ISBN No.
1*
Arina_hayati@hotmail.com
Jurusan Arsitektur, FTSP, ITS2
faqih@its.arch.ac.id
Abstrak
Rumah tinggal merupakan awal dan pusat dari segala kegiatan dan aktivitas manusia
dalam berkehidupan sehari-hari. Penggunaan setiap ruang sebuah rumah tinggal akan
memberikan makna tertentu terhadap rumah tersebut, dan dalam waktu yang sama makna
akan menuntun manusia bagaimana rumah tersebut digunakan dan dihuni (Arias, 1993).
Makna sebuah rumah tinggal tidak akan lepas dari image dan kebutuhan dari
penghuninya, terutama bagi penghuni yang memiliki kebutuhan khusus seperti para difabel
dan lansia. Aksesibilitas merupakan salah satu faktor penting dalam proses penggunaan
ruang rumah tinggal terutama bagi difabel. Dari proses tersebut, maka para difabel
memberikan pemaknaan tersendiri terhadap keberadaan sebuah rumah tinggal.
Di Surabaya, faktor ekonomi dan sosial sangat mempengaruhi kehidupan difabel untuk
bisa hidup mandiri dalam lingkungannya. Banyak diantaranya, para difabel masih sulit atau
belum secara maksimal mencapai kebutuhan rumah tinggal layak yang sesuai dengan
kebutuhan dan keinginannya. Sehingga, banyak diantara para difabel yang hidup tidak
berkecukupan dan tinggal di lingkungan permukiman yang tidak layak.
Paper ini menjelaskan kebutuhan aksesibilitas pada rumah tinggal bagi difabel dalam
konteks sosial budaya dan bagaimana hubungan penggunaan ruang dan makna rumah
tinggal dalam konteks sosial budaya dan grup penghuni (difabel). Kualitas sebuah rumah
tinggal tidak akan bersifat universal karena adanya variasi sosial budaya (Altman, 1993),
tetapi juga akan menunjukkan bahwa grup penghuni (difabel) akan sangat menentukan
arti/makna sebuah rumah tinggal dalam kehidupannya.
Katakunci: difabel, makna dan penggunaan ruang, kampung urban, rumah tinggal, sosialbudaya
Abstract
Home is the beginning and the main place where people do their daily activities. The
use of space of house will give its meaning and on the same time it will guide people to use
the house and live within it (Arias, 1993). The meaning of house not only influences the
people needs of housing but also influences housing image from user groups perspective.
Different user groupd will determine how people use and modify the house depending on
their needs and wants, especially for disabled people and elderly. Accessibility is the main
factor to determine how disabled people could use and organize their house that could fit on
their needs and their mobilitys limitation. From this availability process of accessibility, we
could examine how disabled people give their perspective to the meaning of house.
In Surabaya, some of disabled people live independently, while the other could not
provide their better living since they have a limitation access to economic and public facilities
to live independently. Those limitation will lead the disabled people lived in inappropriately
life and meet their daily life within poverty. This paper explained the realtion of housing to
accessibility needs and how does disabled people give their meaning to their house within
their socio-culture and needs since the qualities of house is not universal because of socioculture variations (Altman. 1993).
Keywords: difabel, housing, meaning and use of space, socio-culture, urban kampong
1.
Pendahuluan
Rumah tinggal adalah unit terkecil dari dari
hasil hubungan interaksi antara manusia
dan lingkungannya. Bagaimana rumah
terbentuk dan dibangun bergantung pada
keinginan dan kebutuhan manusia. Rumah
adalah kebutuhan universal bagi manusia,
namun keinginan dan kebutuhan manusia
akan bervariasi dan berbeda sesuai dengan
konteks wilayah dan
budaya
yang
melingkupinya. Walaupun rumah tinggal
kurang dianggap sebagai kebutuhan kritis
dalam proses bertahan hidup (dibandingkan
dengan kebutuhan makan), namun rumah
merupakan
tempat
dimana
manusia
berkarya, beraktivitas, bersosialisasi, dan
untuk
dapat
bertahan
hidup
di
lingkungannya.
