Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Kematian bukanlah suatu hal yang dapat dicegah, diantisipasi ataupun ditolak.
Kematian bisa menghampiri siapa saja yang hidup di dunia. Kematian bisa terjadi akibat
suatu yang alami ataupun yang tidak alami. Permasalahan ekonomi, rumah tangga,
politik dan berbagai masalah lainnya dapat memicu berbagai macam tindak kejahatan.
Apalagi di zaman yang sudah begitu canggih dan maju ini. Orang akan menghalalkan
segara cara untuk mencapai tujuan masing-masing. Tidak terkecuali menggunakan caracara kotor seperti meracun, membunuh langsung dan masih banyak lagi.
Kematian alamiah/wajar terjadi apabila sebagai akibat dari cedera atau luka, atau
pada seseorang yang semula telah mengidap penyakit suatu penyakit. Sedangkan
kematian tidak wajar dapat terjadi akibat kecelakaan, bunuh diri atau pembunuhan.
Oleh karena tubuh manusia yang begitu kompleks, tidak semua orang dapat
mengetahui bagaimana cara kematian seseorang maka dokter dibutuhkan keahliannya
untuk membantu pihak berwajib dalam mengungkapkan penyebab kematian seseorang
demi keadilan, apapun penyebabnya.

BAB II
1

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyebab Mati Mendadak


Lesi yang dapat menyebabkan kematian alamiah yang mendadak secara garis besar
terdiri dari 3 golongan :
1. Grup terbesar adalah lesi yang diakibatkan oleh proses penyakit yang berjalan
perlahan atau insidental berulang yang merusak organ vital tanpa menimbulkan
suatu gejala renjatan akut sampai terjadi suatu penghentian fungsi organ vital yang
tiba-tiba. Salah satu contoh yang paling baik untuk golongan ini adalah kematian
mendadak akibat penyakit jantung koroner.
2. Terjadinya ruptur pembuluh darah yang mendadak dan tak terduga, yang diikuti
dengan perdarahan yang berakibat fatal. Contoh golongan ini adalah pecahnya
aneurisma aorta dengan perdarahan ke dalam pericardial sac atau pecahnya
aneurisma pada sirkulus Willisi yang menyebabkan perdarahan subdural
3. Golongan ketiga mencakup infeksi latent atau infeksi hebat yang perjalanan
penyakitnya berkembang tanpa menunjukkan gejala yang nyata atau bermakna
sampai terjadi kematian. Contohnya adalah endokarditis bakterial atau obstruksi
mendadak usus karena volvulus.
Pengenalan sebab kematian pada kasus kematian mendadak secara mendasar adalah
proses interpretasi yang mencakup deteksi perubahan patologis yang ditemukan secara
anatomis, patologi anatomi, bakteriologis dan kimiawi serta seleksi lesi yang ditemukan
yang dianggap mematikan bagi korban. (Gonzales, 1954)
Berdasarkan sistem tubuh, ada beberapa penyakit yang seringe menyebabkan kematian
mendadak yaitu :
a. Sistem Kardiovaskular
Mati mendadak adalah kematian yang tidak terduga, nontraumatis, non self
inslicted fatality, yang terjadi dalam waktu 24 jam sejak awal gejala. Berdasarkan
definisi ini maka penyakit jantung (sudden cardiac death) merupakan 60 % dari
keseluruhan kasus.
2

Jika yang dianggap mati mendadak adalah kematian yang terjadi satu jam sejak
timbulnya gejala, maka sudden cardiac death merupakan 91% dari semua kasus mati
mendadak (Baradero, 2008).
b. Sistem Respirasi
Kematian biasanya melalui mekanisme perdarahan, asfiksia, dan atau
pneumothoraks. Perdarahan dapat terjadi pada tuberkulosis paru, kanker paru,
bronkiektasis, abses, dan sebagainya. Sedangkan asfiksia terjadi pada pneumonia,
spasme saluran napas, asma, dan penyakit paru obstruktif kronis, aspirasi darah atau
tersedak (Asdie, 2000)
c. Sistem Pencernaan
Kematian dapat cepat terjadi pada kasus perdarahan akibat gastritis kronis atau
ulkus duodeni. Perdarahan fatal akibat tumor jarang terjadi dan jika terjadi
dikarenakan karsinoma atau leiomioma. Ruptur spontan dari lambung tidak biasa
sebagai penyebab mati mendadak
Kematian mendadak juga dapat disebabkan oleh varises esophagus. Varises
esophagus sering merupakan komplikasi dari sirosis hepatis. Mekanisme terjadinya
adalah akibat dari hipertensi portal. Hipertensi portal sendiri dapat disebabkan oleh
kelainan intrahepatal (virus hepatitis, sirosis portal, sirosis bilier, tumor primer
maupun metastatic hepar, trombosis vena hepatika, amyloidosis hepatika)
menyebabkan sirkulasi portal dalam hepar terbendung sehingga tidak lancar, dan
sebagai kompensasi maka aliran portal tersebut melalui pembuluh vena lain untuk

d.

