Anda di halaman 1dari 8
JURNAL PUR atl CU EE aPC Rea] eS ee ere CMean apc ae LSU ee eld eee te Halim Kebljakan Perencanaan Diklat Aparatur eure) LCL U Cet y Ce R auras aS Da edhe USUI ge tt Pease} Area LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA, Pusar Kalan DAN @. PENDIDIKAN DAN PELATIHAN ~ APARATUR IL | JURNAL Administrasi Publik YYolume Ii | Nomor 3| Septumber 2008 | ISSN 1858.2168 JURNAL ADMINISTRASI PUBLIK Media pengembangan dan penyebarluasan ilmu yang merupakan hasil-hasil penelitian, anaisis, kajian, dan gagasan ilmiah dalam bidang ilmu administrasi publik PENERBIT Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I Lembaga Administrasi Negara Makassar SUSUNAN REDAKSI Penanggung Jawab : Drs, Hamka, MA. Wakil Penanggung Jawab : Drs. Muttaqin, MBA Pemimpin Redaksi: Drs. Ridwan Radjab, M Si Anggota Drs, Burhanuddin, Mi; Drs. Muh, Idris, Mi; Drs. Lukman, M.Si; Dra. Gina Lucita, MBA; Jumalia Mannayong, SSos,, MPd Sekretariat Fatimah Bandri, $5, M-Pol. Admin; Yohannes Sule, Murniati; Irmayani ; Erman Fahruddin ALAMAT REDAKSI: Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur It Lembaga Administrasi Negara Makassar JI Raya Baruga No. 48 Antang - Makassar Telp. (0811) 490101, 490107 - 110 Fax, (0411) 490107, 490110 Website: www lan-makassar info yang. lowong, keobjektifan B= kalangan_ masih meragukan terhadap penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) segera berlangsung di Indonesia apakah betul berlangsung secara objektif. Pertanyaan kemudian adalah mengapa terdapat anggota masyarakat yang memandang kurang objektif (terjadi korupsi) dalam penerimaan CPNS. Pikak yang berpandangan seperti ini tentu memiliki alasan. Misalnya, dengan melihat dan mendengarkan di berbagai_media bahwa Indonesia termasuk negara urutan ke-6 terkorupsi di dunia. Masalahnya KOMITMEN PEMERINTAH TERHADAP OBJEKTIVITAS PENERIMAAN CPNS Juimal Adminstrasi Publik | Volume TT | No. 3 | September 2006 Lukman 8." Abstrak Keobjektfan ponerimaan Calon Pegatoni Negeri Sipil (CPNS) di Indonesia dewasa ini masih dirasa saugat memprihatinkan oleh karena praktek korups, Kolusi dan nepotisnee di negara kita telah begitn menjanuar dan membudaya, Wataypun dari perspektif Kebijakan publik, penerinaan CPNS ditujukan untuk mesigisi formasi nannun konsistensi antara (pelaksanaan) dari hebijakane tersebut masil sanigat rendah. Untuk itu, diperlukan “attire main yang jelas;trausparansi; dan akuntabilites publik’ sebagai tiga fktor rutama yang wai dipegang dalam proses penerimaan CPNS dent terciptanya “formulasi” tan “iniplertentasi” kemudian adalah apakah penerimaan CPNS yang diselenggarakan di sektor publik, tidak terjangkit oleh penyakit korupsi. Dalam konteks yang lebih luas, korupsi senantiasa bergandengan dengan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Uraian tulisan ini diawali dengan makna korupsi di sektor publik, selanjutnya adalah beberapa butir implikasi kebijakan dalam mengatasi (setidak-tidaknya_mengurangi) praktek KKN dalam penerimaan CPNS, Pertama, secara umum Bank Dunia mengartikan korupsi sebagai Drs. Lukman S,, Mi, Kepala Sub Bag. Perencanaan dan Pelaporan PKP2A Il LAN Makassar “penggunaan jabatan pemerintah untuk kuntungan pribadi.” Makna korupsi di Sektor Publik mencakup tiga aspek, yaitu: (a) pembayaran (di luar ketentuan) untuk pelayanan lebih cepat; (b) pemberian perlakuan lebih istemewa dalam pengadaan; dan (¢) suap kecil-kecilan untuk memperoleh pekerjaan (Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia atau KPTPI, 2002) Korupsi di Sektor Publik telah dianggap “biasa” terjadi oleh sekitar 75% (3 diantara 4) dari total.orang pernah ditanya (responden) dari kalangan rumah