Anda di halaman 1dari 5

BIROKRASI

Danang Girindrawardana
Ketua Ombudsman

Jangan Lupa, Pemerintah Tidak Ahli


Segala-galanya
Setelah lebih 68
tahun merdeka dari
penjajahan asing,
sebenarnya bangsa
Indonesia belum benarbenar merdeka

56

tulah kata Danang Girindrawardana


mengawali bincang-bincang
dengan Majalah INTEGRITAS di
kantornya, 6 Februari 2014.
Bukan tanpa alasan Danang
mengucapkan kalimat tersebut.
Indeks Pembangunan Manusia atau
IPM Indonesia hanya menempati
urutan ke-121 di seluruh dunia. Hanya
naik sedikit dari tahun sebelumnya,

INTEGRITAS - Edisi 11 Tahun 02 - 2014

yakni ke-124. Peringkat Indonesia


setara dengan negara-negara di
Karibia dan Afrika Selatan.
IPM adalah indikator yang
disepakati dunia internasional untuk
mengukur seberapa tinggi kualitas
pembangunan suatu bangsa. IPM itu
diukur dari usia harapan hidup, lama
mengenyam pendidikan, dan
kemampuan daya beli masyarakat.

Semakin tinggi peringkat IPM


dibandingkan dengan negara-negara
lain, semakin makmur negara itu.
Danang melanjutkan, yang
menyebabkan IPM Indonesia
mengalami kenaikan yang begitu
pelan, yaitu hanya mencapai sebesar
0,629di tahun 2012, dikarenakan
Indonesia masih dihadapkan pada
penjajahan versi baru yang lebih
modern, yaitu penjajahan dalam
bentuk kejahatan oleh oknum yang
mengakibatkan kemiskinan dan
kebodohan anak bangsa.
Bangsa ini masih dihadapkan
pada dua kejahatan besar, pertama,
korupsi dan kolusi; dan yang kedua,
mal-administrasi, ujarnya.
Begitu banyak anggaran
negara hilang menguap karena dijarah
para koruptor. Hal ini mengakibatkan
pembangunan tersendat dan lebih
parah lagi, secara kualitas produkproduk layanan publik oleh negara
tidak sesuai dengan harapan karena
realisasi pembangunan terpaksa
didiskon untuk lari ke kantong para
koruptor dan kroninya.

Ketua Tim Kajian Leadership


MDGs Award 2009 ini mengatakan,
perilaku koruptif menghenyakkan
kesadaran kita bahwa bangsa
Indonesia belum bisa lepas dari
penjajahan oleh bangsanya sendiri
dalam bentuk korupsi dan kolusi.
Perilaku koruptif itu telah
merampok begitu banyak anggaran
negara yang dipungut dari uang
rakyat, yang seharusnya dikembalikan
kepada rakyat dalam bentuk
pembangunan yang masif, merata
dan berkualitas.
Anggaran-anggaran yang
sebenarnya bisa dipergunakan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan
membangun infrastruktur agar
masyarakat bisa mandiri telah
dirampok oknum-oknum dalam
bentuk korupsi, tegasnya.
Menurut Danang, satu-satunya
cara untuk memberantas perilaku
korupsi dengan penindakan hukum
yang keras dan akurat pada titik-titik
strategis, sekalipun upaya
pencegahan perlu dilakukan secara
sistematis. Memang masih marak
praktik tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara masif di lingkungan

birokrasi pemerintahan dan politik.


Melihat kondisi seperti itu,
memunculkan sebuah pertanyaan
besar, apakah program reformasi
birokrasi yang saat ini sedang
berjalan, kecenderungan
berkurangnya tindak pidana korupsi
bisa semakin menurun? Sulit untuk
bisa menemukan jawaban itu pada
saat ini, ujarnya.
Danang melanjutkan, hal itu
dikarenakan program prioritas
reformasi birokrasi masih terbilang
sangat muda, jika itu dilihat dari
lahirnya Peraturan Presiden Nomor 81
Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010 - 2025.
Mengingat bahwa grand
design itu memang tidak ditargetkan
semata-mata untuk memerangi
perilaku korupsi, kolusi, dan
nepotisme atau KKN, tetapi juga
untuk meningkatkan kapasitas dan
akuntabilitas kinerja birokrasi,
profesionalisme SDM aparatur dan
meningkatkan kualitas pelayanan
publik, paparnya.

