Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi


Manusia Pasal 25 Ayat (1) menyatakan, setiap orang berhak atas derajat hidup yang
memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya termasuk hak
atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial
yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit,
cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang
mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya (Tim
Advokasi JKN, 2014).

Dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang
juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial
(Menkes RI, 2012).
Salah satu bentuk pelaksanaan dan pengembangan upaya kesehatan dalam
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah rujukan upaya kesehatan. Untuk
mendapatkan mutu pelayanan yang lebih terjamin, berhasil guna (efektif) dan
berdaya guna (efesien), perlu adanya jenjang pembagian tugas diantara unit-unit
pelayanan kesehatan melalui suatu tatanan sistem rujukan. Pelaksanaan sistem
rujukan di indonesia telah diatur dengan bentuk bertingkat atau berjenjang, yaitu
pelayanan kesehatan tingkat pertama, kedua dan ketiga, dimana dalam
pelaksanaannya tidak berdiri sendiri-sendiri namun berada di suatu sistem dan
saling berhubungan. Apabila pelayanan kesehatan primer tidak dapat melakukan
tindakan medis tingkat primer maka ia menyerahkan tanggung jawab tersebut ke
tingkat pelayanan di atasnya, demikian seterusnya. Apabila seluruh faktor
pendukung (pemerintah, teknologi, transportasi) terpenuhi maka proses ini akan
berjalan dengan baik dan masyarakat awam akan segera tertangani dengan tepat
(Depkes RI, 2009).

Undang-undang SJSN dan BPJS mengamanatkan kepada kita semua


komunitas kesehatan untuk dapat menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu,
merata dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Selain itu, pemerintah juga harus
dapat menjamin tersedianya pelayanan kesehatan sampai ke daerah terpencil dan
penduduk miskin (Idris, 2014).
Namun, pada pelaksanaannya jangkauan pelayanan kesehatan belum
merata, terutama di DTPK dan miskin. Sistem rujukan pasien selama ini dirasakan
masih belum dapat menjangkau pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
Akibatnya, terjadi penumpukan pasien yang luar biasa di rumah sakit besar tertentu,
Oleh karena itu, harus dikembangkan sistem rujukan yang lebih baik, yaitu dengan
mengembangkan sistem rujukan regional, yang terstruktur dan berjenjang
(Kemenkes RI, 2014).
Sistem rujukan pelayanan kesehatan merupakan salah satu komponen upaya
kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Sistem
rujukan pelayanaan kesehatan di Indonesia masih belum terlaksana dengan baik.
Laporan ini disusun untuk memberikan informasi mengenai sistem rujukan dan
koordinasi antar sistem kesehatan secara umum, maupun secara khusus di RSUD
Kota Surakarta, sehingga diharapkan seluruh tenaga kesehatan dapat berperan serta
dalam mewujudkan peningkatan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. SISTEM RUJUKAN
1. Definisi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 001
tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan kesehatan, sistem rujukan
pelayanan kesehatan ialah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara
timbal balik baik vertikal maupun horizontal. Pengertian sistem rujukan
menurut Sistem Kesehatan Nasional, merupakan suatu sistem penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal
balik terhadap satu/ lebih kasus penyakit atau masalah kesehatan secara
vertikal dari unit berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau
secara horizontal antar unit-unit yang setingkat kemampuannya (Depkes RI,
2009). Sistem rujukan juga memiliki arti suatu sistem penyelenggaraan
pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal
balik terhadap satu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal (dari
unit yang lebih mampu menangani), atau secara horizontal (antar unit-unit yang
setingkat kemampuannya) (Dinkes NTB, 2011).

2. Ketentuan Umum
a. Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu:
1) Pelayanan kesehatan tingkat pertama;
2) Pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
3) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
b. Pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan pelayanan kesehatan
dasar yang diberikan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama.
c. Pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan
spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi

spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan


spesialistik.
d. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga merupakan pelayanan kesehatan
sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau dokter
gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi
kesehatan sub spesialistik.
e. Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat
pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan
mengacu pada peraturan perundang undangan yang berlaku
f. Peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan
sistem rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak
sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS
Kesehatan.
g. Fasilitas Kesehatan yang tidak menerapkan sistem rujukan maka BPJS
Kesehatan akan melakukan recredentialing terhadap kinerja fasilitas
kesehatan tersebut dan dapat berdampak pada kelanjutan kerjasama
h. Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal.
i. Rujukan horizontal/ internal adalah rujukan yang dilakukan antar
pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat
memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien
karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang
sifatnya sementara atau menetap.
j. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat
pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi
atau sebaliknya.
1) Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke
tingkatan pelayanan yang lebih tinggi dilakukan apabila:
a) pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik
atau subspesialistik;

b) perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan


sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan
fasilitas, peralatan dan/ atau ketenagaan.
2) Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke
tingkatan pelayanan yang lebih rendah dilakukan apabila :
a) permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh
tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih rendah sesuai
dengan kompetensi dan kewenangannya;
b) kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama
atau kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut;
c) pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat
ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih
rendah dan untuk alasan kemudahan, efisiensi dan
pelayanan jangka panjang; dan atau
d) perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan
sarana, prasarana, peralatan dan atau ketenagaan (Idris,
2014).

Gambar 2.1 Sistem Rujukan Berjenjang (Idris, 2014)

Gambar 2.2 Skema Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan di Indonesia


(Depkes RI, 2009)
Pelaksanaan sistem rujukan di indonesia telah diatur dengan bentuk
bertingkat atau berjenjang, yaitu pelayanan kesehatan tingkat pertama, kedua
dan ketiga, seperti pada gambar 2.2 dimana dalam pelaksanaannya tidak berdiri
sendiri-sendiri namun berada di suatu sistem dan saling berhubungan. Apabila
pelayanan kesehatan primer tidak dapat melakukan tindakan medis tingkat
primer maka ia menyerahkan tanggung jawab tersebut ke tingkat pelayanan di
atasnya, demikian seterusnya. Apabila seluruh faktor pendukung (pemerintah,
teknologi, transportasi) terpenuhi maka proses ini akan berjalan dengan baik
dan masyarakat awam akan segera tertangani dengan tepat (DepKes RI, 2009).
Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam alur rujukan yaitu:
a.

Klasifikasi Fasilitas Kesehatan.

b.

Lokasi / Wilayah Kabupaten/Kota

c.

Koordinasi unsur-unsur pelaksana


6

Alur rujukan kasus kegawat daruratan dari Kader dapat langsung


merujuk ke: Puskesmas pembantu, pondok bersalin atau bidan di desa,
puskesmas rawat inap, rumah sakit swasta / RS pemerintah (DepKes RI,
2009).

