Seperti dipaparkan oleh seorang penulis dalam Soeara Oemoem yang terbit di
Surabaya pada bulan Maret itu, protes yang sama terjadi juga di Padang dan
Surakarta.
Bukan karena di Kutaraja orang Aceh ingin mencampakkan bahasa Aceh. Bukan
karena di Padang orang Minang ingin meniadakan bahasa Minang dan di Surakarta
bahasa Jawa hendak dimatikan. Tetapi itu tahun 1932. Nasionalisme Indonesia
sedang pasang perbani. Empat tahun sebelumnya, bulan Oktober yang bersejarah
itu, para pemuda berkumpul di Batavia untuk memaklumkan bahwa mereka ingin
punya satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air.
Tak ada seorang pun yang tahu persis dari mana sebenarnya Indonesia lahir.
Namun, bisa dikatakan bahwa dalam hal bahasasatu elemen penting dalam
nasionalisme Indonesiabatu fondasinya adalah hasil persenyawaan antara impian
dan kepahitan. Juga kebutuhan untuk melupakan.
Drama ini dimulai dari kegandrungan orang Belanda yang berkuasa untuk menarik
garis pemisah yang lurus dan terang. Dalam desain mereka, ada sebuah batas
kolonial buat inlanders: mereka yang berkulit cokelat itu bukan saja tak boleh
masuk ke kamar bola. Mulut mereka yang berbau durian atau petai itu juga tak
boleh mengucapkan bahasa yang dipakai oleh para meneer dan mevrouw.
Memang luar biasa. Agaknya, hanya penguasa kolonial Belanda yang melarang
orang pribumi menggunakan bahasa sang penjajah. Tak mengherankan bila
menurut sensus tahun 1930, hanya 0,3 persen dari orang bumiputra (yang
merupakan 97 persen penduduk tanah jajahan itu) yang bisa berbahasa Belanda
meskipun dengan terbatas, sekadar buat menulis sepucuk surat yang sederhana.
Henk Maier, yang mengadakan penelitian tentang hal ini, pernah menulis dengan
analisis yang cemerlang dan bahasa yang tajam kenapa penguasa kolonial Hindia
Belanda bersikap demikian. Bagi tuan-tuan itu, tulis Maier, orang pribumi berbeda
dari kitadan biarlah perbedaan itu kekal. Si bumiputra harus sedapat-dapatnya
tetap bumiputra. Argumen ini biasa diberi kemasan yang bagus: kita harus
menghormati keaslian pribumi.
Tapi, mau tak mau, tersingkap juga motif yang satu ini: apartheid. Kata dari bahasa
Belanda itu tak pernah dipergunakan oleh penguasa Hindia-Belanda (kita tahu,
apartheid jadi istilah yang terkenal busuk di Afrika Selatan), tetapi ujung-ujungnya
adalah sejenis pemisahan rasial juga.
Maka, ketika pada tahun 1932 pemerintah Hindia-Belanda hendak memotong elan
nasionalisme itu dengan mengharuskan pemakaian bahasa daerah di sekolah, kaum
pergerakan berteriak awas, divide et impera! Apalagi banyak bahasa daerah yang
terkait erat dengan struktur sosial yang represif, dan apa pula artinya sebuah
bahasa daerah? Jawa, misalnya, tak pernah merupakan sesuatu yang tunggal:
ada orang Surakarta dan ada orang Banyumas. Protes di Kutaraja, Padang, dan
Surakarta itu adalah bagian dari kesadaran untuk mencegah manipulasi kolonial
dalam soal identitas.
Indonesia pun tumbuh sebagai sebuah proyek besar untuk memberi isi baru pada
soal identitas itu. Kata baru sangat menentukan di sini. Renan, pemikir Prancis itu,
benar ketika ia mengatakan bahwa lupa adalah sebuah faktor yang amat pokok
dalam terciptanya sebuah nasion. Lupa kepada ikatan lama setiap daerah, lupa
kepada tradisi yang mengikat. Indonesia lahir bersama semangat modernitas
yang ingin membebaskan.
Tapi itu awal abad ke-20. Menjelang akhir abad, banyak hal berubah. Indonesia
dengan senjata memaksa orang Timor Timur menjadi bagian dari dirinyasebuah
proyek ala Bismarck melalui darah dan besi. Sejak itu, Indonesia tampak bukan
sebagai sebuah proyek bersama yang ikhlas. Militer tidak hanya membunuh orang
tak bersalah di Timor Timur, Irianjaya, dan Aceh. Militer telah membunuh impian
nasionalisme sebagai pembebasan.
Kini sebuah generasi harus tumbuh dalam puing-puing kekerasan itu. Mereka akan
dengan berat dan luka-luka harus membangun sebuah visi baru tentang Indonesia,
atau lebih tepat Nusantara: sebuah kepulauan yang tidak lagi berada di satu atap,
sebuah perpisahan yang semoga tidak meneruskan kekerasan dan menghalalkan
kebencian.