Oleh:
Dra. YULFIRA MEDIA, M.Si
(Peneliti Bidang Perilaku Kesehatan)
Oleh:
Dra. YULFIRA MEDIA, M.Si
(PenelitiBidangPerilakuKesehatan)
ABSTRAK
Perkembangan kasus HIV di Provinsi Sumatera Barat terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun, dan sejak tahun 2007 sampai akhir tahun 2013 tampak bahwa
setiap tahunnya telah terjadi peningkatan kasus baru lebih dari 100 orang. Pada tahun
2013 telah ditemukan 150 kasus AIDS baru dan 200 kasus HIV baru. Bukittinggi
merupakan salah satu kota yang memiliki jumlah kasus terbanyak kedua (148 kasus),
dan mempunyai rate kumulatif AIDS tertinggi di Sumbar, yaitu 119.75. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakangi
tingginya kasus HIV/AIDS, mendeskripsikan implementasi/pelaksanaan kegiatan
penanggulangan HIV/AIDS, dan merumuskan pengembangan strategi penanggulangan
HIV/AIDS melalui pendekatan sosial budaya. Penelitian ini merupakan penelitian
lapangan yang berbentuk deskriptif-interpretatif, yang menggunakan metode penelitian
kualitatif. Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam
dan observasi, Sedangkan data sekunder dilakukan melalalui penelusuran
dokumen/laporan penelitian dari instansi terkait, maupun sumber-sumber lain yang
sesuai dengan standar keilmiahan sumber data. Hasil penelitian mengungkapkan
bahwa ada beberapa faktor yang turut melatar belakangi tingginya kasus HIV/AIDS
yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan (lingkungan sosial dan budaya) dan faktor
akses negatif dari ineternet. Beberapa kendala dalam pelaksanaan penanggulangan
HIV/AIDS antara lain adalah adanya stigma dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS,
keterbatasan jangkauan dan penjaringan terhadap populasi kunci, dll. Selanjutnya
beberapa strategi yang dapat dikembangkan dalam penanggulangan HIV/AIDS
berdasarkan pendekatan sosial budaya adalah strategi peningkatan informasi dan
pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS secara komprehensif, pemberdayaan
masyarakat dan penguatan kelembagaaan, peningkatan akses jangkauan pelayanan
dan dukungan penguatan regulasi dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Strategi
penanggulangan HIV/AIDS berdasarkan pendekatan sosial budaya tersebut disusun
dalam rencana aksi (action plan) yang dituangkan dalam berbagai alternatif kegiatan.
Strategi dan program yang disusun diharapkan bisa menjadi pedoman dalam
menyusun rencana pembangunan bidang kesehatan pada tahun berikutnya di
beberapa kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat dalam upaya penanggulangan
HIV/AIDS.
Kata Kunci: Strategi, HIV/AIDS, sosial budaya
EXECUTIVE SUMMARY
telah
terjadi peningkatan kasus baru lebih dari 100 orang. Pada tahun 2013 telah
ditemukan 150 kasus AIDS baru dan 200 kasus HIV baru.
Walaupun jumlah kasus paling banyak di Kota Padang (348 kasus) dan
diikuti Bukittinggi (148 kasus), namun Kota Bukittinggi mempunyai rate
kumulatif AIDS tertinggi di Sumbar, yaitu 119.75.
Upaya memerangi HIV/AIDS merupakan salah satu tujuan pencapaian
target MDGs (tujuan 6) dengan target mengendalikan penyebaran HIV dan
mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015, dan indikator antara
ii
lain adalah
Oleh
karena
itu,
permasalahan
HIV/AIDS
juga
memerlukan
Mochtar (RSAM). Data atau informasi yang dikumpulkan terdiri data primer
dan data sekunder. Data sekunder diperoleh
dan
iii
iv
kurangnya pengawasan dari pihak keluarga. Apalagi saat ini ada juga ada
kecenderungan bahwa peran dan fungsi dari ninik mamak dan kelembagaan adat
relatif kurang. Di samping itu, akses negatif dari internet juga telah berdampak
terhadap perilaku reproduksi remaja, seperti perilaku seks bebas.
Dalam upaya
lainnya
di
Provinsi
penanggulangan HIV/AIDS.
vi
Sumatera
Barat
dalam
upaya
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya,
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan laporan akhir penelitian dengan
judul Kajian Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS Berdasarkan
Pendekatan Sosial Budaya.
Mencermati perkembangan temuan kasus HIV/AIDS di Provinsi Sumatera
Barat dari tahun ke tahun yang menunjukkan peningkatan terus kita layak
prihatin, karena penularan serta wilayah penyebarannya yang semakin meluas.
Kecenderungan peningkatan kasus HIV/AIDS seperti ini menyebabkan beban
sosial dan ekonomi menjadi lebih berat lagi termasuk pembangunan manusia ke
depan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS yang intensif, terintegrasi dan terkoordinasi untuk menghasilkan
capaian program dengan cakupan yang lebih efektif, efesien dan berkelanjutan.
Penelitian merupakan salah satu upaya yang dapat dilaksanakan untuk
menghasilkan beberapa bahan masukan dalam perumusan kebijakan bidang
kesehatan khususnya dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Penelitian yang
berjudul
Kajian
Pengembangan
Strategi
Penanggulangan
HIV/AIDS
yang
melatarbelakangi
tingginya
kasus
HIV/AIDS,
dan
merumuskan
pengembangan
strategi
penanggulangan
Padang,
Desember 2014
viii
DAFTAR ISI
Halaman
Abstrak ...................................................................................................
Executive Summary ..................................................................................
Kata Pengantar ..........................................................................................
Daftar Isi.....................................................................................................
Daftar Tabel ...............................................................................................
Daftar Grafik.............................................................................................
Daftar Singkatan/Akronim dan Istilah ......................................................
i
ii
vii
ix
xi
xii
xiii
BAB I.
PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ....................................................... .....
1
1.2. Rumusan Masalah Penelitian........................................
9
1.3. Tujuan Penelitian .........................................................
9
1.4. Manfaat Penelitian.........................................................
10
1.5. Keluaran penelitian.......................................................
10
BAB II.
BAB III.
23
23
23
24
24
25
29
29
29
30
31
31
ix
32
BAB V.
40
40
42
53
62
64
113
117
64
66
75
82
91
94
97
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Distribusi Sarana Pelayanan Kesehatan .....................................
31
Tabel 4.2 Jumlah Titik Spot Populasi Kunci di Kota Bukittinggi...............
71
Tabel 4.3 Jumlah Estimasi Populasi Kunci Berdasarkan Faktor Rsiko
Di Kota Bukittinggi....................................................................
71
Tabel4.4 Jumlah Tenaga Terlatih Yang Terdapat di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan .................................................................................... 76
Tabel 4.5. Capaian Layanan IMS tahun 2013 .............................................
81
Tabel 4.6Capaian Layanan HIV Tahun 2013 ............................................
82
Tabel 4.7 Analisis SWOT Pengembangan Strategi Penanggulangan
HIV/AIDS berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya ................. 101
Tabel 4.8 Pengembangan Strategi Penanggulangan HIV/AIDS
BerdasarPendekatan Sosial Budaya ........................................... 104
Tabel 4.9. Rencana Aksi Pengembangan Strategi Penanggulangan
HIV/AIDS Berdasarkan Pendekatan Sosial Budaya.....................107
xi
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 1.1Jumlah Kumulatif Kasus HIV dari tahun 2005-2014
(s/d Juni 2014) di Indonesia ......................................................
2
Grafik 1.2 Jumlah Kumulatif Kasus HIV dari tahun 2005-2014
(s/d Juni 2014) di Indonesia.......................................................
2
Grafik 1.3 Case Rate AIDS di Indonesia .......... ........................................
3
Grafik 1.4Trend Jumlah Kasus HIV/AIDS di Sumbar tahun 2013 ...........
4
Grafik 1.5 Jumlah Kumulatif Kasus HIV/AIDS
Per Kab/Kota di Sumbar Tahun 2002-2013 ............................. 5
Grafik 1.6 Case Rate Per Kab/Kota di Sumbar Tahun 2013......................
6
Grafik 4.1 Kumulatif Penemuan Kasus HIV Positif
Tahun 2007-2013 ...................................................................... 33
Grafik 4.2 Kumulatif Penemuan Kasus HIV/AIDS di RSAM
Bukittinggi Tahun 2012-2014 .................................................... 34
Grafik 4.3 Perkembangan Jumlah Kasus HIV/AIDS di RSAM
Bukittinggi Tahun 2012-2014 .................................................... 34
Grafik 4.4 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Daerah Asal
Tahun 2012-2014 ....................................................................... 36
Grafik 4.5 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Faktor Risiko
Tahun 2014 .................................................................................. 39
Grafik 4.6Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Faktor Risiko
Tahun 2013 ................................................................................. 39
Grafik 4.7 Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin
Tahun 2007-2013 ........................................................................41
Grafik 4.8Persentase Kasus HIV/AIDS Berdasarkan Jenis Kelamin
Dan Umur tahun 2007-2013 .....................................................42
xii
Puskel
PMTCT
RSAM
Riskesdas
RPJMN
RPJMD
SKRT
TBC
VCT
WPS
: Puskesmas Keliling
: Prevention Mother To Chlild Transmision
: Rumah sakit Achmad Mochtar
: Riset Kesehatan Dasar
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
: Survey Kesehatan Rumah Tangga
: Tuberkulosis
: Voluntary Concealing Testing
: Wanita Penjaja Seks
xiv
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Kita sadari
bahwa HIV/AIDS
di Indonesia terus
meningkat sejak dilaporkan pertama kali pada tahun 1987. Berdasarkan laporan
Kemenkes RI, sampai dengan Juni 2014 jumlah kumulatif kasus HIV sudah
mencapai 142.951 orangdan kasus AIDS sudah mencapai55.623 orang, seperti
terlihat pada grafik 1.1 dan 1.2. Dari jumlah kasus AIDS yang dilaporkan
sampai bulan Juni 2014, persentase faktor risiko AIDS tertinggi adalah
hubungan seks berisiko pada heteroseksual (86,4%), LSL (Lelaki Seks Lelaki)
(4,8%), dari ibu positif HIV ke anak (3,6%) dan penggunaan jarum suntik tidak
steril pada penasun (2,6%). Sedangkan persentase AIDS tertinggi pada
kelompok umur 30-39 tahun (37,7%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun
(26,0%) dan kelompok umur 40-49 tahun (20,4%).
160000
140000
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0
142,951
21,59121,03121,51115,534
HIV
Grafik 1.1.Jumlah Kumulatif Kasus HIV dari Tahun 2005 - 2014 (s/d Juni
2014) di Indonesia
Sumber: Kemenkes (2014)
60,000
50,000
40,000
30,000
20,000
10,000
0
55,623
AIDS
Grafik 1.2. Jumlah Kumulatif Kasus AIDS dari Tahun 2005 - 2013 (s/d
September 2013) di Indonesia
Sumber: Kemenkes (2014)
2 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar
yaitu
Grafik 1.3. Case Rate AIDS (rate kumulatif AIDS) di Indonesia tahun
2013
Sumber: Dinkes Provinsi Sumbar (2014)
Perkembangan kasus HIV di Provinsi Sumatera Barat terus mengalami
peningkatan dan sangat mengkhawatirkan karena penularan serta wilayah
penyebarannya semakin meluas. Pada grafik 1.4 tampak bahwa trend jumlah
kasus baru HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Baratdari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, dan sejak tahun 2007 sampai akhir tahun 2013 tampak bahwa
setiap tahunnya telah terjadi peningkatan kasus baru lebih dari 100 orang. Pada
tahun 2013 telah ditemukan 150 kasus AIDS baru dan 200 kasus HIV baru.
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 3
Sampai dengan kondisi akhir tahun 2013 tercatat kumulatif kasus AIDS di
Sumatera Barat sebanyak 948 orang dan kumulatif kasus HIV sebanyak 964
orang (Dinkes, 2014). Kondisi peningkatan penemuan kasus ini juga dapat
mencerminkan bahwa akses terhadap layanan HIV-AIDS semakin meningkat.