3. Tujuan Utama Sistem Rujukan Terpadu


Tujuan Utama Sistem Rujukan Terpadu (SRT) menurut Schmitt, et al.
(2014):
a. Meningkatkan jangkauan bagi penerima manfaat
Program-program perlindungan sosial di Indonesia secara umum belum
mampu menjangkau mereka yang membutuhkan karena berbagai
alasan:
Proses penyeleksian penerima manfaat program tidak didasarkan
pada kebutuhan penerima manfaat, tetapi lebih pada ketersediaan
anggaran. Karena alasan keterbatasan dana tersebut, hanya sebagian
penerima manfaat yang mendapatkan bantuan dari programprogram perlindungan sosial yang ada. Selain itu, jumlah anggaran
mengalami perubahan setiap tahunnya, pencantuman nama
penerima manfaat juga bervariasi.

Basis data rumah tangga miskin sangat terbatas dan pemuktahiran


hanya dilakukan sekali setiap tiga tahun oleh Badan Pusat Statistik
melalui Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS). Petugas
BPS melakukan proses penggalian informasi kepada rumah-tangga
miskin kemudian mencocokkan informasi tersebut kepada Kepala
Desa dan Ketua RT/RW. Namun, basis data tersebut belum
memiliki kualitas yang baik karena beberapa alasan, seperti
kemampuan wawancara yang rendah, tidak tersedianya anggaran
pemerintah untuk dapat melakukan proses wawancara dengan
kualitas tinggi, tidak melibatkan langsung pemerintah daerah dalam
pemuktahiran data PPLS, dan waktu pemuktahiran yang cukup
panjangtiap tiga tahun sekali. Tentu saja hal-hal di atas

menyebabkan kesalahan memasukkan atau atau mengeluarkan


nama penerima manfaat dari daftar. Hal itu menimbulkan frustrasi
seperti terjadi pada kasus pembagian beras miskin (RASKIN)
yang mengakibatkan

terjadinya kerusuhan sosial di beberapa

tempat sejak program tersebut diluncurkan 10 tahun lalu.

Meskipun rumah tangga miskin mengetahui tentang program yang


ada, mereka tidak memahami bagaimana proses pendaftaran karena
program tersebut menggunakan metode pencarian target tertentu
yang hanya diketahui oleh pihak pemerintah.

Dalam kaitannya dengan pekerja sektor informal yang akan menjadi


target penerima bantuan dalam skema sistem jaminan sosial
nasional, mereka pada umumnya tidak termasuk sebagai kategori
penduduk miskin, namun mereka rentan menjadi miskin dan tidak
terdaftar dalam skema perlindungan sosial swasta.
Sistem Rujukan Terpadu (SRT) menyediakan satu titik

pelayanan terpadu bagi seluruh warga negara untuk mengakses


informasi dan mendaftar pada program perlindungan sosial serta
layanan ketenagakerjaan. Fasilitator komunitas (RT/RW) akan
menyampaikan informasi program dan layanan bantuan untuk
menfasilitasi pendaftaran dan proses pengajuan aplikasi. Selain itu,
mereka juga bertugas mencocokkan layanan program dengan skema
manfaat program, sesuai dengan karakter kebutuhan tiap orang.
Rancangan layanan itu akan terus diperbaiki berdasarkan masukan dan
aduan yang disampaikan masyarakat seiring dengan berjalannya waktu.
SRT merupakan tempat di mana informasi mengenai penerima manfaat
program perlindungan sosial dapat selalu dimuktahirkan, karena
pengumpulan data rumah tangga akan selalu dilakukan oleh SRT
(Schmitt et al, 2014)
b. Koordinasi horizontal dan vertikal untuk meningkatkan efisiensi
Pada saat ini, fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) dalam berkoordinasi dengan dinas teknis (Dinas

Kesehatan, Pendidikan, Sosial, dan Ketenagakerjaan) sebagai


pelaksana lapangan program tidak berlangsung dengan baik.
Meskipun program-program di bawah kementerian terkait saling
melengkapi, mereka tidak saling bertukar informasi mengenai
pelaksanaan teknis lapangan setiap program yang ada di daerahnya.
Misalnya beberapa data pencari kerja belum terhubungkan dengan
informasi kesempatan kerja yang ada (Schmitt et al, 2014).
Banyak di antara program tersebut menggunakan petugas
pendamping pada tingkat komunitas di mana mereka hanya fokus
kepada program mereka saja dan daerah targetnya, sehingga tidak ada
mekanisme yang menghubungkan petugas pendamping dari berbagai
program yang ada. Hal ini menyebabkan inefisiensi administrasi
pemerintahan dan tumpang-tindihnya proses administrasi pada
tingkatan rumah tangga. Proses seperti identifikasi rumah tangga
miskin

dan

pendaftarannya,

penyebarluasan

informasi,

dan

pengumpulan iuran dilakukan oleh masing-masing program secara


terpisah. Pada dasarnya pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah-TKPKD (dipimpin oleh Wakil Gubernur, Wakil
Bupati dan Wakil Walikota) pada tingkat Provinsi/Kabupaten/kota
merupakan langkah awal untuk memperbaiki mekanisme koordinasi di
antara pelaksana administrasi di daerah, namun sayangnya tim ini gagal
mengkoordinasikan berbagai satuan kerja teknis di daerah yang terlibat
dalam program perlindungan sosial. Dalam banyak kasus, tim
pelaksana TKPKD tersebut tidak didukung oleh struktur anggaran yang
memadai guna menjalankan operasional program (Schmitt et al, 2014).
Sistem

Rujukan

Terpadu

akan

dijalankan

oleh

staf

pemerintahan daerah pada tingkat Kecamatan dan Kabupaten/kota. Staf


SRT harus memahami berbagai program yang ada dan melayani
masyarakat sebagai petugas garda depan pelayanan. Hal ini tentunya
akan meningkatkan koordinasi horizontal antara Dinas Teknis
Pemerintah Daerah dengan Kementerian Teknis terkait (Kementerian

Kesehatan, Sosial, Ketenagakerjaan, Pendidikan, dan lainnya). SRT


menggunakan pendekatan metode manajemen kasus dan menyediakan
mekanisme penyesuaian antara kebutuhan masyarakat dengen paket
manfaat dari program-program yang ada. Sistem ini akan meningkatkan
sinergitas antar berbagai program, sehingga akan berpengaruh lebih
besar pada pengurangan kemiskinan. Keterkaitan program dapat
terjadi, misalnya, skema jaminan sosial kecelakaan kerja merupakan
manfaat yang otomatis diterima bila seorang warganegara terlibat
dalam program pekerjaan publik. Pendekatan manajemen kasus juga
akan mengurangi duplikasi target yang saat ini merupakan salah satu
masalah terbesar dalam program perlindungan sosial di Indonesia. Pada
dasarnya, SRT berfungsi mengumpulkan informasi perorangan dan
rumah tangga, yang kemudian dikombinasikan dengan program yang
ada, dan menyebarluaskan keberadaan program-program tersebut
dalam sebuah payung untuk berbagi pengetahuan dan informasi
program pada tingkat daerah (Schmitt et al, 2014).
Sistem Rujukan ini dilengkapi dengan sistem informasi
manajemen (SIM) yang mensinkronisasi informasi tentang potensi
penerima manfaat (penduduk miskin, hampir miskin, dan tidak
miskin)

denganprogram-program yang ada dari tingkat Nasional,

Provinsi, Kabupaten/kota, dan mitra pembangunan internasional (PBB,


organisasi bilateral, dan LSM internasional). SIM akan menghasilkan
informasi yang diperlukan untuk melakukan pemantauan mekanisme
layanan dan cakupan penerima manfaat. Sistem ini juga akan
meningkatkan kemampuan pendeteksian sistem layanan secara
keseluruhan. Selain itu, dengan adanya mekanisme pengaduan layanan,
SRT akan berfungsi sebagai mekanisme untuk mendeteksi kelemahan
sistem yang ada. Dengan sistem evaluasi berkala, maka kinerja program
akan dapat diperbaiki secara terus-menerus. SIM dan arus informasi
dari daerah ke tingkat nasional akan memperbaiki integrasi vertikal
sistem perlindungan sosial (Schmitt et al, 2014).

