Anda di halaman 1dari 20

CASE REPORT

PERITONITIS

Pembimbing :
dr. Eddy Yuswardi, Sp.B, FInaCS, MH. Kes
Disusun oleh :
Sharon Issabel | 2014.061.189
Yonathan Ardhana | 2015.061.201

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
RSUD R. SYAMSUDIN, S.H. SUKABUMI

LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama
Usia
Jenis kelamin
Alamat
Pendidikan
Pekerjaan
Agama
No rekam medis
Tanggal masuk

: Tn. U
: 34 tahun
: Laki-laki
: KP. Rancagoong 04/09
: SMA
: Pedagang
: Islam
: A 405205
: 17 September 2016

ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis
Keluhan Utama
Nyeri perut
Keluhan Tambahan
Mual dan muntah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada seluruh area perut yang memberat semenjak 1 hari SMRS,
nyeri dirasakan terus menerus, nyeri bertambah berat jika pasien melakukan gerakan apapun,
sebelumnya pasien tidak pernah merasakan nyeri seperti ini dan pasien belum mengkonsumsi atau
melakukan pengobatan apapun. Nyeri perut juga disertai mual dan muntah sebanyak 2x pada hari saat
pasien datang ke rumah sakit, berisi makanan, tidak ada darah. Nyeri awalnya terjadi di daerah perut
kanan bawah semenjak 6 hari SMRS, hilang timbul, kemudian nyeri menjalar ke bagian kiri atas,
hingga akhirnya ke seluruh bagian perut. Pasien menyatakan sempat demam saat awal nyeri perut
bagian kanan tetapi demamnya hilang timbul, dirasakan dengan perabaan, tanpa pengukuran. BAB
terakhir pasien 1 hari SMRS, tidak berwarna kehitaman, tidak berdarah dan pasien tidak mengeluhkan
adanya masalah terhadap BAK pasien. Pasien juga menyangkal adanya penurunan berat badan yang
signifikan.
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat operasi disangkal


Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit paru disangkal
Riwayat penyakit serupa sebelumnya disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat trauma disangkal
Riwayat keganasan dalam keluarga

PEMERIKSAAN FISIK (17 September 2016)

Keadaan umum
Kesadaran

: tampak sakit sedang


: compos mentis, GCS 15 (E4V5M6)

Tanda-tanda vital
o Tekanan darah
o Nadi
o Laju napas
o Suhu
Status antropometrik
o BB
o TB
o IMT
Kepala
Mata

:
: 110/70 mmHg
: 88 x/menit
: 20 x/menit
: 36,9 oC
:
: 68 kg
: 167 cm
: 24 kg/m2 (normal)
: normocephali, deformitas (-)
: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek pupil+/+,
pupil isokor (diameter 3mm/3mm)
: septum di tengah, sekret (-)
: mukosa oral basah
: trakea di tengah , pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
:

Hidung
Mulut
Leher
Thorax
o Paru
- Inspeksi : gerakan dada kiri dan kanan tampak simetris
- Palpasi
: gerakan napas teraba simetris
- Perkusi
: sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonki -/o Jantung
- Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi
: iktus cordis teraba pada ICS IV linea midclavikula sinistra
- Perkusi
: kardiomegali (-)
- Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
:
- Inspeksi: tampak cembung
- Auskultasi
: bising usus (+) 4 kali / menit, melemah ()
- Palpasi
: Distensi, defans muskuler (+), rebound tenderness (+).
- Perkusi
: Hipertimpani pada seluruh kuadran abdomen.
Punggung
: nyeri ketok CVA -/Ekstremitas
: akral hangat, CRT <2detik, edema -/-/-/-, simetris dan
deformitas (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (17 September 2016)


Jenis Pemeriksaan

Hasil

Nilai normal

15,3 g/dL
45 %
21,600 /L
319.000 /L

12,8 16,8 g/dL


40 54 %
4.000 10.000/L
150.000-400.000 /L

Hematologi
Waktu perdarahan
Waktu pembekuan

2 menit
8 menit

1-3 menit
5-15 menit

Kimia Darah
SGOT
SGPT
Ureum
Creatinine
Glukosa sewaktu

19 U/l
20 U/l
61 mg/dL
1,08 mg/dL
87 mg/dL

< 37 U/l
< 42 U/l
19-43 mg/dL
0,66-1,25 mg/dL
60-140 mg/dL

132 mmol/L
3.8 mmol/L
10.9 mmol/L
96 mmol/L

137-150 mmol/L
3,5-5,5 mmol/L
8-10,4 mmol/L
94-108 mmol/L

Darah rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit

Elektrolit
Natrium
Kalium
Calcium
Clorida

Xray thorax (17 September 2016)


Gambaran dilatasi usus halus > 3 cm. Valvulae conniventes (+).

