KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGANTAR
ii
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4. Penguatan Materi
B. Tujuan
23
C. Sasaran
23
BAB II LANDASAN
25
A. Landasan Filosofis
25
B. Landasan Yuridis
26
C. Landasan Sosiologis
27
29
A. Tunanetra
29
B. Tunarungu
34
C. Tunagrahita
36
D. Tunadaksa
43
E. Tunalaras
53
F. Tunanetra Ganda
58
G. Autis
62
68
83
103
103
105
C. Tunagrahita
106
D. Tunadaksa
107
E. Tunalaras
108
F. Tunanetra Ganda
109
G. Autis
110
114
119
BAB IV PENUTUP
121
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Berdasarkan pengertian tersebut, ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, sedangkan yang kedua
adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran.
Kurikulum pada dasarnya selalu mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada perubahan kebutuhan
peserta didik. Demikian juga kurikulum pendidikan khusus. Kurikulum pendidikan
khusus 2013 dikembangkan bertolak dari tantangan internal, eksternal, penyempurnaan
pola pikir, penguatan tata kelola kurikulum dan penguatan materi.
penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035
pada saat angkanya mencapai 70%. Oleh sebab itu tantangan besar yang dihadapi
adalah bagaimana mengupayakan agar sumberdaya manusia usia produktif yang
melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi sumberdaya manusia yang
memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi
beban. Tantangan internal berkaitan dengan peserta didik berkebutuhan khusus
adalah masih rendahnya angka partisipasi murni (APM). ABK yang masih rendah
di bawah 35%.
b. Tantangan Eksternal
Tantangan eksternal antara lain terkait dengan arus globalisasi dan berbagai isu
yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi,
kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat
internasional. Arus globalisasi akan menggeser pola hidup masyarakat dari agraris
dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern
seperti dapat terlihat di World Trade Organization (WTO), Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN)
a. pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada
peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang
dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama;
b. pola pembelajaran satu arah (interaksi guru-peserta didik) menjadi pembelajaran
interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/
media lainnya);
c. pola pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran secara jejaring (peserta didik
dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta
diperoleh melalui internet);
d. pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif-mencari (pembelajaran siswa
aktif mencari semakin diperkuat dengan model pembelajaran pendekatan sains);
e. pola belajar sendiri menjadi belajar kelompok (berbasis tim);
f. pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis alat multimedia;
g. pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan
memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik;
h. pola
pembelajaran
ilmu
pengetahuan
tunggal
(monodiscipline)
menjadi
4. Penguatan Materi
Penguatan materi dilakukan dengan cara kajian konseptual, yuridik dan empirik. dan
perluasan materi yang relevan bagi peserta didik berkebutuyhan khusu. Sesuai dengan
hasil kajian materi ditemukan indikator utama dalam pengembangan kurikulum
pendidikan khusus ini di kelompokkan menjadi 3 yaitu akademik, kecakapan hidup
dan kompensatoris/ kekhususan yang selanjutnya dituangkan dalam struktur
kurikulum dengan bobot yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus peserta didik.
Disamping pertimbangan kelompok materi tersebut juga dipertimbangkan unsur
tingkat intelektual peserta didik, sehingga komposisinya menjadi menjadi 3 yaitu
kurikulum bagi pesertadidik yang tidak disertai dengan hambatan intelektual dan
kurikulum bagi pesertadidik yang disertai hambatan intelektual.
5. Karakteristik
Sesuai dengan hasil kajian konseptual, empirik dan yuridik, karakteristik kurikulum
PKLK 2013 sebagai berikut:
a. Karakteristik umum
1) Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman
belajar terencana, dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di
sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar.
2) Mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan serta menerapkannya
dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat.
3) Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap,
pengetahuan dan keterampilan
4) Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih
lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran
5) Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements)
kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran
dikembangkan
untuk
mencapai
kompetensi
yang
dinyatakan
dalam
kompetensi inti
6) Kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling
memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antar mata pelajaran
dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal).
SM
S M P/SMPLB
SD/SDLB
(Kelas atas)
SD/SDLB
(Kelas bawah)
b. Karakteristik khusus
1) Tunanetra
Kurikulum untuk tunanetra pada jenjang pendidikan SDLB/ SD/ MI, memiliki
karakteristik khusus sebagai berikut:
sekolah
merupakan
bagian
dari
masyarakat
yang
memberikan
mengembangkan sikap,
pengetahuan,
dan
keterampilan
serta
kompetensi
inti
kelas
menjadi
unsur
pengorganisasi (organizing
dikembangkan
untuk
mencapai
kompetensi yang
kompetensi
dasar
dikembangkan
didasarkan
pada
prinsip
Matematika, IPA dan IPS) untuk kelas I (69%), II, (71%), III (72%) dan
kelas IV, V, VI masing-masing 71%. Untuk kelompok B ( Seni Budaya,
Prakarya, Penjas dan Orkes I (25%), II (24%), III (22%) dan kelas IV, V,
VI masing-masing 24%. Kelompok C yaitu pendidikan program khusus/
kompensatoris semua kelas I, II, III masing-masing 2 jam (6%) dan kelas
IV, V, VI masing-masing 2 jam atau sekitar 5%.
Kurikulum pendidikan khusus 2013 bagi tunanetra pada jenjang SMPLB/ SMP/
MTs karakteristik sebagai berikut:
Sekolah
merupakan
bagian
dari
masyarakat
yang
memberikan
mengembangkan
sikap,
pengetahuan,
dan
keterampilan
serta
kompetensi
inti
kelas
menjadi
unsur
pengorganisasi
organizing
dikembangkan
untuk
mencapai
kompetensi yang
kompetensi
akumulatif,
dasar
dikembangkan
didasarkan
pada
prinsip
akses
teknologi
dan
informasi
meminimalisir
hambatan
belajar
sebagai
sebagai
bagian
akibat
upaya
langsung
dari
ketunanetraanya.
yaitu
hambatan
sosialisasi,
mobilitas,
keterbatasan
dengan
2) Tunarungu
a) Kurikulum
untuk
anak
tunarungu
disusun
secara
berjenjang
dan
3) Tunagrahita
Kurikulum bagi anak tunagrahita perlu disesuaikan dengan kondisi tunagrahita
dan kebutuhan tunagrahita mandiri di kehidupan sekolah, keluarga dan
masyarakat. Keterbatasan tunagrahita sebagai individu yang menyandang
keterbatasan intelektual atau hambatan kognitif dan intelektual menurut Brown
dan koleganya di tahun 1979 (Kauffman & Hallahan, 2011: 557) berfokus pada
keterampilan fungsional sesuai dengan usia kronologis dalam setting lingkungan
yang alami (chronologically age-appropriate functional skills in natural
environments).
Karakteristik kurikulum peserta didik tunagrahita, adalah:
Individualisasi: pencapaian kompetensi dasar didasarkan pada kondisi masingmasing anak secara individual.
Mengintegrasikan
akademik
fungsional
dan
kompensatoris:
substansi
10
Tema relevan dengan budaya di keluarga dan lingkungan terdekat anak: tema
aktivitas kehidupan sehari-hari mengikuti budaya di lingkungan keluarga dan
lingkungan terdekat anak. Lingkungan terbatas ini dikarenakan keterbatasan
kompetensi anak.
4) Tunadaksa
Peserta didik tunadaksa hakekatnya adalah seseorang yang memiliki hambatan
dalam aspek motorik, baik karena bentuk/kondisi organ gerak yang tidak normal
maupun karena fungsi organ gerak yang tidak normal. Manifestasi hambatan
motorik itu dapat dalam bentuk kekakuan organ gerak, kelayuhan, gangguan
11
berkaitan
dengan
pemulihan/peningkatan
fungsi
fisik
dan
kelompok
13
5) Tunalaras
Karakteristik kurikulum bagi pesertadidik tunalaras pada jenjang sekolah dasar
diantaranya sebagai berikut:
Mengembangkan
keseimbangan
antara
pengembangan
sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan
psikomotorik;
Mengembangkan
sikap,
pengetahuan,
dan
keterampilan
serta
Memberi
waktu
yang
cukup
leluasa
untuk
mengembangkan berbagai
Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih
lanjut dalam kompetensi dasar matapelajaran;
pembelajaran
Kompetensi
saling
dasar
dikembangkan
memperkuat (reinforced)
didasarkan
dan
pada
prinsip akumulatif,
Program khusus dalam Kurikulum Pendidikan Khusus Tahun 2013 bagi Peserta
Didik Tunalaras adalah Bina Prilaku, Pribadi, dan Sosial. Program ini berisi daftar
kompetensi inti dan kompetensi dasar yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan
khusus peserta didik tunalaras. Dalam implementasinya, kompetensi-kompetensi
tersebut dapat dipilih oleh guru sesuai dengan kebutuhan khusus masing-masing
peserta didik tunalaras. Program khusus ini bukan mata pelajaran tetapi memiliki
beban belajar yang setara dengan 2 jam mata pelajaran.
Mengembangkan
keseimbangan
antara
pengembangan
sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan
psikomotorik;
Mengembangkan
sikap,
pengetahuan,
dan
keterampilan
serta
Memberi
waktu
yang
cukup
leluasa
untuk
mengembangkan berbagai
Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih
lanjut dalam kompetensi dasar matapelajaran;
pembelajaran
Kompetensi
saling
dasar
dikembangkan
memperkuat (reinforced)
didasarkan
dan
pada
prinsip akumulatif,
Program khusus dalam Kurikulum Pendidikan Khusus Tahun 2013 bagi Peserta
Didik Tunalaras SMPLB/SMP/MTs adalah Bina Prilaku, Pribadi, dan Sosial.
Program ini berisi daftar kompetensi inti dan kompetensi dasar yang disiapkan
untuk
memenuhi
kebutuhan
khusus
peserta
didik
tunalaras.
Dalam
6) Tunanetra Ganda
Karakteristik kurikulum tunanetra ganda adalah
16
natural dan konkrit yang memastikan titik berat pada proses dan
pengembangan konsep bagi pereta didik.
Area pelajaran diberikan untuk mengganti mata pelajaran sebagai bentuk dari
pengembangan
kurikulum
fungsional
dan
respon
atas
kompleksitas
Area pelajaran terdiri dari : area komunikasi sosial, area binadiri dan area
bekerja sedangkan aspek-aspek akademis dipadukan dalam ketiga area
tersebut dan dikenal dengan akademik fungsional.
Penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran
dalam
bentuk
tematik
yang
17
7) Autis
Karakteristik khusus kurikulum peserta didik autis adalah:
Kurikulum dirancang dan untuk diterapkan di sekolah khusus autis dari tingkat
taman kanak-kanak sampai dengan sekolah menengah.
Sekolah khusus autis diperuntukan bagi anak-anak autis berat dan atau
mengalami hambatan kecerdasan.
Pada tingkat SD kelas awal (1-3) muatan kurikulum diarahkan untuk mirip
atau mendekat kepada muatan kurikulum SD regular, dengan maksud supaya
dapat diketahui anak-anak autis yang bisa mengikuti kurikulum umum dan
anak autis yang tidak bisa. Selambat-lambatnya pada kelas 3 SD, guru
bersama tim sekolah harus sudah dapat mendeteksi dan memutuskan anak
autis yang memungkinkan untuk didorong ke sekolah inklusif dan mana yang
harus tetap di sekolah khusus autis. Anak autis berat dan atau mengalami
hambatan intelektual, tetap belajar di sekolah khusus autis, sedangkan anak
autis yang tidak mengalami hambatan kecerdasan didorong untuk masuk ke
sekolah regular (sekolah inklusif).
Pada tingkat SD kelas tinggi (4-6) muatan kurikulum sudah secara spesifik
dirancang untuk anak autis berat dan atau mengalami hambatan intelektual.
Oleh karena itu, muatan akademiknya hampir seimbang dengan muatan
pengembangan keterampilan dan kompensatorik.
Karena sekolah khusus autis diperuntukan bagi anak autis berat dan atau
mengalami hambatan intelektual, maka instrument (soal) ujian akhir di kelas 6
SD dikembangkan sendiri oleh masing-masing sekolah, disesuaikan dengan
kemajuan dan capaian siswa.
18
20
30
50
Rendah (1-3)
50
20
30
Tinggi (4-6)
30
40
30
SMP
20
60
20
SMA/SMK
10
80
10
Akademik
Keterampilan
Program khusus
SD
Keterangan:
Akademik: muatan yang ada pada mata pelajaran di sekolah regular, seperti
agama, pancasila, matematika, IPA, IPS dan lain-lain.
Keterampilan: mencakup dua bidang yaitu keterampilan bina diri dan
keterampilan kerja. Pada tingkat taman kenak-kanak dan SD, keterampilan
ditekankan pada bini diri, sedangkan pada tingkat SMP ditekankan pada
persiapan keterampilan kerja dan di SMA ditekankan pada keterampilan
kerja.
Program khusus: mencakup mata ajar sensori integrasi, bicara dan
komunikasi, keterampilan social.
19
Selain matapelajaran yang berlaku bagi peserta didik pada umumnya, peserta
didik berkesulitan belajar dan lamban belajar disediakan program khusus
berupa Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial
Program khusus Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial setara dengan
2 (dua) jam pelajaran per minggu, dapat diselenggarakan secara inklusif
menggunakan waktu dan tempat belajar yang melekat pada setiap mata
pelajaran yang ada, dan/atau menggunakan tambahan waktu khusus di luar
jam belajar, dengan maupun tanpa Guru Pembimbing Khusus di ruang khusus
atau ruang sumber yang tersedia di sekolah.
