Anda di halaman 1dari 8

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009

ISBN No.

Aspek Empowerment dan Sustainability dalam KIP (Kampung


Improvement Program) Komprehensif di Kota Surabaya

Ema Umilia *, Muhammad Faqih , Purwanita Setijanti

1*

Mahasiswa Pascasarjana Arsitektur ITS, Surabaya, Indonesia


ema_umilia@yahoo.co.id
2
Dosen Pascasarjana Arsitektur ITS, Surabaya, Indonesia
Dosen Pascasarjana Arsitektur ITS, Surabaya, Indonesia 3

Abstrak
KIP (Kampung Improvement Program) merupakan program perbaikan lingkungan kampung
di Kota Surabaya yang dilaksanakan sejak tahun 1969. Program tersebut merupakan salah
satu proyek perbaikan permukiman slum yang paling berhasil di negara sedang
berkembang pada periode tersebut. Kerja sama antara Pemerintah lokal, penduduk
Kampung, dan perguruan tinggi sebagai sumber pengetahuan dan pengalaman praktis
merupakan faktor kunci keberhasilan tersebut. Pengalaman berharga itu mendorong
pemerintah lokal untuk melanjutkan program tersebut dengan beberapa peningkatan dalam
aspek pemberdayaan, baik untuk penghuni Kampung maupun kelembagaannya. Program
yang menyusul tersebut diberi nama KIP-K (KIP-Komprehensif) dan dimulai sejak tahun
1998. Proyek terakhir dilaksanakan pada tahun 2007 dan sampai saat ini sedang
berlangsung.
Banyak penelitian dan studi evaluasi telah dilakukan dalam meneliti dan mengevaluasi KIP,
namun jarang sekali hal itu dilakukan untuk KIP-K. Penelitian ini bermaksud melakukan
evaluasi KIP-K, dengan fokus khusus pada nilai rumah, pemberdayaan dan keberlanjutan.
Namun untuk memfokuskan pembahasan, makalah ini hanya mengemukakan aspek
pemberdayaan (empowerment). Beberapa metoda penelitian digunakan dalam penelitian
ini, yaitu survey, observasi, dan diskusi kelompok terarah (Focussed Group Discussion).
Dalam aspek pemberdayaan, penelitian ini menyimpulkan bahwa KIP-K meningkatkan
aspek pemberdayaan bagi penduduk Kampung, namun pemberdayaan itu tidak terjadi pada
aspek kelembagaannya. Tingginya partisipasi penduduk dan kesadaran mereka untuk
mendukung KIP-K merupakan indikator pemberdayaan tersebut. Kurangnya dampak
pemberdayaan pada kelembagaan disebabkan oleh kurangnya keterampilan manajemen.
Program KIP-K yang akan datang seharusnya dititik beratkan pada keterampilan
manajemen dalam mengelola kelembagaan Kampung.
Katakunci: evaluasi, empowerment.

1. Pendahuluan
Menurut Silas dalam Global Report on Human
Settlement (1996),
kampung lebih tepat
dikatakan sebagai kawasan hunian yang bersifat
tradisional ketimbang kawasan hunian ilegal.
Kampung adalah a unique settlement dimana
merupakan hunian tradisional yang berkembang
seiring dengan pertumbuhan kota (Johan Silas,
1987). Namun, kampung memiliki kualitas hunian
yang cenderung rendah, mengingat kampung
memiliki pola perkembangan yang tidak terkontrol
dan tak terencana. Oleh karena itu program
perbaikan kampung selayaknya menjadi prioritas
utama khususnya di Kota Surabaya.
Keberhasilan KIP diantaranya adalah melayani
lebih dari 60% penduduk yang kebanyakan
kelompok berpendapatan rendah (1,2 juta jiwa
dengan luas kampung mencapai 3008 ha),

melalui perbaikan jalan sepanjang 220 km,


pembuatan drainase sepanjang 93 km, 56000 m
pipa air, 86 mandi-cuci-kakus (MCK), perbaikan
sekolah dan sarana kesehatan. Berdasarkan
hasil yang didapatkan, KIP meraih The Aga Khan
Award for Architecture,1986, UNEP Award,1990,
dan The Habitat Award,1991. Bahkan program
KIP menjadi KIP-K (Kampung Improvement
Program-Komprehensif) yang dijalankan secara
rutin pada tiap tahunnya yaitu dari tahun 1998
hingga tahun 2007.
Untuk
selanjutnya,
komponen-komponen
program pada KIP-K lebih beragam, yaitu berupa
perbaikan fisik, pengembangan sumber daya
manusia dan pengembangan usaha kecil
menengah. Penambahan komponen tersebut
didasarkan atas pemenuhan kebutuhan utama
bagi masyarakat kampung di samping kondisi
huniannya yang layak. Sehingga value of

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009


ISBN No.

housing dari kampung sendiri akan meningkat.


