Anda di halaman 1dari 7

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009

ISBN No.

Makna Rumah Tinggal bagi Difabel di Lingkungan Kampung


Kota di Surabaya

Arina Hayati *, Muhammad Faqih

1*

Mahasiswa Program Doktor, PascaSarjana, Jurusan Arsitektur, FTSP-ITS, Surabaya

Arina_hayati@hotmail.com
Jurusan Arsitektur, FTSP, ITS2
faqih@its.arch.ac.id
Abstrak
Rumah tinggal merupakan awal dan pusat dari segala kegiatan dan aktivitas manusia
dalam berkehidupan sehari-hari. Penggunaan setiap ruang sebuah rumah tinggal akan
memberikan makna tertentu terhadap rumah tersebut, dan dalam waktu yang sama makna
akan menuntun manusia bagaimana rumah tersebut digunakan dan dihuni (Arias, 1993).
Makna sebuah rumah tinggal tidak akan lepas dari image dan kebutuhan dari
penghuninya, terutama bagi penghuni yang memiliki kebutuhan khusus seperti para difabel
dan lansia. Aksesibilitas merupakan salah satu faktor penting dalam proses penggunaan
ruang rumah tinggal terutama bagi difabel. Dari proses tersebut, maka para difabel
memberikan pemaknaan tersendiri terhadap keberadaan sebuah rumah tinggal.
Di Surabaya, faktor ekonomi dan sosial sangat mempengaruhi kehidupan difabel untuk
bisa hidup mandiri dalam lingkungannya. Banyak diantaranya, para difabel masih sulit atau
belum secara maksimal mencapai kebutuhan rumah tinggal layak yang sesuai dengan
kebutuhan dan keinginannya. Sehingga, banyak diantara para difabel yang hidup tidak
berkecukupan dan tinggal di lingkungan permukiman yang tidak layak.
Paper ini menjelaskan kebutuhan aksesibilitas pada rumah tinggal bagi difabel dalam
konteks sosial budaya dan bagaimana hubungan penggunaan ruang dan makna rumah
tinggal dalam konteks sosial budaya dan grup penghuni (difabel). Kualitas sebuah rumah
tinggal tidak akan bersifat universal karena adanya variasi sosial budaya (Altman, 1993),
tetapi juga akan menunjukkan bahwa grup penghuni (difabel) akan sangat menentukan
arti/makna sebuah rumah tinggal dalam kehidupannya.
Katakunci: difabel, makna dan penggunaan ruang, kampung urban, rumah tinggal, sosialbudaya

Abstract
Home is the beginning and the main place where people do their daily activities. The
use of space of house will give its meaning and on the same time it will guide people to use
the house and live within it (Arias, 1993). The meaning of house not only influences the
people needs of housing but also influences housing image from user groups perspective.
Different user groupd will determine how people use and modify the house depending on
their needs and wants, especially for disabled people and elderly. Accessibility is the main
factor to determine how disabled people could use and organize their house that could fit on
their needs and their mobilitys limitation. From this availability process of accessibility, we
could examine how disabled people give their perspective to the meaning of house.
In Surabaya, some of disabled people live independently, while the other could not
provide their better living since they have a limitation access to economic and public facilities
to live independently. Those limitation will lead the disabled people lived in inappropriately
life and meet their daily life within poverty. This paper explained the realtion of housing to
accessibility needs and how does disabled people give their meaning to their house within
their socio-culture and needs since the qualities of house is not universal because of socioculture variations (Altman. 1993).
Keywords: difabel, housing, meaning and use of space, socio-culture, urban kampong

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009


ISBN No.

