Anda di halaman 1dari 8

PENANGANAN PENYAKIT AUTOIMUN DI ERA BPJS

Disusun oleh :

RAHMAH (T501902008)

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah,dan inayah-Nya , sehingga tugas mengenai “Penanganan

Penyakit Autoimun di Era BPJS” dapat diselesaikan.

Terimakasih yang sebesar-sebesarnya kami haturkan kepada beliau bapak Prof. Dr. Ambar

Mudigdo, dr.,Sp.PA (K) atas segala arahan, bimbingan dan pengajaran serta pembelajaran

mata kuliah biomolekuler kepada kami, semoga menjadi amal jariyah yang pahalanya

berlipat ganda dari Allah SWT.

Usaha yang maksimal telah diupayakan dalam pembuatan makalah ini, akan tetapi kami

sangat menyadari jika tugas ini masih jauh dari kata sempurna. Saran, masukan dan kritik

yang membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat kami harapkan.

Akhir kata kami berharap semoga makalah mengenai Penanganan Penyakit Autoimun di

Era BPJS ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.

Solo, 19 November 2019

Penyusun

2
PENANGANAN PENYAKIT AUTOIMUN DI ERA BPJS

A. DEFINISI PENYAKIT AUTOIMUN


Penyakit autoimun merupakan respon imun yang mengakibatkan kerusakan pada
jaringan tubuh sendiri serta mengganggu fungsi fisiologis tubuh. Penyakit autoimun
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor genetik, infeksi,
lingkungan, hormonal, daerah/ suku, diet dan toksik obat. Penyakit autoimun dapat
menyerang bagian tubuh manapun dengan tanda klasik autoimun berupa inflamasi.
Penyakit autoimun lebih sering ditemukan pada wanita disbanding pria. Faktor psikis
berperan dalam timbulnya penyakit autoimun dan sebaliknya penyakit autoimun
sendiri menimbulkan stress.

B. PENYAKIT AUTOIMUN DI ERA BPJS


Autoimun dikategorikan sebagai penyakit yang terus meningkat secara global sejak
akhir perang dunia II. Pandemi autoimun mencakup 80 penyakit yang mengalami
peningkatan baik insidensi dan prevalensinya. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada
wanita dan penyebab kematian 10 terbanyak pada anak perempuan dan wanita pada
semua usia di Amerika Serikat.

Penderita penyakit autoimun umumnya datang ke pelayanan kesehatan setelah antigen


menyebar dan proses autoimun sudah berjalan sehingga memberikan efek yang buruk
pada individu tersebut dan menyulitkan pemberian intervensi. Saat ini sebagian besar
terapi yang diberikan bersifat simptomatik. Terapi pada penyakit autoimun bertujuan
untuk menghambat respon imun dengan menghilangkan sel imun didapat yang spesifik
atau menghambat aktivasi sel imun pada organ target. Akan tetapi strategi ini hanya
sedikit membantu dalam mengatasi respon imun proinflamasi terhadap protein endogen
maupun jaringan. Ditambah lagi, pengobatan konvensional dengan prednisone dan
rituximab dapat mensupresi sebagian besar sistem imun. Penekanan imun tersebut
menyebabkan pasien lebih rentan terhadap infeksi oportunistik dan kanker.

3
Penerapan Program JKN melalui terbentuknya BPJS Kesehatan berdampak pada
perubahan pola penanganan penyakit dan rujukan pasien ke pusat-pusat pelayanan
kesehatan. Penerapan Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional membawa dampak perubahan pada sistem penyelenggaraan pelayanan
kesehatan di Indonesia. Terbitnya Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan semakin memperkuat perubahan
tersebut. Dalam pelaksanaannya, Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia No. 71 tahun
2013 menetapkan bahwa penyelenggara pelayanan kesehatan terbagi menjadi beberapa
tingkatan, yaitu fasilitas kesehatan tingkat utama dan fasilitas kesehatan tingkat
lanjutan, yang dibagi Penyelenggara Pelayanan Kesehatan Tingkat (PPK) 1, 2 dan 3.
Pembagian ini dimaksudkan untuk membagi tugas pelayanan antara lain berdasarkan
tingkat kompleksitas kasus atau penyakit yang dapat ditangani. Sebagai contoh
penyakit infeksi saluran pernafasan atas ringan dengan gejala batuk pilek dan penyakit
infeksi saluran cerna ringan seperti diare harus dapat ditangani secara tuntas di PPK 1.
Sedangkan penyakit jantung, tumor keganasan dan penyakit-penyakit autoimun yang
kompleks harus dirujuk ke level pelayanan yang lebih tinggi yaitu PPK 2 dan PPK 3.