tangga, perusahan, dan dari kalangan pemerintah sendiri. Dari survai tersebut, ada sekitar 65% (sekitar 2 diantara 3) kalangan rumah tangga menganggap serius masalah ini, karena telah mengalami sendiri dengan melibatkan pejabat pemerintah, Anehnya adalah unsur pemerintah sekalipun menilai bahwa korupsi merupakan masalah serius dan perlu ditangani karena menghambat pembangunan Transaksi antara masyarakat dengan oknum pejabat tertentu, sehingga terjadi korupsi lebih didasarkan karena ada unsur “keterpakasaan” dari masyarakat karena tidak mendapat pelayanan istimewa jika tidak melakukannya. Survai_ yang dimaksudkan di atas, memang tidak secara khusus menyangkut KKN 172 {25 dermal Administrasi Publik | Volume TI | No.3 | September 2006 dalam penerimaan CPNS, namun melalui berbagai kajian/ pengalaman menunjukkan bahwa korupsi memang terjadi di dalam proses kegiatanini Dilihat dari konteks kebijakan publik, fungsi penerimaan CPNS bertujuan untuk mengisi “formasi yang lowong” dengan mendapatkan CPNS yang bekualitas, profesional melalui seleksi secara “objektif” (bebas KKN). Ketersediaan UU (formulasi kebijakan) — tentang Manajemen SDM di sektor publik ini telah ada dan pada intinya menginginkan penerimaannya berlangsung secara objektif. Namun melalui berbagai kajian menunjukkan bahwa secara umum formulasi kebijakan publik (aturan strategis) di negara berkembang seperti Indonesia memang. telah tersedia, namun yang masih kurang adalah konsistensi antara “formulasi” dan “implementasi” (pelaksanaan) dari kebijakan tersebut. Khusus mengenai “formasi yang lowong” diartikan sebagai jabatan yang belum terisi dalam lingkungan organisasi publik yang disebabkan oleh banyak faktor, antara lain karena ada PNS yang pensiun, meninggal dunia atau organisasi mengalami perkembangan sehingg? diperlukan penambahan_pegawai baru. Penerimaan CPNS ini, sanget berkaitan dengan berbagai_aspek Sosial, Ekonomi dan Politik. Dari aspek ekonomi misalnya, kemampuan keuangan negara atau daerah yang sangat terbatas untuk menggaji CPNS, namun tetap diperlukan penambahan PNS Dilihat dari aspek sosial (khususnya dari kajian ilmuadministrasi negara), dikenal apa yang disebut “Hukum Partkinson” (Parkinson's Law). Secara garis besar hukum ini berintikan bahwa: (a) setiap pegawai regeti berusaha sedemikian rupa untuk meningkatkan jumlah pegawai bawahannya; (b) setiap pegawai akan menciptakan tugas baru bagi dirinya sendiri yang kurang diketahui arti dan manfaatnya. Hukum ini masih berlaku di Indonesia hingga sekarang, dimana penerimaan pegawai negeri cukup tinggi meskipun tidak disertai beban (volume) kerja yang kurangi. Proses seperti ini dapat dibandingkan dengan inflasi mata uang. Bila peredaran mata uang ditambah terus secara cepat tanpa mengingat beban tugas pemerintahan, maka “nilai” pegawai negeri semakin menurun, maka terjadilah infelasi. Hukum Parkinson's berpandangan bahwa Pertambahan pegawai negeri tetap perlu dilakukan, tetapi harus disertai dengan volume kerja yang seimbang, dan pengadaannya dilakukan secara ‘urnal Adminstrasi Public | Volume Tt | No.3 | September 2006 objektif (bebas KKN). Jika hanya jumlah PNS saja yang bertambah, tetapi tidak disertai profesionalisme, maka akan menimbulkan apa yang disebut “birokratisasi,” yaitu péroses penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang semakin lambat, sementara tuntutan globalisasi menginginkan sebaliknya (penyelenggaraanya secepat mungkin). Kedua, ada berbagai butir implikasi kebijakan (resep) yang dapat ditempuh dalam penerimaan CPNS. sehingga dapat berjalan secara objektif. Tiga butir diantaranya yang dapat dilakukan yaitu melalui aturan main yang jeias, transparansi danakuntabilitas