DIAGNOSIS
Laki-laki, 34 tahun dengan:

Peritonitis diffus perforasi usus halus e.c ileus obstruksi dd/ peforasi appendix

TATALAKSANA
Saran Pemeriksaan Penunjang
-

CT-Scan

Tindakan: Laparotomi Eksplorasi


Terapi preoperatif:
-

IVFD RL 20 tpm
Pasien dipuasakan
Ceftriaxone 2 x 1 g IV
Ketorolac 3 x 30 mg IV
Ranitidin 3 x 50 mg IV
Konsul Anestesi

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Peritonitis merupakan proses peradangan atau inflamasi yang terjadi pada peritoneum,
yaitu membran serosa yang menyelubungi rongga abdomen dan organ di dalamnya.
Peritonitis merupakan area yang steril, sehingga kontaminasi terhadap peritoneum dapat
mencetuskan reaksi inflamasi. Kontaminasi dapat berupa benda asing, ataupun iritan lain
seperti cairan empedu dari kandung empedu, atau asam lambung dari perforasi gaster.
ANATOMI
Peritoneum merupakan membran serosa terbesar dan terkompleks di dalam tubuh.
Peritoneum membentuk suatu kantung yang melapisi dindin dalam abdomen yang terbagi
menjadi 2 lapisan, yaitu peritoneum parietalis dan peritoneum visceralis, dengan rongga
peritoneum di antaranya. Peritoneum parietal merupakan derivat mesoderm somatik sehingga
lapisan ini memiliki persarafan yang sama dengan regio abdomen yang dilapisi, sehingga
nyeri dari peritoneum parietal terlokalisasi dengan baik dan sensitif terhadap tekanan, nyeri,
dan suhu. Peritoneum visceral merupakan derivat mesoderm splanknik dan persarafannya
sama dengan organ yang ditempel atau dibungkus, sehingga nyeri pada peritoneum visceral
tidak terlokalisir dan hanya sensitif terhadap regangan atau iritasi bahan kimiawi. Nyeri pada
peritoneum visceral menjalar ke kulit sesuai dengan dermatomnya karena melalui jalur
ganglion sensorik medulla spinalis.

Berdasarkan letaknya terhadap


peritoneum, organ abdomen dibagi
menjadi organ intraperitoneal dan
organ retroperitoneal :

Organ intraperitoneal
Organ intraperitoneal
tertutup sempurna oleh
peritoneum

visceral,

yaitu gaster, hepar, dan

lien.
Organ retroperitoneal
Organ retroperitoneal
hanya

tertutup

oleh

peritoneum di bagian
anteriornya saja. Termasuk organ retroperitoneal adalah SADPUCKER :
o Suprarenal (adrenal) glands
o Aorta / IVC
o Duodenum (segmen 2 dan 3)
o Pankreas (kecuali bagian kaudal)
o Ureter
o Colon
o Kidneys
o Esophagus
o Rectum
KLASIFIKASI
Klasifikasi peritonitis :
a. Peritonitis primer
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) merupakan infeksi bakteri akut melalui
cairan ascites. Kontaminasi ini terjadi secara translokasi dari dinding abdomen
ataupun melalui jalur limfatik mesenterikum. SBP dapat terjadi sebagai sebuah
komplikasi pada penyakit yang menyebabkan ascites, seperti gagal jantung, sindrom
nefrotik yang menyebabkan hipoalbuminemia, dan Budd-Chiari Syndrome. Pasien
dengan kadar protein yang rendah (< 1 g/dL) pada cairan ascites memiliki risiko 10
kali lipat untuk terkena SBP dibanding mereka yang memiliki kadar protein tinggi (>

1 g/dL), hal ini mungkin disebabkan aktivitas opsonisasi cairan ascites yang rendah.
Lebih dari 90% kasus SBP disebabkan mikroorganisme tunggal, baik bakteri gramnegatif