Nilai sebuah rumah, seperti yang disarikan dari
Turner (1976) dalam housing by people, tidak
hanya berkaitan dengan fisik bangunan serta
penyediaan prasarananya saja tetapi juga terkait
dengan fungsi rumah sebagai penunjang
kehidupan sehingga penghuninya dapat memiliki
motivasi dan harapan untuk kehidupan yang lebih
baik (tinjauan rumah dipandang sebagai
noun/what it is, dan rumah sebagai kata
kerja/what is does).
Di samping berbagai keunggulan-keunggulannya,
KIP atau yang telah disempurnakan menjadi KIPK
memiliki
beberapa
kendala
dalam
pelaksanaannya. Permasalahan-permasalahan
yang terjadi diantaranya terkait dengan
kelembagaan, proses pelibatan dan pengambilan
keputusan, serta alokasi sumber daya manusia
(Dhakal, 2002 dan Silaban, 2003). Untuk
permasalahan kelembagaan terkait dengan
kurangnya kemampuan pemerintah lokal dalam
mengelola dana, dan kurangnya koordinasi
diantara instansi-instansi yang terkait dalam
implementasi
program.
Permasalahan
selanjutnya adalah terkait dengan kemampuan
untuk
memahami
keinginan
masyarakat
kampung (understanding the community), selain
itu terdapat masyarakat yang masih tidak
memiliki kesadaran (communities members are
not always good people), dan proses
pengambilan keputusan yang sangat sulit
(Dhakal, 2002 dan Silaban, 2003).
Kemudian
permasalahan
lainnya
adalah
kurangnya sumberdaya manusia yaitu baik
kualitas dan kapasitas dari sumber daya manusia
dari semua komponen stakeholder belum
memadai.
Dengan
berbagai
permasalahan-permasalahan tersebut, maka
perlu dilakukan suatu usaha yang bertujuan
untuk memecahkan permasalahan yang ada.
Sehingga pelaksanaan KIP-K dapat berjalan
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai serta
memberikan manfaat bagi masyarakat yang
mendapatkan program ini.
Terkait dengan hal tersebut di atas, maka perlu
untuk melakukan kajian terhadap kinerja
pelaksanaan KIP-K, guna menentukan tingkat
keberhasilannya. Dalam mengkaji kinerja dan
tingkat keberhasilan KIP-K, maka perlu
ditentukan indikator pencapaiannya berdasarkan
konsep-konsep yang terkait dengan KIP-K.
Indikator pencapaian tersebut akan didasarkan
pada beberapa konsep yang nantinya akan dikaji
dalam penelitian ini. Konsep yang dikaji terkait
dengan
penguatan
masyarakat
melalui
peningkatan keterlibatan serta meningkatkan
peran
masyarakat
dalam
pengambilan
keputusan, konsep ini lebih dikenal dengan
empowerment.
Peningkatan
empowerment
(pemberdayaan) masyarakat sangat berpengaruh
terhadap kualitas hidup dalam bermukim dan
menjadi salah satu indikator keberhasilan suatu
program atau kebijakan. Empowerment sangat
penting untuk mendorong peningkatan standard
kehidupan
dan
berdampak
kepada
penanggulangan
kemiskinan
dan
kualitas
kesehatan. (Wilkinson dalam Laverack dan

Wallerstein (2001)). Ditegaskan pula dalam


Somerville (1998), resident empowerment is
worth pursuing not only for its own sake, but for
the benefit which it can bring to wider society,
sehingga seberapa besar manfaat yang diterima
masyarakat
dipengaruhi
seberapa
besar
tingkatan
empowerment
nya.
Sehingga
empowerment menjadi hal yang penting guna
mengukur keberhasilan KIP-K untuk mengukur
seberapa besar kesadaran, keterlibatan (tingkat
partisipasi), serta seberapa besar masyarakat
dapat lebih berdaya untuk mendukung
pelaksanaan KIP-K.
Sehingga tujuan dalam makalah ini adalah untuk
mengetahui tingkat keberhasilan KIP-K ditinjau
dari aspek empowerment dan sustainability.
Namun ruang lingkup kajian dalam pembahasan
berikutnya
akan
lebih
mengulas
aspek
empowerment saja, sebagai aspek utama kajian.

2. Metode yang diterapkan


2.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah
filsafat positivistik evaluation. Pendekatan ini
fokus pada komparasi antara tujuan dan sasaran
suatu program dengan pelaksanaan/hasil menilai
dampak/hasil dari suatu program. Proses
komparasi akan dilakukan melalui studi literatur
dan survai lapangan.
2.2 Tahapan Penelitian
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini
menggunakan teknik penyebaran kuesioner,
untuk itu diperlukan daftar pertanyaan atau
kuesioner sebagai bahan bagi pengumpulan
informasi dari responden. Dalam studi ini, daftar
pertanyaan disusun berdasarkan variabelvariabel yang dapat menilai kinerja program KIP
Komprehensif di Kota Surabaya.
Penilaian kinerja hanya dilakukan pada KIP-K
2006 saja. Pengambilan ini didasarkan atas
beberapa pertimbangan, yaitu kedekatan rentang
waktu, sehingga memungkinkan untuk dievaluasi
(para pelaku KIP-K diasumsikan masih memiliki
ingatan yang kuat terhadap proses berjalannya
program yang sudah berlalu). Selain itu
pertimbangan lainnya adalah hasil program
(kondisi fisik) masih memungkinkan untuk dinilai.
Pada KIP-K 2006 terdapat 9 kelurahan yaitu;
Kelurahan Ploso, Balongsari, Morokrembangan,
Bulak Banteng, Jagir, Kapasan, Kedurus,
Genting, dan Babat Jerawat.
Dan untuk menjaga ketajaman dan kedalaman
evaluasi, maka tidak semua dari ke 9 (sembilan)
kelurahan akan dilakukan kajian. Dan untuk
memudahkan proses penilaian maka akan
ditentukan 2 (dua) kelompok kelurahan yaitu
kelompok kelurahan yang dinilai berhasil dan
kelompok kelurahan yang kurang berhasil. Untuk
membatasi area studi guna kedalaman penilaian,
maka dari kesembilan kelurahan diatas akan
diambil 4 (empat) saja, yaitu 2 (dua) kelurahan
yang dinilai berhasil dan 2 (dua) kelurahan yang
dinilai kurang berhasil.
Penilaian dilakukan berdasarkan wawancara
dengan tim konsultan KIP-K 2006, dalam hal ini
diasumsikan bahwa tim konsultan merupakan

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009


ISBN No.