Peserta didik kesulitan belajar dan lamban belajar ditetapkan berdasarkan hasil
asesmen yang dilakukan sekolah secara profesional oleh tenaga yang
kompeten di bidangnya masing-masing (psikolog, ortopedagog, dokter,
konselor, ahli matapelajaran, dll) sehingga dapat diketahui tingkat kebutuhan
bantuan bimbingan belajar yang dibutuhkan peserta didik yang bersangkutan.
20
9) Cerdas Istimewa
Kurikulum untuk siswa cerdas istimewa dikembangkan dengan pendekatan
pendidikan yang adaptif (adaptive education) yaitu materi pendidikan yang
diberikan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi murid, selanjutnya disebut
dengan kurikulum berdiferensiasi.Maksud diadakan kurikulum berdiferensiasi
adalah untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, menghindari kebosanan dan
menempatkan agar perkembangan anak menjadi lebih baik. Diferensiasi
kurikulum bagi anak cerdas istimewa dapat dibagi dalam 4 bentuk, yaitu:
21
sama dengan anak anak gifted lainnya dalam berbagai usia mengerjakan
berbagai proyek yang diminatinya.Kelas-kelas seperti ini sering juga
disebut Kangaroo-class.
individual.
Oleh
karena
itu
dibutuhkan
program
yang
disesuaikan
dengan
individu
untuk
memenuhi
khusus
melalui
suatu
Tim.Dalam
tahap
ini
22
Menentukan
penempatan.
Tahap
ini
berkenaan
dengan
anak.Modifikasi
yang
mendasar
seharusnya
B. Tujuan
Kurikulum pendidikan khusus 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia
agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman,
produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
C. Sasaran
Kurikulum pendidikan khusus 2013 diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus
dengan atau tanpa hambatan intelektual, dengan rincian sebagai berikut:
23
1. Tunanetra,
(blind) maupun kurang lihat (low vision), pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan
SMP)
2. Tunarungu, yaitu peserta didik dengan hambatan pendengaran, meliputi tunarungu
kelompok tuli (deaf) dan tunarungu kurang dengar (hard of hearing) yang bersekolah di
sekolah luar biasa bagian tunarungu maupun di sekolah umum/reguler.
Sasaran kurikulum 2013 adalah
3. Tunagrahita, yaitu peserta didik dengan hambatan intelektual baik kategori ringan,
sedang, maupun berat.
4. Tunadaksa, yaitu peserta didik tunadaksa dengan hambatan motorik dan gerak.
5. Tunalaras, yaitu peserta didik dengan hambatan emosi dan prilaku baik kategori
sedang dan berat.
6. Tunanetra Ganda, yaitu peserta didik dengan hambatan penglihatan yang disertai
dengan hambatan lainnya yang berdampak pada kemampuan komunikasi dan
pemahaman tentang konsep.
7. Autis, yaitu peserta didik yang masuk kategori autistic spectrum disorder (ASD).
8. Kesulitan Belajar dan Lambat Belajar.
Sasaran kesulitan Belajar adalah peserta didik yang berdasarkan hasil asesmen
professional memiliki kecerdasan rata-rata atau di atas rata-rata tetapi memiliki deficit
perkembangan non akademik dan/atau akademik yang tidak disebabkan secara
langsung oleh factor lingkungan dan/atau hambatan sensory.
Sedangkan sasaran lambat belajar adalah peserta didi yang berdasarkan hasil asesmen
professional menunjukkan skor kecerdasan berada di bawah rata-rata tetapi belum
termasuk kategori tunagrahita.
9. Cerdas Istimewa, yaitu peserta didik yang berdasarkan hasil asesmen profesional
menunjukkan kemampuan intelektual istimewa, tanggung jawab terhadap tugas, dan
memiliki kreatifitas tinggi.
24
BAB II
LANDASAN
A. Landasan Filosofi
Landasan filosofis dalampengembangankurikulummenentukan kualitas peserta didik yang
akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran, posisi
peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik
25
diaplikasikan
dan
C. Landasan Sosiologis
Manusia adalah mahkluk sosial. Sosial mengacu kepada hubungan antar individu, antar
masyarakat dan individu dengan masyarakat. Hidup di masyarakat itu merupakan
manifestasi bakat sosial siswa. Oleh karena itu, aspek sosial melekat pada diri individu
yang perlu dikembangkan dalam perjalanan hidup siswa agar jadi matang. Oleh sebab itu
tugas pendidikan selain mengembangkan akal pikiran adalah mengembangkan aspek
sosial dari siswa. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan, yakni membimbing siswa agar
kelak dapat hidup serasi dengan masyarakat tempat hidupnya. Oleh karena itu
penyelenggaraan pendidikan harus memasukkan unsur-unsur hubungan sosial manusia
sehingga baik dalam proses maupun hasilnya, pendidikan dapat mempertahankan dan
27
meningkatkan keselarasan hidup dan pergaulan peserta didik sebagai objek dari
pendidikan.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah aspek keunggulan peserta didik berkebutuhan
khusus yang harus diberdayakan untuk kepentingan bangsa, negara, bahkan dunia. Dunia
menghadapi tantangan yang semakin besar, yang bersunber dari pertumbuhan jumlah
penduduk justru dibarengi dengan semakin terbatasnya sumber daya alam. Tantangantantangan tersebut hanya dapat ditanggulangi melalui sains dan teknologi. Potensi peserta
didik mempunyai keunggulan harus dikembangkan sedini mungkin, agar dapat
diberdayakan untuk mengatasi berbagai tantangan dunia.
28
BAB III
LANDASAN TEORITIS
Landasan teoritis pada bagian ini difokuskan bahasan tentang jenis hambatan yang disandang
peserta didik berkebutuhan khusus sebagai berikut.
A. Tunanetra
1. Definisi
Seseorang dikatakan tunanetra atau buta secara legal apabila
ketajaman
penglihatannya 20/200 atau kurang pada mata yang terbaik setelah dikoreksi, atau
lantang pandangnya tidak lebih besar dari 20 derajat.Dipandang dari dunia pendidikan,
seseorang dikatakan tunanetra apabila penglihtannya,setelah dikoreksi, tidak dapat
dimanfaatkan dalam proses pendidikan yang diperuntukkan bagi anak pada umumnya.
2. Klasifikasi
Secara garis besar tunanetra dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: buta dan kurang lihat
(low vision). Seseorang dikatakan buta apabila mempergunakan kemampuan perabaan
dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar. Mereka mungkin mempunyai
sedikit persepsi cahaya atau bentuk atau sama sekali tidak dapat melihat (buta total).
Seseorang dikatakan mempunyai penglihatan low vision atau kurang lihat apabila
ketunanetraannya berhubungan dengan kemampuannya dalam melakukan kegiatan
sehari-hari. Saluran utama dalam belajar mempergunakan penglihatan dengan
mempergunakan alat bantu baik yang direkomendasikan oleh dokter maupun bukan.
Media huruf yang dipergunakan sangat bervariasi tergantung pada sisa penglihatan
dan alat bantu yang dipergunakannya. Latihan orientasi dan mobilitas diperlukan oleh
siswa low vision untuk mempergunakan sisa penglihatannya.
3. Karakteristik
a. Karakteristik Kognitif
Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan belajar dalam
hal yang bervariasi. Lowenfeld menggambarkan dampak kebutaan dan low vision
29
30
bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, ketika anda membaca atau
menulis anda tidak perlu memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau kata,
tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada gangguan pada
ketajaman
penglihatannya.
Anak-anak
seperti
itu
sebagai
gantinya
mempergunakan berbagai alternatif media atau alat untuk membaca dan menulis,
sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin mempergunakan
braille atau huruf cetak dengan berbagai alternatif ukuran. Dengan asesmen dan
pembelajaran yang sesuai, tunanetra dengan tanpa adanya kecacatan yang lain
dapat mengembangkan kemampuan membaca dan menulisnya seperti temanteman lainnya yang dapat melihat.
c. Karakteristik Sosial dan Emosional
Bayangkan keterampilan sosial yang biasa anda lakukan sehari-hari sekarang ini.
Apakah seseorang mengajarkan kepada anda bagaimana anda harus melihat
kepada lawan bicara anda ketika anda berbicara dengan orang lain, bagaimana
anda menggerakan tangan ketika akan berpisah dengan orang lain, atau
bagaimana anda melakukan ekspresi wajah ketika melakukan komunikasi
nonverbal? Dalam hal seperti itu mungkin jawabannya tidak. Perilaku sosial
secara tipikal dikembangkan melalui observasi kebiasaan dan kejadian sosial
serta menirunya. Perbaikan biasanya dilakukan melalui penggunaan yang
berulang-ulang dan bila diperlukan meminta masukan dari orang lain yang
berkompeten. Karena tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui
pengamatan dan menirukan, siswa tunananetra sering mempunyai kesulitan
dalam melakukan perilaku sosial yang benar.
Sebagai akibat dari ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan
sosial, siswa tunanetra harus mendapatkan pembelajaran yang langsung dan
sistematis dalam bidang pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau
orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik, mempergunakan gerakan
tubuh dan ekspresi wajah dengan benar, mempergunakan tekanan dan alunan
suara dengan baik, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat
pada waktu melakukan komunikasi, serta mempergunakan alat bantu yang tepat.
d. Karakteristik Perilaku
31
32
dan mengajar siswa dalam seting inklusif, mungkin akan dihadapkan dengan
dilema apa yang akan diajarkan dalam waktu yang terbatas. Mereka sebaiknya
mengajarkan langsung kepada siswa tunanetra keterampilan khusus untuk
mendukung keberhasilan tunanetra berada di sekolah umum.
b. empergunakan Prinsip-prinsip Metoda Khusus.
Siswa tunanetra hendaknya diberikan pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan belajaran khusus bagi mereka. Guru umum biasanya lebih
menekankan pembelajaran melalui saluran visual, yang sudah tentu tidak sesuai
dengan tunanetra. Lowenfeld mengemukakan tiga prinsip metoda khusus untuk
membantu mengatasi keterbatasan akibat ketunanetraan:
1) Membutuhkan Pengalaman Nyata.
Guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari
lingkungannya melalui eksplorasi perabaan tentang situasi dan benda-benda
yang ada di sekitarnya selain melalui indera-indera yang lainnya. Bagi siswa
yang masih mempunyai sisa penglihatan (low vision), aktifitas seperti itu
merupakan tambahan dari eksplorasi visual yang dilakukan. Kalau bendabenda nyata tidak tersedia, bisa dipergunakan model.
2) Membutuhkan Pengalaman Menyatukan.
Karena ketunanetraan menimbulkan keterbatasan kemampuan untuk melihat
keseluruhan dari suatu benda atau kejadian, guru hendaknya memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menyatukan dari bagian-bagian ke
keseluruhan. Mempegunakan pembelajaran gabungan, dimana siswa belajar
menghubungkan antara mata pelajaran akademis dengan pengalaman
kehidupan nyata, merupakan suatu cara yang bagus untuk memberikan
pengalaman menyatukan.
3) Membutuhkan Belajar sambil Bekerja.
Guru hendaknya memberi kesempatan kepada siswa tunanetra untuk
mempelajari suatu keterampilan dengan melakukan dan memperaktekan
keterampilan tersebut. Banyak bidang yang terdapat dalam kurikulum inti
yang diperluas, misalnya orientasi dan mobilitas, dapat dipelajari dengan
33
belajar sambil
bekerja ini.
Semua siswa, apakah dia tunanetra atau bukan, akan mendapatkan keuntungan dari
pembelajaran yang berdasar pada tiga prinsip metoda khusus tersebut, dan
mempergunakan metoda pembelajaran seperti itu dapat membantu siswa untuk
belajar membuat suatu konsep dari suatu pola umum.
B. Tunarungu
1. Definisi
Tunarungu adalah kondisi tidak berfungsinya organ pendengaran individu secara
normal, yang mencakup seluruh gradasi: ringan, sedang, dan berat, dan sangat berat.
yang akan mengakibatkan pada gangguan komunikasi dan bahasa. Keadaan ini
walaupun telah diberikan alat bantu mendengar secara pedagogis tetap memerlukan
pelayanan pendidikan khusus
2. Klasifikasi
Secara umum ketunarunguan diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yaitu
Tuli (the deaf) dan kurang dengar (the hard of hearing).
Berdasarkan Tingkat Kerusakan/Kehilangan Kemampuan Mendengar, ketunarunguan
diklasifikasikan:
Sangat Ringan: 27 - 40 dB
Ringan : 41 - 55 dB
Sedang: 56 - 70 dB
Berat : 71 - 90 dB
Ekstrim 91 dB
3. Karakteristik
Ada beberapa kondisi dan permasalah khusus yang dihadapi oleh penyandang
tunarungu yang menjadikan karakteristik khusus. Boothroyd (1982:5) merinci
beberapa permasalahan yang muncul sebagai akibat dari ketunarunguan yaitu:
34
35
C. Tunagrahita
1. Definisi
Tunagrahita atau istilah lain disabilitas intelektual adalah gangguan atau hambatan
selama periode perkembangan pada kedua aspek intelektual dan fungsi adaptive
sehingga defisit dalam bidang konseptual, sosial, dan keterampilan adaptif. Kriteria
tersebut ditandai sebagai berikut:
a. Defisit fungsi intelektual, seperti berrasional, pemecahan masalah, perencanaan,
berpikir abstrak, pertimbangan, belajar akademik, dan mengambil belajar dari
pengalaman. Hal tersebut dapat dites melalui pemeriksaan klinis secara asesmen
dan tes individual, tes terstandar, dan tes kecerdasan.
b. Defisit dalam fungsi keterampilan adaptif sebagai akibat kegagalan yang diukur
secara perkembangan dan standar sosio-kultural pada kemandirian pribadi dan
tanggung jawab sosial. Tanpa dukungan yang terus-menerus akan mengalami
defisit yang terbatas pada bidang satu atau dua aktivitas kehidupan sehari-hari,
seperti komunikasi, partisipasi sosial, dan kemandirian dalam lingkungan yang
bervariasi seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat.
c. Hambatan keduanya dalam kecerdasan dan keterampilan adaptif terjadi selama
periode perkembangan.