1.
Pendahuluan
Rumah tinggal adalah unit terkecil dari dari
hasil hubungan interaksi antara manusia
dan lingkungannya. Bagaimana rumah
terbentuk dan dibangun bergantung pada
keinginan dan kebutuhan manusia. Rumah
adalah kebutuhan universal bagi manusia,
namun keinginan dan kebutuhan manusia
akan bervariasi dan berbeda sesuai dengan
konteks wilayah dan
budaya
yang
melingkupinya. Walaupun rumah tinggal
kurang dianggap sebagai kebutuhan kritis
dalam proses bertahan hidup (dibandingkan
dengan kebutuhan makan), namun rumah
merupakan
tempat
dimana
manusia
berkarya, beraktivitas, bersosialisasi, dan
untuk
dapat
bertahan
hidup
di
lingkungannya.
Permintaan
kebutuhan
rumah di kota urban akan semakin tinggi
dan kompleks karena banyak faktor yang
mempengaruhi. Salah satunya adalah akibat
meningkatnya urbanisasi yang berdampak
pada peningkatan jumlah penduduk. Di
Surabaya, dampak dari pertumbuhan
urbanisasi
menimbulkan
berbagai
permasalahan perumahan dan permukiman
yang
membutuhkan
penanganan
secepatnya. Pengadaan dan perbaikan
lingkungan perumahan dan permukiman
telah dilakukan oleh pemerintah kota
dengan adanya berbagai program bantuan,
salah satunya adalah KIP Komprehensif.
Program-program tersebut pada dasarnya
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
untuk
mendapatkan lingkungan perumahan dan
permukiman yang layak sesuai dengan
pencanangan MDGs oleh PBB. Pada tahun
2000, The Millenium Development Goals
(MDGs) dicanangkan sebagai kerangka
kerja yang terdiri dari 8 tujuan, 16 target,
dan 48 indikator untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia dengan menurunkan
tingkat kemiskinan serta memperbaiki dan
meningkatkan kualitas hidup. Tujuan MDG
1, target 1 adalah antara tahun 1990 dan
2015, setengah dari penduduk dunia dapat
memiliki pendapatan kurang dari 1 (satu)
dolar per-hari. Sedangkan pada tujuan MDG
7, target 11 adalah meningkatkan secara
signifikan tingkat kehidupan dari 100 juta
penghuni di lingkungan kumuh sampai
dengan tahun 2020. Dengan adanya
kerangka kerja tersebut, maka perlu
dilakukan langkah-langkah untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan manusia dan
memperbaiki kualitas hidup terutama bagi
masyarakat
yang
berpenghasilan
rendah/miskin.

Dari
beberapa
program
perbaikan
lingkungan perumahan dan permukiman,
pemerintah masih kurang memperhatikan
adanya difabel dan lansia sebagai salah
satu grup pengguna yang membutuhkan
hak dan partisipasi yang sama dalam
mendapatkan perumahan dan permukiman
yang layak. Pada dasarnya kecacatan dan
kemiskinan memiliki hubungan sebab
akibat.
Seseorang
yang
memiliki
kecacatan/difabel
memungkinkan
dia
memiliki keterbatasan dalam mengakses
segala fasilitas umum, prasarana dan
sarana lingkungan, informasi, pendidikan,
sampai dengan peluang kerja. Adanya
keterbatasan
aksesibilitas
terhadap
berbagai fasilitas tersebut memungkinkan
sebagian besar difabel hidup dalam kondisi
yang kurang mampu sampai dengan hidup
dalam garis kemiskinan. Banyak diantara
difabel saat ini belum bisa mandiri dan
tinggal dengan sanak keluarga, sedangkan
sebagian kecil dari mereka sudah bisa hidup
mandiri dengan
segala
keterbatasan
ataupun kelebihan yang ada.
Hak mendapatkan rumah yang layak tidak
hanya terbatas pada kelompok tertentu,
tetapi bagi setiap lapisan masyarakat
termasuk para difabel dan lansia. Difabel
sebagai salah satu grup pengguna yang
rentan akan kemiskinan juga memiliki hak
untuk mengakses dan memiliki rumah layak
huni, aksesibel dan terjangkau. Namun, saat
ini kebutuhan akan rumah yang layak dan
aksesibel sangat sulit dijangkau oleh difabel
karena beberapa faktor termasuk faktor
kurangnya informasi dan keterbatasan
ekonomi. Hal inilah yang menyebabkan
adanya perbedaan dalam pemenuhan
kebutuhan yang mereka anggap akses dan
layak sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi
dan budaya yang melingkupinya (Hayati,
2008a, 2008b dan Hayati, 2009). Sehingga
berpengaruh
pada
pemaknaan
dan
penggunaan ruang rumah tinggal bagi
difabel akan berbeda sesuai dengan
konteks yang melingkupinya.
2.

Budaya, Lingkungan, dan Rumah


Tinggal

2.1 Budaya dan Sistem Aktivitas


Sebagaimana yang telah disebutkan pada sub
bab sebelumnya, budaya berperan penting dalam
hubungan manusia dan lingkungan. Pemahaman
akan definisi budaya sangatlah luas dan abstrak
maka perlu adanya pemerian/pembongkoran
makna budaya sebagaimana yang telah
ditawarkan oleh Rapoport dalam kent (1997) dan
Rapoport (2005). Konsep pemerian ini telah
cukup terbukti dan berguna untuk studi terhadap
variasi hubungan antara sebuah lingkungan

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009


ISBN No.

