)
DALAM PAKAN JANGKRIK KALUNG (Gryllus
bimaculatus) PADA PERIODE BERTELUR
SKRIPSI
AFNIATY INTANIA
RINGKASAN
AFNIATY INTANIA. 2006. Substitusi Tepung Kunyit (Curcuma domestica Val.)
dalam Pakan Jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus) pada Periode Bertelur.
Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Jangkrik merupakan salah satu satwa harapan yang memiliki daya guna sebagai
hewan peliharaan serta dapat dijadikan bahan pakan dan pangan. Jangkrik memiliki
mortalitas yang cukup tinggi karena rentan terhadap penyakit, terutama diare.
Peningkatan daya tahan tubuh jangkrik dapat dilakukan dengan pemberian pakan
tambahan sebagai suplemen, sehingga jika daya tahan tubuh baik, maka kemampuan
reproduksinya pun diharapkan akan lebih baik. Kunyit (Curcuma domestica Val.)
merupakan salah satu tanaman herba yang memiliki khasiat luar biasa. Kurkuminoid
yang terkandung dalam kunyit dapat berfungsi sebagai antioksidan, antibakteri,
merangsang daya tahan dan kekebalan tubuh, serta meningkatkan aktivitas seksual.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan membandingkan pengaruh dari
substitusi berbagai tingkat substitusi tepung kunyit (Curcuma domestica Val.) pada
pakan terhadap penampilan reproduksi jangkrik Kalung (Gryllus bimaculatus).
Penampilan reproduksi yang dikaji adalah konsumsi pakan, pertambahan bobot badan
induk, produksi telur, konversi pakan terhadap produksi telur, waktu tetas, dan
mortalitas induk.
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, dimulai sejak tanggal 16 Pebruari
sampai 26 April 2006, bertempat di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan
(NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian pada fase
pertumbuhan sebelumnya. Pemeliharaan pada fase bertelur (reproduksi) dimulai pada
saat jangkrik berumur 51 hari.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
empat perlakuan dan ulangan yang tidak sama. Perlakuan yang diberikan yaitu pakan
campuran konsentrat dengan 0%; 0,2%; 0,4%; 0,8% tepung kunyit. Data yang diperoleh
dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan Minitab 14 karena hasil analisis
statistik menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) yang rendah sehingga
mengindikasikan banyak faktor lain yang mempengaruhi respon/peubah yang diamati.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jangkrik dengan substitusi 0,4% tepung
kunyit memiliki produksi telur dan pertambahan bobot badan tertinggi serta konversi
pakan terhadap produksi telur yang terendah selama 36 hari masa bertelur. Grafik
penampilan reproduksi setelah masa bertelur hari ke-36 menunjukkan ketidakefisienan
jangkrik dalam memproduksi telur. Jangkrik yang sudah mencapai masa bertelur lebih
dari 36 hari lebih baik diafkir untuk dijadikan bahan pangan atau pakan agar lebih
bernilai ekonomis.Daya menghambat reproduksi dan insektisida terlihat pada jangkrik
dengan substitusi 0,8% tepung kunyit. Hasil ini diperlihatkan oleh jumlah produksi telur
yang terendah dengan tingkat mortalitas tertinggi pada penelitian ini.
Kata kunci : jangkrik kalung (Gryllus bimaculatus), tepung kunyit, reproduksi
ABSTRACT
The Substitution of Turmeric (Curcuma domestica Val.) Meal Treatments in
Crickets (Gryllus bimaculatus) Feed during Egg Laying Period
Intania, A., H. C. H. Siregar, M. Poeloengan
Reproduction is an important thing in rearing kalung crickets (Gryllus
bimaculatus). Crickets need good feed to support their eggs production. Diarrhae is one
of the common disease in this species thus feed supplements are needed to enhance
crickets durabilities. Turmeric (Curcuma domestica Val.) contains curcuminoid that
acts as antibacteria, stimulating body immune systems, and enhancing sexual activities.
The research about substitution of turmeric meal in crickets feed had been done to
study and compare the effects of this feed supplement in various concentration to the
reproduction performance (feed consumption, eggs production, daily weight gain, feed
conversion, hatching time, and mortality) in G. bimaculatus. This research was
conducted in two months at the Non Ruminant and Prospective Animal Division,
Department of Animal Production and Technology, Faculty of Animal Science, Bogor
Agricultural University. This research was carried out as a continuity from the previous
growth phase research. A completely randomized design was used as the experimental
design, with four level of treatments and unbalanced replications. The given treatments
were feed substitution with 0%; 0,2%; 0,4%; 0,8% of turmeric meal. The obtained data
was analyzed descriptively because the statistical analysis resulting a low determination
coefficient (R2) value, thus indicating that there were another factors affecting the
observed parameters. The best turmeric meal treatment was determined by the
reproduction performance of G. bimaculatus during its 36 days of laying period. The
reproduction performance graphic after this period showed an unefficient reproduction
performance. Crickets with 0,4% of turmeric meal treatment has the highest egg
production and daily weight gain, with the lowest feed conversion to egg production
during the 36 days laying period. Cricket which have reached more than 36 days of
laying period should be culled and transformed as food or feed substance to increase its
economical value. The inhibitory and insecticide properties of turmeric can be found in
crickets with 0,8% of turmeric meal treatments.
Keywords: kalung crickets (Gryllus bimaculatus), turmeric meal, reproduction
AFNIATY INTANIA
D14102065
Oleh
Afniaty Intania
D14102065
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 29 September 1984 di Garut, Jawa Barat.
Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Deden
Herawan dan Ibu Euis Rohmayati.
Pendidikan dari TK sampai dengan SMU diselesaikan di kota Garut.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Kiansantang, Garut.
Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SMPN 2 Garut.
Pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMUN 1 Tarogong,
Garut.
Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2002. Selama mengikuti
pendidikan tinggi, Penulis pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak
(Himaproter) sebagai staf Departemen Informasi dan Komunikasi pada tahun 20022003, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan IPB sebagai staf
Departemen Penerangan tahun 2003-2004 dan Direktur Badan Khusus Media dan
Komunikasi tahun 2004-2005, serta Paguyuban Seni Teater KANDANG, Fakultas
Peternakan. Penulis juga pernah aktif di kegiatan luar fakultas yaitu menjadi penyiar
di Radio Komunitas IPB, Agri FM.
KATA PENGANTAR
Jangkrik merupakan salah satu satwa harapan yang pemeliharaannya dapat
dikatakan gampang-gampang susah. Pemeliharaan pada fase reproduksi memiliki
tujuan utama untuk memproduksi jumlah telur yang banyak sehingga keuntungan
maksimal dapat diperoleh. Timbulnya penyakit diare yang sering menyerang
jangkrik mengakibatkan daya tahan tubuh menjadi berkurang. Permasalahan inilah
yang menjadi dasar pemberian substitusi tepung kunyit pada pakan jangkrik kalung,
baik pada fase pertumbuhan maupun fase reproduksi (periode bertelur). Kunyit
merupakan tanaman herba yang memiliki efek farmakologis melancarkan darah dan
vital energi, antiradang, antibakteri, menambah nafsu makan, dan merangsang daya
tahan tubuh.
Kandungan zat aktif yang terdapat pada rimpang ini juga dapat
Afniaty Intania
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .................................................................................................
ABSTRACT ....................................................................................................
ii
iii
iv
ix
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...................................................................................
Perumusan Masalah ............................................................................
Tujuan ................................................................................................
Manfaat ...............................................................................................
1
2
2
3
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi, Morfologi, dan Habitat Jangkrik Kalung .......................
Siklus Hidup dan Reproduksi Jangkrik ..............................................
Alat Reproduksi ......................................................................
Perkawinan ............................................................................
Telur Jangkrik ........................................................................
Penetasan ...............................................................................
Mortalitas ............................................................................................
Pakan Jangkrik ...................................................................................
Daun Singkong ......................................................................
Konsentrat ..............................................................................
Kunyit ................................................................................................
Taksonomi dan Morfologi Kunyit .........................................
Kandungan, Zat Aktif, dan Manfaat ......................................
4
5
6
7
8
9
10
11
11
12
13
13
13
METODE
Lokasi dan Waktu ..............................................................................
Materi .................................................................................................
Jangkrik ...................................................................................
Kandang dan Peralatan ..........................................................
Media Bertelur dan Penetasan ...............................................
Pakan ......................................................................................
Rancangan ...........................................................................................
Peubah yang Diamati .............................................................
Prosedur ..............................................................................................
16
16
16
16
17
17
19
19
21
25
25
27
31
31
33
35
38
40
41
42
44
44
45
46
LAMPIRAN ...................................................................................................
50
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
2.
12
3.
14
4.
15
18
6.
18
7.
26
29
35
8.
9.
10.
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
2.
4.
Jangkrik Betina Bertelur dalam Tanah (Oda dan Kubo, 1997) .........
5.
13
6.
15
7. Media Bertelur (a) dan Media Penetasan Telur Jangkrik (b) ............
16
8.
22
23
10.
28
30
32
33
36
37
11.
12.
13.
14.
16.
17.
18.
19.
38
39
40
41
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
50
2.
51
51
4.
51
5.
51
6.
52
52
8.
52
9.
52
10.
53
11.
53
12.
53
13.
53
14.
53
15.
53
16.
53
54
18.
54
19.
54
20.
54
21.
54
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keanekaragaman fauna di Indonesia merupakan salah satu komoditas dalam
negeri yang patut untuk dikembangkan, termasuk diantaranya yang berasal dari kelas
serangga. Salah satu serangga yang telah dibudidayakan adalah jangkrik (Gryllus
sp.). Jangkrik merupakan jenis serangga yang dikenal masyarakat sebagai hewan
peliharaan karena suaranya yang unik serta digunakan sebagai pakan satwa piaraan
khususnya untuk bermacam-macam burung berkicau, arwana dan satwa pemakan
serangga yang lain. Jangkrik memiliki siklus hidup yang pendek, mudah dalam
pemeliharaan, mudah beradaptasi dengan pakan yang diberikan, serta modal yang
dibutuhkan untuk usaha budidaya jangkrik ini cukup murah.