10

Gambar 2.3 Tujuan Utama Sistem Rujukan Terpadu (Schmitt et


al, 2014)
c. Pemberdayaan Pemerintah Daerah dan Masyarakat
Mekanisme yang ada saat ini adalah pemerintah pusat
merancang

program

tertentu,

sedangkan

pemerintah

daerah

mengimplementasikan program tersebut melalui Satuan Kerja


Perangkat Daerah (SKPD) teknis. Hal ini mengakibatkan Pemerintah
Daerah tidak memiliki kewenangan berarti dalam mekanisme
koordinasi dan penyampaian program-program yang ada. Sinergitas
antarlembaga dan program menjadi hilang dalam implementasi
program-program tersebut, karena kenyataannya Pemerintah Daerah
adalah pihak yang kerapkali dihubungi oleh seluruh masyarakat terkait
dengan pelayanan administasi sipil, pendaftaran Kartu Keluarga, dan
sebagainya (Schmitt et al, 2014).
Dalam

operasionalisasi

sehari-hari,

SRT

dijalankan

pemerintahan daerah pada tingkat Kabupaten/kota, Kecamatan, dan


Desa serta memberdayakan komunitas lokal. Sehubungan dengan
pelaksanaan otonomi daerah, SRT seyogyanya memberdayakan
pemerintahan daerah secara nyata dengan suatu fungsi pelayanan yang
11

jelas dalam penyampaian layanan sosial, seperti pendaftaran individu


dan keluarganya, penargetan program, kepesertaan, penyampaian
manfaat dan transfer sosial, pengawasan, evaluasi, dan analisa dampak
intervensi program perlindungan sosial. SRT juga secara tidak langsung
membangun kapasitas

kelembagaan pemerintah daerah untuk

mengelola dan mengawasi programperlindungan sosial. Bahkan


BAPPENAS sedang membahas pengalokasian dana dekonsentrasi
untuk mendukung Kabupaten/kota yang menjadi pelopor pembentukan
SRT di daerahnya (Schmitt et al, 2014).
SRT pada hakikatnya bertujuan memberdayakan penerima
manfaat akhir terutama melalui mekanisme berbagi

informasi,

penempatan perwakilan penerima manfaat sebagai dewan pengawas


di SRT, dan kemungkinan respon yang lebih positif dari SRT terhadap
kritik masyarakat melalui mekanisme pengaduan dan penyelesaian
masalah (Schmitt et al, 2014).
d. Memfasilitasi Pengentasan Kemiskinan
Walaupun tingkat kemiskinan di Indonesia menurun, sebagian
besar masyarakat masih rentan untuk kembali miskin akibat tidak
adanya akses untuk mendapatkan perlindungan sosial dasar dan
terbatasnya kesempatan untuk meningkatkan kemampuan dan
keterlibatan mereka dalam pasar kerja formal (Schmitt et al, 2014).
Sistem Rujukan Terpadu berkontribusi dalam mengurangi
kemiskinan melalui penyediaan akses kepada perlindungan sosial
dasar untuk mereka yang belum sama sekali terdaftar pada program
perlindungan sosial yang ada (kesehatan, kecukupan nutrisi, jaminan
pendapatan melalui program pekerjaan publik). SRT merupakan suatu
alat bagi rumah tangga untuk mengembangkan potensi yang ada dengan
penyediaan dukungan bagi pengembangan kemampuan mereka melalui
pendidikan, pelatihan ketenagakerjaan, dan pengembangan usaha
melalui kewirausahaan. Integrasi program perlindungan sosial dan
ketenagakerjaan dimungkinkan melalui sistem rujukan terpadu yang

12

pada dasarnya menyediakan fasilitas bagi penerima manfaat untuk


mempermudah akses terhadap layanan perlindungan sosial dasar,
layanan pekerjaan yang layak, dan akhirnya dapat menjadi peserta aktif
dalam sistem jaminan sosial nasional (Schmitt et al, 2014).

Gambar 2.4 Keterkaitan Antara Program Perlindungan Sosial dan


Layanan Ketenagakerjaan Dalam Kerangka Pengentasan
Kemiskinan (Schmitt, et al., 2014)
e. Meningkatkan Pemantauan, Evaluasi, dan Proses Perencanaan Program
Berbagai program perlindungan sosial di Indonesia kurang
mendapatkan pengawasan dan evaluasi yang baik dan memadai
sehingga

terjadi

implementasi

program

yang

tidak

efisien,

ketidakcukupan manfaat bagi seluruh masyarakat yang membutuhkan,


dan kesalahan penentuan target penerima manfaat program. Misalnya,
banyak program bantuan sosial di sektor pertanian seperti bantuan bibit
dan pupuk bukan merupakan jenis bantuan yang relevan bagi petani
saat ini. Mereka lebih membutuhkan perbaikan infrastruktur
penyokong lahan pertanian, ketersediaan jalur distribusi dan pemasaran
hasil pertanian, ketersediaan akses pasar dan informasi yang terbatas,
dan terbatasnya daya tawar petani terhadap pedagang partai besar yang
seringkali melakukan pembelian besar pada saat musim panen yang
mengakibatkan penurunan harga hasil pertanian pada musim paceklik.
Program kredit mikro terlalu terfokus pada kelompok yang sama