publik. Aturan main yang jelas. Kebijakan strategis dari pemerintah pusat tentang penerimaan PNS belum bersifat operasional. Misalnya, kriteria calon PNS yang berkualitas dan profesional serta pelaksanaanya secara “objektif” disini: masih abstrak, sehingga masih diperlukan “aturan main” yang lebih operasional dalam bentuk Juklat/ Juknis yang terbit sebelum pengadaan CPNS setiap tahun. Namun_beberapa aspek yang lazim terdapat di dalam kebijakan strategis penerimaan PNS antara lain bahwa setiap Warga Negara Republik Indonesia _memiliki kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS setelah_memenuhi berbagai syarat yang telah ditentukan (opert conipetition), seperti kualitas dan profesionalisme. Apabila semua aturan main yang ada telah dijalankan secara_konsisten, berarti penerimaan CPNS telah berjalan obyektif pula, tetapi pertanyaannya kemudian adalah mengapa banyak kasus yang muncul di permukaan yang mensinyalir bahwa penerimaan PNS kurang objektif pelaksanaannya. Mencer- mati kenyataan di masyarakat, memang ada pihak yang cukup pesimis lolos dalam penjaringan CPNS, karena tidak memiliki keluarga atau kerabat dekat yang dipandang dapat mengurusnya, namun tetap melamar karena tidak ada pilihan pekerjaan lain yang dipandang sesuai dengan dirinya. Transparansi. Aspek ini berarti aturan main dalam penerimaan PNS dilakukan secara terbuka kepada masyarakat, Misalnya, lowongan PNS yang ada instansi diumunkan kepada masyarakat melalui media Keterbukaan seperti ini dimaksudkan agar banyak anggota masyarakat melamar menajdi PNS sehingga semakin terbuka peluang. kepada pemerintah untuk memilih calon yang berkualitas dan profesional sesuai kebutuhan instansi. Beberapa aspek yang biasa diumunkan mengenai_persyaratan 1 Jornal Administra: Publik | Volume LI | No.3 | September 2006 ini. Misalnya, ditetapkan umur sekurang-kurangnya dan umur setinggi-tingginya. Umur sekurang- kurangnya ini, antara lain berkaitan dengan kematangan emosional pelamar, somentara umur setinggi- tingginya berkaitan dengan masa bakti PNS setelah terangkat dipandang pendek kepada negara apabila lebih tinggi dari umur tersebut. Disamping itu, pelamar harus berkelakuan baik serta bersedia ditempatkan di seluruh Indonesia yang ditentukan oleh pemerintah. Khusus menyangkut kesediaan CPNS di tempatkan di seluruh wilayah Indonesia sebenarnya merupakan suatu. “peluang” dan “sekaligus” ancaman bagi instansi | pemerintah dalam periode jangka panjang. Berfungsi sebagai peluang karena pemerintah dapat menerima PNS yang berkualitas sesuai kebutuhannya dari berbagai penjura di Tanah Air. Namun_ menjadi ancaman ketika kesempatan. ini digunakan oleh pihak tertentu untuk menitipkan calon CPNS (pertukaran calon) dengan daerah lain. Melalui beberapa kajian Manajemen SDM di sektor publik, kasus seperti ini memang ada di masyarakat, namun kurang diangkat ke permukaan. ‘Transparansi juga dapat dilakuken dengan mengadopsi cara penilaian dosen kepada mahasiswa yang telah banyak diperaktekkan di berbagai Perguruan Tinggi, yaitu dengan memperlihatkan hasil ujian (keunggulan dan kelemahan) sehingga seorang mahasiswa dapat dinyatakan Julus atau tidak lulus dalam ujian tertentu. Transparansi model ini bisa saja diadopsi ke dalam penerimaan PNS asalkan saja panitia yang dibentuk memang profesional "dang ini, Namun kendalanya sering terbentur kepada ketakutan pimpinan instansi tertentu, mengambil resiko dalam mengembangkan model yang telah termuat di dalam Juklat/Juknis yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. [Akuntabilitas publik. Fungsi ini Imenunjuk kepada seberapa besar ebijakan penerimaan PNS tunduk kepada pejabat politik yang, dipilih joleh