tertentu dan perilaku yang kemudian akan


menghasilkan
suatu
sistem
aktivitas.
Pemahaman akan sistem aktivitas merupakan
salah satu kunci pokok dalam melakukan
penelitian terhadap desain lingkungan binaan
yang didalamnya termasuk juga desain rumah
tinggal. Rapoport juga menyatakan bahwa
makna/meaning dapat dijelaskan dari studi
tentang konsep aktivitas dimana system aktivitas
tersebut diorganisasi dalam ruang dan waktu
pada system setting tertentu. Studi ini juga akan
membedakan bagaimana manusia memaknai
dan merespon hasil hubungannya dengan
lingkungannya.
Sebelum menemukan bagaimana manusia
memaknai
lingkungan
binaannya,
maka
penentuan setting dan aktivitas yang terlibat
didalamnya harus ditelaah dan ditemukan. Hal ini
karena keterlibatan setting dan aktivitas sering
kali bersifat counter-intuitive yang tidak jarang,
setting untuk kegiatan sosialisasi timbul secara
tidak disengaja atau tidak didesain (Rapoport,
2005). Aspek laten dari aktivitas yang bersifat
counter-intuitive dan dipengaruhi oleh budaya,
sangat mempengaruhi penggunaan latar(setting),
lokasi, dan perluasan sistem. Tipe analisis ini
dapat membantu menjawab pertanyaan: Who
does
what,
where,
when,
why,
and
including/excluding whom? Salah satu contoh
adalah desain taman bermain yang terkadang
tidak sukses dan jarang dimanfaatkan secara
maksimal karena aspek laten dari kegiatan
bermain itulah justru yang lebih berpengaruh
kepada settingnya.
Dalam penelitian sistem aktivitas dan setting
sebuah rumah tinggal, perubahan elemenelemen lingkungan juga sangat penting dalam
penghadiran sebuah ruang (Rapoport dalam
Kent, 1997). Terdapat tiga macam elemen
lingkungan yang dapat menghadirkan setting
berbeda dalam sebuah ruang, yaitu: (1) Elemenelemen
permanen/fixed-feature
elements
(bangunan, lantai, dinding, dll), (2) Elemenelemen
semi-permanen/semi-fixed-feature
elements (furnitur, penataan interior dan
eksterior, dll), dan (3) Elemen-elemen tidak
permanen/ non-fixed-feature elements (manusia,
aktivitas dan perilakunya serta variasi aktivitas
dari penghuni). Penentuan dan penggunaan
elemen-elemen
diatas
akan
sangat
mempengaruhi bagaimana manusia melakukan
penataan dan pemaknaan penggunaan ruang
berdasarkan budaya yang melingkupinya.
2.2 Rumah sebagai Refleksi Hubungan
Budaya dan Lingkungan
Hubungan manusia dan lingkungan memiliki
hubungan
yang
kompleks
dan
saling
mempengaruhi dimana budaya juga berperan
penting didalamnya. Rumah tinggal merupakan
salah satu keluaran dari lingkungan atau produksi
dari perilaku manusia yang didalamnya termasuk
hasil dari tindakan-tindakan manusia (Altman,
1980). Banyak pertanyaan ketika kita meneliti
sebuah rumah tinggal, diantaranya adalah

bagaimana lingkungan fisik dan kondisi iklim


mempengaruhi
desain
rumah
tinggal?
Bagaimanakah konstribusi faktor budaya yang
didalamnya termasuk agama, pandangan hidup,
dan struktur keluarga mempengaruhi desain
rumah tinggal? Dan beberapa pertanyaan lain
yang berkenaan dengan berbagai faktor yang
mempengaruhi
bagaimana
rumah
tinggal
dihadirkan dan dihuni oleh manusia. Dari
perbedaan perspektif akan isu penghadiran
rumah tinggal, maka timbul makna bahwa
rumah tinggal sebagai sebuah refleksi dari
hubungan budaya atau lingkungannya (Altman,
1980). Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Altman (1980), rumah sebagai jendela untuk
melihat bagaimana perbedaan budaya terhadap
lingkungan fisik mereka. Hal ini tidak
dimaksudkan bahwa faktor-faktor lain yang
mempengaruhi seperti kondisi iklim, sumber
daya, teknologi, dan lain sebagainya diabaikan,
tetapi faktor-faktor tersebut tetap dilibatkan untuk
mengarahkan perpektif kita akan rumah sebagai
refleksi dari hubungan budaya dan lingkungan
dan
bagaimana
variable-variabel tersebut
mempengaruhi karakteristik desain rumah tinggal
(Gambar 1)