Jangkrik berpotensi sebagai sumber protein hewani alternatif karena
mengandung asam amino, asam lemak, serta sistein yang sangat dibutuhkan dalam
proses pembentukan Glutation Stimulation Hormone (GSH) yang merupakan zat
antioksidan alami pada tubuh manusia. Kandungan-kandungan tersebut telah
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri farmasi, makanan manusia dan substitusi
pakan ternak dalam bentuk tepung jangkrik. Peningkatan produktivitas terutama
dalam hal reproduksi jangkrik perlu dilakukan agar perkembangbiakan maksimal
sehingga persediaannya dapat mencukupi kebutuhan konsumen yang semakin
meningkat.
Jangkrik yang biasa dibudidayakan peternak adalah jangkrik kalung
(Gryllus bimaculatus), jangkrik cliring (G. mitratus) dan jangkrik cendawang
(G. testacius). Jangkrik kalung memiliki keunggulan dalam laju pertumbuhan dan
konversi pakan serta memiliki kulit tubuh lebih lunak sehingga lebih disukai burung
dan satwa pemakan serangga yang lain.
Selain kelebihan-kelebihan di atas, jangkrik juga memiliki mortalitas yang
cukup tinggi karena rentan terhadap penyakit, pengaruh lingkungan yang buruk,
gangguan predator dan kanibalisme, terutama jika persediaan pakan tidak
mencukupi. Penyakit yang sering terdapat pada jangkrik adalah diare. Penyakit ini
dapat disebabkan oleh pemberian hijauan yang berkadar air terlalu tinggi, lingkungan
kandang yang kotor, seperti pakan yang tidak bersih atau adanya kotoran jangkrik
yang mengundang bakteri sehingga daya tahan tubuh jangkrik harus ditingkatkan.
Peningkatan daya tahan tubuh jangkrik dapat dilakukan dengan pemberian pakan
tambahan sebagai suplemen, sehingga jika daya tahan tubuh baik maka kemampuan
reproduksinya pun diharapkan akan lebih baik.
Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman herba yang
memiliki khasiat luar biasa. Kurkuminoid yang terkandung dalam kunyit dapat
berfungsi sebagai antioksidan, antibakteri, antiinflamasi, pencegah kanker,
menurunkan resiko serangan jantung, antikejang, antiradang, merangsang daya tahan
tubuh, stamina dan kekebalan tubuh, serta meningkatkan aktivitas seksual. Fungsifungsi ini akan sangat berpengaruh kepada peningkatan produktivitas makhluk hidup
terutama manusia dan hewan. Pengaruh kunyit terhadap reproduksi perlu dikaji lebih
lanjut karena beberapa literatur menyatakan bahwa kunyit dapat bersifat antifertilitas
yang dapat menghambat reproduksi mamalia dan serangga hama gudang dan
bertentangan dengan fungsinya yang dapat meningkatkan aktivitas seksual.
Perumusan Masalah
Persediaan jangkrik di alam yang tidak kontinyu menyebabkan permintaan
masyarakat terhadap jangkrik menjadi kurang terpenuhi sehingga diperlukan suatu
cara agar persediaan jangkrik selalu ada dalam jumlah yang cukup banyak.
Permasalahan yang dikaji adalah bagaimana cara untuk meningkatkan daya
reproduksi jangkrik yang umumnya rentan terhadap penyakit terutama diare.
Permasalahan tersebut diharapkan dapat terpecahkan dengan penambahan tepung
kunyit pada kadar tertentu dalam pakan. Kunyit memiliki fungsi-fungsi yang dapat
meningkatkan produktivitas dan diharapkan dapat menimbulkan pengaruh yang sama
baiknya pada jangkrik. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
mengenai kombinasi pemberian pakan yang dapat meningkatkan reproduksi dan
daya tahan tubuh jangkrik.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan membandingkan pengaruh dari
pemberian berbagai tingkat substitusi tepung kunyit (Curcuma domestica Val.) pada
pakan (0%; 0,2%; 0,4%; 0,8% tepung kunyit) terhadap penampilan reproduksi
(konsumsi pakan, pertambahan bobot badan induk, produksi telur, konversi pakan
terhadap produksi telur, waktu tetas dan mortalitas induk) jangkrik kalung
(G. bimaculatus).
2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi mengenai
penggunaan tepung kunyit pada jangkrik kalung selama masa reproduksi dan dapat
dipertimbangkan untuk penggunaan pada hewan lain terutama serangga.
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi, Morfologi dan Habitat Jangkrik Kalung
Menurut Paimin et al. (1999), tercatat kurang lebih ada 123 jenis jangkrik di
Indonesia. Jangkrik yang biasa dibudidayakan peternak antara lain jangkrik kalung
(G. bimaculatus), jangkrik cliring (G. mitratus), dan jangkrik cendawang
(G. testacius) (Widiyaningrum, 2001). Borror et al. (1992) menyatakan bahwa
jangkrik kalung termasuk filum Arthropoda, subfilum Atelocerata, kelas Hexapoda
(Insekta), ordo Orthoptera, subordo Ensifera, famili Gryllidae dan genus Gryllus.
Jangkrik kalung memiliki kulit dan sayap luar berwarna hitam atau agak
kemerahan dan pada bagian punggung (pangkal sayap luar) terdapat garis kuning
sehingga menyerupai kalung (Widiyaningrum, 2001). Jangkrik jantan dan betina
dewasa dapat dibedakan dari ada atau tidaknya ovipositor pada ujung abdomen yang
mencirikan jangkrik betina (Gambar 1). Meskipun secara umum ukuran-ukuran
tubuh jangkrik jantan lebih besar, jangkrik betina memiliki bobot badan lebih tinggi
daripada jantan (Herdiana, 2001).
Jantan
Betina
pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, toraks, dan abdomen (Corey
et al., 2000). Anatomi tubuh jangkrik dapat dilihat pada Gambar 2.
Siklus hidupnya dimulai dari telur kemudian menjadi jangkrik muda (nimfa) dan
melewati beberapa kali stadium instar sebelum menjadi jangkrik dewasa (imago)
yang ditandai dengan terbentuknya dua sayap (Borror et al., 1992). Hasegawa dan
Kubo (1996) menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan nimfa untuk tumbuh
dewasa tergantung pada cuaca, spesies dan jenis makanannya. Karakteristik produksi
dan reproduksi jangkrik kalung hasil penelitian Widiyaningrum (2001) dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Produksi dan Reproduksi Jangkrik Kalung
(Gryllus bimaculatus)
No.
Karakteristik
Rataan
0,86
2.
0,88
3.
12,50
4.
Konsumsi (mg/ekor/hari)
11,19
5.
Konversi pakan
0,89
6.
501,47
7.
32-36
8.
1.375
9.
60,23
10.
11.
35,04
12.
50-55
13
55-60
203
mempunyai sepasang ovarium yang terletak pada punggung bagian tengah di atas
saluran pencernaan (Budi, 1999).
Jangkrik jantan memiliki sepasang testis berwarna putih krem yang terletak di
atas saluran pencernaan. Masing-masing testis terdiri dari beberapa folikel yang
berhubungan tipis memanjang ke belakang sampai mencapai saluran ejakulator.
Sepasang kelenjar asesori yang terdiri dari seminali vesicle dan pembuluh yang
berbelit cukup panjang terdapat di atas saluran ejakulator (Youdeowai, 1974). Alat
genital jantan disebut clasper yang berfungsi sebagai alat kopulasi yang
memindahkan sperma ke saluran alat genital betina (Budi, 1999).
Perkawinan
Sridadi dan Rachmanto (1999) menyatakan bahwa tanda-tanda jangkrik telah
birahi adalah bulu punggung tampak mengkilat dan ovipositor pada betina telah
panjang, kaku, berwarna hitam dan ujung abdomen sebelah bawah telah berbentuk
seperti kantong. Jangkrik jantan yang siap kawin memiliki tanda-tanda sayapnya
sudah lengkap, telah berumur 60 hari, sudah mengerik, suaranya keras dan
gerakannya lincah (Sukarno, 1999).
Tingkah laku kawin jangkrik diawali dengan bunyi kerikan (nyanyian) jantan
dari jauh untuk memikat betina dari spesies yang sama dan akan merespon nyanyian
tersebut. Getaran suara nyanyian ditangkap oleh selaput yang terdapat pada kaki
depan betina, kemudian dia akan mencari dan mengikuti asal suara. Setelah bertemu
dan saling mendekat, jantan dan betina akan saling meneliti muka dan antena untuk
memastikan bahwa mereka merupakan spesies yang sama. Jangkrik jantan akan
merayap dari belakang ke bawah jangkrik betina dan meletakkan kantong kecil
berwarna putih berisi sperma saat perkawinan akan berlangsung. Ketika mereka
sudah siap berkopulasi, sperma tersebut akan masuk dan disimpan di bawah
abdomen jangkrik betina untuk bertemu dengan sel telur yang siap untuk dibuahi.
Kopulasi berlangsung kira-kira seperempat jam (Hasegawa dan Kubo, 1996). Satu
ekor jantan dapat mengawini satu sampai lima ekor betina secara ideal (Paimin et al.,
1999).
Telur Jangkrik
Telur dari genus Gryllus termasuk jangkrik berbentuk seperti pisang ambon,
berwarna kuning muda bening dengan panjang rata-rata 2,5-3 mm. Bagian atas telur
terdapat tonjolan yang disebut operculum, yang merupakan tempat keluar nimfa dari
dalam telur. Kulit telur jangkrik sangat liat dan kuat, berfungsi melindungi bagian
dalam telur (Paimin et al., 1999). Profil telur jangkrik dapat dilihat pada Gambar 3.
