun 2012 tentang Penanggulangan
HIV/AIDS

4.

Adanya

potensi nilai-nilai sosial budaya lokal dan dukungan kebijakan

Pemerintah

Provinsi/Kabupaten/Kota terhadap pengamalan Agama dan Adat Basandi Syara', Syara'


Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dalam kehidupan bermasyarakat.
5.

Adanya kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bukittingi dalam penertiban dan penindakan
penyakit masyarakat No. 20 tahun 2003

6.

Tersedianya dukungan dana dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota, APBN, swasta,
NGO dll

7.

Adanya dukungan medis, sosial dan psikologis dari konselor dan penjangkau

8.

Tersedianya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat (LKAM, MUI, LPM, Bundo
Kandung, dll)

9.

Adanya dukungan dari tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat sipil

10. Adanya peran serta lintas sektor terkait, Organisasi Kemasyarakatan dalam bentuk Upaya
Kesehatan Bersumber Masyarakat ( Posyandu, Poskeskel, Poskestren)
11. Adanya dukungan dari tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat sipil
12. Adanya minat dan kesempatan ODHA untuk mendapatkan pelatihan
13. Secara berkala dilakukan rapat koordinasi

96

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Tantangan (Thread):
1.

Masih kurangnya informasi dan pengetahuan masyarakat tentang penularan HIV/AIDS

2.

Adanya pergeseran nilai-nilai dan budaya dalam perilaku reproduksi/pacaran remaja

3.

Meningkatnya mobilitas penduduk dan kemajuan teknologi informasi

4.

Meningkatnya pertumbuhan tempat-tempat hiburan/kafe

5.

Masih rendahnya kesadaran dari kelompok berisiko untuk tes HIV/AIDS

6.

Belum optimalnya kepatuhan minum obat

7.

Adanya stigma dan diskriminasi dari masyarakat dan di fasilitas pelayananan kesehatan

8.

Meningkatnya penyebaran kasus HIV/AIDS di kalangan homo seksual (Lelaki Seks


Lelaki)

9.

Lemahnya penegakan hukum terhadap penyakit masyarakat

10. Berkurangnya peran dan fungsi dari keluarga, ninik mamak, kelembagaan adat dan
lemahnya kontrol sosial terhadap penerapan nilai-nilai sosial budaya dan agama dalam
kehidupan masyarakat

Tabel 4.7.

No.
1.

2.

Analisis SWOT Pengembangan Strategi Penanggulanagan


HIV/AIDS Berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya
Kekuatan

Kelemahan

Memiliki
kelembagaan/institusi
pemerintah, KPA dan LSM
yang terorganisir dengan baik
Memiliki tenaga yang sudah
terlatih
Memiliki rumah sakit layanan
HIV/ AIDS (Klinik Serunai
RSAM)
Sebagian besar Puskesmas
sudah memiliki fasilitas
layanan untuk IMS, VCT
Sudah membentuk kelompok
Warga Peduli AIDS (WPA)
Mendapatkan dukungan dari
pemerintah

Masih kurangnya komitmet SKPD


terkait untuk mengalokasikan dana
penanggulangan HIV/AIDS
Masih kurangnya jumlah tenaga
konselor HIV/AIDS dan tenaga
psikolog
Keterbatasan perangkat hukum (Perda
lokal) yang mendukung
penanggulangan HIV/AIDS
Masih lemahnya koordinasi dan
dukungan dari instansi terkait
Masih terbatasnya penyuluhan dan
penjangkauan pada masyarakat,
tempat-tempat hiburan
Masih sulitnya menjangkau dan
meningkatkan akses layanan kelompok
populasi kunci

Peluang

Tantangan

Adanya Permenkes RI No. 21


thn 2013 tentang

Masih kurangnya informasi dan


pengetahuan masyarakat tentang

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

97

Penanggulangan HIV dan


AIDS
Intruksi Mendagri No.
444.24/2259 thn 2013 untuk
pemberdayaan kelembagaan
dan masyarakat dalam
penanggulangan HIV/AIDS,
memasukkan program
HIV/AIDS dalam RPJMD
tingkat Provinsi/Kab/Kota
Adanya Perda Provinsi
Sumatera Barat No.5 tahun
2012 tentang
Penanggulanmgan HIV/AIDS
Adanya kebijakan Pemerintah
Daerah Kota Bukittingi dalam
penertiban dan penindakan
penyakit masyarakat No. 20
tahun 2003
Tersedianya dukungan dana
dari APBD, APBD tingkat I,
APBN, swasta, NGO dll
Tersedianya dana dari luar
yang dapat dimanfaatkan
untuk penanggulangan
HIV/AIDS
Adanya dukungan medis,
sosial dan psikologis dari
konselor dan penjangkau
Tersedianya kelembagaan dan
organisasi berbasis masyarakat
(LKAM, MUI, LPM, dll)
Adanya dukungan dari tokoh
masyarakat dan organisasi
masyarakat sipil
Adanya peran serta Lintas
sektor terkait, Organisasi
Kemasyarakatan dalam bentuk
Upaya Kesehatan Bersumber
Masyarakat ( Posyandu,
Poskeskel, Poskestren).
Adanya minat dan kesempatan
ODHA untuk mendapatkan
pelatihan
Secara berkala dilakukan rapat