dapat masuk ke dalam sirkulasi darah (Suyono, 2001)


Sistem Urogenital
Penyakit pada ginjal dan sistem urinaria yang lebih dikenal penyakit gagal
ginjal jarang menyebabkan mati mendadak. Ada beberapa kondisi yaitu pada korban
dengan uremia fase terminal (dengan koma atau kejang) dapat terjadi mati
mendadak. Ketidakseimbangan elektrolit juga dapat menjadi penyebab mati

mendadak dengan gambaran klinis seperti kasus emboli paru (Schwartz, 2000).
e. Sistem Endokrin
Penyakit pada sistem endokrin jarang berhubungan dengan kematian
mendadak. Kalaupun ada, biasanya berhubungan dengan adanya kelainan pada organ
lain. Nekrosis akut dari kelenjar hipofisis dapat menyebabkan kolaps dan hipotensi
berat. Sebagaimana telah diketahui bahwa oksitosin dan vasopressin adalah produk
dari hipofisis yang mempunyai fungsi : kontraksi otot polos uterus, kontraksi sel-sel
3

mioepitel yang mengelilingi alveoli susu. Aksinya terhadap ginjal mencegah


kehilangan air berlebihan (efek anti diuretik) dan kontraksi otot polos dalam dinding
pembuluh darah (pengaruh vasopresor) (Schwartz, 2000).
f. Sistem Saraf Pusat
Masalah mati mendadak yang berhubungan dengan penyakit sistem saraf
pusat biasanya akibat perdarahan yang dapat terjadi pada subarakhnoid atau
intraserebral. Perdarahan subarachnoid berhubungan dengan ruptur aneurisma.
Biasanya terletak pada sirkulus willisi tetapi kadang juga di tempat lain dari arteri
serebral. Pada umumnya ruptur arteri karena adanya kelainan congenital pada
dinding pembuluh darah, tapi ruptur biasanya akibat degenerasi atheromatous.
Pada dewasa muda kematian mendadak karena ada kelainan pada susunan
saraf pusat yaitu pecahnya aneurisma serebri, yang masih dapat diketahui lokasinya
bila pemeriksaan atas pembuluh darah otak (circulus willisi) dikerjakan dengan teliti;
di mana pemeriksaan akan ditandai dengan subarachnoid (Perdanakusuma, 1984).

2.2 Keracunan Zat


a. Sianida
Sianida adalah senyawa kimia yang mengandung gugus siano C N,[1]
dengan atom karbon terikat-tiga ke atom nitrogen. Sianida (CN) merupakan
racun yang sangat toksik, karena garam sianida dalam takaran kecil sudah
cukup untuk menimbulkan kematian.
Kematian akibat keracunan CN umumnya terjadi pada kasus buuh diri dan
pembunuhan. Tetapi mungkin pula terjadi akibat kecelakaan di laboratorium,
pada penyemprotan (fumigasi) dalam pertanian dan penyemprotan di gudanggudang kapal.
Farmakokinetik
Garam sianida cepat diabsorbsi melalui saliran pencernaan Cyanogen dan
uap HCN diabsopsi melalui pernafasan. HCN cair akan cepat diabsorpsi
melalui

kulit

tetapi

gas

HCN

lambat,

sedangkab

nitril

organik

(iminodipropilnitril, glikonitril, asetonitril) cepat diserap melalui kulit.