INTEGRITAS - Edisi 11 Tahun 02 - 2014

57

BIROKRASI

Mal-Administrasi, Pintu Menuju


Korupsi
Kejahatan yang kedua yang
memiskinkan bangsa ini adalah maladministrasi. Perilaku maladministrasi adalah awal dari tindak
pidana korupsi namun tidak selalu
berujung dengan korupsi. Danang
melihat bahwa kasus-kasus korupsi
yang terungkap merupakan implikasi
buruknya kualitas birokrasi di
Indonesia, karena selain korupsi,
masih terdapat implikasi lain yaitu
buruknya kualitas pelayanan publik.
Danang menjelaskan, jika
menyimak hasil penelitian Political
and Economic Risk Consultancy (PERC)
2010, kualitas birokrasi Indonesia
berada di ranking kedua terburuk di
Asia setelah India. Parameter yang
digunakan dalam berbagai penelitian
tentang kualitas birokrasi dalam hal
pelayanan publik bukan hanya
masalah perilaku pungli atau korupsi
dalam perizinan investasi tapi juga
ketidakpastian hukum. Praktik maladministrasi lah yang mengakibatkan
ketidakpastian hukum.
Mal-administrasi terjadi dalam
berbagai bentuk, misalnya pembiaran,
pengabaian kewajiban, berpihak,
penundaan berlarut, meminta
imbalan, dan ketidakakuratan.
Dengan melihat potensi

58

praktek mal-administrasi yang dapat


menurunkan kualitas pelayanan
birokrasi inilah yang kemudian
menjadi inti pengawasan oleh
Ombudsman, tambah Danang.
Danang kemudian
menyayangkan praktek maladministrasi bukan termasuk tindak
pidana. Padahal, korban dari maladministrasi adalah masyarakat, bisa
individual dan bisa kolektif. Jika maladministrasi itu berujung pada
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau
KKN maka menjadi tindak pidana.
Tetapi jika masih sebatas pada maladministrasi maka sanksi yang
dikenakan sebatas pada pengaturan
sanksi dalam Undang-Undang
Nomor25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik, yaitu pada Pasal 54
sampai dengan Pasal 57.
Memang sanksi terhadap
penyelenggara dan pelaksana
pelayanan publik bisa dikenai sanksi
tertinggi yaitu pembebasan dari
jabatan, sanksi pemberhentian
dengan tidak hormat, aku Danang.
Lalu dalam pemberian sanksi
praktek mal-administrasi, Danang
mengatakan, Ombudsman mengacu
pada Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 Tentang Ombudsman
Republik Indonesia. Sanksi itu bisa
diputuskan oleh Ombudsman dalam
bentuk rekomendasi, jika pejabat

INTEGRITAS - Edisi 11 Tahun 02 - 2014

yang bersangkutan terbukti


melakukan mal-administrasi.
Sekalipun keputusan Ombudsman
bisa berbentuk rekomendasi,
rekomendasi itu wajib dilaksanakan
oleh pejabat dan atasan penerima
rekomendasi. Pelaksanaan
rekomendasi dilindungi oleh undangundang.
Danang menyebutkan,
kejahatan dalam bentuk maladministrasi pelayanan publik terjadi
begitu merata di hampir seluruh
tingkatan pemerintahan mulai dari
pusat sampai ke daerah dan bisa
dengan mudah dipisahkan apakah itu
perilaku individual oknum birokrasi
atau secara sistemik di kantor
pelayanan publik. Misalnya sengaja
memperlama proses pelayanan
supaya mendapatkan tawaran
imbalan, meminta imbalan secara
langsung (pungli), mengabaikan
pelayanan, berpihak, dan lain-lain.
Contoh ini terjadi dalam hampir
seluruh sektor pelayanan publik,
misalnya pembuatan perizinan usaha
(investasi), akta, SIM, paspor, dan
sertifikat tanah, ujar Danang.
Perilaku mal-administrasi tidak
hanya berpotensi dilakukan oleh
oknum SDM aparatur secara individu,
namun juga secara sistematis
melembaga terjadi di dalam instansi
pelayanan publik. Pada tahun 2013
Ombudsman pernah mengobservasi

18 kementerian dan 44 pemerintah


provinsi dan kabupaten-kota. Hasil
temuan menunjukkan sekitar 35
persen instansi di dalam lingkup
kementerian dan 65 persen instansi
dan SKPD di lingkup pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/
kota berada di zona merah yang
artinya belum patuh terhadap
ketentuan tentang standar pelayanan
publik sebagaimana telah diatur oleh
UU Pelayanan Publik.
Danang menarik kesimpulan
sederhana, pimpinan instansi
pelayanan publik yang tidak mau
memampangkan standar pelayanan
publik di instansinya, bisa diduga
bahwa dia sedang menjalin hubungan
saling menguntungkan dengan para
calo supaya masyarakat kesulitan
mengakses pelayanan sehingga harus
berurusan dengan para calo agar
dilayani lebih cepat dengan
mengeluarkan biaya ekstra. Perihal
mal-administrasi sistemik ini berupa
pengabaian kewajiban hukum atau
tidak patuh terhadap peraturan
perundangan. Inilah yang kemudian
menguntungkan oknum pejabat
tetapi mengorbankan kualitas
pelayanan.

