Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

SINDROM NEUROLEPTIK MALIGNA

Oleh:
Fawziyah Putri Maulida

112011101041

Aulia Suri Agung

122011101052

Dokter Pembimbing:

dr. Justina Evy Tyaswati, Sp.KJ

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


Lab/SMF Ilmu Kedokteran Jiwa RSD dr. Soebandi Jember

LAB/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSD DR. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016

DAFTAR ISI
BAB 1 Pendahuluan.................................................................................................
1
BAB 2 Definisi, Etiologi dan Faktor Resiko..........................................................
3
BAB 3 Patofisiologi..................................................................................................
6
BAB 4 Gambaran klinis dan Pemeriksaan Laboratorium..................................
10
BAB 5 Diagnosis.......................................................................................................
11
BAB 6 Diagnosis Banding........................................................................................
13
BAB 7 Pencegahan dan Tatalaksana......................................................................
14
BAB 8 Komplikasi dan Prognosis...........................................................................
17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
18

BAB 1
PENDAHULUAN
Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan
(sense of reality ). Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguangangguan pada perasaan, pikiran, kemauan, motorik, dst. sedemikian berat
sehingga perilaku

penderita tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Perilaku

penderita psikosis tidak dapat dimengerti oleh orang normal, sehingga orang
awam menyebut penderita sebagai orang gila. (Maramis, 2005)
Efek samping obat anti-psikosis sangat penting kita ketahui, mengingat
pengguanaan obat ini kemungkinan diberikan dalam jangka panjang. efek
samping dapat berupa :

Sedasi dan Inhibisi Psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,


kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun)

Gangguan Otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik :mulut


kering, kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intreokuler yang tinggi, gangguan irama jantung)

Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson :


tremor, bradikinesia, rigiditas)

Gangguan Endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia) metabolik (jaundice),


hematologik (agranulositosis), biasanya pada pemakaian panjang

Syndrome neuroleptik maligna


Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi

akibat komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik (Sholevar, 2002).
Karekteristik dari SNM adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan
perubahan kesadaran. Morbiditas dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder
dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal (Khan, 2011).
Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan
antipsikotik, khususnya neuroleptik. Di Cina pada suatu RCT didapatkan insidensi

SNM mencapai 0,12 % pada pasien dengan terapi neuroleptik. Suatu penelitian
retrospektif di India menunjukkan insidensi 0,14% (Sholevar, 2002). Sedangkan
di Amerika SNM dilaporkan terdapat pada 0,2% - 1,9% pasien (Khaldarov, 2000).
Meskipun neuroleptik (haloperidol, fluphenazin) lebih sering menyebabkan SNM,
semua obat anti psikotik, tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan sindrom ini.
Obat-obatan tersebut adalah prochlorperazine (Compazine), promethazine
(Phenergan), clozapine (Clozaril), and risperidone (Risperdal). Selain itu obatobat non neuroleptik yang dapat memblok dopamin dapat menyebabkan SNM
juga, obat-obat tersebut adalah metoclopramide (Reglan), amoxapine (Ascendin),
and lithium (Benzer, 2005).
Deteksi awal dan penegakan diagnosis yang cepat pada SNM penting
karena komplikasi dari keadaan ini adalah kematian (Benzer, 2005). Kematian
yang disebabkan oleh SNM mencapai 21% (Khaldarov, 2000).

BAB 2
DEFINISI, ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO SNM
Definisi
DSM IV mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat,
peningkatan temperatur dan gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis,
disfagia, inkontinensia, perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai
dengan koma, mutisme, tekanan darah meningkat atau tidak stabil,
peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang berkaitan dengan pengunaan
pengobatan neuroleptik (Kaplan dan Sadock, 2005).
Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin
biasanya dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti
skizoprenia, gangguan afek mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium,
gangguan tingkah laku karena dimensia, nausea, disfungsi usus dan penyakit
Parkinson (Hal dan Chopman, 2006).
Sindrom ini mengakibatkan disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem
syaraf otonom adalah sistem syaraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas
tubuh yang tidak dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung, tekanan
darah, pencernaan, berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh
(Bottoni, 2001).
Etiologi
1.