250
Jumlah
200
150
100
50
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
HIV
47
19
227
131
134
200
200
AIDS
12
44
102
105
150
128
130
120
150
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
Padan Bukitti Agam Pdg Pessel T. Payak Paria Solok 50 Pasba D. Pasa Sawah Solsel P. Sijunj Kab. Menta
g nggi
Paria
Datar umbu man
Kota r
raya man lunto
Panja ung Solok wai
man
h
ng
AIDS 383 148 77
42
38
37
28
23
20
19
12
11
12
11
7
7
5
6
5
HIV
39
2
HIV
AIDS
Grafik1.5 :Jumlah Kumulatif Kasus HIV-AIDS per Kab/Kota tahun 2002 2013
Sumber: Dinkes Provinsi Sumbar (2014)
119.75
120
100
80
60
40
35.79
20
26.94
21.0618.01
12.7612.3111.98
14.38
4.21 3.47 2.74 2.68 1.72 1.46
ba
r
Su
m
Bu
ki
tti
n
Pa ggi
da
ng
S
Pa olok
ria
Pa
Pa yak man
da
u
ng mb
Pa uh
n
Sa
wa j a n g
hl
Pa
un
da
t
ng
Ag o
Pa
am
Ta riam
n
a
Pe
a
sis h D n
at
ir
Se ar
Me lata
n
Dh
n
ar taw
ma
a
sra i
y
So 50
a
lok
Ko
t
Se
a
l
Pa atan
Pa
s
sa
m a a ma
n
n
K a Ba
ra
b.
t
S
Si olok
jun
jun
g
Grafik 1.6. Case rate AIDS (rate kumulatif AIDS) per kab/kota di
Sumbar tahun 2013
Sumber: Dinkes Provinsi Sumbar (2014)
Kota Bukittinggi merupakan salah satu kota besar dan kota wisata di
Provinsi Sumatera Barat yang sarat dengan keindahan alam, budaya, dan
penduduknya yang agamais. Namun melihat kondisi permasalahan kasus
HIV/AIDS di Kota Bukittinggi tersebut tentunya harus benar-benar disikapi
dengan serius.
Salah satu tujuan yang ingin dicapai MDGs dalam kurun waktu 19902015 adalah memerangi HIV/AIDS (tujuan 6), dengan target mengendalikan
penyebaran HIV dan mulai menurunnya jumlah kasus baru pada tahun 2015.
Salah satu indikator yang digunakan untuk memantau pencapaian target MDGs
6 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar
(KPAN).
Komisi Penanggulangan
HIV/AIDS (KPA) sejak tahun 2008. Adapun upaya yang sudah dilakukan oleh
KPA Kota Bukittingi antara lain adalah melakukan sosialisasi kepada
masyarakat terkait dengan bahaya HIV/AIDS, melalukan pendampingan dan
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 7
strategi
penanggulangan
HIV/AIDS
melalui
implementasi/pelaksanaankegiatan
penanggulangan
HIV/AIDS.
pencegahan
II
TINJAUAN PUSTAKA
HIV tidak ditularkan atau disebarkan melalui hubungan sosial yang biasa
seperti jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan, penggunaan
peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang, penggunaan kamar
mandi atau WC/Jamban yang juga dipakai oleh penderita HIV/AIDS.
HIV/AIDS juga tidak tersebar melalui nyamuk atau serangga lain (Kemenkes,
2007).
Tanda-tanda klinis penderita AIDS adalah berat badan menurun lebih
dari 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan,
demam berkepanjangan lebih dari1 bulan, penurunan kesadaran dan gangguangangguan neurologis, dan dimensia/HIV ensefalopati.
HIV dan AIDS dapat menyerang siapa saja. Namun pada kelompok
rawan mempunyai risiko besar tertular HIV penyebab AIDS, yaitu orang-orang
yang berperilaku seksual (para homo seksual dan heteroseksual) yang suka
berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom, pengguna narkoba suntik
yang menggunakan jarum suntik secara bersama-sama, pasangan seksual
pengguna narkoba suntik, bayi yang ibunya positif HIV.
Adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS
diantaranya adalah seperti dibawah ini :
1. Saluran pernafasan.
Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri dada
dan demam seperti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang
diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.
2. Saluran Pencernaan.
Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti hilangnya
nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada
rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diare yang kronik.
3. Berat badan tubuh.
Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu kehilangan
berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem
protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai Malnutrisi
termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada sistem
pencernaan yang mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah
kurang bertenaga.
4. System Persyarafan.
Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan kurang
ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan
respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral)
akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek
tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten.
5. System Integument (Jaringan kulit).
Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau carar api
(herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa
nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut
pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar retakretak) serta Eczema atau psoriasis.
6. Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita.
Penderita seringkali mengalami penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai
tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran kemih, menderita
penyakit syphillis, dan jika dibandingkan pria, maka wanita lebih banyak
jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS
wanita banyak yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal
sebagai istilah 'pelvic inflammatory disease (PID)' dan mengalami masa haid
yang tidak teratur (http://www.drogpatravel.biz/).
2.2. Tes dan Konseling HIV atau Voluntary Counseling and Testing
(VCT) untuk Pencegahan
Kebanyakan orang pengidap HIV terlihat sehat dan tidak terlihat
tandaatau gejala dari infeksi. Status HIV seseorang hanya dapat diketahui
dengan melakukan tes HIV. Salah satunya melalui layanan VCT (Voluntary
Counseling and Testing).Voluntary Counseling and Testing (VCT) dalam
bahasa Indonesiadisebut konseling dan tes sukarela. VCT merupakan kegiatan
konselingyang bersifat sukarela dan rahasia, yang dilakukan sebelum atau
sesudah tesdarah untuk HIV dilaboratorium. Tes HIV dilakukan setelah klien
terlebihdahulu mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar. Proses VCT
inidiberlakukan
bagi
orang-orang
yang
tergolong
berisiko
tinggi
kondisi
masyarakat
merupakan
modal
awal
dalam
mengingat
saat
ini
program
sedapat
mungkin
sebagainya.
Menurut
1. Lingkungan
Faktor lingkungan mempunyai pengaruh dan peranan terbesar diikuti
perilaku, fasilitas kesehatan dan keturunan. Lingkungan sangat beragam antara
lain
berhubungan dengan aspek fisik contohnya sampah, air, udara, tanah, ilkim,
perumahan, dan sebagainya. Selanjutnya lingkungan sosial merupakan hasil
interaksi antar manusia seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan
sebagainya.
2. Perilaku
Faktor perilaku merupakan faktor kedua yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat,karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan
individu, keluarga dan masyarakat sangat ditentukan oleh perilaku manusia itu
sendiri. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat,
kebiasaan, kepercayaan, pendidikan, sosial ekonomi, dan perilaku-perilaku lain
yang melekat pada dirinya.
3. Pelayanan kesehatan
Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat
adalah faktor pelayanan kesehatan, karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat
menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap
penyakit, dan pengobatan kepadakelompok dan masyarakat yang membutuhkan
pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dipengaruhi oleh keterjangkauan
lokasi, dan
4. Keturunan
Keturunan (genetik) merupakan faktor yang terdapat dalam diri manusia
dan dibawa sejak lahir, misalnya dapat dilihat dari golongan penyakit keturunan
seperti diabetes dan asma.
Jika ditinjau dari keempat faktor tersebut, faktor perilaku manusia
merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sulit untuk
ditanggulangi, dan disusul dengan faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena
faktor perilaku merupakan faktor yang lebih dominan dibandingkan dengan
faktor lingkungan karena lingkungan hidup manusia juga sangat dipengaruhi
oleh perilaku masyarakat (Notoatmojdo, 2010).
Perilaku kesehatan pada dasarnya merupakan suatu respons seseorang
(organisme) terhadap suatu stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, dan lingkungan. Dengan perkataan lain perilaku
kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang dapat
diamati maupun yang tidak dapat diamati (misalnya pengetahuan, persepsi atau
motivasi) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
(Notoatmodjo, 2010). Respon menurut Sorlita Sarwono (1996) dapat bersifat
fasif (tanpa tindakan: berfikir berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan
tindakan). Dengan batasan ini, perilaku kesehatan merupakan segala bentuk
pengalaman, khususnya pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta
tindakannya yang berhubungan dengan dengan kesehatan.
Perilaku kesehatan secara garis besar dikelompokkan menjadi dua ,
yakni:
1). Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Perilaku ini
disebut perilaku sehat, yang mencakup perilaku-perilaku dalam mencegah
penyakit, penyebab penyakit, atau penyebab masalah kesehatan.
2). Perilaku orang yang sakit atau terkena masalah kesehatan, untuk
memperoleh penyembuhan atau pemecahan kesehatan. Perilaku ini disebut
18 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar
2). Faktor- faktor predisposisi (pre disposing factors), yaitu faktor-faktor yang
memberikan kemudahan
perilaku
itu
menurut
secara
sistematis
dapat
Selain faktor perilaku, juga terdapat aspek non perilaku yang dapat
mempengaruhi pemafaatan pelayanan kesehatan, dan ini berhubungan dengan
dana baik untuk biaya pengobatan maupun biaya untuk mencapai pelayanan
kesehatan (Notoatmojdo, 2010).
Pembicaraan mengenai perilaku kesehatan dan penyakit tidak dapat
dipisahkan dari pengertian sehat dan sakit. Hal ini sangat beralasan karena
penilaian individu terhadap status kesehatannya merupakan salah faktor yang
menentukan perilakunya, baik perilaku sakit maupun perilaku sehat. Perilaku
sakit diartikan sebagai salah bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang
sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah
tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri,
pejagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan bergizi (Elfemi, 2003).
Foster (1986) menyatakan bahwa dasar
(bahwa ia sehat atau hanya mengidap suatu penyakit ringan yang tidak perlu
diperhatikan) adalah bahwa ia tetap dapat menjalankan peranan-peranan sosial
sehari-hari seperti biasa. Selanjutnya jika pada saat kegiatan menjalankan
peranan-peranannya mulai terganggu barulah pengakuan bahwa ia tidak sehat
dinyatakan, dan diikuti dengan usaha mencari pengobatan. Dalam konteks ini
penyakit didefinisikan sebagai pengakuan social bahwa seseorang itu tidak bisa
menjalankan peran normalnya secara wajar, dan harus dilakukan sesuatu
terhadap situasi tersebut.
Pengertian sakit seperti tersebut sangat berbeda dengan pengertian sakit
secara ilmiah (medis), di mana sakit diartikan sebagai gangguan fisiologis dari
suatu organism sebagai akibat dari infeksi atau tekanan dari lingkungan. Adanya
perbedaan
persepsi
inilah
yang sering
menimbulkan
masalah
dalam
III
METODOLOGI PENELITIAN
3. 1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tahun 2014 di Kota Bukittingi, Provinsi
Sumatera Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan bahwa
Kota Bukittingi adalah kota yang memiliki case rate AIDS paling tinggi di
Provinsi Sumatera Barat, yaitu sebesar 119,75. Di samping itu, di Kota
Bukittinggi juga terdapat salah satu rumah sakit layanan rujukan HIV/AIDS di
Provinsi Sumatera Barat, yaitu Rumah Sakit Achmad Mochtar (RSAM )
tepatnya di Klinik Serunai. Penderita HIV/AIDS yang melakukan pengobatan di
Klinik Serunai RSAM Bukittinggi tersebut tidak hanya berasal dari Kota
Bukittinggi, tetapi juga berasal dari kabupaten/kota di luar Kota Bukittinggi.
3.2. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang berbentuk deskriptifinterpretatif, yang menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna
yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari
masalah-masalah sosial. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya
penting,
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan
dan
prosedur-prosedur,
mana
dalam
penelitian
inipeneliti
berupaya
untuk
dengan menggunakan
berulang-ulang
antara
pewawancara
dengan
informan.
yang
dilakukan
penelitibertujuan
untuk
mendalami
atau
laporan. Oleh sebab itu, dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dan
26 BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar
analisis data dilakukan secara bersamaan. Selama proses penelitian peneliti bisa
secara terus menerus menganalisa datanya (Afrizal, 2008).
Proses analisis data dimulai dengan cara menelah seluruh data yang
tersedia
dari
berbagai
sumber,
yaitu
dari
wawancara
mendalam,
rapi,
keseluruhan cacatan untuk memilih informasi yang penting dan yang tidak
penting dengan cara memberikan tanda-tanda (kode). Setelah cacatan lapangan
telah penuh dengan tanda-tanda, dimana dengan tanda-tanda tersebut peneliti
dapat mengidentifikasi mana data yang penting dan mana yang tidak penting,
maka selanjutnya peneliti beralih kepada analisis data tahap kedua.
Tahap kedua
melakukan kategorisasi data atau pengelompokkan data ke dalam klasifikasiklasifikasi. Peneliti membuat kategori-kategori berdasarkan
kodifikasi data,
yang memilih data penting dan tidak penting pada tahap pertama.
Tahap ketiga adalah tahap lanjutan dimana pada tahap ini peneliti
mencari hubungan antara kategori-kategori yang telah dibuat sebelumnya. Miles
dan Huberman menganjurkan hubungan antara kategori-kategori tersebut
sebaiknya diilustrasikan dengan matrik-matrik atau diagram-diagram, bukan
dengan narasi.Ketiga langkah ini dilakukan atau diulangi terus setiap setelah
melakukan pengumpulan data dengan metode apapun. Ketiga langkah tersebut
dilakukan terus sampai penelitian berakhir. Jadi analisis data dalam penelitian
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov. Sumbar 27
ini adalah proses kategorisasi data, menemukan pola/ tema dan mencari
hubungan dengan kategori yang telah ditemukan.