Sianida dapat masuk ke dalam tubuh melalui mulut, inhalasi dan kulit.
Setelah diabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi darah sebagai CN bebas dan tidak
dapat berikatan dengan hemoglobin, kecuali dalam bentuk methemoglobin
4

akan terbentuk sianmethemoglobin. Sianida dalam tubuh akan menginaktifkan


beberapa enzim oksidatif seluruh jaringan secara radikal, terutama sitokrom
oksidase dengan mengikat bagian ferric heme group dari oksigen yang dibawa
ke darah.
Selain itu sianida juga secara refleks merangsang pernafasan dengan
bekerja pada ujung saraf sensorik sinus (kemoreseptor) sehingga pernafasan
bertambah cepat dan menyebabkan gas racun yang diinhalasi makin banyak.
Dengan demikian proses oksidasi-reduksi dalam sel tidak dapat
berlangsung dan oksi-Hb tidak dapat berdosiasi melepaskan O2 ke sel jaringan
sehingga timbul anoksia jaringan (anoksia histotoksik). Hal ini merupakan
keadaan paradoksal karena korban meninggal akibat hipoksia tetapi dalam
darahnya kaya akan oksigen.
Sianida dioksidasi dalam tubuh menjadi sianat dan sulfosianat dan
dikeluarkan dari tubuh melalui urin. Takaran toksik peroral untuk HCN adalah
60-90 mg sedangkan takaran toksik untuk KCN atau NaCN adalah 200mg.
Kadar gas sianida dalam udara lingkungan dan lama inhalasi akan menentukan
kecepatan timbul gejala keracunan dan kematian.
Tanda dan Gejala
Pada keracunan akut racun yang ditelan cepat menyebabkan kegagalnan
pernafasan dan kematian dapat timbul dalam beberapa menit. Dalam interval
waktu yang 0endek antara menelan racub sampai kematian, dapat ditemukan
gejala-gejala dramatis, korban mengelyh terasa terbakar pada kerongkongan
dan lidah, sesak nafas, hipersalivasi, mual muntah, sakit kepala, vertigo,
fotofobi, tinitus, pusing dan kelelahan.
Dapat pula ditemukan sianosis pada muka, busa keluar dari mulut, nadi
cepat dan lemah, pernafasan cepat dan kadang-kadang tidak teratur, pupil
dilatasi dan refleks melambat, udara pernafasan dapat berbau amandel, juga
dari mubtahan tercium bau amandel. Menjelang kematian sianosis lebih nyata
dan timbul kedut otot-otot kemudian kejang-kejang dengan inkontinensi urin
dan alvi.
Racun yang diinhalasu menimbulkan palpitasi, kerusakan bernafas, mual,
muntah, sakjt kepala, salivasi, lakrimasi, iritasi mulut dan kerongkongan,

pusing dan kelemahan ekstremitas cepat tinbul dan kemudian kolaps, kejangkejang, koma dan meninggal.
Pada keracunan kronik korban tampaj pucat, berkeringat dingib, pusing,
rasa tidaj enak dalam perut, mual dan kolik, rasa tertekan pada dada dan sesak
nafas. Keracunan kronik CN dapat menyebabkan goiter dan hipertiroid, akibat
terbentuk sulfosianat.
Pemeriksaan Kedokteran Forensik
Pada pemeriksaan terhadap korban mati, pada pemeriksaan bagian luar
jenazah, dapat tercium bau amandel yang patogomonik untuk keracunan CN,
dapat tercium dengan cara menekan dada mayat sehingga akan ke luar gas dari
mulut dan hidung. Bau tersebut harus cepat dapat ditentukan karena indra
pencium kita cepat teradaptasi sehingga tidak dapat membaui bau khas
tersebut. Harus diingat bahwa tidak semua orang dapat mencium bau sianida
karena kemampuan untuk mencium bau khas tersebut bersifat genetic sexlinked trait.
Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan lebam mayat
berwarna merah terang, karena vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi ada pula yang
mengatakan karena terdapat Cyan-Met-Hb.
Warna lebam yang merah terang tidak selalu ditemukan pada kasus
keracunan sianida, ditemukan pula kasus kematian akibat sianida dengan
warna lebam mayat yang berwarna biru-kemerahan, livid. Hal ini tergantung
pada keadaan dan derajat keracunan.
Pada korban yang menelan garam alkali sianida, dapat ditemukan kelainan
pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena
terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi
dapat mengakibatkan perforasi lambung yang dapat terjadi antemortal atau
postmortal.(Budiyanto, 1997)
b. Karbonmonoksida
Karbon monoksida ( CO ) adalah gas yang tidak berwarna dan tidak
berbau yang dihasilkan dari proses pembakaran yang tidak sempurna dari
material yang berbahan dasar karbon seperti kayu, batu bara, bahan bakar
minyak dan zat-zat organik lainnya. Setiap korban kebakaran api harus

