Anda di halaman 1dari 23

Telaah Jurnal Psikosomatik

HUBUNGAN GEJALA-GEJALA DEPRESIF PADA


KELOMPOK DEWASA USIA LANJUT YANG MENGIDAP
DIABETES

Diajukan oleh :
dr. Wendhy Pramana
13/357165/PKU/14081

Telah disetujui

Tanggal

Pembimbing

: dr. Agus Siswanto Sp.PD-KPsi

Dipresentasikan

Pembimbing

: dr. Agus Siswanto Sp.PD-KPsi

...........

Tanggal
...........

PPDS I Bagian Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas GadjahMada/RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta
HUBUNGAN GEJALA-GEJALA DEPRESIF PADA KELOMPOK
DEWASA USIA LANJUT YANG MENGIDAP DIABETES
0

LaRita C. Jones, Olivio J. Clay, Fernando Ovalle, Andrea Cherrington, dan


Michael Crowe
Abstrak
Para peneliti memeriksan korelasi antara gejala-gejala depresif dalam suatu
sampel yang berisi individu-individu dewasa tua yang mengidap diabetes. Para
partisipan menyelesaikan suatu wawancara telepon terstruktur dengan sejumlah
pengukuran yang meliputi gejala depresif, kondisi kesehatan, fungsi kognitif, dan
distress diabetes. Model korelasi dan model regresi linear hierarki digunakan
untuk memeriksa korelasi bivariat dan korelasi kovariat dari gejala-gejala depresif
yang telah disesuaikan. Sampel penelitian ini meliputi 246 individu dewasa yang
mengidap diabetes ( 65 tahun) yang berasal dari dalam komunitas. Di dalam
analisis bivariat, ras Afrika Amerika, individu dengan permasalahan kesehatan
yang spesifik (neuropati, stroke, permasalahan respirasi, arthritis, dan
permasalahan jantung), dan individu dengan tingkat stres diabetik yang lebih
tinggi melaporkan lebih banyak gejala depresif. Usia yang lebih tua, tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, pendapatan yang lebih besar, dan fungsi kognitif
yang lebih baik ditemukan berkorelasi terbalik dengan gejala-gejala depresif. Di
dalam model regresi dengan penyesuaian kovariat, stroke (B=0,22, nilai p<0,001),
fungsi kognitif (B=-0,14, p<0,01), dan tingkat distress terkait diabetes yang lebih
tinggi (B=0,49, p<0,001) masing-masing secara unik berkorelasi dengan gejala
yang lebih depresif. Distress diabetes sebagian memediasi hubungan yang muncul
antara permasalahan jantung dengan gejala depresif dan antara fungsi kognitif
dengan gejala depresif. Hasil-hasil temuan penelitian kali ini menunjukkan bahwa
berbagai intervensi yang memiliki target untuk membantu individu dewasa usia
lanjut dalam menangani kondisi distress terkait diabetes dan menurunkan
kemungkinan untuk mengalami berbagai komplikasi kesehatan tambahan akan
dapat mengurangi gejala-gejala represif di dalam populasi pasien ini.
1. Pendahuluan
Pada saat ini, diabetes memiliki pengaruh di tingkatan individual dan
tingkatan sosial yang substansial di Amerika Serikat. Menurut data dari Pusat
Kontrol dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention
[CDC]), sekitar 29,1 juta individu di Amerika Serikat (9,3% populasi) saat ini
hidup dengan menyandang diabetes. CDC memperkirakan bahwa sebanyak 25,9%
penduduk Amerika yang berusia 65 tahun atau lebih mengidap penyakit kronis ini.
Rata-rata, para individu dengan diabetes menghabiskan lebih dari 2,3 kali lipat
jumlah pengeluaran biaya kesehatan dibandingkan individu tanpa diabetes. Saat
1

ini jelas terdapat kebutuhan untuk melakukan usaha-usaha pencegahan diabetes


yang lebih baik di usia-usia lebih awal dan di dalam penanganan diabetes dan
kondisi-kondisi komorbid pada individu dewasa usia lanjut.
Kombinasi tuntutan finansial, fisik, dan mental akibat hidup dengan
mengidap penyakit kronis seperti misalnya diabetes, dapat menyebabkan
terjadinya distress emosional dan gejala-gejala depresif. Akibat semakin
bertambahnya prevalensi individu usia lanjut yang hidup dengan penyakit kronis,
maka terdapat suatu kebutuhan bagi para peneliti untuk menyelidiki dan lebih baik
lagi memahami berbagai penyebab munculnya gejala depresif di dalam populasi
ini. Dengan tujuan untuk menurunkan dan menangani stressor dengan lebih baik,
maka pertama-tama kita harus memiliki suatu pemahaman umum mengenai
bagaimana stressor dalam konteks penyakit kronis diproses secara emosional
maupun secara fisik.
1.1.

Model biopsikososial. Di tahun 1977, George Engel mengemukakan model


biopsikososial kultural (yang dikemudian hari disingkat menjadi model
biopsikososial demi kepentingan kemudahan penyebutan). Engel mengemukakan
model ini dengan hipotesis bahwa untuk menyediakan suatu landasan bagi
pemahaman faktor apa saja yang mempengaruhi perjalanan dari suatu penyakit
(demi kepentingan terapi dan prevensi), kita tidak boleh hanya memeriksa faktorfaktor biologis yang mempengaruhi seorang individu, namun juga harus
memeriksa konteks sosial tempat tinggal individu tersebut. Dengan teori tersebut,
bidang ilmu kesehatan dan penelitian akan mencapai pemahaman yang lebih baik
mengenai hubungan antara perasaan menderita, penyakit, dan rasa sakit serta

suatu pemahaman yang lebih jelas akan pengalaman subjektif seorang individual
dan pengaruh yang dapat ditimbulkannya terhadap diagnosis, hasil keluaran
kesehatan, dan perawatan kesehatan secara keseluruhan. Hal ini disertai dengan
pemahaman akan model biopsikososial yang mana para peneliti dari penelitian
kali ini berusaha memeriksa gejala-gejala depresif dan distress diabetes dalam
1.2.