Berdasarkan data dari Profil Dinas Kesehatan Kota Kediri Tahun 2014 sebagian besar
responden pasien rujukan spesialistik adalah kelompok umur lansia akhir (56 – 65
tahun) dengan jumlah 10 orang atau sebesar 45.45% senada dengan hasil penelitian
Fatmah (2006) yang menyatakan bahwa pada usia tua fungsi sistem imunitas tubuh
menurun. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk kecepatan
respon imun dengan peningkatan usia. Saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan
meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, penyakit kronik atau kelainan autoimun.

Dalam membuat diagnosis disamping gejala dan tanda klinis yang khas, diperlukan
pula pemeriksaan penunjang laboratorium klinis maupun patologi anatomi. Secara
anatomis penyakit autoimun dibagi atas organ spesifik yang melibatkan satu atau
beberapa organ saja dan non organ spesifik yang melibatkan banyak organ. Struma
Hashimoto merupakan contoh penyakit autoimun organ spesifik sedangkan SLE
merupakan contoh penyakit autoimun organ non spesifik. Masing-masing

4
menunjukkan gejala dan tanda klinis yang umumnya khas (kriteria ARA/ SLICC pada
SLE) kadang pula tidak khas terdapat tumpang tindih. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis.

Berbagai pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosis dan memantau penyakit


autoimun telah dapat dikerjakan. Namun umumnya biaya yang diperlukan untuk
pemeriksaan tersebut masih sangat tinggi walaupun ada juga yang biayanya relatif
murah. Diperlukan pemahaman yang baik dalam memilih pemeriksaan apa saja yang
akan dilakukan sehingga aspek klinis dan ekonomis masih dapat menunjang
kepentingan pendidikan maupun penelitian di era BPJS ini.

Pemeriksaan penunjang yang tersedia sebagai penegakan diagnosis penyakit autoimun


termasuk pemeriksaan autoantibodi seperti ANA IF/ profile, anti-dsDNA, anti-Sm,
anti-histone, anti SCL-70, anti-sentromer, anti-snRNP70, SS-A (Ro), SS-B (La), Jo-1,
pemeriksaan komplemen dan pemeriksaan sel LE. Di Solo sendiri pemeriksaan
penunjang yang dicover BPJS hanyalah pemeriksaan ANA IF/ profile dan memerlukan
protokol terapi. Pemeriksaan tersebut juga hanya bisa dilakukan di RS tipe A seperti
RS Moewardi.

Kebanyakan dari penyakit autoimun belum dapat disembuhkan, namun gejala yang
timbul dapat ditekan dan dijaga agar tidak timbul flare. Pengobatan untuk menangani
penyakit autoimun tergantung pada jenis penyakit yang diderita, gejala yang dirasakan,
dan tingkat keparahannya. Untuk mengatasi nyeri, penderita bisa mengkonsumsi
aspirin atau ibuprofen. Pasien juga bisa menjalani terapi pengganti hormon jika
menderita penyakit autoimun yang menghambat produksi hormon dalam tubuh.
Misalnya, untuk penderita diabetes tipe 1, dibutuhkan suntikan insulin untuk mengatur
kadar gula darah, atau bagi penderita tiroiditis diberikan hormon tiroid. Beberapa obat
penekan sistem kekebalan tubuh, seperti kortikosteroid (contohnya deksametason),
digunakan untuk membantu menghambat perkembangan penyakit dan memelihara
fungsi organ tubuh. Obat jenis anti TNF, seperti infliximab, dapat mencegah
peradangan yang diakibatkan penyakit autoimun rheumatoid arthritis dan psoriasis.

5
Dilihat dari FORNAS 2013, terapi imun yang dicover BPJS termasuk deksametason,
metilprednisolon, hidro klorokuin, metotreksat, rituksimab, setuksimab. Beberapa obat
tersebut perlu adanya protokol terapi sebagai syarat administrasi dan hanya tersedia di
RS tipe A contohnya RS Moewardi. Untuk terapi lain seperti immunoglobulin
intravena (IVIg) tidak dicover oleh BPJS sehingga pasien perlu mengeluarkan biaya
tambahan.

C. CONTOH PENANGANAN PENYAKIT AUTOIMUN DI ERA BPJS


Penyakit autoimun memang tidak pernah benar-benar bisa sembuh. Namun dengan
penanganan tertentu, penyakit tersebut bisa mengalami remisi atau ditekan sehingga
tidak menyebabkan masalah bagi kesehatan. Beberapa kasus, salah satunya pasien SLE
di Kudus sudah mendapatkan fasilitas di era BPJS. Mulai dari biaya pengobatan di
Puskesmas hingga di rumah sakit yang menjadi rujukan. Menurut penuturan pasien,
pelayanannya baik, dari Puskesmas diberi rujukan ke Rumah Sakit Mardi Rahayu lalu
dirujuk lagi ke Rumah Sakit Umum Pusat Kariadi Semarang dan pengobatan rutin
dicover BPJS.