Gambar 1. Rumah dalam hubungannya dengan


beberapa faktor
Sumber: Altman, 1980: 156

2.3 Rumah Tinggal dalam Perspektif Budaya


dan Pengguna
Definisi akan rumah tinggal sangatlah bervariasi
tergantung pada berbagai faktor. Salah satu
faktor terkuat yang mempengaruhi definisi rumah
tinggal adalah perbedaan pengguna, umur,
status sosial dan ekonomi, kepribadian, lokasi,
budaya, faktor fisik
dan lain sebagainya.
Rapoport (1969) menjelaskan, rumah adalah
sebuah institusi, tidak hanya sebuah struktur,
diciptakan untuk sebuah set kompleks dari
tujuan. Karena membangun sebuah rumah
adalah sebuah fenomena budaya, maka bentuk
dan pengorganisasiannya sangat dipengaruhi
oleh budaya manusia dimana dia berada. Jika
pengadaan tempat tinggal adalah sebuah
pondasi pasif dari rumah, maka tujuan positifnya
adalah menciptakan sebuah lingkungan yang
cocok dengan bagaimana cara manusia hidup
dengan kata lain, sebuah unit ruang sosial.
Rumah dapat dilihat sebagai sebuah mekanisme
fisik
yang
mereflesikan
dan
membantu
penciptaan sebuah pandangan hidup baru, etis,
dan lain sebagainya dari manusia, dan dapat
dibandingkan dengan berbagai institusi sosial
lainnya (mekanisme) yang melakukan hal yang
sama. Rumah juga dapat sebagai sebuah

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009


ISBN No.

mekanisme kontrol sosial, dimana sebuah


masyarakat memiliki budaya tradisional yang
kuat (Rapoport, 1969). Rumah juga dapat
memberikan
individu
keleluasaan
dalam
mengurangi dan mengkontrol stimulan pada
sebuah level keinginan individual, yang kemudian
dia dapat meminimalisasi berbagai konflik dan
stress. Tempat tinggal juga harus memastikan
privasi, kedamaian, dan intregritas pribadi, yang
penting dalam satuan waktu dengan berbagai
teknik-teknik penyelesaian sebagai solusi untuk
mendapatkan tujuan-tujuan diatas (Egelius,
dalam Mikellides, 1980). Menurut Cooper dalam
Lang (1974), rumah merupakan refleksi dari diri
manusia baik tereflkesikan pada ruang interior
ataupun eksterior. Bagaimana rumah di tata, di
hias, di cat, perabot ditempatkan, dan lain
sebagainya merupakan salah satu refleksi dan
pemaknaan dari siapa yang menggunakan dan
tinggal dalam ruang tersebut. Rumah juga dapat
sebagai sebuah literature, puisi dan impian bagi
manusia dan salah satu tujuan hidup yang ingin
dicapai oleh manusia.
2.4 Rumah dan Kebutuhan Aksesibilitas bagi
Difabel
Rumah adalah sebuah tempat/place khusus
untuk psikologis/spiritual dan fisiologis manusia.
Tidak hanya menampung berbagai aktivitas
sehari-hari tetapi juga merefleksikan pengalaman
dan aspirasi manusia. Rumah menampung dan
mendukung setiap aktivitas manusia termasuk
makan, tidur, membesarkan anak, dan sebagai
hiburan. Sehingga desain sebuah rumah tinggal
seharusnya menyediakan kualitas ruang yang
sesuai dengan pengguna-nya (Davis dan Lopez,
2006). Rancangan sebuah rumah tinggal harus
sesuai dengan kebutuhan penghuni, tidak
terkecuali bagi penghuni difabel yang ingin
melakukan
aktivitas-aktivitas
yang
sama
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Pendekatan desain rumah tinggal bagi difabel
pada intinya adalah bagaimana mendesain
sebuah rumah tinggal yang memiliki ruang-ruang
yang dapat mengakomodasi kebutuhan spesifik
difabel untuk dapat mengakses setiap ruang
yang disediakan.
Pada dasarnya desain rumah tinggal yang
berkelanjutan telah berkembang pesat di dunia
internasional. Beberapa konsep rumah tinggal
berkelanjutan bertujuan untuk memberikan suatu
konsep rumah tinggal yang dapat mencakup
segala aktivitas dengan perubahan kondisi dan
kebutuhan penghuni terutama bagi para lanjut
usia yang semakin meningkat populasinya di
negara-negara maju. Konsep rumah tinggal
berkelanjutan memiliki beberapa istilah yang
diantaranya adalah rumah untuk selamanya
(lifetime homes), rumah fleksibel (flexible house),
rumah akses (accessible house), dan lain
sebagainya.