sebuah sampel individu dewasa lanjut usia yang hidup dengan diabetes.
Stressor dan kesehatan mental. Hubungan antara keberadaan sejumlah kondisi
kesehatan seperti misalnya stroke, penyakit kardiovaskuler, permasalahan
respirasi, arthritis, dan neuropati serta gejala depresif yang dilaporkan sendiri oleh
individu tampaknya telah berhasil didokumentasikan dengan baik. Penelitian
terdahulu juga menunjukkan bahwa mengalami rasa nyeri neuropati yang disertai
dengan kemungkinan penurunan kemandirian dapat menimbulkan pengaruh
negatif terhadap mood seseorang. Bagi para individu yang sedang beradaptasi
dengan efek-efek dari stroke dan juga sedang berurusan dengan kesulitan fungsi
kognitif yang seringkali mengikuti suatu kondisi stroke, selain berhadapan dengan
tata laksana penyakit diabetesnya sehari-hari, dapat terjadi eksaserbasi kondisi
distress psikologis. Juga telah dikemukakan pendapat bahwa sejumlah
permasalahan respirasi, seperti misalnya asma, dan mood negatif memiliki suatu
hubungan yang berpotensi bersifat mutualisme. Tampaknya kondisi kesehatan
jantung seorang individu dan kemampuan untuk mengontrol permasalahan
kesehatan kronis memiliki korelasi yang sangat erat dengan permasalahan mood.
Tambahan lagi, gejala-gejala depresif lebih banyak ditemukan pada individu
dewasa usia lanjut yang mengalami rasa nyeri arthritis. Selain hubungan dengan
kondisi kesehatan, prevalensi gejala-gejala depresif tampaknya jauh lebih tinggi

diantara individu dewasa usia lanjut yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih
rendah, berjenis kelamin perempuan, dan/atau merupakan kelompok minoritas.
1.2.1 fungsi kognitif, diabetes, dan gejala depresif. Gejala depresif seringkali
muncul di saat onset atau selama manifestasi awal dari penurunan kemampuan
kognitif dan demensia. Penurunan fungsi kognitif merupakan suatu permasalahan
yang terutama penting bagi individu-individu dewasa usia lanjut yang mengidap
diabetes. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian longitudinal ysng terdiri dari
624 individu dewasa usia lanjut yang berasal dari suatu komunitas, telah
ditemukan bahwa adanya diabetes akan dapat memprediksikan terjadinya
penurunan kognitif, terutama diantara individu-individu yang lebih jarang
melakukan kunjungan ke dokter dan merupakan ras bangsa Afrika Amerika yang
melaporkan tingkat perasaan diskriminasi yang lebih tinggi.
1.2.2 Peranan distress diabetes. Distress diabetes merupakan istilah yang
digunakan untuk menjabarkan jalur-jalur emosional yang umumnya berkorelasi
dengan kondisi hidup menyandang diabetes. Fisher dan koleganya telah
memeriksa hubungan antara depresi mayor, gejala depresif, distress diabetes, dan
kontrol glikemik. Sejauh ini, distress diabetes ditemukan berbeda dari depresi
klinis dan gejala depresif karena distress diabetes lebih berkorelasi erat dengan
kontrol glikemik dan tata laksana penyakit yang lebih buruk. Hasil temuan mereka
ini memberikan dukungan pada gagasan yang menyatakan bahwa metode-metode
terapi yang berbeda yang memberikan fokus spesifik pada distress terkait
kesehatan dapat terutama bermanfaat untuk memperbaiki gejala-gejala depresif
yang dialami oleh populasi ini. Tujuan dari penelitian kali ini ialah untuk
memeriksa korelasi antara gejala-gejala depresif pada individu-individu dewasa

usia lanjut yang mengidap diabetes dengan sejauh mana distress diabetes dapat
menjelaskan kemunculan hubungan antara gejala depresif dengan faktor-faktor
yang telah terlebih dahulu dikaitkan dengan gejala-gejala tersebut. Dihipotesiskan
bahwa individu usia lanjut dengan diabetes yang melaporkan adanya kondisi
permasalahan medis lainnya juga melaporkan jumlah gejala depresif yang lebih
tinggi. Diantara para individu usia lanjut yang hidup dengan diabetes, fungsi
kognitif yang lebih rendah dihipotesiskan memiliki korelasi dengan gejala-gejala
yang lebih depresif. Terakhir, pelaporan tingkat distress terkait diabetes yang
tinggi telah dihipotesiskan memiliki korelasi dengan tingkat gejala depresif yang
tinggi dan kemungkinan dapat menjelaskan hubungan antara kesehatan, fungsi
kognitif, dan gejala-gejala depresif.
2. Metode penelitian
Data penelitian ini berasal dari Penelitian Kesehatan Diabetes dan Penuaan
(Diabetes and Aging of Study Health [DASH]). Sampel DASH mencakup
individu-individu usia lanjut dari komunitas yang tinggal di area Birmingham,
Alabama, dan juga para pasien dari satu klinik diabetes di Universitas Alabama di
Birmingham (University of Alabama at Birmingham [UAB]). Semua partisipan
harus berusia 65 tahun atau lebih dan diidentifikasi sebagai pengidap diabetes
melalui laporan sendiri oleh partisipan atau dari diagnosis dokter. Para partisipan
yang berasal dari komunitas direkrut dari sebuah daftar individu dewasa usia
lanjut di area metropolitan Birmingham yang tersedia di pasaran dimana data ini
disimpan oleh Pusat Roybal UAB untuk Penelitian Translasional tentang Penuaan
dan Mobilitas. Partisipan klinis direkrut dari para pasien seorang dokter yang