2. Karakteristik tunagrahita meliputi:
36
Hambatan intelektual kategori ringan, sedang, berat, dan amat berat berdasarkan
tingkatan kecerdasan (IQ) berkisar (approximate) antara score 50-55 sampai 70 bagi
yang kategori ringan, dan 20-25 sampai 35-40 bagi yang kategori sedang. Kategori
ringan, sedang, dan berat berdasarkan keterampilan adaptif tergantung dua atau lebih
di antara 10 keterampilan adaptif yang berkekurangan (defisit). Bidang keterampilan
adaptif yang 10 itu semakin banyak yang mengalami hambatan akan semakin
menambah kategori berat dari kondisi tunagrahita. Klasifikasi berdasarkan tingkatan
dukungan luar yang dibutuhkan sebagai berikut:
a. Karakteristik berdasarkan kebutuhan dukungan pihak luar
Tingkatan dukungan yang
dibutuhkan
Intermittent
untuk
ringan
mendasar
atau
di
saat
diperlukan,
tidak
selalu
atau berlatih
bekerja.
Extensive untuk kategori berat
Pervasive untuk kategori amat Kebutuhan untuk pengawasan sangat tinggi intensitasnya,
berat
37
berat
mempertahankan
hampir
diri;
tidak
dorongan
memperlihatkan
biologisnya
dorongan
untuk
berkembang
tetapi
Karakteristik fisik: tidak jauh berbeda dengan anak normal, hanya sedikit
mengalami kelambatan sensomotorik.
ProblemVariabel Perhatian
Problem
sional
Strategi
39
(labeling),penggolongan/klasifikasi,dan
perum pamaan/perbandingan.
c) Penelitian menunjukkan bahwa anak terlambat mental
kesulitan memproduksi strategi mediasional.
d) Cenderung sebagai pembelajar yang tidak aktif.
Problem Ingatan
khusus,
mereka
gagal
pada
penggunaan
fisik:
lebih
menampakkan
kecacatan
fisik
sejak
awal
40
41
Ketidakmampuan
penggunaan
bahasa
untuk
mengekspresikan
emosinya secara efektif dapat mendorong tingkah laku yang agresif atau
menghindarkan diri seperti menyendiri/with drawl, sehingga menempatkan
mereka pada resiko penolakan sosial.
b. Aspek Lingkungan: kekuatan psikososial mendasari aktivitas sehari-hari. Seperti
halnya, orang-orang yang mencoba meseimbangkan antara kebutuhan, keinginan,
dan harapan sering konflik dengan satu dan lainnya. Aspek lingkungan yang
berakibat pada penyesuaian psikososial dari orang-orang retardasi mental adalah
lingkungan keluarga, perkembangan awal dari individu, pola asuh, lingkungan
42
D. Tunadaksa
1. Definisi
Peserta didik yang mengalami tunadaksa secara kuantitas jumlahnya kecil, tetapi di
dalamnya terdiri dari berbagai macam kelompok. Yang dimaksud peserta didik
tunadaksa adalah anak atau individu yang mengalami kelainan atau cacat yang
menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) karena kelainan neuro-muskular yang
bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan sedemikian rupa sehingga memerlukan
pelayanan pendidikan khusus. Kelainan tunadaksa dapat merentang dari kelainannya
yang hanya sedikit atau tidak ada pengaruhnya terhadap perkembangan dan belajar
anak, sampai pada kondisi lain yang melibatkan adanya kelainan neurologis yang
berpengaruh terhadap keterampilan motorik kasar dan halus, dan juga inteligensi.
Penting untuk disadari bahwa ketunadaksaan tidak secara otomatis menyebabkan
siswa memiliki ketunagrahitaan atau mengalami masalah belajar. Beberapa siswa
dengan ketunadaksaan mempunyai masalah belajar, asumsi hendaknya jangan dibuat
berdasarkan kapasitas belajar individu muncul karena ketunadaksaan. Meskipun berat
ketunadaksaan yang disandang seorang anak, kadang-kadang tidak ada pengaruhnya
terhadap kemampuan intelektual dan tingkat inteligensi bagi siswa dengan
ketunadaksaan merentang dari yang gifted sampai dengan yang tunagrahita berat.
2. Klasifikasi
Pada dasarnya berdasarkan definisi tunadaksa tersebut diatas kategori kelainan ini di
dalamnya ada berbagai jenis siswa dengan keanekaragaman. Berikut ini klasifikasi
anak tunadaksa:
a. Tunadaksa karena kelainan ortopedi yaitu kelainan yang terkena adalah bagianbagian tubuhnya. Contoh, monoplegia apabila hanya satu lengan yang terkena
kelainan; hemiplegia apabila kelainannya pada tangan, kaki, dan batang tubuh
pada satu sisi yang sama; paraplegia apabila kedua
tetraplegia (biasanya disebut quadriplegia) melibatkan dua tangan dan dua kaki,
batang tubuh, serta leher; diplegia terjadi pada dua tangan atau pada dua kaki.
43
44
palsy sebagai akibat dari asphyxia, sebagai contoh, tercekik karena mainan atau
makanan atau tenggelam yang mengakibatkan tersumbatnya saluran nafas. Cerebral
palsy juga dapat terjadi ketika adanya kekerasan pada anak. Selain itu, infeksi yang
berat seperti meningitis dapat menyebabkan cerebral palsy.
Karena cerebral palsy ini diakibatkan oleh adanya kerusakan pada otak, siswa-siswa
seperti ini sering mempunyai kelainan yang lainnya. Mereka mungkin mempunyai
masalah pada penglihatan atau pendengarannya, ketunagrahitaan atau kesulitan
belajar, kelainan komunikasi baik ekspresif (menyampaikan)
maupun reseptif
45
neurologis. Luka ini terjadi kalau tabrakan, luka parah, atau kerusakan lainnya pada
tulang belakang yang berpengaruh terhadap fungsi gerak dan sensori. Melalui spinal
cord pesan dari otak disampaikan ke berbagai bagian tubuh, dan dari berbagai bagian
tubuh kembali ke otak. Dengan adanya luka pada spinal cord ini menyebabkan otak
tidak dapat berkomunikasi dengan tubuh, dan hasilnya adalah kelumpuhan. Jenis dan
luasnya kelumpuhan tersebut ditentukan oleh dimana luka itu terjadi, apabila lukanya
terjadi di leher bagian atas maka kelumpuhannya akan lebih luas.
Penyebab spinal cord injury ini adalah salah satu yang mungkin mengenai anda,
keluarga anda, atau teman anda. Friend (2005) mengemukakan bahwa penyebab
tersebut diantaranya: kecelakaan mobil (44 persen dari kasus), kejadian kekerasan (24
persen), jatuh (22 persen), olahraga (8 persen), dan lainnya (2 persen). Penyebab yang
ditimbulkan karena olahraga, dua pertiganya disebabkan karena kecelakaan pada
waktu melakukan diving (menyelam). Hampir 82 persen dari seluruh spinal cord
injury ini terjadi pada laki-laki dan hanya 18 persen terjadi pada perempuan. Usia
terjadinya luka ini merentang dari usia enambelas sampai tigapuluh tahun, dan
mayoritas pada usia sembilanbelas tahun. Spinal cord injury ini sebetulnya bisa
dicegah,
misalnya:
mempergunakan
sabuk
pengaman
ketika
berkendaraan,
46
seperti ini membutuhkan kursi roda untuk bepergian. Jeleknya perkembangan otot
ini terus berlanjut sampai dewasa, sering sekali berpengaruh pada paru-paru dan
jantung.
Duchenne muscular dystrophy adalah kelainan genetik yang hanya terjadi pada
laki-laki. Hal itu dibawa dalam kromosom X, dan jika seorang ibu meneruskan
kromosom tersebut ke anak laki-lakinya, anak itu mempunyai kesempatan 50
persen untuk kena penyakit ini. Karena bapak memberikan kepada anak lakilakinya kromosom Y, mereka tidak dapat meneruskan penyakit ini. Jika seorang
perempuan mewariskan kromosom X dengan tidak sempurna, dia menjadi
pembawa kelainan, tetapi dia biasanya tidak mengembangkan muscular
dystrophy. Hampir 15.000 anak-anak usia sekolah mempunyai Duchenne atau
bentuk muscular dystrophy ringan.
2. Juvenile rheumatoid arthritis (JSA). Arthritis berhubungan dengan persendian
yang mudah sakit, dan penyakit ini eksis lebih dari seratus bentuk. JSA adalah
salah satu bentuk dari penyakit ini yang terjadi pada anak usia enambelas tahun
atau kurang. Gejala dari kelainan ini adalah memerah, membengkak, dan sakit
pada satu atau beberapa persendian. Siswa dengan kelainan ini mungkin lemah
pada pagi hari, mereka mungkin kadang-kadang mempunyai keterbatasan gerak,
dan mungkin ada rasa sakit pada mata. Gejala ini sangat berbeda-beda antara satu
siswa dengan siswa lainnya, dan beberapa siswa mungkin mempunyai satu masa
tertentu yang memunculkan semua gejala di atas.
Penyebab pasti dari JSA ini tidak diketahui. Ada kelainan imun otomatis dimana
tubuh merespon dengan salah terhadap beberapa sel yang dianggap asing dan
perlu dibasmi. Gejala JRA terjadi ketika imun menyerang sel-sel yang sehat. Para
peneliti berspekulasi bahwa JRA adalah kelainan genetik yang kemudian dipicu
oleh faktor luar, mungkin berupa virus.
JRA terjadi hampir 30 sampai 150 pada setiap 100.000 kelahiran bayi. Para ahli
memperkirakan bahwa antara 60.000 sampai 70.000 anak-anak sekarang ini
mempunyai kelainan ini (Arthritis Foundation, 2004). Kelainan ini lebih banyak
ditemukan pada perempuan daripada laki-laki, dengan rasio 4 atau 5:1. Beberapa
anak mungkin sembuh dari JRA, tetapi kebanyakan berlanjut dengan memiliki
gejala lainnya dalam kehidupannya.
47
3. Karakteristik
a. Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada
sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama
dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada
sistem cerebral, tingkat kecerdasannya merentang mulai dari tingkat idiocy sampai
dengan gifted. Artinya, anak Cerebral Palsy yang kelainannya berat, tidak berarti
kecerdasannya rendah. Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak Cerebral
Palsy juga mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan
persepsi terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami
kerusakan sehingga proses persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat
akan diteruskan ke otak oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas
menerima
dan
menafsirkan,
serta
menganalisis)
mengalami
gangguan.
gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki
rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
c. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat
tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti berkurangnya daya
pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan penyerta itu
banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara
disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara seperti lidah, bibir, dan rahang kaku
atau lumpuh sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya,
bicaranya diucapkan dengan susah payah dan tidak dapat dipahami orang lain.
Mereka juga mengalami aphasia sensoris, yaitu ketidakmampuan bicara karena
organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu kemampuan
menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran, tetapi
tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak Cerebral Palsy mengalami
kerusakan pada pyramidal tract dan extrapyramidal yang berfungsi mengatur
sistem
motorik.
Tidak
heran
mereka
mengalami
kekakuan,
gangguan
49
50
lainnya untuk mengemukakan pikiran atau kebutuhannya. Tetapi bagi siswa yang
tidak mempunyai kemampuan untuk mempergunakan tangannya untuk menulis atau
menunjuk ke gambar yang dipergunakan sebagai alat komunikasi, mereka dapat
mencari bentuk komunikasi yang lainnya. Beberapa alat bantu komunikasi dibuat
dengan ukuran besar dengan batas antara kotak yang satu dengan lainnya
ditimbulkan sehingga siswa yang dapat menyentuh papan tersebut akan terbantu
ketika meraih dan menyentuh gambar atau simbol dengan benar. Beberapa anak
diantaranya mungkin sama sekali tidak dapat mempergunakan tangannya. Mereka
dapat mempergunakan tongkat penunjuk yang ditempelkan di kepalanya dan
mempergunakan tongkat tersebut untuk menyentuh gambar atau simbol yang ada
pada papan. Bagi para ahli yang bekerja dengan siswa-siswa yang memerlukan
penggunaan alat bantu komunikasi ini, mungkin memerlukan penyesuaian dalam
pembelajaran. Misalnya, beberapa siswa mungkin memerlukan waktu tambahan
untuk merespon pertanyaan guru. Siswa-siswa yang lainnya mungkin memerlukan
lebih dari satu jenis alat bantu ketika mereka melakukan komunikasi dengan orang
lain.
Alat bantu untuk belajar. Siswa-siswa dengan kelainan fisik dan kesehatan apakah
dia mudah atau sulit ketika belajar, mereka mungkin membutuhkan pertimbanganpertimbangan khusus hubungannya dengan pekerjaan sekolah. Sebagai contoh, suatu
strategi bagi siswa yang sering tidak sekolah dan lelah. Anda mungkin
membutuhkan pertimbangan untuk tidak memberikan tugas sekolah, atau anda tidak
menghukumnya kalau dia tidak mengerjakan tugas sekolah. Anda juga mungkin
perlu memberikan bantuan kepada mereka untuk belajar konsep-konsep atau
keterampilan-keterampilan yang tidak mereka peroleh ketika mereka tidak
bersekolah.