(a)
(b)
Gambar 4. Jangkrik Betina Bertelur dalam Tanah (Oda dan Kubo, 1997)
Proses
bertelur
diawali
dengan
pembuatan
lubang
kecil
dengan
10
Pakan Jangkrik
Pakan menyediakan protein dan energi bagi kelangsungan berbagai proses
dalam tubuh, menyediakan bahan-bahan untuk membangun dan memperbaiki
jaringan tubuh yang telah rusak atau terpakai dan mengatur kelestarian dan kondisi
lingkungan dalam tubuh (Jurd, 1997). Jangkrik dewasa memakan apa saja yang
ditemukannya seperti halnya pada nimfa, tetapi tidak seperti jangkrik muda yang
makan agar tumbuh dewasa, jangkrik dewasa makan agar ia mendapatkan energi
untuk kawin dan berkembangbiak (Hasegawa dan Kubo, 1996). Menurut Borror
et al. (1992), pakan dapat mempengaruhi reproduksi, pertumbuhan, perkembangan,
tingkah laku dan sifat-sifat morfologis lainnya seperti ukuran dan warna.
Jangkrik tidak minum seperti kebanyakan hewan lainnya melainkan
memperoleh air dari makanannya. Jangkrik menyukai daun muda yang banyak
mengandung air sebagai pengganti air minum seperti sawi, kubis, bayam, kangkung,
daun singkong dan lain-lain (Paimin et al., 1999). Kekurangan air dalam tubuh
hewan akan mengurangi nafsu makan dan feed intake. Jangkrik lebih memilih
mengkonsumsi air yang terkandung dalam sayuran meskipun sudah disediakan ad
libitum dalam kapas (Tillman et al., 1991).
Mutu pakan biasanya dinilai dari efisiensi penggunaan pakan yang salah satu
cara mengukurnya adalah dengan menghitung konversi pakan. Konversi pakan
merupakan perbandingan antara unit pakan yang diberikan dengan unit produk yang
dihasilkan (Hardjosubroto dan Astuti, 1994).
Daun Singkong (Manihot esculenta, Crantz)
Daun singkong merupakan salah satu pakan yang disukai jangkrik. Kelebihan
yang dimiliki daun singkong adalah kandungan air yang relatif rendah jika
dibandingkan dengan pakan sayuran jangkrik lainnya. Kandungan air yang tidak
terlalu tinggi ini dapat mengurangi kemungkinan jangkrik terkena diare. Kandungan
nutrisi daun singkong disajikan pada Tabel 2.
11
Satuan
Jumlah
Vitamin A
SI
11000
Vitamin C
mg
275
Vitamin B1
mg
0,12
Kalsium
mg
165
Energi
kal
73
Fosfor
mg
54
Protein
6,8
Lemak
1,2
Hidrat arang
13
mg
Zat besi
Sumber: Darjanto dan Murjanti (1980)
12
Kunyit
Taksonomi dan Morfologi
Kunyit merupakan tanaman tahunan yang tumbuh merumpun, dapat
mencapai tinggi hingga satu meter. Kunyit termasuk ke dalam kingdom Plantae
(tumbuh-tumbuhan),
divisi
Spermatophyta
(tumbuhan
berbiji),
subdivisi
demetoksikurkumin
(15-20%)
dan
bisdemetoksikurkumin
(3%).
Kurkuminoid diperoleh dari kunyit dengan cara ekstraksi dengan etanol. Kurkumin
merupakan zat yang umum dipelajari dari kurkuminoid dengan rumus molekul
C12H20O6 (www.pdrhealth.com). Kurkumin terdapat dalam dua bentuk yaitu keto
dan enol. Bentuk keto cenderung muncul dalam padatan, sedangkan bentuk enol
muncul dalam larutan (www.wikipedia.com). Rumus bangun senyawa ini dapat
dilihat pada Gambar 5.
Bentuk Keto
Bentuk Enol
13
Kunyit
Tepung Kunyit
Energi (kal)
349,00
390,00
13,10
5,80
Protein (g)
6,30
8,60
Lemak
5,10
8,90
69,40
69,90
2,60
6,90
Air (g)
6,80
Kalsium (g)
0,15
0,20
Fosfor (g)
0,28
0,26
Natrium (g)
0,03
0,01
Kalium (g)
3,30
2,50
18,60
47,50
Thiamin (mg)
0,03
0,09
Riboflavin (mg)
0,00
0,19
4,80
2,30
0,00
49,80
50,00
175,00
Kurkuminoid (%)
1,8-5,4
1,3-2,1
2,5-7,2
1,3-5,5
Besi (g)
Niacin (mg)
Vitamin A (IU)
Kunyit dapat menambah nafsu makan (Darwis et al., 1991) dan digunakan
sebagai bumbu masakan karena kunyit mengandung kurkumin yang pada kadar
tertentu dapat meningkatkan palatabilitas, tetapi jika diberikan berlebihan dapat
menurunkan palatabilitas makanan (Sambaiah, 1982). Berdasarkan hasil penelitian,
kunyit memiliki efek farmakologis melancarkan darah dan vital energi, antiradang
(anti-inflamasi), antibakteri, memperlancar pengeluaran empedu (kolagogum), dan
14
pelembab (astringent). Kandungan zat aktif yang terdapat pada rimpang ini juga
dapat meningkatkan aktivitas seksual (Winarto, 2004). Beberapa zat aktif kunyit
dengan efek farmakologis disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Efek Farmakologis Zat Aktif yang Terkandung dalam Rimpang
Kunyit
Zat Aktif
Efek Farmakologis
Caffeic acid
L- dan L- curcumae
Penyegar
Guanicol
Protochatechuic acid
Ukanon A, B, C, dan D
Zingiberene
15
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini telah dilakukan selama dua bulan, dimulai sejak tanggal 16
Pebruari sampai 26 April 2006, bertempat di Bagian Non Ruminansia dan Satwa
Harapan (NRSH), Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Materi
Jangkrik
Jangkrik yang digunakan sebanyak 360 ekor jenis Gryllus bimaculatus
(jangkrik kalung) dewasa berumur 51 hari, terdiri dari 60 ekor jantan dan 300 ekor
betina. Jangkrik diperoleh dari salah satu peternakan jangkrik di daerah Depok.
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan terdiri dari 12 kandang indukan dan 120 kandang
penetasan. Kandang indukan berukuran 45x30x30 cm terbuat dari kayu reng sebagai
rangkanya serta triplek kayu sebagai dinding kandang (Gambar 6). Bagian dinding
luar kandang diolesi kapur insektisida untuk mencegah serangan hama semut dan
bagian dalam tepi atas dinding dilapisi dengan lakban coklat selebar 10 cm.
Permukaan lakban yang licin dapat mencegah jangkrik merayap keluar kandang.
(a)
(b)
16
bagian dalam tepi atas dan dilengkapi dengan media penetasan yang dialasi kapas
basah untuk minum anak jangkrik dan menjaga kelembaban kandang.
Peralatan lain yang digunakan yaitu alat tulis, tempat pakan hijauan dan
konsentrat, sendok dan gelas plastik, timbangan digital JKH-500, termohigrometer,
penyemprot, saringan, baskom plastik, kuas, alat penghitung telur (counter), lakban,
gunting, dan pisau.
Media Bertelur dan Penetasan
Bahan yang digunakan untuk media bertelur yaitu pasir hitam yang sudah
disangrai dan disaring dua kali agar lebih halus dan berukuran seragam. Kondisi
pasir selalu diusahakan dalam keadaan lembab dengan disemprot air dan disimpan
dalam kotak plastik berukuran 14,5x7,5x2,5 cm (Gambar 7).
(a)
(b)
Gambar 7. Media Bertelur (a) dan Media Penetasan Telur Jangkrik (b)
Bahan untuk media penetasan menggunakan kain katun berukuran 20x20 cm
yang dilipat pada setiap sisinya dan dialasi kapas lembab (Gambar 7). Media
penetasan diletakkan dalam kandang penetasan.
Pakan
Pakan konsentrat yang digunakan adalah campuran pakan ayam broiler
komersial yang mengandung protein 20%-22% (kode CP 511) dengan pencampuran
tepung kunyit secara substitusi sebesar 0% (P0); 0,2% (P0,2); 0,4% (P0,4); dan 0,8%
(P0,8). Pakan hijauan yang digunakan berupa daun singkong yang telah dilayukan
terlebih dahulu selama satu hari dan dicacah berukuran sekitar dua sentimeter untuk
menghilangkan kandungan asam sianida (HCN) (Ravindran et al., 1985). Kandungan
nutrisi pakan yang digunakan terdapat pada Tabel 5.
17
Tepung
Kunyit a)
Konsentratb)
17,90
83,51
1,51
Lemak (%)
Komposisi
Persentase Tepung
Kunyit c)
0,2%
0,4%
0,8%
91,67
91,66
91,46
91,60
3,62
5,45
5,45
5,44
5,44
0,48
2,64
7,28
7,27
7,26
7,24
Protein (%)
8,64
14,16
19,99
19,98
19,97
19,94
BETN (%)
4,26
56,37
51,63
51,64
51,65
51,67
3,01
6,72
6,15
6,15
6,15
6,15
td
td
0,17
td
td
td
td
td
0,32
td
td
td
Gross Energi
(kkal/kg)
td
td
3551,67
td
td
td
Keterangan: a)
Hasil analisis proksimat di Bagian Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu
Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan (Maret 2006)
b) Mansy (2002)
c) Hasil perhitungan dari campuran konsentrat dan tepung kunyit
td : tidak dianalisis
Persentase (%)
8,90
15,72
Sari Alkohol
5,37
Kadar Minyak
4,16
Kurkumin
6,57
Sumber: Hasil analisis Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika (Desember 2005)
18
Rancangan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan empat taraf perlakuan dan ulangan yang tidak sama.
