Anda di halaman 1dari 6

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Dermatitis numularis merupakan kelainan kulit inflamatori dengan lesi
papul atau papulovesikel yang bergabung membentuk plak numuler dengan batas
tegas (Burgin, 2008). Dermatitis numularis merupakan dermatitis kronik dengan
bagian tubuh yang paling sering terkena adalah dorsum tangan, ekstremitas
bawah, permukaan ekstensor lengan, lengan atas, tungkai dan kaki (Halberg,
2011). Dermatitis numularis merupakan dermatitis endogen yaitu dermatitis yang
terjadi utamanya dimediasi oleh proses/faktor-faktor yang berasal dari dalam
tubuh tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksogen (Burton, 2004).
Dermatitis numularis mempunyai dua puncak distribusi umur. Distribusi
paling sering terjadi pada umur dekade enam sampai tujuh dan biasa terjadi pada
laki-laki. Puncak distribusi umur yang lebih kecil terjadi pada dekade kedua
sampai ketiga, yang berhubungan dengan dermatitis atopik dan paling sering pada
wanita (Miller, 2011). Prevalensi seluruh bentuk dermatitis adalah 18 per 1000
kasus, meliputi dermatitis atopik 7 per 1000, hand eczema, dishidrosis dan
dermatitis numularis terdapat pada kira-kira 2 per 1000 kasus (Goh dkk, 1993).
Prevalensi dermatitis numularis di Inggris adalah 2% selama 27 tahun (Horn,
1986). Kubeyinje dkk (1995) melaporkan dermatitis numularis merupakan

dermatitis endogen terbanyak kedua setelah dermatitis atopi yakni sebanyak 315
kasus (25,7%) dari 1224 kasus.
Data prevalensi dan insidensi dermatitis numularis di Indonesia tidak
diketahui dengan pasti, sedangkan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP DR
Sardjito Yogyakarta insidensi dermatitis numularis pada tahun 2010 dan 2011
berturut-turut adalah 2,53% dan 2,33%.
Sebagian besar kasus dermatitis numularis tidak diketahui etiologinya
(Burton, 2004). Meski etiologi dermatitis numularis belum jelas, beberapa studi
banyak melaporkan kasus dermatitis numularis dengan berbagai etiologi berbeda,
sedangkan studi patogenesis penyakit masih sedikit dilaporkan (Fleming dkk,
1997). Beberapa penelitian dan laporan kasus seri menunjukkan peran
multifaktorial yang meliputi lingkungan, cuaca, keadaan hidrasi kulit, alergen
atau iritan lingkungan, infeksi sebelumnya, infeksi tersembunyi, efek samping
obat, hipersensitivitas terhadap alergen spesifik (Burton, 2004; Miller, 2012).
Hubungan dermatitis numularis dengan atopi masih kontroversial (Gill, 2008;
Kruger dkk, 1973).
Terdapat pandangan yang berbeda tentang kemungkinan peranan atopi
pada

pasien

dengan

dermatitis

numularis,

tetapi

penelitian

terkini

mengindikasikan bahwa lesi pada dermatitis numularis merupakan bentuk paling


umum varian dermatitis atopik atipikal baik pada anak-anak maupun dewasa
(Kultanan dkk, 2007). Dermatitis numularis dengan demikian dapat dianggap
sebagai pola penting gambaran dermatitis atopik dan hal tersebut bisa

berhubungan atau tidak dengan kadar IgE total, adanya IgE spesifik dan riwayat
atopi pada keluarga dan diri (Pugliarello dkk, 2010).
Kecenderungan yang diwariskan untuk menghasilkan IgE alergen spesifik
merupakan predisposisi genetik untuk perkembangan penyakit atopik meliputi
asma, rhinitis alergika dan dermatitis atopik. Perkembangan penyakit tersebut
tergantung pada multiplisitas gen, ekspresi penyakit yang dipengaruhi oleh faktorfaktor lingkungan dan paparan lingkungan (MacLean dan Eidelman, 2010).
Atopi merupakan kelainan yang kompleks ditandai dengan kecenderungan
untuk peningkatan kadar antibodi IgE terhadap satu atau lebih berbagai antigen
(Sijrcic dkk, 2010). Riwayat atopi diri dan keluarga terdapat pada 50 pasien
(50%) , sedangkan riwayat atopi pada keluarga terdapat pada 38 pasien (38%) dari
100

pasien

dermatitis numularis (Jiamton dkk, 2012). Kubeyinje (1995)

melaporkan kurang lebih 10% pasien dermatitis numularis yang mempunyai


riwayat atopi pada diri maupun keluarga. Kruger dkk (1971) menggambarkan
scattergram kadar IgE subyek dermatitis numularis hampir mendekati sejajar
dengan kadar IgE dermatitis atopik derajat ringan sampai sedang, meskipun
didapatkan rerata kadar IgE dermatitis numularis lebih rendah dibanding dengan
dermatitis atopik secara keseluruhan. Terjadi peningkatan kadar IgE total ( 295
IU/ml) 3 dari 8 pasien dermatitis numularis berat (Tanaka dkk, 2009).