13

selama bertahun-tahun, sehingga tidak beradaptasi dengan permintaan


terhadap program kredit-mikro dari kelompok yang berbeda. Hal ini
memicu perasaan perlakuan yang cenderung tidak adil karena hanya
menguntungkan salah satu kelompok saja. Pengukuran keberhasilan
program tidak berdasarkan metodologi ilmiah akibat tidak tersedianya
indikator terukur dan mekanisme monitoring-evaluasi yang dapat
dipertanggungjawabkan,

sehingga

gagal

mengukur

tingkat

keberhasilan program. Hal ini juga berpotensi menyembunyikan fakta


bahwa banyak program bantuan sosial disalahgunakan untuk
kepentingan politik lokal (Schmitt et al, 2014).
Dalam konteks ini, diperlukan sistem monitoring dan evaluasi
yang tepat. SRT menyediakan standarisasi proses dan alat untuk
memonitor setiap program dan melakukan evaluasi atas dampak yang
ditimbulkan secara adil dan transparan. Penentuan indikator yang
terukur dan dapat ditelusuri pada setiap program, kemudian melakukan
monitoring secara berkala dengan menggunakan fungsi monitoring dari
sistem informasi manajemen (SIM). Monitoring dan evaluasi program
juga digunakan sebagai materi masukan bagi penyusunan perencanaan
dan alokasi dana yang diajukan (Schmitt et al, 2014).
Selain itu, mekanisme pengaduan dan penyelesaian pengaduan
akan memberikan kesempatan kepada penerima manfaat akhir untuk
menyampaikan pandangan mereka terhadap pelaksanaan SRT dan
program yang sedang berjalan (atau kelemahan dari program tersebut).
Tanggapan yang didapat tidak hanya berguna bagi penyelesaian isu
yang bersifat individual, tapi juga sebagai mekanisme untuk
meningkatkan paket manfaat secara berkala, dan penyampaian program
perlindungan sosial dan layanan tenaga kerja. Keterlibatan pihak tenaga
kerja dan perwakilan perusahaan serta organisasi masyarakat juga
diperlukan dalam pelaksanaan sistem monitoring dan evaluasi, guna
meningkatkan rasa memiliki, transparansi dan meminimalisasi
terjadinya manipulasi politik (menggunakan program perlindungan

14

sosial untuk meningkatkan dukungan suara politik) (Schmitt et al,


2014).

4. Jenis Rujukan
a. Rujukan Medis
Merupakan bentuk pelimpahan wewenang dan tanggung jawab
untuk masalah kedokteran. Tujuannya adalah untuk mengatasi problem
kesehatan, khususnya kedokteran serta memulihkan status kesehatan
pasien. Jenis-jenis rujukan medis:
1) Rujukan Pasien, merupakan penatalaksanaan pasien dari strata
pelayanan kesehatan yang kurang mampu ke strata yang lebih
sempurna atau sebaliknya untuk pelayanan tindak lanjut.
2) Rujukan Ilmu Pengetahuan, merupakan pengiriman dokter atau
tenaga kesehatan yang lebih ahli dari strata pelayanan kesehatan
yang lebih mampu untuk bimbingan dan diskusi atau sebaliknya,
untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan.
3) Rujukan bahan pemeriksaan laboratorium, merupakan bahan
pengiriman bahan-bahan laboratorium dari strata pelayan kesehatan
yang kurang mampu ke strata yang lebih mampu, atau sebaliknya
untuk tindak lanjut.
b. Rujukan Kesehatan
Merupakan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk
kesehatan masyarakat. Dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan
dan ataupun mencegah penyakit yang ada di masyarakat.
Jenis-jenis rujukan kesehatan adalah :
1) Rujukan Tenaga, merupakan pengiriman dokter/ tenaga kesehatan
dari strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu ke strata
pelayanan kesehatan yang kurang mampu untuk menanggulangi
masalah kesehatan yang ada di masyarakat atau sebaliknya, untuk
pendidikan dan latihan.

15

2) Rujukan Sarana, pengiriman berbagai peralatan medis/ non medis


dari strata pelayanan kesehatan yg lebih mampu ke strata pelayanan
kesehatan yang kurang mampu untuk menanggulangi masalah
kesehatan di masyarakat, atau sebaliknya untuk tindak lanjut
3) Rujukan Operasional, pelimpahan wewenang dan tanggung jawab
penanggulangan masalah kesehatan masyarakat dari strata
pelayanan kesehatan yang kurang mampu ke strata pelayanan
kesehatan yang lebih mampu atau sebaliknya untuk pelayanan
tindak lanjut (Syafrudin, 2009).

5. Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang


a. Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang
sesuai kebutuhan medis, yaitu:
1) Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama oleh fasilitas
kesehatan tingkat pertama
2) Jika diperlukan pelayanan lanjutan oleh spesialis, maka pasien
dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua
3) Pelayanan kesehatan tingkat kedua di faskes sekunder hanya dapat
diberikan atas rujukan dari faskes primer
4) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga di faskes tersier hanya dapat
diberikan atas rujukan dari faskes sekunder dan faskes primer.
5) Pelayanan kesehatan di faskes primer yang dapat dirujuk langsung
ke faskes tersier hanya untuk kasus yang sudah ditegakkan
diagnosis dan rencana terapinya, merupakan pelayanan berulang
dan hanya tersedia di faskes tersier.
6) Ketentuan pelayanan rujukan berjenjang dapat dikecualikan dalam
kondisi:
a) terjadi keadaan gawat darurat;
b) kondisi kegawatdaruratan mengikuti ketentuan yang berlaku
c) bencana;

16

Kriteria bencana ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau


Pemerintah Daerah;
7) Kekhususan permasalahan kesehatan pasien;
Untuk kasus yang sudah ditegakkan rencana terapinya dan terapi
tersebut hanya dapat dilakukan di fasilitas kesehatan lanjutan
a) pertimbangan geografis; dan
b) pertimbangan ketersediaan fasilitas
8) Pelayanan oleh bidan dan perawat
a) Dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan
pelayanan kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
b) Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter
dan/atau dokter gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat
pertama kecuali dalam kondisi gawat darurat dan kekhususan
permasalahan kesehatan pasien, yaitu kondisi di luar
kompetensi dokter dan/atau dokter gigi pemberipelayanan
kesehatan tingkat pertama
b. Rujukan Parsial
1) Rujukan parsial adalah pengiriman pasien atau spesimen ke
pemberi pelayanan kesehatan lain dalam rangka menegakkan
diagnosis atau pemberian terapi, yang merupakan satu rangkaian
perawatan pasien di Faskes tersebut.
2) Rujukan parsial dapat berupa:
a) Pengiriman pasien untuk dilakukan pemeriksaan penunjang
atau tindakan
b) Pengiriman spesimen untuk pemeriksaan penunjang
c) Apabila pasien tersebut adalah pasien rujukan parsial, maka

penjaminan pasien dilakukan oleh fasilitas kesehatan perujuk


(Idris, 2014).

17

6. Regionalisasi Sistem Rujukan


Kabupaten/ kota dibagi dalam beberapa wilayah rujukan/region,
berdasarkan hasil mapping sarpras, SDM dan kondisi geografis, setiap
wilayah mempunyai pusat rujukan.
a. Definisi
Regionalisasi sistem rujukan adalah pengaturan sistem rujukan
dengan penetapan batas wilayah administrasi daerah berdasarkan
kemampuan pelayanan medis, penunjang dan fasilitas pelayanan
kesehatan yang terstuktur sesuai dengan kemampuan, kecuali dalam
kondisi emergensi (Kemenkes RI, 2014).
b. Tujuan
1) Mengembangkan regionalisasi sistem rujukan bejenjang di Provinsi
dan Kabupaten/Kota.
2) Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan rujukan RS.
3) Meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan rujukan sampai ke
daerah terpencil dan daerah miskin.
4) Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
rujukan RS (Kemenkes RI, 2014).
c. Manfaat
1) Pasien tidak menumpuk di RS besar tertentu.
2) Pengembangan seluruh RS di provinsi dan kabupaten/kota dapat
direncanakan secara sistematis efisien dan efektif.
3) Pelayanan rujukan dapat lebih dekat ke daerah terpencil, miskin,
dan daerah perbatasan karena pusat rujukan lebih dekat.
4) Regionalisasi rujukan dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga
kesehatan terutama pada RS Pusat Rujukan Regional (Kemenkes
RI, 2014).