Semua kelas anti psikotik berhubungan dengan SNM termasuk


neuroleptik potensi rendah, neuroleptik potensi tinggi dan antipsikotik
atipikal. SNM sering pada pasien dengan pengobatan haloperidol dan

2.

chlorpromazine (Sholevar, 2002).


Penggunaan dosis tinggi antipsikotik (terutama neuroleptic potensi
tinggi), antipsikosik aksi cepat dengan dosis dinaikan dan penggunaan
antipsikotik injeksi long acting (Sholevar, 2002).

3.

Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptic


yang tidak konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama
lithium, dan juga terapi kejang listrik (Sholevar, 2002).

Berikut pembagian obat yang menyebabkan SNM


Tabel 1. Pembagian obat-obatan yang menyebabkan SNM

Faktor Resiko
1.

Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap


SNM adalah kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan

2.

malnutrisi (Sholevar, 2002).


Faktor genetik. Terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa

3.

SNM dapat terjadi pada kembar identik (Sholevar, 2002).


Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren.
Resiko rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara
episode SNM dan penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti
psikotik dalam 2 minggu episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih

4.

dari 2 minggu, persentasenya hanya 30% (Sholevar, 2002).


Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan
lithium, riwayat ECT, penggunaan neuroleptik tidak teratur (Sholevar,
2002).

5.

Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis


neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi

(Sholevar, 2002).
Berikut ini tabel faktor resiko yang berhubungan dengan penggunaan obat
Tabel 2. Faktor resiko yang memicu terjadinya SNM

BAB 3
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi

Sesuai dengan istilahnya, SNM berkaitan dengan pemberian


pengobatan neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi terdapat
hipotesis yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade dopamin
yang menyebabkan SNM. Pengurangan aktivitas dopamin di area otak
(hipothamalmus,

sistem

nigrostartial,

traktus

kortikolimbik)

dapat

menerangkan terjadinya gejala klinis SNM (Khaldarov, 2000).


Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan set point sehingga terjadi demam dan juga dapat menyebabkan
ketidak stabilan otonom (Sholevar, 2002). Di sistem nigrostratial dapat
menyebabkan rigiditas, di sistem traktus kortiko limbik dapat menyebabkan
perubahan kesadaran (Khaldarov, 2000). Perubahan status mental disebabkan
karena blokade reseptor dopamin di sistem nigrostartial dan mesokortikal
(Bottoni, 2002).

Efek samping obat neuroleptik sangat penting untuk diketahui mengingat


penggunaan obat ini seringkali diberikan dalam jangka panjang. Efek-efek
samping tersebut mencakup efek ekstrapiramidal (distonia, parkinsonisme,
akathisia dan tardive dyskinesia), efek antikolinergik (mata kabur, mulut kering,
bingung, konstipasi, retensi urin), hipotensi ortostatik, kepala terasa melayang,
disfungsi

seksual,

amenorea,

sedasi,

kejang,

gangguan

hematologik

(agranulositosis), dan SNM. Obat neuroleptik bekerja pada reseptor dopamin.