Imunoglobulin E merupakan antibodi utama yang terlibat dalam reaksi


alergi akut (hipersensitivitas tipe 1) dan berkontribusi terhadap inflamasi alergi
kronik pada dermatitis atopik dan dermatitis eksematosa lainnya (Galli dan Tsai,
2012). Secara eksperimental lesi kulit eksematosus tidak dapat diinduksi hanya
dengan IgE yang memediasi reaksi tipe cepat. Lesi eksematosus dihasilkan oleh
sel yang memediasi reaksi kontak alergi dan akhirnya sensitivitas terhadap
berbagai alergen lingkungan seperti pada dermatitis atopik (Tanaka dkk, 1994).
Reaksi alergi dapat terjadi sebagai reaksi segera, reaksi fase lanjut dan
inflamasi alergi kronik. Paparan alergen berlanjut atau berulang menyebabkan
inflamasi alergi kronik. Jaringan inflamasi berisi eosinofil dan sel T (khususnya
sel Th2). Eosinofil dapat mengeluarkan beberapa mediator (misal Major Basic
Protein), yang menyebabkan kerusakan jaringan dan inflamasi. Paparan alergen
berulang juga peningkatan level IgE spesifik. menyebabkan produksi IL-4 dan
IL-13 dengan

kecenderungan respon yang dimediasi Th2/IgE (Nimmagadda,

1997).
Pada fase akut reaksi predominan Th2 yang telah diamati berubah menjadi
fase campuran menyerupai reaksi hipersensitivitas tipe 1 dan 4, dengan sitokin
yang berkaitan Th1 (IFN dan IL-2) berjumlah banyak (Bieber, 2010). Interferon
menginduksi apoptosis keratinosit yang menimbulkan lesi eczematous
dermatoses (Trautmann dkk, 2000).

B. Pertanyaan Penelitian
Apakah terdapat hubungan antara kadar IgE total serum dengan dermatitis
numularis ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kadar IgE total
serum dengan dermatitis numularis.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi perkembangan dermatologi
Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui hubungan antara kadar IgE total
dengan dermatitis numularis sehingga diharapkan akan memperjelas dasar
patogenesis dari dermatitis numularis.
2. Bagi penderita dermatitis numularis
Bila kadar IgE total terbukti meningkat pada dermatitis numularis maka
kemungkinan dapat menjadi salah satu dasar patogenesis. Sehingga
penatalaksanaan pada dermatitis numularis dapat lebih efektif dan ditujukan
sesuai dengan patogenesisnya.
E. Keaslian Penelitian

Hubungan

kadar Imunoglobulin E total dengan dermatitis numularis

belum pernah diteliti di Indonesia. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan

berdasarkan pencarian data pada mesin pencari Pubmed, Science Direct dan
Ebsco dengan menggunakan kata kunci nummular eczema, discoid eczema dan
level IgE didapatkan beberapa jurnal dengan metode penelitian dan populasi yang
berbeda.
Tabel 1. Penelitian yang berkaitan dengan kadar immunoglobulin E dan dermatitis
numularis.
Peneliti/
Tahun

Judul Penelitian

Metode

Hasil

Perbedaan
dengan studi ini

Krueger, IgE Levels in


1973
Nummular
Eczema and
Ichthyosis

Potong
lintang

Kasus kontrol
menghubungkan
kadar IgE dengan
variabel lain
atopi tidak
diekslusi

Tanaka
dkk,
2009

Dental Infection
Associated with
Nummular
Eczema as an
Overlooked
Focal Infection

Laporan
kasus
seri

Jianton
dkk,
2012

Clinical
Features and
Agrgravating
Factors in
Nummular
Eczema in Thais

Potong
lintang

Tidak didapatkan
peningkatan kadar
IgE pada
dermatitis
numularis
Tiga dari 8
pasien dermatitis
numularis dengan
infeksi gigi (fokal
infeksi)
mengalami
peningkatan kadar
IgE ( 295 IU/ml)
Limapuluh (50%)
dari 100 pasien
dermatitis
numularis
mempunyai
riwayat atopi diri
atau keluarga

Kasus kontrol
Tidak menilai
ASTO

Kasus kontrol
menilai kadar IgE
total, riwayat
atopi dan atopi

Sejauh yang diketahui oleh penulis, belum ada penelitian mengenai hubungan
antara kadar IgE total dan dermatitis numularis di Yogyakarta Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai