PENDAHULUAN
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk pir yang terletak tepat di bawah
lobus kanan hati. Empedu merupakan sekresi eksokrin dari hati dan diproduksi secara
terus-menerus oleh hepatosit. Cairan empedu berisi kolesterol, bilirubin dan garam
empedu. Cairan empedu ini membantu dalam penyerapan lemak. Sebagian dari cairan
empedu dialirkan secara langsung dari hati ke dalam duodenum melalui kanalikuli
(saluran-saluran kecil) yang kemudian kanalikuli ini bersatu dan akhirnya membentuk
suatu sistem saluran empedu (Common Bile Duct) yang lebih besar, dan 50% sisanya
disimpan di dalam kandung empedu. Cairan empedu ini dialirkan dari kandung
empedu melalui duktus sistikus yang bergabung dengan duktus hepatikus dari hati
yang membentuk sistem saluran empedu (Common Bile Duct). Common Bile Duct
berakhir pada sfingter di usus halus dan disini menerima enzim dari pankreas melalui
duktus pankreatikus.1,2
Angka kejadian obstruksi bilier atau disebut juga kolestasis diperkirakan 5 kasus
per 1000 orang per tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier
bergantung pada penyebab terjadinya obstruksi. Penyebab obstruksi bilier secara
klinis terbagi dua yaitu intrahepatik (hepatoseluler) yaitu terjadi gangguan
pembentukan empedu dan ekstrahepatik (obstruktif) yaitu terjadi hambatan aliran
empedu, dan yang terbanyak akibat batu empedu (kolelitiasis). Berdasarkan jenis
kelamin wanita lebih sering terkena kolelitiasis dari pada pria.1
Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran empedu.
Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran
empedu intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran
empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan
dengan pasien di negara Barat.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Obstruksi bilier (kolestasis) merupakan suatu keadaan dimana terganggunya
aliran empedu dari hati ke kandung empedu atau dari kandung empedu ke usus halus.
Obstruksi ini dapat terjadi pada berbagai tingkatan dalam biliari sistem mulai dari
saluran empedu yang kecil (kanalikuli) sampai ampula Vateri. Penyebab obstruksi
bilier secara klinis terbagi dua yaitu intrahepatik (hepatoseluler) yaitu terjadi
gangguan pembentukan empedu dan ekstrahepatik (obstruktif) yaitu terjadi hambatan
aliran empedu. 1
2. Epidemiologi
Angka kejadian obstruksi bilier (kolestasis) diperkirakan 5 kasus per 1000 orang
per tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier bergantung
pada penyebab terjadinya obstruksi. Mayoritas kasus yang terbanyak adalah
kolelitiasis (batu empedu). Di Amerika Serikat, 20% orang tua berusia 65 tahun
menderita kolelitiasis (batu empedu) dan 1 juta kasus baru batu empedu didiagnosa
setiap tahunnya. Resiko terjadinya kolelitiasis terkenal dengan kriteria 4F yaitu
female, fourty, fat, dan fertile. Resiko terjadinya batu empedu meningkat pada usia
>40 tahun. Insiden teringgi terjadi pada usia 50-60 tahun. Berdasarkan jenis kelamin
wanita lebih sering terkena kolelitiasis dari pada pria. Hampir 25% wanita AS
menderita batu empedu dengan 50% diantaranya berusia 75 tahun, dan 20% pria
dengan usia yang sama menderita batu empedu. Rasio penderita wanita terhadap pria
yakni 3:1 pada kelompok usia dewasa masa reproduktif dan berkurang menjadi >2:1
pada usia di atas 70 tahun. Faktor predisposisi terjadinya batu empedu antara lain
obesitas terutama pada wanita, kehamilan,
kontrasepsi oral, dan diabetes mellitus.1,4,5,6
Faktor genetik juga terlibat pada pembentukan batu empedu yang dibuktikan oleh
prevalensi batu empedu yang tersebar luas di antara berbagai berbagai bangsa dan
kelompok etnik tertentu. Prevalensi paling menyolok pada suku Indian Pima di
Amerika Utara (>75%), Chili dan kaukasia di Amerika Serikat. Prevalensi terendah
pada orang Asia.4
Jenis batu empedu yang banyak ditemukan adalah batu kolesterol (75%),
berhubungan dengan obesitas terutama pada wanita. Pada penderita diabetes mellitus
paling banyak ditemukan mixed stones (80%), sedangkan batu kolesterol murni hanya
10%. 25% dari batu empedu merupakan batu pigmen (bilirubin, kalsium, and
berbagai material organik lainnya) berhubungan dengan hemolisis dan sirosis.