stakeholder atau pelaku yang paling berpengaruh


dan berkepentingan dalam pelaksanaan KIP-K
2006. Sehingga penilaian dari tim konsultan akan
dianggap paling obyektif, mengingat kedekatan
dan keterlibatanya secara langsung pada proses
perlaksanaan program KIP-K. Selain itu,
penilaian juga diperkuat dengan hasil observasi
lapangan guna penilaian pada kondisi saat ini
(pasca program).
Adapun hasil dari penilaian didapatkan 2
kelurahan yang dianggap berhasil dan 2
kelurahan yang dianggap kurang berhasil.
Kelurahan berhasil terdiri atas kelurahan Jagir
dan Kelurahan
Bulak Banteng. Sedangkan,
kelurahan kurang berhasil terdiri atas Kelurahan
Kapasan dan Kelurahan Genting.
Dari keempat kelurahan tersebut, maka dalam
proses penilaian kinerja KIP-K 2006 selanjutnya
akan dipilih responden yang terlibat, terkena
dampak maupun penerima program. Pada
masing-masing kelurahan akan diambil sampel
secara acak sebanyak 50 sampel untuk tiap
kelurahan. Hal ini didasarkan atas persyaratan
pengambilan
untuk
survey
pendahuluan
minimum sebanyak 30 responden, karena
diasumsikan pada jumlah tersebut, akan mudah
membentuk kurva normal (dalam perhitungan
statistik). Sehingga dengan jumlah 50 sampel
untuk masing-masing kelurahan diharapkan data
yang diambil cukup mewakili populasi.
Selanjutnya, untuk penilaian responden melalui
FGD (focussed group discussion), dengan
respondennya adalah sejumlah warga yang
terlibat dan sangat berpengaruh dalam program
KIP-K. Adapun yang masuk dalam kriteria adalah
perwakilan lembaga masyarakat (pengurus RT,
pengurus RW, pengurus Yayasan Kampung dan
pengurus Koperasi Serba Usaha). Berikut ini
adalah diagram proses analisis yang dilakukan.

Gambar 1. Bagan Analisis Kinerja KIP-K

2.3 Variabel Penelitian


Untuk melakukan evaluasi pada kinerja KIP-K.
Maka variabel-variabel yang digunakan terdiri
atas 2 (dua) aspek penting yaitu terkait dengan
aspek empowerment dan sustainability. Berikut
ini adalah variabel yang digunakan:
Tabel 1: Variabel Penelitian
No
1
.

2.

3.

Variabel
Aspek Empowerment
Proses partisipasi dan
adanya keterlibatan dari
anggota
komunitas
(Laverack
dan
Wallerstein
(2001),
Somerville (1998)).

Faktor kelembagaan,
organisasi
yang
terstruktur
(organizational
structures)
(Laverack
dan Wallerstein (2001),
Dugan (2003)), serta
adanya
keterwakilan
masyarakat
dalam
organisasi
/
empowerment through
statue
(Somerville
(1998),
Marschal
(1998)).
Faktor
mobilisasi
(Laverack
dan
Wallerstein
(2001),
Somerville (1998)).

4.

Faktor
pendidikan/education
(Somerville
(1998),
Dugan (2003)).

5.

Faktor koordinasi,
(Ritzer (1998), Laverack
dan Wallerstein (2001),
Somerville
(1998),
Dugan (2003)).

Parameter
Intensitas keikutsertaan warga
dalam
pelaksanaan
KIP
Komprehensif.
1. Warga faham
terhadap
pelaksanaan KIP-K
2. Warga mampu mengambil
keputusan tentang masalah
di
kampungnya,
misal
terlibat dalam rapat.
3. kebersamaan
dan
kesadaran warga dalam
berpartisipasi
aktif
dan
berkonstribusi
dalam
pelaksanaan
Mencakup
operasionalisasi
kelembagaan
yang
ada,
diantaranya adalah Yayasan
Kampung dan Koperasi Serba
Usaha

Berupa
kegiatan
mengoptimalkan penggunaan
sumber daya yang dimiliki
komunitas
dalam
rangka
penguatan komunitas, dengan
indikator:
1. Tergalang sumber dana
yang dimanfaatkan baik
lokal (warga) maupun dari
luar.
2. Ada kelompok warga yang
secara
teratur
memanfaatkan
sumber
dana yang ada.
3. Dana dan sumber daya
yang
tergalang
terus
berkembang
Berupa
usaha
untuk
meningkatkan
pengetahuan
dan
adanya
proses
pembelajaran
keterampilan
guna
meningkatkan
kemampuan
komunitas.
Indikatornya adalah:
1. Terbentuk beragam usaha
warga
2. Mampu
mengembangkan
hasil usaha sampai keluar
kampung
3. Terbentuk keahlian dalam
berusaha, atau adanya
keahlian baru
Terjadi jaringan kerjasama
usaha kelompok warga.
Adanya
keterkaitan
atau
interaksi yang kuat baik dalam
hubungan
antar
individu,
individu dengan lembaga,
antar lembaga dan juga
koordinasi antar program yang
masih berkaitan/ link to other.
Indikatornya terdiri atas:
1. Koordinasi antar lembaga
Yayasan Kampung dan
koperasi
2. Koordinasi
masyarakat

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009


ISBN No.

No

6.

Variabel

Faktor
manajemen
program
(program
management)
(Laverack
dan
Wallerstein
(2001),
Marschal (1998)).

Parameter
dengan lembaga
3. Koordinasi lembaga dengan
instansi
lain
(tim
pendamping, Dinas Tata
Kota, dan lainnya)
Koordinasi
program
KIP
dengan
program
lainnya
(P2KP, NUSSP, RSDK).
Yaitu berupa kemampuan
dalam keterampilan mengelola
program berupa:
1. Usaha lembaga Yayasan
Kampung dan koperasi
dalam mengelola dana dan
program
secara
keseluruhan.
2. Usaha lembaga memotivasi
warga
3. Kemampuan pendamping
dalam
pelaksanaan
program
Pelaporan dan penyediaan
informasi
terkait
dengan
program KIP-K.