Permintaan
kebutuhan
rumah di kota urban akan semakin tinggi
dan kompleks karena banyak faktor yang
mempengaruhi. Salah satunya adalah akibat
meningkatnya urbanisasi yang berdampak
pada peningkatan jumlah penduduk. Di
Surabaya, dampak dari pertumbuhan
urbanisasi
menimbulkan
berbagai
permasalahan perumahan dan permukiman
yang
membutuhkan
penanganan
secepatnya. Pengadaan dan perbaikan
lingkungan perumahan dan permukiman
telah dilakukan oleh pemerintah kota
dengan adanya berbagai program bantuan,
salah satunya adalah KIP Komprehensif.
Program-program tersebut pada dasarnya
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
untuk
mendapatkan lingkungan perumahan dan
permukiman yang layak sesuai dengan
pencanangan MDGs oleh PBB. Pada tahun
2000, The Millenium Development Goals
(MDGs) dicanangkan sebagai kerangka
kerja yang terdiri dari 8 tujuan, 16 target,
dan 48 indikator untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia dengan menurunkan
tingkat kemiskinan serta memperbaiki dan
meningkatkan kualitas hidup. Tujuan MDG
1, target 1 adalah antara tahun 1990 dan
2015, setengah dari penduduk dunia dapat
memiliki pendapatan kurang dari 1 (satu)
dolar per-hari. Sedangkan pada tujuan MDG
7, target 11 adalah meningkatkan secara
signifikan tingkat kehidupan dari 100 juta
penghuni di lingkungan kumuh sampai
dengan tahun 2020. Dengan adanya
kerangka kerja tersebut, maka perlu
dilakukan langkah-langkah untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan manusia dan
memperbaiki kualitas hidup terutama bagi
masyarakat
yang
berpenghasilan
rendah/miskin.
Dari
beberapa
program
perbaikan
lingkungan perumahan dan permukiman,
pemerintah masih kurang memperhatikan
adanya difabel dan lansia sebagai salah
satu grup pengguna yang membutuhkan
hak dan partisipasi yang sama dalam
mendapatkan perumahan dan permukiman
yang layak. Pada dasarnya kecacatan dan
kemiskinan memiliki hubungan sebab
akibat.
Seseorang
yang
memiliki
kecacatan/difabel
memungkinkan
dia
memiliki keterbatasan dalam mengakses
segala fasilitas umum, prasarana dan
sarana lingkungan, informasi, pendidikan,
sampai dengan peluang kerja. Adanya
keterbatasan
aksesibilitas
terhadap
berbagai fasilitas tersebut memungkinkan
sebagian besar difabel hidup dalam kondisi
yang kurang mampu sampai dengan hidup
dalam garis kemiskinan. Banyak diantara
difabel saat ini belum bisa mandiri dan
tinggal dengan sanak keluarga, sedangkan
sebagian kecil dari mereka sudah bisa hidup
mandiri dengan
segala
keterbatasan
ataupun kelebihan yang ada.
Hak mendapatkan rumah yang layak tidak
hanya terbatas pada kelompok tertentu,
tetapi bagi setiap lapisan masyarakat
termasuk para difabel dan lansia. Difabel
sebagai salah satu grup pengguna yang
rentan akan kemiskinan juga memiliki hak
untuk mengakses dan memiliki rumah layak
huni, aksesibel dan terjangkau. Namun, saat
ini kebutuhan akan rumah yang layak dan
aksesibel sangat sulit dijangkau oleh difabel
karena beberapa faktor termasuk faktor
kurangnya informasi dan keterbatasan
ekonomi. Hal inilah yang menyebabkan
adanya perbedaan dalam pemenuhan
kebutuhan yang mereka anggap akses dan
layak sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi
dan budaya yang melingkupinya (Hayati,
2008a, 2008b dan Hayati, 2009). Sehingga
berpengaruh
pada
pemaknaan
dan
penggunaan ruang rumah tinggal bagi
difabel akan berbeda sesuai dengan
konteks yang melingkupinya.