Sedangkan batu pigmen hitam ditemukan pada kolelitiasis yang tidak sembuh dengan
medikamentosa.6
Batu kolesterol banyak ditemukan di negara barat (80-90%), sedangkan batu
pigmen sekitar 10%. Batu pigmen lebih banyak ditemukan di negara Asia dan Afrika.
Walaupun demikian akhir-akhir ini batu kolesterol meningkat di Asia dan Afrika,
terutama di Jepang ketika westernisasi pola diet dan gaya hidup.1
Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran empedu.
Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran
empedu intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran
empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan
dengan pasien di negara Barat.3
3. Etiologi dan Patognesis
Secara umum, obstruksi bilier menyebabkan terjadinya ikterus obtruktif. Ikterus
(jaundice) yaitu perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
kadarnya dalam darah. Bilirubin sebagai akibat pemecahan cincin heme dari
metabolisme sel darah merah. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada
sklera mata, dan ini menunjukkan kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl,
sedangkan jika ikterus jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin diperkirakan
sudah mencapai 7 mg/dl. Tahapan metabolisme bilirubin berlangsung melalui 3 fase
3
yaitu fase prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik, atau dikenal juga melalui
tahapan 5 fase yaitu (1) fase pembentukan bilirubin dan (2) transpor plasma, terjadi
pada fase prahepatik, (3) liver uptake dan (4) konyugasi, pada fase intrahepatik, serta
(5) ekskresi bilirubin pada fase ekstrahepatik.7
kemudian.
Kolangitis
sklerosis
primer
(Primary
Sclerosing
untuk
eksresi.
Retensi
bilirubin
menghasilkan
campuran
Gambar 5. Kolestasis7
Efek primer kolestasis terutama menyerang fungsi hati dan usus, sedangkan
efek sekundernya mempengaruhi tiap sistem organ. Efek primer meliputi retensi
empedu, regurgitasi empedu ke dalam serum, dan penurunan sekresi bilier ke dalam
usus. Efek sekundernya menyebabkan pemburukan penyakit hati serta penyakit
sistemik. Kolestasis menyebabkan beberapa kondisi berikut, yaitu :4
1. Retensi konjugasi dan regurgitasi bilirubin ke dalam serum
mengalami penurunan akibat jejas hepatosit. Laju produksi bilirubin dapat pula
mengalami peningkatan akibat hemolisis yang dapat menyertai kolestasis.
3. Hiperkolemia (peningkatan kadar garam empedu serum)
4. Pruritus
5. Hiperlipidemia
Pada kolestasis, kolesterol serum mengalami peningkatan karena terjadi gangguan
degradasi dan ekskresi metabolik. Dengan penurunan pembentukan empedu,
kolesterol mengalami retensi sehingga kandungan kolesterol pada membran
meningkat, menyebabkan penurunan fluiditas dan fungsi membran.
6. Xanthoma
Xanthoma terutama terjadi pada kolestasis obstruktif disebabkan deposisi
kolesterol ke dalam dermis.
7. Gangguan perkembangan
Gangguan perkembangan adalah efek klinis terpenting dari kolestasis. Terjadi
malabsorpsi, anoreksia, penggunaan nutrien yang rendah (penurunan kadar serum
protein), gangguan hormon dan jejas jaringan sekunder.