98

penularan HIV/AIDS
Adanya pergeseran nilai-nilai dan
budaya dalam perilaku
reproduksi/pacaran remaja
Meningkatnya mobilitas penduduk
dan kemajuan teknologi informasi
Meningkatnya pertumbuhan tempattempat hiburan/kafe
Masih rendahnya kesadaran dari
kelompok berisiko untuk tes
HIV/AIDS dan kepatuhan minum obat
Adanya stigma dan diskriminasi dari
masyarakat dan di fasilitas
pelayananan kesehatan
Meningkatnya penyebaran kasus
HIV/AIDS di kalangan homo seksual
(Lelaki Seks Lelaki)
Lemahnya penegakan hukum terhadap
penyakit masyarakat
Berkurangnya peran dan fungsi dari
keluarga, ninik mamak, kelembagaan
adat dan lemahnya kontrol sosial
terhadap penerapan nilai-nilai sosial
budaya dan agama dalam kehidupan
masyarakat

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

koordinasi

Berdasarkan strategi SWOT diatas maka alternatif strategis yang dapat


dilakukan dalam dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS adalah:
1)

Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap HIV/AIDS

2)

Meningkatkan kapasitas masyarakat/organisasi berbasiskan masyarakat

3)

Meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM untuk penanggulangan HIV/AIDS

4)

Meningkatkan efektifitas penjangkauan dalam bentuk kemitraan antara Pemerintah Kota


dan layanan berbasiskan masyarakat

5)

Mengoptimalkan dukungan dan perhatian Pemda terhadap penanggulangan HIVAIDS

6)

Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan lintas sektor

7)

Melakukan kerjasama dengan pihak swasta dan NGO dalam rangka penanggulangan
HIV/AIDS dll

Beberapa Sasaran yang harus dicapai:


1.

Meningkatnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS secara


komprehensif

2.
3.

Menurunnya prevalensi HIV/AIDS


Meningkatnya akses layanan populasi kunci

Asumsi:
Asumsi yang digunakan dalam penetapan sasaran yang akan dicapai tersebut di
atas adalah:
1.
2.
3.

Peningkatan penyebaran kasus HIV/AIDS khususnya pada kelompok LSL/biseksual dan


hetroseksual
Kemajuan teknologi informasi
Dukungan dana dan regulasi

Berdasarkan hasil analisis SWOT diatas, maka strategi yang dipilih dan
langkah-langkah yang dapat dikembangkan untuk strategi penanggulangan
HIV/AIDS yang berdasarkan pendekatan sosial budaya

dapat dilihat

dari

strategi dan tabel 4.8. berikut.


Strategi yang dipilih:

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

99

1. Peningkatan informasi dan pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS secara komprehensif


2. Pemberdayaan masyarakat dan penguatan kelembagaaan
3. Peningkatan akses jangkauan pelayanan
4. Dukungan Penguatan regulasi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS

100

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Tabel 4.8. Pengembangan Strategi Penaggulangan HIV/AIDS Berdasarkan


Pendekatan Sosial Budaya
No.
1.

2.

Masalah
Aspek Masyarakat:
1. Masih rendahnya
pengetahuan/informa
si dan kesadaran
masyarakat tentang
penyakit HIV/AIDS
2. Masih adanya stigma
sosial dan
diskriminasi
3. Masih kurangnya
kesadaran dari
kelompok berisiko
untuk pemeriksaan
HIV/AIDS dan
kepatuhan pasien
minum obat