rakyat. Asumsinya adalah lbahwa para pejabat politik yang ada adalah dipilih oleh rakyat, maka secara ideal akan selalu Imengekspresikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep jakuntabitas yang digunakan tetap sejalan dengan konsep transparansi, yaitu. seberapa besar pelaksanaan penerimaan CPNS konsisten dengan ehendak masyarakat banyak. Fungsi pengadaan CPNS tidak hanya ukup dilihat dari ukuran internal yang biasa digunakan di dalam Wganiasai publik, seperti hanya iclalui materi ujian kompetensi dan 2Jurnal Adminstrasi Publik | Volume | No. 3| September 2006 ‘ujian_psikotes, tetapi juga sebaiknya dinilai dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Penelitian menyangkut akuntabilitas (pelayanan publik) telah dilakukan di Sumatera Barat, DIY Yogyakarta dan Sulawesi Selatan. Hasilnya menunjukkan bahwa secara umum kondisi akuntabilitas publik di tiga’ propinsi ini, masih bertaraf buruk, yakni secara rata-rata sekitar 88,3 persen responden memandang akuntabilitas publik bertaraf buruk Sebaliknya, hanya ada sekitar 11,7 persen yang menilai akuntabilitas publik telah berjalan baik. Meskipun demikian, Sulsel sedikit' memiliki akuntabilitas publik lebih baik (13,0 persen) dibanding DIY Yogyakarta (12,9 persen) dan Sumatera Barat hanya 9,1 persen (Dwiyanto, dkk. 2001). Hal ini berarti fungsi akuntabilitas publik memang belum berjalan secara baik di lembaga publik yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti komitmen kita yang masih rendah terhadap aspek ini Akuntabilitas publik, memang tidak begitu mudah dijalankan’ karena subtansi suatu keputusan pemerintah tidak dipahami secara mendalam oleh masyarakat. Misalnya, pemerintah telah menentukan jumlah PNS yang akan diterima sangat terbatas karena formasi dan kemampuan pemerintah memang terbatas, tetapi dikalangan masyarakat justru. menginginkan jumlah yang lebih besar karena masyarakat tidak memiliki pilihan ain dan masih memandang, penjadi PNS scbagai jenis pekerjaan yang masih terpandang di lingkungannya Dari sisi akuntabilitas publik, bukan hanya pihak eksekutif yang patut memberikan pemahaman kepada masyarakat, tetapi juga kalangan pejabat politik (DPR/DPRD) di bidang ini adalah wajar ikut serta memberikan_ penjelasan_ mengenai kesulitan tersebut kepada masyarakat melalui berbagai media Fungsi akuntabilitas publik ini, dapat dilakukan dengan melibatkan Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang ini Komitmen Tinggi. Komitmen diartikan sebagai keinginan keras dari berbagai unsur pemerintah (terutama oleh panitia) dalam penerimaan CPNS secara objektif Penerimaan CPNS secara_objektif merupakan peluang bagi pemerintah untuk merekrut calon yang berkualitas, namun jika dilakukan tidak dengan komitmen tinggi berarti hanya _menambah beban negara, dan sekaligus menyimpan “pibit konflik sosial” yang dapat {8 Durval Administasi Publik | Volume I | No.3 | September 2006 meledak setiap waktu. Namun kita tetap menaruh harapan yang besar kepada pemerintah, semoga pelaksanaannya borlangsung secara objektif dengan komitmen tinggi dalam menerapkan berbagai aturan yangada “semoga' Daftar Pustaka Bernardin, HJ. dan J. E. A. Russel 1993. Human Resource Management : An Experiential Approach, McGraw-Hill, Inc, New York. Dessler, G. 1997, Manajeinen Suniber Daya Manusia, terj. oleh Benyamin Molan, Prenhallindo, Jakarta, Dharma, S. 2002, Penngembangan SDM Berbasis Kompetensi, Manajemen Usahawan Indonesia. No. 1 Januari 2002: 18-24 : Morgan, G. 1991. Images of Organization. SAGE Publications, Ine., California Osborne, D. dan T. Gebler. 1995. Mewirausahan Birokrasi, (Ter} Abdul Rosyid). Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai