Oleh:
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK), yang juga dikenali sebagai Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD), merupakan obstruksi saluran pernafasan yang progresif dan
ireversibel, terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya. Menurut
World Health Organization (WHO), PPOK bisa
sepuluh detik.
Terdapat enam faktor risiko terjadinya PPOK yaitu merokok, hiperesponsif
saluran pernafasan, infeksi jalan nafas, pemaparan akibat kerja, polusi udara dan faktor
genetik. Merokok dikatakan sebagai faktor risiko utama terjadinya PPOK.
PPOK merupakan salah satu penyebab kematian yang bersaing dengan HIV/AIDS
untuk menempati tangga ke-4 atau ke-5 setelah penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskuler, dan infeksi akut saluran pernafasan. Laporan terbaru WHO menyatakan
bahwa sebanyak 210 juta manusia mengalami PPOK dan hampir 3 juta manusia meninggal
akibat PPOK pada tahun 2010. Diperkirakan pada tahun 2030,
PPOK akan
menjadi
(35%),
diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).
penyakit paru kronik dan emfisema. Lebih daripada setengah juta penduduk Indonesia
menderita penyakit saluran pernafasan akibat penggunaan tembakau pada tahun 2008.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit Paru Kronik Obstruktif (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan oleh
hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif non reversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.
Bronkhitis kronik adalah kelainan saluran nafas yang ditandai oleh batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya.
Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
2.2 Epidemiologi
Estimasi dari 12 negara Asia Tenggara diperkirakan bahwa prevalensi PPOK
2
sebesar 6.3 % dengan prevalensi maksimum ada di negara Vietnam (6.7%) dan RRC (6.5%).
Hasil penelitian Buist yang dilakukan dengan pemeriksaan spirometri, kuesioner yang
berisi gejala respirasi, status kesehatan dan faktor pajanan menunjukkan bahwa
secara
kasus) di
c. Polusi outdoor. Polusi udara memberikan pengaruh buruk pada VEP. Inhalan
yang paling kuat menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu bahan
asap pembakaran.
d. Polusi di tempat kerja. Polusi dari tempat kerja misalnya debu debu organik,
industri tekstil dan lingkungan industri besi baja, bahan kimia pabrik seperti cat,
6
2. Genetik. Defisiensi Alpha 1-antitrypsin merupakan faktor resiko dari genetik yang
7
3. Riwayat infeksi saluran nafas berulang. Infeksi saluran nafas akut yang banyak
terjadi pada anakanak memberikan kecatatan sampai dewasa dimana hal ini
8
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan
perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi
adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi
adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari
gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan obstruksi berupa
perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat
gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi
digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume
ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap
rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang
melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahanperubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme
penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema
jaringan. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya
peradangan.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik
pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka
ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal
terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian,
apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran
udara kolaps.
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa eosinofil,
komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan dimediasi oleh
neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic
Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi
kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi perburukan
pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Kelainan ventilasi
berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi
mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol.
2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesis
a. Ada Faktor Resiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan adanya riwayat
pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi tempat kerja. Kebiasaan
merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting
dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat
apakah
pasien
merokok
perlu
diperhatikan
Penentuan derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah ratarata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya
adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat ( >600).
b. Gejala Klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini harus diperiksa
dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses
penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang
dengan pengobatan yang diberikan. Kadang- kadang pasien menyatakan hanya berdahak
terus menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala yang sering
dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak
ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan
ukuran sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
(Tabel 2.1).
Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)
Skala
Sesak
1
2
3
4
meniup),
terlihat
penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran sela iga, dan bila telah terjadi
gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis
biasanya
ditemukan
dan
edema
tungkai.
Pada
perkusi
melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan mengi.
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1
merupakan parameter
yang
paling
memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
b. Radiologi (foto toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi
atau
Gejala Klinis
Dengan atau tanpa batuk
prediksi (nilai
sputum
normal spirometri)
Spirometri
VEP1 80%
PPOK Sedang
sputum
PPOK Berat
80% prediksi
50% prediksi
VEP1/KVP
terjadi
<70%
dengan gagal
kanan
nafas kronik
seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal jantung kronik. Perbedaan klinis
PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik dapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri
pada PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik
PPOK
Asma Bronkial
Gagal Jantung
> 45 tahun
Tidak ada
Segala usia
Ada
Kronik
Segala usia
Tidak ada
Pola sesak
Terus menerus,
Hilang timbul
napas
bertambah berat
Onset usia
Riwayat
keluarga
Ronki
Mengi
Vesikular
Spirometri
dengan aktivitas
Kadang-kadang
Kadang-kadang
melemah
Obstruksi ++
Restriksi +
aktivitas
+
++
normal
Obstruksi ++
++
+
Meningkat
Obstruksi +
Restriksi ++
Reversibilitas
Pencetus
<
Partikel toksik
++
Partikel sensitif
+
Penyakit
jantung
kongestif
2.6 PPOK Eksaserbasi Akut
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Definisi eksaserbasi akut pada PPOK adalah kejadian akut dalam perjalanan
alami penyakit dengan karakteristik adanya perubahan basal sesak napas, batuk, dan/atau sputum
yang diluar batas normal dalam variasi hari ke hari.