Pendelegasian ke Swasta; Biaya


Mahal
Ia mengakui, pemerintah bisa
saja mendelegasikan pelayanan publik
kepada pihak swasta, tetapi dalam
kriteria tertentu. Karena jika dilakukan
oleh pihak swasta akan lebih efisien
dan secara kualitas bisa lebih baik.
Tetapi pemerintah harus mampu
mengontrol standar kualitas dan tidak
menimbulkan beban berat bagi
masyarakat dan siap mengganti rugi
jika mengakibatkan kerugian kepada
negara atau masyarakat.
Tapi sayangnya ada pelayanan
publik yang sifatnya sederhana tapi
malah didelegasikan kepada pihak
ketiga baik secara formal maupun
informal. Misalnya biro jasa
pengurusan SIM, BPKB, paspor, dan
perizinan investasi. Biro-biro jasa
seperti ini banyak lahir karena adanya
kerumitan jika masyarakat mengurus
sendiri.
Contoh lainnya pelayanan
publik sektor pelabuhan udara dan
laut, menurut Ombudsman,
pemerintah seharusnya bisa
mengelola sendiri proses pemeriksaan
kargo atau kontainer peti kemas di
pelabuhan udara dan laut, tapi malah

didelegasikan kepada pihak ketiga


sehingga mengakibatkan ekonomi
biaya tinggi sehingga sektor logistik
Indonesia kalah bersaing dengan
negara-negara Asia dan competitive
index menurun.
Kebijakan Tanpa Visi
Danang mengatakan, maladministrasi yang dilakukan secara
sistemik merupakan kebijakankebijakan yang diputuskan oleh
pemerintah melalui berbagai
kementerian sektor, misalnya
Kementerian Perhubungan,
Kementerian Keuangan, Kementerian
Pertanian, dan Kementerian Kelautan
dan Perikanan.
Setiap kebijakan perlu
dicermati, bahwa kebijakan-kebijakan
yang diambil dalam ranah makro
seperti itu mustinya diarahkan untuk
menumbuhkan kemandirian bangsa,
meningkatkan daya saing sektor
industri, papar Danang.
Seharusnya kerangka pikir
yang diambil dalam
mempertimbangkan rumusan
kebijakan itu adalah bagaimana
pemerintah berinvestasi dengan
kemampuannya sendiri sehingga
melindungi dunia usaha dari
pungutan-pungutan berlebihan.
Pelayanan publik yang dilakukan
sendiri oleh pemerintah bisa jauh
lebih murah daripada didelegasikan
kepada pihak ketiga.
Apalagi dalam logistik, harus
terdapat kewenangan negara yang
besar dalam rangka perlindungan
investasi. Pemerintah sekarang ini
banyak mengeluarkan produk-produk
kebijakan, namun dirumuskan tanpa
ada visi yang jelas. Akibatnya,
pelaksanaan yang dilakukan hanya
berdasarkan kepentingan selama
masa jabatan itu, katanya.
Danang berpendapat,
pemerintah tidak ahli segala-galanya.
Undang-Undang Pelayanan Publik
dan Undang-Undang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan saat

INTEGRITAS - Edisi 11 Tahun 02 - 2014

59

BIROKRASI
ini mewajibkan pemerintah
melibatkan stakeholder dalam
menyusun peraturan dan standar
pelayanan publik. Sudut pandang
inilah yang juga dikawal oleh
Ombudsman.
Pengabaian terhadap
ketentuan perumusan kebijakan
tentang standar pelayanan publik
mengakibatkan menurunnya
kredibilitas pemerintah sebagai
fasilitator, regulator, dan katalisator
pembangunan demi terciptanya
lingkungan usaha yang kondusif dan
berdaya saing, dan terjaganya
keberlangsungan mekanisme pasar,
papar Danang.

Setiap kebijakan perlu


dicermati, bahwa kebijakankebijakan yang diambil
dalam ranah makro seperti
itu mustinya diarahkan
untuk menumbuhkan
kemandirian bangsa,
meningkatkan daya saing
sektor industri, papar
Danang.