Pada jaringan otak, dopamin mempunyai 4 jalur utama, yaitu jalur nigrostriatal,
mesolimbik, mesokortikal dan tuberoinfundibular. Jalur nigrostriatal mengirimkan
dopamin dari substansia nigra menuju striatum atau ganglia basalis. Jalur ini
merupakan bagian dari sistem ekstrapiramidal dan berperan pada regulasi
motorik. Defisiensi dopamin pada jalur ini dapat menimbulkan gangguan gerak
seperti parkinsonism yang ditandai dengan tremor, rigiditas dan akinesia. Jalur
mesolimbik mengirimkan dopamin dari area ventral tegmental (AVT) ke nukleus
akumbens dan berperan pada motivasi, emosi, interaksi social, dan gejala positif
pada skizofrenia. Defisiensi dopamin pada jalur ini mengakibatkan kehilangan
motivasi, perasaan tidak puas, dan anhedonia. Jalur mesokortikal mengirim-kan
dopamin dari AVT ke korteks prefrontal, dan terbagi menjadi dua, yaitu: jalur
yang mengirimkan dopamin dari AVT ke dorsolateral korteks prefrontal (DLPFC)
dan jalur lainnya mengirimkan dopamin dari AVT ke ventromedial korteks
prefrontal (VMPFC). Jalur mesokortikal berperan pada kognisi, fungsi eksekusi,
emosi dan afek. Defisiensi dopamin pada jalur ini mengakibatkan penurunan
kognisi, afek dan menimbulkan gejala negatif. Jalur tuberoinfundibular
mengirimkan dopamin dari hipotalamus ke hipofise anterior dan memengaruhi
hormon prolaktin. Gangguan pada jalur ini dapat mengakibatkan peningkatan
sekresi prolaktin yang akan menyebabkan galaktorea, amenorea, dan disfungsi
seksual. Patofisiologi SNM sebenarnya belum sepenuhnya dimengerti. Sebagian
besar pakar setuju bahwa penurunan bermakna dari aktivitas dopaminergik sentral
yang diakibatkan oleh blokade reseptor dopamin D2 pada jalur nigrostriatal,
tuberoinfundibular, dan mesolimbik/kortikal membantu menerangkan gambaran
klinis SNM termasuk rigiditas, hipertermia, dan perubahan status mental. Teori ini
didukung dengan pengamatan bahwa penyebab utama SNM ialah penggunaan
obat-obatan neuroleptik yang menghambat reseptor dopamin khususnya reseptor
D2, dan bahwa sindroma ini dapat diinduksi oleh penghentian dopamin secara
mendadak. Antagonis reseptor dopamin D2 tidak sepenuhnya menjelaskan
keseluruhan tanda dan gejala klinis SNM, dan juga tidak menjelaskan timbulnya
SNM dengan obat neuroleptik potensi rendah dan juga obatobatan yang tidak

mempunyai aktivitas antidopaminergik. Hal ini membuat beberapa ahli


mengajukan hipotesis bahwa hiperaktivitas simpatoadrenal, yang diakibatkan oleh
peniadaan inhibisi tonik dalam sistem saraf simpatis, dapat berperan dalam
patogenesis SNM. Abnormalitas sistem simpatis didukung dengan seringnya
timbul gejala otonom pada SNM seperti ketidakstabilan tekanan darah, laju nadi,
diaforesis, serta terdapatnya perubahan kadar katekolamin plasma dan urin.
Sistem lain yang juga diduga ikut berperan pada timbulnya tanda dan gejala SNM
ialah sistem otot skeletal perifer. Penggunaan neuroleptik berkaitan dengan
peningkatan pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma serat otot, sehingga
mungkin menyebabkan peningkatan kontraktilitas dan rigiditas otot, kerusakan
otot, serta hipertermia. (Meike, 2016)
Pusat kontrol sistem termoregulasi tubuh terletak di hipotalamus anterior
yang bertanggung jawab akan pemeliharaan homeostasis termal tubuh. Sinyal
sensorik dari termoreseptor dikirim ke hipotalamus anterior yang akan
dibandingkan dengan set point. Mekanisme efektor dari termoregulasi (secara
fisik dan perilaku) selanjutnya diaktifkan dan suhu tubuh dikompensasi sejalan
dengan set point dengan cara produksi dan pelepasan panas. Mekanisme
terjadinya hiperpireksia pada SNM disebabkan karena adanya elevasi pada set
point, yang dipicu oleh zat yang dikenal sebagai pirogen, baik pirogen eksogen
maupun endogen. Saat ini disepakati bahwa faktor-faktor yang mengaktivasi
sintesis pirogen endogen tubuh disebabkan oleh pirogen eksogen. Hasil beberapa
penelitian yang menelaah mekanisme demam menunjukkan bahwa zat pirogen
eksogen dapat berupa bakteri, virus, protozoa, jamur, alkaloid atau lektin.
Berdasarkan hal ini, obat neuroleptik dipikirkan sebagai salah satu pirogen
eksogen yang mengaktivasi sintesis dan pelepasan pirogen endogen yang
selanjutnya akan meningkatkan set point sehingga terjadi hiperpireksia pada
SNM. Pirogen eksogen mengaktivasi sel sistem imun untuk memroduksi pirogen
endogen seperti interleukin, -, tumor necrosis factor --interferon