Penyebab eksaserbasi akut dapat primer yaitu infeksi trakeobronkial (biasanya karena
virus), atau sekunder berupa pneumonia, gagal jantung, aritmia, emboli paru, pneumotoraks
spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat- obatan (obat antidepresan,
diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (diabetes melitus, gangguan elektrolit), nutrisi
buruk, lingkungan memburuk atau polusi udara, aspirasi berulang, serta pada stadium akhir
penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi).
Selain
itu,
terdapat
faktor-faktor
risiko
yang
menyebabkan
pasien
sering
menjalani rawat inap akibat eksaserbasi. Menurut penelitian Kessler, terdapat faktor prediktif
eksaserbasi yang menyebabkan pasien dirawat inap. Faktor risiko yang signifikan adalah Indeks
2
Massa Tubuh yang rendah (IMT<20 kg/m ) dan pada pasien dengan jarak tempuh berjalan enam
menit yang terbatas (kurang dari 367 meter). Faktor risiko lainnya adalah adanya gangguan
pertukaran gas dan perburukan hemodinamik paru, yaitu PaO265 mmHg, PaCO2>44 mmHg,
dan tekanan arteri pulmoner rata-rata (Ppa) pada waktu istirahat > 18 mmHg.
Lamanya rawat inap setiap pasien bervariasi. Faktor prediktif pasien dirawat inap lebih
dari 3 hari, yaitu rawat inap pada saat akhir minggu, adanya kor pulmonale, dan laju pernapasan
yang tinggi.
Gejala eksaserbasi utama berupa peningkatan sesak, produksi sputum meningkat, dan
adanya perubahan konsistensi atau
warna sputum.
Menurut
eksaserbasi akut dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu tipe I (eksaserbasi berat) apabila memiliki 3
gejala utama, tipe II (eksaserbasi sedang) apabila hanya memiliki 2 gejala utama, dan tipe III
(eksaserbasi ringan) apabila memiliki 1 gejala utama ditambah adanya infeksi saluran napas atas
lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau
peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.
2.7 Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut
inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat ini belum tercapai, direkomendasikan
menambahkan antikolinergik, walaupun bukti ilmiah efektivitas kombinasi ini masih
kontroversial. Walaupun penggunaan klinisnya yang
terapi
eksaserbasi
masih
luas,
dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua, ketika tidak ada respon yang adekuat dari
penggunaan short-acting inhaled B2-agonists. Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi
penggunaan long-acting inhaled B2-agonists dengan/tanpa inhalasi glukokortikosteroid
selama eksaserbasi.
Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan dengan peningkatan dosis.
Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang tepat,
nebulizer
dapat
digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebulizer yang
memakai oksigen sebagai kompresor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk
menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin dapat diberikan
bersama-sama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot
diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan
nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi
sebagai efek samping bronkodilator.
2.7.2 Kortikosteroid
Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai tambahan terapi pada
penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti yang direkomendasikan tidak diketahui, tetapi
dosis tinggi berhubungan dengan risiko efek samping yang bermakna. Dosis prednisolon oral
sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari adalah efekt if dan aman (GOLD, 2009).
Menurut
PDPI (2003), kortikosteroid tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada
eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada
derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak memberikan
manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping.
2.7.3 Antibiotik
Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan kepada:
a. Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan volume
sputum, sputum menjadi semakin purulen, dan peningkatan sesak
b. Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika peningkatan
purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut
c. Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi kombinasi
antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau
intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya diberikan
kombinasi dengan makrolid, dan bila ringan dapat diberikan tunggal. Antibiotik yang dapat
diberikan di Puskesmas yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II:
Ampisilin kombinasi
Kloramfeniko l,
Eritromisin,
kombinasi
Kloramfenikol
dengan
oksigenasi
yang
adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK
yang tidak ada komplikasi, tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan
perubahan gejala yang sedikit
Gunakan
sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan
apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Bila
terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi
mekanik.
2.7.5 Ventilasi Mekanik
Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat adalah
mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala. Ventilasi mekanik
terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik yang menggunakan tekanan negatif
ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau
trakeostomi. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi
mekanik dengan intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa Randomized
Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang secara konsisten menunjukkan hasil
positif dengan angka keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV
memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan frekuensi pernapasan, derajat keparahan
sesak, dan lamanya rawat inap.