Di sekolah umum, anda mungkin akan menemukan bahwa strategi pembelajaran
dengan mempresentasikan seluruh isi buku akan sangat membantu bagi para siswa.
Tetapi bagi siswa dengan kelainan fisik dan kesehatan mungkin akan lebih
menguntungkan kalau mempergunakan curriculum overlapping. Dalam pendekatan
seperti ini, siswa berpartisipasi dalam kegiatan yang sama seperti halnya temanteman yang lainnya, tetapi mungkin mereka mempunyai tujuan yang berbeda.
51
Bentuk yang ketiga dari akses dalam pendidikan ini adalah hubungannya dengan
penggunaan alat-alat bantu teknologi. Beberapa siswa mungkin membutuhkan
bahan-bahan yang disesuaikan sehingga mereka dapat mempergunakannya.
Misalnya meja belajar kecil yang dipergunakan oleh para siswa, mungkin
memerlukan pembesaran bagi siswa yang memiliki kontrol gerak yang terbatas agar
mereka dapat bergerak bebas di sekitarnya. Gelas tabung dalam pelajaran kimia,
mungkin memerlukan adanya pegangan khusus sehingga siswa dapat memegangnya.
Pikirkanlah tentang penyesuaian yang perlu anda lakukan ketika mengajarkan
sesuatu kepada siswa dengan kelainan fisik dan kesehatan.
Layanan lainnya yang berhubungan. Para siswa dengan kelainan fisik dan
kesehatah mungkin memerlukan layanan lainnya dari ahli terapi wicara, terapi fisik,
terapi okupasi, dan guru penjas adaptif. Para ahli ini membantu para siswa untuk
mendapatkan kemudahan dalam pendidikan dengan pembelajarannya ditujukan pada
kebutuhan komunikasinya, kebutuhan gerak kasar dan halusnya, dan kebutuhan
mereka akan rekreasi serta membangun keterampilan fisiknya. Beberapa siswa
diantaranya mungkin memerlukan alat transportasi khusus, semua itu harus
disediakan.
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Sakit, Luka, Kondisi, atau Kelainan.
Kebutuhan fisik dan kesehatan yang ada pada setiap siswa juga berpengaruh
terhadap akses pendidikan. Dua hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
aspek tersebut adalah bagaimana anak masuk kembali ke sekolah dan keadaan
darurat yang mungkin terjadi di sekolah.
Masuk kembali ke sekolah. Banyak siswa dengan kelainan fisik dan kesehatan
bolos dari sekolah. Mereka mungkin terkena infeksi atau sakit, mereka memerlukan
waktu yang lama untuk tinggal di rumah sakit, atau mereka memerlukan waktu yang
banyak untuk pulang pergi ke dokter. Lebih banyak dia bolos sekolah, lebih banyak
dia menghadapi kesulitan baik berhubungan dengan pelajaran maupun dengan
teman-teman dan gurunya. Mereka sering harus melakukan penyesuaian terhadap
perubahan yang terjadi ketika mereka tidak masuk sekolah, dan terhadap status
perubahan fisik mereka serta kebutuhan emosional. Untuk siswa dengan TBI
memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus yang menyangkut kepribadian,
perilaku, dan kemampuan belajarnya yang mungkin telah berubah secara signifikan
52
sebagai akibat dari kecelakaaan yang menimpanya, dan para ahli serta teman-teman
di sekolahnya perlu dipersiapkan untuk menerima perubahan tersebut. Para orang
tua juga harus tetap melakukan komunikasi serta terbuka sehingga setiap
permasalahan dapat segera dipecahkan.
Berhubungan dengan keadaan darurat. Masa gawat, kejadian, dan keadaan darurat
kadang-kadang terjadi di sekolah untuk siswa dengan kelainan fisik dan kesehatan,
dan para guru serta para ahli lainnya perlu tahu bagaimana untuk merespon berbagai
keadaan tersebut. Dengan meningkatkan kewaspadaan dan segera merespon
terhadap siswa yang terkena serangan mendadak, merupakan dua contoh yang perlu
dilakukan oleh sekolah dengan mempersiapkan berbagai obat-obatan yang
diperlukan sesuai dengan kebutuhan siswa. Orang tua juga hendaknya memberikan
berbagai informasi yang diperlukan tentang anaknya, dan secara terbuka
memberikan jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan oleh sekolah
berkenaan dengan anaknya.
E. Tunalaras
1. Definisi
Banyak istilah yang sering digunakan untuk menunjuk pada peserta didik tunalaras,
diantaranya peserta didik dengan hambatan emosi dan prilaku, nakal, dan delinkuen. Dalam
bahasa asing istilah tunalaras sering dipadankan dengan istilah emotional and behavior
disorder, emotional and behavioral difficulties, emotional disturbance - ED, serious
emotional disturbance, emotional disturbance and behavioral disorders, behavior disorder,
socially maladjusted, dan masih banyak lagi.
Dalam buku ini yang dimaksud dengan peserta didik tunalaras adalah yang mengalami
hambatan atau gangguan emosi dan prilaku yang sedemikian rupa yang akibat prilakunya
dapat merugikan diri sendiri dan atau lingkungan sehingga untuk mengembangkan
potensinya secara optimal diperlukan layanan pendidikan khusus.
2. Klasifikasi
Peserta didik tunalaras secara umum diklasifikkasikan menjadi dua, yaitu: tunalaras emosi
dan tunalaras sosial. Tunalaras emosi adalah mereka yang hambatan prilakunya disebabkan
oleh adanya hambatan dalam perkembangan emosi. Sedangkan pada tunalaras sosial, sebab
utamanya karena terhambatnya perkembangan sosial. Jika dikaitkan dengan istilah asing,
pengertian peserta didik tunalaras emosi hakekatnya lebih dekat dengan pengertian EBD,
53
sedangkan pengertian tunalaras sosial lebih dekat dengan kelompok socially maladjusted
dan atau behavior disorder.
Peserta didik tunalaras emosi adalah suatu kondisi yang menunjukkan satu atau lebih dari
karakteristik berikut ini selama jangka waktu yang lama dan pada suatu tingkatan tertentu
dan berdampak merugikan terhadap kinerja pendidikan anak.
a. Ketidakmampuan untuk belajar yang tidak dapat dijelaskan dari faktor-faktor
intelektual, sensorik, atau kesehatan;
b. Ketidakmampuan untuk membangun atau mengatur hubungan interpersonal yang
memuaskan dengan teman sebaya dan guru;
c. Jenis-jenis perilaku atau perasaan yang tidak tepat di bawah kondisi normal;
d. Suasana ketidakbahagiaan atau depresi umum yang terus menerus.
e. Kecenderungan untuk mengembangkan gejala-gejala fisik atau ketakutan yang
berhubungan dengan masalah pribadi atau sekolah.
Istilah tunalaras emosi tersebut termasuk kepada anak-peserta didik yang menderita
skizofrenia. Istilah itu tidak termasuk anak-peserta didik yang secara sosially maladjusted,
kecuali jika sudah dinyatakan bahwa mereka memiliki gangguan emosi yang serius.
Adapun peserta didik tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami gangguan emosi dan
prilaku yang disebabkan oleh terhambatnya perkembangan sosial. Mereka menunjukkan
prilaku-prilaku yang kurang selaras dengan aturan sosial.
Dibandingkan dengan siswa yang tunalaras emosi, pada kelompok peserta didik tunalaras sosial,
akibat prilakunya cenderung menimbulkan konflik, merugikan, atau bahkan membahayakan
orang lain. Sedangkan pada siswa tunalaras emosi, cenderung tidak.
3. Karakteristik
Secara umum, terdapat tiga ciri khas dari peserta didik tunalaras, yakni: yakni: (1) tingkah laku
yang sangat ekstrim dan bukan hanya berbeda dengan tingkah laku peserta didik lainnya, (2)
suatu problem emosi dan perilaku yang kronis, yang tidak muncul secara langsung, (3) tingkah
laku yang tidak diharapkan oleh lingkungan karena bertentangan dengan harapan sosial dan
kultural.
a.
54
lebih besar dalam prilaku-prilaku tertentu dan selalu terarah kepada prilaku acting out
atau prilaku-prilaku yang secara sosial maladaptive. Siswa dengan gangguan emosi
umumnya juga memiliki IQ yang rendah, memiliki pengalaman gagal dalam satu atau
lebih bidang pelajaran, seperti membaca dan matematika, serta menunjukkan prestasi
dibawah ekspektasi yang diharapkan berdasar atas umur dan kemampuannya.
Secara umum, terdapat tiga isu penting terkait dengan karakteristik anak tunalaras emosi
sebagai siswa atau pembelajar. Pertama, adanya kesenjangan antara kemampuan
potensial dengan prestasi yang ditunjukkan. Kesenjangan ini umumnya disebabkan
karena ketidakkonsistenan dalam pola-pola memfungsikan kemampuannya, serta
kontribusi dari sifat-sifat prilaku dan pribadinya, seperti: kemampuannya dalam
mengatasi kecemasan, perasaan harga diri, konformitas terhadap tuntutan otoritas,
penerimaan kelompok sebaya, konflik, ketergantungan, kenyamanan dalam aktivitas
akademik, serta ketidakmampuan dalam merancang tujuan yang realistik.
Kedua, bahwa masalah belajar pada peserta didik dengan gangguan emosi merupakan
manifestasi dari problem emosionalnya. Ketiga, bahwa terdapat peserta didik dengan
gangguan emosi yang berbakat dan kreatif, tetapi underachiever. Mereka ini umumnya
memiliki pengalaman yang sulit dalam relasi dengan orang tua, perilaku yang ekstrim
pasif, agresi fisik, dan inferioritas.
Gangguan emosi pada siswa juga dapat menjadikan siswa
55
lain, seperti impulsif, agresi fisik, jahat, sering berkomentar yang tidak tepat, suka
melawan, bohong, mengadu, bullying, suka mengusik, usil, menghindari tugas.
Siswa tunalaras juga memiliki karakteristik yang dapat menghalangi perkembangan
sosial dan akademik. Karakteristik tersebut selalu tampak jelas dan persisten dalam latar
dan lingkungan yang berbeda, serta selalu dengan sedikit penghormatan atau
penghargaan terhadap norma sosial dan budaya. Beberapa karakteristik prilaku tersebut,
diantaranya: mengganggu aktivitas kelas, impulsif, mudah kacau, mengabaikan peraturan
kelas, buruk konsentrasi, menentang perubahan, berbicara terus menerus, agresif, suka
mengganggu dan mengintimidasi orang lain, pembolos, tidak jujur, konsisten
menyalahkan orang lain, dan tidak dapat bekerja dalam kelompok.
Dibandingkan dengan tunalaras emosi, pada peserta didik tunalaras sosial dalam
membuat keputuasan tentang perilakunya dilakukan secara sadar, memahami
konsekuensi dari perilakunya, mampu mengontrol perilakunya, memiliki rasa bersalah
atau rasa penyesalan terhadap perilaku mereka, prilakunya dinyatakan keluar
(eksternalisasi).
4.Identifikasi
Identifikasi peserta didik tidaklah mudah, karena sifatnya relatif. Tidak memiliki kriteria yang
pasti sebagaimana pada anak-anak penyandang disabilitas. Pada umumnya ukuran utama
apakah anak dapat dikategorikan tunalaras atau tidak adalah berdasar kepada prilaku-prilaku
yang ditampilkan, dengan mempertimbangkan umur, sering tidaknya, berat ringannya, tempat,
mudah tidaknya dipengaruhi. Label tunalaras kemungkinan juga mengandung resiko
penolakan dari lingkungan, terutama orang tuanya. Untuk itu, identifikasi harus dilakukan
secara teliti dan hati-hati. Pada umumnya, anak dapat dikategorikan sebagai penyandang
tunalaras jika lingkungan sudah merasa kewalahan dengan prilaku anak yang tidak
diharapkan, sehingga prilaku tersebut perlu untuk dihilangkan.
5. Pembelajaran
Masalah utama yang dihadapi oleh peserta didik tunalaras bukanlah masalah yang terkait
langsung dengan masalah akademik, tetapi lebih banyak terkait dengan masalah sikap dan
prilaku. Karena itu, masalah yang sering dihadapi guru dalam pembelajaran peserta didik
tunalaras sering kali bukan persoalan pembelajaran, tetapi lebih kepada masalah pengelolaan
kelas, yaitu bagaimana upaya guru menciptakan situasi yang kondusif yang diperlukan untuk
mendukung pencapaian tujuan pembelajaran. Konsekuensinya, guru yang mengajar peserta
didik tunalaras perlu menguasai berbagai pendekatan dalam pengelolaan kelas.
56
Mengingat karakteristik dan kebutuhan siswa tunalaras, maka dalam pelaksanaan pembelajaran,
perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Pembelajaran dilakukan melalui multi metode dan sampai tahap bertingkahlaku.
b. Menekankan terlaksananya pendekatan pembelajaran saintifik, diindividualisasikan,
kontektual, aktif, dan kooperatif.
c. Mengutamakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (learning based problem) dan
pembelajaran sosial emosional (social emotional learning - SEL).
d. Mengoptimalkan penggunaan media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan.
e. Menekankan penerapan pendekatan intervensi proaktif (Proactive Intervention).
Selanjutnya, dengan mencermati karakteristik prilaku belajar peserta didik tunalaras seperti
dipaparkan pada bagian sebelumnya, strategi umum pembelajaran peserta didik tunalaras yang
dapat diterapkan yaitu melalui pendekatan kontrak sosial, response cost (menerapkan pinalti
jika terjadi pelanggaran), monitoring diri (siswa menjaga dan mengawasi prilakunya sendiri,
membangun kemampuan mengontrol diri), analisis tugas, time out, token economy, dan
sistem poin.