18

d. Alur sistem rujukan regional


1) Pelayanan kesehatan rujukan menerapkan pelayanan berjenjang
yang dimulai dari Puskesmas, kemudian kelas C, kelas D
selanjutnya RS kelas B dan akhirnya ke RS kelas A.
2) Pelayanan kesehatan rujukan dapat berupa rujukan rawat jalan dan
rawat inap yang diberikan berdasarkan indikasi medis dari dokter
disertai surat rujukan, dilakukan atas pertimbangan tertentu atau
kesepakatan antara rumah sakit dengan pasien atau keluarga pasien.
3) RS kelas C/D dapat melakukan rujukan ke RS kelas B atau RS kelas
A antar atau lintas kabupaten/kota yang telah ditetapkan. Yang
dimaksud dengan antar kabupaten/ kota adalah pelayanan ke RS
kabupaten/ kota yang masih dalam satu region yang telah
ditetapkan. Sedangkan lintas kabupaten/kota adalah pelayanan ke
RS kabupaten/kota di luar wilayah region yang telah ditetapkan.
(Kemenkes RI, 2014).
e. Penetapan Regionalisasi Sistem Rujukan
10 langkah yang harus dipersiapkan yaitu ;
1) Pemetaan sarana kesehatan : Gate keeper (Praktek dokter/ drg
pelayanan Primer), puskemas, Klinik Pratama, RS dan faskes
lainnya per provinsi
2) Pemetaan tenaga kesehatan di sarana kesehatan yang ada.
3) Menetapkan RS pusat rujukan regional .
4) Melakukan uji coba kewilayahan melalui Workshop Sistem
Rujukan di pusat rujukan regional, bersama Tim Koordinasi Sistem
Rujukan Tingkat Pemerintah Daerah, yang terdiri dari Kepala Dinas
Kesehatan, Provinsi/Kabupaten dan Kota, tim profesi ahli, RSUD,
dan Askes yang akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan
Daerah.
5) Menetapkan kab/kota sebagai pusat regional dari beberapa sarana
kesehatan disekitarnya.

19

6) Mengadakan pelatihan bagi tenaga dokter puskesmas, dokter


keluarga mitra Askes dari wilayah tersebut untuk penatalaksanaan
kasus-kasus yang dirujuk dari Puskesmas terutama pada 4 bagian
besar (Obgyn, Penyakit Dalam, Anak dan Bedah) (KemenKes RI,
2014).
7) Penyusunan 4 Buku Pedoman Sistem Rujukan bersama RS, FK,
DPM PT Askes, PT Askes Persero regional, dan 10 Organisasi
Profesi yang terdiri dari : PAPDI, POGI, IDAI, IKABI, PERDAMI,
PERHATI-KL, PERDOSI, PERDOSKI, PDSKJI, PDGI.
8) Penyusunan peraturan gubernur
9) Lakukan Pembagian Peran untuk mewujudkan Regionalisasi
Sistem Rujukan,
10) Lakukan Sosialisasi dan Monev ketat terhadap usaha yang telah
dilakukan , termasuk Kendali Mutu dan Biaya dengan Pemanfaatan
Sistem Informasi dan Teknologi.

B. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)


Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum publik
yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. BPJS terdiri
dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan adalah
badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan
kesehatan, badan hukum ini mulai operasional pada tanggal 1 Januari 2014.
Jaminan kesehatan sendiri adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan
agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan
dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap
orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
Semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehata yag
dikelola oleh BPS termasuk orang asing yang sudah bekerja paling singkat
enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran. Terdapat 2 kelompok
peserta BPJS Kesehatan, yaitu:

20

1. PBI Jaminan Kesehatan


PBI (Penerima Bantuan Iuran) adalah peserta jaminan kesehatan bagi fakir
miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang
iurannya dibayari pemerintah sebagai peserta program Jaminan
Kesehatan. Peserta PBI adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh
pemerintah dan diatur melalui peraturan pemerintah. Selain itu PBI juga
merupakan masyarakat yang mengalami cacat total tetap (fisik maupun
mental) dan tidak mampu.

2. Bukan PBI Jaminan Kesehatan


Peserta bukan PBI adalah pekerja penerima upah dan anggota
keluarganya, pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya, dan
bukan pekerja dan anggota keluarganya. Pekerja disini dimaksudkan
sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau
imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan pekerja bukan penerima upah
adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri. Bukan
pekerja adalah setiap orang yang tidak bekerja tapi mampu membayar
iuran jaminan kesehatan.

Gambar 2.2 Contoh kartu BPJS

21

BPJS memiliki beberapa jenis iuran jaminan kesehatan. Iuran ini


adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi
kerja dan/atau pemerintah untuk program jaminan kesehatan. Jenis-jenis
iurannya adalah :
a. Bagi peserta Penerima Bantun Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan iuran
dibayar oleh Pemerintah.
b. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada Lembaga
Pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota
Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri
sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan
ketentuan : 3% (tiga persen) dibayar oleh pemberi kerja dan 2% (dua
persen) dibayar oleh peserta.
c. Iuran bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN,
BUMD dan Swasta sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari Gaji
atau Upah per bulan dengan ketentuan : 4% (empat persen) dibayar oleh
Pemberi Kerja dan 0,5% (nol koma lima persen) dibayar oleh Peserta.
d. Iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari
anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar
sebesar 1% (satu persen) dari dari gaji atau upah per orang per bulan,
dibayar oleh pekerja penerima upah.
e. Iuran bagi kerabat lain dari pekerja penerima upah (seperti saudara
kandung/ipar, asisten rumah tangga, dll); peserta pekerja bukan
penerima upah serta iuran peserta bukan pekerja adalah :
1) Sebesar Rp.25.500,- (dua puluh lima ribu lima ratus rupiah) per
orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan
Kelas III.
2) Sebesar Rp.42.500 (empat puluh dua ribu lima ratus rupiah) per
orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan
Kelas II.