(E.coli,

K.pneumoniae)

dan

bakteri

gram-positif

(Streptococcus,

Staphylococcus)
b. Peritonitis Sekunder
Peritonitis sekunder sering disebabkan oleh apendisitis perforatif, perforasi gaster,
ulkus duodenum, perforasi kolon e.c. divertikulitis, volvulus, atau karsinoma.
Necrotizing pancreatitis juga dapat menimbulkan peritonitis apabila terjadi infeksi
pada jaringan nekrotik. Patogen penyebab peritonitis berbeda pada bagian proksimal
dan distal dari GI tract. Pada upper GI tract patogen penyebab kebanyakan bakteri
gram-positif, namun pada penggunaan terapi inhibitor asam lambung jangka panjang
kebanyakan bakteri gram-negatif. Sedangkan pada distal GI tract, penyebab
peritonitis biasanya polimikrobial dengan dominasi bakteri gram-negatif.
c. Peritonitis Tersier
Konferensi ICU terakhir mendefinisikan peritonitis tersier sebagai infeksi intraabdomen yang bertahan atau kambuh > 48 jam setelah operasi yang sukses dan
adekuat terhadap penyebab peritonitis sekunder. Definisi di atas memuat 2 poin
utama, yaitu waktu (> 48 jam) dan kesuksesan operasi. Hal ini mungkin disebabkan
tidak adekuatnya terapi antibiotik, atau memang sistem imun pasien dalam kondisi
yang buruk akibat penggunaan terapi imunosupresan atau komorbid penyakit lain
seperti HIV atau TB. Tuberculous peritonitis menjadi salah satu masalah utama pada
negara berkembang dan pada pasien dengan HIV.
d. Peritonitis Kimiawi (Chemical / Sterile Peritonitis)
Peritonitis kimiawi merupakan peritonitis yang terjadi akibat iritan seperti cairan
empedu, darah, barium, atau inflamasi trasmural dari organ visceral (misal pada
Crohn disease) tanpa ditemukan bakteri di rongga peritoneum.
ETIOLOGI
Berdasarkan patogen penyebab
Peritonitis
Primer

Organisme
Kelas
Gram-Negatif

Spesies
E. coli (40%)
K. pneumoniae (7%)
Pseudomonas (5%)
Proteus (5%)
Streptococcus (15%)
Staphylococcus (3%)

Sekunder

Spesies anaerob (< 5%)


E. coli
Enterobacter
Klebsiella
Proteus
Streptococcus
Enterococcus
Bacteroides fragilis
Eubacterium
Clostridium
Enterobacter
Pseudomonas
Enterococcus
Staphylococcus
Candida

Gram-Negatif

Gram-Positif
Anaerob
Tersier

Gram-Negatif
Gram-Positif
Fungal

Berdasarkan lokasi organ visceral (peritonitis sekunder)


Lokasi
Esofagus

Lambung

Duodenum
Traktur biliaris

Pankreas
Usus halus (ileum)

Usus besar dan apendiks

Penyebab
Boerhaave syndrome
Keganasan
Trauma
Iatrogenik
Perforasi ulkus peptikum
Keganasan
Trauma
Iatrogenik
Perforasi peptik ulserasi
Trauma
Iatrogenik
Kolesistitis
Perforasi kandung empedu
Keganasan
Trauma
Iatrogenik
Pankreatitis
Trauma
Iatrogenik
Iskemia
Hernia inkarserata
Chron disease
Divertikulum Meckel
Trauma
Iskemia
Divertikulitis
Keganasan
Colitis ulcerative dan Chron disease

