Oleh:
Fawziyah Putri Maulida
112011101041
122011101052
Dokter Pembimbing:
DAFTAR ISI
BAB 1 Pendahuluan.................................................................................................
1
BAB 2 Definisi, Etiologi dan Faktor Resiko..........................................................
3
BAB 3 Patofisiologi..................................................................................................
6
BAB 4 Gambaran klinis dan Pemeriksaan Laboratorium..................................
10
BAB 5 Diagnosis.......................................................................................................
11
BAB 6 Diagnosis Banding........................................................................................
13
BAB 7 Pencegahan dan Tatalaksana......................................................................
14
BAB 8 Komplikasi dan Prognosis...........................................................................
17
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
18
BAB 1
PENDAHULUAN
Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan
(sense of reality ). Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguangangguan pada perasaan, pikiran, kemauan, motorik, dst. sedemikian berat
sehingga perilaku
penderita psikosis tidak dapat dimengerti oleh orang normal, sehingga orang
awam menyebut penderita sebagai orang gila. (Maramis, 2005)
Efek samping obat anti-psikosis sangat penting kita ketahui, mengingat
pengguanaan obat ini kemungkinan diberikan dalam jangka panjang. efek
samping dapat berupa :
akibat komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik (Sholevar, 2002).
Karekteristik dari SNM adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan
perubahan kesadaran. Morbiditas dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder
dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal (Khan, 2011).
Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan
antipsikotik, khususnya neuroleptik. Di Cina pada suatu RCT didapatkan insidensi
SNM mencapai 0,12 % pada pasien dengan terapi neuroleptik. Suatu penelitian
retrospektif di India menunjukkan insidensi 0,14% (Sholevar, 2002). Sedangkan
di Amerika SNM dilaporkan terdapat pada 0,2% - 1,9% pasien (Khaldarov, 2000).
Meskipun neuroleptik (haloperidol, fluphenazin) lebih sering menyebabkan SNM,
semua obat anti psikotik, tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan sindrom ini.
Obat-obatan tersebut adalah prochlorperazine (Compazine), promethazine
(Phenergan), clozapine (Clozaril), and risperidone (Risperdal). Selain itu obatobat non neuroleptik yang dapat memblok dopamin dapat menyebabkan SNM
juga, obat-obat tersebut adalah metoclopramide (Reglan), amoxapine (Ascendin),
and lithium (Benzer, 2005).
Deteksi awal dan penegakan diagnosis yang cepat pada SNM penting
karena komplikasi dari keadaan ini adalah kematian (Benzer, 2005). Kematian
yang disebabkan oleh SNM mencapai 21% (Khaldarov, 2000).
BAB 2
DEFINISI, ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO SNM
Definisi
DSM IV mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat,
peningkatan temperatur dan gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis,
disfagia, inkontinensia, perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai
dengan koma, mutisme, tekanan darah meningkat atau tidak stabil,
peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang berkaitan dengan pengunaan
pengobatan neuroleptik (Kaplan dan Sadock, 2005).
Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin
biasanya dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti
skizoprenia, gangguan afek mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium,
gangguan tingkah laku karena dimensia, nausea, disfungsi usus dan penyakit
Parkinson (Hal dan Chopman, 2006).
Sindrom ini mengakibatkan disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem
syaraf otonom adalah sistem syaraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas
tubuh yang tidak dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung, tekanan
darah, pencernaan, berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh
(Bottoni, 2001).
Etiologi
1.
2.
3.
Faktor Resiko
1.
2.
3.
4.
5.
(Sholevar, 2002).
Berikut ini tabel faktor resiko yang berhubungan dengan penggunaan obat
Tabel 2. Faktor resiko yang memicu terjadinya SNM
BAB 3
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi
sistem
nigrostartial,
traktus
kortikolimbik)
dapat
seksual,
amenorea,
sedasi,
kejang,
gangguan
hematologik
dan
sitokin lain seperti MIP-1 dan AFGF. Protein-protein tersebut diproduksi oleh
monosit, granulosit, makrofag, dan limfosit T. Selain menyebabkan hiperpireksia,
SGOT/SGPT).