Perlakuan yang diberikan adalah pakan campuran konsentrat dengan 0%; 0,2%;
0,4%; dan 0,8% tepung kunyit. Jumlah jangkrik setiap ulangan adalah 30 ekor
dengan perbandingan jantan dan betina 1:5.
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan
Minitab 14 karena hasil analisis statistik menghasilkan nilai koefisien determinasi
(R2) yang rendah. Nilai R2 yang rendah mengartikan banyak faktor lain yang
mempengaruhi respon peubah yang diamati.
Peubah yang Diamati
1. Konsumsi pakan (mg/ekor/hari) dihitung berdasarkan bahan kering (BK).
Konsumsi pakan hijauan (KH) dihitung berdasarkan selisih antara pakan yang
diberikan dengan pakan yang tersisa lalu dibagi jumlah populasi dan dibagi tiga
hari. Konsumsi hijauan ini kemudian dikalikan dengan persentase pakan yang
dikonsumsi yang diperoleh dari faktor koreksi penguapan (FKP). Konsumsi
pakan campuran konsentrat dan tepung kunyit (KK) dihitung berdasarkan selisih
dari pakan yang diberikan dengan pakan yang tersisa lalu dibagi jumlah populasi
dan dibagi enam hari. Konsumsi pakan total diperoleh dari penjumlahan
konsumsi hijauan dengan konsentrat.
FKP =
100%
Bobot kontrol awal
19
BB t BB t 6
6 hari
5. Waktu tetas (hari) adalah waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan pada
media tetas (mulai diinkubasi) sampai anak jangkrik yang pertama menetas.
6. Mortalitas induk jangkrik (%) merupakan persentase jumlah induk yang mati dari
total populasi induk selama penelitian. Perhitungan mortalitas dilakukan setiap
enam hari dengan rumus:
Mortalitas =
Populasi t 6 Populasi t
x 100%
Populasi t -6
Keterangan : Populasi t
20
Prosedur
Penelitian pada fase reproduksi (masa bertelur) ini merupakan rangkaian
penelitian dari fase pertumbuhan dengan perlakuan yang sama. Penelitian dimulai
dengan pemindahan jangkrik yang sudah dewasa tubuh (berumur 51 hari) dari
kandang pembesaran ke kandang indukan (kandang penelitian). Jangkrik yang
dijadikan sample penelitian adalah betina yang sudah memiliki ovipositor pada ujung
abdomen, sedangkan jantan yang dipilih adalah jangkrik yang sayapnya
bergelombang atau tidak rata (Fitriyani, 2005). Jangkrik yang dipilih dalam keadaan
sehat dan lengkap (tidak ada bagian tubuh yang hilang seperti kaki, antena, dan lainlain).
Tahap akhir penelitian fase pertumbuhan hanya menghasilkan jumlah
jangkrik yang terbatas. Keterbatasan ini dikarenakan banyaknya jangkrik yang mati
dengan dugaan suhu dan kelembaban yang kurang sesuai untuk pertumbuhan
jangkrik, mengingat waktu penelitian dilakukan pada saat musim hujan dengan
kelembaban yang tinggi (lebih dari 80%). Menurut Sukarno (1999), jangkrik dapat
hidup dengan baik pada suhu 20-32 C dan kelembaban sekitar 65%-80%. Jangkrik
yang tersisa dan memenuhi syarat untuk penelitian pada fase reproduksi hanya
sebanyak 360 ekor dengan rincian yaitu untuk taraf perlakuan 0%; 0,2%; 0,4%; dan
0,8% tepung kunyit sebanyak 120, 60, 90, dan 90 ekor jangkrik.
Jumlah jangkrik yang terbatas pada fase pertumbuhan menyebabkan ulangan
yang dapat dilakukan dalam penelitian ini tidak sama untuk setiap taraf perlakuan.
Keempat taraf perlakuan terdiri dari empat ulangan untuk 0% tepung kunyit (P0), dua
ulangan untuk 0,2 % tepung kunyit (P0,2), dan masing-masing tiga ulangan untuk
perlakuan 0,4 % dan 0,8% tepung kunyit (P0,4 dan P0,8) sehingga diperoleh 12
kandang pengamatan. Jumlah ulangan pada penelitian ini tidak sama karena
tergantung dari jumlah ternak dari penelitian sebelumnya (fase pertumbuhan) untuk
mendapatkan efek kumulatif. Setiap kandang indukan berisi 30 ekor jangkrik dengan
perbandingan jantan dan betina 1:5 (Widiyaningrum, 2001) sehingga diperoleh lima
ekor jantan dan 25 ekor betina dalam setiap kandang. Kandang penetasan yang
berjumlah 120 buah hanya digunakan sebagai tempat penetasan. Skema bagan
penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
21
0%
tepung
kunyit
0,2%
tepung
kunyit
0,4%
tepung
kunyit
0,8%
tepung
kunyit
120 ekor
60 ekor
90 ekor
90 ekor
Fase
Pertumbuhan
0%
tepung
kunyit
0,2%
tepung
kunyit
0,4%
tepung
kunyit
0,8%
tepung
kunyit
30 ekor
30 ekor
30 ekor
30 ekor
30 ekor
30 ekor
30 ekor
30 ekor
30 ekor
30 ekor
30 ekor
Fase
Reproduksi
30 ekor
Gambar 8. Skema Bagan Penelitian
Penempatan media bertelur dalam kandang dilakukan bersamaan pada saat
jangkrik berumur 51 hari dan dimasukkan ke kandang indukan. Media bertelur yang
digunakan yaitu pasir yang telah disangrai dan disaring dua kali kemudian dicampur
air agar lembab dengan perbandingan satu bagian air dicampur dengan tiga bagian
pasir. Pasir tersebut kemudian ditempatkan dalam kotak plastik dengan ketebalan
pasir sekitar dua sentrimeter.
Telur yang dihasilkan induk dipanen setiap hari dan diletakkan di media tetas.
Pemanenan telur dilakukan dengan cara menyaring pasir sebagai media bertelur
22
dengan air agar telur yang dihasilkan bersih dari pasir, kemudian dilakukan
perhitungan dan dicatat untuk mengetahui jumlah produksi telur harian. Pemanenan
telur dilakukan sampai induk mati seluruhnya untuk mengetahui total produksi telur.
Kandang penetasan dan media tetas telur hari pertama terpisah dengan hari kedua
dan hari-hari selanjutnya.
Telur yang telah disaring dari pasir kemudian diletakkan di atas kertas sampai
agak kering agar tidak menempel satu sama lain dan memudahkan perhitungan.
Telur disimpan dalam media tetas setelah dihitung, kemudian diinkubasi sampai anak
jangkrik menetas. Telur ditetaskan dengan ditempatkan secara merata pada bagian
tengah kain katun. Kain dilipat pada setiap sisinya ke bagian tengah secara
bergantian mulai dari sisi kanan, kiri, atas, dan bawah (Gambar 9). Lipatan kain
dibiarkan longgar agar memudahkan anak jangkrik keluar setelah menetas.
sesuai takaran ke dalam toples bertutup dengan volume 200 g kemudian dikocokkocok sampai semua bahan tercampur homogen.
Bersamaan dengan pemberian hijauan, sebagian daun singkong diletakkan
dalam wadah piring plastik dan disimpan dalam kandang kosong selama tiga hari
(sebagai kontrol penguapan). Selisih berat hijauan pada wadah piring di awal dan
akhir penyimpanan pada tiap penggantian pakan merupakan faktor koreksi terhadap
penguapan air yang digunakan dalam perhitungan konsumsi hijauan. Konsumsi
pakan konsentrat dan hijauan dihitung berdasarkan bahan kering.
Penimbangan dan pencatatan bobot badan jangkrik, mortalitas, dan
pembersihan kandang dilakukan bersamaan dengan penggantian pakan konsentrat
(enam hari sekali). Pencatatan suhu dan kelembaban masing-masing kandang
penelitian dilakukan setiap hari. Pencatatan dilaksanakan pada pagi hari (pukul 07.00
WIB), siang hari (pukul 12.00 WIB), dan sore hari (pukul 17.00 WIB).
24
Tabel 7. Rataan dan Koefisien Keragaman Penampilan Reproduksi Jangkrik Kalung dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam
Pakan Konsentrat
P0
Peubah
P0,2
P0,4
P0,8
Rataan
Rataan
KK (%)
Rataan
KK (%)
Rataan
KK (%)
Rataan
KK (%)
Konsumsi Pakan
(mg/ekor/hari)
90,38
29,69
117,38
38,00
78,24
42,80
82,66
41,00
92,17
5,91
-2,56
9,87
1,00
3,56
5.344,48
10,34
4.980,34
25,34
5.205,44
11,55
4.146,29
19,54
4.919,14
91,12
66,33
102,68
64,88
104,70
73,47
82,91
71,74
95,35
0,22
0,41
0,38
0,33
0,33
12,42
11,52
12,46
10,07
12,33
9,33
12,27
10,04
12,37
Keterangan:
P0 : Perlakuan dengan substitusi 0% tepung kunyit
P0,2 : Perlakuan dengan substitusi 0,2% tepung kunyit
P0,4 : Perlakuan dengan substitusi 0,4% tepung kunyit
P0,8 : Perlakuan dengan substitusi 0,8% tepung kunyit
KK : Koefisien Keragaman
26
Konsumsi Pakan
Pakan menyediakan protein dan energi bagi kelangsungan berbagai proses
dalam tubuh yang dapat mempengaruhi reproduksi, pertumbuhan, perkembangan,
tingkah laku, dan sifat-sifat morfologis lainnya. Konsumsi pakan total harian
(konsentrat dan hijauan) jangkrik selama periode bertelur berkisar antara 78,24117,38 mg/ekor/hari dengan rataan 92,17 mg/ekor/hari (Tabel 7). Rataan konsumsi
pada penelitian ini lebih rendah daripada penelitian Fitriyani (2005) dengan
penggunaan jenis pakan yang sama (konsentrat dan daun singkong) yaitu sebesar
124,8 mg/ekor/hari. Perbedaan jumlah rataan konsumsi ini dapat disebabkan oleh
kepadatan kandang yang berbeda yaitu 48 ekor jangkrik dalam kandang berukuran
60x45x30 cm atau 56,25 cm2/ekor (Fitriyani, 2005), sedangkan penelitian ini
memiliki tingkat kepadatan kandang sebesar 45 cm2/ekor. Tingkat kepadatan
kandang mempengaruhi konsumsi pakan karena semakin banyak jumlah individu per
satuan luas kandang, semakin tinggi pula persaingan dalam mendapatkan pakan
(Janwar, 2001).