dan

sitokin lain seperti MIP-1 dan AFGF. Protein-protein tersebut diproduksi oleh
monosit, granulosit, makrofag, dan limfosit T. Selain menyebabkan hiperpireksia,

pirogen juga dapat menyebabkan ketidakstabilan fungsi otonom (perubahan


tekanan darah dan takikardia), anoreksia, somnolen, merangsang produksi protein
fase akut, pengaktifan aksis neurohormonal, serta efek sedasi. Hingga saat ini
tidak ada satupun teori yang dapat menjelaskan mengapa hanya pada sebagian
kecil penderita yang mengonsumsi obat neuroleptik terjadi SNM. Selin itu juga
belum dipahami mengapa penderita SNM biasanya dapat melanjutkan pengobatan
neuroleptik dengan obat yang serupa dan bahkan dengan obat yang sama.
Penegakan diagnosis pada kasus SNM memerlukan anamnesis yang cermat
terutama mengenai riwayat pemakaian obat neuroleptik, jalur pemberian, dan
lama pemberian. Di samping anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang juga dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. SNM merupakan
sindroma yang jarang terjadi namun berpotensi membahayakan nyawa sehingga
penegakan diagnosis yang cepat diikuti tatalaksana yang tepat sangat menentukan
prognosis penderita. Empat gejala klasik SNM meliputi gejala motorik (rigiditas
otot, bradikinesia, distonia, mutisme, korea, tremor), hipertermia, perubahan
status mental (bingung, delirium, stupor, koma), dan instabilitas otonom
(iregularitas pernapasan, aritmia jantung, tekanan darah yang tidak stabil,
diaforesis). Pemeriksaan laboratorium yang khas ialah adanya peningkatan enzim
kreatinin kinase (CK) di atas 1000 IU/L (lebih dari 90% kasus), dan dapat
mencapai hingga 100000 IU/L, lekositosis berkisar 10000-40000 /mm3 ,
peningkatan ringan enzim laktat dehidrogenase (LDH), abnormalitas fungsi hati
(peningkatan

SGOT/SGPT).

Mioglobinuria

dapat

diakibatkan

proses

rabdomiolisis yang dapat menyebabkan gagal ginjal akut. . (Meike, 2016)

BAB 4
GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN LABRATORIUM
Gambaran Klinis Dan Pemeriksaan Laboratorium
9

Sindrom neuroleptik maligna merupakan reaksi idiosinkratik yang


tidak tergantung pada kadar awal obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat
terjadi pada dosis tunggal neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau
neuroleptikal atipikal), biasanya berkembang dalam 4 minggu pertama setelah
dimulainya pengobatan dengan neuroleptik. SNM sebagian besar berkembang
dalam 24-72 jam setelah pemberian obat neuroleptik atau perubahan dosis
(biasanya karena peningkatan) (Hal dan Chopman, 2006). Sindroma
neuroleptik maligna dapat menunjukkan gambaran klinis yang luas dari
ringan sampai dengan berat (Bottoni, 2002).
Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea,
takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil. Gejala ekstrapiramidal
meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan diskinesia.
Tremor dan aktivitas motorik berlebihan dapat mencerminkan agitasi
psikomotorik.

Konfusi,

koma,

mutisme,

inkotinensia

dan

delirium

mencerminkan terjadinya perubahan tingkat kesadaran (Sholevar, 2002).