Berdasarkan pengalaman, beberapa praktek terbaik dalam pembelajaran peserta didik tunalaras
(EBD), diantaranya:
Mengembangkan ekspektasi perilaku yang konsisten.
Libatkan siswa dalam menetapkan tujuan akademis dan pribadi.
Libatkan dalam situasi bermain peran.
Berkomunikasi dengan orang tua, sehingga ada strategi yang konsisten di rumah dan sekolah.
Tetapkan batas-batas prilaku yang boleh dan yang tidak boleh.
Terapkan konsekuensi dengan segera, adil dan konsisten.
Mengakui dan memperkuat perilaku yang dapat diterima.
Hindari konfrontasi dan perebutan kekuasaan.
Menyediakan lingkungan kelas yang sangat terstruktur.
Berikan aturan dan harapan yang jelas.
Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Berikan kesempatan pada peserta didik untuk belajar mengontrol dirinya sendiri
57
F. Tunanetra Ganda
Tunanetra Ganda atau Multiple Disabilities Visual Impairment adalah kelompok yang
sangat hiterogen. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan cakupan yang sangat luas
pada anak-anak yang memiliki kebutuhan sangat berbeda. Sebagai tambahan dari
kehilangan penglihatan, anak-anak dengan MDVI dapat memiliki satu atau lebih
kebutuhan tambahan yang luas berupa ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan bicara,
ketidakmampuan berperilaku dan belajar.
1. Definisi
MDVI meliputi kondisi dengan rentang cakupan yang sangat luas baik dalam hal
kemampuan dan kebutuhan,
membaca
Braille sampai pada mereka yang lebih memerlukan pendekatan keterampilan hidup
fungsional. Kombinasi dari ketunaan ganda adalah sangat unik pada setiap siswa,
derajat ketidakmampuan kognitif, fisik, penglihatan dan emosi sangatlah berbeda
pada setiap siswa (Heydt,Kathy)
Hingga saat ini di Indonesia belum ada istilah baku yang digunakan untuk
meyebut populasi ini. Beberapa orang menyebut sebagai Tunanetra Ganda tetapi
banyak yang menggunakan istilah seperti yang digunakan oleh masyarakat di dunia
lain yaitu Multiple Disabilities Visual Impairment (MDVI). Baru-baru ini di Negaranegara berkembang dan Negara maju yang telah memberikan layanan secara lebih
optimal pada populasi ini menyebut mereka dengan istilah Visual Impairment and
Additional Disabilities (VIAD). Juga ada yang menyebut sebagai Visual Impairment
58
Hambatan
penglihata
n
Hambatan
pendengara
n
Hambatan
intelegensi
Hambatan
perilaku
Hambatan
wicara
Hambatan
lainnya
Hambatan
gerak
59
3. Karakteristik
Dampak atas tidak berfungsinya indera sensoris dan indera lainnya sangat
berpengaruh pada proses belajar peserta didik, perilaku-perilaku berbeda, aneh dan
menantang seringkali dipahami sebagai kondisi yang melekat pada peserta didik
daripada sebagai dampak.
Pada umumnya karakteristik anak tuna netra-rungu adalah:
a. memiliki hambatan dalam memahami dunia;
b. terlihat lebih suka menarik diri dan terisolasi;
c. kurangnya kemampuan berkomunikasi dengan lingkungannya, dengan cara yang
berarti dan dapat diterima;
d. kurangnya keingintahuan sehingga menjadikannya tidak menunjukkan memiliki
motivasi pada hal-hal yang dasar;
e. memiliki masalah kesehatan yang dapat mengarah pada keterlambatan
perkembangan yang serius;
f. memiliki kesulitan yang luar biasa dalam membangun dan menjaga hubungan
dengan orang lain;
g. sering menolak bila disentuh;
h. lemahnya kemampuan mengantisipasi kejadian dan akibat dari yang dilakukannya;
i. memiliki masalah dalam makan dan pencernakan serta pola tidur;
j. menunjukkan kefrustasian, masalah dalam disiplin, hambatan dalam sosialisasi,
emosi,
dan
perkembangan
kognitif
berkomunikasi;
k. memiliki keunikan dalam cara pembelajaran
60
sebab
ketidakmampuannya
dalam
4. Identifikasi
Proses identifikasi
meliputi dua hal yakni pengamatan fisik dan perilaku. Pengamatan fisik akan meliputi
adanya permasalahan fisik, misalnya; perbedaan bentuk anggota tubuh atau wajah;
maupun ketidaklengkapan anggota tubuh. Sedangkan pengamatan perilaku dilakukan
untuk melihat adanya pengecualian dari suatu perilaku umum ketika individu sedang
melakukan sesuatu. Misalnya, mendekatkan buku ke arah wajah pada saat membaca,
mendekatkan telinga pada sumber bunyi pada saat mendengarkan sesuatu. Perbedaanperbedaan yang muncul tersebut dicatat untuk dilakukan pengecekan lebih mendalam
oleh ahli yang berkompeten melalui asesmen.
Identifikasi melalui wawancara singkat dilakukan untuk memperjelas suatu gejala
yang terlihat. Jika peserta didik dapat berkomunikasi secara verbal, maka ia akan
menjadi sumber informasi utama. Orang-orang yang ada di sekitar peserta didik
seperti keluarga dan orang dekat lainnya juga dapat menjadi sumber informasi untuk
melengkapi identifikasi kita.
Seorang pendidik bahkan orang tua dapat berperan untuk melakukan identifikasi awal,
karena mereka memiliki waktu yang cukup banyak bersama dengan peserta didik.
Dengan waktu yang dimiliki mereka dimungkinkan dapat melihat perubahanperubahan baik fisik maupun perilaku peserta didik. Identifikasi dapat dilakukan di
sekolah-sekolah khusus dengan ketunaan tunggal, seperti tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, tunadaksa, autis dan masyarakat. Berdasarkan penemuan di lapangan,
ditemukan banyak siswa tuna daksa maupun tunagrahita yang juga memiliki
hambatan penglihatan.
Jika proses identifikasi telah dilakukan, selanjutnya perlu dilakukan asesmen. Segala
catatan yang dikumpulkan dalam identifikasi menjadi dasar untuk penggalian
informasi lebih mendalam. Asesmen pada peserta didik tuna majemuk lebih
diutamakan berupa asesmen fungsional yang dilakukan oleh tim pendidik, para ahli
dan keluarga yang bekerja langsung dengan siswa.
61
5. Layanan Pembelajaran
Pembelajaran bagi peserta didik ini harus dikembangkan dalam setting alami dan
pengalaman nyata agar terjadi proses pengembangan konsep. Siswa seringkali
memiliki pemahaman konsep yang salah apabila pembelajaran tidak dilakukan
dengan cara yang alami dan tempat dan waktu yang tepat. Misalnya; belajar
mengancingkan baju seharusnya dilakukan di kamar atau kamar mandi pada saat
siswa memang harus berpakaian.
Keseimbangan antara kegiatan individual dan kelompok harus disesuaikan guru agar
peserta didik dapat mengembangkan keterampilan khusus yang menjadi focus tetapi
juga tidak kehilangan kesempatan untuk belajar dari peserta didik lain atau child to
child learning. Begitu juga dalam mengatur jadwal kegiatan hendaknya disusun
mengikuti ritme atau harmoni dari kegiatan yang tenang ke cepat dan kembali tenang
lagi.
Pembelajaran harus dilakukan dengan menitikberatkan pada proses bukan hasil, siswa
tunanetra majemuk belajar dengan melakukan langsung mereka tidak akan dapat
memahami suatu konsep tanpa melakukan dan mengalami langsung. Konsistensi
pada cara, media, tempat pelaksanaan kegiatan dan guru yang mengajar sangat
diperlukan bagi peserta didik untuk mengembangkan keterampilan dan pemahaman
secara komprehensif.
G. Autis
1. Definisi
Autisme atau autistik merupakan gangguan perkembangan yang secara signifikan
mempengaruhi komunikasi verbal dan non-verbal dan interaksi sosial, sering
diasosiasikan dengan keterikatan dalam aktivitas yang diulang-ulang dan gerakan
stereotype, menolak perubahan lingkungan/perubahan rutinitas sehari-hari dan tidak
biasa merespon pengalaman-pengalaman sensorik (The Individuals with Disabilities
Education Act). Autisme merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang
62
kompleks meliputi gangguan pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi, serta
gangguan emosi dan persepsi sensori yang muncul pada usia sebelum 3 tahun.
Karakteristik penderita autisme ditandai dengan empat tanda dasar yaitu isolasi sosial,
keterbelakangan mental (sekitar 70-75% dari penyandang autism), defisit bahasa,
serta stereotip & perilaku yang diulang-ulang (Rodier, 2000; Alloy, Riskind & Manos;
2005; Happe & Frith dalam Gabriels & Hill, 2007 ).
Penggunaan istilah Autistic pertama kali dikemukakan oleh Leo Kanner pada tahun
1943 diambil dari bahasa Yunani autos yang artinya self. Kanner mempublikasikan
hasil pengamatannya pada 11 anak autis, yang menunjukkan
berikut
ciri-ciri sebagai
: (a) Kesendirian yang extrim dan kurang berespon sosial, (b) Keinginan
Autisme lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 4-5 : 1.
Dalam pengklasifikasian gangguan autisme untuk tujuan ilmiah dapat digolongkan
atas autisme ringan, sedang dan berat. Penanganan atau intervensi pada autisme perlu
dilakukan secara intensif dan terpadu sehingga memberikan hasil yang optimal.
2. Asesmen
Panduan penetapan diagnosis gangguan perkembangan dan gangguan mental yang
biasa digunakan adalah diagnosis yang disepakati oleh (APA) American Psychiatric
Associationyang tertuang dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual ot Mental
Disorder).
Dalam DSM-IV-TR (DSM ke empat, edisi revisi), kriteria Autisme adalah;
Kriteria A : Harus ada 6 gejala dari (1),(2),(3) dengan minimal dua gejala dari (1) dan
masing-masing satu gejala dari (2) dan (3)
63
(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi social timbal balik yang muncul dalam bentuk
minimal dua gejala berikut ini:
a. Gangguan yang dalam berbagai tingkahlaku non verbal seperti; kontakmata,
ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak gerik, untuk melakukan interaksi
b. Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang sesuai
dengan tingkat perkembangan
c. Kurangnya spontanitas untuk berbagi kesenangan, minat atau prestasi dengan
oranglain (seperti jarang memperlihatkan, membawa atau menunjuk obyekobyek yang diminati).
d. Kurang mampu melakukan hubungan social atau emosional timbal balik.
(2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi yang muncul dalam bentuk minimal satu
gejala berikut ini:
a. Keterlambatan dalam perkembangan bahasa atau tidak bicara sama sekali
( tidak disertai oleh usaha untuk kompensasi melalui cara-cara komunikasi
alternative seperti bahasa isyarat atau mimic wajah)
b. Pada individu dengan kemampuan bicara yang cukup baik, terdapat gangguan
dalam beribisiatif atau mempertahankan percakapan denganoranglain.
c. Pernggunaan bahasa yang stereoti dan repetitif atau bahasa yang aneh
d. Kurangnya melakukan permainan pura-pura atau meniru social secara spontan
dan bervariasi, sesuai dengan tahap perkembangan.
(3) Pola-pola repetitive dan stereotip yang kaku pada tingkah laku,minat, dan aktifitas,
yang muncul dalam bentuk menimal satu gejala berikut ;
a. Pre-okupasi terhadap pola-pola minat yang strerotip dan terbatas dengan
intensitas abnormal
b. Terpaku pada rutinitas atau ritual khusus yang tidak fungsional
c. Melakukan geraka-gerakan stereotip dan repetitip ( seperti mengepakkan
tangan, menggerakkan jari-jari, atau melakukan gerakan seluruh badan yang
kompleks)
d. Preokupasi terus-menerus terhadap bagia-bagian obyek.
64
Kriteria B : Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area
berikut, dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2) bahasa yang
digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) permainan simbolik atau imajinatif.
Kriteria C : Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Retts Disorder atau
Childhood Disintegrative Disorder.
Pada bulan Mei 2013 diluncurkan DSM V sebagai kriteria diagnostik yang baru, yang
menjadikan satu semua ciri-ciri autistik dengan istilah Autism Spectrum Disorder atau
Gangguan Spektrum Autis yang perlu pula dicermati sebagai pembanding kriteria
diagnostik yang berdasarkan pada DSM IV-TR.
Kriteria A : Adanya deficit atau kekurangan yang relatif menetap dalam komunikasi
sosial dan interaksi sosial dalam berbagai situasi, yang tidak disebabkan karena
keterlambatan perkembangan secara umum, dan termanifestasikan dalam semuahal di
bawah ini :
1. Kendala dalam hubungan sosial-emosional timbal balik : mulai dari cara bersosialisasi
yang abnormal dan kegagalan dalam menjalin komunikasi timbal balik sampai pada
kurangnya kemampuan untuk berbagi tentang hal-hal yang menarik, berbagi rasa
(emosi),
berinteraksi sosial.
2. Kendala atau kurangnya kemampuan dalam penggunaan komunikasi non-verbal
dalam interaksi sosial : mulai dari kemampuan yang rendah dalam mengintegrasikan
komunikasi verbal-nonverbal, sampai pada abnormalitas pada kontak mata dan bahasa
tubuh, atau kurang mampu dalam memahami dan menggunakan komunikasi nonverbal hingga kekurangan secara total dalam ekspresi wajah atau penggunaan bahasa
tubuh.
3. Kendala dalam mengembangkan dan mempertahankan hubungan sosial yang sesuai
dengan usia perkembangannya (selain dengan pengasuh) : mulai dari kesulitan
mengadaptasikan perilaku
65
stereotip gerakan motorik yang sederhana, ekolalia, atau distress ektrim yang terjadi
ketikan ada perubahan kecil).