bertugas di Klinik Diabetes & Endokrinologi UAB. Semua partisipan telah


dihubungi lewat surat yang dikirimkan ke alamat masing-masing dan dilanjutkan
dengan sambungan telepon. Ras bangsa Afrika Amerika direkrut dalam jumlah
banyak dengan tujuan untuk memenuhi gol utama dari DASH, yaitu memeriksa
perbedaan rasial dalam hal kesehatan mental, fungsi kognitif, dan hasil keluaran
mobilitas pada kelompok individu usia lanjut yang mengidap diabetes seiring
waktu. Para partisipan diminta menyelesaikan wawancara via telepon yang
memfokuskan pada sejumlah pengukuran spesifik diabetes mengenai kesehatan
dan faktor psikososial dan juga performa pasien berbasis pemeriksaan kognitif.
2.1.

Demografis. Variabel-variabel demografis dikumpulkan melalui pelaporan


mandiri. Dikumpulkan informasi mengenai usia, ras, jenis kelamin, lama tahun
mengenyam pendidikan, status perkawinan, dan besar pendapatan. Besar
pendapatan diukur dalam bentuk kategori ordinal yang berkisar dari 1 (kurang

2.2.

dari $ 5.000) hingga 9 ($ 100.000 atau lebih).


Permasalahan kesehatan. Permasalahan kesehatan dinilai melalui pelaporan
mandiri. Sebuah daftar yang berisi permasalahan kesehatan yang umum dijumpai
pada kelompok individu dewasa usia lanjut kemudian dinilai, dan partisipan
melaporkan jika mereka pernah diberitahu oleh dokter/perawat yang merawatnya
bahwa mereka memiliki berbagai macam kondisi kesehatan yang mencakup
neuropati, stroke (atau suatu ministroke/serangan iskemik sementara),
permasalahan respirasi (asma, bronkitis kronis, atau emfisema), arthritis, dan
sejumlah permasalahan kardiovaskuler (serangan jantung/infark myocardial atau
gagal jantung kongestif). Respons partisipan dikode sebagai 0 (tidak ada) atau 1
(ada).

2.3.

Fungsi kognitif. Fungsi kognitif dinilai menggunakan modifikasi Wawancara


Telepon untuk Status Kognitif (Telephone Interview for Cognitive Status [TICSM]) yang mengukur status kognitif global pada individu dewasa lanjut usia.
Metode ini terdiri dari 13 item dan merupakan suatu modifikasi dan versi
tervalidasi dari Wawancara Telepon Status Kognitif terdahulu. TICS-M mencakup
empat domain: orientasi; registrasi/memori terbaru dan ingatan tertunda (delayed
recall); perhatian/kalkulasi; serta repetisi, komprehensi, dan memori semantik.
Kemungkinan rentang skor yang terbentuk ialah antara 0 hingga 39, dengan
bagian dari skor total yang relatif lebih besar dialokasikan untuk komponen
memori. Skor yang besarnya 20 atau kurang dari itu menunjukkan adanya

2.4.

gangguan kognitif.
Gejala depresif. Kesehatan mental dinilai menggunakan Formulir Skala Pendek
Depresi Geriatrik (Geriatric Depression Scale-Short Form). Skala ini tersusun
dari 15 item yang menilai mood yang rendah dan perasaan tak berdaya (gejala
umum depresi) pada seorang individu. Kemungkinan rentang nilai skala ini ialah
dari 0 hingga 15 dan nilai alfa Cronbach adalah sebesar 0,85. Skor yang besarnya

2.5.

5 atau lebih menunjukkan adanya peningkatan gejala-gejala depresif.


Distress diabetes. Skala yang digunakan untuk mengukur distress emosional
terkait diabetes adalah suatu versi singkat 2 item yang merupakan modifikasi dari
Skala Penapisan kondisi Distress Diabetes (Diabetes Distress Screening Scale
[DDSS]) 17 item yang asli. Untuk DDSS2, para partisipan diminta untuk menilai
seberapa besar item-item berikut ini menimbulkan distress selama satu bulan
terakhir: merasa terbebani dengan tuntutan-tuntutan hidup dengan diabetes, dan
merasa bahwa saya seringkali kerepotan dengan jadwal rutin diabetes saya.

Pilihan jawaban berkisar dari 1 (mengindikasikan item tersebut bukan suatu


masalah) hingga 6 (mengindikasikan bahwa item tersebut merupakan suatu
permasalahan yang sangat serius). Nilai alfa Cronbach untuk kedua item tersebut
ialah sebesar 0,79. Suatu skor rangkuman dibuat untuk variabel distress diabetes
dengan total nilai yang besarnya 6 atau lebih menunjukkan distress sedang dan
kemungkinan dapat digunakan untuk mengidentifikasi individu-individu yang
2.6.

berisiko mengalami hasil-hasil keluaran kesehatan negatif.


Analisis. Analisis dikerjakan menggunakan SASV9.1.3 dan IBMSPSS versi 22.
Korelasi bivariat antara gejala depresif dengan variabel yang diinginkan kemudian
diperiksa. Suatu model regresi awal mencakup sejumlah karakteristik demografis
(usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, besar pendapatan, dan ras)
sebagai korelasi dari gejala-gejala depresif. Model-model selanjutnya kemudian
akan memeriksa hubungan antara gejala depresif dengan variabel yang
dikategorikan sebagai kemungkinan permasalahan untuk para individu dewasa
usia lanjut pengidap diabetes dengan menambahkan sejumlah kondisi kesehatan
(neuropati, stroke, permasalahan respirasi, arthritis, dan permasalahan jantung),
fungsi kognitif, dan distress diabetes ke dalam model-model sekuensial tambahan.
Dengan tujuan untuk menentukan kontribusi dari variabel-variabel tambahan
terhadap model regresi, maka dilakukan penilaian tambahan uji r-square setiap
selesainya satu tahapan analisis.