Pemeriksaan Laboratorium
Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot
dan nekrosis. Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan:
1. Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2.000-15.000
U/L. Pengingkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk SNM
2.

(Khaldarov, 2000).
Peningkatan Aminotransferases (aspartate aminotransferase / AST,
alanine aminotransferase / ALT, and lactate dehydrogenase / LDH)

3.

(Sholevar, 2002).
Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 30.000 x
103/ mm3), trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat
meningkat. Konsentrasi serum besi dapat menurun (Sholevar, 2002).
BAB 5
DIAGNOSIS

Diagnosis
Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada.
Salah satu kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup

10

hiperpireksia dan rigiditas otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting
seperti ketidak stabilan otonom, perubahan sensorik, peningkatan kadar CK
dan myoglobinuria (Nicholson dan Chiu, 2004).
Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi
diagnosis banding pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik.
Sebelum diagnosis SNM ditegakkan, semua kemungkinan penyebab kenaikan
suhu harus disingkirkan, dan demam harus disertai dengan gejala klinis lain
seperti rigiditas otot, perubahan status mental dan ketidak stabilan otonom
(Nicholson dan Chiu, 2004).

Kriteria diagnosis :
Kriteria diagnosis SNM menurut
Levenson:

1.
2.

Adanya 3 gejala mayor


Atau adanya 2 gejala
mayor & 4 gejala minor
Gejala mayor, yaitu:
Hipertermia 38,5 0C

Rigiditas

Peningkatan CPK > 10.000

Kesadaran menurun

Kriteria diagnosis SNM menurut


DSM-IVTM:

Kriteria diagnosis SNM:


Sumber dari buku Neuroleptic
Malignant Syndrome and
Related Conditions, Stephan C
Mann

A.
Rigiditas otot parah,

0
hipertermia 38 C karena
penggunaan neuroleptik

B.
Adanya 2 gejala di bawah
ini, yaitu:
Diaph

Disfagia

Tremor

Perubahan status
mental/kesadaran
Takikardia
Hipertensi atau
hipotensi
Takipnea atau hipoksia
Diaphoresis, atau
sialorrhea

11

Kejang general,
opistotonus, tanda babinski:
positif, gerakan korea
Leukositosis > 30.000
Peningkatan enzim hepar
CT-scan kepala normal
Gejala minor, yaitu:
Khas muncul dalam24-72 jam,
dapat berlangsung 1-44 hari

Inkontinensia

Tremor
Perubahan kesadaran

Inkontinensia urine
(confusion-koma)

Peningkatan CPK, atau


Mutisme
myoglobinuria
Takikardia

Leukositosis
Peningkatan/labilitas tekanan

Metabolik asidosis
darah
1.
Bukan disebabkan obat
Lekositosis
lain, kelainan sistemik,
gangguan neuropsikiatri
Peningkatan CPK
C.
Gejala no. A & B bukan
disebabkan zat lain misalnya
fensiklidin, atau kondisi
neurologik/medik lainnyamisalnya
ensefalitis virus
D.
Gejala no. A & B bukan
disebabkan gangguan mental
(dengan ciri katatonik)
E.
Pemberian neuroleptik
sedikitnya selama 7 hari, atau 2-4
minggu pada penggunaan
neuroleptik long acting

BAB 6
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa Banding
Gangguan primer pada sistem saraf pusat:
1.

Infeksi (encefalitis virus, HIV, post infeksi encefalomyelitis)

2.

Tumor

3.

Kelainan cerebrovaskular

4.

Trauma

12

5.

Kejang

6.

Psikosis (malignant catatonia)

Gangguan sistemik:
1.

Infeksi

2.

Gangguan metabolik

3.

Endocrinopathies (krisis tiroid, pheochromocytoma)

4.

Gangguan autoimun (systemic lupus erythematous)

5.

Heatstroke

6.

