Anda di halaman 1dari 4

The Acute Effect of Continuous and Intermittent Exercise on the Exercise Efficiency

and Physiological Responses of Ischemic Heart Disease Patients

Latihan secara berkelanjutan dan intensitas tinggi yang intermiten telah dianjurkan untuk
menjadi latihan yang tepat untuk pasien yang memiliki risiko tinggi penyakit jantung
koroner dan gagal jantung. Latihan rutin telah terbukti memperbaiki stroke volume dan
fungsi ventrikel kiri pada pasien dengan PJK, dan memperbaiki masukan oksigen, dan
perbaikan denyut jantung pada GJK. Latihan dengan intensitas tinggi dapat meningkatkan
konsumsi puncak oksigen, fungsi otot dan kardiovaskular, dan kualitas hidup.
Untuk mengetahui kebugaran aerobic pasien terdapat 4 parameter
1. Serapan oksigen puncak atau maksimal (VO2 max / VO2 peak)
2. Gas exchange threshold (GET)
3. Efisiensi latihan
4. Kinetik VO2
Pada penelitian ini akan dicari apakah pasien dengan penyakit jantung iskemia efisien pada
latihan rutin, latihan dengan intensitas sedang tinggi, atau latihan intensitas tinggi dan
intermiten.
Hasilnya pada pasien penyakit jantung iskemia lebih efisien dengan latihan rutin 30 menit
dibandingkan dengan latihan intensitas tinggi. Pasien dengan penyakit jantung iskemia
secara signifikan lebih efisien pada 5 menit pertama saat latihan dengan intensitas
manapun.
Latihan dengan intensitas sedang dan tinggi dapat sama sama menyebabkan hipertrofi
jantung, latihan ini terbukti memulai adapatasi jantung seperti meningkatkan kontraktilitas,
meningkatkan oksidasi dan memperbaiki fungsi mitokondria.
Latihan dengan intensitas tinggi pada pasien PJK dan gagal jantung efektif dalam
memperbaiki puncak VO2 risiko penyakit kardiovaskular dan kesehatan pasien secara
umum. Hal ini juga berarti mengurangi angka kejadian dan kematian dari PJK dan gagal
jantung.
Kesimpulan jurnal ini pasien dengan penyakit jantung iskemik kurang efisien dalam
layihan dengan intensitas tinggi daripada latihan rutin dengan intensitas sedang. Namun
pada latihan dengan intensitas tinggi memiliki benefit yang lebih baik karena memiliki
respon fisiologis yang tinggi dan pengeluaran energy yang tinggi.
Physical exercise training and coronary artery disease

Latihan fisik memiliki peran sentral dan tidak dapat digantikan pada prevensi primer dan
sekunder dari PJK.
Secara umum latihan aerobik dengan intensitas anara 40 85% dari maksimal konsumsi
oksigen (VO2) atau cadangan denyut jantung, mengarah ke perbaikan performa latihan
yang tergantung pada peningkatan kemampuan untuk memakai oksigen untuk bekerja.
Latihan aerobic yang sering digunakan adalah jalan, jogging, bersepeda, berenang,
mengayuh, naik tangga, atau treadmill. Banyak cara yang digunakan untuk menentujan
intensitas aerobic yaitu persentase puncak denyut jantung, cadangan denyut jantung, atau
dengan Borg Perceived Exertion Scale. Cara asesmen yang paling akurat yaitu dengan
hasil latihan kardiopulmoner dengan mengukur konsumsi oksigen maksimal atau ambang
anaerobik. Latihan dengan interval menunjukan perbaikan kebugaran kardiorespirasi,
fungsi endotel, morfologi dan fungsi ventrikel kiri.
Latihan penguatan dan ketahanan memperbaiki kekuatan otot, kepadatan tulang,
koordinasi, keseimbangan dan parameter metabolic dank arena itu memperbaiki kualitas
hidup. Pada saat latihan ketahanan, maneuver valsava harus dihindari untuk mengurangi
risiko peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol.
Pada pasien post infark miokard, kombinasi dari latihan daya tahan dan ketahanan aman
tanpa adanya remodeling ventrikel kiri disbanding dengan latihan daya tahan sendiri. VO 2
puncak dan kekuatan otot meningkat pada pasien PJK dan GJK.
Pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, latihan ditentukan dengan risiko yang
dimiliki pasien. Insindesi timbulnya gangguan kardiovaskular saat latihan rendah. Latihan
fisik menyebabkan hypercoagulabe state secara simultan dengan peningkatan kapasitas
fbrinolitik terutama saat latihan berat yang singkat.