2.4.1 Rumah sepanjang masa (lifetime


homes) dan rumah fleksibel (flexible
house)
Lifetime homes merupakan sebuah konsep
desain rumah tinggal yang dikembangkan
pertama kali dalam studi untuk Joseph Rowntree
Foundation pada tahun 1991 (Pickard, 2002).
Tujuan
dari
studi
ini
adalah
untuk
mengembangkan layout rumah tinggal yang
fleksibel, adaptif, akses, dan dapat memenuhi
berbagai kebutuhan dari sebuah keluarga dari
anak-anak sampai dengan orangtua ataupun
difabel. Menurut Goodbridge (2006), konsep
lifetime homes juga meliputi sebuah cara yang
efektif untuk menyediakan rumah tinggal yang
fleksibel, nyaman, dan layak sseiring dengan
perubahan kebutuhan.
Beberapa
konsep
desain
rumah
berkelanjutan/rumah fleksibel bagi difabel dan
lansia dalam Research Highlight (2007), antara
lain:

Pintu;
sebuah
rumah
fleksibel
diusahakan memiliki pintu sesedikit
mungkin dengan ukuran lebar paling
tidak 865 mm, dengan bukaan yang
bersih (tanpa halangan) dan pegangan
pintu mudah diraih.

Tangga; setidaknya memiliki lebar 1


meter dengan kedalaman lebar pijakan
minimum 280 mm dan maksimum tinggi
pijakan 180 mm. Pegangan tangga
harus mudah diraih dan dipegang
dengan pencahayaan yang cukup (100
lux).

Jendela; mudah dibuka, ditutup dan


dikunci. Ketinggian tidak lebih dari 1,2
meter
dibawah
lantai.
Penutup
jendela/pengunci jendela tidak boleh
lebih dari 270 mm dan memiliki jarak
pandang yang cukup bagi pengamat
walaupun dalam posisi duduk.

Dinding dan lantai; pemilihan bahan


material dinding sangat dipengaruhi oleh
kebutuhan dan kondisi iklim. Dalam
desain rumah tinggal fleksibel, struktur
yang digunakan adalah structural
reinforcement of walls. Hal ini juga
berlaku pada lantai, penentuan material
untuk lantai sangat dipengaruhi oleh
biaya, iklim, dan kebutuhan. Jenis
material yang sering digunakan adalah
kayu dan keramik yang tidak licin.

Sistem elektrik; perencanaan sistem


listrik dan elektrik sangat penting
terutama pada penempatan saklar dan
pengontrol untuk alat-alat elektronik.
Kebutuhan akan pencahayaan juga
sangat diperhitungkan terutama bagi
penghuni yang memiliki kekurangan
ataupun penurunan kemampuan dan
jarak pandang.
2.4.2 Assisted living
Assisted living merupakan konsep lain dari
rumah tinggal akses yang berada dalam lingkup
konsep rumah bersama seperti apartemen atau

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009


ISBN No.

rumah susun (Regnier, 2002). Konsep ini


bertujuan untuk mendesain sebuah tempat
tinggal yang memiliki rasa/sense seperti rumah
tinggal/home yang menyediakan lingkungan fisik
yang nyaman dan memuaskan bagi difabel
ataupun lansia. Desain assisted living
memungkinkan dan memberikan peluang besar
bagi penghuni difabel atau lansia untuk dapat
hidup mandiri dan merasa puas dalam sebuah
setting yang mendukung mereka secara fisik,
emosional, kebutuhan kesehatan, dan lain
sebagainya.
Dalam Regnier (2002), terdapat beberapa poin
penting untuk mendesain assisted living, antara
lain:

Menampilkan karakter rumah tinggal.


Assisted living harus mencirikan dan
menampilkan sebagai sebuah rumah
tinggal. Hal ini akan memberikan
pemaknaan dan persepsi berbeda bagi
difabel dan lansia untuk merasa nyaman
tinggal dalam lingkungan baru mereka.
Penghuni dapat mengeksplorasi tempat
tinggalnya melalui penggunaan warna,
material, konfiguras, detail desain
bangunan sampai dengan penataan
interior.

Dilihat/diterima dalam ukuran kecil.


Karena assisted living berupa sebuah
unit ruang kecil dengan berbagai
perlengkapannya, maka dengan ukuran
yang sedemikian rupa desain tempat
tinggal ini tetap harus memperhatikan
kebutuhan penghuni. Tentu saja ukuran
minimum dilihat dalam skala efisiensi
ekonomi akan bervariasi tergantung
pada wilayah, negara, dan konteks
urban.

Menyediakan privasi dan kekomplitan.


Privasi
dan
kekomplitan
sebuah
assisted living dapat dihadirkan sengan
menyediakan kamar mandi dan dapur
pribadi di setiap unitnya. Privasi juga
dapat dicapai dengan memberikan
keleluasaan
penghuni
untuk
menerapkan aturan-aturannya sendiri
dalam menentukan privasi yang mereka
inginkan.

Mengenali keunikan penghuni


Setiap penghuni yang memasuki dan
tinggal di assisted living, hidup dalam
keunikannya
sendiri-sendiri.
Setiap
penghuni pasti memiliki pengalamanpengalamannya sendiri yang kemudian
dikembangkan
dan
menurunkan
keahlian, ketertarikan dan nilai-nilai
melalui
akuisi
dari
pengetahuan
personal.