3.1.

3. Hasil
Partisipan. Berbagai karakteristik deskriptif dari para partisipan dipresentasikan
di dalam Tabel 1. Terdapat 246 partisipan (172 dari komunitas dan 74 dari klinik),
yang terdiri dari 126 (51,44%) bangsa Kaukasian, 110 (44,72%) ras Afrika

Amerika (AA) dan 10 orang berasal dari ras lain (4,07%). Terdapat 109
partisipan laki-laki (44,31%), dan rerata usia adalah 73,35 tahun (rentang 65-90
tahun). Waktu pelaporan mandiri sejak penegakan diagnosis berkisar antara
kurang dari satu tahun hingga 58 tahun, dengan rerata rentang waktu selama 16
tahun. Dari 246 partisipan, kondisi permasalahan kesehatan yang paling banyak
dijumpai adalah arthritis (71,54%). Rerata skor sampel pada TICS-M adalah
sebesar 23,37 (SD=5,59), nilai ini sedikit diatas nilai potong yang dianjurkan
untuk gangguan kognitif yang sebesar 21. Enam puluh lima partisipan (26,42%)
memiliki skor 20 atau kurang pada TICS-M, hal ini mengindikasikan bahwa para
partisipan tersebut mengalami permasalahan di dalam fungsi kognitifnya. Dalam
kaitannya dengan distress terkait diabetes, rerata skor pada DDSS2 adalah sebesar
3,85 (SD=2,51). Empat puluh delapan partisipan (19,51%) memiliki skor titik
potong 6 atau di atas titik potong tersebut, hal ini mengindikasikan bahwa
partisipan tersebut mengalami distress tingkat sedang hingga berat. Rerata skor
GDS dari para sampel (skor titik potong sebesar 5 atau lebih untuk gejala-gejala
yang signifikan secara klinis) adalah sebesar 2,73 (SD=2,96). Empat puluh tiga
partisipan (17,48%) memiliki skor di titik potong atau lebih besar,
mengindikasikan bahwa mereka mengalami peningkatan gejala depresif.
Korelasi-korelasi yang ada ditampilkan di dalam Tabel 2. Hasil-hasil
tersebut mengindikasikan bahwa ras Afrika Amerika melaporkan lebih banyak
gejala depresif dibandingkan ras Kaukasian (r=0,17; p<0,01). Partisipan dengan
usia yang lebih tua (r=-0,16; p=0,01) yang memiliki jumlah pemasukan yang lebih
besar (r=-0,18; p<0,001), dan pendidikan yang lebih tinggi (r=-0,22; p<0,001)
melaporkan gejala depresif yang lebih sedikit. Sedangkan untuk kondisi-kondisi

kesehatan spesifik yang diteliti, kelompok partisipan dengan neuropati (r=0,21;


p<0,01), stroke (r=0,36; p<0,0001), permasalahan pernafasan (r=0,20; p<0,01),
arthritis (r=0,17; p<0,05), dan permasalahan jantung (r=0,23, p<0,001) juga
ditemukan mengalami tingkatan gejala depresif yang lebih besar. Selain itu,
individu di dalam sampel yang memiliki fungsi kognitif lebih baik (r=-0,27;
p<0,001) melaporkan lebih sedikit gejala depresif.
Dalam hal korelasi antara distress diabetes dengan variabel-variabel lain
yang diteliti (Tabel 2), para individu yang mengalami lebih banyak gejala depresif
juga mengalami distress diabetes yang lebih berat (r=0,60; p<0,0001). Tingkat
distress diabetes yang lebih rendah juga teramati pada partisipan dengan lama
mengenyam pendidikan yang lebih panjang (r=-0,18; p<0,01), dengan pendapatan
yang lebih besar (r= -0,23, p<0,001), dan para individu yang menikah (r=-0,13;
p<0,05). Para partisipan ras Afrika Amerika mengindikasikan distress diabetes
yang lebih berat dibandingkan ras Kaukasian (r=0,19; p<0,01). Partisipan yang
mengalami neuropati (r=0,16; p=0,01) dan permasalahan jantung (r=0,17; p<0,01)
juga melaporkan tingkatan distress diabetes yang lebih besar. Terakhir, para
individu dengan fungsi kognitif yang lebih baik mengindikasikan bahwa individu
3.2.

tersebut memiliki distress diabetes yang lebih ringan (r=-0,18; p<0,01).


Model regresi hierarkis. Hubungan antara faktor demografis dengan gejala
depresif mula-mula diperiksa (Tabel 3). Terdapat suatu hubungan penyesuaian
kovariat yang signifikan antara usia dengan gejala depresif, mengindikasikan
bahwa usia yang lebih tua berkorelasi dengan gejala depresif yang lebih sedikit
(B=-0,8; p<0,05). Selain itu, hubungan signifikan antara tingkat pendidikan
dengan gejala depresif mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan yang lebih