Mioglobinuria
dapat
diakibatkan
proses
BAB 4
GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN LABRATORIUM
Gambaran Klinis Dan Pemeriksaan Laboratorium
9
Konfusi,
koma,
mutisme,
inkotinensia
dan
delirium
(Khaldarov, 2000).
Peningkatan Aminotransferases (aspartate aminotransferase / AST,
alanine aminotransferase / ALT, and lactate dehydrogenase / LDH)
3.
(Sholevar, 2002).
Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (15. 000 30.000 x
103/ mm3), trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat
meningkat. Konsentrasi serum besi dapat menurun (Sholevar, 2002).
BAB 5
DIAGNOSIS
Diagnosis
Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada.
Salah satu kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup
10
hiperpireksia dan rigiditas otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting
seperti ketidak stabilan otonom, perubahan sensorik, peningkatan kadar CK
dan myoglobinuria (Nicholson dan Chiu, 2004).
Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi
diagnosis banding pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik.
Sebelum diagnosis SNM ditegakkan, semua kemungkinan penyebab kenaikan
suhu harus disingkirkan, dan demam harus disertai dengan gejala klinis lain
seperti rigiditas otot, perubahan status mental dan ketidak stabilan otonom
(Nicholson dan Chiu, 2004).
Kriteria diagnosis :
Kriteria diagnosis SNM menurut
Levenson:
1.
2.
Rigiditas
Kesadaran menurun
A.
Rigiditas otot parah,
0
hipertermia 38 C karena
penggunaan neuroleptik
B.
Adanya 2 gejala di bawah
ini, yaitu:
Diaph
Disfagia
Tremor
Perubahan status
mental/kesadaran
Takikardia
Hipertensi atau
hipotensi
Takipnea atau hipoksia
Diaphoresis, atau
sialorrhea
11
Kejang general,
opistotonus, tanda babinski:
positif, gerakan korea
Leukositosis > 30.000
Peningkatan enzim hepar
CT-scan kepala normal
Gejala minor, yaitu:
Khas muncul dalam24-72 jam,
dapat berlangsung 1-44 hari
Inkontinensia
Tremor
Perubahan kesadaran
Inkontinensia urine
(confusion-koma)
Leukositosis
Peningkatan/labilitas tekanan
Metabolik asidosis
darah
1.
Bukan disebabkan obat
Lekositosis
lain, kelainan sistemik,
gangguan neuropsikiatri
Peningkatan CPK
C.
Gejala no. A & B bukan
disebabkan zat lain misalnya
fensiklidin, atau kondisi
neurologik/medik lainnyamisalnya
ensefalitis virus
D.
Gejala no. A & B bukan
disebabkan gangguan mental
(dengan ciri katatonik)
E.
Pemberian neuroleptik
sedikitnya selama 7 hari, atau 2-4
minggu pada penggunaan
neuroleptik long acting
BAB 6
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa Banding
Gangguan primer pada sistem saraf pusat:
1.
2.
Tumor
3.
Kelainan cerebrovaskular
4.
Trauma
12
5.
Kejang
6.
Gangguan sistemik:
1.
Infeksi
2.
Gangguan metabolik
3.
4.
5.
Heatstroke
6.
7.
BAB 7
PENCEGAHAN DAN TATALAKSANA
Pencegahan
Pencegahan merupakan bagian penting dalam memanage kondisi
heterogen ini. Dosis terendah neuroleptik dianjukan, dengan memonitor onset
efek samping ekstra piramida Deteksi awal dan memberikan terapi untuk
mengeliminasi efek samping ekstra piramidal, terutama rigiditas otot dapat
mencegah perkembangan lebih lanjut SNM dan komplikasinya (Kaplan dan
Sadock, 2005).
13
Tatalaksana
1.
Terapi suportif
Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua
anti psikotik dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan
mereda dalam 1-2 minggu. SNM yang dipercepat dengan depot injeksi
anti psikotik long action dapat bertahan selama sebulan (Sholevar, 2002).
Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut
dan memelihara fungsi organ yaitu (Sholevar, 2002):
Manajemen jalan nafas : intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri.
Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan,
2.
hemodinamik.
Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.
Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak,
pelepasan
kalsium
dari
retikulum
sarkoplasma.
dosis 2,5 mg 2-3 kali per hari dan dosis ditingkatkan 2,5 mg setiap 24 jam
hingga timbul respon atau hingga dosis maksimal tercapai yaitu 45 mg
per hari. Dantrolene (Nama dagang: Dantrium) dapat diberikan secara
intravena, dimulai dengan dosis awal 1 sampai 2,5 mg per kgBB secara
bolus, diikuti dengan dosis 1 mg per kgBB setiap 6 jam hingga dosis
maksimal 10 mg per kgBB per hari. Dantrolene oral diberikan untuk
kasus yang lebih ringan atau untuk tappering down dari dosis intravena
setelah beberapa hari dengan dosis berkisar 50-200 mg per hari. Karena
risiko hepatotoksisitas, dantrolene biasanya dihentikan setelah gejala
membaik. Bromokriptin umumnya dipertahankan untuk setidaknya 10
hari pada kasus SNM dengan neuroleptik oral dan setidaknya 2-3 minggu
untuk neuroleptik injeksi. Obat lain yang dapat diberikan ialah golongan
benzodiazepin, yang dapat membantu meringankan agitasi. Terapi tidak
boleh dihentikan mendadak walaupun gejala klinis membaik karena dapat
menyebabkan kambuhnya SNM.
Terapi elektrokonvulsif diberikan kepada para penderita yang tidak
menunjukkan respon terhadap pengobatan dan terapi suportif. Pada kasus
SNM dilakukan terapi suportif dengan penghentian segera obat-obatan
neuroleptik, oksigenasi yang adekuat, tablet parasetamol 500 mg per 8
jam, pemberian cairan intravena NaCl 0,9% 500cc per 12 jam. Terapi
farmakologi spesifik dengan pemberian bromokriptin dosis 2,5 mg per 12
jam kemudian dinaikkan secara bertahap sampai total dosis 7,5 mg per
hari yang dibagi dalam 3 dosis.
Keluarga diedukasi agar bromokriptin dilanjutkan sampai 14- 21
hari setelah gejala SNM hilang kemudian diturunkan secara bertahap.
Pemilihan preparat bromokriptin mengacu pada kondisi medis penderita
berdasarkan stadiumnya serta ketersediaan bromokriptin yang lebih
mudah didapatkan dibanding obat lain yang direkomendasikan. Angka
mortalitas kasus SNM >30%, namun bila ditangani secepat mungkin
maka angka mortalitas akan menurun sampai 10%. Bila dikenali secara
15
dini dan segera ditatalaksana, biasanya SNM tidak berakibat fatal dan
sebagian besar penderita akan sembuh sempurna dalam jangka waktu 214 hari. Namun bila diagnosis dan tatalaksana terlambat, penyembuhan
dapat berlangsung beberapa minggu atau lebih lama, dan penderita yang
mampu bertahan hidup dapat mengalami katatonia residual atau
parkinsonism, atau morbiditas yang berhubungan dengan komplikasi
renal atau kardiopulmonar (Meike, 2016).
BAB 8
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Komplikasi
Komplikasi dari sindroma neuroleptik maligna banyak. Komplikasi
yang paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot
terus menuerus dan akhirnya terjadi kerusakan otot (Bottoni, 2002).
16
karena
menderita
gangguan
psikiatri
berat
atau
persiten,
2.
DAFTAR PUSTAKA
Benzer,
Theodore,
2005,
Neuroleptic
Malignanat
Syndrome,
http://www.emedicine.com
Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review,
http:://www.turner-white.com
17
http://www.docstoc.com/docs/79675578/Programme-P2T-
Malignanat
Syndrome,
http://www.emedicine.com
18