sumber: kajian pustaka

3. Penilaian Keberhasilan KIP-K terkait


dengan Aspek Empowerment
Pada penilaian KIP-K, dilakukan melalui penilaian
tingkat signifikansi masing-masing variabel. Nilai
ini didapatkan dari analisis crosstab dari nilai
skoring kinerja di kelurahan berhasil yang
dibandingkan dengan kelurahan kurang berhasil.
Selanjutnya dilengkapi dengan evaluasi melalui
hasil FGD (focussed group discussion) untuk
penajaman masalah di tiap variabel-variabel yang
signifikan terhadap keberhasilan KIP-K.
Berikut ini didapatkan 4 (empat) variabel yang
memiliki nilai signifikan dalam artian sangat
berpengaruh
pada
keberhasilan
KIP-K.
Diantaranya
adalah
faktor
kelembagaan,
pendidikan, koordinasi dan manajemen program.
3.1. Faktor Kelembagaan
Berdasarkan hasil analisis crosstab, diketahui
bahwa untuk penilaian operasionalisasi yayasan
kampung dan penilaian operasionalisasi KSU
terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelurahan yang berhasil dan kurang berhasil.
2
Untuk penilaian kinerja YK nilai X hitung >
2
X tabel dengan nilai df=3, 10,024>7,815,
2
sedangkan untuk KSU nilai X hitung =
9,800>7,815. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan signifikan antara kelurahan
yang berhasil dan kurang berhasil sehingga
dapat dinyatakan bahwa faktor kelembagaan
berpengaruh dalam keberhasilan KIP-K.
Berdasarkan hasil FGD, diketahui bahwa
kelembagaan memang menjadi permasalahan
inti dalam pelaksanaan KIP-K 2006. Pada awal
berlangsungnya program yaitu di tahun 20062007, operasionalisasi YK dan KSU di masingmasing kelurahan masih berjalan sesuai dengan
tugas dan tanggung jawabnya. Namun seiring
berjalannya waktu, roda kepengurusan YK dan
KSU melambat atau tertatih-tatih. Hal ini
ditegaskan oleh semua pihak yang terlibat dalam
FGD.
Permasalahan yang terjadi pasca program KIP-K
2006 adalah organisasi yang tidak berjalan
dengan baik. Hal ini dikarenakan fungsi YK dan

KSU tidak berjalan semestinya. Permasalahanpermasalahan


yang
terjadi
antara
lain
diakibatkan oleh beberapa hal seperti; struktur
organisasi dalam kelembagaan kampung, serta
konflik kepentingan diantara pengurus lembaga.
Permasalahan pertama yaitu berkaitan dengan
struktur organisasi kelembagaan kampung.
Masalah yang berkaitan dengan dengan struktur
organisasi
diantaranya
adalah
mencakup
keaktifan para pengurus yang berkurang,
pelaksanaan peran dan fungsi pengurus yang
tidak
berjalan
semestinya
serta
proses
pergantian pengurus yang tidak berjalan baik.
Keaktifan pengurus menjadi hal yang sangat
penting mengingat peranan YK dan KSU sebagai
penggerak utama program KIP-K. Pada awal
program, keaktifan YK dan KSU di semua
kelurahan yang mendapat program KIP-K sangat
aktif dalam menjalankan program, baik dari awal
pembentukan, pada saat pembekalan hingga
pada tahap implementasi program. Keaktifan ini
ditunjukkan dari pertemuan rutin yang dilakukan
hampir tiap minggu dan evaluasi yang dilakukan
tiap bulan. Adanya kegiatan pendampingan oleh
fasilitator kelurahan juga cukup memacu aktivitas
lembaga YK dan KSU untuk menjalankan
perannya.
Namun setelah program fisik lingkungan
dilaksanakan dan pengucuran untuk dana
bergulir selesai dilaksanakan, banyak kendala
yang dihadapi oleh YK dan KSU. YK sebagai
pengelola program mulai kehilangan perannya,
hal ini hampir terjadi di semua kelurahan. Hal ini
terjadi karena program yang dilaksanakan sudah
tidak berkelanjutan, terutama kegiatan yang
dikelola oleh YK, seperti kegiatan KRKK
(Kesepakatan Rencana Kegiatan Kampung) dan
kegiatan perbaikan prasarana dan sarana
lingkungan. Sehingga ketika program KIP-K 2006
selesai dilaksanakan, maka seakan-akan tugas
dan wewenang YK juga berakhir. Karena tidak
adanya keberlanjutan program yang dikelola oleh
YK, maka lambat laun pengurus YK menjadi tidak
aktif lagi atau vakum, hal ini terjadi di seluruh
kelurahan sampel.
Berbeda dengan kepengurusan YK yang vakum,
KSU sebagai lembaga pengelola dana masih
berjalan. Hal ini dapat terjadi karena modal usaha
yang digulirkan harus terus berkelanjutan
sebagai pelaksanaan program bina usaha.
Namun, perguliran dana yang terjadi tidak sesuai
dengan konsep awalnya. Perguliran dana tidak
dikelola secara terkoordinasi antara KSU, YK dan
KSU, tetapi dijalankan secara individu atau
perseorangan pengurus KSU dalam hal ini
Bendahara KSU atau Ketua KSU. Pada kasus
lainnya, seperti di kelurahan Genting, perguliran
dana diambil alih oleh pengurus YK dibawah
sepengetahuan ketua LKMK dan Lurah sebagai
pembina. Pengambilalihan dilakukan karena
ketidaknonaktifan KSU. Dari beberapa kasus di
atas maka dapat disimpulkan bahwa KSU
sebagai lembaga koperasi tidak berjalan dengan
baik. Dana yang digulirkan hanya dijalankan
sebagai dana simpan pinjam biasa, hal ini sangat
jauh berbeda dengan konsep koperasi yang ingin
diwujudkan. Di samping itu rapat anggota

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009


ISBN No.