Srategi
Kegiatan
Strategi peningkatan 1. Penyebarluasan
informasi dan
informasi/penyuluhan
pengetahuan
tentang HIV/AIDS secara
masyarakat tentang
langsung kepada masyarakat
HIV/AIDS secara
melalui tokoh agama dan
komprehensif
tokoh masyarakat
2. Perluasan informasi
HIV/AIDS bagi kaum muda
melalui pusat informasi
kesehatan remaja, media
cetak, elektronik, jejaring
sosial
3. Peningkatan pengetahuan
HIV/AIDS melalui
pendidikan formal termasuk
pendidikan yang dibawah
Kementerian Agama
(pengembangan kurikulum,
integrasi HIV/AIDS dalam
berbagai pelajaran, kegiatan
ekstra kurikuler)
1. Peningkatan kuantitas
Aspek Kelembagaan:
Strategi
1. Terbatasnya jumlah
tenaga konselor HIV/AIDS
pemberdayaan
tenaga konselor
terlatih dan tenaga psikolog
masyarakat dan
terlatih dan tenaga
2. Pelatihan dan pelaksanaan
penguatan
psikolog
intervensi Perubahan
kelembagaaan
2. Belum optimalnya
Perilaku bagi kelompok
peran dan fungsi dari
berisiko
keluarga, ninik
3. Pelatihan untuk
mamak dan
peningkatan peran dan
kelembagaan adat
pemberdayaan
serta lemahnya
Forum/kelompok Warga
kontrol sosial
Peduli AIDS (WPA) dan
Puskesmas dalam
terhadap penerapan
pencegahan dan
nilai-nilai sosial
penanggulangan HIV/AIDS
budaya dan agama
4.
Lokakarya peningkatan
dalam kehidupan
peran dan fungsi/
masyarakat
pengawasan dari keluarga,
ninik mamak dan
kelembagaan adat terhadap
penerapan nilai-nilai sosial
budaya dan agama dalam
rangka pencegahan &
penanggulangan HIV/AIDS

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

101

5. Mobilisasi komunitas untuk


meningkatkan kemampuan
masyarakat dan organisasi
sosial berbasis masyarakat
(organisasi/lembaga adat
dan keagamaan, tokoh
agama, tokoh adat/budaya)
dalam menanggapi
permasalahan HIV/AIDS
6. Peningkatan pengawasan
dari aparat pemerintah
penegak hukum (Perda) dan
pengawasan dari pengelola
tempat-tempat usaha
(hotel, tempat hiburan,
tempat kos, dsb) serta aparat
setempat terhadap perilaku
yang berisiko HIV/AIDS
3.

Aspek Pelayanan
Kesehatan:
1. Keterbatasan
jangkauan
penyuluhan/sosialisa
si dan penjaringan
2. Kesulitan dalam
menjangkau
populasi kunci

Strategi
Peningkatan
kapasitas/akses
jangkauan
pelayanan

1. Kemitraan/jejaring antara
program HIV dengan
organisasi masyarakat sipil
dan swasta untuk
peningkatan pelayanan
kesehatan
2. Peningkatan kesadaran
untuk pemeriksaan dan
pencegahan HIV/AIDS
melalui bimbingan dan
pendampingan secara
spritual/keagamaan kepada
kelompok berisiko dan
ODHA
3. Bimbingan /konseling serta
menawarkan calon
pengantin yang berisiko
untuk pemeriksaan
HIV/AIDS
4. Pelatihan dan dukungan di
tingkat layanan untuk
mengurangi stigma negatif
dan diskriminasi terhadap
populasi kunci (pelatihan
petugas kesehatan,
kepolisian, satpol PP)

4.

102

Aspek Kebijakan:
Belum optimalnya
koordinasi dan

Strategi dukungan
penguatan regulasi
dalam upaya

1. Peningkatan koordinasi dan


advokasi dalam bentuk
usulan dan dorongan kepada

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

dukungan kebijakan
dalam penanggulangan
HIV/AIDS

penanggulanagan
HIUV/AIDS

pemerintah untuk membuat


kebijakan (Perda lokal)
dalam penanggulangan
HIV/AIDS di kab/kota
2. Usulan regulasi atau revisi
Perda yang terkait
penertiban dan penindakan
penyakit masyarakat
(peningkatan pengawasan
terhadap tempat
kos/penginapan dan
penindakan terhadap
perilaku asusila, termasuk
dengan sesama jenis)