10

tinggi berkorelasi dengan gejala depresif yang lebih sedikit (B=-0,17; p<0,05).
Tak satupun faktor demografis lain yang berkorelasi signifikan dengan gejala
depresif dalam model penyesuaian kovariat ini.
Menambahkan variabel permasalahan kesehatan dan fungsi kognitif ke
dalam model berperan di dalam munculnya jumlah varian di atas dan melampaui
nilai variabilitas yang dibentuk oleh variabel-variabel demografis saja secara
signifikan: R2 = 0,212; p<0,001 (Tabel 3, Model 2). Dalam model tersebut,
hubungan antara usia lanjut dengan lebih sedikit gejala depresi ditemukan masih
tetap signifikan. Sejumlah permasalahan kesehatan memiliki hubungan yang unik
dengan lebih banyak gejala depresif: dimana neuropati dan arthritis: nilai p<0,05;
permasalahan jantung: nilai p<0,01; dan stroke: nilai p<0,0001. Selain itu, tingkat
fungsi kognitif yang lebih tinggi dikaitkan dengan gejala depresif yang lebih
sedikit (nilai p<0,01).
Di dalam model akhir, penambahan variabel distress diabetes berperan
pada munculnya varian dalam jumlah yang signifikan di atas dan melebihi
variabilitas yang dibentuk oleh variabel demografis, permasalahan kesehatan, dan
fungsi kognitif: R2 = 0,20, nilai P<0,001 (Tabel 3, Model 3). Meskipun distress
diabetes dan gejala depresif memiliki korelasi tingkat sedang, namun suatu
pemeriksaan faktor inflasi varian (1,19) dan toleransi (0,84) memberikan bukti
bahwa

multikolinearitas

tidak

akan

menjadi

permasalahan

ketika

menginterpretasikan hasil-hasil temuan tersebut. Dari berbagai variabel yang


diperiksa di dalam model akhir tersebut, stroke (B=0,20, p<0,001) dan
pengalaman akan kondisi distress diabetes sebelumnya (B=0,49, p<0,001)
ditemukan memiliki hubungan terkuat dengan gejala-gejala depresif. Hubungan

11

antara neuropati dengan gejala depresif dan antara permasalahan respirasi dengan
gejala depresif masih tetap bermakna secara statistik. Hubungan antara
permasalahan jantung dengan gejala depresif diperantarai oleh distress diabetes,
dan hubungan antara kognisi dengan gejala depresif sebagian diperantarai oleh
kondisi distress diabetes. Para individu dengan permasalahan jantung dan individu
dengan tingkat fungsi kognitif yang lebih rendah melaporkan lebih banyak
distress diabetes, dan tingkat distress diabetes yang lebih tinggi selanjutnya juga
berkorelasi dengan pelaporan gejala depresif yang lebih banyak. Hubungan antara
permasalahan jantung dengan fungsi kognitif ditemukan mengalami penurunan
sebesar 47,01% sesudah penambahan distress diabetes ke dalam model dan
hubungan antara fungsi kognitif dengan gejala depresif ditemukan mengalami
penurunan sebesar 26,80%.
4. Diskusi
Penelitian kali ini dikerjakan untuk memeriksa korelasi dari gejala depresif
pada individu dewasa usia lanjut yang mengidap diabetes. Sampel penelitian ini
terdiri dari individu ras Afrika Amerika dan ras Kaukasian yang telah terdiagnosis
diabetes sebelum ikut berpartisipasi ke dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini
memperoleh sejumlah temuan yang konsisten dengan literatur terdahulu, dan juga
sejumlah temuan baru yang dapat memberikan pandangan baru mengenai
sejumlah kemungkinan cara untuk mengurangi gejala depresif di dalam populasi
individu usia lanjut pengidap diabetes yang jumlahnya semakin lama semakin
bertambah.

12

Dihipotesiskan bahwa individu-individu yang melaporkan adanya kondisi


medis merugikan selain diagnosis diabetes akan melaporkan jumlah gejala
depresif yang lebih banyak. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa
individu yang pernah mengalami stroke akan melaporkan gejala depresif yang
jauh lebih berat dibandingkan individu yang tidak memiliki riwayat stroke.
Hubungan antara stroke dengan gejala depresif pada individu usia lanjut pengidap
diabetes merupakan hal yang penting untuk dikenali, karena sejumlah penelitian
terdahulu mengindikasikan bahwa banyak efek merugikan dari stroke ternyata
berkorelasi dengan peningkatan gejala depresif. Sebagai contoh, stroke
merupakan salah satu penyebab utama terjadinya keterbatasan mobilitas permanen
di Amerika Serikat, dan keterbatasan mobilitas ini telah ditunjukkan berkorelasi
dengan peningkatan gejala depresif pada individu dewasa usia lanjut. Stroke juga
merupakan salah satu penyebab utama terjadinya gangguan kognitif. Hubungan
antara stroke, gejala depresif, dan gangguan kognitif hingga saat ini masih belum
jelas: banyak ilmuwan yang sedang berusaha meneliti apakah gejala depresif
pasca stroke dan gangguan kognitif muncul secara terpisah satu sama lain atau
apakah terdapat suatu kemungkinan hubungan mutualisme antara kedua kondisi
tersebut. Tanpa memandang hubungan sebab-akibat, hubungan ini ini memiliki
sejumlah implikasi penting bagi individu usia lanjut dengan diabetes, karena
individu yanag hidup menyandang diabetes akan mengalami peningkatan risiko
untuk mengalami stroke maupun gangguan kognitif.
Pemeriksaan fungsi kognitif yang kami lakukan memperoleh hasil yang
serupa dengan yang ada di dalam literatur yang sudah ada sebelumnya. Adalah hal

13

yang cukup umum bagi para peneliti dan tenaga profesional layanan kesehatan
untuk melihat tingkat gejala depresif yang tinggi pada individu dengan kondisi
gangguan fungsi kognitif. Mendukung suatu kemungkinan adanya hubungan yang
bersifat dua arah, ditemukan bahwa tingkatan gejala depresif yang tinggi juga
merupakan faktor prediktif untuk terjadinya penurunan kognitif yang lebih besar.
Hasil analisis dari penelitian ini mengindikasikan bahwa fungsi kognitif memiliki
suatu hubungan yang signifikan dengan gejala-gejala depresif, dimana
kemampuan kognitif yang lebih tinggi berkorelasi dengan gejala depresif yang
lebih rendah. Meskipun hubungan signifikan antara fungsi kognitif dan gejala
depresif merupakan suatu temuan menarik yang harus ditelaah secara longitudinal
lebih jauh lagi pada individu usia lanjut dengan diabetes, namun hubungan
tersebut menjadi tidak signifikan dan mengalami penurunan yang substansial
sesudah dilakukan penambahan variabel distress diabetes ke dalam model. Oleh
karena itu, ada kemungkinan bahwa fungsi kognitif yang lebih buruk memiliki
korelasi dengan gejala depresif karena terjadinya kesulitan penanganan diabetes
yang lebih besar.
Hubungan nyata antara distress diabetes dengan gejala depresif
menunjukkan adanya kemungkinan bahwa dalam konteks ini GDS bekerja
mengidentifikasi individu-individu dengan peningkatan kondisi distress spesifik
diabetes dan bukan (atau sebagai tambahan dari) gejala depresi itu sendiri,
meskipun tanpa adanya inklusi suatu wawancara klinis terstruktur untuk depresi
membuat kita tidak dapat mengkonfirmasi apakah hal ini memang terjadi. Namun
demikian, hasil penelitian ini adalah serupa dengan yang ditemukan oleh Fisher