Uterus, salphinx, ovarium

Volvulus
Trauma
Iatrogenik
PID
Trauma

PATOGENESIS
Rute infeksi pada peritonitis primer biasanya terjadi secara hematogen, limfogen, atau
migrasi transmural melalui dinding usus yang intak atau dinding saluran tuba falopi pada
wanita. Pada pasien dengan sirosis hepatis, peritonitis kemungkinan besar terjadi melalui rute
hematogen. Mikroorganisme yang terbawa oleh peredaran darah ke hepar, dapat masuk ke
kelenjar getah bening hepar dan melewati dinding limfatik permeabel ke dalam cairan asites.
Selain itu, pada pasien dengan shunting portosystemic, dapat mengurangi kemampuan hepar
dalam mengatasi bakteremia, sehingga cenderung meningkatkan risiko penyebaran bakteri
patogen, seperti ke cairan asites. Beberapa faktor diketahui berperan dalam patogenesis
peritonitis.
a. Fibrinolisis
Perubahan aktivitas fibrinolisis (melalui peningkatan aktivitas plasminogen activator
inhibitor) dan produksi eksudat fibrin memiliki peranan penting dalam terjadinya
peritonitis. Produksi eksudat fibrin merupakan hal yang penting dalam pertahanan
tubuh, tetapi bakteri dalam jumlah besar dapat terisolasi di dalam matrix fibrin. Hal
ini menyebabkan terhambatnya penyebaran sistemik dari infeksi intraperitoneum dan
menurunkan angka kematian akibat sepsis. Namun hal ini juga menyebabkan infeksi
berulang dan terbentuknya abses.
b. Bacterial Load
Bacterial load (2x108 CFU/mL) yang tinggi dapat mengalahkan sistem pertahanan
tubuh sehingga terjadi infeksi.
c. Virulensi bakteri
Faktor virulensi mempengaruhi proses fagositosis sehingga infeksi sulit dieradikasi
dan kemungkinan dapat terbentuk abses. Faktor virulensi meliputi pembentukan
kapsul, pertumbuhan fakultatif anaerob, kemampuan adhesi, dan produksi asam
suksinat. Sinergi antara aktivitas bakteri dan fungi juga dapat mempersulit atau
menghambat sistem pertahanan tubuh.
DIAGNOSIS

Anamnesis
Riwayat operasi daerah abdomen, episode peritonitis sebelumnya, riwayat bepergian,
penggunaan agen imunosupresan, kondisi medis saat ini (IBD, peptic ulcer, diverticulitis)
yang mungkin menyebabkan infeksi intra abdomen.
Gejala dan tanda yang mungkin ada sangatlah luas pada kondisi SBP. Kecurigaan
terutama diarahkan pada pasien dengan ascites. Gejala klinis SBP antara lain :

Demam (80%)
Nyeri perut (70%)
Ensefalopati yang tidak dapat dijelaskan
Diare
Ascites yang tidak membaik dengan pemberian agen diuretik
Ileus
Nyeri abdomen merupakan keluhan utama (chief complaint) pada pasien dengan

peritonitis. Nyeri dapat bersifat tumpul dan tidak terlokalisasi (peritoneum visceral), namun
dapat berkembang menjadi sangat nyeri dan terlokalisasi (peritoneum parietal). Pada kondisi
perforasi gaster, pankreatitis akut, nyeri perut bersifat generalisata sejak awal. Nyeri perut
dapat muncul dengan gerakan (batuk, fleksi pinggul) atau dengan ditekan (nyeri tekan). Pada
kondisi ascites nyeri perut mungkin menurun karena berkurangnya gesekan antara
paritoneum parietal dan visceral. Mual dan muntah dapat terjadi karena faktor organ visceral
(obstruksi) atau akibat iritasi peritoneum.

Pemeriksaan Fisik
Pada PF, pasien biasanya nampak sakit. Kebanyakan memiliki suhu lebih dari 38C,
kecuali pada pasien sepsis di mana terjadi kondisi hipotermi. Dapat terjadi takikardia akibat
pelepasan mediator inflamasi, intravaskular hipovolemik, mual dan muntah, third space loss
ke rongga peritoneum. Dalam keadaan dehidrasi dapat menyebabkan hipotensi, oliguria, atau
anuria.
Pemeriksaan abdomen dilakukan dalam posisi supinasi. Pada palpasi biasanya
ditemukan abdominal tenderness dan rigiditas dinding abdomen yang meningkat.
Peningkatan tonus otot abdomen dapat terjadi secara volunter (antisipasi pemeriksaan

abdomen) ataupun secara involunter (iritasi peritoneum). Pasien dengan peritonitis berat
biasanya tiduran dengan pinggul sedikit fleksi untuk mengurangi tekanan pada dinding
abdomen. Abdomen biasanya dalam kondisi distensi, dengan bising usus menurun atau
bahkan tidak ada sama sekali (biasanya menandakan adanya ileus). Tanda-tanda kegagalan
hepar juga dapat ditemukan (ikterus, angiomata).
Pemeriksaan rektal biasanya mencetuskan nyeri abdomen namun tidak spesifik untuk
peritonitis. Pemeriksaan fisik yang lengkap sangat diperlukan untuk menyingkirkan kondisi
lain yang menyerupai peritonitis, seperti iritasi diafragma (empyema), kelainan
ekstraperitoneal (pyelnoferitis, sistitis, retensi urin), hernia eksternal inkarserata.
Pemeriksaan Penunjang
CBC count