Konsumsi pakan tertinggi (117,38 mg/ekor/hari) terdapat pada jangkrik
dengan substitusi 0,2% tepung kunyit (P0,2) sedangkan konsumsi pakan terendah
terdapat pada P0,4 (78,24 mg/ekor/hari). Hasil ini dapat menunjukkan bahwa tepung
kunyit dengan kadar 0,2% dalam pakan konsentrat lebih disukai jangkrik daripada
tepung kunyit dengan kadar 0%; 0,4%; dan 0,8%.
Pola konsumsi pakan total mengalami peningkatan dari masa bertelur hari
pertama sampai hari ke-12 untuk mendukung produksi telur yang tinggi dan sesuai
dengan hasil penelitian Fitriyani (2005) yang memiliki puncak produksi rata-rata
terjadi pada masa bertelur hari ke-12. Grafik konsumsi pakan total jangkrik kalung
dengan substitusi tepung kunyit dalam pakan konsentrat dapat dilihat pada
Gambar 10.
Konsumsi pakan secara umum menurun setelah masa bertelur hari ke-18
(umur 69 hari) tetapi kemudian terjadi peningkatan kembali meskipun pada akhirnya
semakin menurun. Peningkatan konsumsi pada menjelang akhir masa bertelur ini
diakibatkan telah banyak jangkrik yang mati sehingga persaingan untuk memperoleh
pakan tidak terjadi. Jangkrik yang masih hidup dapat dengan mudah mengkonsumsi
pakan tanpa ada saingan dari jangkrik lain.
27
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
P0,2
P0,4
P0,8
Gambar 10. Grafik Konsumsi Pakan Total Jangkrik Kalung Selama Masa
Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan
Konsentrat
Konsumsi pakan total yang lebih rendah daripada hasil penelitian Fitriyani
(2005) disebabkan oleh konsumsi hijauan yang lebih rendah pada penelitian ini, yaitu
23,24 mg/ekor/hari (Tabel 8) berbanding dengan 40,5 mg/ekor/hari, sedangkan
konsumsi konsentrat hampir sama (75,55 mg/ekor/hari berbanding dengan
84,3 mg/ekor/hari). Konsumsi hijauan yang lebih rendah pada penelitian ini dapat
disebabkan oleh perbedaan suhu dan kelembaban selama penelitian. Suhu pada
penelitian Fitriyani (2005) berkisar antara 25-27 C dengan kelembaban 60%-68%
yang lebih rendah daripada penelitian ini, yaitu berkisar antara 67%-94% (suhu
26-29 C). Kelembaban yang tinggi mengakibatkan penguapan air tubuh menjadi
rendah sehingga jangkrik mengkonsumsi lebih sedikit pakan hijauan yang
mengandung kadar air lebih tinggi daripada konsentrat. Hal ini dilakukan oleh
jangkrik untuk memperkecil penguapan air tubuh. Paimin et al. (1999) menyatakan
bahwa jangkrik memperoleh air dari pakan yang dikonsumsi.
28
P0
P0,2
P0,4
P0,8
Rataan
--------------------------------(mg/ekor/hari)-------------------------------
Hijauan
22,96
32,25
17,45
20,30
23,24
Konsentrat
67,08
94,52
70,71
69,87
75,55
Total
90,38
117,38
78,24
82, 66
92,17
Keterangan:
P0 : Perlakuan dengan substitusi 0% tepung kunyit
P0,2 : Perlakuan dengan substitusi 0,2% tepung kunyit
P0,4 : Perlakuan dengan substitusi 0,4% tepung kunyit
P0,8 : Perlakuan dengan substitusi 0,8% tepung kunyit
(0,2%-0,8%)
memiliki
konsumsi
konsentrat
yang
lebih
tinggi
dibandingkan dengan jangkrik yang tidak mendapat substitusi tepung kunyit dalam
pakan konsentrat. Konsumsi konsentrat yang lebih tinggi terdapat pada jangkrik
dengan substitusi 0,2% tepung kunyit (P0,2) yaitu sebesar 94,52 mg/ekor/hari. Jumlah
ini lebih besar daripada rataan konsumsi pakan konsentrat hasil penelitian Fitriyani
(2005) pada masa reproduksi yaitu 84,3 mg/ekor/hari. Kunyit mengandung kurkumin
yang pada kadar tertentu dapat menambah nafsu makan (Darwis et al., 1991), tetapi
jika diberikan berlebihan akan dapat menurunkannya (Sambaiah, 1982). Hasil ini
menunjukkan bahwa kadar tepung kunyit yang dapat menambah nafsu makan
jangkrik yaitu sebanyak 0,2% dalam pakan konsentrat. Hal inilah yang mendukung
mengapa konsumsi pakan total tertinggi diperoleh jangkrik pada P0,2.
Konsumsi pakan konsentrat jangkrik secara umum lebih tinggi daripada
konsumsi hijauan (Tabel 8). Konsentrat memiliki kandungan protein yang lebih
tinggi dan tekstur yang lebih halus daripada hijauan. Jangkrik membutuhkan pakan
dengan protein tinggi untuk mendukung produksi telur dan menurut Patton (1963),
jangkrik menyukai pakan dengan tekstur yang halus. Perbandingan konsumsi pakan
hijauan dan konsentrat pada jangkrik kalung dalam penelitian ini dapat terlihat pada
Gambar 11. Grafik konsumsi pakan hijauan relatif lebih rendah daripada konsentrat
dengan pola (trend) yang berbeda.
29
Konsumsi Hijauan
(mg/ekor/hari)
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
P0,2
P0,4
P0,8
Konsumsi Konsentrat
(mg/ekor/hari)
(a)
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
P0,2
P0,4
P0,8
(b)
Gambar 11. Grafik Konsumsi Pakan Hijauan (a) dan Konsentrat (b) Jangkrik
Kalung Selama Masa Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit
dalam Pakan Konsentrat
Konsumsi hijauan relatif rendah pada awal masa bertelur tetapi cukup tinggi
pada hari ke-42 (umur 93 hari) kemudian menurun, sedangkan konsumsi konsentrat
sangat tinggi pada awal masa bertelur sampai hari ke-12 (umur 63 hari). Konsumsi
konsentrat pada 12 hari pertama lebih tinggi karena konsentrat mengandung protein
dan energi yang cukup tinggi dan diperlukan jangkrik untuk kawin dan berkembang
biak (Hasegawa dan Kubo, 1996).
30
Produksi Telur
Total Produksi Telur per Ekor. Produksi telur jangkrik dimulai pada umur
51 hari setelah tanda-tanda dewasa pada jangkrik muncul (sayap tumbuh sempurna,
ovipositor pada betina telah tumbuh sempurna dan muncul suara kerikan dari
jangkrik jantan). Pemanenan telur dilakukan setiap hari sampai induk mati
seluruhnya.
Selama periode bertelur, jangkrik kalung rata-rata menghasilkan 4.146-5.344
butir/ekor (Tabel 7). Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian
Widiyaningrum (2001) dengan jenis jangkrik, seks rasio, dan pakan kombinasi yang
sama (konsentrat dan daun singkong) yaitu 1.318 butir/ekor (masa bertelur
32-36 hari), Fitriyani (2005) yaitu sebanyak 3.154-4.128 butir/ekor (masa bertelur
46 hari) dan Rahmawati (2005) yaitu sebanyak 5.159 butir/ekor (masa bertelur
43 hari). Produksi telur yang tinggi dapat disebabkan oleh faktor genetik (jenis
jangkrik) dan lingkungan (pakan dan tempat asal jangkrik diperoleh).
Faktor genetik kemungkinan lebih berpengaruh karena faktor lingkungan
jangkrik pada penelitian ini sama dengan Fitriyani (2005) dan Rahmawati (2005).
Faktor lingkungan disini adalah tempat asal jangkrik diperoleh (peternakan jangkrik
di Depok) dan kombinasi pakan yang diberikan (daun singkong dan konsentrat).
Keragaman genetik pada penampilan reproduksi jangkrik juga terlihat pada
pencapaian waktu dewasa dan bertelur pertama. Beberapa penelitian menghasilkan
umur pencapaian dewasa yang beragam yaitu berkisar antara umur 48-60 hari,
seperti yang ditunjukkan di awal pembahasan penampilan reproduksi induk jangkrik
kalung. Produksi telur jangkrik yang beragam menunjukkan bahwa jangkrik kalung
memiliki potensi pengembangan produksi telur yang tinggi. Diagram total produksi
telur
31
(Sitophilus zeamais).
5500
5344,5
5205,4
4980,3
5000
4500
4146,3
4000
3500
3000
0%
0,2%
0,4%
0,8%
Gambar 12.