tahunan (RAT) bagi anggota KSU tidak pernah


dilaksanakan.
Hal ini menggambarkan bahwa
struktur
kelembagaan
kampung
tidak
berjalan
sebagaimana mestinya. Dimana fungsi YK
terhenti dan fungsi KSU sebagai lembaga
koperasi tidak berjalan, walaupun dana bergulir
masih dijalankan.
Dalam
kaitannya
dengan
empowerment,
kelembagaan menjadi faktor penting. Hal ini
dikarenakan adanya organisasi terstruktur
(organizational
structures),
yang
mengorganisasikan dan memobilisasi individu,
kelompok
dan
komunitas
untuk
dapat
meningkatkan kesadaran sosial dan politik agar
dapat meningkatkan kualitas hidupnya (to take
control of their live) (Laverack dan Wallerstein,
2001).
Sehingga
seharusnya
struktur
kelembagaan kampung yang terdiri atas YK
sebagai koordinator program dan sebagai
pengambil keputusan/decision maker, KSU
sebagai pengelola berputarnya modal usaha
menjadi pihak yang paling berperan dalam
mengorganisasikan dan memobilisasi warga
kampung. Selain itu posisi dan peranan masingmasing lembaga seharusnya tidak keluar dari
konsep yang telah ditentukan dalam program
KIP-K. Adapun struktur organisasi yang telah
dirumuskan sejak KIP-K dibentuk adalah adanya
peranan 3 (tiga) pilar penting yaitu YK (yayasan
kampung), KSU (Koperasi Swakarsa Usaha) dan
KSW (Kelompok Swadaya Warga). Masing
masing pihak memegang peranan yang penting
dalam keberlanjutan program.

Gambar 2 Kelembagaan Kampung (Septanti, 2004)

YK dalam hal ini sebagai pengelola dan


penanggung jawab berjalannya program KIP-K,
harusnya dapat terus menjalankan tanggung
jawabnya. Peran YK tidak terbatas pada
tanggung jawab di awal program saja atau pada
pengelolaan aspek fisik saja. Peran YK sesuai
dengan fungsinya yaitu; sebagai lembaga yang
mengelola program dan kegiatan pembangunan
kampung dalam rangka meningkatkan kualitas
lingkungan hunian dan taraf hidup warga secara
berkelanjutan. Selain itu fungsi YK adalah
sebagai wadah untuk menggalang warga dalam
berperan serta pada pelaksanaan program KIP
komprehensif dan kegiatan pembangunan
lainnya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan
serta
pemeliharaan
dan
pengembangan
hasil-hasilnya
secara
berkelanjutan. Sehingga tanggung jawab YK

adalah bersifat berkelanjutan tidak hanya pada


berlangsungnya program KIP-K saja.
Begitu juga dengan peranan KSU yaitu sebagai
wadah untuk mengelola dan mengembangkan
sumber
daya
ekonomi
kampung
guna
pembangunan lingkungan dan kesejahteraan
warga secara berkelanjutan. Dan juga sebagai
wadah untuk pengelolaan dan pengembangan
dana bantuan program KIP Komprehensif dalam
pembangunan kampung. Dalam menjalankan
fungsinya KSU tidak berjalan sendiri, namun juga
tetap berkoordinasi dengan YK sebagai
koordinator program dan pengambil keputusan
serta sebagai perwakilan warga. YK dalam hal ini
juga menjadi badan pembina dan pengawas
berjalannya warga, hal ini dimungkinkan karena
anggota pengurus YK merupakan perwakilan dari
para Rukun Warga (RW).
Kemudian permasalahan kedua terkait dengan
kelembagaan adalah adanya konflik kepentingan
antara pengurus dalam hal ini antara YK dan
KSU. Konflik terjadi sebagai akibat peran dan
fungsi dari masing-masing yang tidak berjalan
dengan baik. Kasus yang banyak terjadi adalah
hilangnya peran YK dalam mengelola serta
mengawasi bergulirnya modal usaha yang
dikelola oleh KSU. Hal ini menyalahi peran dan
fungsi YK yang harusnya menjadi lembaga yang
mengelola program agar berkelanjutan, termasuk
pada program bina usaha (modal usaha bergulir).
Konflik kepentingan yang terjadi mengakibatkan
tidak berjalannya kelembagaan kampung dengan
baik. Dan tidak terdapat usaha untuk membenahi
struktur organisasi. Hal ini menjadi vakum
mengingat pengurus YK akan berganti seiring
pergantian RW. Proses pergantian ini tidak
diiringi dengan penyerahan tanggung jawab yang
terkait dengan pengelolaan program KIP-K. Ini
menyebabkan kelembagaan kampung tidak
pernah mengalami pergantian. Hal ini yang pada
akhirnya membuat kelembagaan kampung yang
telah terbentuk menjadi vakum.
3.2. Faktor Pendidikan
Penilaian selanjutnya adalah untuk faktor
pendidikan Dari beberapa parameter variabel,
yang memiliki nilai signifikan adalah terbentuknya
beragam usaha, munculnya usaha baru dan
keahlian baru.
Berdasarkan hasil FGD, faktor pendidikan juga
menjadi hal yang penting, namun belum bisa
dijalankan secara nyata pada program KIP-K.
Beragam usaha yang muncul keahlian baru yang
muncul lebih didukung oleh bergulirnya modal
usaha di awal program KIP-K 2006. Sedangkan
untuk program pelatihan yang berupa kursuskursus keterampilan tidak dilaksanakan selama
KIP-K berlangsung. Berhasilnya usaha dan
berkembangnya keahlian warga pada kelurahankelurahan yang berhasil (Bulak Banteng dan
Jagir), lebih diakibatkan oleh keberhasilan
individu/perorangan warga dalam memanfaatkan
dana yang digulirkan. Selain itu juga ditunjang
melalui program-program baru yang masuk
seperti RSDK (Rehabilitasi Sosial Daerah
Kumuh) dengan program-program pelatihan
memasak atau menjahitnya, atau dengan melalui

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009


ISBN No.