2.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut
pada gagal napas kronik,
ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg,
serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas
dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran
menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik
ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.
Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat
disertai gagal jantung kanan.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS
Nama
:
Umur
:
Jenis kelamin
:
Kewarganegaraan
:
Suku
:
Agama
:
Alamat
:
Pendidikan
:
Pekerjaan
:
Tanggal Pemeriksaan :
TEB
72 tahun
Perempuan
Indonesia
Bali
Hindu
Br. Tengipis, Desa Buahan Kaja, Kecamatan Payangan
Tidak Sekolah
IRT
3 Desember 2015
: Compos Mentis
Berat
: 53 kg
Tinggi
: 160 cm
Tekanan darah
Nadi
: 82 x/menit
Respirasi
: 28 x/menit
Suhu
: 36,8 0C
Kepala
Konjungtiva
: Anemis (-/-)
Sklera
: Ikterik (-/-)
Pupil
Bibir
Hidung
Leher
Thoraks :
Paru Paru
Inspeksi
: Bentuk dada barrel chest, Gerakan dada kiri dan kanan simetris, Pelebaran sela
iga (+), penggunaan otot bantu pernafasan (-)
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
: timpani
Ekstremitas
3.4 RESUME
Ny. TEB umur 72 tahun datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan makin lama
makin memberat sejak 1 hari SMRS. Sesak yang dikatakan s e p e r t i d a d a d i i k a t
d e n g a n t a l i , makin hebat terutama setelah beraktivitas dan sedikit berkurang bila
pasien beristirahat. Selain itu juga pasien sering terbangun pada malam hari karena
sesak sehingga lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Sesak nafas diikuti dengan
keluhan batuk dengan warna dahak putih kekuningan, berat badan menurun namun nafsu
makan masih ada. Keluhan sesak seperti ini telah pasien rasakan selama 3 tahun dan
selalu hilang timbul. Dalam 1 bulan ini, sesak dirasakan oleh pasien sudah 4 kali kumat
dan keluhan dirasakan mereda setelah diberikan nebulizer dan obat dari puskesmas. Pasien
memiliki kebiasaan tidur di dapur sejak lama karena tidak tahan dingin. Memasak
menggunakan kayu bakar sehingga asap yang dihasilkan cukup banyak. Pada pemeriksaan
mulut terdapat pursed-lips breathing, Pada pemeriksaan thoraks didapatkan inspeksi
bentuk dada barrel chest, pelebaran sela iga (+). Pada perkusi didapatkan hipersonor pada
kedua lapang paru dan pada auskultasi ditemukan wheezing (+/+), ekspirasi memanjang (+/
+).
3.5 DIAGNOSIS BANDING
Asma Bronkiale
Pneumonia
3.6 DIAGNOSIS MUNGKIN
Suspek PPOK eksaserbasi akut
3.7 PENATALAKSANAAN
Terapi Farmakologis:
O2 2Lpm
Eritromisin 2x500mg PO
Ambroxol 3x30mg PO
Salbutamol 3x4mg PO
Prednison 3x5mg PO
Rencana Pemeriksaan
Lab DL
Spirometri
Rontgen Thoraks PA
Rencana Monitoring
Rencana Edukasi
KIE pasien dan keluarga tentang penyakit PPOK: kondisi pasien, faktor resiko yang
harus dihindari, prognosis, dan penatalaksanaan berikutnya.
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL KUNJUNGAN RUMAH
Sesak dirasakan seperti dada diikat dengan tali, keluhan terus menerus dan semakin
memberat. Pasien lebih nyaman untuk tidur dengan dua bantal karena pasien terus
terbangun pada malam hari. Pasien juga mengeluhkan batuk yang berdahak berwarna putih
kekuningan. Keluhan yang sama telah pasien rasakan selama 1 tahun dan selalu hilang
timbul. Untuk 1 bulan ini keluhan yang sama telah dirasakan 4 kali. Keluhan mereda
setelah diberikan nebulizer dan obat sesak dari puskesmas. Pada pasien terdapat adanya
riwayat sering tidur di dapur dan masih menggunakan kayu bakar untuk memasak sehingga
sering terpapar dengan asap dapur.