32
Produksi Telur Harian per Ekor. Produksi telur jangkrik dari hari pertama
sampai hari kedelapan (umur 51-59 hari) membentuk kurva peningkatan bertahap,
kemudian menurun setelah hari kesembilan (Gambar 13). Puncak produksi telur
jangkrik terjadi pada hari keenam sampai kedelapan masa bertelur (umur 57-59 hari)
yaitu 243 butir/ekor pada P0, 248 butir/ekor pada P0,2, 317 butir/ekor pada P0,4 dan
263 butir/ekor pada P0,8. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Fitriyani (2005),
yaitu peningkatan produksi telur terjadi dari hari pertama sampai hari ke-12 (umur
60 hari) dan Rahmawati (2005), yaitu puncak produksi telur terjadi pada hari keenam
masa bertelur (umur 56 hari) dengan rataan jumlah produksi yang tidak berbeda jauh
(265 butir/ekor).
350
300
250
200
150
100
50
0
1
4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64
M asa Bertelur (hari ke-)
P0
P0,2
P0,4
P0,8
Gambar 13. Grafik Produksi Telur Harian Jangkrik Kalung dengan Substitusi
Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat
Produksi telur tertinggi pada awal tetapi terendah pada akhir masa bertelur
terdapat pada jangkrik dengan substitusi 0,4% tepung kunyit. Semakin bertambah
umur, produksi telur jangkrik semakin menurun karena aktivitas reproduksi yang
semakin menurun seiring dengan mortalitas induk yang tinggi (Anggaraswatie,
2004). Total produksi telur jangkrik pada P0,4 bukan merupakan produksi yang
tertinggi tetapi cukup lebih tinggi dibandingkan dengan P0,2 dan P0,8 dengan masa
bertelur yang lebih pendek. Jangkrik dengan substitusi 0% tepung kunyit memiliki
masa bertelur yang paling lama meskipun produksi telurnya paling rendah di awal
masa bertelur, sehingga memiliki total produksi telur yang paling tinggi.
33
34
P0
P0,2
P0,4
P0,8
Rataan
(mg/ekor)
KK
(%)
Rataan
(mg/ekor)
KK
(%)
Rataan
(mg/ekor)
KK
(%)
Rataan
(mg/ekor)
KK
(%)
Awal
835
7,88
892
2,54
816
8,62
932
7,54
Akhir
1075
15,89
650
10,88
983
28,00
900
29,40
Keterangan:
P0 : Perlakuan dengan substitusi 0% tepung kunyit
P0,2 : Perlakuan dengan substitusi 0,2% tepung kunyit
P0,4 : Perlakuan dengan substitusi 0,4% tepung kunyit
P0,8 : Perlakuan dengan substitusi 0,8% tepung kunyit
KK = Koefisien Keragaman (%)
Rataan bobot badan jangkrik betina pada awal masa bertelur lebih seragam
daripada rataan bobot badan akhir. Hal ini diperlihatkan oleh koefisien keragaman
yang lebih kecil pada rataan bobot badan awal. Keragaman yang lebih tinggi pada
rataan bobot badan akhir disebabkan oleh jumlah produksi telur yang dihasilkan
induk pada masing-masing perlakuan juga beragam. Perlakuan dengan substitusi 0%
dan 0,4% tepung kunyit memiliki bobot badan akhir yang tinggi dengan jumlah
produksi telur yang tinggi pula (Tabel 7). Jumlah telur yang tinggi dalam organ
reproduksi mengakibatkan bobot badan jangkrik betina lebih tinggi. Bobot badan
akhir yang tinggi memiliki keuntungan ekonomis dalam hal pemanfaatan jangkrik
sebagai pakan ternak yaitu tepung jangkrik. Semakin berat bobot badan jangkrik
yang diafkir karena jumlah telur yang telah menurun maka akan semakin banyak
tepung jangkrik yang dihasilkan.
35
Bobot badan akhir pada jangkrik dengan substitusi 0,8% tepung kunyit cukup
tinggi tetapi tidak diimbangi dengan produksi telur yang tinggi. Penyebab terjadinya
hal ini kemungkinan karena jangkrik pada P0,8 lebih menyalurkan pakan yang
dikonsumsi menjadi bobot badan dan bukan produksi telur. Sebaliknya, jangkrik
dengan substitusi 0,2% tepung kunyit memiliki bobot badan akhir yang jauh lebih
rendah daripada bobot awal tetapi memiliki produksi telur yang cukup dan lebih
tinggi daripada P0,8. Kemungkinan ada penyimpangan metabolisme pada tubuh
jangkrik dengan perlakuan 0,2% tepung kunyit yang belum diketahui sebabnya.
Bobot badan jangkrik kalung betina selama masa bertelur disajikan pada Gambar 14.
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
0
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
Gambar 14.
P0,2
P0,4
P0,8
penurunan bobot badan juga dapat disebabkan oleh jumlah pakan yang dikonsumsi
lebih sedikit jika dibandingkan dengan penelitian Fitriyani (2005) karena
kelembaban yang lebih tinggi pada penelitian ini. Jangkrik akan tetap memproduksi
telur meskipun asupan pakan sedikit, oleh karena itu jangkrik mengambil zat nutrisi
dari tubuh untuk menghasilkan telur. Konsumsi pakan yang tinggi pada jangkrik
dengan perlakuan 0,2% tepung kunyit mungkin tidak mencukupi untuk memproduksi
telur sehingga jangkrik tersebut harus mengambil zat nutrisi dari tbuhnya sendiri.
Nutrisi dari tubuh yang digunakan jangkrik menjadikan pertambahan bobot badan
menurun sehingga bernilai minus.
12
9,87
8
(mg/ekor/hari)
10
5,91
4
2
1,00
0
-2
0%
-4
0,2%
0,4%
0,8%
-2,56
Persentase Tepung Kunyit
37
60
40
20
0
-20
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
-40
-60
-80
-100
0,2%
0,4%
0,8%
Gambar 16. Grafik Pertambahan Bobot Badan Jangkrik Kalung selama Masa
Bertelur dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan
Konsentrat
Grafik pertambahan bobot badan jangkrik telah menurun pada awal masa
bertelur karena produksi telur pada masa ini sedang meningkat pesat sehingga pakan
yang dikonsumsi didistribusikan untuk memproduksi telur. Peningkatan grafik
pertambahan bobot badan terjadi pada hari ke-30 masa bertelur, karena pada masa ini
produksi telur sudah mulai menurun sehingga pakan yang dikonsumsi dapat
tersalurkan dalam bobot badan.
Konversi Pakan terhadap Produksi Telur
Konversi pakan merupakan perbandingan antara unit pakan yang diberikan
dengan unit produk yang dihasilkan (Hardjosubroto dan Astuti, 1994). Semakin kecil
nilai konversi pakan maka semakin efisien hewan tersebut dalam menghasilkan unit
produksi. Produk yang dihasilkan jangkrik pada masa reproduksi adalah telur, bukan
bobot badan. Konversi pakan terhadap produksi telur diperlukan untuk mengetahui
seberapa efisien jangkrik tersebut dalam menghasilkan satu butir telur. Diagram
konversi pakan terhadap produksi telur jangkrik kalung disajikan pada Gambar 17.
38
0,45
0,41
0,38
0,40
0,33
0,35
0,30
0,25
0,22
0,20
0,15
0,10
0,05
0,00
0%
0,2%
0,4%
0,8%
Gambar 17.
Konversi pakan jangkrik kalung dengan substitusi 0%; 0,2%; 0,4%; dan 0,8%
tepung kunyit masing-masing sebesar 0,22; 0,41; 0,38; dan 0,33. Hasil ini
menunjukkan bahwa konversi pakan terbaik terdapat pada jangkrik dengan substitusi
0% tepung kunyit. Nilai konversi sebesar 0,22 berarti dibutuhkan pakan konsentrat
sebanyak 0,22 mg untuk menghasilkan satu butir telur. Penelitian Rahmawati (2005)
menghasilkan nilai konversi pakan terhadap produksi telur sebesar 0,001 g/butir atau
dibutuhkan pakan sebanyak satu miligram untuk menghasilkan satu butir telur. Hal
ini menunjukkan bahwa jangkrik pada penelitian ini lebih efisien dalam
memproduksi telur. Nilai konversi yang rendah pada perlakuan 0,2% tepung kunyit
terjadi karena masih ada satu ekor jangkrik yang memproduksi telur yang cukup
banyak pada akhir masa bertelur sehingga nilai konversi ini dianggap kurang valid.
Grafik konversi pakan terhadap produksi telur jangkrik kalung per enam hari dapat
dilihat pada Gambar 18.
Pola grafik konversi ini hampir sama dengan hasil penelitian Rahmawati
(2005) yaitu meningkat pada sepuluh hari keempat masa bertelur. Peningkatan nilai
konversi ini disebabkan oleh produksi telur yang mulai menurun sehingga pakan
yang dikonsumsi jangkrik digunakan untuk mempertahankan hidup.
39
1,80
1,60
1,40
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
0,00
0
12
18
24
30
36
42
48
54
60
P0,2
P0,4
P0,8
Gambar 18. Grafik Konversi Pakan terhadap Produksi Telur Jangkrik Kalung
dengan Substitusi Tepung Kunyit dalam Pakan Konsentrat
Konversi pakan dari awal masa bertelur sampai hari ke-36 cenderung konstan
dan lebih rendah daripada konversi pakan setelah hari ke-36 (umur 87 hari). Grafik
ini menunjukkan bahwa jangkrik lebih efisien dalam memproduksi telur pada awal
masa bertelur sampai mencapai hari ke-36. Jangkrik yang sudah memasuki hari
ke-42 masa bertelur (umur 93) secara umum memiliki nilai konversi pakan lebih dari
satu dan dapat dikatakan sudah tidak efisien lagi. Hal ini didukung oleh tingginya
konsumsi pakan jangkrik dan rendahnya produksi telur pada hari ke-42 masa bertelur
(Gambar 10 dan 13). Jangkrik yang sudah berumur 93 hari lebih baik diafkir untuk
dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan pakan karena sudah tidak efisien lagi dalam
menggunakan pakan untuk memproduksi telur.