Rencana Aksi
Mengingat permasalahan HIV/AIDS tidak hanya merupakan masalah
kesehatan semata, namun juga merupakan masalah sosial. Oleh karena itu
masalah HIV/AIDS harus ditanggunglangi sesara komprehensif/terintergrasi
dari berbagai sektor/pihak yang terkait. Dalam hal ini perlu adanya pendekatan
sosial budaya dengan melibatkan masyarakat, tokoh agama/adat dan tokoh
masyarakat.
Berkaitan dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS yang berdasarkan
pendekatan sosial budaya, maka

berikut ini disusun rencana aksi yang

merupakan rencana aksi terpadu/terintegrasi yang melibatkan semua pihak atau


lintas sektor. Terkait dengan asal penderita HIV/AIDS yang melakukan
pengobatan di RSAM Bukittinggi tidak hanya warga Bukittinggi, tetapi juga
berasal dari kab/kota di Provinsi Sumatera Barat, maka rencana aksi ini juga
bisa diterapkan di kab/kota lainnya. Rencana aksi yang

akan ditawarkan

diharapkan dapat mendukung dalam implementasi pengembangan strategi


penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan pendekatan sosial budaya lokal. Secara
lebih operasional, maka rencana aksi dari pengembangan strategi tersebut
dituangkan dalam beberapa alternatif kegiatan, sesuai dengan permasalahan dan
strategi yang ditawarkan diatas, seperti terlihat pada tabel 4.9 berikut.
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

103

Tabel. 4. 9. Rencana Aksi Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS


Berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya
No.

Strategi

Strategi
peningkatan
informasi dan
pengetahuan
masyarakat
tentang
HIV/AIDS secara
komprehensif

Prioritas/
Program

Kegiatan

Indikator
kinerja/program/
Kegiatan

Sumber
Dana

Pelaksana

Lembaga
pendukung

Prioritas 4:
Peningkatan
Derajat kesehatan
masyarakat
Program Promosi
Kesehatan dan
pemberdayaan
masyarakat

Prioritas 4:
Peningkatan
Pemerataan dan
kualitas
pendidikan
Program
Pendidikan
Menengah

1. Penyebarluasan informasi
1. Tersebarluasnya
tentang HIV/AIDS secara
informasi tentang
langsung kepada masyarakat
HIV/AIDS secara
melalui tokoh agama dan tokoh
langsung kepada
masyarakat
masyarakat

APBD
Kab/Kota/

Dinsos dan
Bappeda
Tenaga kerja,
Provinsi/ Kab/
Kantor Pemb
Kota
Masy. kab/kota

2. Perluasan informasi HIV/ AIDS


bagi kaum muda melalui pusat
informasi kesehatan remaja,
media cetak, elektronik, jejaring
sosial

2. Tersebarluasnya
informasi HIV/AIDS
bagi kaum muda

APBD
Kab/Kota

Dinkes
Kab/kota

Bappeda
Provinsi/
Provinsi/ Kab/
Kota

3. Peningkatan pengetahuan
3. Meningkatnya
HIV/AIDS melalui pendidikan
pengetahuan pelajar
formal termasuk sekolah yang
tentang HIV/AIDS di
berada di bawah Kementerian
sekolah formal
Agama (pengembangan
termasuk sekolah di
kurikulum, integrasi HIV/AIDS
bawah Kementerian
dalam berbagai pelajaran,
Agama
kegiatan ekstra kurikuler)

APBN
APBD
Prov/
Kab/Kota/
BOK

Kementerian
Agama,
Disdikpora
Prov/Kab/kota/
Dinkes/
KPA
Prov/Kab/kota

Bappeda
Provinsi/
Provinsi/ Kab/
Kota

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

29

No.
2

Strategi
Strategi
pemberdayaan
masyarakat dan
penguatan
kelembagaan

Prioritas/
Program

Indikator
kinerja/program/
Kegiatan

Sumber
Dana

Pelaksana

Lembaga
pendukung

Prioritas 4:
Peningkatan
Derajat kesehatan
masyarakat
Program
Pengendalian
Penyakit

30

Kegiatan

1. Pelatihan tenaga konselor


HIV/AIDS dan menambah
jumlah tenaga psikolog

1. Meningkatnya jumlah
tenaga psikolog dan
konselor HIV/AIDS
terlatih
2. Pelatihan dan pelaksanaan
2. Terlaksananya
intervensi Perubahan Perilaku
perubahan perilaku
bagi kelompok berisiko
pada kelompok
berisiko
3. Pelatihan untuk peningkatan
3. Meningkatnya peran
peran dan pemberdayaan
dan pemberdayaaan
Forum/kelompok Warga Peduli
Forum Warga Peduli
AIDS (WPA) dan Puskesmas
AIDS (WPA) dan
dalam pencegahan dan
Puskesmas dalam
penanggulangan HIV/AIDS
pencegahan dan
penanggulangan
4. Lokakarya peningkatan peran
HIV/AIDS
dan fungsi/pengawasan dari
4. Meningkatnya peran
keluarga, ninik mamak dan
dan fungsi/pengawasan
kelembagaan adat terhadap
dari keluarga, ninik
penerapan nilai-nilai sosial
mamak dan
budaya dan agama dalam
kelembagaan adat
rangka pencegahan &
alam rangka
penanggulangan HIV/AIDS
pencegahan &
penanggulangan HIV
5. Mobilisasi komunitas untuk
meningkatkan kemampuan
5. Meningkatnya
masyarakat dan organisasi
kapasitas masyarakat