2. Ketaatan pada rutinitas yang berlebihan/kaku, adanya pola ritualistik perilaku verbal
dan non verbal atau kesulitan untuk berubah: ( seperti misalnya : adanya pola ritual
motorik, pemilihan jenis makanan yang kaku, mempertanyakan secara berulang atau
terjadi dstress yang ekstrim ketika terjadi perubahan kecil).
3. Adanya keterbatasan yang tinggi, ketertarikan pada sesuatu yang terbatas dengan
intensitas dan fokus yang abnormal ( seperti misalnya kelekatan atau ketertarikan
pada obyek-obyek yang tidak biasa, ketertarikan yang terbatas).
4. Reaksi
yang
berlebihan
(hyperreactive)
atau
sangat
kekurangan
Derajad Autistik
Komunikasi Sosial
Derajad 1
Membutuhkan
dukungan/bantuan ringan
66
komunikasi sosial
Derajad 2
Membutuhkan dukungan /
bantuan sedang
hal.
Kemampuan berkomunikasi
Ditandai denganadanya
Sangat membutuhkan
dukungan / bantuan
diberikan pendidikan khusus yang dirancang secara khusus untuk penyandang autis.
c. Fungsi kecerdasan tinggi (High Functioning Intelligence). Apabila penderitanya
masuk ke dalam kategori high functioning intelligence maka dengan pendidikan yang
tepat, diharapkan dapat hidup secara mandiri bahkan dimungkinkan dapat berprestasi,
dapat juga hidup berkeluarga.
4.
Penanganan Autis
a. Penanganan dini
67
1) Intervensi medis
2) Intervensi keterapian fisik
Neurodevelopmental Physiotherapy
5. Penanganan pendidikan
Penanganan pendidikan bagi anak-anak penyandang autis, pada hakekatnya adalah
lebih menekankan pada intervensi atau pendidikan perilaku, dengan suatu filosofi
yang sama dengan intervensi perilakuan pada usia dini yaitu mengajarkan pada anak
perilaku dan keterampilan
Sensori Motorik
difficulties dan learning problem, namun secara konseptual istilah learning disability
lebih tepat dimaknai sebagai kesulitan belajar karena kondisinya yang sangat
khas/spesifik sehingga sering disebut specific learning disability. Dari sisi makna
kata, istilah kesulitan belajar memiliki makna yang lebih optimistik (Abdurrahman,
2003).
Istilah learning difficulties disejajarkan dengan learning problems merujuk pada
kondisi siswa yang mengalami kesulitan dalam mencapai prestasi akademik dalam
bidang bahasa dan berhitung atau dalam bidang akademik yang lain (Setswood, 2004).
Istilah lain yang juga digunakan adalah general learning difficulties (Chan, 1998;
Cheng, 1998, McMillan&Siperstein, 2002; Westwood, 2003, dalam Westwood, 2004).
Penyebab masalah belajar adalah: ketidak tepatan atau ketidaksesuaian pembelajaran;
ketidaksesuaian dan ketidakcocokan kurikulum; lingkungan kelas; hambatan sosialekonomi; lemahnya hubungan antara guru dan siswa; kehadiran siswa di kelas yang
rendah; masalah kesehatan; hambatan karena bahasa kedua; kurang percaya diri;
adanya masalah emosional dan perilaku; kecerdasan di bawah rata-rata; hambatan
sensoris; dan kesulitan pemrosesan informasi.
Istilah learning disabilities atau spesific learning disabilities merujuk pada hambatan
atau keterlambatan perkembangan pada salah satu atau beberapa dari proses bicara,
bahasa, membaca, menulis, aritmatika, atau mata pelajaran lain sebagai hasil dari
hambatan psikologis karena adanya disfungsi syaraf dan/atau adanya hambatan emosi
atau perilaku. Permasalahan ini bukan hasil dari adanya hambatan kecerdasan,
hambatan sensoris atau indera, atau adanya hambatan budaya dan hambatan dalam
pembelajaran (Kirk, dalam Sotelo-Dynega, Flanagan dan Alvonso, 2011).
Istilah learning disabilities atau specific learning disabilities diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia menjadi kesulitan belajar atau kesulitan belajar khusus. Alih bahasa
secara leksikal dari istilah learning disabilities adalah ketidakmampuan belajar.
Namun demikian istilah
akademisi dan digunakan juga dalam regulasi pemerintah yaitu dalam PP No. 17/2010
dan Permendiknas No. 70/2009.
a. Definisi
Peserta didik kesulitan belajar, dimaksud dalam kurikulum ini adalah peserta didik
yang berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan secara profesional oleh orang69
70
sulit memusatkan perhatian pada tugas tertentu dalam waktu yang ditentukan
dibanding teman sebaya
71
72
menampilkan
beberapa
ciri
di
atas
setidaknya
selama
enam
c.
74
d. Kriteria Diagnosis
Berdasarkan DSM V terdapat 4 kriteria yang harus dipenuhi untuk
menegakkan diagnosis anak kesulitan belajar berdasarkan sintesis dari sejarah
(perkembangan anak, sejarah kesehatan, keluarga dan pendidikan), catatan
sekolah dan asesmen pendidikan dan psikologis, antaralain:
1) Kesulitan dalam belajar dan menggunakan ketrampilan akademik, yang
diindikasikan oleh temuan minimal 1 tanda dari beberapa tanda berikut
secara menetap selama 6 bulan.
75
Kesulitan
dalam
mengeja
(misal:
kemungkinan
menambah,
mengganti prosedur.
76
e.
Layanan Pendidikan
Anak dengan kesulitan belajar memiliki kebutuhan belajar yang secara kualitatif
berbeda dengan anak pada umumnya. Dengan demikian anak dengan kesulitan
belajar membutuhkan layanan pembelajaran yang relatif berbeda sebagaimana
yang tersedia bagi anak pada umumnya di sekolah reguler. Sebagai contoh,
seorang siswa dengan kesulitan belajar membaca membutuhkan layanan
pembelajaran yang lebih eksplisit, lebih intensif dan lebih suportif dibandingkan
dengan anak pada umumnya (Foorman dan Torgesen, dalam Sotelo-Dynega,
Flanagan dan Alvonso, 2011).
Pendekatan tradisional dalam layanan pendidikan bagi siswa dengan kesulitan
belajar dilakukan melalui program pullout, yang dilakukan dalam kelompok
kecil (5-15 anak) di kelas khusus. Meskipun pendekatan tradisional ini mendapat
kritik bahwa pendekatan tersebut tidak memberi dampak pada proses normalisasi
anak kesulitan belajar (Foorman dan Torgesen, dalam Sotelo-Dynega, Flanagan
dan Alvonso, 2011), namun program ini masih banyak diterapkan di beberapa
negara karena dianggap masih cukup realistis dan berguna. Pendekatan dalam
layanan pendidikan yang lebih memberikan ruang dalam proses normalisasi
adalah pendekatan inklusif. Mereka belajar bersama dengan teman sebaya di
kelas-kelas reguler sepanjang waktu. Jika mengalami kesulitan dalam bidang
tertentu, guru dapat melakukan adaptasi melalui program akomodasi atau
modifikasi kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan tingkat kesulitan dan
kebutuhan khusus peserta didik.
f.
Program Kekhususan
Di luar kurikulum reguler yang berlaku bagi peserta didik pada umumnya, anakanak dengan kesulitan belajar wajib disediakan program kekhususan sesuai
dengan kebutuhan mereka. Program kekhususan bagi peserta didik lamban
belajar dirangkum menjadi Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial.
77
dalam
membaca,
menulis
dan
berhitung,
menemukan
dan
2. Lambat Belajar
a. Definisi
Istilah lamban belajar dalam Kurikulum Pendidikan Khusus 2013 didasarkan pada
istilah slow learner (Griffin, 1978; Mercer, 1996; Williamson, 1974), yakni peserta
didik yang mengalami kelambanan belajardibandingkan dengan kelompok teman-
78
khusus, skor tes kecerdasan mereka terlalu tinggi untuk disebut sebagai anak
tunagrahita. Meskipun anak lambat belajar kemungkinan membutuhkan pendidikan
khusus mereka tidak cocok dengan system sekolah khusus atau SLB-C (Macmillan,
Gresham, Bocian & Lambros, 1998).
Carrol (2004) mendefinisikanslowlearner adalah siswa dengan kemampuan kognitif
di bawah rata-rata tetapi tidak termasuk terbelakang mental namun mereka harus
berupaya keras untuk menguasai kebutuhan akademik di kelas reguler. Untuk
menjamin keberhasilan mereka di sekolah, diperlukan akomodasi. Peserta didik
lambat belajar kemampuannya cenderung di bawah rata-rata kelas, gagal berulangulang dalam semua mata pelajaran, dan atau prestasi akademiknya di bawah ratarata kelas, sering tinggal kelas, drop out, atau gagal sekolah. Kegagalan anak
lambat belajar umumnya karena kemampuan intelektual rendah tetapi mereka ini
tidak dapat dikategorikan anak tunagrahita, kemampuan mereka berada di antara
anak normal dan tunagrahita. Populasi lambat belajar secara statistik + 15 %,
proporsi ini jauh lebih besar dibandingkan yang terdaftar di sekolah. Berdasarkan
perkiraan dari distribusi normal populasi lambat belajar 14,1 %. Hasil penelitian
Neisser(1998) dalam Shaw, dkk. (2005 ) menunjukkan bahwa populasi anak lambat
belajar berkisar 12,4 %. Populasi ini di Indonesia diperkirakan antara 10-15%
(Nawangsari, 2008).
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan para ahlidi atas, definisi tentang
Peserta didik lamban belajar, dimaksud dalam kurikulum ini adalah peserta didik
yang berdasakan hasil asesmen profesional dan dilakukan oleh orang-orang yang
79
terhadap
lingkungan
(perilaku
adaptif)
cenderung
mengalami
80
dan mungkin berhasil jika diberi waktu belajar yang lebih lama dan silabus
disesuaikan dengan kebutuhan mereka; (3) kurang mampu menguasai tuntutan
kurikulum dan mengimbangi kecepatan belajar anak berkemampuan rata-rata; (4)
mengalami kesulitan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi; (5) konsep diri
rendah, persepsi diri negatif, rentang perhatian pendek, dan tidak bisa berkonsentrasi
lama pada satu topik.
Sullivan dalam Joseph (2013) mendeskripsikan karakteristik peserta didik
lambanbelajar meliputi : (1) perhatian
mereaksi; (3) kemampuan regulasi diri terbatas; (4) kemampuan mengabstraksi dan
menggeneralisasi terbatas; (5) lambat menghubungkan unsure-unsur bahasa: kata-kata, frase, kalimat; (6) gagal mengenali unsur penting dalam informasi baru; (7)
kebiasaan belajar lambat dan cepat lupa; (8) sudut pandang terbatas; (9) kurang
mampu meralisasikan standar standar kinerja; (10) orisinalitas kinerja dan kreativitas
rendah; (11) kurang mampu menganalisis, memecahkan masalah, atau berpikir kritis;
(12) kurang mampu melakukan proses mental yang lebih tinggi.
81
d. Layanan Pendidikan
Sesuai dengan defenisi dan karakteristik peserta didik lamban belajar yang tidak
mengharuskan mereka dimasukkan ke dalam sekolah khusus, maka sistem
layanan pendidikan yang diperlukan bagi mereka adalah sistem pendidikan
inklusif bukan sistem pendidikan dalam bentuk satuan pendidikan khusus (SLB).
Sistem layanan pendidikan inklusif, mengharuskan pihak sekolah reguler
menyediakan lingkungan fisik, sosial dan pembelajaran yang aksesibel bagi semua
anak untuk membantu mengatasi hambatan belajar mereka. Karena itu sekolah
reguler perlu menyediakan program-program tambahan di luar tuntutankurikulum
reguler, seperti : (1) lingkungan sehat; (2) chek-up kesehatan secara berkala; (3)
motivasi; (4) pembelajaran individual; (5) penggunaan metode khusus; (6)
kunjungan rumah oleh guru kelas/guru khusus; dan (7) rekaman pertumbuhan dan
perkembangan belajar anak dalam bentuk portofolio.
e. Program Kekhususan
Di luar kurikulum reguler yang berlaku bagi peserta didik pada umumnya, anakanak dengan kondisi lamban belajar wajib disediakan program kekhususan sesuai
dengan kebutuhan mereka. Program kekhususan bagi peserta didik lamban belajar
dirangkum menjadi Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial.
Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial, bukan merupakan mata pelajaran,
tetapi merupakan aktivitas bimbingan belajar khusus yang diberikan kepada
mereka secara terjadwal untuk membantu mengatasi hambatan belajar mereka.
82
Khusus
2013
dimaknai
khusus
tidak
sekedar
pengulangan
pembelajaran seperti yang diberlakukan bagi siswa pada umumnya yang belum
memenuhi kriteria ketuntasan minimal, akan tetapi lebih pada peninjauan ulang
terhadap tingkat kesulitan materi ajar dibandingkan dengan level kemampuan dan
kebutuhan belajar anak pada saat ini, tujuan dan target pembelajaran yang
ditetapkan guru, penggunaan strategi pembelajaran yang dipilih, bantuan khusus
yang dibutuhkan, serta pemilihan media pembelajaran yang sesuai.