dicurigai adanya intoksikasi gas CO. Sekitar 50% kematian akibat luka bakar
berhubungan dengan trauma inhalasi dan hipoksia dini menjadi penyebab
kematian lebih dari 50% kasus trauma inhalasi. Intoksikasi gas CO merupakan
akibat yang serius dari kasus inhalasi asap dan diperkirakan lebih dari 80%
penyebab kefatalan yang disebabkan oleh trauma inhalasi.
Farmakokinetik
CO hanya di serap melalui paru dan sebagian besar diikat oleh
haemoglobin secara reversibel, membentuk karboksi-hemoglobin. Selebihnya
mengikat diri dengan myoglobin dan beberapa protein heme ektravaskular lain.
Afinitas CO terhadap haemoglobin adalah 208-245 kali afinita O2.
CO bukan merupakan racun yang kumulatif. Ikatan CO dengan Hb tidak
tetap (reversible) dan setelah CO dilepaskan oleh Hb, sel darah merah tidak
mengalami kerusakan.
Tanda dan Gejala
Misdiagnosis sering terjadi karena beragamnya keluhan dan gejala pada
pasien. Gejala-gejala yang muncul sering mirip dengan gejala penyakit lain.
Pada anamnesa secara spesifik didapatkan riwayat paparan oleh gas CO.
Gejala-gejala yang muncul sering tidak sesuai dengan kadar HbCO dalam
darah. Penderita trauma inhalasi atau penderita luka bakar harus dicurigai
kemungkinan terpapar dan keracunan gas CO. Pada pemeriksaan tanda vital
didapatkan takikardi, hipertensi atau hipotensi, hipertermia, takipnea. Pada
kulit biasanya didapatkan wama kulit yang merah seperti buah cherry, bisa juga
didapatkan lesi di kulit berupa eritema dan bula (Budiyanto, 1997).

BAB III
PEMBAHASAN

3.1Skenario
Kopi Maut
Seorang perempuan, usia 20 tahun, dibawa ke UGD dalam keadaan tidak sadar.
Menurut ayahnya, korban mengeluh pusing lalu pingsan setelah minum kopi. Pada
pemeriksaan ditemukan luka terbuka tepi tidak rata dikelilingi memar pada bibir bagian
bawah. Selaput lendir bibir berwarna kebiruan. Beberapa saat kemudian korban
meninggal.

3.2Terminologi
3.3Permasalahan
1.
2.
3.
4.
5.

Pada skenario, apakah jenis kematian korban?


Apa saja kemungkinan mekanisme terjadinya tanda dan gejala pada skenario?
Apa sajakah kemungkinan penyebab kematian korban di skenario?
Apa langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis di skenario?
Jelaskan tentang surat keterangan kematian!

3.4Pembahasan
1. Apakah jenis kematian korban?

Berdasarkan waktunya, kematian korban di skenario termasuk dalam kematian


mendadak. Menurut WHO, kematian mendadak adalah kematian yang terjadi pada 24
jam sejak gejala-gejala timbul (WHO, 2005).
Berdasarkan cara matinya, ada kematian alamiah dan tidak alami. Kematian
alamiah/wajar terjadi apabila sebagai akibat dari cedera atau luka, atau pada seseorang
yang semula telah mengidap penyakit suatu penyakit. Sedangkan kematian tidak wajar
dapat terjadi akibat kecelakaan, bunuh diri atau pembunuhan. Bila tidak diketahui
bagaimana cara kematiannya maka akan dinyatakan sebagain kematian dengan cara tidak
tertentukan. (Staf Pengajar FK UI, 2000). Berhubung belum dilakukannya pemeriksaan
yang mendalam terhadap korban di skenario maka cara kematian korban belum dapat
ditentukan dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.
2. Bagaimana kemungkinan mekanisme terjadinya tanda dan gejala di skenario?
a. Luka terbuka tepi tidak rata dikelilingi memar : Luka robek atau luka terbuka
yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul dapat terjadi bila kekerasan
yang terjadi sedemikian kuatnya hingga melampaui elastisitas kulit atau otot,
dan lebih dimungkinkan bila arah dari kekerasan tumpul tersebut membentuk
sudut dengan permukaan tubuh yang terkena benda tumpul. Luka robek
mempunyai tepi yang tidak teratur, terdapat jembatan-jembatan jaringan yang
menghubungkan kedua tepi luka, akar rambut tampak hancur atau tercabut
bila kekerasannya di daerah yang berambut, di sekitar luka robek sering
tampak adanya luka lecet atau luka memar.
b. Selaput lendir bibir bagian bawah berwarna kebiruan : Penurunan saturasi
oksigen arterialterjadi akibat pengurangan yang nyata pada tekanan oksigen di
dalam darah arterial. Fungsi paru yang terganggu dengan serius, melalui
hipoventilasi atau perfusi alveolar pada daerah paru yang ventilasinya jelek,
merupakan penyebab sianosis sentral yang sering ditemukan. (Sylvia, 2003)
c. Pusing dan Pingsan : Pingsan merupakan gejala dari tidak memadainya suplai
oksigen dan zat makanan lainnya ke otak. Pingsan bisa didahului oleh pusing
atau perasaan melayang, terutama pada saat seseorang sedang dalam keadaan
berdiri. (Peeters, 2014)
3. Apa sajakah kemungkinan penyebab kematian korban di skenario?
a. Kekerasan akibat benda tumpul