program PNPM Mandiri melalui kursus komputer


dan kursus pendidikan lainnya.
Bila ditinjau dari segi empowerment, faktor
pendidikan dalam KIP-K 2006 tidak berjalan.
Mengingat peranan program hanya memberikan
dana stimulan tanpa memberikan kursus
keterampilan yang memberikan wawasan warga
untuk dapat lebih berdaya. Hal ini menjadi sangat
penting mengingat karakter mata pencaharian
warga
pada
kelurahan-kelurahan
yang
mendapatkan KIP-K, didominasi pekerjaan yang
bergerak di bidang swasta dan wirausaha,
sehingga
program
pendidikan
guna
meningkatkan kemampuan berusaha menjadi
sangat penting.
Pendidikan menjadi penting untuk dapat lebih
berdaya (empowerment through knowledge);
yang berarti bahwa pengetahuan adalah faktor
penting dalam peningkatan empowerment,
sehingga cara yang tepat adalah bagaimana
memberikan pengetahuan yang cukup dan yang
terpenting
adalah
bagaimana
mengkomunikasikannya. Hal ini dapat dilakukan
melalui pemberian informasi, pendidikan dan
pelatihan (Somerville, 1998).
Peranan YK disini menjadi penting untuk
menjaga keberlanjutan program, sehingga
walaupun program telah berakhir harusnya
berbagai program-program pelatihan dapat
diusahakan. Hal ini dapat dilakukan dengan
berkoordinasi dengan KSU dalam kaitannya
dengan pengadaan dana dan juga dengan pihak
lain yang dianggap perlu. Hal ini sekaligus
menghapus stigma dalam kepengurusan YK,
bahwa YK hanya bertugas ketika program KIP-K
turun dan berakhir ketika program usai. Konsep
ini sudah mulai dirintis oleh beberapa YK, seperti
YK kapasan. YK Kapasan merintis usaha
produksi
Tabloid
Kampoeng,
dengan
menggunakan dana operasional awal dari KSU.
Pembuatan tabloid ini juga bekerja sama dengan
tabloid terkemuka di Surabaya. Namun, program
ini tidak dapat dikembangkan lagi karena tidak
mendapat dukungan dari KSU, karena dianggap
kurang
menguntungkan.
Jenis-jenis
pengembangan usaha inilah yang harus terus
dikembangkan agar kelembagaan kampung tetap
dapat beroperasi dalam
menyejahterakan
anggotanya.
Pendidikan
tidak
hanya
terkait
dengan
keterampilan usaha saja melainkan juga
pelatihan
organisasi
dalam
rangka
mengembangkan
kelembagaan
kampung.
Pelatihan atau pembekalan terhadap YK dan
KSU hanya dilakukan sekali selama program
berlangsung dan tidak berlanjut lagi. Hal ini akan
menjadi masalah jika terjadi pergantian
pengurus, mengingat YK akan berganti jika
terdapat
pergantian
pengurus
kampung.
Sehingga
diperlukan
pembekalan
secara
kontinyu atau berkelanjutan agar kemampuan
dalam mengelola program serta kemampuan
dalam mengatasi permasalahan akan lebih
ditingkatkan. Pelatihan ini juga menjadi sangat
berperan guna meningkatkan kemampuan KSU
dalam mengelola dan mengembangkan dananya
sekaligus membuka peluang kerja sama usaha

dengan koperasi-koperasi atau lembaga dana


lainnya.
Faktor Koordinasi
Penilaian selanjutnya adalah terkait dengan
faktor koordinasi, yang terdiri atas penilaian
koordinasi antar lembaga yaitu antar yayasan
kampung dan koperasi, koordinasi antar
masyarakat dan lembaga lokal (YK dan KSU),
koordinasi antara lembaga dengan instansi lain
(tim pendamping, dinas tata kota, dan lainnya),
serta koordinasi antar program.
Berdasarkan hasil analisis crosstab, diperoleh
hasil bahwa yang berpengaruh adalah faktor
koordinasi antara masyarakat dengan lembaga
(YK dan KSU), serta koordinasi antar program
yang terkait.
Berdasarkan hasil FGD diketahui bahwa pasca
program KIP-K,
koordinasi antar lembaga
kampung, koordinasi antara warga dan lembaga
kampung serta koordinasi antara lembaga
kampung dengan instansi lain tidak berjalan
dengan baik. Hal ini terkait dengan permasalahan
kelembagaan yang diuraikan sebelumnya,
dimana kelembagaan kampung tidak berjalan
dengan baik, ditunjang adanya konflik dalam
kepengurusan YK dan KSU.
Koordinasi antara warga dan lembaga kampung
juga tidak berjalan dengan baik, hal ini terbukti
dari tidak pernah dilaksanakan rapat anggota YK,
dan juga RAT (Rapat Anggota Tahunan) dalam
KSU. Koordinasi dilakukan secara individu oleh
warga yang melakukan simpan pinjam, hal ini
dilakukan secara informal antara perorangan
warga dan pengurus KSU.
Secara umum koordinasi dalam lingkup
kelembagaan kampung harusnya dilakukan
berkala antara lembaga kampung dan perwakilan
warga dalam suatu musyawarah kampung.
Koordinasi diperlukan terkait dengan pelaporan
hasil
program,
maupun
terkait
dengan
penyelesaian permasalahan kampung. Hal inilah
yang dapat memperkuat keterikatan warga dan
kelembagaan kampung guna meningkatkan
keberdayaan kampung. Koordinasi yang terjalin
baik secara tidak langsung akan memperkuat
meningkatkan empowerment warga.
Terkait dengan hal di atas, maka koordinasi
dengan lembaga lain sangat diperlukan. Dalam
pelaksanaan KIP-K, maka instansi yang
berkepentingan adalah Dinas Tata Kota. Untuk
menjaga
keberlanjutan
program
KIP-K,
seharusnya koordinasi antara intansi pelaksana
dengan lembaga kampung yang sudah terbentuk
harus selalu dibina. Sehingga koordinasi tidak
hanya
dilakukan
hanya
ketika
program
berlangsung saja, melainkan juga dilakukan
secara berkala untuk proses evaluasi dan dapat
memberikan masukan ( feedback) bagi
pengembangan kampung di masa mendatang.
Koordinasi yang dikaji tidak terbatas pada aspek
lembaga dan masyarakat saja, namun koordinasi
perlu dijalin di antara program yang terkait (link to
other) (Laverack, 2001). Terkait dengan
koordinasi antara program terkait, diketahui
bahwa terjalin koordinasi antara program yang
berjalan. Setelah program KIP-K berjalan,