Mendukung
kemandirian,
saling
tergantung dan individualis
Bertempat tinggal di lingkungan assisted
living, mendukung penghuni untuk bisa
hidup mandiri, dapat saling bergantung
antar penghuni yang pada akhirnya
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi kepada komunitasnya dan

memperkuat identitas serta perilaku


yang dapat digunakan sebagai subyek
terapi dan membantu penghuni lainnya.
Mendukung keterlibatan keluarga
Dengan tinggal di lingkungan assisted
living,
penghuni
masih
dapat
berhubungan dengan keluarga dan
relasi-nya dan juga memungkinkan
mereka
untuk
berpartisipasi
dan
mendukung penghuni yang lain.
Memperkuat
hubungan
dengan
komunitas sekeliling.
Salah satu cara yang dapat dilakukan
agar sebuah lingkungan assisted living
tidak
eksklusif
adalah
dengan
mendesain lingkungan tersebut yang
masih terkait dengan lingkungan
sekitarnya
termasuk
memberikan
kemudahan akses terhadap pusat
keagamaan, perpustakaan, sekolah,
taman umum, dan lain sebagainya.

Pada
dasarnya,
konsep
assisted
living
merupakan konsep baru yang menyediakan
sebuah tempat tinggal massal atau bersama
yang didesain sedemikian rupa untuk memenuhi
segala kebutuhan difabel dan lansia dan dapat
meningkatkan kualitas diri untuk hidup mandiri.
2.5 Rumah Tinggal Akses di Indonesia
Dari semua konsep rumah akses bagi difabel dan
lansia khususnya, tentu saja memerlukan desain
rumah tinggal yang kompleks, terperinci, dengan
biaya yang tidak murah. Rumah akses memang
akan membutuhkan dana yang besar karena
kekompleksan kebutuhan peralatan ataupun
lahan yang dapat mengakomodasi penghuni
difabel atau lansia agar dapat beraktivitas
maksimal.
Faktor
inilah
yang
sangat
mempengaruhi kurang berkembangnya dan
disosialisasikannya desain rumah tinggal akses
di Indonesia dan hanya kalangan tertentu yang
dapat menyediakan desain rumah akses.
Kondisi diatas mengakibatkan di Indonesia belum
ada aturan tertentu dan memiliki kekuatan hukum
yang mengikat perancang dalam penyediaan
rumah akses. Hal ini akan sangat berpengaruh
pada penyediaan rumah tinggal terutama dari
hasil produksi masal, rumah bantuan untuk
bencana, rumah susun, dan lain sebagainya
yang kurang memperhatikan peluang difabel
dalam mengakses perumahan dan permukiman
yang layak. Faktor lain yang menghambat proses
sosialisasi rumah akses adalah berbagai
informasi tentang persyaratan, ketentuan dan
kriteria rancangan rumah tinggal bagi difabel sulit
untuk dicapai dan diperoleh difabel.
Namun, terdapat peraturan terpisah mengenai
persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas dan
telah tercantum pada Peraturan Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor
30/PRT/M/2006
Tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan
Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan
Lingkungan. Dalam peraturan ini mencakup
beberapa persyaratan teknik fasilitas dan

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009


ISBN No.

aksesibilitas yang meliputi: ukuran dasar ruang,


jalur pedestrian, jalur pemandu, area parkir,
pintu, ram, tangga, lift, lift tangga, toilet,
pancuran, wastafel, telepon, perlengkapan dan
peralatan kontrol, perabot, rambu dan marks.

Sistem
Aktivitas,
Makna
dan
Penggunaan Ruang Rumah Tinggal

Memahami dan mempelajari makna dan


penggunaan ruang terutama dalam sebuah
setting seperti rumah tinggal perlu didahului
identifikasi aktivitas yang harus dibongkar. Dalam
Rapoport (2005), terdapat empat komponen
penting dari aktivitas yang perlu dibongkar, yaitu
(a) aktivitas itu sendiri, (b) bagaimana aktivitas
tersebut dilakukan/dijalankan, (c) bagaimana
aktivitas tersebut dikaitkan dengan aktivitas lain
untuk membentuk sistem aktivitas, (e) makna dari
aktivitas itu sendiri. Point pertama (a) bersifat
instrumental/manifestasi, dan yang terakhir (e)
bersifat laten atau sebagai aspek laten. Dari poin
pertama (a) sampai ke poin akhir (e), akan
menentukan tingkat variabilitas dari aktivitas itu
sendiri yang akan berbeda berdasarkan
perbedaan setting dan tempat, grup pengguna,
dan fenomena perilaku sosial yang ketiganya
berhubungan dengan budaya.
Rapoport dalam Kent-ed (1997) menjelaskan
bahwa penggunan ruang dan makna dapat
dipahami dengan melihat sistem aktvitas dan
sistem setting. Sebuah setting aktivitas dapat
berubah menjadi setting aktivitas lain dengan
cara melakukan perubahan elemen-elemen
pembatas yang telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya. Sedangnkan makna sendiri
adalah sebuah aspek laten utama dari aktivitas.
Dengan adanya variabilitas tinggi aspek laten ini
maka akan mengarah pada variasi setting dari
aktivitas-aktivitas tersebut dan dari sistem setting
untuk sistem aktivitas. Karena makna
merupakan aspek laten tertinggi, maka makna
bukan merupakan sesuatu yang ditambahkan ke
dalam fungsi, tetapi makna itulah yang
merupakan fungsi terpenting untuk merasakan
bentukan-bentukan
dari
lingkungan
yang
merespon fungsi (Rapoport, 2005). Sehingga
makna
sebagai
aspek
laten
dapat
mempengaruhi variabilitas setting dan aktivitas
sebagai contoh adalah variasi tipe rumah tinggal.