Sewaktu di lapangan juga dilakukan triangulasi untuk mengetahui dan
mencocokkan informasi dari berbagai instrumen dan sumber, karena instrumen
dalam penelitian adalah peneliti sendiri. Dalam pelaksanaan triangulasi atau
kroscek terhadap derajat kepercayaan data, peneliti juga melakukan kroscek data
dengan melakukan wawancara dengan beberapa informan penderita HIV/AIDS
dan SKPD terkait yang berasal dari luar Kota Bukittinggi. Hal ini didasarkan
kepada data asal penderita HIV/AIDS dari luar Kota Bukittinggi yaitu
Kabupaten Agam, Kabupaten 50 Kota, Kota Payakumbuh, Kabupaten Tanah
Datar, Kabupaten Pasaman Barat, Kota Solok dan Kota Padang Panjang,dll.
Selanjutnya untuk merumuskan pengembangan strategi penanggulangan
HIV/AIDS peneliti menggunakan analisis SWOT (Strenghs, Weaknesses,
Oppurtunities, dan Threats).
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1. 1.Kondisi Geografis
Secara geografis, Kota Bukittinggi berada dalam lingkup Kabupaten
Agam, dan terletak pada posisi sentral dalam lingkup Provinsi Sumatera Barat
maupun antar provinsi terdekat. Letak geografis ini cukup strategis terhadap
lintasan regional, seperti lintasan dari Padang ke Medan, dan lintasan dari
Padang ke Pekanbaru. Kota Bukittinggi telah menjadi kota titik perlintasan dari
Jalur Lintas Tengah Sumatera serta jalur penghubung antara Jalur Lintas Tengah
dengan Jalur Lintas Timur Sumatera.
Luas Kota Bukittinggi adalah
sekitar 0,06 % dari luas Propinsi Sumatera Barat. Wilayah administrasi Kota
Bukittinggi terdiri dari tiga kecamatan dan 24 kelurahan, yaitu:
Kecamatan Guguk Panjang dengan luas areal 6,831 km2 (683,10 ha) atau 27,06 % dari total
luas Kota Bukittinggi yang meliputi 7 kelurahan.
Kecamatan Mandiangin Koto Selayan dengan luas areal 12,156 km2 (1.215,60 ha) atau 48
% dari total luas Kota Bukittinggi yang meliputi 9 kelurahan.
Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh dengan luas areal 6,252 km 2 (625,20 ha) atau 24,77%
dari total luas Kota Bukittinggi yang meliputi 8 kelurahan.
29
Bukittinggi dengan memanfaatkan kondisi geografis kota. Oleh karena itu dalam
lingkup Kabupaten Agam, Kota Bukittinggi menjadi orientasi pelayanan utama
perdagangan, dan pariwisata.
4.1.2.KEADAAN PENDUDUK
Jumlah penduduk Kota Bukittinggi pada tahun berdasarkan data BPS
Kota Bukittinggi tahun 2013 tercatat sebesar 114.415 jiwa/km2 dengan tingkat
kepadatan 4.533 jiwa per km2. Kepadatan penduduk Kota Bukittinggi tidak
merata, yang mana kepadatan penduduk tertinggi adalah di Kecamatan Guguk
Panjang dengan kepadatan penduduk 6.240 jiwa/km2, diikuti Kecamatan Aur
Birugo Tigo Baleh sebanyak 4.070 jiwa/km2 dan Kecamatan Mandiangin Koto
Selayan sebanyak 3.812 jiwa/km2.
Penduduk sebagai determinan pembangunan harus mendapat perhatian
yang serius. Program pembangunan, termasuk pembangunan di bidang
kesehatan, harus didasarkan pada dinamika kependudukan. Upaya pembangunan
di bidang kesehatan tercermin
memiliki sasaran ibu hamil, ibu melahirkan, dan ibu nifas. Beberapa program
lainnya dengan penduduk sasaran terfokus pada kelompok umur tertentu,
meliputi: bayi, batita (bawah tiga tahun), balita (bawah lima tahun), anak balita,
anak usia sekolah SD, wanita usia subur, penduduk produktif, usia lanjut dan
lain-lain.
30
kemudahan dalam
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7
14
1
0
0
0
0
0
2
0
0
1
0
0
4
0
0
2
7
14
31
Pusk. Keliling
0
0
17
0
Posyandu
0
0
0
0
Poskeskel
0
0
0
0
Rumah Bersalin
0
0
0
0
Balai Pengobatan/Klinik
0
0
0
0
Apotek
2
1
0
1
Toko Obat
0
0
0
0
IFK
0
0
1
0
Industri Obat Tradisonal
0
0
0
0
Praktek Dokter Bersama
0
0
0
0
Praktek Dokter
0
0
0
0
Perorangan
Jumlah
3
2
39
2
Sumber : Profil Kesehatan Kota Bukittinggi Tahun 2013
0
131
24
4
1
44
13
0
0
0
17
131
24
4
1
48
13
1
0
0
206
206
426
472
32
Grafik 4.1. Kumulatif penemuan kasus HIV positif tahun 2007 2013 di
Kota
Bukittinggi
Sumber: Dinkes Kota Bukittinggi (2013)
Selanjutnya berdasarkan data dari RSAM Bukittinggi bahwa kasus
HIV/AIDS tahun 2012-2014 (Agustus 2014) adalah sebanyak 145 kasus baru,
61 meninggal dan 27 kasus yang loss kontak (grafik 4.2). Jika dilihat dari
perkembangan kasus baru HIV/AIDS sejak tahun 2012 sampai dengan 2014
(Agustus 2014), tampak bahwa selama perkembangan 2 (dua) setengah tahun
telah terjadi peningkatan yang cukup tajam, yaitu dari 33 kasus tahun 2012
meningkat menjadi 40 tahun 2013, dan semakin meningkat terus pada Agustus
2014 (72 kasus), seperti terlihat pada grafik 4.3. Jika dilihat dari perkembangan
kasus baru sampai bulan Bulau Agustus 2014 yaitu 72 kasus, maka dari data
tersebut bisa diperkirakan akan terjadi peningkatan terus sampai dengan Bulan
Desember 2014, dan bahkan diramalkan pada akhir Desember tahun 2014 bisa
mencapai kurang lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya (tahun 2013
sebanyak 40 kasus).
Perkembangan kasus yang loss kontak juga menunjukkan peningkatan,
yaitu dari tahun 2012 sebanyak 3 kasus meningkat menjadi 5 kasus (tahun
2013), dan mengalami peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2014, yaitu
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar
33
sebanyak 19 kasus (grafik 4.3). Kondisi cukup besarnya kasus yang loss kontak
ini ada kaitannya dengan kurangnya kepatuhan penderita dalam melakukan
pengobatan dan adanya stigma negatif serta diskriminasi terhadap penderita
HIV/AIDS.
34
terbanyak
35
HIV/AIDS yang berasal dari Kabupaten Agam relatif cukup banyak yaitu
sekitar 16,55%. Berkaitan dengan hal ini, telah dilakukan koscek data ke Dinas
Kesehatan Agam, dan berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa memang
sebagian penderita HIV/AIDS di Bukittinggi adalah merupakan warga dari
Kabupaten Agam, khususnya dari Agam Timur. Sebagian besar penderita
cenderung melakukan aktifitas di wilayah Kota Bukittinggi. Penularan
HIV/AIDS juga dianggap ada kaitannnya dengan Kota Bukittinggi sebagai
Kota Pariwisata. Adapun jumlah kasus HIV/AIDS yang terdapat di Kabupaten
Agam sampai dengan tahun 2013 adalah 65 kasus. Sebagian besar penderita
melakukan pengobatan di RSAM Bukittinggi, sedangkan sebagian lainnya
melakukan pengobatan di RSUP M. Jamil Padang.
36
Pada grafik 4.4 juga terlihat bahwa sebagian penderita HIV/AIDS yang
melakukan pengobatan di RSAM Bukitinggi adalah berasal dari Kabupaten 50
Kota, yaitu sebesar 13,1%. Terkait dengan hal ini, pihak Dinas Kesehatan
Kabupaten 50 Kota menyatakan bahwa penderita HIV/AIDS yang berasal dari
warga Kabupaten 50 Kota memang
Bukittinggi. Pada saat ini kegiatan pelayanan VCT HIV/AIDS belum ada di
wilayah kerja Puskesmas Kabupaten 50 Kota. Sedangkan Puskesmas yang
sudah melakukan pelayanan skrining tes HIV/AIDS adalah Puskesmas Guguk,
dan untuk pengobatan lebih lanjut dirujuk ke Rumah Sakit Achmad Mochtar
(RSAM).
Selanjutnya penderita HIV/AIDS juga berasal dari Kabupaten Tanah
Datar dan Kota Batusangkar dengan masing-masing sebesar 6,89% (grafik
4.4). Berkaitan dengan penderita HIV/AIDS yang berasal dari
Kabupaten
37
faktor
dan
diikuti
resiko
penularan
dari
heteroseksual
(25,6%).
38
Berdasarkan Faktor
39
50 dan Pasaman Barat, Kota Batusangkar dan Kota Solok) juga mengalami hal
yang tidak jauh berbeda. Pada umumnya faktor risiko penularan adalah berasal
dari perilaku menyimpang, dan hampir sebagian besar dilakukan pada saat
mereka di rantau (Jakata, Batam, Pekanbaru,dll), seperti homoseksual,
heteroseksual dan narkotika dengan jarum suntik yang bergantian. Mereka yang
terpengaruh oleh gaya hidup/perilaku bebas di rantau cenderung mengakibatkan
tertularnya penyakit HIV/AIDS.
adalah
wiraswasta/usaha,
sopir
Padang-Jakarta,
Padang-Pekanbaru
40
4.8
(2007-2013) yang berasal dari kelompok umur 25-49 tahun cenderung lebih
besar yaitu sebesar 58%,15 laki-laki dan 55,93% perempuan. Dalam hal ini
persentase kelompok umur laki-laki dan perempuan yang mengalami HIV/AIDS
menunjukkan tidak banyak perbedaan. Selanjutnya penderita yang berasal dari
kelompok umur 20-24 tahun juga cukup banyak yaitu sebesar 34,07% dari jenis
laki-laki dan 35,59 % dari jenis perempuan. Dari data ini tampak kecenderungan
penularan terjadi pada kelompok usia produktif, dan bahkan dari kelompok usia
remaja persentasenya juga cukup besar.
41
42
informan
memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS secara benar, sehingga hal inilah yang
menyebabkan mereka tidak menyadari perilaku yang pernah dilakukan sebelum
mereka divonis HIV/AIDS turut berperan membuat rentannya terinfeksi
HIV/AIDS. Mereka sebelumnya hanya mengetahui bahwa penyakit HIV/AIDS
adalah penyakit yang menjijikan dan mematikan, dan kurang mengetahui
tentang penyebab atau risiko penularan dari penyakit tersebut. Seperti yang
diungkapkan informan bahwa awalnya dia pergi berobat ke dokter adalah karena
mengalami gejala mencret dan batuk-batuk terus. Selanjutnya informan juga
mengakui dia mempunyai riwayat penyakit penderita Tuberkulosis (TB) dan
toksoplasma.
Mengingat
kondisinya
yang
demikian
dokter
kemudian
43
penyakit
risiko
dan
memungkinkan
terjadinya
penularan/infeksi
HIV/AIDS. Risiko terkena atau tertular HIV adalah sebagai situasi yang diambil
yang dapat membahayakan kesehatan seseorang tanpa diketahui. Seseorang
dikatakan berisiko HIV jika orang tersebut berada pada suatu kesempatan untuk
terkena virus karena perilakunya, baik seksual maupun non seksual. HIV
merupakan virus yang rentan menginfeksi orang-orang dengan perilaku berisiko,
khususnya perilaku yang cenderung menyebabkan terjadinya kontak cairan
tubuh tertentu seperti darah, air mani dan cairan vagina. Faktor ketidakpedulian
sesorang dan kurang/tidak adanya pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS
juga berperan membuat rentannya individu terinfeksi HIV/AIDS. Selanjutnya
juga ada faktor biologis, budaya, ekonomis dan psikologis yang membuat orang
berisiko tertular HIV (Sulistiawati, 2013).
Hasil wawancara dengan beberapa ODHA dari ibu rumah tangga
(tertular dari suami) diketahui bahwa mereka juga belum memiliki pengetahuan
dan penularan HIV/AIDS secara medis. Mereka sangat kaget ketika suaminya
dinyatakan positif HIV/AIDS, dan tak lama kemudian informan juga dinyatakan
terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya yang pernah melakukan perilaku berisiko
tinggi terhadap HIV/AIDS (pengguna narkoba jarum suntik). Hal ini tentu tak
pernah dia bayangkan sebelumnya akan mendapatkan penyakit tersebut dari
suaminya, dan akhirnya juga menularkan kepada anaknya. Selanjutnya informan
lainnya juga menyatakan bahwa suaminya sudah meninggal akibat tertularnya
penyakit HIV/AIDS tersebut beberapa tahun yang lalu. Sebagai istri dia merasa
44
tidak pernah melakukan perilaku yang berisiko, tetapi dengan kondisi sebagai
ODHA dia tidak memiliki pilihan selain harus hidup dengan virus di tubuhnya
hingga batas waktu yang tidak menentu. Meskipun demikian, informan
menyatakan harus bisa menerima cobaan hidup yang paling berat ini dengan
iklas dengan tetap semangat serta tidak lupa menjalankan perawatan (minum
obat) secara teratur.