APBD
Prov/
Kab

Dinkes
Prov/Kab/Kota
dan KPA

Bappeda
Provinsi/
Kab/Kota

APBD
Prov/Kab

Dinkes
Prov/Kab//Kota
dan KPA
kab/kota
Dinkes, Dinsos
dan BPM
Prov/kab/kota
dan KPA
kab/kota

Bappeda
Provinsi/
Kab/Kota

APBD
Prov/
Kab/Kota

Bappeda
Provinsi/
Kab/Kota

APBD
Prov//Kab/
Kota

Dinkes,
Bappeda
Dinsos/BPM
Provinsi/
Prov/kab/kotad Kab/Kota
an KPA
kab/kota

APBD
Prov//Kab/

Dinkes, BPM
dan Dinsos

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

Bappeda
Provinsi/

No.

Strategi

Prioritas/
Program

Kegiatan
sosial (organisasi/lembaga adat
dan keagamaan, tokoh agama,
tokoh adat/budaya) dalam
menanggapi permasalahan
HIV/AIDS
6. Peningkatan pengawasan dari
aparat pemerintah penegak
hukum (Perda) dan
pengawasan dari pengelola
tempat-tempat usaha (hotel,
tempat hiburan, tempat kos,
dsb) serta aparat setempat
terhadap perilaku yang berisiko
HIV/AIDS

3.

Strategi
Peningkatan
kapasitas/akses
jangkauan
pelayanan

Indikator
Sumber
kinerja/program/
Dana
Kegiatan
dan organisasi/lembaga Kota
Sosial dalam upaya
penanggulangan
HIV/AIDS

Meningkatnya
APBD
pengawasan aparat
Prov//Kab/
pemerintah penegak
Kota
hukum (Perda), pengelola
tempat usaha dan aparat
pemerintah setempat
terhadap terhadap
pencegahan HIV/AIDS

Pelaksana

Lembaga
pendukung

Prov/kab/kota

Kab/Kota

SatPol PP,
Kepolisian dan
Pemerintahan
Desa/Nagari

Bappeda
Provinsi/
Kabupaten/Kot

Prioritas 4:
Peningkatan
Derajat kesehatan
masyarakat
Program
Kemitraaan
Peningkatan
Layanan
Kesehatan

Program
Pengendalian
Penyakit

1. Kemitraan/jejaring antara
1. Terlaksananya MOU
program HIV dengan organisasi
tentang HIV/AIDS
masyarakat sipil dan swasta
untuk peningkatan pelayanan
kesehatan

APBD
Kab/Kota

Dinkes/KPAKk Bappeda, BPM


ab/kota
dan Dinsos
Prov/Kab/ kota

2. Peningkatan kesadaran untuk


pemeriksaan dan pencegahan
HIV/AIDS melalui bimbingan

APBD
Kab/Kota

Dinkes ,
Bappeda, BPM
Dinsos/BPM/M dan Dinsos
UI Kab/kota/
Prov/Kab/

2. Meningkatnya
kesadaran kelompok
berisiko untuk

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

31

No.

Strategi

Prioritas/
Program

Kegiatan
dan pendampingan secara
spritual/keagamaan kepada
kelompok berisiko dan ODHA

32

Strategi
dukungan
penguatan
regulasi dalam
upaya
penanggulanag
an HIUV/AIDS

Indikator
kinerja/program/
Kegiatan
pemeriksaan dan
pencegahan HIV/AIDS

Sumber
Dana

Pelaksana

Lembaga
pendukung
Kota

3. Bimbingan /konseling serta


menawarkan calon pengantin
yang berisiko untuk
pemeriksaan HIV/AIDS

3. Terlaksananya
bimbingan /konseling
serta menawarkan
calon pengantin yang
berisiko untuk
pemeriksaan
HIV/AIDS

APBD
Kab/Kota

Dinkes/KPA/
kab/kota

Bappeda
Kab/KotaKUA
Kab/Kota

4. Pelatihan dan dukungan di


tingkat layanan untuk
mengurangi stigma negatif dan
diskriminasi terhadap populasi
kunci (pelatihan petugas
kesehatan, kepolisian, satpol
PP)