Ombudsman Fokus Mengawasi


Mal-Administrasi
Ombudsman memang tidak
sehebat seperti lembaga-lembaga
negara lain yang memiliki
kewenangan penindakan pidana.
Namun, Ombudsman sesuai dengan
filosofi keberadaannya, adalah
sebagai lembaga pemberi pengaruh,
mengedepankan teknik mediasi dan
persuasif. Sebagai catatan, ada sekitar
150 negara di dunia ini yang memiliki
sistem Ombudsman dalam
ketatanegaraannya. Sekitar 20 negara
malah menempatkan Ombudsman
dalam konstitusinya. Ombudsman
Republik Indonesia berada dalam
konstelasi Ombudsman internasional,
Asia Pasifik, dan Australia.
Satu peran penting
Ombudsman adalah membela
masyarakat yang menjadi korban maladministrasi pelayanan publik,
meskipun posisinya bukan sebagai
pengacara korban. Ombudsman bisa
memanggil terlapor atau pimpinan
instansi pelayanan publik jika mereka
dilaporkan oleh masyarakat untuk
menyelesaikan pengaduan itu.
Ombudsman baru bisa
menerapkan ancaman pidana bagi
pejabat atau aparatur yang
menghalang-halangi tugas
Ombudsman. Ancamannya tidak
main-main, pidana paling lama dua

60

tahun atau denda satu miliar rupiah.


Bahkan, menghindari panggilan
Ombudsman tiga kali berturut-turut
bisa dikenai ancaman pidana.
Ketua Ombudsman Republik
atau ORI periode 2011-2016 ini
mengatakan, dalam hal-hal yang
berkaitan dengan pelayanan publik
meskipun tidak dilaporkan oleh
masyarakat, Ombudsman bisa
melakukan inisiatif investigasi. Pada
intinya, Ombudsman bisa dipandang
sebagai corrective body dalam rangka
meluruskan filosofi keberadaan
negara yang mustinya melayani
masyarakat melalui penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih, kredibel
dan profesional. Saat ini filosofi itu
luntur oleh perilaku mal-administrasi,
jelas Danang.
Menurut dia, masyarakat
menjadi korban sehingga sebagian
besar dari mereka tidak berdaya untuk
mencerdaskan diri dan tidak berdaya
untuk mensejahterakan diri karena
terjebak oleh ruwetnya birokrasi yang
tidak bersahabat dengan dunia usaha.
Danang menegaskan,
Ombudsman lebih menitikberatkan
pada upaya pengawasan maladministrasi agar negara ini mampu
meningkatkan kualitas pelayanan

INTEGRITAS - Edisi 11 Tahun 02 - 2014

publik secara cepat dan progresif.


Tujuan besarnya ada kok, yaitu demi
kredibilitas dan kewibawaan negara
baik di depan bangsa sendiri ataupun
di dunia internasional, ujar Danang.
Dalam mewujudkan tujuannya
itu, Ombudsman sendiri mempunyai
tantangan terkait minimnya anggaran
yang dialokasikan untuk Ombudsman.
Akan tetapi, tantangan itu akan
dijawab dengan meyakinkan
masyarakat mengenai peran
Ombudsman. Terlihat dengan
banyaknya masyarakat Indonesia
sudah terbantu permasalahan
mereka, ketika menghadapi kejahatan
oknum birokrasi. Meskipun demikian,
tidak semua birokrasi kita jahat,
walaupun citra buruk itu akan selalu
ada, karena sistem pengawasan yang
lemah, sistem reward and punishment
di instansi pemerintah yang masih
tidak adil, ujar Danang. Kementerian,
lembaga-lembaga negara, dan
lembaga pemerintah yang sudah
mendapatkan remunerasi dari
program reformasi birokrasi lebih
beruntung, karena kesejahteraannya
sudah bisa meningkat.
Pun, tidak ada jaminan bahwa
kesejahteraan yang meningkat akan
mereduksi korupsi atas alasan
keserakahan, tetapi setidaknya bisa
mengurangi perilaku maladministrasi. Sekalipun begitu,
kesejahteraan pegawai memang
menjadi isu penting yang harus segera
diselesaikan.
Kualitas pelayanan publik
menunjukkan citra pemerintah dan
citra negara di mata dunia
internasional. Karena itu berbagai
upaya sudah kami lakukan agar
negara memberi perhatian yang
pantas kepada kelembagaan
Ombudsman, baik dari sisi anggaran
maupun dari sisi pemenuhan
instrumen peraturan yang
diperlukan, ujar Danang.
(Ian)

Anda mungkin juga menyukai