Heart rate variability in myocardial infarction patients: Effects of exercise training


Faktor yang ada pada penyakit kardiovaskular termasuk infark miokard adalah modulasi
autonomis jantung seperti peningkatan keluaran simpatis dan penurunan aktifitas
parasimpatis. Pada saat terjadi IM, terjadi ketidakseimbangan autonomis untuk menjaga
fungsi system kardiovaskular dan tubuh. Hal ini dapat memperburuk kondisi pasien dengan

IM seperti penurunan kelangsungan hidup kardiomiosit karena efek sitotoksik dari


peningkatan kadar katekolamin.
Overload miokardium karena peningkatan denyit jantung dan kontraktilitas yang
disebabkan oleh overaktivitas simpatis, meningkatkan kebutuhan oksigen dan mengurangi
waktu perfusi coroner, mengganggu aliran darah coroner pada miokardium yang mlemah
dank arena itu terjadi peningkatan terjadinya iskemik dan aritmia ventricular maligna dan
menongkatkan risiko henti jantung mendadakan.
Cara untuk mengetahui modulasi autonomis jantung yaitu dengan evaluasi variabilitas
denyut jantung (HRV) yang menganalisa variasi pada interval antara denyut jantung
normal secara konsekutif. Penurunan HRV membuktikan bahwa adanya fungsi modulasi
denyut jantung yang lemah dan karena itu terganggunya kemampuan jantung untuk
beradaptasi stimulus fisiologis dan lingkungan.
Rehabilitasi dengan latihan berbasis jantung telah menunjukan hasil yang efektif untuk
mengurangi mortalitas dan morbiditas pasien. Benefit yang bisa didapatkan adalah
meningkatkan kebugaran pasien, meningkatkan kapasitas, ambang ventilasi, memodifikasi
factor factor risiko penyakit kardiovaskular, fungsi endotel dan inflamasi dinding
vascular.
Pada penelitian ini diketahui bahwa adanya pengaruh dari berkurangnya kadar
katekolamin, beta adrenergic, dan angiotensin 2 dan peningkatan bioavabilitas nitric oxide
(NO) dalam mekanisme terapi pada latihan fisik pada modulasi autonomis jantung dan
HRV. Penurunan norepinefrin terjadi pada latihan fisik. Ditemukan juga pada studi lain
dengan pasien gagal jantung dengan latihan fisik selama 6 bulan, kadar norepineftrin tueun
setelah latihan 52% dan 50%. Latihan fisik juga dapat menurunkan densitas reseptor
adrenergic. Mekanisme lainnya yaitu setelah latihan fisik terjadi peningkatan asetilkolin
jantung dan aktivitas asetilkolin transferase pada jantung tikus yang terlatih. Penurunan
angiotensin 2 terlihat mampu menurunkan akivitas parasimpatis setelah peptide
menunjukkan adanya peningkatan keluaran simpatis dan penurunan aktivitas vagal.
Effect of eight weeks low intensity aerobic exercise on endothelin-1 plasma level,
blood pressure and heart rate in healthy people and patients with coronary artery
disease
Kelainan endotel dan vasodilatasi adalah tanda tanda utama pada penyakit
kardiovaskular dan factor prediksi untuk gangguan kardiovaskular. Lapisan endotel yang
menyelimuti arteri dan arteriol bermain peran pentig dalam regulasi kontraksi otot polos.
Tubuh manusia memiliki beranekaragam hormone yang dapat menyebabka vasokonstriksi

dan vasodilatasi, dan hal ini dapat menyebabkan perubahan aliran darah. Sel sel endotel
vascular memiliki peran penting dalam regulasi aktivitas pembuluh darah dengan
melepaskan substansi aktif berupa endotelin-1 (ET-1) dan nitric oxide (NO). ET-1
merupakan peptide vasokontriksi yang dibuat di sel sel endotel. Peneliti menyimpulkan
bahwa hormone ini dengan asam amino sekuen 21 merupakan model complete daric DNA
dan memberikan nama ET kepada factor relaksasi endothelium (EDRF).
ET 1 banyak berperan pada kebanyakan penyakit kardiovaskular dan dalam beberapa
jam iskemia jantung berat dapat meningkatkan densitas ET 1 sebanyak 5. ET 1 ini juga
berperan dalam proses aterosklerosis.
Pada penelitian sebelumnya dicari ET 1 pada atlet muda setelah menggunakan sepeda
ergonomis selama 30 menit. Hasilnya, terjadi peningkatkan plasma ET 1 setelah latihan
fisik. Peneltian ini juga menemukan setelah 6 menit berjalan, volumesitas ventrikel kiri dan
kadar ET-1 meningkat. Setelah 3 bulan latihan aerobic pada wanita lansia, peneliti
sebelumnya menemukanlatihan aerobic secara rutin dapat menurunkan tekanan darah dan
ET 1 memberikan perubahan positif dalam system kardiovaskular. Setelah bersepeda
ergonomis selama 15 menit dengan intensitas sedang pada remaja, kadar plasma ET 1
tidak berubah.
Pada penelitian ini, hasil menunjukkan bahwa aktivitas fisik dapat meningkatkan risiko
kelainan endotel. Karena itu, kelainan endotel berperan penting dalam inisiasi terjadi PJK.
Hal ini juga fakor ini dibutuhkan untuk kebutuhan medis seperti aktivitas fisik. Pada
penelitian ini ditemukan juga bahwa banyaknya sei latihan juga memperngaruhi perubahan
ET 1. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa latihan fisik dengan intensitas
sedang selama 12 minggu terjadi perubahan yang signifikan. Hormon ET 1 dapat
distimulasi oleh waktu atau intensitas karena latihan dengan intensitas tinggi dan program
latihan yang panjang ditemukan perubahan yang signifikan pada endotel.

Cardiovascular Risk of High- Versus Moderate-Intensity Aerobic Exercise in


Coronary Heart Disease Patients

Anda mungkin juga menyukai