4. Terlaksananya
pelatihan dan
dukungan di tingkat
layanan untuk
mengurangi stigma
negatif dan
diskriminasi terhadap
populasi kunci
(pelatihan petugas
kesehatan, kepolisian,
satpol PP)

APBD
Kab/Kota/
BOK

Dinkes
Prov/kab/kota/
BOK

Bappeda,
Kepolisian dan
Satpol PP Prov/
Kab/Kota

1. Peningkatan koordinasi dan


advokasi dalam bentuk usulan
dan dorongan kepada
pemerintah untuk membuat
kebijakan (Perda

1. Tersedianya Perda
lokal/Perwako/Perbup
tentang
penanggulangan
HIV/AIDS di

APBD
Kab/Kota

Dinkes
Kab/Kota

Bappeda
Kab/Kota

Prioritas 4:
Peningkatan
Derajat kesehatan
masyarakat
Program
Kebijakan dan
Manajemen
Pembangunan

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

No.

Strategi

Prioritas/
Program
Kesehatan

Kegiatan
local/Perwako/Perbup) dalam
penanggulangan HIV/AIDS di
kab/kota

Indikator
kinerja/program/
Kegiatan
Kab/Kota

Sumber
Dana

2. Usulan regulasi atau revisi


2. Tersedianya Perda
APBD
Perda yang terkait penertiban
lokal/revisi Perda lokal Kab/Kota
dan penindakan penyakit
yang terkait penertiban
masyarakat (peningkatan
dan penindakan
pengawasan terhadap tempat
penyakit masyarakat
kos/penginapan dan penindakan
yang memuat
terhadap perilaku asusila,
peningkatan
termasuk dengan sesama jenis)
pengawasan terhadap
tempat kos/penginapan
dan penindakan
terhadap perilaku
asusila, termasuk
dengan sesama jenis

Pelaksana

Satpol PP

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar

Lembaga
pendukung

Bappeda
Kab/Kota

33

BAB V.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1.

Data perkembangan kasus baru HIV/AIDS di RSAM Kota Bukittinggi dari tahun 2012
sampai dengan Bulan Agustus 2014 menunjukkan peningkatan terus yaitu dari 33 kasus
(tahun 2012) meningkat menjadi 40 kasus (tahun 2013), dan meningkat cukup tajam
menjadi 72 kasus (Agustus 2014). Penderita HIV/AIDS tidak hanya berasal dari Kota
Bukittinggi, tetapi juga berasal dari luar Kota Bukittinggi, yaitu dari Kota Payakumbuh,
Agam, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Tanah Datar, dan kab/kota lainnya.

2.

Ditinjau dari latar belakang kateristik penderita, sebagian besar penderita adalah dengan
jenis kelamin laki-laki. Sedangkan dari kelompok usia, sebagian besar berasal

dari

kelompok umur 25-49 tahun. Beberapa faktor yang turut melatar belakangi tingginya
kasus HIV/AIDS adalah faktor

perilaku, faktor lingkungan

(lingkungan sosial dan

budaya) dan faktor dari pengaruh kemajuan teknologi informasi. Dari faktor perilaku, pada
saat ini faktor risiko terbanyak kasus HIV/AIDS adalah perilaku seksual dari kelompok
homoseksual. Penularan infeksi HIV juga disebabkan karena kurangnya pengetahuan
penderita tentang HIV/AIDS, sehingga sehingga mereka tidak mengetahui bahwa perilaku
yang pernah dilakukan sebelumnya berisiko untuk tertularnya infeksi HIV. Selanjutnya
faktor lingkungan sosial budaya cukup besar pengaruhnya dalam penularan HIV/AIDS.
Hal ini juga akan dimungkinkan oleh lemahnya pengawasan/kontrol sosial, yang mana
saat ini juga ada kecenderungan bahwa peran dan fungsi dari ninik mamak dan
kelembagaan adat yang relatif kurang. Di samping itu, adanya akses negatif dari internet
juga telah memberikan dampak terhadap perilaku reproduksi remaja, seperti perilaku seks
bebas.
3.

Dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Kota Bukittingi dan KPA
Kota Bukittinggi telah melaksanakan beberapa kegiatan antara lain melakukan sosialisasi,
penjangkauan dan pendampingan kepada kelompok resiko tinggi, pertemuan dan
koordinasi dengan dinas instansi terkait, LSM peduli AIDS ODHA dan kelompok resiko
tinggi, koordinasi layanan kesehatan, dll. Namun demikian, terdapat adanya beberapa

34

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

kendala antara lain adalah adanya stigma dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS,
keterbatasan jangkauan dan penjaringan terhadap populasi kunci, dll.
4.