Petunjuk ini berhubungan dengan tanda luka terbuka yang berada di bagian mulut
korban. Kemungkinan ini dapat diterima ataupun ditolak tergantung dari pemeriksaan
selanjutya.
b. Penyakit jantung ataupun paru-paru
Kemungkinan ini berhubungan dengan adanya tanda sianosis sentral pada bagian
bawah bibir korban. Sianosis menunjukkan adanya penurunan oksigen, atau kadar
haemoglobin yang melewati nya.
c. Keracunan zat tertentu
Keracunan atau intoksikasi adalah kondisi yang mengikuti masuknya suatu zat yang
menyebabkan gangguan kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perilaku, fungsi organ ,
dan respon psikofisiologis serta fisiologis (WHO, 2005). Sedangkan pengertian racun
adalah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis
toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian
(Budiyanto, 1997). Kecurigaan ini berhubungan dengan kopi yang korban minum
sesaat sebelum meninggal. Diagnosis kelompok 1 lebih mengarah kepada diagnosis
keracunan.
4. Apa langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis di skenario?
Mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang saat kematian, kapan
terakhir kali ditemukan dalam keadaan sehat, sebelum kejadian ini apakah ia sehat
sehat saja. Berapa lama gejala timbul setelah makan/minum terakhir, dan apa gejalagejalanya. Bila sebelumnya sudah sakit, apa penyakitnya dan obat-obat apa yang
diberikan serta siapa yang memberi dan sebagainya.
Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan, yang
sejak semula sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan kasus yang sampai saat
sebelum di autopsi dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap kemungkinan keracunan.
Harus dipikirkan kemungkinan kematian akibat keracuan bila pada pemeriksaan
setempat (scene investigation) terdapat kecurigaan akan keracunan, bila pada autopsi
ditemukan kelainan yang lazim ditemukan pada keracunan dengan zat tertentu,
misalnya lebam mayat yang tidak biasa, luka bekas suntikan sepanjang vena dan
keluarnya buih dari mulut dan hidung serta bila pada autopsi tidak ditemukan penyebab
kematian.
Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan penting, yaitu (Budiyanto, 1997):
1. Pemeriksaan di tempat kejadian

10

Perlu dilakukan untuk membantu penentuan penyebab kematian dan


menentukan cara kematian. Mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin
tentang saat kematian. Mengumpulkan barang bukti.
2. Pemeriksaan luar
a. Bau. Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa yang
kiranya ditelan oleh korban. Segera setelah pemeriksa berada di samping
mayat ia harus menekan dada mayat untuk menentukan apakah ada suatu
bau yang tidak biasa keluar dari lubang-lubang hidung dan mulut.
b. Segera. Pemeriksa harus segera berada di samping mayat dan harus
menekan dada mayat dan menentukan apakah ada suatu bau yang tidak
biasa keluar dari lubang hidung dan mulut.
c. Pakaian. Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang disebabkan
oleh tercecernya racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak
berwarna coklat karena asam sulfat atau kuning karena asam nitrat.
d. Lebam mayat. Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai
makna, karena warna lebam mayat pada dasarnya adalah manifestasi warna
darah yang tampak pada kulit.
e. Perubahan warna kulit. Pada hiperpigmentasi atau melanosis dan keratosis
pada telapak tangan dan kaki pada keracunan arsen kronik. Kulit berwarna
kelabu kebiru-biruan akibat keraunan perak (Ag) kronik (deposisi perak
dalam jaringan ikat dan korium kulit). Kulit akan berwarna kuning pada
keracunan tembaga (Cu) dan fosfor akibat hemolisis juga pada keracunan
insektisida hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan fungsi hati.
f. Kuku. Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal yang
tidak teratur. Pada keracunan Talium kronik ditemukan kelainan trofik pada
kuku.
g. Rambut. Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan talium,
arsen, ari raksa dan boraks.
h. Sklera. Tampak ikterik pada keracunan dengan zat hepatotoksik seperti
fosfor, karbon tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dicoumarol atau
akibat bias ular.
11