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009


ISBN No.

terdapat beberapa program lainnya yang diterima


oleh
masing-masing
kelurahan.
Programprogram tersebut diantaranya adalah RSDK dan
PNPM Mandiri. Sejalan vakumnya kegiatan di YK
dan KSU, maka pengurus yang masih aktif mulai
beralih pada program-program yang baru. Melalui
masuknya program baru, maka kebutuhan akan
perbaikan lingkungan dan modal usaha yang
belum terpenuhi dalam KIP-K mulai dipenuhi oleh
program baru tersebut dalam bentuk komponen
program yang berbeda. RSDK merupakan
program perbaikan lingkungan, dan program
peminjaman perbaikan rumah serta program
kursus keterampilan bagi warga miskin.
Sedangkan PNPM Mandiri merupakan program
nasional yang digulirkan dalam bentuk perbaikan
lingkungan dan bergulirnya modal usaha.
Dengan adanya program-program baru tersebut
dapat membantu memberi stimulan baru untuk
meningkatkan empowerment warga.
Faktor Manajemen Program
Penilaian terakhir pada aspek empowerment
adalah faktor manajemen program, adapun yang
dinilai adalah mencakup usaha lembaga yayasan
kampung dan koperasi dalam mengelola dana
dan program secara keseluruhan, usaha
lembaga
memotivasi
warga,
kemampuan
pendamping dalam pelaksanaan program dan
pelaporan dan penyediaan informasi terkait
dengan program KIP-K. Dari beberapa parameter
di atas hanya peranan pendamping yang memiliki
pengaruh signifikan.
Berdasarkan hasil FGD diketahui bahwa usaha
lembaga YK dan KSU dalam mengelola dana
dan program yang ada pasca program KIP-K
dinilai sangat rendah. Dana yang terdapat di KSU
relatif tetap bahkan berkurang karena banyak
warga yang belum membayar angsuran dan
bahkan di beberapa kelurahan terdapat
penyimpangan dana oleh pengurus.
Penyimpangan dana hampir terjadi di seluruh
kelurahan, hal ini dikarenakan himpitan ekonomi
dan juga warga yang masih tidak memiliki
kesadaran (communities members are not
always good people) (Dhakal, 2002 dan Silaban,
2003). Banyaknya dana yang tidak kembali juga
diakibatkan dana yang dipinjam tidak digunakan
untuk modal usaha melainkan untuk biaya hidup
sehari-hari atau untuk kebutuhan mendesak.
Penanganan terhadap penyimpangan ini hanya
berupa peneguran dan tidak diberi kepercayaan
kembali. Hal ini karena hubungan yang baik
antara
pengurus
dan
warga,
sehingga
menimbulkan sikap tenggang rasa atau sungkan
yang sangat tinggi. Sehingga pendekatan yang
dilakukan adalah dengan jalan kekeluargaan atau
bahkan tidak dibahas kembali karena takut
menimbulkan konflik pribadi.
Kendala juga dihadapi lembaga kampung untuk
memotivasi warganya, karena banyak warga
yang cenderung tidak mau terlibat atau
berpartisipasi lagi dikarenakan belum melunasi
angsuran. Untuk penanganan ini lembaga
kampung melakukan pendekatan personal agar
baik warga yang aktif maupun yang tidak aktif

mengangsur diharapkan tetap memiliki motivasi


untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Faktor lainnya yang penting adalah keberadaan
tim pendamping. Tim pendamping atau fasilitator
kelurahan (faskel) adalah tim konsultan KIP-K
yang bertanggung jawab menfasilitasi warga
untuk
melaksanakan
program
KIP-K.
Permasalahan yang dibahas adalah rentang
waktu program yang terlalu singkat, sehingga
warga masih belum siap untuk menerima
program dengan baik.
Kasus yang terjadi di seluruh kelurahan adalah
dalam hal menentukan warga yang tergabung
dalam KSW (Kelompok Swadaya Warga) yang
menerima bantuan modal usaha. Waktu dalam
menentukan warga yang berhak menerima
sangat singkat, sehingga akhirnya menimbulkan
banyak permasalahan. Permasalahan yang
utama adalah perekrutan warga secara tidak
terarah, sehingga cenderung bersifat nepotisme
atau mendahulukan keluarga atau kerabat para
pengurus. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip
pemerataan dan keadilan dalam KIP-K.
Permasalahan lainnya adalah ketidaksiapan
warga dan ketidakpahaman warga penerima
modal usaha. Sehingga banyak dana yang tidak
dapat dikembalikan untuk digulirkan pada KSWKSW lainnya. Hal inilah yang pada akhirnya
menimbulkan konflik, ketika warga yang sudah
terdaftar belum menerima modal akibat dana
simpan pinjam terhambat.
Peran pendamping juga belum tuntas hingga
kelembagaan kampung bisa mandiri. Hal ini
terbukti di Kelurahan Genting dan Kapasan yang
belum mendaftarkan KSU sebagai badan hukum
resmi.
Dalam hal ini terkait dengan metoda pelaksanaan
program yang bukan pendampingan melainkan
lebih pada metoda pelaksanaan program
berdasarkan dana dan harus dialokasikan pada
jangka tertentu. Hal ini menyulitkan bagi lembaga
kampung dan warga sendiri untuk dapat
memahami dan mendapatkan manfaat lebih dari
sebuah program. Jangka waktu program yang
singkat dan tidak bersifat kontinyu atau
berkelanjutan menyebabkan program KIP-K
kurang dapat memberikan konstribusi dalam
meningkatkan empowerment masyarakat.
Permasalahan lainnya terkait dengan manajemen
program adalah pelaporan secara berkala.
Kelemahan yang dimiliki oleh hampir semua
kelurahan adalah tidak mampu membuat
pelaporan yang baik. Hal ini menyulitkan dalam
proses monitoring dan evaluasi program. Hampir
di semua kelurahan belum memiliki sistem
pelaporan yang baik. Sistem yang digunakan
masih berupa lembaran-lembaran surat simpan
pinjam tanpa ada laporan bulanan yang berkala.