14

dan koleganya, dimana pada penelitian tersebut ditentukan bahwa skor skala yang
lebih tinggi yang digunakan untuk mengukur gejala depresif tampaknya
mencerminkan kondisi distress yang spesifik untuk diabetes. Hal ini merupakan
temuan penting di bidang diabetes dan gejala depresif, karena sebagian besar
metode terapi distress dilandaskan pada literatur mengenai terapi kondisi depresi.
Ada kemungkinan bahwa individu-individu dengan diabetes tidak mendapatkan
tipe terapi yang sesuai untuk kondisi peningkatan gejala depresif yang mereka
alami, yang tampaknya serupa dengan yang teramati pada kasus depresi klinis
namun dapat unik karena adanya diabetes itu sendiri. Juga penting untuk dicatat
bahwa distress diabetes kemungkinan dapat dimodifikasi, dan, karena tingginya
korelasi antara distress diabetes dengan gejala depresif, tampaknya ada
kemungkinan bahwa gejala-gejala tersebut dapat dikurangi dengan menurunkan
kondisi distress diabetes.
Salah satu keterbatasan dari penelitian kali ini ialah banyak diantara data
penelitian yang dikumpulkan merupakan pelaporan mandiri oleh partisipan.
Namun kami menggunakan suatu metode pengukuran penapisan gejala depresif
pada individu usia lanjut yang sudah banyak digunakan dan juga melakukan
pengukuran performa kognitif tervalidasi yang dilandaskan pada performa
partisipan. Meskipun telah dilakukan usaha untuk mewawancarai para partisipan
dalam suasana yang sunyi tanpa ada pengalih perhatian, namun kondisi ini tidak
selalu berhasil tercapai. Pada setiap penelitian yang menggunakan metode
wawancara lewat telepon, partisipan yang menjadi teralihkan perhatiannya oleh
sesuatu atau seseorang di dekatnya dapat mempengaruhi kemampuan partisipan

15

tersebut di dalam menjawab pertanyaan seakurat mungkin serta mempengaruhi


kemauan partisipan untuk menjawab beberapa pertanyaan secara umum. Selain
itu, wawancara lewat telepon membuat pengumpulan data A1C individu menjadi
tidak

memungkinkan.

Meskipun

para

partisipan

telah

diminta

untuk

mengindikasikan hasil pemeriksaan A1C terbarunya, namun sejumlah besar


partisipan tidak mengetahui hasil pengukuran A1C nya sendiri. Oleh karena itu,
kadar A1C tidak digunakan sebagai salah satu alat pengukuran kontrol diabetes
pada penelitian ini. Karena penelitian kali ini tidak memiliki akses menuju data
rekam medis partisipan, maka salah satu pertanyaan penting ialah apakah
pelaporan mandiri kondisi diabetes para partisipan merupakan hal yang akurat.
Sejumlah penelitian terdahulu telah menemukan bahwa nilai reliabiltias dari
diabetes yang dilaporkan sendiri oleh partisipan adalah jauh lebih tinggi
dibandingkan informasi yang diperoleh dari dokter umum maupun dari data
rekam medis. Dalam salah satu dari penelitian tersebut, para peneliti melaporkan
bahwa fungsi kognitif yang diukur menggunakan Pemeriksaan Status Mental Mini
(Mini-Mental State Examination [MMSE]) ditemukan tidak berkorelasi dengan
lebih jeleknya akurasi pelaporan diabetes atau sejumlah penyakit kronis spesifik
lainnya. Permasalahan utama dengan pelaporan diabetes secara mandiri ialah
angka negatif palsu (individu dengan diabetes yang tidak melaporkan dirinya
mengidap diabetes) dan bukannya angka positif palsu. Namun demikian, dalam
penelitian kali ini, hanya individu-individu yang melaporkan dirinya mengidap
diabetes yang diikutsertakan ke dalam analisis. Namun tetap saja, kami tidak
memiliki informasi mengenai faktor-faktor yang kemungkinan memiliki arti

16

penting, seperti misalnya kontrol diabetes atau riwayat kesehatan mental sebelum
penegakan diagnosis diabetes, yang kemungkinan memiliki relevansi dengan
pemahaman gejala- gejala depresif pada kelompok usia lanjut. Juga perlu dicatat
bahwa informasi mengenai riwayat depresi pada keluarga dan gangguan
penggunaan substansi komorbid juga tidak dikumpulkan. Komorbiditas gangguan
penggunaan substansi, khususnya, dapat secara langsung mempengaruhi kontrol
diabetes maupun gejala depresif.
Karena desain analisis penelitian ini yang berupa cross-sectional, maka
adalah hal yang tidak mungkin untuk menentukan hubungan sebab-akibat atau
untuk menyelidiki kemungkinan hubungan dua arah antar variabel-variabel yang
diteliti. Terakhir, hasil dari penelitian ini tidak dapat digeneralisir untuk semua
individu yang mengidap diabetes: mayoritas sampel berasal dari area Birmingham
yang lebih besar di Alabama, dan semua partisipan sudah sadar bahwa dirinya
mengidap diabetes. Oleh karena itu, hasil-hasil temuan dari penelitian kali ini
hanya dapat digeneralisir untuk individu yang sudah mengetahui status
diabetesnya saja. Yang juga relevan dengan kemampuan untuk digeneralisir,
penelitian kali ini memiliki representasi ras Afrika Amerika usia lanjut yang
bagus, dimana kelompok tersebut memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
memiliki hasil keluaran negatif terkait diabetes dan menyusun 45% dari jumlah
sampel total penelitian ini.