Waktu Tetas
Lama waktu tetas telur jangkrik kalung pada penelitian ini berkisar antara
12-14 hari dengan rataan masing-masing perlakuan yaitu 12,43 (P0); 12,45 (P0,2);
12,33 (P0,4); dan 12,28 hari (P0,8). Waktu penetasan ini relatif seragam dan lebih
singkat dibandingkan dengan penelitian Darwini (2002) yang menggunakan media
tetas pasir yaitu waktu tetas dengan kisaran 13-14 hari.
Pusparini
(2001)
menyatakan
bahwa
perbedaan
media
penetasan
mempengaruhi waktu tetas jangkrik kalung. Telur yang ditempatkan pada media
penetasan berupa kapas lebih cepat menetas dibandingkan pada pasir. Media tetas
40
dari kain katun dan kapas yang digunakan dalam penelitian ini mengkondisikan telur
lebih cepat menetas karena suhu dan kelembaban relatif stabil. Kelembaban relatif
yang dibutuhkan untuk penetasan telur jangkrik berkisar antara 65-85% dengan suhu
26C (Sridadi dan Rachmanto, 1999). Kelemahan yang teramati dari media tetas kain
dan kapas yaitu telur menjadi mudah berjamur jika kelembabannya terlalu tinggi.
Mortalitas Induk
Mortalitas induk merupakan salah satu hal yang penting dalam budidaya
jangkrik karena jumlah induk yang hidup menentukan banyaknya produksi telur
yang dapat dihasilkan. Jika kematian banyak terjadi pada awal masa bertelur, maka
jumlah produksi telur yang dapat dihasilkan akan berkurang.
Kematian telah terjadi pada enam hari pertama masa bertelur dan terus
berlanjut sampai akhir masa bertelur (Gambar 19). Puncak produksi telur jangkrik
terjadi pada sepuluh hari pertama masa bertelur yang merupakan masa produktif
jangkrik pada penelitian ini. Paimin et al. (1999) menyatakan bahwa jangkrik
cenderung bersifat kanibal pada masa-masa produktif meskipun tersedia pakan yang
cukup. Mortalitas hampir mencapai angka 100% pada menjelang akhir masa bertelur.
Anggaraswatie (2004) mengungkapkan bahwa produksi telur secara perlahan
menurun kemudian induk berhenti bertelur dan mati. Mortalitas yang tinggi pada
menjelang akhir masa bertelur dikarenakan jangkrik betina telah mengalami
Mortalitas (%)
12
18
24
30
36
42
48
54
60
Gambar 19.
P0,2
P0,4
P0,8
42
Tabel 10.
Konsumsi
Pakan Total
(mg/ekor/hari)
Harian
Total
P0
100,50 (C)
125,9 (C)
P0,2
119,44 (D)
P0,4
P0,8
Perlakuan
PBB
Konversi
Nilai
Kumulatif
4535,8 (C)
2,45 (C)
0,14 (B)
11
129,3 (B)
4652,8 (B)
-2,56 (D)
0,17 (D)
94,67 (A)
138,5 (A)
4984,6 (A)
7,31 (A)
0,13 (A)
20
95,35 (B)
107,5 (D)
3870,9 (D)
6,65 (B)
0,15 (C)
10
Keterangan:
P0 : Perlakuan dengan substitusi 0% tepung kunyit
P0,2 : Perlakuan dengan substitusi 0,2% tepung kunyit
P0,4 : Perlakuan dengan substitusi 0,4% tepung kunyit
P0,8 : Perlakuan dengan substitusi 0,8% tepung kunyit
PBB : Pertambahan Bobot Badan (mg/ekor/hari)
Nilai mutu peringkat : A=4, B=3, C=2, D=1
43
50
51
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, I. 1997. Pengaruh tepung rimpang kunyit (Curcuma domestica Val) terhadap
palatabilitas umpan dan reproduksi mencit putih (Mus musculus). Skripsi.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Amir, M., Bariyah dan W. A. Baringbing. 1976. Pengaruh kimia genus curcuma
terhadap fertilitas lalat rumah. Pemberitaan LPTI 10: 31-36.
Anggaraswatie, S. 2004. Karakteristik reproduksi jangkrik jerman (Gryllus sp.) yang
diberi pakan konsentrat dengan daun singkong dan daun pepaya. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Aryani, R. 2002. Pengaruh tipe kandang bersekat terhadap pertumbuhan jangkrik
kalung (Gryllus bimaculatus). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Borror, D.J., C.A. Triplehorn, dan N.F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Edisi XI. Penerjemah: Soetiyono, P. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Budi, H. Y. 1999. Rahasia Beternak Jangkrik. Semarang.
Cheeke, P. R. 1989. Toxicants of Plant Origin. Vol II: Glycosides. CRC Press Inc.,
Boca Rotan, Florida, USA.
Clifford, C. W., R. M. Roe and J. P. Woodring. 1977. Rearing methods for obtaining
house crickets, Acheta domesticus of known age, sex, and instar. Ann.
Entomol. Soc. Am. 71:40-42.
Corey, S., B. Holy., N. Patrick and B. Patrick. 2000. Crickets. 1st Edit. Arizona
University, Arizona.
Darjanto dan Murjati. 1980. Ketela Pohon: Khasiat, Racun dan Masakan. Cetakan
Kedua. Yayasan Dewi Sri, Bogor
Darwini. 2002. Pengaruh tipe kandang bersekat terhadap karakteristik reproduksi
jangkrik kalung. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Darwis, S. N., A. B. D. Madjo Indo dan S. Hasiyah.1991. Tumbuhan Obat dan
Famili Zingiberaceae. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor.
Destephano, D. B., U. E. Brady, and C. A. Farr. 1982. Factors influencing
oviposition behavior in cricket, Acheta domesticus. Ann. Entomol. Soc. Am.
75: 111-114.
52
Eviyanti. 1993. Pemberian tepung daun singkong dalam ransum dan pengaruhnya
terhadap perfomans ayam broiler. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Fitriyani, J. 2005. Performa jangkrik kalung (Gryllus bimaculatus) pada kandang
dengan atau tanpa pengolesan lumpur dan dengan atau tanpa penyekatan.
Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hadi, S. 1985. Manfaat temulawak ditinjau dari segi kedokteran. Prosiding
Simposium Nasional Temulawak. Lembaga Penelitian Universitas
Padjadjaran, Bandung.
Hardjosubroto, W. dan J. M. Astuti. 1994. Buku Pintar Peternakan. Cetakan kedua.
Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Hasegawa, Y dan H. Kubo. 1996. Jangkrik. Seri Misteri Alam. Terjemahan S.
Handoko. PT Elex Media Komputindo, Gramedia, Jakarta.
Herdiana, D. 2001. Pengaruh pakan terhadap performa tiga jenis jangkrik lokal.
Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
http://www.pdrhealth.com/drug_info/0087.shtml. Turmeric. [8 Juni 2006]
http://www.repvet.co.za/files/herp/cricket_anat.jpg. Cricket Anatomy. [13 Juli 2006]
http://www.wikipedia.org/wiki/Curcumin. Curcumin. [8 Juni 2006]
Janwar. 2001. Pertumbuhan dan mortalitas jangkrik cliring pada masa pembesaran
dengan kepadatan dan jenis pakan tambahan yang berbeda. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Jurd, R. D. 1997. Instant Notes in Animal Biology. BIOS Scientific Publishers Ltd.,
New York.
Lumowo, A. T. 2001. Pertumbuhan tiga jenis jangkrik lokal (kalung, cliring, dan
cendawang) dengan pakan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Mansy, F. 2002. Performa jangkrik kalung (Gryllus bimaculatus) diberi kombinasi
konsentrat dengan daun sawi dan daun singkong selama masa pertumbuhan.
Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Matheson, R. 1951. Laboratory Guide in Entomology for Introductory Courses. 2nd
Edit. Comstock Publishing Company Inc., New York.
Natarajan, C. P. and Y. S. Lewis. 1980. Technology of ginger and tumeric.
Proceeding of the National Seminar of Ginger and Tumeric. Central
Plantation Crops Research Institute, Kerala, India.
53
Oda, H. dan H. Kubo. 1997. Jangkrik Ladang. Seri Misteri Alam 50. Terjemahan: B.
Hangkoso. PT Elex Media Komputindo, Gramedia, Jakarta.
Paimin, F. B., L. B. Pudjiastuti dan Erniwati. 1999. Sukses Beternak Jangkrik.
Cetakan I. Penebar Swadaya, Jakarta.
Paimin, F. B. 1999. Mengatasi Permasalahan Jangkrik. Cetakan I. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Panut, I. 2003. Pengaruh pemberian pakan konsentrat dengan daun kangkung dan
daun singkong terhadap produktivitas jangkrik kalung umur 60-90 hari.
Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Patton, R. L. 1963. Rearing the house crickets Acheta domesticus on commercial
feed. Ann. Entomol. Soc. Am 56: 250-257.
Purseglove, J. W., E. G. Brown, C. L. Green and S. R. J. Robbins. 1981. Spices. Vol.
2. Longman, London.
Pusparini, P. 2001. Pengaruh jenis jangkrik dan media tetas terhadap daya
reproduksi.. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Raharjo, A. 1999.Langkah demi langkah beternak jangkrik produktif. Bonus Trubus.
no. 356. Edisi Juli th XXX, Jakarta.