Penanggulangan HIV/AIDS tidak hanya menjadi permasalahan kesehatan semata, tetapi


juga perlu penanganan yang komprehensif/terintergrasi dari berbagai lintas sektor.
Beberapa strategi yang dapat dikembangkan dalam penanggulangan HIV/AIDS
berdasarkan pendekatan sosial budaya adalah strategi peningkatan informasi dan
pengetahuan masyarakat

tentang HIV/AIDS secara komprehensif, pemberdayaan

masyarakat dan penguatan kelembagaaan, peningkatan akses jangkauan pelayanan dan


dukungan penguatan regulasi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.

Rekomendasi
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan kesimpulan tersebut di atas,
maka dapat dikemukakan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
1. Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS perlu dilakukan beberapa strategi
terutama yang berkaitan dengan program-program dan kegiatan yang lebih didasarkan pada
pendekatan sosial budaya yaitu:
a)

Strategi peningkatan informasi dan pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS secara


komprehensif yang dilaksanakan melalui kegiatan penyebarluasan informasi tentang
HIV/AIDS secara langsung kepada masyarakat melalui tokoh agama dan tokoh
masyarakat, peningkatan pengetahuan HIV/AIDS melalui pendidikan formal termasuk
sekolah yang berada di bawah Kementerian Agama, dan perluasan informasi HIV/AIDS
bagi kaum muda melalui pusat informasi kesehatan remaja, media cetak, elektronik,
jejaring sosial

b) Strategi pemberdayaan masyarakat dan penguatan kelembagaaan dilaksanakan antara


lain dengan kegiatan pelatihan dan pelaksanaan intervensi perubahan Perilaku bagi
kelompok

berisiko,

pelatihan

untuk

peningkatan

peran

dan

pemberdayaan

Forum/kelompok Warga Peduli AIDS (WPA) dan Puskesmas dalam pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS, lokakarya peningkatan peran dan fungsi/pengawasan dari
keluarga, ninik mamak dan kelembagaan adat terhadap penerapan nilai-nilai sosial
budaya dan agama dalam rangka pencegahan & penanggulangan HIV, mobilisasi
komunitas untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dan organisasi sosial berbasis
masyarakat (organisasi/lembaga adat dan keagamaan, tokoh agama, tokoh adat/budaya)
dalam menanggapi permasalahan HIV/AIDS

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

35

c)

Strategi

peningkatan

jangkauan

pelayanan

kesehatan

dengan

kegiatan

kemitraan/jejaring antara program HIV dengan organisasi masyarakat sipil dan swasta
untuk peningkatan pelayanan kesehatan, peningkatan kesadaran untuk pemeriksaan dan
pencegahan

HIV/AIDS

melalui

bimbingan

dan

pendampingan

secara

spritual/keagamaan kepada kelompok berisiko dan ODHA, pelatihan dan dukungan di


tingkat layanan untuk mengurangi stigma negatif dan diskriminasi terhadap populasi
kunci.
d) Strategi dukungan penguatan regulasi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS dengan
kegiatan peningkatan koordinasi dan advokasi dalam bentuk usulan dan dorongan
kepada pemerintah untuk membuat kebijakan dalam penanggulangan HIV/AIDS di
Kab/Kota, dan usulan regulasi atau revisi Perda yang terkait penertiban dan penindakan
penyakit masyarakat.
2. Strategi dan program yang disusun diharapkan bisa menjadi pedoman dalam menyusun
rencana pembangunan

bidang kesehatan pada tahun berikutnya, khususnya dalam

penanggulangan HIV/AIDS. Rekomendasi yang disusun diharapkan juga bisa dimanfaatkan


oleh kabupaten/kota lainnya di Provinsi Sumatera Barat dalam upaya penanggulangan
HIV/AIDS.
3. Perlu adanya peningkatan koordinasi lintas program dan lintas sektor dalam implementasi
program-program yang sudah disusun, dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan secara
terpadu.
4. Dalam upaya pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS perlu adanya komitmen dan
dukungan dari pengambil kebijakan untuk mengalokasikan anggaran di luar sektor
kesehatan.