5.

Kesimpulan

17

Hubungan antara permasalahan kesehatan dengan gejala depresif serta


hubungan antara fungsi kognitif yang buruk dengan gejala depresif pada individu
usia lanjut yang mengidap diabetes layak untuk diteliti lebih lanjut. Hasil temuan
dari penelitian kali ini menunjukkan bahwa metode-metode intervensi yang
memiliki target untuk membantu individu-individu usia lanjut agar dapat
menangani diabetesnya dengan tepat dan menurunkan kemungkinan individu
tersebut mengalami komplikasi tambahan kemungkinan dapat membentuk suatu
pilihan yang efektif dari segi pembiayaan bagi para tenaga profesional kesehatan
yang mencari cara untuk menurunkan gejala depresif yang dialaminya. Suatu
metode yang hemat biaya dan umum dilakukan untuk mengurangi dan menangani
kondisi distress pada individu yang hidup dengan diabetes tampaknya ialah
melalui proses edukasi. Para tenaga profesional kesehatan dapat melakukan
edukasi ini dengan cara memberikan individu tersebut pengetahuan akan
konsekuensi kesehatan yang ditimbulkan oleh kondisi stress, mengajari individu
tersebut berbagai macam ketrampilan perilaku dan kognitif untuk mengurangi
tingkat stress fisiologis (misalnya mengenali berbagai stressor mayor di
kehidupan sehari-hari, mengajari cara menahan dan bernafas dalam), dan
mengedukasi individu tersebut bagaimana cara tata laksana diabetes yang lebih
baik. Namun demikian, hingga saat ini masih belum diketahui sejauh mana
penurunan fungsi kognitif akan mempengaruhi efektivitas dari program-program
edukasional pada individu dewasa usia lanjut pengidap diabetes ini.
Hasil dari penelitian kali ini dapat membantu proses identifikasi individuindividu usia lanjut yang hidup dengan diabetes yang berisiko mengalami gejala

18

depresif dengan tingkatan yang lebih tinggi. hasil temuan kali ini lebih jauh lagi
menjadi bukti bahwa memiliki kondisi komorbid permasalahan kesehatan lainnya
dapat mempengaruhi keberadaan dari gejala-gejala yang bersifat depresif. Melihat
angka yang lebih tinggi dari para individu yang tinggal di lingkungan kelompok
usia lanjut, yang banyak diantaranya didiagnosis dengan diabetes, maka intervensi
yang fokus menangani kondisi distress diabetes dapat berperan menjadikan
sejumlah signifikan dari populasi tersebut untuk menjalani hidup yang lebih
bahagia, lebih sehat, dan lebih berumur panjang. Hasil penelitian ini juga penting
bagi para klinisi dan penyedia layanan kesehatan yang menterapi para individu
pengidap diabetes. Para tenaga profesional tersebut harus diedukasi mengenai
sangat banyaknya permasalahan dan kemungkinan stressor yang akan dihadapi
oleh populasi tersebut serta bagaimana gejala distress dan depresi akan
termanifestasi, dengan tujuan untuk meyakinkan bahwa terapi yang sesuai akan
diberikan kepada kelompok pasien tersebut. Sementara permasalahan mood yang
terkait dengan diabetes tampaknya akan dapat cukup serupa dengan yang teramati
pada kasus depresi klinis, namun para pemberi layanan kesehatan dan individu
yang hidup dengan diabetes harus menyadari kemungkinan bahwa permasalahan
tersebut dapat bersifat spesifik terkait diabetes dan dapat perlu diterapi secara
berbeda dibandingkan permasalahan-permasalahan yang tidak khas untuk
penderita diabetes saja. Melihat adanya hubungan antara gangguan kognitif, gejala
depresif, dan diabetes, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
kemungkinan strategi-strategi intervensi yang dapat diterapkan bagi kelompok

19

yang memiliki permasalahan multipel di dalam kesehatan psikologis, fisik dan


kognitif.

Daftar Pustaka
Centers for Disease Control and Prevention, National Diabetes Statistics Report:
Estimates of Diabetes and Its Burden in the United States, U.S. Department
of Health and Human Services, Atlanta,Ga, USA, 2014.
G. L. Engel, The need for a new medical model: a challenge for biomedicine,
Science, vol. 196, no. 4286, pp. 129136, 1977.
F. Borell-Carrio, A. L. Suchman, and R. M. Epstein, The biopsychosocial model
25 years later: principles, practice, and scientific inquiry, Annals of Family
Medicine, vol. 2, no. 6, pp. 576582, 2004.
F. Creed andG.Ash, Depression in rheumatoid arthritis: aetiology and treatment,
International Review of Psychiatry, vol. 4, no. 1, pp. 2333, 1992.
J. L. Cummings, Depression and Parkinsons disease: a review, The American
Journal of Psychiatry, vol. 149, no. 4, pp. 443454, 1992.
C. Wrosch, R. Schulz, and J. Heckhausen, Health stresses and depressive
symptomatology in the elderly: the importance of health engagement control
strategies, Health Psychology, vol. 21, no. 4, pp. 340348, 2002.
D. Vink, M. J. Aartsen, and R. A. Schoevers, Risk factors for anxiety and
depression in the elderly: a review, Journal of Affective Disorders, vol.
106, no. 1-2, pp. 2944, 2008.

20

N. E. Schoenberg and S. C. Drungle, Barriers to non-insulin dependent diabetes


mellitus (NIDDM) self-care practices among older women, Journal of
Aging and Health, vol. 13, no. 4, pp. 443466, 2001.
T. B. Cumming, L. Churilov, I. Skoog, C. Blomstrand, and T. Linden, Little
evidence for different phenomenology in poststroke depression, Acta
Psychiatrica Scandinavica, vol. 121, no. 6, pp. 424430, 2010.
P. Lehrer, J. Feldman, N. Giardino, H.-S. Song, and K. Schmaling, Psychological
aspects of asthma, Journal of Consulting and Clinical Psychology, vol. 70,
no. 3, pp. 691711, 2002.
C. R. Pischke, S. Frenda, D. Ornish, and G. Weidner, Lifestyle changes are
related to reductions in depression in persons with elevated coronary risk
factors, Psychology and Health, vol. 25, no. 9, pp. 10771100, 2010.
J. E. M. Sale, M. Gignac, and G. Hawker, The relationship between disease
symptoms, life events, coping and treatment, and depression among older
adults with osteoarthritis, Journal of Rheumatology, vol. 35, no. 2, pp.
335342, 2008.
S. Nolen-Hoeksema, J. Larson, and C. Grayson, Explaining the gender difference
in depressive symptoms, Journal of Personality and Social Psychology,
vol. 77, no. 5, pp. 10611072, 1999. J. H. Halanych, F. Wang, D. R. Miller
et al., Racial/ethnic differences in diabetes care for older veterans:
accounting for
dual health system use changes conclusions, Medical Care, vol. 44, no. 5, pp.
439445, 2006.
H. C. Kales and A. M. Mellow, Race and depression: does race affect the
diagnosis and treatment of late life depression? Geriatrics, vol. 61, no. 5,
pp. 1821, 2006.
A. L. Byers and K. Yaffe, Depression and risk of developing dementia, Nature
Reviews Neurology, vol. 7, no. 6, pp. 323331, 2011.
P. Chen, M. Ganguli, B. H. Mulsant, and S. T. DeKosky, The temporal
relationship between depressive symptoms and dementia: a communitybased prospective study, Archives of General Psychiatry, vol. 56, no. 3, pp.
261266, 1999.
M. Crowe, A. Sartori, O. J. Clay et al., Diabetes and cognitive decline:
investigating the potential influence of factors related to health disparities,
Journal of Aging and Health, vol. 22, no. 3, pp. 292306, 2010.
L. Fisher, M. M. Skaff, J. T. Mullan et al., Clinical depression versus distress
among patients with type 2 diabetes: not just a question of semantics,
Diabetes Care, vol. 30, no. 3, pp. 542 548, 2007.
L. Fisher, J. T. Mullan, P. Arean, R. E. Glasgow, D. Hessler, and U.Masharani,
Diabetes distress but not clinical depression or depressive symptoms is
associated with glycemic control in both cross-sectional and longitudinal
analyses, Diabetes Care, vol. 33, no. 1, pp. 2328, 2010.
C. A. de Jager, M. M. Budge, and R. Clarke, Utility of TICSM for the assessment
of cognitive function in older adults, International Journal of Geriatric
Psychiatry, vol. 18, no. 4, pp. 318324, 2003.

21

J. A. Yesavage, T. L. Brink, T. L. Rose et al., Development and validation of a


geriatric depression screening scale: a preliminary report, Journal of
Psychiatric Research, vol. 17, no. 1, pp. 3749, 1982.
J. I. Sheikh and J. A. Yesavage, Geriatric depression scale: recent evidence and
development of a shorter version, Clinical Gerontologist, vol. 5, no. 1-2,
pp. 165173, 1986.
L. Fisher, R. E. Glasgow, J. T. Mullan, M. M. Skaff, and W. H. Polonsky,
Development of a brief diabetes distress screening instrument, Annals of
Family Medicine, vol. 6, no. 3, pp. 246 252, 2008.
W. H. Polonsky, L. Fisher, J. Earles et al., Assessing psychosocial distress in
diabetes: development of the diabetes distress scale, Diabetes Care, vol.
28, no. 3, pp. 626631, 2005.
SAS Institute, SAS 9.1.3, Procedures Guide, SAS Institute, Cary, NC, USA, 2006.
IBM Corporation, Released 2013. IBM SPSS Statistics for Windows, Version 22.0,
IBM Corporation, Armonk, NY, USA, 2013.
M. Astrom, R. Adolfsson, and K. Asplund, Major depression in stroke patients: a
3-year longitudinal study, Stroke, vol. 24, no. 7, pp. 976982, 1993.
A. Pan, Q. Sun, O. I. Okereke, K. M. Rexrode, and F. B. Hu, Depression and risk
of stroke morbidity andmortality: a metaanalysis and systematic review,
The Journal of the American Medical Association, vol. 306, no. 11, pp.
12411249, 2011.
H.-P. Haring, Cognitive impairment after stroke, Current Opinion in Neurology,
vol. 15, no. 1, pp. 7984, 2002.
S. Paterniti, M.-H. Verdier-Taillefer, C. Dufouil, and A. Alperovitch, Depressive
symptoms and cognitive decline in elderly
people: longitudinal study,TheBritish Journal of Psychiatry, vol. 181, pp. 406
410, 2002.
D. M.W.Kriegsman, B.W. J. H. Penninx, J. T.M.Van Eijk,A. J. P. Boeke, and D. J.
H. Deeg, Self-reports and general practitioner information on the presence
of chronic diseases in community dwelling elderly, Journal of Clinical
Epidemiology, vol. 49, no. 12, pp. 14071417, 1996.

22

Anda mungkin juga menyukai