Menyikapi kasus HIV/AIDS yang terjadi pada ibu rumah tangga di atas,
tampak bahwa perlakuan terhadap perempuan yang tidak sama dengan laki-laki
dalam berbagai hal juga turut memberikan sumbangan pada tingginya kasus
HIV/AIDS pada ibu rumah tangga. Adanya anggapan bahwa dunia perempuan
adalah dapur, sumur atau dunia rumah tangga dapat menghambat akses terhadap
informasi termasuk informasi tentang HIV/AIDS. Kekurangan informasi ini
mengakibatkan banyak sekali perempuan yang tersentak kaget setelah suami
mereka sakit dan kesehatannya menurun drastis kemudian dibawa ke rumah
sakit lalu meninggal. Kemudian mereka diminta tes bersama dengan anak-anak
mereka dengan hasil semuanya positif HIV. Dalam kondisi ini perempuan tidak
tahu harus berbuat apa ketika baru saja ditinggal mati suami, kemudian baru
menyadari bahwa dirinya dan anak-anaknya yang sama-sama masih terlihat
sehat ternyata terinfeksi HIV (Faqih dkk, 2013).
Informan lainnya juga menyatakan bahwa dia mulai memiliki
pengetahuan tentang HIV/AIDS berdasarkan pengalaman suaminya yang
dinyatakan posistif HIV/AIDS, tetapi dia
tersebut secara benar dan langsung dari sumber yang terpercaya (dokter/tenaga
kesehatan). Suaminya pernah dirawat di rumah sakit dan dinyatakan mengidap
penyakit HIV/AIDS pada tahun 2009. Adapun gejala yang dialami suaminya
pada waktu di bawa ke rumah sakit tersebut adalah sakit kepala yang sangat
hebat dan ada virus toksoplasma. Kemudian dokter menganjurkan untuk
melakukan pemeriksaan darah, dan hasil pemeriksaan tersebut dinyatakan
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar
45
memungkinkan munculnya peluang melakukan seks bebas, dan hal ini lama
kelamaan memperkuat orientasi seksual homonya. Peluang melakukan seks
bebas antara lelaki dengan lelaki atau lelaki seks dengan lelaki (LSL) ini
semakin besar risikonya terhadap HIV/AIDS.
mengungkapkan bahwa pada awalnya dia tidak pernah berpikir bisa berperilaku
seksual dengan lelaki. Namun karena adanya kebiasaan sering pergi dan tidur
46
bersama dengan sesama teman lelaki menyebabkan dia tertarik dengan sesama
jenis dan sampai melakukan perilaku seks bebas yang berisiko terhadap
penularan HiV/AIDS. Adapun tempat yang cenderung digunakan kelompok ini
adalah tempat-tempat kos, sedangkan tempat yang biasa dimanfaatkan untuk
berkumpul dan bertukar informasi adalah kafe-kafe atau tempat hiburan.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya pada grafik 4.6 bahwa perilaku
seks bebas
dianggap sebagai
faktor
(tahun 2014)
risiko
informan
47
Perilaku menyimpang
seperti seks bebas tersebut menurut informan bahkan juga ada yang dilakukan
oleh mahasiswa dari perguruan tinggi yang berlatar belakang agama, dan
kondisi ini tentunya perlu menjadi perhatian yang serius.
Adapun yang dimaksudkan dengan gay
identitas
seksual,
bukan
orientasi
seksual.
Pada
perempuan,
Mereka yang
mempunyai pekerjaan sebagai sopir yang rutenya relatif jauh seperti Jakarta,
Sumatera Utara dan Riau dianggap lebih berisiko terhadap perilaku seks bebas
yang berganti-ganti pasangan dan beresiko terhadap penularan HIV/AIDS.
Perilaku/gaya hidup dari pengguna narkoba pada 3 tahun yang lalu
masih dianggap sebagai faktor risiko terbesar yang melatarbelakangi tingginya
kasus HIV/AIDS. Perilaku mereka pada awalnya dilatarbelakangi oleh tindakan
coba-coba dan diajak teman (awalnya cenderung diberikan secara gratis).
Berawal dari coba-coba akhirnya menjadi ketergantungan terhadap barang
haram tersebut. Pengguna narkoba jarum suntik (putaw) cenderung memiliki
gaya hidup yang hanya mencari kesenangan, biasanya dilakukan secara
48
bersama-sama
dengan
kelompok
mereka
sesama
pengguna
dengan
49
HIV/AIDS
secara benar
Masyarakat masih
50
51
pengetahuan keluarga atau orang tua terhadap HIV/AIDS. Apalagi gaya hidup
remaja saat ini yang cenderung bersikap ingin tampak lebih gaul atau modern
52
dengan meniru budaya dari luar, sehingga mereka tidak tahu lagi membedakan
mana
tingkah laku
adat/budaya dan agama. Hal ini makin diperparah dengan adanya sikap dari
keluarga yang kurang peduli terhadap anaknya, dan anak pun sebaliknya juga
cenderung
tertutup,
sehingga
anak
lebih
cenderung
untuk
memilih
terjerumus kepada perilaku yang berisiko seperti narkoba dan seks bebas.
Faktor perilaku merupakan gaya hidup perorangan yang beresiko
memberikan dukungan kepada kejadian dan kesulitan masalah kesehatan. Gaya
hidup hedonistik yang mencari kesenangan sesaat, semisal pengguna narkoba
jarum suntik yang melakukan tindakan sharing atau penggunaan jarum suntik
secara bersama-sama.
4.3. 3. Faktor Lingkungan
Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa Blum menyatakan ada 4 faktor yang
mempengaruhi status derajat kesehatan masyarakat atau perorangan, dan faktor lingkungan
mempunyai pengaruh dan peranan terbesar. Lingkungan sangat beragam antara lain yang
berhubungan dengan aspek fisik dan sosial. Lingkungan yang berhubungan dengan aspek fisik
contohnya sampah, air, udara, tanah, ilkim, perumahan, dan sebagainya. Selanjutnya lingkungan
sosial merupakan hasil interaksi antar manusia seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan
sebagainya. Faktor lingkungan merupakan semua faktor-faktor sosial dan fisiologis luar kepada
seseorang, sering tidak mencapai titik kontrol perorangan, yang dapat dimodifikasi untuk
mendukung perilaku atau mempengaruhi hasil kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
Berbicara mengenai penularan HIV/AIDS, siapa pun tanpa pandang bulu dapat
terinfeksi HIV, hal ini mengingat kontak cairan tubuh memungkinkan saja terjadi atas dasar
tindakan yang dilakukan berdasarkan kesadaran, keinginan atau kebiasaan si pelaku maupun
tidak. Banyak faktor yang saling terkait dalam kehidupan seseorang yang membuatnya
melakukan perilaku berisiko HIV. Latar belakang keluarga dan interaksi seseorang dengan
individu/kelompok tertentu turut berkontribusi terhadap berkembangnya perilaku berisiko
HIV/AIDS (Dian, 2013).
53
54
masyarakat ytang sedang dalam ke adan transisi menuju masyarakat yang modern
dan
kompleks disebabkan karena keterlambatan untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosialekonomi yang baru.
anggota komunitas gay dan lesbi di Kota Bukittinggi menurut informan relatif
cukup banyak. Adapun tempat yang mereka manfaatkan pada saat ini untuk
berkumpul atau berinteraksi sesama mereka adalah di kafe-kafe. Tempat ini
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar
55
biasanya mereka manfaatkan juga untuk saling bertukar informasi dan berbagi
pengalaman. Adanya pertukaran informasi dan berbagi pengalaman dari sesama
anggota komunitas turut berpengaruh terhadap
kualitas
hubungan atau
SMP
dia sudah
mempunyai teman khusus dengan sesama jenis, tapi masih sebatas teman biasa.
Kemudian setelah SMA, karena dia sering pergi dan tidur bersama dengan
teman laki-lakinya tersebut, akhirnya dia sampai melakukan perilaku berisiko
yang tidak sesuai dengan norma-norma adat dan agama.
Adapun tempat yang cenderung dimanfaatkan oleh para homoseksual
untuk melakukan perilaku menyimpang tersebut adalah tempat kos. Walaupun
sebagian dari mereka mempunyai orang tua yang
bertempat tinggal di
Bukittinggi, namun dengan alasan ingin mandiri karena sudah bekerja, mereka
mencari tempat kos untuk menjadi pilihan tempat tinggal. Pilihan tempat kos
sebagai tempat untuk melakukan perilaku seks bebas dengan sesama jenis
tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, antara lain tempat kos adalah
tempat yang dianggap sebagai tempat yang lebih aman, nyaman, dan tidak perlu
mengeluarkan biaya/sewa penginapan. Di samping itu,
biasanya tidak akan curiga kepada hubungan mereka, karena pemilik kos akan
melihat hubungan mereka sebagai hubungan pertemanan biasa seperti layak
teman bermain dengan sesama laki-laki, dan bukan hubungan pertemanan yang
khusus dengan lawan jenis.
Mereka yang berperilaku homo seksual (LSL) tersebut mempunyai latar
belakang pekerjaan yang bervariasi dan mereka cenderung mempunyai
pekerjaan yang tidak menetap seperti karyawan di hotel atau rumah makan. Di
samping itu, sebagian mereka juga berasal dari pelajar/mahasiswa serta yang
belum mempunyai pekerjaan.
56
Menyikapi
persoalan
homo
seksual
tersebut,
Soekanto
(2006)
menyatakan bahwa terjadinya homoseksual tidak terlepas dari adanya faktorfaktor sosial atau lingkungan sosial yang memberikan situasi yang membuka
peluang terjadinya homoseksualitas. Pada
homoseksualitas bertitik tolak pada asumsi bahwa tidak ada pembawaan lain
pada dorongan seksual, selain untuk menyalurkan ketegangan. Oleh sebab itu,
baik tujuan maupun objek dorongan sesksual diarahkan oleh faktor sosial.
Dalam hal ini arah penyaluran ketegangan dipelajari dari pengalamanpengalaman sosial. Dengan demikian, tidak ada pola seksual alamiah, karena
yang ada adalah pemuasnya yang dipelajari dari adat istiadat lingkungan sosial.
Lingkungan sosial akan menunjang atau mungkin menghalangi sikap-tindak
dorongan-dorongan seksual tersebut. Seseorang akan menjadi homoseksual
karena pengaruh orang-orang disekitarnya. Sikap dan perilakunya yang
kemudian menjadi pola seksualnya dianggap sebagai sesuatu yang dominan,
sehingga menentukan segi-segi kehidupan lainnya.
Lely (2011) juga mengemukakan bahwa lingkungan teman sepermainan
(peer-gorup) merupakan hal yang tak kalah pentingya dalam permasalahan
perilaku seks di kalangan remaja. Hubungan kedekatan dengan peer-grupnya
cenderung relatif tinggi, dan hal ini selain disebabkan
peer-grup dapat
57
Perilaku seks
perhatian yang serius karena masa remaja adalah suatu masa yang berbahaya
karena periode ini seseorang meninggalkantahap kehidupan anak-anak untuk
menuju ke tahap kedewasaan. Masa ini dirasakan sebagai suatu krisis karena
belum adanya pegangan, sedangkan kepribadiannnya sedang mengalami
pembentukan. Pada masa ini dia memerlukan bimbingan, terutama dari orang
tuanya. Namun, ada kecenderungan generasi muda terutama di kota-kota besar
yang mengalami kekosongan lantaran kebutuhan akan bimbingan langsung dari
orang tua tidak ada atau kurang. Hal ini disebabkan karena keluarga mengalami
disorganisasi. Jika dilihat pada keluarga keluarga yang secara ekonomis kurang
mampu, kondisi tersebut disebabkan karena orang tua harus mencari nafkah
sehingga tidak banyak waktu untuk mengasuh anak-anaknya. Sedangkan pada
keluarga yang mampu, permasalahannya karena orang tua terlalu sibuk dengan
urusan-urusan di luar di rumah (Soekanto, 2006).
Lingkungan pertemanan di sekolah secara tidak langsung juga dapat
berpengaruh terhadap perilaku berisiko. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya
bahwa dalam lingkungan pertemanan di sekolah akan terjadi interaksi antara
seseorang
mengajak serta mempengaruhi siswa yang lain untuk melakukan perilaku yang
dianggap berisiko terhadap HIV/ADS. Kondisi ini tentunya mengkhawatirkan
para orang tua murid, sebagaimana yang dikatakan informan
bahwa dia
58
ekonomi untuk
59
atau
sosial,
kurang
berfungsinya
keluarga
dalam
memberikan
61
perubahan, baik perubahan karena derasnya arus globalisasi maupun perubahan-perubahan yang
disebabkan oleh arus teknologi informasi. Hal ini bisa dilihat dari adanya warung internet dan
penggunaan telepon seluler (HP) sampai ke pelosok daerah.
Penggunaan internet dan HP di kalangan remaja semenjak kurang lebih 10 tahun
terakhir cenderung meningkat. Adanya beberapa tugas yang diberikan oleh guru atau dosen di
sekolah/di kampus cenderung menyebabkan pelajar/mahasiswa pergi untuk mencari informasi
melalui internet. Penggunaan internet ini menurut informan saat ini malah makin bertambah
besar karena adanya pelaksanaan kurikulum pendidikan tahun 2013, yang mana sebagian besar
tugas-tugas sekolah yang diberikan di sekolah, cenderung mengharuskan siswa untuk mencari
informasi melalui internet baik melalui HP maupun di warnet. Namun kadang kala dengan
munculnya gambar-gambar porno yang kurang sopan telah menyebabkan sebagian remaja
cenderung ingin tahu dan penasaran, dan bahkan sampai melakukan hal yang seharusnya belum
boleh dilakukan anak remaja.
(dalam Lestary, 2011) biasanya terjadi karena sedang mabuk, suka sama suka,
rasa ingin tahu dan ingin merasakannya setelah menonton video porno atau
melihat perempuan seksi, pengaruh teman, dan agar terlihat modern.
Perilaku berisiko yang dilakukan oleh kelompok lelaki seks lelaki (LSL)
menurut informan juga cenderung dipengaruhi oleh tayangan/gambar yang
terdapat pada HP atau setelah menonton video porno. Setelah menonton gambar
dan menonton video porno tersebut menurut pengakuan informan rasa ingin
tahu dan ingin melakukan perilaku menyimpang tersebut muncul, dan akhirnya
sampai melakukan seks bebas dengan sesama jenus. Selanjutnya bagi kalangan
62
lelaki seks lelaki (LSL) juga ada kecenderungan (misalnya LSL muda dan
waria dengan status ekonomi menengah hingga tinggi) menggunakan sosial
media untuk
memuat informasi tentang gay. Dengan media jejaring sosial tersebut mereka
bisa saling mengenal dan berkomunikasi, dan akhirnya bisa berlanjut kepada
ketertarikan satu sama lainnya.
Jika ditinjau dari nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat dalam
kehidupan sosial dan budaya di Minangkabau, batas kesopan-santunan, nilai
budaya dan agama untuk pergaulan menjadi dasar bagi jati diri Minangkabau,
raso pareso, ereang jo gendeang. Semenjak masuknya arus globalisasi melalui
aplikasi komunikasi dan informasi pola interaksi sosial semakin berkembang.
Hal ini dapat dibuktikan dengan berkembangnya ikatan komunitas di luar batas
kesatuan identitas sosial nagari, suku atau kaum. Ikatan sosial sudah
berdasarkan kepada kepentingan politik dan ekonomi. Sementara ini, sejalan
dengan perkembangan teknologi, peralatan canggih untuk menopang kehidupan
sehari-hari ditengah masyarakat justru melahirkan perilaku sosial yang keluar
dari nilai kemuliaan. Masyarakat berubah ke arah yang tidak menentu karena
tidak dapat diukur menurut tuntutan nilai-nilai budaya Minangkabau (Bappeda,
2011). Kondisi perkembangan teknologi komunikasi dan informasi inilah yang
menyebabkan sebagian remaja sekarang cenderung terpengaruh oleh arus
informasi yang menyesatkan dan bisa menyebabkan tindakan yang keluar dari
batas-batas kesopanan, yang akhirnya bisa berisiko tertularnya HIV/AIDS.
4.4. Implementasi Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS
untuk
Indonesia berkomitmen
pengendalian
AIDS,
menjalankan kesepakatan
mempromosikan
kerja
sama
multilateral dan bilateral, serta memperluas kerja sama dengan negara tetangga
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar
63
dalam Program Pengendalian AIDS. Hal ini mengingat epidemi HIV sudah
menjadi masalah global, pemerintah Indonesia berkomitmen menjalankan
kesepakatan Dasar hukum pengendalian tertuang antara lain dalam: Keputusan
Presiden Nomor 36, tahun 1994 tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan
AIDS
(KPA)
dan
KPA
Daerah
sebagai
lembaga
pemerintah
yang
tentang
AIDS yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti,
dengan mengutamakan pereventif dan promotif (Kemenkes, 2013).
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga telah mengeluarkan Peraturan
Daerah
Provinsi
Sumatera
Barat
Nomor
Tahun
2012
Tentang
Penanggulangan HIV-AIDS, yang mana ruang lingkup penanggulangan HIVAIDS meliputi promotif, preventif, konseling dan testing sukarela, kuratif,
perawatan dan dukungan. Selanjutnya dalam upaya promotif dilakukan melalui
pemberdayaan masyarakat dalam bentuk kegiatan antara lain Komunikasi
Informasi dan Edukasi (KIE), peningkatan pemahaman agama dan ketahanan
keluarga dan peningkatan perilaku hidup sehat dan religius. Salah satu tindakan
preventif oleh masyarakat dan individu adalah dengan memfungsikan keluarga
secara optimal sebagai sarana untuk menciptakan generasi bangsa yang
berkualitas dan beraklak baik.
65
2.
3.
secara
optimal.
Untuk
melaksanakan
penanggulangan
No.
188.45-153-2008
tentang
Pembentukan
Komisi
66
kelompok
yang
dimarjinalkan,
maka
program-program
pencegahan
dan
pengendalian HIV dan AIDS memerlukan pertimbangan keagamaan, adat-istiadat dan normanorma masyarakat yang berlaku di samping pertimbangan kesehatan. Penularan dan penyebaran
HIV dan AIDS sangat berhubungan dengan perilaku berisiko, oleh karena itu pengendalian
harus memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut.
67
8).Kegiatan dialog interaktif dan spot iklan himbauan layanan masyarakat upaya
penanggulangan HIV/AIDS, 9). Media Informasi Tabuah KPA, dan 10).
Kegiatan pendukung lainnya.
1). Capaian Kegiatan Penjangkauan dan Pendampingan pada Kelompok Berperilaku
Resiko Tinggi
Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bukittinggi bersama dengan 4 (empat) kelompok
komunitas binaan KPA Kota
melakukan sosialisasi dan penyebaran informasi serta kegiatan outreach (penjangkauan dan
pendampingan) pada kelompok populasi kunci/komunitas berisiko tinggi yang terdiri dari
Penasun Pengguna Napza Suntik), Hight Man Risk (Ojek/Sopir dan Potensial Pelanggan), GWL
(Gay, Waria dan Lelaki Suja Dengan Lelaki) dan Pekerja Seks Terselubung.
KPA Kota Bukittinggi bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi telah
melaksanakan program Harm Reduction (pengurangan dampak buruk terhadap penyalahgunaan
narkotika) di Kota Bukittinggi dan telah membentuk layanan Harm Reduction di Puskesmas
Guguk Panjang dan Puskesmas Perkotaan yang memdapatkan dukungan dana dari APBD dan
Global Found Round 9 tahap II yang diberikan oleh KPA Nasional.
Pelaksanaan kegiatan Harm Reduction yang dilakukan oleh petugas lapangan telah
berhasil melakukan penjangkauan dan pendampingan pada kelompok IDU 82 kontak baru dan
lama Penasun untuk mengakses layanan alat suntik steril di dua Puskesmas yang terdapat di
Bukittinggi. Perilaku menyuntik pada penggunaan narkotika jenis putaw saat ini sudah menurun,
namun angka penyalahgunaan narkotika jenis amphetamin dan ganja cenderung meningkat
yang akan berakibat pada perilaku seksual berisiko karena pengaruh zat adiktif yang
dikonsumsinya.
Pelaksanaan program Behaviour Chage Intervensi/Komunikasi Perubahan Perilaku
pada kelompok Hight Man Risk (HRM), GWL, dan Pekerja Seks Terselubung hingga saat ini
sudah dapat membuka akses, dan melakukan 163 kontak baru dan lama pada lelaki berisiko
tinggi, 65 pada Pekerja Seks Terselubung, 40 kali kontak pada waria dan 3 kali kontak pada
kelompok LSL. Selanjutnya merujuk kelompok dampingan ke pusat-pusat layanan seperti
Puskesmas, Klinik IMS dan Klinik VCT.
2). Pendampingan dan Dukungan pada ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
KPA
Kota Bukittinggi pada tahun 2013 telah membina kelompok dukungan sebaya
(KDS) New Spirit Bukittinggi untuk melaksanakan kegiatan pendampingan dan konseling di
Klinik Serunai Rumah Sakit Rujukan HIV/AIDS DR. Achmad Mochtar. Kegiatan
68
pendampingan dan dukungan dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA. Dalam
pelaksanaannya KDS telah melakukan pendampingan 30 ODHA baru dan membantu pasien
ODHA untuk melakukan pemeriksaan kesehatan melalui kegiatan Care Support and Treatmen
di Klinik Serunai.
Dalam rangka upaya pengendalian dan penanggulangan HIV/AIDS telah dilaksanakan
kemitraan dengan melibatkan para penderita menjadi konselor, pendamping dan penjangkau.
Keterlibatan ODHA ini adalah sebagai salah satu upaya untuk mengajak mereka yang dianggap
beresiko terhadap HIV/AIDS untuk mau melakukan pemeriksaan atau tes HIV dan memberikan
motivasi terhadap mereka yang dinyatakan positif HIV/AIDS.
3). Pemetaan Titik Hot Spot kelompok Populasi Kunci
Berdasarkan laporan kegiatan dari KPA Kota Bukittinggi bahwa hasil pemetaan
populasi kunci yang telah dilaksanakan bekerja sama dengan LSM dan Perwakilan Komunitas
di Komunitas di Kota Bukittiggi diketahui bahwa telah terjadi peningkatan jumlah titik hot spot
dari tahun sebelumnya. Kondisi ini terkait dengan adanya pertumbuhan kafe dan tempat hiburan
yang ada di Kota Bukittinggi.
Bukittinggi diperoleh informasi bahwa perilaku berisiko yang sebelumnya tidak menjadi target
intervensi di lapangan yaitu
kelompok lesbian juga berprofesi sebagai pekerja seks komersil. Data jumlah titik hot spot
kelompok populasi kunci di Kota Bukittinggi dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2. Jumlah Titik Hot Spot Populasi Kunci di Kota Bukittinggi 2013
Kecamatan
WPS
Lesbian
MKS
5
6
ABTB
7
2
GGK PJG
17
4
Jumlah
29
12
Sumber: KPA Kota Bukittinggi
Tabel 4.3.
LBT
IDU
10
10
13
33
8
3
3
14
NON
IDU
13
14
21
48
LSL
Waria
Jumlah
3
3
10
16
1
3
4
8
46
42
72
160
Kecamatan
WPS
Lesbian
LBT
IDU
GGK PJG
ABTB
MKS
Jumlah
107
51
61
219
25
26
63
114
341
245
205
291
7
6
15
28
NON
IDU
257
184
163
604
Kota
LSL
Waria
Jumlah
137
36
45
218
42
14
15
71
916
562
567
2045
69
tampak bahwa ada penurunan jumlah titik hot spot dan estimasi populasi pada kelompok
Penasun/IDU, dan adanya peningkatan data hasil pemetaan baik jumlah titik hot spot maupun
estimasi populasi kunci khususnya pada kelompok orientasi seksual.
4). Pertemuan dan Koordinasi
KPA Kota Bukittinggi pada tahun 2013 telah melaksanakan kegiatan pertemuan dan
koordinasi dengan berbagai instansi terkait. Pelaksanaan kegiatan ini bertujuan untuk
menyamakan pemahaman dan program yang telah dilaksanakan dalam upaya penanggulangan
HIV/AIDS, baik yang dilaksanakan KPA Kota Bukittinggi maupun yang dilaksanakan oleh
instansi terkait. Di samping itu, juga dibahas mengenai kendala, permasalahan dan solusi serta
update informasi yang ada dari lapangan.
Pertemuan dan koordinasi yang dilaksanakan antara lain (1). Pertemuan dan Koordinasi
dengan instansi terkait, (2). Pertemuan dan Koordinasi dengan LSM Peduli AIDS, ODHA dan
Kelompok Resti, (3). Pertemuan dan Koordinasi Layanan Kesehatan.
5). Kegiatan Pelatihan HIV/AIDS dan Support Group
KPA Kota Bukittinggi juga telah melaksanakan kegiatan pelatihan HIV/AIDS dan
Support Group, baik terhadap komunitas yang terdampak secara langsung oleh permasalahan
HIV/AIDS maupun pada kelompok komunitas peduli AIDS yang telah dibina dan didampingi
oleh KPAK Bukittinggi. Kegiatan pelatihan ini merupakan salah satu bentuk upaya
meningkatkan pemahaman dan mendorong partisipasi aktif dari komunitas untuk terlibat aktif
dalam pencegahan dan penanggulangan.
6). Kegiatan Penguatan Kelembagaan LSM Peduli AIDS
70
kegiatan pemberdayaan
Tokoh
Tungku
Tigo
Sajarangan
telah
dilaksanakan
Komisi
Penanggulangan AIDS Kota Bukittingi pada tahun 2013. Peserta kegiatan ini
terdiri dari tokoh agama, alim ulama, cendiakiawan dan stake holder terkait. Di
samping itu, juga diadakan sosialisasi narkotika, HIV/AIDS serta perilaku
menyimpang pada anggota Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Kecamatan
Mandiangin Koto Selayan. Dengan adanya workshop dan sosialisasi tersebut
diharapkan para peserta dapat memahami dan peduli terhadap permasalahan
HIV/AIDS.
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar
71
upaya penanggulangan
HIV/AIDS. Tema dialog interaktif terkait dengan peran KPA Kota Bukittinggi
dan LSM binaanya dalam melakukan upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Sedangkan untuk
media
Buletin Tabuah KPA Kota Bukittinggi, yang telah menerbitkan 4 (empat) edisi
buletin pada tahun 2013. Infomasi yang disajikan beragam sesuai dengan
kegiatan yang dilaksanakan, dan sebagai topik dalam Buletin Tabuah KPA
dari ke empat edisi tersebut antara lain adalah mengenai peran KPA dalam
kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, perang terhadap LGBT (Lesbian, Gay,
Biseksual dan Trangender), mereka yang bangkit dari keterpurukan, siswa
berada di garda depan.
10). Kegiatan Pendukung lainnya
Kegiatan
pendukung
Penanggulangan AIDS
lainnya
yang
telah
dilaksanakan
Komisi
pembentukan Warga Peduli AIDS. Dengan dukungan dana yang dari Global
Found, pada tahun 2013 telah dibentuk 8 (delapan) kelompok Warga Peduli
AIDS (WPA) di Kota Bukittinggi. Pembentukan WPA ini sesuai dengan strategi
72
dilaksanakan pada 8 (delapan) kelurahan, antara lain adalah WPA Gulai Bancah
di kelurahan Kubu Gulai Bancah, WPA Ipuh Mandiangin di Kelurahan
Campago Ipuh, WPA Pakan Kurai di Kelurahan Pakan Kurai, WPA Pakan
Labuah di Kelurahan Pakan Labuah, dll.
Kelompok warga yang telah terbentuk tersebut selanjutnya akan
melakukan kegiatan penaggulangan HIV/AIDS pada masing-masing tempat dan
akan berkoordinasi dan dibina oleh KPA Kota Bukittingi.
4.4.3.
a.
Ketersediaan Input
73
Fasyankes
Dokter
Konselor
Labor
Admin
Guguk Panjang
Perkotaan
Tigo baleh
Mandiangin
Nilam Sari
Gulai Bancah
Plus Mandiangin
8.
RSAM
11
Jumlah
12
21
dalam
upaya
penanggulangan
HIV/AIDS
adalah
kegiatan
didistribusikan ke Puskesmas-Puskesmas.
75
individu
yang
mempunyai
keinginan
untuk
pembinaan
77
sosialisasi
juga
dilaksanakan
oleh
RSAM
ke
Fasyankes
Kunjungan
IMS
Mobile
IMS
Jml Positif
IMS
Pemberian
Kondom
Guguk Panjang
301
`246
76
90
Perkotaan
54
44
11
21
TigoBaleh
103
25
16
54
Mandiangin
54
22
18
78
Nilam Sari
Gulai Bancah
Plus
Mandiangin
516
337
124
249
TOTAL
79
Fasyan
Kes
Tes &
terima
hasil
Positif
HIV
Guguk
Panjang
38
37
Perkotaan
Tigo
Baleh
17
17
Mandian
gin
Gulai
Bancah
107
10
Plus
Mandiang
in
RSAM
304
1072
1202
51
31
74
74
474
1072
1274
56
31
74
74
TOTAL
Kunjungan Mobile
VCT
VCT
80
hasil
wawancara
dengan
informan
dari
Kantor
81
tentang
kesehatan
reproduksi
remaja
(termasuk
HIV/AIDS), dan ini bisa menggunakan media elektronik dan majalah dinding
(mading). Sedangkan untuk konselor, di samping bertugas memberikan
informasi juga memberikan konseling kepada teman-teman atau siswa yang
lain. Dalam hal ini sudah ada jadwal konseling, dan jika ada siswa yang
mengalami
beberapa solusi.
Informan dari Kantor Pemberdayaan Masyarakat
Kota Bukittinggi
pembinaan,
masyarakat
supaya
bisa
aktif
dalam
melaksanakan
menyatakan bahwa upaya secara langsung yang dilakukan Dinas Budaya dan
Pariwisata untuk pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS memang belum ada.
Namun demikian, Dinas Budaya dan Pariwisata telah melaksanakan program
pengembangan pariwisata, yaitu sapta pesona. Dalam rangka sapta pesona ini
telah dilaksanakan beberapa kegiatan antara lain adalah kegiatan pestival
silek/lomba silek (silat), yang pada umumnya diikuti oleh pelajar mulai umur 5
tahun sampai usia remaja. Adapun kegiatan ini dilaksanakan agar generasi
muda lebih mencintai dan ikut melestarikan seni dan dan budaya. Di samping
itu, kegiatan olah raga tradisional seperti silat ini adalah merupakan kegiatan
positif buat generasi muda, yang mana dengan kegiatan ini diharapkan agar
generasi muda bisa meluangkan waktunya untuk melaksanakan kegiatan yang
bermanfaat dan menghindari kegiatan atau perilaku yang menyimpang seperti
narkoba atau seks bebas.
Selanjutnya juga ada kegiatan pemilihan bujang dan gadis, yang mana
peserta yang ikut dalam kegiatan ini menggunakan pakaian muslim atau jilbab
buat yang wanita. Pada ajang pemilihan ini juga dilaksanakan semacam
83
budaya
malu. Masalahnya sekarang adalah bagaimana budaya baru yang berasal dari
luar tersebut bisa menyesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang sudah menjadi
tradisi atau tertanam dan menjadi pendoman dalam kehidupan masyarakat
setempat.
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja juga telah melaksanakan beberapa upaya
preventif yang terkait dengan perbuatan maksiat telah dilaksanakan Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja bahwa, antara lain dengan melaksanakan pertemuan
dengan Karang Taruna dan Pekerja Masyarakat. Dalam hal ini diberikan unsur
pembinaan seperti ketrampilan dan memberikan informasi/sosialisasi bahwa
tato yang dianggap seni adalah salah satu hal yang bisa menularkan HIV/AIDS.
Lebih lanjut kegiatan yang dilaksanakan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
pada umumnya merupakan kegiatan dari Dinas Sosial Provinsi, dan tempatnya
dilaksanakan di Bukittinggi. Kegiatan ini adalah seperti penyuluhan dan
pemeriksaan kesehatan dan pelatihan ketrampilan. Dalam hal ini biasanya
cenderung diikuti oleh mereka yang berasal dari kelompok mantan pecandu
narkoba. Ketrampilan yang diberikan adalah ketrampilan perbengkelan.
Namun demikian, Dinas Sosial Kota dan Tenaga Kerja Bukittinggi sudah
melaksanakan kegiatan pembinaan kepada para Pekerja Seks Komersil (PSK)
yang telah terjaring oleh petugas Satpol PP dan diteruskan ke Dinas Sosial.
Mereka diberikan pembinaan dan ketrampilan seperti menjahit, sehingga
nantinya setelah mendapatkan ketrampilan mereka bisa melakukan pekerjaan
sesuai dengan ketrampilan yang sudah mereka dapatkan. Tetapi kenyataan yang
84
85
siswa SLTP dan SLTA pada waktu bulan Ramadhan. Materi yang disampaikan
terkait dengan pergaulan dan seks bebas, kasus HIV/AIDS, dan maraknya kasus
gay dan lesbi.
MUI Kota Bukittinggi juga melakukan pemetaan atau survey terhadap
perilaku yang dianggap meresahkan masyarakat seperti perilaku seks bebas.
Berdasarkan laporan dari masyarakat dan berkoordinasi dengan pemuka
masyarakat, kemudian hal tersebut dilaporkan kepada Satpol PP.
Sebagai
tindak lanjut dari informasi yang diterima oleh Satpol PP, maka bersama-sama
dengan MUI, pemuka masyrakat/tokoh masyarakat, dan LKAM Satpol PP telah
melakukan tindakan razia gabungan ke tempat-tempat hiburan, seperti ke
tempat Pub Hotel Pusako (tahun 2012). Setelah dilakukan razia ke lokasi Pub
Hotel Pusako tersebut ditemukan adanya perilaku yang tidak sesuai dengan
Adat dan Agama. Dalam hal ini terungkap adanya sejumlah wanita yang
memberikan jasa hiburan (sebagai penari telanjang), dan kemudian juga
ditemukan adanya beberapa PSK yang bekerja dengan menggunakan jasa antar
jemput dengan Taxi.
Perilaku menyimpang seperti perilaku seks tersebut cukup meresahkan
masyarakat, apalagi perilaku tersebut bisa menyebabkan penularan HIV/AIDS.
Berdasarkan hasil razia terhadap Pub di Hotel Pusako tersebut, informan
menyatakan bahwa Walikota Bukittinggi telah memberikan teguran kepada
pihak hotel. Pihak hotel kemudian mengganti nama tempat hiburan tersebut.
Sehubungan dengan hal ini, maka perlu ditingkatkan lagi pengawasannya oleh
instasi terkait.
Masalah penggunaan kondom untuk pencegahan penularan HIV/AIDS
memang saat ini menurut informan masih ada sikap pro dan kontra. Dari satu
sisi penggunaan kondom untuk pencegahan HIV/AIDS bagi pasangan suami
istri tidak masalah. Namun penggunaan kondom bagi mereka yang berperilaku
menyimpang menurut informan dianggap rasanya sulit untuk dibenarkan,
86
87
mengendalikan diri dari segala perbuatan yang dilarang agama, adat dan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan informasi dari kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) Kota Bukittinggi diketahui bahwa pihak mereka saat ini sudah mengajukan
Rancangan Peratuan Daerah (Ranperda) untuk penyempurnaan atau perubahan
terhadap Peraturan Daerah Kota Bukittingi No.20 tahun 2003 tentang penertiban
dan penindakan penyakit masyarakat.
Kantor Satpol PP melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penegak
Perda termasuk dalam menindak seseorang/masyarakat yang terlibat dalam
tindakan/perilaku menyimpang seperti melakukan perbuatan maksiat. Beberapa
upaya yang dilakukan oleh Satpol PP dalam rangka penertiban dan penindakan
penyakit masyarakat antara lain adalah dengan melakukan razia pada tempattempat hiburan dan hotel kelas melati, termasuk tempat kos.
Pelaksanaan
razia tersebut
88
kurang lebih tiga bulan sekali, dan biasanya didasarkan pada informasi yang
diberikan oleh pihak sekolah.
4.4.5.
3).
Masih kurangnya kesadaran (kesiapan) untuk pemeriksaan HIV dan kepatuhan pasien
untuk minum obat
Kendala lainnya terkait dengan kurangnya kesiapan seseorang yang pernah
berperilaku berisiko untuk melakukan pemeriksaan/tes HIV. Walaupun dari mereka yang
sudah melakukan konseling, namun kesediaan dan kesiapan untuk melakukan pemeriksaan
89
HIV masih relatif kurang. Begitu juga dengan mereka yang sudah pernah melakukan
pemeriksaan, tetapi tidak melanjutkan pemeriksaan lagi (3 kali pemeriksaan), sehingga
kehilangan kontak (loss). Hal inilah yang menjadi kendala dalam pencegahan dan
pengendalian HIV/AIDS.
Dalam hal pengobatan, penderita mengakui bahwa ketaatan minum obat adalah hal
yang penting untuk menjaga daya tahan tubuh para penderita. Di samping itu, juga perlu
diperhatikan kondisi fisik dan tidak boleh bekerja terlalu lelah. Efek samping yang
dirasakan akibat minum obat tersebut adalah emosi kurang stabil dan cenderung cepat
marah, dan ini merupakan hal yang sulit mereka kendalikan. Selanjutnya kendala dalam
penanggulangan HIV/AIDS adalah masalah terputusnya pengobatan pasien baru, yang
mana ada kecenderungan dari pasien yang baru tidak balik-balik lagi atau pindah
pengobatan dengan memanfaatkan tenaga dukun. Dalam hal ini perlu adanya upaya dari
tenaga kesehatan untuk lebih sensitif terhadap pasien HIV/AIDS, sehingga pasien tersebut
bisa termotivasi untuk menjalankan pengobatannya.
Berkurangnya
peran dan fungsi dari keluarga, ninik mamak, kelembagaan adat serta
90
terhadap ninik mamak oleh anak kemenakan. Ninik mamak seharusnya memegang kendali
dan menentukan dalam pembentukan kepribadian anak kemenakan. Namun karena peran
dan fungsi untuk mengontrol dan menentukan membina perilaku anak kemenakannya
tidak bisa dijalankan dengan baik, maka remaja bisa kehilangan kendali dan akhirnya bisa
terjerumus kepada perilaku yang tidak sesuai dengan dengan nilai/norma adat dan agama,
seperti perilaku yang berisiko tertularnya HIV/AIDS.
Selanjutnya persoalan dewasa ini adalah kelembagaan adat semakin menurun
fungsinya sejalan dengan semakin memudarnya kepatuhan menjalankan norma dan nilai
adat dalam masyarakat. Sehingga, semakin banyak masyarakat yang tidak mengenal
dengan baik tentang fungsi, peran dan tujuan dari kelembagaan adat. Kondisi memudarnya
kepatuhan menjalankan norma dan nilai adat dalam masyarakat tersebut tentunya bisa
berdampak kepada kebebasan bersikap dan bertindak dari remaja, dan akan berisiko
terhadap perilaku menyimpang.
Kondisi kehidupan saat ini yang cenderung individualistik
juga dapat
menyebabkan berkurangnya kontrol sosial/kepedulian sosial. Hal ini misalnya tampak dari
perilaku atau gaya pacaran remaja sekarang yang cenderung berkurangnya rasa malu dan
kurang peduli dengan lingkungan sekitar. Begitu juga sebaliknya lingkungan sosial juga
tampaknya juga relatif kurang peduli akan hal tersebut.
Pengusaha/pemilik tempat kos terkadang kurang memperhatikan atau kurang
melakukan pengawasan terhadap anak-anak kos. Begitu juga pengawasan pada tempattempat penginapan/hotel/wisma dianggap juga relatif kurang. Apalagi pada hotel-hotel
berbintang, bahkan hampir tidak pernah dilakukan razia. Pihak hotel bahkan cenderung
tidak pernah mempertanyakan tentang bukti surat nikah dari pasangan yang menginap.
2).
HIV/AIDS
terkait
dengan
persoalan
keterjangkauan
91
92
bersedia
untuk
merencanakan
kegiatan
pencegahan
dan
HIV/AIDS.
93
Kolaborasi TB
HIV/AIDS
jika
tidak
dengan
benar-benar
berupaya
untuk
94
dengan menggunakan analisis SWOT, seperti yang terdapat di bawah ini dan
juga terlihat pada tabel 4.7.
Faktor Internal:
Kekuatan (Strenght):
1.
Memiliki kelembagaan/institusi pemerintah, KPA dan LSM yang terorganisir dengan baik
2.
3.
4.
Sebagian besar Puskesmas sudah memiliki fasilitas layanan untuk IMS, VCT
5.
6.
Kelemahan (Weakness):
BAPPEDA Bidang Penelitian Dan Pengembangan Prov.
Sumbar
95
1.
2.
3.
(Perda lokal)
HIV/AIDS
4.
5.
hiburan
6.
Masih sulitnya menjangkau dan meningkatkan akses layanan kelompok populasi kunci
Faktor Eksternal:
Peluang (Opportunity):
1.
Adanya Permenkes RI No. 21 thn 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
2.
Intruksi Mendagri No. 444.24/2259 thn 2013 untuk pemberdayaan kelembagaan dan
masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS, memasukkan program HIV/AIDS dalam
RPJMD tingkat Provinsi/Kab/Kota
3.
Adanya Perda Provinsi Sumatera Barat No.5 tahun 2012 tentang Penanggulangan
HIV/AIDS
4.
Adanya
Pemerintah
Adanya kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bukittingi dalam penertiban dan penindakan
penyakit masyarakat No. 20 tahun 2003
6.
Tersedianya dukungan dana dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota, APBN, swasta,
NGO dll
7.
Adanya dukungan medis, sosial dan psikologis dari konselor dan penjangkau
8.
Tersedianya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat (LKAM, MUI, LPM, Bundo
Kandung, dll)
9.
10. Adanya peran serta lintas sektor terkait, Organisasi Kemasyarakatan dalam bentuk Upaya
Kesehatan Bersumber Masyarakat ( Posyandu, Poskeskel, Poskestren)
11. Adanya dukungan dari tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat sipil
12. Adanya minat dan kesempatan ODHA untuk mendapatkan pelatihan
13. Secara berkala dilakukan rapat koordinasi
96
Tantangan (Thread):
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Adanya stigma dan diskriminasi dari masyarakat dan di fasilitas pelayananan kesehatan
8.
9.
10. Berkurangnya peran dan fungsi dari keluarga, ninik mamak, kelembagaan adat dan
lemahnya kontrol sosial terhadap penerapan nilai-nilai sosial budaya dan agama dalam
kehidupan masyarakat
Tabel 4.7.
No.
1.
2.
Kelemahan
Memiliki
kelembagaan/institusi
pemerintah, KPA dan LSM
yang terorganisir dengan baik
Memiliki tenaga yang sudah
terlatih
Memiliki rumah sakit layanan
HIV/ AIDS (Klinik Serunai
RSAM)
Sebagian besar Puskesmas
sudah memiliki fasilitas
layanan untuk IMS, VCT
Sudah membentuk kelompok
Warga Peduli AIDS (WPA)
Mendapatkan dukungan dari
pemerintah
Peluang
Tantangan
97
98
penularan HIV/AIDS
Adanya pergeseran nilai-nilai dan
budaya dalam perilaku
reproduksi/pacaran remaja
Meningkatnya mobilitas penduduk
dan kemajuan teknologi informasi
Meningkatnya pertumbuhan tempattempat hiburan/kafe
Masih rendahnya kesadaran dari
kelompok berisiko untuk tes
HIV/AIDS dan kepatuhan minum obat
Adanya stigma dan diskriminasi dari
masyarakat dan di fasilitas
pelayananan kesehatan
Meningkatnya penyebaran kasus
HIV/AIDS di kalangan homo seksual
(Lelaki Seks Lelaki)
Lemahnya penegakan hukum terhadap
penyakit masyarakat
Berkurangnya peran dan fungsi dari
keluarga, ninik mamak, kelembagaan
adat dan lemahnya kontrol sosial
terhadap penerapan nilai-nilai sosial
budaya dan agama dalam kehidupan
masyarakat
koordinasi
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Melakukan kerjasama dengan pihak swasta dan NGO dalam rangka penanggulangan
HIV/AIDS dll
2.
3.
Asumsi:
Asumsi yang digunakan dalam penetapan sasaran yang akan dicapai tersebut di
atas adalah:
1.
2.
3.
Berdasarkan hasil analisis SWOT diatas, maka strategi yang dipilih dan
langkah-langkah yang dapat dikembangkan untuk strategi penanggulangan
HIV/AIDS yang berdasarkan pendekatan sosial budaya
dapat dilihat
dari
99
100
2.
Masalah
Aspek Masyarakat:
1. Masih rendahnya
pengetahuan/informa
si dan kesadaran
masyarakat tentang
penyakit HIV/AIDS
2. Masih adanya stigma
sosial dan
diskriminasi
3. Masih kurangnya
kesadaran dari
kelompok berisiko
untuk pemeriksaan
HIV/AIDS dan
kepatuhan pasien
minum obat
Srategi
Kegiatan
Strategi peningkatan 1. Penyebarluasan
informasi dan
informasi/penyuluhan
pengetahuan
tentang HIV/AIDS secara
masyarakat tentang
langsung kepada masyarakat
HIV/AIDS secara
melalui tokoh agama dan
komprehensif
tokoh masyarakat
2. Perluasan informasi
HIV/AIDS bagi kaum muda
melalui pusat informasi
kesehatan remaja, media
cetak, elektronik, jejaring
sosial
3. Peningkatan pengetahuan
HIV/AIDS melalui
pendidikan formal termasuk
pendidikan yang dibawah
Kementerian Agama
(pengembangan kurikulum,
integrasi HIV/AIDS dalam
berbagai pelajaran, kegiatan
ekstra kurikuler)
1. Peningkatan kuantitas
Aspek Kelembagaan:
Strategi
1. Terbatasnya jumlah
tenaga konselor HIV/AIDS
pemberdayaan
tenaga konselor
terlatih dan tenaga psikolog
masyarakat dan
terlatih dan tenaga
2. Pelatihan dan pelaksanaan
penguatan
psikolog
intervensi Perubahan
kelembagaaan
2. Belum optimalnya
Perilaku bagi kelompok
peran dan fungsi dari
berisiko
keluarga, ninik
3. Pelatihan untuk
mamak dan
peningkatan peran dan
kelembagaan adat
pemberdayaan
serta lemahnya
Forum/kelompok Warga
kontrol sosial
Peduli AIDS (WPA) dan
Puskesmas dalam
terhadap penerapan
pencegahan dan
nilai-nilai sosial
penanggulangan HIV/AIDS
budaya dan agama
4.
Lokakarya peningkatan
dalam kehidupan
peran dan fungsi/
masyarakat
pengawasan dari keluarga,
ninik mamak dan
kelembagaan adat terhadap
penerapan nilai-nilai sosial
budaya dan agama dalam
rangka pencegahan &
penanggulangan HIV/AIDS
101
Aspek Pelayanan
Kesehatan:
1. Keterbatasan
jangkauan
penyuluhan/sosialisa
si dan penjaringan
2. Kesulitan dalam
menjangkau
populasi kunci
Strategi
Peningkatan
kapasitas/akses
jangkauan
pelayanan
1. Kemitraan/jejaring antara
program HIV dengan
organisasi masyarakat sipil
dan swasta untuk
peningkatan pelayanan
kesehatan
2. Peningkatan kesadaran
untuk pemeriksaan dan
pencegahan HIV/AIDS
melalui bimbingan dan
pendampingan secara
spritual/keagamaan kepada
kelompok berisiko dan
ODHA
3. Bimbingan /konseling serta
menawarkan calon
pengantin yang berisiko
untuk pemeriksaan
HIV/AIDS
4. Pelatihan dan dukungan di
tingkat layanan untuk
mengurangi stigma negatif
dan diskriminasi terhadap
populasi kunci (pelatihan
petugas kesehatan,
kepolisian, satpol PP)
4.
102
Aspek Kebijakan:
Belum optimalnya
koordinasi dan
Strategi dukungan
penguatan regulasi
dalam upaya
dukungan kebijakan
dalam penanggulangan
HIV/AIDS
penanggulanagan
HIUV/AIDS
Rencana Aksi
Mengingat permasalahan HIV/AIDS tidak hanya merupakan masalah
kesehatan semata, namun juga merupakan masalah sosial. Oleh karena itu
masalah HIV/AIDS harus ditanggunglangi sesara komprehensif/terintergrasi
dari berbagai sektor/pihak yang terkait. Dalam hal ini perlu adanya pendekatan
sosial budaya dengan melibatkan masyarakat, tokoh agama/adat dan tokoh
masyarakat.
Berkaitan dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS yang berdasarkan
pendekatan sosial budaya, maka
akan ditawarkan
103
Strategi
Strategi
peningkatan
informasi dan
pengetahuan
masyarakat
tentang
HIV/AIDS secara
komprehensif
Prioritas/
Program
Kegiatan
Indikator
kinerja/program/
Kegiatan
Sumber
Dana
Pelaksana
Lembaga
pendukung
Prioritas 4:
Peningkatan
Derajat kesehatan
masyarakat
Program Promosi
Kesehatan dan
pemberdayaan
masyarakat
Prioritas 4:
Peningkatan
Pemerataan dan
kualitas
pendidikan
Program
Pendidikan
Menengah
1. Penyebarluasan informasi
1. Tersebarluasnya
tentang HIV/AIDS secara
informasi tentang
langsung kepada masyarakat
HIV/AIDS secara
melalui tokoh agama dan tokoh
langsung kepada
masyarakat
masyarakat
APBD
Kab/Kota/
Dinsos dan
Bappeda
Tenaga kerja,
Provinsi/ Kab/
Kantor Pemb
Kota
Masy. kab/kota
2. Tersebarluasnya
informasi HIV/AIDS
bagi kaum muda
APBD
Kab/Kota
Dinkes
Kab/kota
Bappeda
Provinsi/
Provinsi/ Kab/
Kota
3. Peningkatan pengetahuan
3. Meningkatnya
HIV/AIDS melalui pendidikan
pengetahuan pelajar
formal termasuk sekolah yang
tentang HIV/AIDS di
berada di bawah Kementerian
sekolah formal
Agama (pengembangan
termasuk sekolah di
kurikulum, integrasi HIV/AIDS
bawah Kementerian
dalam berbagai pelajaran,
Agama
kegiatan ekstra kurikuler)
APBN
APBD
Prov/
Kab/Kota/
BOK
Kementerian
Agama,
Disdikpora
Prov/Kab/kota/
Dinkes/
KPA
Prov/Kab/kota
Bappeda
Provinsi/
Provinsi/ Kab/
Kota
29
No.
