ISBN No.
1*
Abstrak
KIP (Kampung Improvement Program) merupakan program perbaikan lingkungan kampung
di Kota Surabaya yang dilaksanakan sejak tahun 1969. Program tersebut merupakan salah
satu proyek perbaikan permukiman slum yang paling berhasil di negara sedang
berkembang pada periode tersebut. Kerja sama antara Pemerintah lokal, penduduk
Kampung, dan perguruan tinggi sebagai sumber pengetahuan dan pengalaman praktis
merupakan faktor kunci keberhasilan tersebut. Pengalaman berharga itu mendorong
pemerintah lokal untuk melanjutkan program tersebut dengan beberapa peningkatan dalam
aspek pemberdayaan, baik untuk penghuni Kampung maupun kelembagaannya. Program
yang menyusul tersebut diberi nama KIP-K (KIP-Komprehensif) dan dimulai sejak tahun
1998. Proyek terakhir dilaksanakan pada tahun 2007 dan sampai saat ini sedang
berlangsung.
Banyak penelitian dan studi evaluasi telah dilakukan dalam meneliti dan mengevaluasi KIP,
namun jarang sekali hal itu dilakukan untuk KIP-K. Penelitian ini bermaksud melakukan
evaluasi KIP-K, dengan fokus khusus pada nilai rumah, pemberdayaan dan keberlanjutan.
Namun untuk memfokuskan pembahasan, makalah ini hanya mengemukakan aspek
pemberdayaan (empowerment). Beberapa metoda penelitian digunakan dalam penelitian
ini, yaitu survey, observasi, dan diskusi kelompok terarah (Focussed Group Discussion).
Dalam aspek pemberdayaan, penelitian ini menyimpulkan bahwa KIP-K meningkatkan
aspek pemberdayaan bagi penduduk Kampung, namun pemberdayaan itu tidak terjadi pada
aspek kelembagaannya. Tingginya partisipasi penduduk dan kesadaran mereka untuk
mendukung KIP-K merupakan indikator pemberdayaan tersebut. Kurangnya dampak
pemberdayaan pada kelembagaan disebabkan oleh kurangnya keterampilan manajemen.
Program KIP-K yang akan datang seharusnya dititik beratkan pada keterampilan
manajemen dalam mengelola kelembagaan Kampung.
Katakunci: evaluasi, empowerment.
1. Pendahuluan
Menurut Silas dalam Global Report on Human
Settlement (1996),
kampung lebih tepat
dikatakan sebagai kawasan hunian yang bersifat
tradisional ketimbang kawasan hunian ilegal.
Kampung adalah a unique settlement dimana
merupakan hunian tradisional yang berkembang
seiring dengan pertumbuhan kota (Johan Silas,
1987). Namun, kampung memiliki kualitas hunian
yang cenderung rendah, mengingat kampung
memiliki pola perkembangan yang tidak terkontrol
dan tak terencana. Oleh karena itu program
perbaikan kampung selayaknya menjadi prioritas
utama khususnya di Kota Surabaya.
Keberhasilan KIP diantaranya adalah melayani
lebih dari 60% penduduk yang kebanyakan
kelompok berpendapatan rendah (1,2 juta jiwa
dengan luas kampung mencapai 3008 ha),
2.
3.
Variabel
Aspek Empowerment
Proses partisipasi dan
adanya keterlibatan dari
anggota
komunitas
(Laverack
dan
Wallerstein
(2001),
Somerville (1998)).
Faktor kelembagaan,
organisasi
yang
terstruktur
(organizational
structures)
(Laverack
dan Wallerstein (2001),
Dugan (2003)), serta
adanya
keterwakilan
masyarakat
dalam
organisasi
/
empowerment through
statue
(Somerville
(1998),
Marschal
(1998)).
Faktor
mobilisasi
(Laverack
dan
Wallerstein
(2001),
Somerville (1998)).
4.
Faktor
pendidikan/education
(Somerville
(1998),
Dugan (2003)).
5.
Faktor koordinasi,
(Ritzer (1998), Laverack
dan Wallerstein (2001),
Somerville
(1998),
Dugan (2003)).
Parameter
Intensitas keikutsertaan warga
dalam
pelaksanaan
KIP
Komprehensif.
1. Warga faham
terhadap
pelaksanaan KIP-K
2. Warga mampu mengambil
keputusan tentang masalah
di
kampungnya,
misal
terlibat dalam rapat.
3. kebersamaan
dan
kesadaran warga dalam
berpartisipasi
aktif
dan
berkonstribusi
dalam
pelaksanaan
Mencakup
operasionalisasi
kelembagaan
yang
ada,
diantaranya adalah Yayasan
Kampung dan Koperasi Serba
Usaha
Berupa
kegiatan
mengoptimalkan penggunaan
sumber daya yang dimiliki
komunitas
dalam
rangka
penguatan komunitas, dengan
indikator:
1. Tergalang sumber dana
yang dimanfaatkan baik
lokal (warga) maupun dari
luar.
2. Ada kelompok warga yang
secara
teratur
memanfaatkan
sumber
dana yang ada.
3. Dana dan sumber daya
yang
tergalang
terus
berkembang
Berupa
usaha
untuk
meningkatkan
pengetahuan
dan
adanya
proses
pembelajaran
keterampilan
guna
meningkatkan
kemampuan
komunitas.
Indikatornya adalah:
1. Terbentuk beragam usaha
warga
2. Mampu
mengembangkan
hasil usaha sampai keluar
kampung
3. Terbentuk keahlian dalam
berusaha, atau adanya
keahlian baru
Terjadi jaringan kerjasama
usaha kelompok warga.
Adanya
keterkaitan
atau
interaksi yang kuat baik dalam
hubungan
antar
individu,
individu dengan lembaga,
antar lembaga dan juga
koordinasi antar program yang
masih berkaitan/ link to other.
Indikatornya terdiri atas:
1. Koordinasi antar lembaga
Yayasan Kampung dan
koperasi
2. Koordinasi
masyarakat
No
6.
Variabel
Faktor
manajemen
program
(program
management)
(Laverack
dan
Wallerstein
(2001),
Marschal (1998)).
Parameter
dengan lembaga
3. Koordinasi lembaga dengan
instansi
lain
(tim
pendamping, Dinas Tata
Kota, dan lainnya)
Koordinasi
program
KIP
dengan
program
lainnya
(P2KP, NUSSP, RSDK).
Yaitu berupa kemampuan
dalam keterampilan mengelola
program berupa:
1. Usaha lembaga Yayasan
Kampung dan koperasi
dalam mengelola dana dan
program
secara
keseluruhan.
2. Usaha lembaga memotivasi
warga
3. Kemampuan pendamping
dalam
pelaksanaan
program
Pelaporan dan penyediaan
informasi
terkait
dengan
program KIP-K.
4. Kesimpulan
Kinerja
pada
aspek
sustainability
tidak
berpengaruh secara signifikan pada kinerja KIPK. Hal ini dikarenakan kondisi di kelurahan yang
berhasil dan kurang berhasil memiliki kinerja
yang sama. Untuk aspek sustainability diketahui
bahwa prasarana dan sarana yang diperbaiki
selama program KIP-K cukup terawat, walaupun
5. Pustaka
Dhakal,