22

3) Sebesar Rp.59.500,- (lima puluh sembilan ribu lima ratus rupiah)


per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan
Kelas I.
f. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan
janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis
Kemerdekaan, iurannya ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari 45%
(empat puluh lima persen) gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan
ruang III/a dengan masa kerja 14 (empat belas) tahun per bulan, dibayar
oleh Pemerintah.
g. Pembayaran iuran paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan
Denda keterlambatan pembayaran iuran:
a. Keterlambatan pembayaran Iuran untuk Pekerja Penerima Upah
dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari
total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan,
yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh
Pemberi Kerja.
b. Keterlambatan pembayaran Iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah
dan Bukan Pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua
persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk
waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran
yang tertunggak
Cara pembayaran fasilitas kesehatan dengan BPJS esehatan
akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan
Kapitasi. Untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS
Kesehatan membayar dengan sistem paket INA CBGs.
Semua Fasilitas Kesehatan meskipun tidak menjalin kerja
sama dengan BPJS Kesehatan wajib melayani pasien dalam keadaan gawat
darurat, setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat
dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas
kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan
akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerjasama

23

setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif yang


berlaku di wilayah tersebut.
Manfaat jaminan kesehatan yang didapatkan peserta bersifat
pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis
pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Manfaat jaminan
kesehatan yang disebutkan terdiri dari manfaat medis dan manfaat non
medis. Manfaat medis tidak terikat dengan besaran iuran yang dibayarkan.
Manfaat non medis meliputi manfaat akomodasi dan ambulans.
Pelayanan kesehatan yang dijamin oleh BPJS meliputi:
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan non
spesialistik mencakup:
1) Administrasi pelayanan
2) Pelayanan promotif dan preventif
3) Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis
4) Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif
5) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
6) Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis
7) Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama
dan
8) Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi
b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan
kesehatan mencakup:
1) Rawat jalan
1. Administrasi pelayanan
2. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter
spesialis dan subspesialis
3. Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis
4. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
5. Pelayanan alat kesehatan implant

24

6. Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi


medis
7. Rehabilitasi medis
8. Pelayanan darah
9. Pelayanan kedokteran forensik
10. Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan
2) Rawat inap
1. Perawatn inap non intensif
2. Perawatan inap di ruang intensif
3. Pelayanan kesehatan lain ditetapkan oleh menteri
Pelayanan yang tidak dijamin oleh BPJS meliputi:
a. Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur
sebagaiman diataur dalam peraturan yang berlaku
b. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak
bekerjasama dengan BPJS kesehatan, kecuali untuk kasus gawat
darurat
c. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan
kecelakaan kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja
atau hubungan kerja
d. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negri
e. Pelayanan kesehatan untuk tujuan kosmetik dan/atau estetik
f. Pelayanan untuk mengatasi infertilitas (memperoleh keturunan)
g. Pelayanan meratan gigi (ortodonsi)
h. Gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau
alkohol
i. Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat
melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri
j. Pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk
akupuntur, shin she, chiropractic, yang belum dinyatakan efektif
berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (health technology
assessment/HTA)

25

k. Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan


(eksperimen)
l. Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu
m. Perbekalan kesehatan rumah tangga
n. Pelayanan kesehatan yang sudah dijamin dalam program kecelakaan
lalu lintas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan
o. Pelayanan kesehatan akibat bencana, kejadian luar biasa/wabah
p. Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan denga manfaat
jaminan kesehatan yang diberikan
Alur untuk klaim BPJS dari fasilitas kesehatan melalui beberapa cara, yaitu
a. Fasilitas Kesehatan mengajukan klaim setiap bulan secara reguler
paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, kecuali kapitasi, tidak perlu
diajukan klaim oleh Fasilitas Kesehatan.
b. BPJS Kesehatan wajib membayar Fasiltas Kesehatan atas pelayanan
yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari kerja
sejak dokumen klaim diterima lengkap di Kantor Cabang/Kantor
Operasional Kabupaten/Kota BPJS Kesehatan.
c. Kendali Mutu dan Biaya.
1) Dalam rangka penyelenggaraan kendali mutu dan kendali biaya,
BPJS Kesehatan membentuk tim kendali mutu dan kendali biaya
yang terdiri dari unsur organisasi profesi, akademisi, dan pakar
klinis.
2) Tim kendali mutu dan kendali biaya dapat melakukan:
1. Sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan
praktik profesi sesuai kompetensi;
2. Utilization review dan audit medis; dan/atau
3. Pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan.
3) Pada kasus tertentu, tim kendali mutu dan kendali biaya dapat
meminta informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit,
riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan Peserta dalam bentuk

26

salinan/fotokopi rekam medis kepada Fasilitas Kesehatan sesuai


kebutuhan.
d. Kadaluarsa Klaim
1) Klaim Kolektif
Fasilitas Kesehatan milik Pemerintah maupun Swasta, baik
Tingkat Pertama maupun Tingkat Lanjutan adalah 2 (dua) tahun
setelah pelayanan diberikan.
2) Klaim Perorangan
Batas waktu maksimal pengajuan klaim perorangan adalah 2 (dua)
tahun setelah pelayanan diberikan, kecuali diatur secara khusus.
e. Kelengkapan Administrasi Klaim Umum
1) Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
2) Formulir pengajuan klaim (FPK) rangkap 3 (tiga)
1. Softcopy data pelayanan bagi Fasilitas Kesehatan yang telah
menggunakan aplikasi P-Care/aplikasi BPJS Kesehatan lain
(untuk PMI/UTD) atau rekapitulasi pelayanan secara manual
untuk Fasilitas Kesehatan yang belum menggunakan aplikasi PCare.
2. Kuitansi asli bermaterai cukup
3. Bukti pelayanan yang sudah ditandatangani peserta/anggota
keluarga.
4. Kelengkapan lain yang dipersyaratkan oleh masing-masing
tagihan klaim
3) Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan
1. Formulir pengajuan klaim (FPK) rangkap 3 (tiga),
2. Softcopy luaran aplikasi
3. Kuitansi asli bermaterai cukup
4. Bukti pelayanan yang sudah ditandatangani oleh peserta atau
anggota keluarga.
5. Kelengkapan lain yang dipersyaratkan oleh masing-masing
tagihan klaim.

27

C. Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS)


Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS) adalah suatu
program pemeliharaan kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah Kota
Surakarta kepada masyarakat Kota Surakarta yang berujud bantuan biaya
pengobatan yang bertujuan untuk memberikan jaminan pemeliharaan
kesehatan bagi masyarakat kota Surakarta terutama bagi masyarakat miskin.
Program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS) yang
diluncurkan pada tanggal 2 Januari 2008, diawali dengan keprihatinan bahwa
masih adanya masyarakat miskin di Kota Surakarta yang masih belum tercover
pembiayaan kesehatannya melalui program Jamkesmas, selain itu Pemerintah
Kota Surakarta juga berharap bahwa seluruh masyarakat yang tinggal dan
berdomisili di Kota Surakarta dapat terlindungi kesehatannya. Hal ini dapat
dibuktikan bahwa sejak diluncurkannya program PKMS pada tahun 2008
sampai dengan akhir bulan Oktober 2011 ini sudah 78,6% penduduk Kota
Surakarta yang terindungi kesehatannya baik melalui Jamkesmas, Askes PNS,
Askes sosial lain maupun PKMS.
Tujuan dari program tersebut adalah untuk melindungi kesehatan
masyarakat, mengimplementasikan dan mengembangkan sistim jaminan
kesehatan, menjamin keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang bermutu, dan memberdayakan masyarakat bersama pemerintah
dalam pelayanan kesehatan.
Peserta PKMS adalah semua penduduk yang berdomisili di daerah yg
memenuhi persyaratan: bukan peserta Jamkesmas, bukan peserta Askes PNS,
bukan peserta askes sosial lainnya, mempunyai KK Surakarta, mempunyai
kartu tanda penduduk (KTP) Surakarta, bertempat tinggal dan berdomisili di
daerah selama 3 tahun berturut-turut yang dibuktikan dengan surat keterangan
dari kelurahan.
Jenis PKMS ada dua yaitu PKMS Gold dan PKMS Silver, perbedaan ini
tentang besaran nilai proteksi. PKMS Gold: bebas biaya perawatan
sepenuhnya, PKMS Silver: sebesar Rp 2 juta untuk satu kali perawatan.
Kategori PKMS GOLD adalah :

28

a. Masyarakat miskin yang terdaftar di keputusan walikota tentang


penetapan masyarakat miskin, tetapi belum tertampung di program
jamkesmas pemerintah pusat(diluar kuota)
b. Masyarakat miskin yang belum masuk keputusan walikota dapat
mengajukan kartu PKMS jenis gold dengan surat keterangan dari
kelurahan serta disahkan oleh tim verifikasi tingkat kota
c. Kartu jenis gold diterbitkan setahun sekali setelah diterbitkannya
keputusan walikota tentang masyarakat miskin
Sementara untuk peserta PKMS Silver adalah semua masyarakat
yang mendaftar sebagai peserta PKMS.
Peserta PKMS dengan jenis kartu silver akan dikenakan biaya
iurang sebesar Rp. 1.000 per orang per tahun, sedangkan peserta PKMS
dengan jenis kartu Gold tidak akan dipungut biaya apapun.

Gambar 2.3 Contoh kartu PKMS Gold dan Silver


Regulasi yang mengatur program PKMS

telah mengalami

beberapa kali perubahan, tercatat adalah Perda no.8 tahun 2007 tentang
perubahan kedua atas peraturan daerah kotamadya daerah tingkat II
Surakarta nomor 7 tahun 2008 tentang retribusi pelayanan kesehatan.

29

a. Perwali no 1 tahun 2008 tentang petunjuk pelaksanaan peraturan


daerah kota Surakarta nomor 8 tahun 2007 tentang perubahan kedua
atas peraturan daerah kotamadya daerah tingkat II surakarta nomor 7
tahun 2008 tentang retribusi pelayanan kesehatan.
b. Perwali no 10 tahun 2009 tentang perubahan atas peraturan walikota
nomor 1 tahun 2008 tentang petunjuk pelaksanaan peraturan daerah
kota Surakarta nomor 8 tahun 2007 tentang perubahan kedua atas
peraturan daerah kotamadya daerah tingkat II surakarta nomor 7 tahun
2008 tentang retribusi pelayanan kesehatan
c. Perwali no 25 tahun 2010 tentang

Pemeliharaan

Kesehatan

Masyarakat Surakarta (PKMS)


d. Perwali no 3B tahun 2011 tentang perubahan peraturan walikota
nomor 25 tahun 2010 tentang Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Surakarta (PKMS).
Pelayanan kesehatan yang ditanggung oleh PKMS meliputi:
a. Pelayanan kesehatan dasar, yaitu pelayan non spesialistik di setiap
puskesmas di Surakarta baik rawat jalan maupun rawat inap
b. Persalinan normal di setiap puskesmas dan RSUD Surakarta
c. Pelayanan rujukan di Rumah Sakit Pemerintah/Swasta yang MOU
Pemkot
1) Akomodasi rawat inap kelas III
2) Konsultasi medis, pemeriksaan fisik, dan penyuluhan kesehatan
3) Penunjang diagnostik: laboratorium, radiologi, dan elektromedik
4) Tindakan medis kecil dan sedang
5) Operasi sedang dan kecil
6) Pemberian obat sesuai formularium PKMS
7) Pelayanan gawat darurat
Pelayanan kesehatan yang tidak ditanggung oleh PKMS meliputi:
a. Pelayanan yang tidak sesuai prosedur dan ketentuan
b. Kacamata
c. Intraoculer lens (lensa kontak)

30

d. Alat bantu dengar


e. Alat bantu gerak
f. Pelayanan diagnostik canggih
g. Bahan, alat, tindakan yang bertujuan untuk kosmetika
h. General medical check up
i. Operasi jantung
j. Rangkaian pemeriksaan, pengobatan dan tindakan dalam upaya
medapatkan keturunan, termasuk bayi tabung dan pengobatan
impotensi
k. Obat-obatan diluar formularium
l. Kasus bunuh diri dan penyalahgunaan NAPZA
m. Pertolongan persalian
n. Pemulasaraan jenazah
o. Penggunaan ambulance
p. Pasien pindah ke kelas perawatan yang lebih tinggi

BAB III
PEMBAHASAN

31

RSUD Kota Surakarta merupakan rumah sakit tipe C milik pemerintah Kota
Surakarta yang menjadi tujuan rujukan dari PPK 1 (17 Puskesmas di wilayah Kota
Surakarta). RSUD Kota Surakarta juga dapat merujuk pasien ke rumah sakit tipe B
(Rumah Sakit Kasih Ibu Surakarta, Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta,
dan Rumah Sakit Dr OEN Surakarta) serta rumah sakit tipe A (RSUD Dr.
Moewardi). Rujukan dari RSUD Kota Surakarta ini dilakukan secara horizontal
maupun vertikal. Rujukan vetikal ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, yaitu
rumah sakit tipe B apabila pasien perlu penanganan lebih lanjut dokter spesialis
atau dokter gigi spesialis serta sub spesialis terbatas yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik. Sedangkan rujukan ke rumah
sakit tipe A dilakukan apabila pasien perlu penanganan lebih lanjut dokter sub
spesialis atau dokter gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuan dan
teknologi kesehatan sub spesialistik. Rujukan horizontal adalah rujukan yang
dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan jika perujuk (fasilitas
kesehatan) tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan, dan atau ketenagaan yang sifatnya
sementara atau menetap. Puskesmas dapat melakukan rujukan secara langsung ke
RSUD Kota Surakarta sebagai rumah sakit tipe D. Hal ini dimungkinkan karena
Puskesmas memiliki otoritas untuk menentukan kemana pasien dari PPK 1 akan
dirujuk, apakah RS tipe C atau D, dengan pertimbangan regional yaitu jika dalam
1 daerah tidak terdapat RS tipe D, hanya ada RS tipe C, maka puskesmas dapat
merujuk langsung ke RS tipe C. Rujukan eksternal di RSUD Kota Surakarta dapat
dilakukan dari IGD ke IGD rumah sakit lainnya. IGD bisa menerima semua rujukan
dari mana pun, baik pasien rujukan BPJS & PKMS, dari PPK 1 yang sesuai
regionalnya maupun pasien umum asalkan keluhan pasien sesuai dengan daftar
penyakit-penyakit yang termasuk kegawatdaruratan. Rujukan internal dari IGD
dapat dilakukan ke poli atau rawat inap RSUD Kota Surakarta. Rujukan internal
dapat juga dilakukan antar poli di RSUD Kota Surakarta maupun poli lainnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 001
tahun 2012, sistem rujukan mengikuti pelayanan kesehatan dilakukan secara

32

berjenjang dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama, kedua dan ketiga
sesuai kebutuhan medis. Pelaksanaan dari Permenkes ini sudah berjalan cukup baik
di pelayanan kesehatan kota Surakarta. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah
pasien BPJS dan PKMS yang dirujuk ke RSUD Kota Surakarta dari pelayanan
kesehatan primer.
Namun, sistem rujukan dengan pelayanan kesehatan berjenjang ini belum
berjalan dengan optimal. Masih terdapat beberapa masalah dalam pelaksanaan
rujukan berjenjang. Masalah pertama adalah pasien yang menjadi peserta program
ternyata dianggap salah rujukan, yakni berupa rujukan nonspesialistik yang bisa
diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Salah satu penyebab munculnya
kasus rujukan nonspesialistik adalah kapasitas sumber daya manusia di tingkat
pelayanan primer belum memadai. Tingginya angka rujukan yang tidak perlu itu
mengakibatkan penumpukan pasien di rumah sakit, sementara sumber daya
manusia di rumah sakit terbatas. Di lapangan sendiri sering ditemukan pasien yang
menunggu di IGD Bedah dikarenakan ruangan bangsal sudah penuh. Hal ini bisa
diatasi dengan cara naik kelas tetapi tidak semua pasien sanggup untuk naik kelas
karena tidak sanggup membayar biaya di luar yang ditanggung jaminan kesehatan.
Selain itu, tidak semua jaminan kesehatan dapat naik kelas seperti KIS (Kartu
Indonesia Sehat).
Masalah kedua yang dialami adalah rujukan yang tidak tepat sasaran. Hal
ini diakibatkan perbedaan diagnosis dokter dari pelayanan kesehatan primer dengan
dokter rumah sakit. Oleh karena itu diperlukan peningkatan kemampuan dari tenaga
kesehatan pelayanan primer maupun lanjutan, peningkatan sarana dan prasarana
pada fasilitas (alat pemeriksaan penunjang) pelayanan kesehatan primer seperti
Puskesmas, serta evaluasi oleh Dinas Kesehatan terhadap sistem dan pedoman
rujukan pelayanan kesehatan primer, di mana terdapat penyamaan persepsi suatu
penyakit, berupa pemberian batasan yang jelas pada suatu penyakit, usia pasien
antara anak dan dewasa sehingga rujukan data tepat sasaran. Rujukan internal antar
poli di RSUD Kota Surakarta juga dapat menyelesaikan permasalahan rujukan yang
tidak tepat tersebut.

33

Masalah ketiga yang sering ditemukan pada mekanisme rujukan balik.


Rujukan balik merupakan bagian yang esensial dari sistem komunikasi dalam
rujukan untuk memberikan pelayanan lanjutan yang tepat bagi pasien setelah
mendapatkan pelayanan spesialis. Rujukan balik yang tepat selain meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan kepada pasien juga membentuk kerjasama yang solid
antara penyedia layanan yang berbasis pada kepercayaan dan komunikasi. Secara
teori dan peraturan, rujukan balik harus dilakukan dari pelayanan kesehatan tingkat
lanjutan ke tingkat primer, sehingga ada kesinambungan perawatan pasien, tetapi
pada kenyataan rujukan balik sering tidak dilakukan. Hal ini terkendala oleh karena
secara psikologis pasien yang sudah dirujuk ke rumah sakit, tidak bersedia
dikembalikan lagi ke puskesmas karena menganggap bahwa pelayanan kesehatan
primer seperti puskemas kurang baik seperti sarana penunjang diagnostik serta
terapi yang kurang memadai. Hal ini juga dapat disebabkan pihak dokter spesialis
di rumah sakit kadang tidak mau merujuk kembali.

BAB IV
PENUTUP

34

A. KESIMPULAN
1. RSUD Kota Surakarta merupakan rumah sakit umum daerah C yang
dimiliki Pemerintah Kota Surakarta.
2. RSUD Kota Surakarta melayani pasien rujukan BPJS dan PKMS sesuai
dengan regional yang telah ditetapkan. Kecuali kasus kegawatdaruratan.
3. Rujukan pasien nonspeasialistik yang dapat ditangani pada pelayanan
kesehatan pertama dan ketidaksesuaian diagnosis pasien masih sering
terjadi. Hal dapat menyebabkan menumpuknya pasien di RSUD Kota
Surakarta dan mempengaruhi pelayanan serta tatalaksanana pasien.
4. Rujukan balik masih kurang berjalan

B. SARAN
1. Perlunya peningkatan kemampuan dari tenaga kesehatan pelayanan
primer maupun lanjutan dan peningkatan sarana dan prasarana penunjang
medis maupun non medis pada pelayanan kesehatan primer
2. Perlunya evaluasi oleh Dinas Kesehatan terhadap sistem dan pedoman
rujukan pelayanan kesehatan primer, di mana terdapat penyamaan
persepsi suatu penyakit, berupa pemberian batasan yang jelas pada suatu
penyakit, usia pasien antara anak dan dewasa, sehingga rujukan data tepat
sasaran.
3. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat mengenai pelaksanaan sistem
rujukan berjenjang dan informasi mengenai kualitas, fasilitas serta
program pelayanan kesehatan primer, seperti Puskesmas sehingga
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap PPK1 dan menghindari
penumpukan pasien di pelayanan kesehatan lanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

35

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009). Sistem Kesehatan Nasional.


Jakarta.
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/KEPMENKES_3742009_TTG_SKN-2009.pdf - diunduh November 2015
Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2011. Petunjuk Teknis Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
https://servicedeliveryighealth.files.wordpress.com/2011/12/buku_rujukanbi
nder.pdf - diunduh November 2015
Idris, Fachmi (2014). Panduan Praktis Sistem Rujukan Berjenjang. Jakarta: BPJS
Kesehatan.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2014). Sistem Rujukan Terstruktur


dan Berjenjang dalam Rangka Menyongsong Jaminan Kesehatan Nasional
(Regionalisasi Sistem Rujukan). Jakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2012). Peraturan menteri kesehatan


Republik Indonesia nomor 001 tahun 2012 tentang sistem rujukan pelayanan
kesehatan
perorangan.
http://www.rsstroke.com/files/peraturan/BUK/2012/PMK_No_001_Ttg_Sis
tem_Rujukan_Pelayanan_Kesehatan_Perorangan.pdf - diunduh November
2015
Syafrudin dan Hamidah. 2009. Kebidanan komunitas. Jakarta : EGC
Tim penyusun bahan sosialisasi dan advokasi JKN (2014). Buku Pegangan
Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial
Nasional. Jakarta.

LAMPIRAN

36

Lampiran 1 Formulir Rujukan Eksternal

37

Lampiran 2 Formulir Rujukan Internal

38

Lampiran 3. Ruang Input dan Validasi Data Peserta Jaminan Kesehatan

39

Anda mungkin juga menyukai