2
Strategi
Strategi
pemberdayaan
masyarakat dan
penguatan
kelembagaan
Prioritas/
Program
Indikator
kinerja/program/
Kegiatan
Sumber
Dana
Pelaksana
Lembaga
pendukung
Prioritas 4:
Peningkatan
Derajat kesehatan
masyarakat
Program
Pengendalian
Penyakit
30
Kegiatan
1. Meningkatnya jumlah
tenaga psikolog dan
konselor HIV/AIDS
terlatih
2. Pelatihan dan pelaksanaan
2. Terlaksananya
intervensi Perubahan Perilaku
perubahan perilaku
bagi kelompok berisiko
pada kelompok
berisiko
3. Pelatihan untuk peningkatan
3. Meningkatnya peran
peran dan pemberdayaan
dan pemberdayaaan
Forum/kelompok Warga Peduli
Forum Warga Peduli
AIDS (WPA) dan Puskesmas
AIDS (WPA) dan
dalam pencegahan dan
Puskesmas dalam
penanggulangan HIV/AIDS
pencegahan dan
penanggulangan
4. Lokakarya peningkatan peran
HIV/AIDS
dan fungsi/pengawasan dari
4. Meningkatnya peran
keluarga, ninik mamak dan
dan fungsi/pengawasan
kelembagaan adat terhadap
dari keluarga, ninik
penerapan nilai-nilai sosial
mamak dan
budaya dan agama dalam
kelembagaan adat
rangka pencegahan &
alam rangka
penanggulangan HIV/AIDS
pencegahan &
penanggulangan HIV
5. Mobilisasi komunitas untuk
meningkatkan kemampuan
5. Meningkatnya
masyarakat dan organisasi
kapasitas masyarakat
APBD
Prov/
Kab
Dinkes
Prov/Kab/Kota
dan KPA
Bappeda
Provinsi/
Kab/Kota
APBD
Prov/Kab
Dinkes
Prov/Kab//Kota
dan KPA
kab/kota
Dinkes, Dinsos
dan BPM
Prov/kab/kota
dan KPA
kab/kota
Bappeda
Provinsi/
Kab/Kota
APBD
Prov/
Kab/Kota
Bappeda
Provinsi/
Kab/Kota
APBD
Prov//Kab/
Kota
Dinkes,
Bappeda
Dinsos/BPM
Provinsi/
Prov/kab/kotad Kab/Kota
an KPA
kab/kota
APBD
Prov//Kab/
Dinkes, BPM
dan Dinsos
Bappeda
Provinsi/
No.
Strategi
Prioritas/
Program
Kegiatan
sosial (organisasi/lembaga adat
dan keagamaan, tokoh agama,
tokoh adat/budaya) dalam
menanggapi permasalahan
HIV/AIDS
6. Peningkatan pengawasan dari
aparat pemerintah penegak
hukum (Perda) dan
pengawasan dari pengelola
tempat-tempat usaha (hotel,
tempat hiburan, tempat kos,
dsb) serta aparat setempat
terhadap perilaku yang berisiko
HIV/AIDS
3.
Strategi
Peningkatan
kapasitas/akses
jangkauan
pelayanan
Indikator
Sumber
kinerja/program/
Dana
Kegiatan
dan organisasi/lembaga Kota
Sosial dalam upaya
penanggulangan
HIV/AIDS
Meningkatnya
APBD
pengawasan aparat
Prov//Kab/
pemerintah penegak
Kota
hukum (Perda), pengelola
tempat usaha dan aparat
pemerintah setempat
terhadap terhadap
pencegahan HIV/AIDS
Pelaksana
Lembaga
pendukung
Prov/kab/kota
Kab/Kota
SatPol PP,
Kepolisian dan
Pemerintahan
Desa/Nagari
Bappeda
Provinsi/
Kabupaten/Kot
Prioritas 4:
Peningkatan
Derajat kesehatan
masyarakat
Program
Kemitraaan
Peningkatan
Layanan
Kesehatan
Program
Pengendalian
Penyakit
1. Kemitraan/jejaring antara
1. Terlaksananya MOU
program HIV dengan organisasi
tentang HIV/AIDS
masyarakat sipil dan swasta
untuk peningkatan pelayanan
kesehatan
APBD
Kab/Kota
APBD
Kab/Kota
Dinkes ,
Bappeda, BPM
Dinsos/BPM/M dan Dinsos
UI Kab/kota/
Prov/Kab/
2. Meningkatnya
kesadaran kelompok
berisiko untuk
31
No.
Strategi
Prioritas/
Program
Kegiatan
dan pendampingan secara
spritual/keagamaan kepada
kelompok berisiko dan ODHA
32
Strategi
dukungan
penguatan
regulasi dalam
upaya
penanggulanag
an HIUV/AIDS
Indikator
kinerja/program/
Kegiatan
pemeriksaan dan
pencegahan HIV/AIDS
Sumber
Dana
Pelaksana
Lembaga
pendukung
Kota
3. Terlaksananya
bimbingan /konseling
serta menawarkan
calon pengantin yang
berisiko untuk
pemeriksaan
HIV/AIDS
APBD
Kab/Kota
Dinkes/KPA/
kab/kota
Bappeda
Kab/KotaKUA
Kab/Kota
4. Terlaksananya
pelatihan dan
dukungan di tingkat
layanan untuk
mengurangi stigma
negatif dan
diskriminasi terhadap
populasi kunci
(pelatihan petugas
kesehatan, kepolisian,
satpol PP)
APBD
Kab/Kota/
BOK
Dinkes
Prov/kab/kota/
BOK
Bappeda,
Kepolisian dan
Satpol PP Prov/
Kab/Kota
1. Tersedianya Perda
lokal/Perwako/Perbup
tentang
penanggulangan
HIV/AIDS di
APBD
Kab/Kota
Dinkes
Kab/Kota
Bappeda
Kab/Kota
Prioritas 4:
Peningkatan
Derajat kesehatan
masyarakat
Program
Kebijakan dan
Manajemen
Pembangunan
No.
Strategi
Prioritas/
Program
Kesehatan
Kegiatan
local/Perwako/Perbup) dalam
penanggulangan HIV/AIDS di
kab/kota
Indikator
kinerja/program/
Kegiatan
Kab/Kota
Sumber
Dana
Pelaksana
Satpol PP
Lembaga
pendukung
Bappeda
Kab/Kota
33
BAB V.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut:
1.
Data perkembangan kasus baru HIV/AIDS di RSAM Kota Bukittinggi dari tahun 2012
sampai dengan Bulan Agustus 2014 menunjukkan peningkatan terus yaitu dari 33 kasus
(tahun 2012) meningkat menjadi 40 kasus (tahun 2013), dan meningkat cukup tajam
menjadi 72 kasus (Agustus 2014). Penderita HIV/AIDS tidak hanya berasal dari Kota
Bukittinggi, tetapi juga berasal dari luar Kota Bukittinggi, yaitu dari Kota Payakumbuh,
Agam, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Tanah Datar, dan kab/kota lainnya.
2.
Ditinjau dari latar belakang kateristik penderita, sebagian besar penderita adalah dengan
jenis kelamin laki-laki. Sedangkan dari kelompok usia, sebagian besar berasal
dari
kelompok umur 25-49 tahun. Beberapa faktor yang turut melatar belakangi tingginya
kasus HIV/AIDS adalah faktor
budaya) dan faktor dari pengaruh kemajuan teknologi informasi. Dari faktor perilaku, pada
saat ini faktor risiko terbanyak kasus HIV/AIDS adalah perilaku seksual dari kelompok
homoseksual. Penularan infeksi HIV juga disebabkan karena kurangnya pengetahuan
penderita tentang HIV/AIDS, sehingga sehingga mereka tidak mengetahui bahwa perilaku
yang pernah dilakukan sebelumnya berisiko untuk tertularnya infeksi HIV. Selanjutnya
faktor lingkungan sosial budaya cukup besar pengaruhnya dalam penularan HIV/AIDS.
Hal ini juga akan dimungkinkan oleh lemahnya pengawasan/kontrol sosial, yang mana
saat ini juga ada kecenderungan bahwa peran dan fungsi dari ninik mamak dan
kelembagaan adat yang relatif kurang. Di samping itu, adanya akses negatif dari internet
juga telah memberikan dampak terhadap perilaku reproduksi remaja, seperti perilaku seks
bebas.
3.
Dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Kota Bukittingi dan KPA
Kota Bukittinggi telah melaksanakan beberapa kegiatan antara lain melakukan sosialisasi,
penjangkauan dan pendampingan kepada kelompok resiko tinggi, pertemuan dan
koordinasi dengan dinas instansi terkait, LSM peduli AIDS ODHA dan kelompok resiko
tinggi, koordinasi layanan kesehatan, dll. Namun demikian, terdapat adanya beberapa
34
kendala antara lain adalah adanya stigma dan diskriminasi terhadap HIV/AIDS,
keterbatasan jangkauan dan penjaringan terhadap populasi kunci, dll.
4.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan kesimpulan tersebut di atas,
maka dapat dikemukakan beberapa rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
1. Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS perlu dilakukan beberapa strategi
terutama yang berkaitan dengan program-program dan kegiatan yang lebih didasarkan pada
pendekatan sosial budaya yaitu:
a)
berisiko,
pelatihan
untuk
peningkatan
peran
dan
pemberdayaan
Forum/kelompok Warga Peduli AIDS (WPA) dan Puskesmas dalam pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS, lokakarya peningkatan peran dan fungsi/pengawasan dari
keluarga, ninik mamak dan kelembagaan adat terhadap penerapan nilai-nilai sosial
budaya dan agama dalam rangka pencegahan & penanggulangan HIV, mobilisasi
komunitas untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dan organisasi sosial berbasis
masyarakat (organisasi/lembaga adat dan keagamaan, tokoh agama, tokoh adat/budaya)
dalam menanggapi permasalahan HIV/AIDS
35
c)
Strategi
peningkatan
jangkauan
pelayanan
kesehatan
dengan
kegiatan
kemitraan/jejaring antara program HIV dengan organisasi masyarakat sipil dan swasta
untuk peningkatan pelayanan kesehatan, peningkatan kesadaran untuk pemeriksaan dan
pencegahan
HIV/AIDS
melalui
bimbingan
dan
pendampingan
secara
36
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Afrizal, 2008. Pengantar Metode Penelitian Kualiatatif. Padang: Laboratorium
Sosiologi Fisip Unand.
Creswell, John W, 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Faqih, Miftah, dkk, 2013. Panduan Penanggulangan AIDS (Perspektif Nahdlatul
Ulama). Jakarta: Pengurus Pusat Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama.
Foster, George M. dan Anderson, B. G., 1986. Antropologi Kesehatan
(Terjemahan oleh Priyanti Pakan S. dan Meutia F. Hatta. Jakarta UI
Press.
Moleong, Lexy, 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarta.
Sarwono, Solita, 1996. Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep
Aplikasinya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Serta
37
Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia.
Elfemi, Nilda, 2003. Aspek Sosial Kultural Dalam Perawatan Kesehatan, di
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Tesis pada Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Jurnal/Artikel Ilmiah:
Lely, Niniek P, 2011. Hubungan Karakteristik Remaja Terkait Risiko
Penularan HiV-AIDS dan Perilaku Seks Tidak Aman di Indonesia.
Artikel ilmiah pada Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Vol.14 No.4
Oktober 2011. Jakarta; Balitbangkes.
Lestary, Heny, 2011. Perilaku Berisiko Remaja Indoensia (SKRT) Tahun
2007. Artikel ilmiah pada Jurnal Kesehatan Reproduksi, Vol.1 No.3
Agustus 2011.
Simarmata, Oster, 2010. Ancaman HIV Pada Remaja di Tanah Papua. Artikel
ilmiah pada Jurnal Ekologi Kesehatan, Volume 9, No. 3 September 2010.
Jakarta: Badan Litbang Kesehatan.
Yuniar, Yuyun, dkk, 2013. Faktorfaktor Pendukung Kepatuhan Orang
Dengan HIV/AIDS dalam Minum Obat Antiretroviral di Kota Bandung
dan Cimahi. Artikel penelitian pada Buletin Penelitian Kesehatan,
Vol.41 No.2 Juni 2013. Jakarta; Balitbangkes.
Salmadanis, 2014. Sinergi Antara Tokoh Agama dan Tokoh Adat
Menanggulangi Kejahatan Seksual Online Terhadap Perempuan dan
Anak di Sumatera Barat. Artikel disampaikan pada Diskusi Aktual tentang
Kejahatan Seksual Terhadap perempuan dan Anak. Padang: Bappeda
Prov. Sumbar.
Laporan Penelitian/Dokumen
Bappeda Provinsi Sumatera Barat, 2013. Kajian Perlaksanaan Jalan RPJMD
Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010-2015.
Bappeda Provinsi Sumatera Barat, 2011. Kebijakan Strategi Daerah tentang
IPTEK.
38
Internet:
http://www.drogpatravel.biz/
39