3. Pembedahan Jenazah
Segera setelah rongga dada dan perut dibuka, tentukan apakah terdapat
bau yang tidak biasa (bau racun). Bila pada pemeriksaan luar tidak tercium
"bau racun" maka sebaiknya rongga tengkorak dibuka terlebih dahulu agar bau
visera perut tidak menyelubungi bau tersebut, terutama bila dicurigai adalah
sianida. Bau sianida, alkohol, kloroform, dan eter akan tercium paling kuat
dalam rongga tengkorak.
Perhatikan warna

darah.

Pada

intoksikasi

dengan

racun

yang

menimbulkan hemolisis (bisa ular), pirogarol, hidrokuinon, dinitrophenol dan


arsen. Darah dan organ-organ dalam berwarna coklat kemerahan gelap. Pada
racun yang menimbulkan gangguan trombosit, akan terdapat banyak bercak
perdarahan, pada organ-organ. Bila terjadi keracunan yang cepat menimbulkan
kematian, misalnya sianida, alcohol, kloroform maka darah dalam jantung dan
pembuluh darah besar tetap cair tidak terdapat bekuan darah.
Pada lidah perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat
atau menunjukan kelainan disebabkan oleh zat korosif. Pada esophagus bagian
atas dibuka sampai pada ikatan atas diafragma. Adakah terdapat regurgitasi dan
selaput lendir diperhatikan akan adanya hiperemi dan korosi. Pada epiglotis
dan glotis perhatikan apakah terdapat hiperemi atau edema, disebabkan oleh
inhalasi atau aspirasi gas atau uap yang meransang atau akibat regurgitasi dan
aspirasi zat yang meransang. Edema glotis juga dapat ditemukan pada
pemakaian akibat syok anafilaktik, misalnya akibat penisilin.
Pada pemeriksaan paru-paru ditemukan kelainan yang tidak spesifik,
berupa pembendungan akut. Pada inhalasi gas yang meransang seperti klorin
dan nitrogen oksida ditemukan pembendungan dan edema hebat, serta
emfisema akut karena terjadi batuk, dipsneu dan spasme bronki. Pada lambung
dan usus dua belas jari lambung dibuka sepanjang kurvakura mayor dan
diperhatikan apakah mengeluarkan bau yang tidak biasa. Perhatikan isi
lambung warnanya dan terdiri dari bahan-bahan apa. Bila terdapat tablet atau
kapsul diambil dengan sendok dan disimpan secara terpisah untuk mencegah
disintegrasi tablet/kapsul. Pada kasus-kasus non-toksikologik hendaknya
pembukaan lambung ditunda sampai saat akhir otopsi atau sampai pemeriksa