Makna dan Penggunaan Ruang


Rumah Tinggal dalam konteks sosial
budaya difabel.

Dalam penelitian sebelumnya (hayati, 2008a dan


2008b), di Surabaya sebagian difabel tinggal
mandiri ataupun bersama dengan keluarganya di
rumah tinggal yang layak dan sebagian lainnya
hanya bisa tinggal di lingkungan rumah kos
dengan fasilitas terbatas dan tidak layak.
Perbedaan kondisi ini diakibatkan dari tingkat
ekonomi yang rendah bagi sebagian difabel yang
tinggal di kota urban. Penggunaan dan
pemaknaan ruang rumah tinggal juga akan
sangat dipengaruhi oleh faktor diatas disamping
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lainnya
seperti halnya budaya sebagai konteks.
Dari perbedaan setting rumah tinggal, terdapat
beberapa rumusan yang dapat di ambil dari
penelitian sebelumnya (Hayati, 2008a dan 200b).
Difabel yang hidup baik di lingkungan rumah kos
ataupun rumah tinggal individu cenderung
memiliki tingkat privasi yang rendah dan
cenderung membatasi ruang geraknya dengan
elemen-elemen pembatas semi-permanen/semifixed-feature elements, seperti perabot, gorden,
ataupun hanya sebatas meletakkan karpet
sebagai batas sebuah setting aktivitas ataupun
hanya
elemen-elemen
non
permanen.
Penyelesaian ini dilakukan karena difabel
membutuhkan ruang gerak yang fleksibel dalam
penggunaan setiap ruang tanpa memperluas
ruang tersebut yang akan membutuhkan biaya
yang banyak.
Semakin kecil ruang gerak untuk beraktivitas dan
penggunaan ruang maka semakin elemenelemen non permanen diterapkan. Sebagai
contoh adalah salah satu responden difabel yang
tinggal di dua ruang kos berukuran 5,5 m,
bersama dengan ke-tiga anggota keluarganya.
Responden tersebut menyatakan bahwa ruang
kos yang saat ini dia diami adalah sebuah
rumah bagi keluarganya hanya sebatas tempat
untuk melepas lelah, tidur, dan makan yang
cukup nyaman walaupun dengan kondisi yang
kurang layak. Pemaknaan dalam penggunaan
ruang rumah tinggal ini berdasarkan kebutuhan
akan sebuah tempat tinggal dalam kondisi
ekstrim/kondisi ekonomi yang kurang mampu.
Namun, dari kondisi ini responden masih dapat
menggunakan dan beraktivitas secara maksimal
karena unsur penting dari kelengkapan sebuah
rumah tinggal tersedia dan mudah dijangkau
yaitu kamar mandi dan dapur.
Dari responden baik yang tinggal di lingkungan
ruang kos ataupun di rumah tinggal pribadi samasama menyatakan bahwa ruang terpenting
adalah kamar mandi dan dapur yang dapat
diakses dengan mudah oleh difabel. Ke dua
ruang tersebut sangat penting karena menjadi
pusat dari kebutuhan
primer bagi difabel
disamping ruang-ruang yang lainnya seperti
ruang tidur, ruang keluarga, dan lain-lain. Hal ini
sesuai dengan konsep assisted living dalam

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009


ISBN No.