4. Gejala Klinis
Tidak jarang gejala kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik sukar untuk
dibedakan. Karakteristik dari kolestasis yaitu ikterus (jaundice), perubahan warna
urin menjadi lebih kuning gelap karena eksresi bilirubin melalui ginjal meningkat,
tinja pucat akibat terhambatnya aliran bilirubin ke usus halus dan berbau busuk serta
mengandung banyak lemak (steatorrhea) karena aliran empedu terhambat ke usus
halus sehingga absorpsi lemak terganggu, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh
akibat retensi empedu di kulit. Kolestasis kronik dapat menimbulkan pigmentasi kulit
kehitaman, ekskoriasi karena pruritus, sakit tulang karena absorpsi kalsium dan
9
Pemeriksaan
laboratorium
mempunyai
keterbatasan
diagnosis.
Kelainan
laboratorium yang khas adalah peningkatan nilai alkali fosfatase yang diakibatkan
terutama peningkatan sintesis karena gangguan eksresi akibat obstruksi bilier, namun
tetap belum dapat menjelaskan penyebabnya (intrahepatik atau ekstrahepatik). Alkali
fosfatase merupakan enzim yang terdapat pada membrane kanalikuli hepatosit.1,7
Nilai bilirubin juga mencerminkan beratnya tetapi bukan penyebab kolestasisnya.
Pada obstruksi ekstrahepatik kadar bilirubin direk dan indirek meningkat.
Peningkatan bilirubin direk disebabkan karena adanya obstruksi saluran empedu
sehingga menghambat ekskresinya ke duodenum, sedangkan bilirubin indirek
meningkat di dalam darah karena mekanisme liver uptake terganggu disebabkan oleh
kadar bilirubin direk meningkat di dalam hati. Pada obtruksi intrahepatik, bilirubin
direk dan indirek kemungkinan juga meningkat. Bilirubin indirek meningkat karena
ketidakmampuan sel hati yang rusak untuk mengubah bilirubin indirek menjadi direk,
sedangkan peningkatan bilirubin direk terjadi karena gangguan ekskresi akibat proses
peradangan.1,7
Nilai aminotrasnferase bergantung terutama pada penyakit dasarnya, namun
seringkali meningkat tidak tinggi. Apabila peningkatan tinggi sangat mungkin karena
proses
hepatoselular,
namun
kadang-kadang
terjadi
juga
pada
kolestasis
ekstrahepatik, terutama pada sumbatan akut yang diakibatkan oleh adanya batu di
duktus
koledokus.
Pada
obstruksi
ekstrahepatik
umumnya
kadar
aspartat
penyakit hati yang diinduksi alkohol. Aktivitas GGT meningkat pada semua bentuk
penyakit hati. 4
Perbaikan waktu protrombin setelah pemberian vitamin K mengarah kepada
adanya bendungan ekstrahepatik, namun hepatoselular juga dapat berespon.
Ditemukannya antibodi terhadap antimitokondria mendukung kemungkinan sirosis
bilier primer. Pada pemeriksaan urin, normalnya tidak ditemukan bilirubin, apabila
ditemukan bilirubin urin dan pasien melihat urin berwarna gelap atau seperti teh
pekat, menunjukaan adanya ikterus obstruktif atau kelainan hepatoselular.1,7
Pemeriksaan pencitraan (imaging) sangat penting dalam mendiagnosis penyakit
akibat kolestasis. Pemeriksaan rontgen abdomen dapat menunjukkan adanya batu
empedu. Pada sonografi abdomen, CT Scan, dan MRI (MRCP) memperlihatkan
adanya pelebaran saluran bilier, yang menunjukkan adanya sumbatan mekanik,
walaupun jika tidak ada tidak selalu berarti sumbatan intrahepatik, terutama dalam
keadaan masih akut. Umumnya batu kandung empedu dapat dipastikan dengan
ultrasonografi (USG). 7
Gambar 6.