Keracunan (carbon monoxide, phenol, tetanus, strychnine)

7.

obat-obatan (salisilat, dopamin inhibitor & antagonis, stimulansia,


psychedelic, monoamine oxidase inhibitor, anestesi, antikolinergik,
withdrawal alkohol/sedatif)

BAB 7
PENCEGAHAN DAN TATALAKSANA
Pencegahan
Pencegahan merupakan bagian penting dalam memanage kondisi
heterogen ini. Dosis terendah neuroleptik dianjukan, dengan memonitor onset
efek samping ekstra piramida Deteksi awal dan memberikan terapi untuk
mengeliminasi efek samping ekstra piramidal, terutama rigiditas otot dapat
mencegah perkembangan lebih lanjut SNM dan komplikasinya (Kaplan dan
Sadock, 2005).

13

Tatalaksana
1.

Terapi suportif
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua
anti psikotik dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan
mereda dalam 1-2 minggu. SNM yang dipercepat dengan depot injeksi
anti psikotik long action dapat bertahan selama sebulan (Sholevar, 2002).
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut
dan memelihara fungsi organ yaitu (Sholevar, 2002):
Manajemen jalan nafas : intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.
Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan,

2.

hemodinamik.
Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.
Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak,

analisis cairan serebrospinal, kultur urin dan darah (Bottoni, 2002).


Terapi farmakologik
SNM merupakan suatu kegawatdaruratan neurologi dan dapat
menimbulkan kematian jika tidak segera diobati. Tatalaksana SNM
berdasarkan presentasi klinis, namun langkah awal ialah penghentian
obatobatan neuroleptik yang diduga memicu timbulnya sindroma ini.
Langkah selanjutnya ialah diberikan terapi suportif. Hidrasi agresif sering
dibutuhkan, khususnya bila kadar CK yang terlalu tinggi dapat
mengakibatkan kerusakan ginjal, dan penanganan hipertermia meliputi
selimut dingin atau es batu di daerah aksila dan inguinal. Koreksi faktor
metabolik bila ditemukan kelainan.
Benzodiazepin dapat diberikan untuk mengurangi gejala SNM dan
meningkatkan prognosis. Pada kasus SNM yang berat dapat diberikan
terapi empirik seperti bromokriptin dan dantrolen. Bromokriptin (nama
dagang: Parlodel, cripsa, mucosolvan) merupakan suatu agonis dopamin,
sedangkan dantrolene ialah relaksan otot yang bekerja dengan
menghambat

pelepasan

kalsium

dari

retikulum

sarkoplasma.

Bromokriptin berguna untuk membalikkan keadaan hipodopaminergik


dan diberikan secara oral atau via nasogastric tube (NGT), dimulai dengan
14

dosis 2,5 mg 2-3 kali per hari dan dosis ditingkatkan 2,5 mg setiap 24 jam
hingga timbul respon atau hingga dosis maksimal tercapai yaitu 45 mg
per hari. Dantrolene (Nama dagang: Dantrium) dapat diberikan secara
intravena, dimulai dengan dosis awal 1 sampai 2,5 mg per kgBB secara
bolus, diikuti dengan dosis 1 mg per kgBB setiap 6 jam hingga dosis
maksimal 10 mg per kgBB per hari. Dantrolene oral diberikan untuk
kasus yang lebih ringan atau untuk tappering down dari dosis intravena
setelah beberapa hari dengan dosis berkisar 50-200 mg per hari. Karena
risiko hepatotoksisitas, dantrolene biasanya dihentikan setelah gejala
membaik. Bromokriptin umumnya dipertahankan untuk setidaknya 10
hari pada kasus SNM dengan neuroleptik oral dan setidaknya 2-3 minggu
untuk neuroleptik injeksi. Obat lain yang dapat diberikan ialah golongan
benzodiazepin, yang dapat membantu meringankan agitasi. Terapi tidak
boleh dihentikan mendadak walaupun gejala klinis membaik karena dapat
menyebabkan kambuhnya SNM.
Terapi elektrokonvulsif diberikan kepada para penderita yang tidak
menunjukkan respon terhadap pengobatan dan terapi suportif. Pada kasus
SNM dilakukan terapi suportif dengan penghentian segera obat-obatan
neuroleptik, oksigenasi yang adekuat, tablet parasetamol 500 mg per 8
jam, pemberian cairan intravena NaCl 0,9% 500cc per 12 jam. Terapi
farmakologi spesifik dengan pemberian bromokriptin dosis 2,5 mg per 12
jam kemudian dinaikkan secara bertahap sampai total dosis 7,5 mg per
hari yang dibagi dalam 3 dosis.
Keluarga diedukasi agar bromokriptin dilanjutkan sampai 14- 21
hari setelah gejala SNM hilang kemudian diturunkan secara bertahap.
Pemilihan preparat bromokriptin mengacu pada kondisi medis penderita
berdasarkan stadiumnya serta ketersediaan bromokriptin yang lebih
mudah didapatkan dibanding obat lain yang direkomendasikan. Angka
mortalitas kasus SNM >30%, namun bila ditangani secepat mungkin
maka angka mortalitas akan menurun sampai 10%. Bila dikenali secara