12

telah menemukan penyebab kematian. Hal ini penting karena umumnya


pemeriksa baru teringat pada keracunan setelah pada akhir autopsi ia tidak
dapat menemukan penyebab kematian.
Pemeriksaan usus diperlukan pada kematian yang terjadi beberapa jam
setelah korban menelan zat beracun dan ini ingin diketahui berapa lama waktu
tersebut. Pada hati apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi
lemak sering ditemukan pada peminum alcohol. Nekrosis dapat ditemukan
pada keracunan fosfor, karbon tetraklorida, klorform dan trinitro toulena.
Pada ginjal terjadi perubahan degeneratif, pada kortek ginjal dapat
disebabkan oleh racun yang meransang. Ginjal agak membesar, korteks
membengkak, gambaran tidak jelas dan berwarna suram kelabu kuning.
Perubahan ini dapat dijumpai pada keracunan dengan persenyawaan bismuth,
air raksa, sulfonamide, fenol, lisol, karbon tetraklorida. Umumnya analisis
toksikologik ginjal terbatas pada kasus-kasus keracunan logam berat atau pada
pencarian racun secara umum atau pada pemeriksaan histologik ditemukan
Kristal-kristal Ca-oksalat atau sulfonamide.
Pemeriksaan urin dilakukan dengan semprit dan jarum yang bersih,
seluruh urin diambil dari kandung kemih. Bila bahan akan dikirim ke kota lain
untuk dilakukan pemeriksaan maka urin dibiarkan berada dalam kandung
kemih dan dikirim dengan cara intoto, prostat dan kedua ureter diikat dengan
tali. Walaupun kandung kemih dalam keadaan kosong, kandung kemih harus
tetap diambil untuk pemriksaan toksikologik.
Pemeriksaan otak biasanya tidak ditemukan adanya edema otak pada
kasus kematian yang cepat, misalnya pada kematian akibat barbiturat, eter dan
juga pada keracunan kronik arsen atau timah hitam. Perdarahan kecil-kecil
dalam otak dapat ditemukan pada keracunan karbon-monoksida, barbiturat,
nitrogen oksida, dan logam berat seperti air raksa air raksa, arsen dan tmah
hitam. Obat-obat yang bekerja pada otak tidak selalu terdapat dalam
konsentrasi tinggi dalam jaringan otak.
Pada pemeriksaan jantung dengan kasus keracunan karbon monoksida
bila korban hidup selama 48 jam atau lebih dapat ditemukan perdarahan
berbercak dalam otot septum interventrikel bagian ventrikel kiri atau
perdarahan bergaris pada muskulus papilaris ventrikel kiri dengan garis
13

menyebar radier dari ujung otot tersebut sehingga tampak gambaran seperti
kipas.
Pada pemeriksaan limpa selain pembendungan akut limpa tidak
menunjukkan kelainan patologik. Pada keracunan sianida, limpa diambil
karena karena kadar sianida dalam limpa beberapa kali lebih besar daripada
kadar dalam darah. Empedu merupakan bahan yang baik untuk penentuan
glutetimida, quabaina, morfin dan heroin. Pada keracunan karena inhalasi gas
atau uap beracun, paru-paru diambil, dalam botol kedap udara.
Jaring lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah kulit
daerah perut. Beberapa racun cepat di absorpsi dalam jaringan lemak dan
kemudian dengan lambat dilepaskan kedalam darah. Jika terdapat persangkaan
bahwa korban meninggal akibat penyuntikan jaringan di sekitar tempat
suntikan diambil dalam radius 5-10 cm.
Pada dugaan keracunan arsen rambut kepala dan kuku harus diambil.
Rambut diikat terlebih dahulu sebelum dicabut, harus berikut akar-akarnya,
dan kemudian diberi label agar ahli toksikologi dapat mengenali mana bagian
yang proksimal dan bagian distal. Rambut diambil kira-kira 10 gram tanpa
menggunakan pengawet. Kadar arsen ditentukan dari setiap bagian rambut
yang telah digunting beberapa bagian yang dimulai dari bagian proksimal dan
setiap bagian panjangnya inci atau 1 cm. terhadap setiap bagian itu
ditentukan kadar arsennya.
Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat kukukuku kedua ibu jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku dicabut dan dikirim tanpa
diawetkan. Ahli toksikologi membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari
proksimal. Kadar tertinggi ditemukan pada 1/3 bagian proksimal.
4. Pengambilan Bahan Pemeriksaan Toksikologik
Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap pada
waktu autopsi daripada kemudian harus mengadakan penggalian kubur untuk
mengambil bahan-bahan yang diperlukan dan melakukan analisis toksikologik
atas jaringan yang sudah busuk atau sudah diawetkan.
Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari sebelah
kanan dan sebelah kiri masing-masing sebnayak 50 ml. Darah tepi sebanyak
30-50 ml, diambila dari vena iliaka komunis bukan darah dari vena porta. Pada
14