Rontgen abdomen
opaque11
Dewasa ini USG merupakan pencitraan pilihan pertama untuk mendiagnosis batu
kandung empedu dengan sensivisitas tinggi melebihi 95% sedangkan untuk
mendeteksi batu saluran empedu sensivisitasnya relatif rendah berkisar antara 1874%, namun nilai diagnosis USG rendah pada pasien dengan obesitas. Endoscopic
Ultrasonography (EUS) mempunyai sensitivitas yang tinggi (97%) dalam mendeteksi
batu saluran empedu dibandingkan dengan USG transabdominal. EUS merupakan
suatu metode pemeriksaan dengan memakai instrumen gastroskop dengan echoprobe
12
di ujung skop yang dapat terus berputar. Dibandingkan dengan USG transabdominal,
EUS memberikan gambaran pencitraan yang jauh lebih jelas sebab echoprobe-nya
diletakkan di dekat organ yang diperiksa. Teknik pencitraan ini belum banyak diikuti
oleh praktisi kedokteran di Indonesia sebab hal ini berhubungan dengan masalah
latihan, pengalaman, dan ketersediaan instrumen EUS.3,7
Lesi di pankreas dapat dilihat dengan CT Scan. Endoscopic Retrograde
Cholangio-Pancreatography (ERCP) dapat melihat secara langsung saluran bilier dan
sangat bermanfaat untuk menetapkan sumbatan ekstrahepatik. Percutaneous
Transhepatic Cholangigraphy (PTC) dapat pula digunakan untuk tujuan yang sama.
Kedua cara tersebut mempunyai potensi terapeutik. ERCP bersifat invasif dan dapat
menimbulkan komplikasi pankreatitis dan kolangitis yang dapat berakibat fatal.7
Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography (MRCP) merupakan teknik
pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras, instrumen, dan
radiasi ion. MRCP cocok untuk mendignosis batu saluran empedu. Studi terkini
MRCP menunjukkan nilai sensivisitas antara 91-100%, nilai spesivisitas antara 92100% dan nilai prediktif positif antara 93-100% pada keadaan dengan dugaan batu
saluran empedu. Nilai diagnostik MRCP yang tinggi membuat teknik ini makin sering
dikerjakan untuk diagnosis atau eksklusi batu saluran empedu khususnya pada pasien
dengan kemungkinan kecil mengandung batu. Selain itu cara ini bersifat non invasif,
namun bukan merupakan modalitas terapi dan juga aplikasinya bergantung pada
operator.3
Biopsi hati akan menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik. Walaupun
demikian dapat timbul juga kesalahan, terutama jika penilaian dilakukan oleh orang
yang kurang berpengalaman. Umumnya biopsi aman pada kasus kolestasis, namun
berbahaya pada keadaan obtruksi ekstrahepatik yang berkepanjangan, karenanya
harus disingkirkan dahulu dengan pemeriksaan pencitraan sebelum biopsi dilakukan.7
6.
Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting, karena
kesalahan diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis yang kurang atau penilaian
13
Pengobatan
pertama kali dilakukan tahun 1974.Untuk mengeluarkan batu empedu yang sulit
diperlukan beberapa prosedur endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti
seperti pemecehan batu dengan litotripsi mekanik, litotripsi laser, dan ESWL
(Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy). Selain itu, perlu modifikasi diet berupa diet
rendah lemak dan gula serta tinggi serat.1,7,9
15
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. Tarmini L
Umur
: 62 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status Perkawinan
: Menikah
Pekerjaan
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Alamat
Tgl. Masuk
: 24 Desember 2015
Tgl. Periksa
: 25 Desember 2015
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan atas yang semakin memburuk sejak 2 hari
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh nyeri perut kanan atas yang semakin memburuk sejak 2 hari.