I. Cerdas Istimewa
1. Definisi Cerdas Istimewa
Menurut definisi yang dikemukakan Renzuli, anak berbakat merupakan
satu interaksi diantara tiga sifat dasar manusia yang menyatu ikatan
terdiri dari kemampuan umum dengan tingkatnya di atas kemampuan
rata-rata, komitmen yang tinggi terhadap tugas-tugas dan kretivitas yang
tinggi.Anak
berbakat
ialah
anak
yang
memiliki
kecakapan
dalam
83
saja,
akan
tetapi
merupakan
faktor
multidimensi
dan
dinamis. Carpenter (2001) dan Lyth (2003) membagi anak CIBI atas :
- Ringan (mild), IQ = 115 - 129
- Sedang (moderate), IQ = 130 - 144
- Tinggi (high), IQ = 145 - 159
- Kekecualian (exceptional), IQ = 160 - 179
- Amat sangat (profound), IQ = 180+
Namun menurut Rezulli jika IQ anak 130 bisa dikatakan anak tersebut termasuk
anak cerdas istimewa dan bakat istimewa (CIBI)
3. Karakteristik siswa cerdas istimewa
Anak-anak gifted bukanlah anak dengan populasi seragam, ia mempunyai
banyak
variasi,
baik
personalitasnya,
variasi
maupun
pola
variasi
tumbuh
kembangnya,
keberbakatannya.
Semakin
variasi
tinggi
melebihi
kapasitas
normal,
namun
mengalami
ketertinggalan
hukuman
menulis
berlembar-lembar
84
yang
justru
tidak
85
86
87
Ciri-ciri mental-intelektual, usia mental lebih tinggi daripada ratarata anak normal. Daya tangkap dan pemahaman lebih cepat dan
luas, memiliki hasrat ingin tahu yang besar, kreatif, dan berciri
khas.
Ciri sosial seperti suka bergaul dengan orang yang lebih tua, suka
permainan yang mengandung pemecahan maslah, dan suka bekerja
sendiri.
Penggunaan
tes
kecerdasan.
Untuk
keperluan
identifikasi
disarankan
karena
menurut
Jensen
merupakan
tes
88
mana
dipengaruhi
pengamatan
oleh
dan
bias-bias
pencatatan
pribadi.Untuk
informasi
itu
studi
tidak
kasus
yang
mungkin
menghambat
perkembangan
89
kehidupan
ekonomi,
lingkungan
keluarga
yang
merugikan
observasi
terarah,
dan
dengan
menelaah
record
Model Renzulli.
Menurut Renzulli kinerja seseorang secara khusus dipengaruhi
oleh
motivasi
yang
muncul
dalam
komitmen
menyelesaikan
90
produktivitasnya
ternyata
beranjak
pada
komitmen
kreativitas
dan
komitmen
pada
tugas
Model Cohn.
Cohn
menyajikan
suatu
pendekatan
yang
disebut
kepemimpinan
dan
dimensi
khusus
tertentu
lainnya.
Model Gagne.
Perumusan Gagne tentang keberbakatan berbeda dari perumusan
ahli lainnya. Sebab amat membedakan keberbakatan intelektual
(gifted)
dan
perolehan
hasil
belajar
skolastik.
Sementara
91
intelektual,
kreatif,
sosioafektif
dan
sensorimotorik
negative
yang
menjadikan
aptitude
terwujud
menjadi
yaitu
ingin
tahu,
motivasi,
ketekunan
dan
kegiatan.Apatitude
sebaiknya
diidentifikasi
melalui
tes
mungkin
dalam
arti
jumlah
maupun
cirri-cirinya.
lebih
intelektual.Jadi,
banyak
konsep
dipengaruhi
identifikasi
oleh
kawasan
program
non
pendidikan
Model Sternberg.
92
problem
solving)
sebagai
cakupan
proses
informasi
93
94
bermasalah dan masuk ke dalam sirkuit kenakalan remaja dan penyalahgunaan obat
terlarang.
Tipe ini merupakan dampak dari tidak adanya penanganan yang baik untuk anak
kelompok II atau The Chalanging yang berlanjut kepada frustasi dan depresi.Frustasi
95
dan depresi ini bisa muncul di sekolah tingkat lanjut namun pada dasarnya telah
dimulai sejak pendidikan dasar.Droupout bukan saja dalam bentuk prestasi sekolah
yang menurun namun juga secara mental dan emosional.
96
97
lainnya seperti anak berkecerdasan kurang dan terbatas, cacat fisik primer, dan anakanak normal. (Bentuk seperti ini biasa disebut full-inclusion). Bentuk sekolah atau
kelas inklusi seperti ini membutuhkan tawaran pendidikan dengan banyak level atau
komptensi. Namun negara Belanda meletakkan anak gifted dalam sekolah inklusi
yang terbatas bersama 4 kelompok lainnya yaitu: penyandang ADHD, Autisme,
learning disabilities dan anak normal. Berbeda dengan model yang dikembangkan
oleh Norwegia, dalam Undang-undang pendidikan Belanda, sekolah reguler sebagai
sekolah inklusi hanya menerima anak berkecerdasan normal ke atas, dan tidak
bergangguan cacat primer. Bentuk sekolah seperti ini telah berdiri sejak tahun 1990
dengan nama program We Zijn Weer Samen Naar School atau Kita Kembali Sekolah
Bersama-sama. Nama seperti ini diberikan karena semula anak anak berkebutuhan
khusus tersebut dipisah diletakkan di sekolah-sekolah khusus. Bentuk pendidikan di
Belanda kini lebih kepada pendekatan sistem kompetensi atau level, dibagi dalam 3
kompetensi, yaitu kompetensi atas, rata-rata, dan bawah.
Guru kelas atau guru bidang studi di sekolah reguler bersama-sama guru
Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau Pendidikan Khusus (PKh) sebelum
melaksanakan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan
khusus terlebih dahulu perlu menjabarkan standar kompetensi dan
kompetensi
dasar
dalam
rencana
pembelajaran
reguler,
modifikasi
didik
yang
berkebutuhan
khusus
atau
yang
memiliki
98
Strategi
Pembelajaran
Berdiferensiasi
dalam
mendiferensiasikan
yaitu
materi pelajaran,
proses, produk,
lingkungan
dan
Pemadatan
materi
pelajaran,yaitu
sebuah
strategi
untuk
untuk
kemandirian
menunjukkan
dalam
komitmen,
melakukan
tugas
tanggung
jawab
menantang.Ada
dan
delapan
untuk
mengevaluasi
tujuan
pembelajaran
99
yang
sesuai
dengan
minat
siswa;Dokumentasikan
sudah
siap
dengan
pengetahuan,
kemampuan
untuk
pengajaran
dan
pembelajaran,
antara
lain
dengan:
tingkat
menyintesis,
tinggi,
mengaplikasi
terutama
dan
kemampuan
mengevaluasi.
menganalisis,
Siswa
berbakat
100
pada siswa
mempresentasikan
solusinya.Misalnya,
siswa
diminta
untuk
menginvestigasi polusi dari emisi kendaraan atau polusi air kali, dan
hasilnya bisa di-sampaikan pada instansi pemerintah atau swasta yang
terkait.
d. Lingkungan Belajar. Iklim belajar di kelas merupakan faktor yang
berpengaruh langsung pada gaya belajar dan minat siswa. Sikap guru
lah yang sangat menentukan iklim di dalam kelas. Lingkungan belajar
yang sesuai adalah yang mengandung kebe-basan memilih dalam satu
displin;
kesempatan
kelompok;
untuk
kemandirian
mempraktikkan
dalam
belajar;
krea-tivitas;
kompleksitas
interaksi
pemikiran;
101
Memodifikasi
evaluasi
berarti
menentukan
suatu
metode
untuk
102
BAB IV
LANDASAN EMPIRIS
A. Tunanetra
Pada saat ini perekonomian Indonesia terus tumbuh di tengah bayang-bayang resesi dunia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2005 sampai dengan 2008 berturut-turut 5,7%,
5,5%, 6,3%, 2008: 6,4% (www.presidenri.go.id/index.php/ indikator). Pertumbuhan
ekonomi Indonesia tahun 2012 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan
ekonomi negara- 8 negara ASEAN sebesar 6,5 6,9 % (Agus D.W. Martowardojo, dalam
Rapat Paripurna DPR, 31/05/2012). Momentum pertumbuhan ekonomi ini harus terus
dijaga dan ditingkatkan. Generasi muda berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif, ulet,
jujur, dan mandiri, sangat diperlukan untuk memantapkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia di masa depan. Generasi seperti ini seharusnya tidak muncul karena hasil
seleksi alam, namun karena hasil gemblengan pada tiap jenjang satuan pendidikan dengan
kurikulum sebagai pengarahnya.
Sebagai negara bangsa yang besar dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan
beragamnya kemajuan pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun
ancaman disintegrasi bangsa masih tetap ada. Kurikulum harus mampu membentuk
manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat
untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan untuk
berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.
Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus
pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa
generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada
kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut bersumber dari kurikulum, namun beberapa ahli
pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah
implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan
peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik.
Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan direorganisasi terhadap beban belajar
dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini.
103
Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan
dengan beban belajar anak, khususnya anak sekolah dasar. Beban belajar ini bahkan
secara kasatmata terwujud pada beratnya beban buku yang harus dibawa ke sekolah.
Beban belajar ini salah satunya berhulu dari banyaknya mata pelajaran yang ada di
tingkat sekolah dasar. Oleh karena itu kurikulum pada tingkat sekolah dasar perlu
diarahkan kepada peningkatan 3 (tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung
serta pembentukan karakter.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk
masih adanya kecurangan di dalam Ujian Nasional/UN menunjukkan mendesaknya upaya
menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam
satuan pendidikan, maka kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilainilai kejujuran pada peserta didik.
Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan manusia telah secara nyata mempengaruhi
secara negatif lingkungan alam. Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih,
adanya potensi rawan pangan pada berbagai belahan dunia, dan pemanasan global
merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang
akan datang. Kurikulum seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan
kepedulian generasi muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan
untuk merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan
ketahanan pangan.
Hasil studi PISA (Program for International Student Assessment), yaitu studi yang
memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPA, menunjukkan peringkat
Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil studi TIMSS
(Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan anak Indonesia
berada pada ranking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang
komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan
pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil studi ini menunjukkan perlu ada
perubahan orientasi kurikulum dengan tidak membebani peserta didik dengan konten
namun pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga negara untuk
berperanserta dalam membangun negara pada masa mendatang.
Kurikulum 2013 untuk anak tunanetra memperhatikan kemampuan akademik dan non
akademik yang dimiliki anak tunanetra. Anak tunanetra memiliki kemampuan yang
104
beragam seperti anak lain sebaya. Levingston (dalam Blackhurst & Berdine, 1981)
sependapat dengan Kirtley, bahwa perkembangan inteligensi tidak langsung dipengaruhi
oleh hilangnya fungsi penglihatan, dan IQ sendiri tidak cukup untuk mengukur
kemampuan belajar. Jadi kemampuan anak tunanetra mungkin lebih bagus dari pada hasil
yang ditunjukkan (Kline, 1997). Kwan (1995) menyatakan bahwa interaksi ibu dan anak
tunenetra akan berpengaruh positif jika ibu memberikan respon yang positif, misalnya:
mendorong mobilitas anak, membantu jika diminta, mengajak bicara,
dan lain
sebagainya. Interaksi ibu dan anak akan negatif jika perilaku ibu bersifat menentukan,
misalnya:
berpendapat bahwa kemampuan persepsi dan belajar anak tunanetra rendah karena anak
tunanetra lebih mengandalkan indra lain. Warren
daerah inteligensi anak tunanetra yang berbeda dengan anak awas mulai dari pemahaman
konsep spasial sampai dengan pengetahuan umum tentang lingkungan (Harring &
Schiefbusch, 1967).
B. Tunarungu
Bangsa Indonesia secara geografis, demografis, sosial budaya, agama, memiliki potensi
positif yang dapat menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang maju, memiliki peradaban
tinggi, serta dapat bersaing dalam dunia regional maupun internasional. Tetapi dari
keberagaman tersebut juga dapat memunculkan potensi negatif, seperti disintegrasi, rasa
kedaerahan
yang
ekstrim/radikal,
dan
sebagainya.
Dalam
bidang
pendidikan,
105
106
pendidikan luar biasa diperluas mencakup tidak hanya di sekolah khusus tetapi juga di
semua sekolah umum, anak usia pra-sekolah, remaja, sekolah menengah dan orang
dewasa yang berkebutuhan pendidikan khusus (Befring dan Tangen, 2001). Meskipun
pendidikan luar biasa telah cukup lama digunakan dalam melayani anak berkelainan,
namun baru pada abad 20 dipelajari sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri.
Pendidikan khusus sebagai disiplin ilmu merupakan bidang yang kompleks karena
bersifat multidisipliner, dan oleh karena itu diperlukan kolaborasi dengan disiplin ilmu
lain. Disiplin ilmu yang terkait dengan pendidikan khusus (PK) meliputi pedagogik,
psikologi, kedokteran dan sosiologi yang membentuk area of congruence dengan fokus
kajiannya sangat khas yaitu hambatan belajar (barier to learning), hambatan
perkembangan (barier to develeopment), dan kebutuhan khusus pendidikan (special needs
education), baik yang sifatnya temporer maupun permanen, dan bukan fokus kepada
kecacatan. Area of congruence disiplin ilmu pendidikan khusus mencakup tiga aspek
meliputi : (1) interaction and comunication impairment, (2) behavior and social
emotional impairment, (3) perceptual motor impairment. Area ini dapat terjadi pada
setiap jenis anak berkebutuhan khusus, seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, anak cerdas dan berbakat istimewa, maupun jenis
anak berkebutuhan khusus yang lain.