Rahmawati, N. 2005. Karakterisrik reproduksi jangkrik kalung (Gryllus bimaculatus)
dngan dan tanpa pengolesan lumpur pada stoples. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ravindran, V., E. T. Kornegay dan A. S. B. Rajaguru. 1985. Influence of processing
method and storage time of cyanide of cassava leaf meal. J. Anim. Feed Sci.
and Tech. 17: 227-234.
Rifadah, N. 2000. Pengaruh genotip (jenis jangkrik) dan lingkungan (pakan) terhadap
daya reproduksi jangkrik lokal dan jangkrik jerman. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sambaiah, K., S. Ratankumr, U. S. Kamnna, M. N. Satyanarayana and M. V. L. Rao.
1982. Influence constituents and curcuma on growth, blood, constituents and
serum enzymes in rat. J. Food Science and Technology 19:187.
Shankaracharya, N. B. dan C. P. Natarajan. 1977. Role of Spices in Health. J. Food.
Sci.: 99-120.
Sribimawati, T. 1984. Serangga dan Lingkungan Hidup. CV Akadama, Jakarta.
Sridadi dan Rachmanto. 1999. Teknik Beternak Jangkrik. Cetakan I. Kanisius,
Yogyakarta.
54
55
LAMPIRAN
56
Hari ke-
Kelembaban (%)
Pagi
Siang
Sore
Rataan
Pagi
Siang
Sore
Rataan
1-3
27,50
28,00
28,00
27,83
86,00
85,75
88,50
86,75
4-6
27,50
27,67
27,17
27,45
89,00
83,33
85,00
85,78
7-9
26,50
27,50
27,00
27,00
88,00
87,50
87,00
87,50
10-12
26,33
27,33
27,00
26,89
88,50
87,67
83,00
86,39
13-15
26,50
26,67
26,75
26,64
89,00
88,00
89,00
88,67
16-18
26,33
27,67
27,00
27,00
86,33
84,00
84,75
85,03
19-21
26,75
27,00
27,25
27,00
81,50
77,50
78,75
79,25
22-24
27,25
28,00
27,75
27,67
73,33
76,00
76,50
75,28
25-27
27,33
27,67
28,50
27,83
77,67
75,33
73,50
75,50
28-30
27,00
27,83
28,00
27,61
79,00
78,33
81,00
79,44
31-33
26,75
27,75
27,50
27,33
81,25
79,50
81,50
80,75
34-36
26,17
26,50
26,50
26,39
84,67
86,50
86,00
85,72
37-39
26,25
26,50
27,25
26,67
85,50
88,50
84,50
86,17
40-42
26,50
27,00
27,50
27,00
81,50
85,50
84,50
83,83
43-45
26,83
27,67
27,75
27,42
78,17
77,33
78,75
78,08
46-48
26,00
27,67
26,84
79,67
74,67
77,17
49-51
26,67
27,83
27,25
76,17
73,83
75,00
52-54
27,50
27,50
27,50
76,00
76,50
76,25
55-57
26,83
28,50
27,67
79,17
76,00
77,59
58-60
61-63
26,00
26,00
78,00
78,00
64-66
27,50
28,00
27,75
86,50
84,00
85,25
Rataan
26,76
27,51
27,39
27,18
81,29
82,82
81,59
82,14
57
Type
fixed
Levels
4
Values
P0; P0,2; P0,4; P0,8
DF
3
187
190
S = 21,7042
Seq SS
1945,5
88090,8
90036,3
Adj SS
1945,5
88090,8
R-Sq = 2,16%
Adj MS
648,5
471,1
F
1,38
P
0,251
R-Sq(adj) = 0,59%
Type
fixed
Levels
4
Values
P0; P0,2; P0,4; P0,8
DF
3
91
94
S = 33,7302
Seq SS
5894
103533
109427
Adj SS
5894
103533
R-Sq = 5,39%
Adj MS
1965
1138
F
1,73
P
0,167
R-Sq(adj) = 2,27%
Type
fixed
Levels
4
Values
P0; P0,2; P0,4; P0,8
DF
3
96
99
S = 36,5806
Seq SS
6633
128462
135094
Adj SS
6633
128462
R-Sq = 4,91%
Adj MS
2211
1338
F
1,65
P
0,182
R-Sq(adj) = 1,94%
Type
fixed
Levels
4
Values
PO; P0,2; P0,4; P0,8
DF
3
8
11
Seq SS
25716
33292
59008
Adj SS
25716
33292
R-Sq = 43,58%
Adj MS
8572
4162
F
2,06
P
0,184
R-Sq(adj) = 22,42%
58
Type
fixed
Levels
4
Values
PO; P0,2; P0,4; P0,8
DF
3
8
11
S = 219,137
Seq SS
251458
384167
635625
Adj SS
251458
384167
R-Sq = 39,56%
Adj MS
83819
48021
F
1,75
P
0,235
R-Sq(adj) = 16,90%
Type
fixed
Levels
4
Values
P1, P2, P3, P4
DF
3
552
555
S = 71.8118
Seq SS
24516
2846630
2871147
Adj SS
24516
2846630
R-Sq = 0.85%
Adj MS
8172
5157
F
1.58
P
0.192
R-Sq(adj) = 0.32%
Type
fixed
Levels
4
Values
P0; P0,2; P0,4; P0,8
DF
3
324
327
S = 1,28978
Seq SS
1,635
538,987
540,622
Adj SS
1,635
538,987
R-Sq = 0,30%
Adj MS
0,545
1,664
F
0,33
P
0,805
R-Sq(adj) = 0,00%
Type
fixed
Levels
4
Values
P0; P0,2; P0,4; P0,8
DF
3
33
36
S = 25,8455
Seq SS
743,5
22043,7
22787,2
Adj SS
743,5
22043,7
R-Sq = 3,26%
Adj MS
247,8
668,0
F
0,37
P
0,774
R-Sq(adj) = 0,00%
59
Mean
22,96
32,25
17,45
20,30
StDev
17,88
31,21
14,38
17,60
CoefVar
77,85
96,75
82,38
86,69
Minimum
5,44
4,65
2,80
4,53
Median
19,03
26,14
12,81
12,93
Maximum
77,67
131,64
52,65
65,82
Mean
67,08
94,52
70,7
69,9
StDev
31,96
27,70
32,8
35,1
CoefVar
47,65
29,31
46,34
50,30
Minimum
25,17
66,64
25,7
17,5
Median
59,57
87,52
59,9
62,7
Maximum
114,32
143,75
121,7
114,6
Mean
90,38
117,4
78,2
82,7
StDev
26,83
38,0
42,8
41,0
CoefVar
29,69
32,36
54,65
49,60
Minimum
56,13
52,3
11,5
9,63
Median
84,56
114,1
86,1
91,6
Maximum
130,92
170,3
138,4
126,5
Mean
835,0
892,0
816,0
932,0
StDev
65,8
22,6
70,3
70,3
CoefVar
7,88
2,54
8,62
7,54
Minimum
748,0
876,0
764,0
880,0
Median
846,0
892,0
788,0
904,0
Maximum
900,0
908,0
896,0
1012,0
Mean
1075,0
650,0
983
900
StDev
170,8
70,7
275
265
CoefVar
15,89
10,88
28,00
29,40
Minimum
900,0
600,0
700
700
Median
1050,0
650,0
1000
800
Maximum
1300,0
700,0
1250
1200
StDev
CoefVar Minimum Median Maximum
26,21
443,46
-24,71
-1,29
46,29
32,3 -1263,99
-51,8
-5,79
48,8
23,1
233,91
-15,8 -0,220
42,4
26,6
2664,61
-25,3
-3,59
36,4
Mean
91,12
102,68
104,7
82,91
StDev
60,45
66,62
76,9
59,48
CoefVar
66,33
64,88
73,47
71,74
Minimum
1,00
6,00
6,00
0,00
Median
76,09
84,61
97,5
64,75
Maximum
243,03
248,37
316,5
262,91
60
Mean
12,425
12,463
12,333
12,275
StDev
1,432
1,255
1,151
1,232
CoefVar
11,52
10,07
9,33
10,04
Minimum
10,000
10,000
10,000
10,000
Median
12,000
12,000
12,000
12,000
Maximum
19,000
17,000
16,000
17,000
Mean
37,38
38,85
31,56
42,96
StDev
24,65
15,37
13,43
18,00
CoefVar
65,96
39,55
42,55
41,90
Minimum
23,20
12,50
13,33
13,01
Median
28,07
39,74
28,03
50,00
Maximum
95,83
60,71
50,00
66,67
BK segar (%)
BK sisa (%)
Daun Singkong
25,70
68,80
Konsentrat
86,60
83,58
87,45
85,93
86,50
84,97
87,15
86,40
61
160
140
B o b o t B ad an B etin a
(m g /ek o r)
Konsumsi Hijauan
(mg/ekor/hari)
180
120
100
80
60
40
20
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
0
0
12
18
24
30
36
42
48
54
60
66
P0,2
P0,4
12
18
24
P0,8
P0
P0,2
18
24
30
36
42
48
54
60
66
Konsumsi Konsentrat
(mg/ekor/hari)
P0,2
P0,4
12
12
18
P0,8
30
36
42
48
54
60
66
-40
-60
-80
-100
0,4%
0,8%
(f)
Konversi Pakan terhadap Produksi
Telur
24
1,80
1,60
1,40
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
0,00
0
P0,4
12
18
24
30
36
42
48
54
60
54
60
P0,8
P0
P0,2
(c)
P0,4
P0,8
(g)
350
300
250
Mortalitas (%)
66
0
-20
60
20
0%
12 18 24 30 36 42 48 54 60 66
P0
54
40
P0,8
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
6
48
60
(b)
42
(e)
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
6
36
P0,4
(a)
30
200
150
100
50
0
1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 64
M asa Bertelur (hari ke-)
P0
P0,2
P0,4
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
12
18
30
36
42
48
P0,8
P0
(d)
24
P0,4
P0,8
(h)
62