Awalnya 5 bulan SMRS pasien mengeluh pasien mengalami demam tinggi,
demam naik turun, namun tidak pernah mencapai suhu normal. Pasien juga
mengeluhkan perut kanan atas terasa nyeri, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri
hilang timbul. Lalu pasien berobat ke RSUP Prof. dr. R.D.Kandou, pasien
dirawat inap selama 7 hari. Selama di rawat keluhan berkurang, dan pasien
diperbolehkan pulang.
20 hari SMRS pasien kembali mengeluhkan nyeri perut kanan atas, nyeri seperti
ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul. Pasien kembali mengalami demam. Perut
terasa kembung dan bengkak. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah.
Muntah setiap kali makan, berwarna kuning berisi makanan yang dimakan, darah
(-). Nafsu makan pasien menurun. Pasien merasa mata dan badannya berwarna
kuning. Seluruh badan pasien terasa gatal. BAK pasien berwarna kuning pekat
seperti teh. BAB berwarna kuning biasa, tidak ada keluhan. Lalu pasien kembali
tidak membaik.
Sejak 2 hari SMRS, pasien mengeluh semakin lemah, nyeri perut kanan atas
semakin memburuk dan perut pasien dirasakan semakin membengkak.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesadaran
: Komposmentis
Tekanan darah
: 100/60 mmHg
Nadi
Pernapasan
: 20 x/menit
Suhu
: 37,60C
Pemeriksaan Khusus:
Kepala :
Mata
Mulut
: Bibir kering, lidah tidak kotor, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Leher
Thoraks:
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Paru :
18
Inspeksi
: Dada simetris, gerakan dada simetris kiri dan kanan, tidak ada bagian
yang tertinggal
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
(-)
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, kulit kering, turgor jelek.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 24 Desember 2015
Darah rutin
Hb
: 6 gr/dl
Hematokrit
: 17.6 %
Lekosit
Trombosit
: 13.500/L
: 183.000 /L
Elektrolit
Na+
: 136,4 mmol/L
K+
: 4,30 mmol/L
Cl-
: 104 mmol/L
Kimia darah
19
Glukosa
: 95 mg/dL
BUN
: 13 mg/dL
CR-S
: 1.51 mg/dL
AST
: 195 IU/L
ALT
: 187IU/L
Ureum
: 40mg/Dl
: non reaktif
Anti HCV
: non reaktif
USG :
Cholecystitis
Dilatasi bile duct
RESUME :
Pasien wanita, 62 tahun,datang dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas yang
semakin memburuk sejak 2 hari SMRS. Awalnya 5 bulan SMRS pasien mengeluh
pasien mengalami demam tinggi, demam naik turun, namun tidak pernah mencapai
suhu normal. Pasien juga mengeluhkan perut kanan atas terasa nyeri, nyeri seperti
ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul. Lalu pasien berobat ke RSUP Prof. dr.
R.D.Kandou, pasien dirawat inap selama 7 hari. Selama di rawat keluhan berkurang,
dan pasien diperbolehkan pulang, 20 hari SMRS pasien kembali mengeluhkan nyeri
perut kanan atas, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul. Pasien kembali
mengalami demam. Perut terasa kembung dan bengkak. Pasien juga mengeluhkan
mual dan muntah. Muntah setiap kali makan, berwarna kuning berisi makanan yang
dimakan, darah (-). Nafsu makan pasien menurun. Pasien merasa mata dan badannya
20
berwarna kuning. Seluruh badan pasien terasa gatal. BAK pasien berwarna kuning
pekat seperti teh. BAB berwarna kuning biasa, tidak ada keluhan
Dari pemeriksaan fisik ditemukan sklera ikterik (+/+), teraba hepar + 3 cm dibawah
arcus costae, murphy sign (+). Dari pemeriksaan penunjang ditemukan peningkatan
kadar SGOT, SGPT dan Gambaran USG menunjukkan terdapat pelebaran duktus
biliaris.