: leukositosis (>11.000)

Urinalisis

: menyingkirkan UTI

Stool sample : kultur melihat bakteri patogen apabila curiga enterocolitis


Peritoneal fluid analysis
: PMN tinggi (> 250 sel/uL), pH rendah (< 7,34), glukosa
rendah (< 50 mg/dL), LDH tinggi (> LDH serum)
Routine
Hitung jenis
Albumin
Total protein

Optional
Kultur
Glukosa
LDH
Amilase
Pewarnaan gram

Unusual
TB smear
Sitologi
Trigliserida
Bilirubin

Less Helpful
pH
Laktat
Kolesterol
Fibronectin
Alfa 1-antitripsin
GAG

Pemeriksaan ultrasonografi dapat membantu evaluasi proses patologi di kuadran


kanan

atas,

kanan

bawah

dan

pelvis.

Terkadang

pemeriksaan

terbatas

karena

ketidaknyamanan pasien, distensi abdomen, dan adanya gas dari usus. Ultrasonografi dapat
mendeteksi adanya peningkatan jumlah cairan peritoneal (asites), namun jika volume kurang
dari 100 mL sulit ditemukan. Pemeriksaan ultrasonografi yang dilakukan oleh dokter yang
berpengalaman dapat meningkatkan akurasi hingga 85%. Ultrasonografi juga sering kali
digunakan untuk memandu aspirasi dan memposisikan drainase.
Foto abdomen polos 3 posisi seringkali menjadi modalitas pencitraan pertama yang
dilakukan pada pasien peritonitis. Free air dapat ditemukan pada perforasi gaster anterior dan
duodenum, sedangkan pada pasien perforasi usus halus dan kolon lebih jarang ditemukan,

dan umumnya tidak ditemukan pada perforasi appendiks. Foto tegak berguna untuk
mengidentifikasi free air di bawah diafragma yang menunjukkan adanya perforasi viskus.
Free air dalam jumlah sedikit dapat tidak terdeteksi pada foto abdomen polos.

TATALAKSANA
Prinsip penatalaksanaan utama pasien peritonitis meliputi : resusitasi hemodinamik,
antibiotik dan kontrol sumber infeksi. Pemulihan fungsi jantung dan paru ditandai oleh
normalisasi tekanan darah, output urin dan saturasi oksigen melalui pemberian suplemental
oksigen yang cepat dan pemberian infus cairan tambahan, sangat penting. Langkah-langkah
ini harus dilaksanakan segera pada penilaian awal pasien dan dilanjutkan intra-operasi dan
pasca-operasi. Pasien dengan sepsis mungkin memerlukan pemantauan intensif dengan
pemberian inotropik dan ventilasi mekanis jika diperlukan.
Resusitasi Hemodinamik
Rehidrasi atau pemberian cairan pada peritonitis dapat mencapai 3-6 liter pada 1 jam
pertama bergantung pada derajat keparahan penyakit. Pedoman umum yang dapat digunakan
sebagai parameter untuk menilai kecukupan cairan resusitasi: (1) central venous pressure
(CVP) and pulmonary occlusion pressure (POP) antara 8-12 mmHg, (2) Mean arterial
pressure (MAP) > 65 mmHg , (3) Output urin > 0,5 ml / Kg / jam, dan (4) Saturasi O2 > 70%.
Pada awalnya, dapat dilakukan fluid challenge bila pasien jatuh dalam syok, sebanyak
> 1000 cc kristaloid atau 300-500 cc koloid dalam 30 menit. Bila tidak ada perubahan, harus
dipertimbangkan pemberian vasopressor. Norepinefrin dan dopamin adalah agen vasopressor
lini pertama untuk memperbaiki syok hipotensi, terutama syok sepsis. Keduanya dapat
meningkatkan tekanan darah pada kondisi syok. Norepinefrin lebih efektif mengatasi syok
daripada dopamin. Namun, dopamin berguna pada pasien dengan gangguan jantung.
Dopamin memiliki efek yang berbeda berdasarkan pada dosis ; dosis kurang dari 5
ug/kg/menit terjadi vasodilatasi ginjal, mesenterika, dan arteri koroner. Pada dosis 5-10
mg/kg/menit, efek beta-1-adrenergik meningkatkan kontraktilitas jantung dan denyut jantung.
Pada dosis > 10 mg/kg/min, efek alpha-adrenergic menyebabkan arteri vasokonstriksi dan
meningkatkan tekanan darah. Efek samping utama dopamine adalah takikardia dan
mencetuskan aritmia.
Profilaksis seperti Ranitidine dan Omeprazole dapat diberikan untuk antisipasi stress
ulcer. Pemberian heparin subkutan juga dapat diberikan untuk mencegah tromboemboli bila
tidak ada masalah koagulopati. Kortikosteroid dosis rendah dapat diberikan selama 7 hari bila
kondisi syok masih terjadi meskipun pemberian cairan (rehidrasi) sudah adekuat.