36

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Afrizal, 2008. Pengantar Metode Penelitian Kualiatatif. Padang: Laboratorium
Sosiologi Fisip Unand.
Creswell, John W, 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faqih, Miftah, dkk, 2013. Panduan Penanggulangan AIDS (Perspektif Nahdlatul
Ulama). Jakarta: Pengurus Pusat Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama.
Foster, George M. dan Anderson, B. G., 1986. Antropologi Kesehatan
(Terjemahan oleh Priyanti Pakan S. dan Meutia F. Hatta. Jakarta UI
Press.
Moleong, Lexy, 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarta.
Sarwono, Solita, 1996. Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep
Aplikasinya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Serta

Notoatmodjo, Soekidjo, 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT. Rineka


Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2010. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Jakarta:
PT Rineka Cipta.
Soekanto, Soerjono, 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Suharto, Edi, 2005. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Kemenkes, 2009. Modul Pelatihan Intervensi Perubahan Perilaku, Paket 1,
Kebijakan Penanggulangan IMS, HIV dan AIDS. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Disertasi:
Sulistiawati, Dian, 2013. Living With HIV/AIDS: Dari Memahami Virus
Hingga Menormalkan Kembali Kehidupan Pribadi. Depok: Disertasi
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar

37

Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia.
Elfemi, Nilda, 2003. Aspek Sosial Kultural Dalam Perawatan Kesehatan, di
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Tesis pada Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Jurnal/Artikel Ilmiah:
Lely, Niniek P, 2011. Hubungan Karakteristik Remaja Terkait Risiko
Penularan HiV-AIDS dan Perilaku Seks Tidak Aman di Indonesia.
Artikel ilmiah pada Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol.14 No.4
Oktober 2011. Jakarta; Balitbangkes.
Lestary, Heny, 2011. Perilaku Berisiko Remaja Indoensia (SKRT) Tahun
2007. Artikel ilmiah pada Jurnal Kesehatan Reproduksi, Vol.1 No.3
Agustus 2011.
Simarmata, Oster, 2010. Ancaman HIV Pada Remaja di Tanah Papua. Artikel
ilmiah pada Jurnal Ekologi Kesehatan, Volume 9, No. 3 September 2010.
Jakarta: Badan Litbang Kesehatan.
Yuniar, Yuyun, dkk, 2013. Faktorfaktor Pendukung Kepatuhan Orang
Dengan HIV/AIDS dalam Minum Obat Antiretroviral di Kota Bandung
dan Cimahi. Artikel penelitian pada Buletin Penelitian Kesehatan,
Vol.41 No.2 Juni 2013. Jakarta; Balitbangkes.
Salmadanis, 2014. Sinergi Antara Tokoh Agama dan Tokoh Adat
Menanggulangi Kejahatan Seksual Online Terhadap Perempuan dan
Anak di Sumatera Barat. Artikel disampaikan pada Diskusi Aktual tentang
Kejahatan Seksual Terhadap perempuan dan Anak. Padang: Bappeda
Prov. Sumbar.
Laporan Penelitian/Dokumen
Bappeda Provinsi Sumatera Barat, 2013. Kajian Perlaksanaan Jalan RPJMD
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010-2015.
Bappeda Provinsi Sumatera Barat, 2011. Kebijakan Strategi Daerah tentang
IPTEK.
38

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

Bappeda Kota Bukittingi, 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah


Daerah Kota Bukittinggi.
Dinkes Provinsi Sumbar, 2014. Review Hasil Pelaksanaan Program Kesehatan
Prov. Sumbar tahun 2011-2014 dan Rencana Program tahun 2015-2020.
Materi disampaikan pada pertemuan Lokakarya Bacground Study RMJD
2015-2020.
Dinkes Kota Bukittinggi, 2013. Profil Kesehatan Kota Bukittinggi.
Dinkes Kota Bukittinggi, 2013. Laporan Monitoring dan Evaluasi HIV Dinas
Kesehatan Bukittinggi (Desember 2013).
Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014. Laporan Terakhir Kemenkes Tentang Penyakit HAIV, Juni
2014.

Kementerian Kesehatan, 2007. Jakarta: Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007.


Jakarta: Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan.
Kementerian Kesehatan, 2010. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta:
Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan.
Kementerian Kesehatan, 2013. Permen Kesehatan No.21 tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS.
Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bukittinggi, 2013. Laporan Kegiatan
Upaya
Penanggulangan HIV/AIDS.
Pemerintah Prov. Sumbar, 2012. Perda Provinsi Sumbar No. 5 Tahun 2012
tentang
Penanggulangan HIV-AIDS
Rumah Sakit Umum Daerah DR. Achmad Mochtar, 2014. Laporan Implementasi Layanan HIVAIDS Poli Klinik Serunai.
Pemerintah Kota Bukittinggi, 2003. Perda Kota Bukiitinggi No. 20 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Perda Kota Bukittinggi No. 9 tahun 2000 tentan Penertiban dan
Penindakan Penyakit Masyarakat.

Internet:
http://www.drogpatravel.biz/

BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.


Sumbar

39

Anda mungkin juga menyukai