Anda di halaman 1dari 3

Lupa November 8, 1999

Posted by anick in All Posts, Identitas, Indonesia, Nasionalisme, Politik, Sejarah.


1 comment so far
Ada protes Aceh 1999. Ada juga protes Aceh 1932. Pada bulan Maret 1932, di
Kutaraja orang berapat akbar. Mereka menentang keputusan pemerintah HindiaBelanda untuk menggunakan bahasa Aceh di sekolah bumiputra. Rakyat yang serta
dalam pertemuan besar itu justru menghendaki bahasa Indonesia.

Seperti dipaparkan oleh seorang penulis dalam Soeara Oemoem yang terbit di
Surabaya pada bulan Maret itu, protes yang sama terjadi juga di Padang dan
Surakarta.

Bukan karena di Kutaraja orang Aceh ingin mencampakkan bahasa Aceh. Bukan
karena di Padang orang Minang ingin meniadakan bahasa Minang dan di Surakarta
bahasa Jawa hendak dimatikan. Tetapi itu tahun 1932. Nasionalisme Indonesia
sedang pasang perbani. Empat tahun sebelumnya, bulan Oktober yang bersejarah
itu, para pemuda berkumpul di Batavia untuk memaklumkan bahwa mereka ingin
punya satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air.

Tak ada seorang pun yang tahu persis dari mana sebenarnya Indonesia lahir.
Namun, bisa dikatakan bahwa dalam hal bahasasatu elemen penting dalam
nasionalisme Indonesiabatu fondasinya adalah hasil persenyawaan antara impian
dan kepahitan. Juga kebutuhan untuk melupakan.

Drama ini dimulai dari kegandrungan orang Belanda yang berkuasa untuk menarik
garis pemisah yang lurus dan terang. Dalam desain mereka, ada sebuah batas
kolonial buat inlanders: mereka yang berkulit cokelat itu bukan saja tak boleh
masuk ke kamar bola. Mulut mereka yang berbau durian atau petai itu juga tak
boleh mengucapkan bahasa yang dipakai oleh para meneer dan mevrouw.

Memang luar biasa. Agaknya, hanya penguasa kolonial Belanda yang melarang
orang pribumi menggunakan bahasa sang penjajah. Tak mengherankan bila
menurut sensus tahun 1930, hanya 0,3 persen dari orang bumiputra (yang
merupakan 97 persen penduduk tanah jajahan itu) yang bisa berbahasa Belanda
meskipun dengan terbatas, sekadar buat menulis sepucuk surat yang sederhana.

Henk Maier, yang mengadakan penelitian tentang hal ini, pernah menulis dengan
analisis yang cemerlang dan bahasa yang tajam kenapa penguasa kolonial Hindia
Belanda bersikap demikian. Bagi tuan-tuan itu, tulis Maier, orang pribumi berbeda
dari kitadan biarlah perbedaan itu kekal. Si bumiputra harus sedapat-dapatnya
tetap bumiputra. Argumen ini biasa diberi kemasan yang bagus: kita harus
menghormati keaslian pribumi.

Tapi, mau tak mau, tersingkap juga motif yang satu ini: apartheid. Kata dari bahasa
Belanda itu tak pernah dipergunakan oleh penguasa Hindia-Belanda (kita tahu,
apartheid jadi istilah yang terkenal busuk di Afrika Selatan), tetapi ujung-ujungnya
adalah sejenis pemisahan rasial juga.

Tak ayal, sebuah gelombang besar muncul. Orang bumiputra membangun


bahasanya sendiri. Tak sulit untuk itu. Menjelang akhir 1925, ada sekitar 200 surat
kabar di Hindia Belanda yang memakai bahasa Melayu, yang kemudian diberi nama
bahasa Indonesia itu. Kaum nasionalis bertekad bahwa dengan bahasa iniyang
dengan mudah mempertautkan elite yang terdidik dengan orang ramaiorang
bumiputra akan mendapat dan membangun ilmu pengetahuan yang setaraf dengan
standar internasional.

Maka, ketika pada tahun 1932 pemerintah Hindia-Belanda hendak memotong elan
nasionalisme itu dengan mengharuskan pemakaian bahasa daerah di sekolah, kaum
pergerakan berteriak awas, divide et impera! Apalagi banyak bahasa daerah yang
terkait erat dengan struktur sosial yang represif, dan apa pula artinya sebuah
bahasa daerah? Jawa, misalnya, tak pernah merupakan sesuatu yang tunggal:
ada orang Surakarta dan ada orang Banyumas. Protes di Kutaraja, Padang, dan
Surakarta itu adalah bagian dari kesadaran untuk mencegah manipulasi kolonial
dalam soal identitas.