15

dini dan segera ditatalaksana, biasanya SNM tidak berakibat fatal dan
sebagian besar penderita akan sembuh sempurna dalam jangka waktu 214 hari. Namun bila diagnosis dan tatalaksana terlambat, penyembuhan
dapat berlangsung beberapa minggu atau lebih lama, dan penderita yang
mampu bertahan hidup dapat mengalami katatonia residual atau
parkinsonism, atau morbiditas yang berhubungan dengan komplikasi
renal atau kardiopulmonar (Meike, 2016).

BAB 8
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Komplikasi
Komplikasi dari sindroma neuroleptik maligna banyak. Komplikasi
yang paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot
terus menuerus dan akhirnya terjadi kerusakan otot (Bottoni, 2002).

16

Komplikasi lainnya gagal ginjal, pneumonia aspirasi, emboli pulmo,


edema pulmo, sindrom distress respirasi, sepsis, diseminated intravascular
coagulation, seizure, infark myocardial (Botoni, 2002).
Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena
psikotik yang tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti
psikotik

karena

menderita

gangguan

psikiatri

berat

atau

persiten,

kemungkinan relaps tinggi jika anti pskotik di hentikan (Sholevar, 2002).


Prognosis
1.

Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis

2.

berat otot yang menjadi rhabdomyuolisis.


Pasien dengan riwayat SNM dapat terjadi rekurensi. Resiko terjadi
rekurensi berhubungan dengan jeda waktu antara SNM dan dimulainya
kembali pengobatan antipsikotik (Sholevar, 2002).

DAFTAR PUSTAKA
Benzer,

Theodore,

2005,

Neuroleptic

Malignanat

Syndrome,

http://www.emedicine.com
Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,
http:://www.turner-white.com

17

Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the


Elderly: Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and
Treatment, Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine.
Kaplan H, Sadock B. 2005. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of
Psychiatry. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Pp: 532-67.
Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant
Syndrome, Hospital Physician.
Khan, N.A., 2011, Atypical neuroleptic malignant syndrome: reversible
encephalopathy.

http://www.docstoc.com/docs/79675578/Programme-P2T-

10. (19 desember 2011)


Maramis, W.F. (2008), Ilmu Kedokteran Jiwa . Surabaya : Airlangga
University. Page 180
Maslim, R., 2001, Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik .
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. Pp:5-9
Mieke A. H. N. Kembuan. 2016.

Sidroma Neuroleptik Maligna

Patofisiologi, Diagnosis, Dan Terapi. Bagian Neurologi Fakultas


Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Jurnal Biomedik (JBM),
Volume 8, Nomor 2, Juli 2016, hlm. 125-133

Nicholson, D., Chiu., W., 2004, Neuroleptic malignant syndromem, Geriatrics


August 2004 Volume 59, Number 8
Sholevar,
DP.,
2002,
Neuroleptic

Malignanat

Syndrome,

http://www.emedicine.com

18

Anda mungkin juga menyukai