2.
Pintu;
sebuah
rumah
fleksibel
diusahakan memiliki pintu sesedikit
mungkin dengan ukuran lebar paling
tidak 865 mm, dengan bukaan yang
bersih (tanpa halangan) dan pegangan
pintu mudah diraih.
Mendukung
kemandirian,
saling
tergantung dan individualis
Bertempat tinggal di lingkungan assisted
living, mendukung penghuni untuk bisa
hidup mandiri, dapat saling bergantung
antar penghuni yang pada akhirnya
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi kepada komunitasnya dan
Pada
dasarnya,
konsep
assisted
living
merupakan konsep baru yang menyediakan
sebuah tempat tinggal massal atau bersama
yang didesain sedemikian rupa untuk memenuhi
segala kebutuhan difabel dan lansia dan dapat
meningkatkan kualitas diri untuk hidup mandiri.
2.5 Rumah Tinggal Akses di Indonesia
Dari semua konsep rumah akses bagi difabel dan
lansia khususnya, tentu saja memerlukan desain
rumah tinggal yang kompleks, terperinci, dengan
biaya yang tidak murah. Rumah akses memang
akan membutuhkan dana yang besar karena
kekompleksan kebutuhan peralatan ataupun
lahan yang dapat mengakomodasi penghuni
difabel atau lansia agar dapat beraktivitas
maksimal.
Faktor
inilah
yang
sangat
mempengaruhi kurang berkembangnya dan
disosialisasikannya desain rumah tinggal akses
di Indonesia dan hanya kalangan tertentu yang
dapat menyediakan desain rumah akses.
Kondisi diatas mengakibatkan di Indonesia belum
ada aturan tertentu dan memiliki kekuatan hukum
yang mengikat perancang dalam penyediaan
rumah akses. Hal ini akan sangat berpengaruh
pada penyediaan rumah tinggal terutama dari
hasil produksi masal, rumah bantuan untuk
bencana, rumah susun, dan lain sebagainya
yang kurang memperhatikan peluang difabel
dalam mengakses perumahan dan permukiman
yang layak. Faktor lain yang menghambat proses
sosialisasi rumah akses adalah berbagai
informasi tentang persyaratan, ketentuan dan
kriteria rancangan rumah tinggal bagi difabel sulit
untuk dicapai dan diperoleh difabel.
Namun, terdapat peraturan terpisah mengenai
persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas dan
telah tercantum pada Peraturan Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor
30/PRT/M/2006
Tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan
Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan
Lingkungan. Dalam peraturan ini mencakup
beberapa persyaratan teknik fasilitas dan
Sistem
Aktivitas,
Makna
dan
Penggunaan Ruang Rumah Tinggal
Kesimpulan
7. Pustaka
Altman, Irwin dan Chemers, Martin (1980)
Culture and Environment. Brooks/Cole
Publishing Company, California.
Cooper, Clare (1974) The House as Symbol of
the Self dalam Lang, Jon; Burnette, C;
Moleski, W; dan Vachon, D(1974) Designing
for Human Behavior: Architecture and the
Behavioral Sciences. Dowden, Hutchinson
& Ross, Inc. Pennsylvania.
Davies, Thomas dan Lopez, Carol Peredo (2006)
Accessible Home Design. Architectural
Solutions for the Wheelchair User. Library of
Congress Catalogin-in-Publication Data. US
Egelius, Mats (1980) Housing and Human Needs:
the work of Ralph Erskine dalam Mikellides,
Byron ed (1980) Architecture for People.
Exploration in a new humane environment.
A Studio Vista book. New York