Indonesia pun tumbuh sebagai sebuah proyek besar untuk memberi isi baru pada
soal identitas itu. Kata baru sangat menentukan di sini. Renan, pemikir Prancis itu,
benar ketika ia mengatakan bahwa lupa adalah sebuah faktor yang amat pokok
dalam terciptanya sebuah nasion. Lupa kepada ikatan lama setiap daerah, lupa
kepada tradisi yang mengikat. Indonesia lahir bersama semangat modernitas
yang ingin membebaskan.

Tapi itu awal abad ke-20. Menjelang akhir abad, banyak hal berubah. Indonesia
dengan senjata memaksa orang Timor Timur menjadi bagian dari dirinyasebuah
proyek ala Bismarck melalui darah dan besi. Sejak itu, Indonesia tampak bukan
sebagai sebuah proyek bersama yang ikhlas. Militer tidak hanya membunuh orang
tak bersalah di Timor Timur, Irianjaya, dan Aceh. Militer telah membunuh impian
nasionalisme sebagai pembebasan.

Kini sebuah generasi harus tumbuh dalam puing-puing kekerasan itu. Mereka akan
dengan berat dan luka-luka harus membangun sebuah visi baru tentang Indonesia,
atau lebih tepat Nusantara: sebuah kepulauan yang tidak lagi berada di satu atap,
sebuah perpisahan yang semoga tidak meneruskan kekerasan dan menghalalkan
kebencian.

~Majalah Tempo Edisi. 36/XXIIIIIIII/08 14 November 1999~

Anda mungkin juga menyukai

  • Lampiran Se Angk Xxvi 2020
    Lampiran Se Angk Xxvi 2020
    Dokumen7 halaman
    Lampiran Se Angk Xxvi 2020
    Affannul Hakim
    Belum ada peringkat
  • Laporan Jaga 8-14mei
    Laporan Jaga 8-14mei
    Dokumen8 halaman
    Laporan Jaga 8-14mei
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Morning Report 3-9 April 2019
    Morning Report 3-9 April 2019
    Dokumen11 halaman
    Morning Report 3-9 April 2019
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Dasar Dasar Menulis
    Dasar Dasar Menulis
    Dokumen9 halaman
    Dasar Dasar Menulis
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Morning Report 3-9 April 2019
    Morning Report 3-9 April 2019
    Dokumen11 halaman
    Morning Report 3-9 April 2019
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Latihan Cerpen
    Latihan Cerpen
    Dokumen2 halaman
    Latihan Cerpen
    Awaluddin Andhy M
    0% (1)
  • Belajar Menulis Adalah Belajar
    Belajar Menulis Adalah Belajar
    Dokumen8 halaman
    Belajar Menulis Adalah Belajar
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Dokumen80 halaman
    Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Mangun Soegit
    100% (2)
  • Pram
    Pram
    Dokumen3 halaman
    Pram
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Protes
    Protes
    Dokumen3 halaman
    Protes
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Dokumen80 halaman
    Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Mangun Soegit
    100% (2)
  • Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Dokumen80 halaman
    Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara
    Mangun Soegit
    100% (2)
  • Percakapan Ke 7
    Percakapan Ke 7
    Dokumen4 halaman
    Percakapan Ke 7
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Pohon
    Pohon
    Dokumen4 halaman
    Pohon
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Mereka
    Mereka
    Dokumen3 halaman
    Mereka
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Melihat
    Melihat
    Dokumen3 halaman
    Melihat
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Origami
    Origami
    Dokumen3 halaman
    Origami
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Padri
    Padri
    Dokumen3 halaman
    Padri
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Pada Mulanya Adalah Kertas
    Pada Mulanya Adalah Kertas
    Dokumen5 halaman
    Pada Mulanya Adalah Kertas
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Memberi
    Memberi
    Dokumen3 halaman
    Memberi
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • MAKALAH-Meneliti Nilai Puitika Di Dalam Esai Jurnalistik
    MAKALAH-Meneliti Nilai Puitika Di Dalam Esai Jurnalistik
    Dokumen32 halaman
    MAKALAH-Meneliti Nilai Puitika Di Dalam Esai Jurnalistik
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Mati
    Mati
    Dokumen4 halaman
    Mati
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Marx
    Marx
    Dokumen3 halaman
    Marx
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Kakawin
    Kakawin
    Dokumen4 halaman
    Kakawin
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Irfan
    Irfan
    Dokumen3 halaman
    Irfan
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Krisis
    Krisis
    Dokumen4 halaman
    Krisis
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Isis
    Isis
    Dokumen3 halaman
    Isis
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Hikayat Abdullah
    Hikayat Abdullah
    Dokumen2 halaman
    Hikayat Abdullah
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat
  • Hijau
    Hijau
    Dokumen4 halaman
    Hijau
    Awaluddin Andhy M
    Belum ada peringkat