Tidak sedikit kasus penanganan pasien Lupus di era BPJS yang perlu dibenahi. Obat-
obatan penyakit Lupus belum sepenuhnya dijamin Badan Penyelanggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan. Misalkan ada obat yang memang sifatnya imunosupresan
yang harganya mahal dan belum masuk skema penjaminan. Selain belum sepenuhnya
BPJS Kesehatan menjamin obat-obatan bagi pasien SLE, kebijakan antar rumah sakit
dalam melayani peserta BPJS Kesehatan juga belum merata. Hal ini juga yang
kadang-kadang menjadi kendala atau masalah buat pasien SLE. Ketika ada obat-
obatan yang harus mereka gunakan, tetapi obat-obatannya tidak tercover. Untuk beli
pun, harganya sangat mahal dan obat tersebut tidak bisa diganti dengan obat lain
karena jenisnya berbeda. Jadi, kalau ada obat yang tidak dijamin BPJS Kesehatan,
pasien tidak bisa mendapat obat tersebut dan hanya bisa mengandalkan obat steroid
misalnya, atau misalnya lagi dengan obat hidroksi kloroquin saja. Padahal, hidroksi
kloroquin sulit didapat. Pemeriksaan imunoserologi sebagai penegakkan diagnosis
SLE pun juga belum tercover BPJS.

6
Banyaknya kendala yang ada diperluka kolaborasi antara stakeholder dengan petugas
medis terkait kebijakan BPJS dalam penanganan penyakit autoimun agar penyakit
tersebut dapat tertangani secara komprehensif, efektif dan efisien.

REFERENSI

1. Khasanah YC (2018). Potensi koekspresi chimeric antigen receptor (CAR) dan gen
FOXP3 pada sel T regulators sebagai modalitas terapi penatalaksanaan autoimun.
Essence of Scientific Medical Journal. 16(2): 26-30.

2. Foundation MC (2017). Autoimmune: The true story. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama.

3. Wibowo S (2018). Dampak penerapan system jaminan kesehatan nasional terhadap


sebaran kasus penyakit berbasis level kompetensi pada pendidikan dokter umum di
RS Saiful Anwar Malang. Erudio (Journal of Education Innovation). 5(1): 97-102.

4. Hidayah LN, Ernawaty (2017). Gambaran karakteristik pasien dan pengetahuan pasien
rujukan BPJS kesehatan di puskesmas. Jurnal Penelitian Kesehatan. 15(1): 44-51.

5. Salim EM (2017). Strategi Pemeriksaan Laboratorium Penunjang pada Penyakit


Autoimun di Era BPJS.
https://www.academia.edu/24381561/STRATEGI_PEMERIKSAAN_LABORATORI
UM_PENUNJANG_PADA_PENYAKIT_AUTOIMUN_DI_ERA_BPJS - Diakses
pada tanggal 19 November 2019 jam 16.05.

6. Ercollini A, Miller S (2009). The Role of Infections in Autoimmune Disease. Clin Exp
Immunol. 155(1): 1–15.

7. Wang L, Wang FS, Gershwin ME (2015). Human Autoimmune Diseases: A


Comprehensive Update. J Intern Med. 278(4): 369-95.

8. Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2013). Peraturan Menteri Kesehatan


Indonesia No. 328 Tahun 2013 tentang Formularium Nasional. Jakarta.

9. Humas (2019). Autoimun Tak Membuat Linda Patah Semangat Jalani Hidup
https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/post/read/2019/1098/Autoimun-Tak-Membuat-
Linda-Patah-Semangat-Jalani-Hidup - Diakses pada tanggal 19 November 2019 jam
17.05

10. Sandy G (2018). “Orang dengan Lupus” Bicara Jaminan BPJS Kesehatan.

7
https://www.kompasiana.com/gapey-sandy/5afb909016835f605b0add72/orang-
dengan-lupus-bicara-jaminan-bpjs-kesehatan?page=all – Diakses pada tanggal 19
November jam 20.10

11. Kamalia A (2017). Ingin Cepat 'Sembuh' dari Penyakit Autoimun? Ini Saran Dokter
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-3570611/ingin-cepat-sembuh-dari-
penyakit-autoimun-ini-saran-dokter - Diakses pada tanggal 19 November 2019 jam
21.30.

Anda mungkin juga menyukai