Regnier (2002) dimana penyediaan dapur dan


kamar mandi pribadi sangat penting bagi difabel.
Pemaknaan dan penggunaan ruang dari sudut
pandang difabel yang tinggal di ruang kos dan
yang tinggal di rumah pribadi cukup berbeda.
Bagi difabel yang tinggal di ruang kos, memaknai
rumah tinggalnya hanya sebagai satu solusi
untuk
memenuhi
kebutuhan
berlindung
sementara
dan
bersosialisasi
dengan
lingkungannya. Faktor kedekatan dengan lokasi
kerja
menjadi
faktor
utama
dalam
mempertahankan hidup di lingkungan yang
ekstrim dan tidak layak. Sedangkan bagi difabel
yang
menghuni
rumah
tinggal
pribadi
menyatakan bahwa rumah adalah inti dari segala
aktivitas rumah tangga dan sebagai manifestasi
diri terhadap lingkungannya. Penentuan lokasi
rumah dengan kedekatan tempat kerja tidak
terlalu berpengaruh dalam penentuan rumah
tinggal tersebut berada.

Kesimpulan

Mempelajari hubungan antara budaya dan


lingkungan merupakan hal yang kompleks dan
melibatkan berbagai aspek. Salah satunya
adalah grup penguna yang akan menentukan
lingkungan binaan (setting) sesuai dengan
keinginan dan kebutuhannya. Rumah tinggal
adalah salah satu unit lingkungan binaan terkecil
yang memiliki kompleksitas sistem aktivitas dan
sistem setting karena didalamnya melibatkan dan
berhubungan dengan setting dan tempat, grupgrup pengguna, dan fenomena perilaku sosial
yang ke tiga aspek tersebut dipelajari dalam studi
perilaku lingkungan (EBR).
Difabel sebagai salah satu grup pengguna,
memiliki dan menentukan setting-nya sendiri
dalam menggunakan dan memaknai ruang
rumah tinggal disamping berdasarkan aktivitas
apa yang dilakukan tetapi juga melibatkan aspek
kebutuhan aksesibilitas, privasi, sosial ekonomi,
dan lokasi. Dari perbedaan aspek-aspek ini maka
terdapat perbedaan pemaknaan dan penggunaan
ruang rumah tinggal dari sudut pandang difabel
dalam konteks budaya.

7. Pustaka
Altman, Irwin dan Chemers, Martin (1980)
Culture and Environment. Brooks/Cole
Publishing Company, California.
Cooper, Clare (1974) The House as Symbol of
the Self dalam Lang, Jon; Burnette, C;
Moleski, W; dan Vachon, D(1974) Designing
for Human Behavior: Architecture and the
Behavioral Sciences. Dowden, Hutchinson
& Ross, Inc. Pennsylvania.
Davies, Thomas dan Lopez, Carol Peredo (2006)
Accessible Home Design. Architectural
Solutions for the Wheelchair User. Library of
Congress Catalogin-in-Publication Data. US
Egelius, Mats (1980) Housing and Human Needs:
the work of Ralph Erskine dalam Mikellides,
Byron ed (1980) Architecture for People.
Exploration in a new humane environment.
A Studio Vista book. New York

Hayati, Arina; Jere, Wong.Annette; Faqih, M


(2008a) Adequate Human Settlement and
Housing for Low-income Disabled People in
Surabayas Kampung. Shelter Design and
Development 242b. Advanced International
Training Programme 2007-2008. SIDA.
Housing Development and Management.
Department of Architecture. Lund University.
Sweden.
Hayati, Arina; Faqih,Muhammad (2008b) The
Use of Space Rumah Tinggal di
Permukiman Kampung Kota dalam
Perspektif Sosial Budaya Difabel.
Dalam
Proseding
Seminar
Nasional
Pascasarjana VIII 2008: Mengembangkan
Research University Melalui Peningkatan
Kualitas Penelitian Pascasarjana. Program
Pascasarjana ITS Surabaya. Volume II.
ISBN 978-979-96565-4-4.
Hayati, Arina; Faqih, Muhammad; Kellett, Peter
(2009) Disability and Their Prospects in
Urban Settlement and Its Development.
Annual Meeting of The Alliance for Global
Sustainability (AGS) and Student Summit
for Sustainability (S3) - Urban Future: The
Challenge of Sustainability ETH Zurich,
Switzerland (Poster Presentation).
Kent, Susan (1997) Activity Area and
Architecture: an Interdiciplinary View of the
Relationship Between Use of Space and
Domestic Built Environments dalam Kent,
Susan (ed) Domestic Architecture and The
Use of Space. An interdisciplinary crosscultural study. Cambridge University Press.
UK
Lang, Jon (1987) Creating Architectural Theory.
Van Nostrand Reinhold. New York
Rapoport, Amos (1969) House Form and Culture.
Prentice-Hall Inc. New Jersey. US
Rapoport, Amos (2005) Culture, Architecture, and
Design.
Locke
Science
Publishing
Company, Inc. USA
Regnier, Victor (2002) Design for Assisted Living
Guidelines for Housing the Physically and
Mentally Frail. John Wiley & Sons, New
York

Anda mungkin juga menyukai