Antibiotik
Peritonitis primer
Terapi empirik
Ceftriaxone 1 g IV Q12h
ATAU
Alergi PCN berat: Moxifloxacin 400 mg IV/PO Q24h
Pasien dengan kreatinin serum > 1 mg/dL, BUN > 30 mg/dL atau total bilirubin > 4mg/dL
harus mendapat Albumin 25% 1,5 g/kg pada hari pertama dan 1 g/kg pada hari ketiga.
Durasi
Pemberian selama 5 hari
Profilaksis
Pasien sirosis dengan perdarahan gastrointestinal
Ciprofloxacin 500 mg PO BID selama 7 hari
Ceftriaxone 1 g IV Q24h dapat digunakan jika pasien NPO, selanjutnya diganti
menjadi Ciprofloxacin 500 mg PO BID setelah perdarahan tertangani
Pasien sirosis dengan asites tanpa perdarahan
TMP/SMX 1 DS PO satu kali sehari
Atau
Jika alergi sulfa, Ciprofloxacin 500 mg PO per hari
Mikrobiologi
Batang Gram negative (Enterobacteriaceae, seperti E.coli dan K.pneumoniae), S. pneumonia,
enterococci, dan streptococcus lainnya.
Infeksi polimikroba mencurigakan perforasi gastrointestinal
Kriteria diagnosis
Cairan asites mengandung 250 PMN per mm3
Kultur positif dengan <250 PMN harus diulang. Jika PMN >250 atau kultur tetap positif,
pasien harus mendapat terapi
Follow-up
Pertimbangkan paracentesis ulang 48 jam setelah terapi dimulai
Pertimbangkan mengganti antibiotic jika PMN cairan asites tidak menurun 25% setelah 48

jam dan atau klinis pasien tidak membaik


Peritonitis sekunder
Terapi empirik
Perforasi esophagus, gaster, usus halus, kolon, atau apendiks
Pasien sakit ringan-sedang
Ertapenem 1 g IV Q24h
Atau
Alergi PCN berat: Ciprofloxacin 400 mg IV Q12h ditambah Metronidazole 500 mg IV Q8h
Pasien sakit berat atau imunosupresi
Piperacillin / tazobactam 3,375 g IV Q6h
Atau
Alergi PCN tidak berat: Cefepim 1 g IV Q8h ditambah Metronidazole 500 mg IV Q8h
Atau
Alergi PCN berat: Vancomycin ditambah [Aztreonam 1 g IV Q8h atau Ciprofloxacin 400 mg
IV Q8h] ditambah Metronidazole 500 mg IV Q8h
Durasi

Mikrobiologi
Agen penyebab untuk usus halus, kolon, apendiks: anaerob (B.fragilis), Enterobacteriaceae
(seperti E.coli, K.pneumoniae, Enterobacter spp. Ptoteus spp.), umumnya infeksi
polimikroba.
Peritonitis terkait dialysis peritoneal
Terapi empirik
Sakit ringan-sedang: terapi intraperitoneal lebih disukai