Dari hasil anamnesis tersebut pasien telah mengalami gejala sesak dan batuk kronis yang
merupakan gejala dari penyakit PPOK dan saat ini pasien masuk ke rumah sakit dalam
keadaan mengalami eksaserbasi akut tipe I. Eksaserbasi akut tipe I merupakan perburukan
pada gejala PPOK dibandingkan sebelumnya dan didapatkan tiga gejala PPOK yang berat
yaitu sesak yang bertambah berat, frekuensi batuk yang meningkat dan disertai dengan
perubahan warna sputum yang berubah menjadi purulen. Dari gejala klinis pasien telah
ditemukan ketiga gejala klinis tersebut. Selain dari keluhan, riwayat sosial pasien juga
mendukung bahwa pasien menderita penyakit PPOK. Pada pasien terdapat adanya riwayat
sering tidur di dapur dan masih menggunakan kayu bakar untuk memasak sehingga sering
terpapar dengan asap dapur. Pada PPOK juga didagnosis karena adanya faktor risiko yaitu
adanya paparan partikel atau gas beracun berbahaya yang berhubungan dengan munculnya
respon inflamasi pada saluran nafas dan parenkim paru
Dari pemeriksaan fisik didapatkan hasil yang mendukung diagnosis pasien, dari
pemeriksaan tanda vital didapatkan peningkatan jumlah respirasi sebanyak 28 kali permenit
yang menunjukan pasien mengalami sesak. Dari pemeriksaan fisik inspeksi dada terlihat
sela-sela iga pasien melebar dan dari pemeriksaan auskultasi ditemukan adanya suara
tambahan yaitu adanya suara rhonki dan wheezing. Dari hasil pemeriksaan fisik tersebut
dapat memperjelas diagnosis pada pasien ini, karena pada PPOK terutama yang eksaserbasi
akut akan terjadi peningkatan usaha napas akibat dari respon tubuh untuk meningkatkan
proses pertukaran udara di paru-paru, dan selain itu juga didapatkan adanya suara tambahan
di saluran napas dan paru-paru karena adanya penyempitan lumen dan adanya sekret yang
terdapat di saluran pernapasan
Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib dilakukan pada
penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih memastikan diagnosa yang ada
sekaligus memantau progresifitas penyakit. Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis
yang paling objektif, terstandarisasi dan most reproducible akan adanya hambatan aliran
nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspirasi
Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras.
Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa paska pemberian obat bronkodilator
VEP1/KVP < 0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat
dinilai derajat keparahan dari PPOK.
Perubahan radiologis pada pasien PPOK adalah adanya tanda hiperinflasi
(pendataran diafragma dan peningkatan volume udara pada rongga retrosternal),
hiperlusensi paru dan peningkatan corakan vaskuler paru. Selain itu pemeriksaan radiologis
membantu dalam melihat komorbiditas seperti gambaran gagal jantung.
Tatalaksana pada PPOK Eksaserbasi Akut, prinsip penatalaksanaannya adalah mengatasi
segera eksaserbasi dan yang terpenting adalah mencegah terjadinya kematian. Terapi pada
eksaserbasi pasca PPOK adalah pemberian oksigen, simtomatis, dan obat golongan
antikolinergik, santin, kortikosteroid, antibiotik, mukolitik serta ventilasi mekanik. Pada
pasien ini telah diberikan IVFD NaCl 20 tpm, O2 2Lpm, Nebulizer Ipratropium Bromide +
salbutamol (combivent) / 6 jam, Eritromisin 2x500mg PO, Ambroxol 3x30mg PO,
Salbutamol 3x4mg PO, dan Prednison 3x5mg PO.
Pasien tinggal dalam suatu lingkungan rumah dengan pekarangan yang cukup luas,
bersama anak, menantu, dan cucunya. Anak pasien cukup memperhatikan kesehatan
pasien serta selalu memberikan dukungan fisik maupun moral pada pasien untuk
menghadapi penyakit yang dideritanya.
Sehari-hari pasien hanya beraktivitas ringan di rumah seperti menyiram tanaman dan
membantu menantunya mejejaitan. Pasien sudah tidak kuat beraktivitas lainnya
karena sering merasa sesak.
Pasien dengan PPOK diharapkan untuk membatasi aktivitas fisiknya agar tidak
memicu sesaknya kambuh.
Pasien dalam kesehariannya makan 3 kali sehari dengan porsi sedang dengan menu
yang beragam setiap harinya berupa daging, telur, dan sayuran.
Lingkungan rumah pasien kurang bersih dan tampak kumuh. Kamar pasien menjadi
satu dengan dapur dengan alasan tidak kuat dingin. Sebelum tidur biasanya api
tungku dinyalakan menggunakan kayu bakar. Pasien sudah disediakan kamar yang
bersih dengan ventilasi cukup, namun pasien enggan tidur di kamar tersebut dengan
alasan tidak kuat dingin.
4.2.2
Kebutuhan Bio-Psikososial
Lingkungan biologis
Secara fisik pasien berperawakan sedang. BMI pasien dalam batas normal,
menunjukkan status gizi pasien yang cukup baik. Pasien saat dikunjungi terlihat
4.3 KIE
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit PPOK meliputi factor
resiko, gejala, komplikasi, dan prognosis penyakit tersebut. Dengan ada pemahaman
terhadap penyakit maka lebih mudah bagi pasien dan keluarga untuk mengubah