4. Kesimpulan
Kinerja
pada
aspek
sustainability
tidak
berpengaruh secara signifikan pada kinerja KIPK. Hal ini dikarenakan kondisi di kelurahan yang
berhasil dan kurang berhasil memiliki kinerja
yang sama. Untuk aspek sustainability diketahui
bahwa prasarana dan sarana yang diperbaiki
selama program KIP-K cukup terawat, walaupun

Seminar Nasional Pascasarjana IX ITS, Surabaya 12 Agustus 2009


ISBN No.

dalam keberlanjutan modal usaha masih


terhambat.
Sedangkan untuk aspek empowerment sangat
signifikan terhadap keberhasilan KIP-K terutama
pada aspek kelembagaan, pendidikan korrdinasi
dan manajemen program.
Pada faktor kelembagaan, diketahui bahwa
operasionalisasi kelembagaan kampung tidak
berjalan dengan baik. Baik Yayasan Kampung
maupun Koperasi Swakarsa Usaha tidak aktif lagi
seperti di awal pembentukannya. Banyaknya
pengurus yang non aktif dan juga diperparah
dengan adanya konflik kepentingan akibat
kurangnya transparansi diantara lembagalembaga tersebut.
Pada faktor pendidikan, diketahui bahwa
pelatihan atau kursus keterampilan tidak
dijalankan lagi secara berkala, hal ini
mengakibatkan vakumnya kegiatan-kegiatan
pengembangan organisasi dan pengembangan
usaha. Hal ini membutuhkan pendampingan
secara berkala, hingga warga mampu untuk
meningkatkan empowerment nya.
Selanjutnya adalah faktor koordinasi yang
menjadi kunci penyebab konflik kepentingan
dalam lembaga. Kurangnya intensitas pertemuan
atau proses pelibatan warga dalam pengembilan
keputusan mengakibatkan konflik sering muncul
dan berakhir pada vakumnya kelembagaan
kampung.
Faktor yang terakhir adalah terkait dengan
manajemen program yang menjadi faktor penting
guna
menjamin
keberlanjutan
program.
Permasalahan yang terjadi sangat terkait dengan
keberadaan atau beroperasionalnya lembaga
kampung.
Selain
itu
peranan
pendamping/fasilitator
kelurahan
guna
membekali
warga
untuk
meningkatkan
keberdayaannya menjadi sangat penting. Selain
itu perlunya monitoring dan evaluasi secara
berkala
untuk
memantau
perkembangan
program-program KIP-K agar terus berkelanjutan.
Sehingga secara garis besar, dapat disimpulkan
bahwa tingkat keberhasilan KIP-K ditinjau dari
aspek empowerment masih rendah, ini dapat
dipahami mengingat jangka waktu pendampingan
program sangat singkat. Hal ini mengakibatkan
tingkat kepahaman dan kesiapan warga terhadap
program KIP-K masih kurang.
Untuk
pelaksanaan
program
berikutnya
diharapkan pemberian program dapat didekati
dengan sistem pendampingan yang intensif dan
berkala. Pendampingan tidak hanya dilakukan
ketika program berlangsung, namun harus
berlanjut hingga warga mampu mengembangkan
kemampuannya secara mandiri.

5. Pustaka
Dhakal,

Shobhakar, 2002, Comprehensive


Kampung Improvement Program in
Surabaya as a Model of Community
Participation, Working paper, Urban
Environmental Management Project,
Institute for Global Environmental
Strategies (IGES), December 2002,
Kitakyushu, Japan (available from

dhakal@iges.or.jp). Down load tanggal


17 Maret 2008, Pkl. 09.00 WIB
Dugan, Mire.A., 2003, One View Of
Empowerment.
http://www.beyondintractability.org/essa
y/empowerment/. Download tanggal 24
April 2008.
Larasati, Dwinita, 2006, Toward an Integral
Aproach of Suatainable Housing In
Indonesia; with analysis of current
practices in java. Jakarta.
Laverack dan Wallerstein, 2001, Measuring
community empowerment; a fresh look
at organizationals domain. UNICEF,
Hanoi, Vietnam and department of
family
and
community
medicine,
University of New Mexico school of
medicine Alburqueque NM 87131, USA.
Healt Promotion International. Oxford
University press 2001. Vol 16 No.2.
Marschall, Sabine, 1998, Architecture as
Empowerment:
The
Participatory
Approach in Contemporary Architecture
in South Africa.
Newman, Peter, 2002, Sustainability and
Housing; more than a roof over head.
Barnett Oration, Melbourne.
.
Ritzer,1988,
Developing
a
Theory
of
Empowerment, In Search of a Metatheory.
http://www.mpow.org/elisheva_sadan_e
mpowerment_chapter3.pdf. Download
tanggal 24 April 2008.
Septanti, Dewi, 2004, Micro Credit System for
Housing Finance in Comprehensive-KIP
and Social Rehabilitation on Slums Area
Program in Surabaya. Journal of
Archotecture and Environment, volume
3 No. 2, Oktober 2004. Department of
Architecture ITS, Surabaya.
Silaban, Togar Arifin, 1999, Comprehensive
Kampung
Improvement
Program,
submitted to ICLEI in Ottawa for
application of Local Initatives Awards. 1.
http://www.togarsilaban.com/2007/03/22
/comprehensive-kampung-improvementprogram/. Down load tanggal 17 Maret
2008, Pkl. 09.00 WIB
Silas, Johan, 1994, dalam United Nations Centre
For Human Settlement (HABITAT),
(1996), An Urbanizing World: Global
Report on Human Settlement, 1996,
Oxford University Press.
Somerville, Peter, 1998, Empowerment Through
Residence. housing study vol 13 No.2,
233-257
Turner, Jhon F.C, 1976, Housing By People
(towards
autonomy
in
building
environments), Pantheon Books, New
York.

Anda mungkin juga menyukai