DIAGNOSIS KERJA
Obstruksi Jaundice ec Cholecystitis
DIAGNOSIS BANDING
- Obstruksi Jaundice ec Tumor Caput Pankreas
PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
o Tirah Baring posisi duduk
o Diet rendah garam rendah colesterol
Medikamentosa
o
o
o
o
o
Venflon
Ceftriaxon 1gr/ 8 jam i.v
Ranitidine 1gr/12 jam i.v
Transfusi PRC
Curcuma 3x1 tab
21
Prognosis
Ad vitam
: Bonam
Ad functionam
: Bonam
Ad sanationam
: Bonam
BAB IV
ANALISA MASALAH
3.1 Simpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien ini didiagnosis menderita
ikterus obstruktif dimana penyebabnya adalah batu empedu. Dalam mengkaji pasien
dengan ikterus, terlebih dahulu kita hendaknya memikirkan apakah ikterus yang
terjadi akibat proses prehepatik, intrahepatik, atau posthepatik. Pada pasien ini, proses
prehepatik dapat disingkirkan karena tidak ada keluhan yang menunjang ke arah
prehepatik. Pasien tidak pernah mengalami penyakit hemolitik. Sehingga yang perlu
dipikirkan adalah proses pada intrahepatik dan post hepatik.
Untuk mengarah ke diagnosis tersebut, pada anamnesis didapatkan pasien
mengeluhkan nyeri pada perut kanan atas, nyeri terasa seperti di tusuk-tusuk, nyeri
22
hilang timbul. Ini merupakan salah satu gejala dari kolik bilier yang bisa disebabkan
oleh batu empedu. Pasien juga mengeluhkan badan yang terasa gatal, urin yang
berwarna teh pekat. Hal ini merupakan karakteristik dari terjadinya obstruksi dari
bilirubin.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan bahwa terlihat sklera pasien yang ikterik dan
kulit yang ikterik. Hal ini khas pada obstruksi ikterus ekstrahepatik. Pada
pemeriksaan fisik juga didapatkan adanya tanda murphy dan kandung empedu yang
tidak membesar. Hal ini dapat menyingkirkan adanya keganasan yang menyumbat
saluran empedu pada pasien ini. Karena apabila terjadi keganasan , maka akan
ditemukan pembesaran kandung empedu yang akan teraba pada palpasi abdomen.
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan terjadinya peningkatan kadar SGOT,
SGPT, bilirubin direk dan bilirubin indirek. Hal ini dapat mengarahkan bahwa ikterus
yang terjadi bisa berasal dari intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dari pemeriksaan
USG, terlihat bahwa terdapat pelebaran duktus biliaris, hal ini mengarahkan
terdapatnya batu empedu yang menyumbat aliran empedu sehingga terjadilah
pelebaran duktus biliaris.
Penatalaksanaan ikterus obstruksi ini tergantung dari penyebabnya, karena
penyebab pada pasien ini adalah adanya batu empedu, maka pasien tersebut di
konsulkan ke bagian bedah digestif untuk dilakukannya pengangkatan batu tersebut.
Sedangkan gejala penyertanya dapat diobati sesuai dengan keluhan. Apabila pasien
demam, maka dapat diberikan antipiretik, juga antibiotik apabila terdapat infeksi.
Untuk mengurangi mual dan muntah dapat diberikan antivomitus.
23
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Bonheu J.L, Ells P.F. Biliary Obstruction 2015. http://www.emedicine.com
[Diakses 29 Desember 2015].
2. Lee A. Biliary Tract Obstruction 2010. http://www.suite101.com
3.
4. Lesmana LA. Penyakit Batu Empedu. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK.UI; 2006. 481-2.
5. Sulaiman A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi I. Jakarta : Jayabadi;
2007.9,14-5, 161, 165, 171, 174, 175.
6. McPhee S. J, Papadakis M. A, Tierney L. M. Biliary Obstruction. In : Current
Medical Diagnosis and Treatment. San Fransisco : Mc Graw Hill; 2007. ebook.
24
25