korban yang masih hidup, darah adalah bahan yang terpenting, diambil 2
contoh darah masing-masing 5 ml, yang pertama diberi pengawet NaF 1% dan
yang lain tanpa pengawet.
Urin dan bilasan lambung diambil semua yang ada didalam kandung
kemih untuk pemeriksaannya. Pada mayat diambil lambung beserta isinya.
Usus beserta isinya berguna terutama bila kematian terjadi dalam waktu
beberapa jam setelah menelan racun sehingga dapat diperkirakan saat kematian
dan dapat pula ditemukan pil yang tidak hancur oleh lambung.
Organ hati harus diambil setelah disisihkan untuk pemeriksaan patologi
anatomi dengan alasan takaran forensik kebanyakan racun sangat kecil, hanya
beberapa mg/kg sehingga kadar racun dalam tubuh sangat rendah dan untuk
menemukan racun, bahan pemeriksaan harus banyak, serta hati merupakan
tempat detoksikasi tubuh terpenting.
Ginjal harus diambil keduanya, organ ini penting pada keadan intoksikasi
logam, pemeriksaan racun secara umum dan pada kasus dimana secara
histologik ditemukan Ca-oksalat dan sulfo-namide. Pada otak, jaringan lipoid
dalam otak mampu menahan racun. Misalnya CHCI3 tetap ada walaupun
jaringan otak telah membusuk. Otak bagian tengah penting pada intoksikasi
CN karena tahan terhadap pembusukan. Untuk menghidari cairan empedu
mengalir ke hati dan mengacaukan pemeriksaan, sebaiknya kandung empedu
jangan dibuka.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengambil sampel selain dengan
cara yang telah disebutkan, adalah :
1. Tempat masuknya racun (lambung, tempat suntikan)
2. Darah
3. Tempat keluar (urin, empedu)
5. Jelaskan tentang surat keterangan kematian!
Seorang dokter baik dokter pemerintah atau dokter swasta, dokter umum atau
dokter ahli, apabila pasien yang telah dirawat meninggal dunia, maka dokter tersebut
wajib membuat atau mengisi formulir surat kematian yang kemudian salah satu surat
kematian tersebut diserahkan kepada keluarga pasien yang telah meninggal dunia guna
15

mengurus proses pemakaman. Formulir surat kematian yang lain dikirim ke Dina
Kesehatan Kota (DKK) dan ke Kantor Wilayah Departemen Kesehatan (KanWil), yang
satu lagi dikirim ke Kantor Catatan Sipil kalau meninggalnya di rumah sakit
pemerintah.
Guna surat kematian:
1)

Sebagai bukti bahwa seseorang meninggal dunia

2)

Untuk statistik sebab kematian

3) Dalam dunia ilmu kedokteran, dengan adanya kewajiban pengisian formulir surat
kematian oleh dokter pada setiap kasus kematian, maka pada kasus kematian yang
tidak wajar (pembunuhan) tidak terlanjur dikubur sebelum dilakukan pemeriksaan
bedah mayat.

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan skenario yang telah disediakan, kelompok 1 mengambil keracunan
sebagai penyebab kematian yang paling mungkin. Hal ini didasari pada masalah minum
kopi sebelum timbulnya gejala. Korban juga masih berusia 20 tahun, yang mana kita
ketahui bahwa jarang sekali terjadi kematian akibat penyakit. Namun, kecurigaan ini perlu
16

dikonfirmasi lebih lanjut menggunakan pemeriksaan anamnesa, pemeriksaan luar, dalam


dan juga laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Asdie, Ahmad H (Ed.). Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-13, Volume 1. Jakarta:
EGC; 2000
Baradero, M., Wilfrid Dayrit, Yakobus Siswadi.. Klien Gangguan Kardiovaskular. Jakarta: EGC;
2008
Budiyanto A, Widiatmaka, Sudiono S, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi pertama. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997
Gonzales TA, Vance M, Helpern M, Umberger CJ. Legal Medicine. Pathology and toxicology.
2nd edition. New York : Appleton century croft. 1954 :102 51
Hoediyanto, Hariadi. Medikolegal, Edisi Ketiga. Surabaya: Fakultas Kedokteran Airlangga; 2007
International classification of diseases (ICD-10). Geneva, World Health Organization, 2005
(.pdf) diunduh dari http://www.who.int/classifications/icd/en/ pada 29 September 2016
17:59

17

Peeters, SY; Hoek, AE; Mollink, SM; Huff, JS (2014). "Syncope: risk stratification and clinical
decision making.". Emergency medicine practice. 16 (4): 122; tersedia di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25105200 diakses pada 29 September 2016 20:49
Perdanakusuma, M,. Bab-Bab Tentang Kedokteran Forensik. Jakarta : Ghalia Indonesia; 1984
Staf Pengajar FK UI. Teknik Autopsi Forensik. Cetakan Ke-4. Jakarta:Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000
Suyono (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Universitas; 2001
Sylvia A. Price dan Lorraine M.Wilson. PATOFISIOLOGI:Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6, Volume 2. Jakarta: EGC; 2003
Schwartz, S.I., 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

18

Anda mungkin juga menyukai