Pasien anuri
Cefazolin 15 mg/kg dalam 1 kolf Q24h (1 g jika pasien <65 kg) ditambah
Gentamicin 2 mg/kg dalam 1 kolf dosis inisial, selanjutnya Gentamicin 0,6 mg/kg
dalam 1 kolf Q24h
Pasien dengan urin output > 100 mL/hari
Ceftazidime 1 g dalam 1 kolf Q24h
Sakit berat: terapi sistemik lebih disukai
Dosis pertama: Vancomycin ditambah satu dari:
[Gentamicin 2 mg/kg IV atau Ceftazidime 1 g IV atau Ciprofloxacin 400 mg IV]
Dosis rumatan: dosis per kadar obat dan atau fungsi renal
Durasi
10-14 hari
Mikrobiologi
Umumnya disebabkan oleh kontaminasi kateter
Kultur mungkin negative pada 5-20% kasus
Cocci Gram positif (S.aureus, coagulase-negative staphylococci, Enterococcus spp), batang
Gram negative, ragi
Diagnosis
Semua pasien dengan suspek peritonitis terkait DP harus diambil sampel cairan DP untuk
hitung sel, diferensial, pewarnaan Gram, kultur, dan amylase. Leukosit >100/mm3 denan
>50% PMN dicurigai infeksi
Peningkatan amylase mensugesti pankreatitis atau perforasi usus
Pada pasien simptomatik dengan cairan keruh disertai nyeri perut dan atau demam, terapi
empiric harus dimulai
Pada pasien simptomatik dengan cairan jernih, dilakukan penggantian cairan DP dengan
waktu minimal 2 jam. Terapi empirik dimulai berdasarkan klinis pasien.
Pada pasien asimptomatik dengan cairan keruh, terapi empiric ditunda hingga ada hasil
hitung sel, pewarnaan Gram, dan kultur.
Kontrol Sumber Infeksi
Tatalaksana operatif pada peritonitis bertujuan untuk mengeliminasi sumber kontaminasi,
mengurangi inoculum bakteri, dan mencegah sepsis persisten atau rekuren. Insisi garis tengah
secara vertical adalah insisi yang paling sering dilakukan pada pasien peritonitis untuk

memberi akses ke seluruh kavum peritoneal. Pada pasien dengan peritonitis lokal
(appendicitis akut/kolesistitis), insisi langsung di lokasi organ patologis biasanya cukup
adekuat. Pada kasus dimana penyebab peritonitis tidak jelas, pendekatan melalui laparoskopi
untuk diagnosis bisa dilakukan.

a. Open surgery
Terapi ini memiliki tujuan supaya akses dapat dilakukan mudah dan langsung pada
area patologis. Teknik ini dapat dilakukan pada pasien dengan resiko terjadinya
compartment syndrome (distensi intestinal, ekstensif edema pada dinding dan organ
abdominal), karena bila dilakukan penutupan fasia secara primer pada kondisi
tersebut, dapat meningkatkan resiko terjadinya multi organ failure, infeksi nekrosis
dinding abdomen dan dapat berujung sampai kematian.
Indikasi:
1. Instabilitas hemodinamik
2. Edema peritoneal yang massif
3. Tidak ada kontrol sumber infeksi yang definitif
4. Inkomplit debridemen jaringan nekrosis
5. Keraguan akan viabilitas organ GIT
6. Perdarahan tidak terkontrol
7. Abdominal wall loss yang masif
b. Laparoskopi
Beberapa studi menunjukkan hasil bahwa laparoskopi mungkin dapat berperan
sebagai terapi definitif pada pasien dengan peritonitis. Namun, pada laparoskopi
untuk peritonitis generalisata masih dibutuhkan studi lebih lanjut untuk efektivitas dan
keamanannya.

KOMPLIKASI
Peritonitis yang bila tidak diobati, akan dapat dapat menyebabkan :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Sepsis
Gangguan motilitas usus (akibat adhesi usus)
Alkalosis (akibat muntah yang disebabkan gangguan motilitas usus)
Dehidrasi (akibat perembesan cairan dari intravaskuler ke rongga peritoneum)
Syok hipovolemik
Multi organ failure (akibat kegagalan sirkulasi)

Anda mungkin juga menyukai