D. Tunadaksa
Kurikulum untuk peserta didik tunadaksa dengan hambatan intelektual disesuaikan
dengan kemampuan dan karakteristik masing-masing peserta didik. Peserta didik
tunadaksa dengan hambatan intelektual dengan gangguan fisik motorik yang memiliki
kemampuan kecerdasan rata-rata sama dengan peserta didik-peserta didik normal
dan/diatas rata-rata, menggunakan kurikulum umum/regular dengan menambahkan
pengembangan kompensatoris, sesuai kebutuhannya. Secara akademik mereka mampu
mengikuti jenjang pendidikan yang sama pula dengan peserta didik regular sampai di
perguruan tinggi. Untuk jenis tunadaksa dengan hambatan intelektual sedang / peserta
didik yang mengalami hambatan kecerdasan dengan hambatan fisik motorik yang disertai
dengan
kemampuan
kecerdasan
subnormal,
dan/atau
hambatan
bicara,
dan
107
peserta didik mempunyai bekal untuk hidup mandiri dalam arti mengurus diri sendiri dan
memiliki keterampilan berdasarkan kemampuan dan pilihannya masing.
E. Tunalaras
Indonesia, negara yang besar dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan
beragamnya kemajuan pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun
ancaman disintegrasi bangsa masih tetap ada. Kurikulum harus mampu membentuk
manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat
untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan untuk
berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.
Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus
pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa
generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada
kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut bersumber dari kurikulum, namun beberapa ahli
pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah
implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan
peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik.
Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan direorganisasi terhadap beban belajar
dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini.
Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan
dengan beban belajar peserta didik, khususnya peserta didik sekolah dasar termasuk yang
berkebutuhan khusus. Beban belajar ini bahkan secara kasatmata terwujud pada beratnya
beban buku yang harus dibawa ke sekolah. Beban belajar ini salah satunya berhulu dari
banyaknya mata pelajaran yang ada di tingkat dasar. Oleh karena itu kurikulum pada
tingkat sekolah dasar atau sekolah dasar luar biasa perlu diarahkan kepada peningkatan 3
(tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung serta pembentukan karakter.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk
masih adanya kecurangan di dalam Ujian Nasional menunjukkan mendesaknya upaya
menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam
satuan pendidikan. Maka kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilainilai kejujuran pada peserta didik.
Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan manusia telah secara nyata mempengaruhi
secara negatif lingkungan alam. Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih,
108
adanya potensi rawan pangan pada berbagai belahan dunia, dan pemanasan global
merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang
akan datang. Kurikulum seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan
kepedulian generasi muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan
untuk merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan
ketahanan pangan.
Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai, mutu pendidikan Indonesia harus terus
ditingkatkan. Hasil studi PISA (Program for International Student Assessment), yaitu
studi yang memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPA, menunjukkan
peringkat Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil studi
TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan peserta
didik Indonesia berada pada ranking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami
informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat,
prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil studi ini
menunjukkan perlu ada perubahan orientasi kurikulum dengan tidak membebani peserta
didik dengan konten namun pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua
warga negara untuk berperanserta dalam membangun negara pada masa mendatang.
Berdasarkan uraian di atas dapat menjadi dasar terhadap perlunya pembaharuan
kurikulum pendidikan khusus tunalaras, yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik,
orang tua, dan masyarakat secara umum terhadap pelaksanaan pendidikan khusus.
F. Tunanetra Ganda
Pekembangan pendidikan bagi tunanetra majemuk berkembang secara significant seiring
dengan
peningkatan
jumlah
anak-anak
yang
memiliki
hambatan
majemuk.
Kecenderungan yang ada di negara maju seperti Amerika saat ini menunjukkan bahwa
60 70 % anak yang masuk ke sekolah tunanetra, memiliki hambatan tambahan (MDVI).
Pada kesempatan yang sama, gaung atas pelaksanaan pendidikan untuk semua (Education
for All) telah mendorong negara-negara berkembang untuk mengakomodasi kebutuhan
belajar anak-anak ini. Jika pada masa lampau mereka termarginalkan dan tidak
mendapatkan layanan pendidikan di sekolah formal, maka saat ini banyak Negara
berkembang yang membuka layanan pendidikan. Dampak dari kondisi tersebut adalah
kebutuhan tentang kurikulum yang dapat dijadikan panduan.
109
Di beberapa Negara, kurikulum untuk tunanetra majemuk diterapkan dengan model yang
berbeda tetapi semua mengacu pada filosofis dasar yang mencakup empat area to work,
to play , to love & to live. Filosofis dasar yang lain adalah harus dilakukan melalui
aktifitas akademik.
India tidak mengembangkan kurikulum khusus bagi tunanetra majemuk, tetapi mereka
membuat panduan khusus melainkan menoba mengikuti kurikulum umum. Tetapi ada
panduan-panduan khusus yang dikembangkan untuk mengakomodasi strategi dalam
memodifikasi kurikulum umum menjadi kurikulum fungsional, modifikasi dalam
pendekatan pembelajaran, media serta evaluasi.
Thailand memiliki fleksibilitas dalam penggunaan kurikulum, sekolah dapat memilih
sesuai dengan kondisi siswa. Pada dasarnya mereka membedakan 3 kurikulum yang dapat
dipergunakan:
1. Kurikulum untuk tunanetra yang mengacu pada kurikulum sekolah umum
2. Kurikulum yang dikembangkan oleh sekolah atau guru sendiri tetapi diakui oleh
pemerintah (peserta didik diharapkan menyelesaikan kelas 4 dari kurikulum umum).
Kurikulum ini diadopsi dari kurikulum tunanetra atau umum tetapi dikembangkan
menjadi kurikulum fungsional.
Di Amerika, kurikulum tunanetra majemuk mengadopsi kurikulum umum tetapi setiap
Negara bagian memeliki panduan atau aturan yang menjelaskan secara detail tentang tata
cara penyesuaian. Pendekatan tematik menjadi inti utama yang diwujudkan dalam bentuk
kurikulum fungsional dan menginteragrasikan muatan akademik pada setiap kegiatan di
kelas. Sekolah atau guru memiliki fleksibilitas dalam merancang program pembelajaran,
pemerintah federal memberikan peraturan untuk evaluasi yang berdasarkan portofolio
disertai bukti-bukti yang kuat.
G. Autis
Pengembangan system pendidikan dan kurikulum khusus untuk siswa autis didasarkan
kepada sejumlah fakta dan data yang berhasil dikumpulkan dari para praktisi di lapangan.
Perolehan data dilakukan melalui wawancara mendalam, focus group discussion maupun
kuesioner. Berikut adalah beberapa fakta empiris terkait dengan pengembangan
kurikulum untuk anak autis.
110
1. Anak-anak autis banyak yang sudah terindentifikasi pada usia dini, kisaran 2-4 tahun.
Mereka yang sudah terindetifikasi sebagai autis pada usia tersebut, banyak yang
mengikuti program intervensi dini terutama untuk pengembangan kemampuan socialkomunikasi, melalui program terafi bahasa dan terapi prilaku.
2. Fakta juga menunjukkan bahwa belum semua siswa autis teridentifikasi pada usia dini.
Mereka tidak memperoleh program intervensi dini dan terlambat masuk ke sekolah.
3. Banyak lembaga-lembaga klinik di masyarakat yang memberikan layanan terapi
kepada anak-anak autis.
4. Sejauh ini belum ada sekolah formal khusus untuk autis.
5. Sebagian besar autis mengalami hambatan/kekurangan kapasitas intelekual, sehingga
relative
mengalami
kesulitan
ketika
harus
mengikuti
pendidikan
dengan
111
(yaitu
kemampuan
bahasa/komunikasi,
emosi,
social,
dan
kemandirian). Dalam kondisi dimana seorang autis ringan tidak dapat mengikuti
pendidikan di SD khusus autis, mereka bisa mengikuti pendidikan di SD umum
sambil memperoleh pembinaan aspek emosi, social dan kemandirian secara
parallel.
j. Pada tingkat sekolah menengah baik menengah pertama maupun menengah atas
(SMP dan SMA), anak autis ringan didorong/difasilitasi untuk mengikuti
pendidikan di SMP dan SMA inklusif.
k. Muatan kurikulum di sekolah khusus autis secara umum terbagi dalam tiga bidang
utama, yaitu bidang prilaku, bidang keterampilan dan bidang akademik, dengan
rincian sbb.:
1) Bidang prilaku, mencakup kemampuan bahasa/bicara, berkomunikasi/interaksi,
dan prilaku social (penyesuaian dengan lingkungan).
2) Bidang keterampilan, mencakup keterampilan merawat diri (activity daily living)
dan keterampilan kerja.
3) Bidang akademik, mencakup penguasaan bidang studi (mata pelajaran).
112
Keterangan:
PG
= play group
TK Kh.
113
SD Kh.
KUR A
KUR B
INKL
= Inklusif
Generasi seperti ini seharusnya tidak muncul karena hasil seleksi alam, namun karena
hasil gemblengan pada tiap jenjang satuan pendidikan dengan kurikulum sebagai
pengarahnya.
Sebagai negara bangsa yang besar dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan
beragamnya kemajuan pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun
ancaman disintegrasi bangsa masih tetap ada. Kurikulum harus mampu membentuk
manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat
untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan untuk
berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.
Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus
pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa
generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada
kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut bersumber dari kurikulum, namun beberapa ahli
pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah
implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan
peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik.
114
Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan direorganisasi terhadap beban belajar
dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini.
Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan
dengan beban belajar siswa, khususnya siswa sekolah dasar. Beban belajar ini bahkan
secara kasatmata terwujud pada beratnya beban buku yang harus dibawa ke sekolah.
Beban belajar ini salah satunya berhulu dari banyaknya matapelajaran yang ada di tingkat
sekolah dasar. Oleh karena itu kurikulum pada tingkat sekolah dasar perlu diarahkan
kepada peningkatan 3 (tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung serta
pembentukan karakter.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk
masih adanya kecurangan di dalam Ujian Nasional/UN menunjukkan mendesaknya upaya
menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam
satuan pendidikan. Maka kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilainilai kejujuran pada peserta didik.
Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan manusia telah secara nyata mempengaruhi
secara negatif lingkungan alam. Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih,
adanya potensi rawan pangan pada berbagai belahan dunia, dan pemanasan global
merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang
akan datang. Kurikulum seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan
kepedulian generasi muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan
untuk merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan
ketahanan pangan.
Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai, mutu pendidikan Indonesia harus terus
ditingkatkan. Hasil studi PISA (Program for International Student Assessment),
yaitustudi yang memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPA,menunjukkan
peringkat Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil studi
TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan siswa
Indonesia berada pada ranking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi
yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur
dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil studi ini menunjukkan perlu
ada perubahan orientasi kurikulum dengan tidak membebani peserta didik dengan konten
115
namun pada aspek kemampuan esensial diperlukan semua warga negara untuk
berperanserta dalam membangun negara pada masa mendatang.
Sejalan dengan hal tersebut, peserta didik berkesulitan belajar agar dapat berperanserta di
sekolah membutuhkan layanan khusus dalam menguasai kemampuan esensial
(pendidikan karakter, kesadaran lingkungan, kreativitas, pemecahan masalah, literasi)
karena umumnya mereka mengalami problem belajar dalam mengembangkan kompetensi
dasar Baca-Tulis-Hitung. Bila problem ini tidak segera diatasi akan berkontribusi pada
rendahnya peringkat studi PISA ataupun TIMMS. Dari
pengamatan lapangan
menunjukkan bahwa guru sebagai penanggung jawab utama belum memahami benar
problem dan kebutuhan anak berkesulitan belajar tersebut. Di samping itu perangkat
pendukung untuk layanan khusus bagi peserta didik berkesulitan belajar juga belum
tersedia. Sementara itu dari hasil angket dan diskusi dengan guru-guru sekolah inklusi
menyepakati bahwa kurikulum bagi peserta didik berkesulitan belajar mengacu pada
kurikulum reguler dengan akomodasi dan modifikasi kurikulum sesuai dengan berat
ringannya hambatan belajar yang dialami peserta didik. Guru-guru di sekolah reguler
perlu disediakan panduan bagaimana mengimplementasikan kurikulum reguler bagi
peserta didik berkesulitan belajar.
Berbagai program layanan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar, di beberapa negara
ternyata tidak ditemukan sekolah khusus bagi mereka. Mereka semua peserta didik
berkesulitan belajar mengikuti pendidikan reguler secara inklusif dan menggunakan
kurikulum sekolah reguler sesuai kelompok usianya. Program-program bimbingan khusus
diperlukan bagi mereka untuk mengatasi hambatan perhatian, persepsi, memori, berpikir
dan bahasa serta hambatan akademik membaca, menulis dan berhitung. Pelaksanaan
program bimbingan khusus ini disediakan di sekolah maupun melalui lembaga-lembaga
khusus di luar sekolah.
Praktik pendidikan bagi anak berkesulitan belajar di Indonesia agak sedikit berbeda
meskipun sebagian besar sama dengan yang dilakukan di negara-negara lain. Beberapa
sekolah yang membuka sekolah khusus untuk anak berkesulitan belajar di Indonesia,
dalam perjalanan waktu ternyata juga cenderung mengarah ke setting inklusif, bukan
sekolah segregatif. Ada sejumlah lembaga, biro dan pusat-pusat layanan teraputik,
menyediakan layanan khusus bagi anak berkesulitan belajar di luar jam sekolah, tetapi
bukan merupakan sekolah khusus. Pada umumnya para pengelola lembaga, biro atau
116
pusat-pusat layanan teraputik menyadari bahwa anak berkesulitan belajar secara umum
dapat mengikuti pendidikan secara inklusif di sekolah reguler sesuai denan kelompok
usianya tetapi perlu bantuan berupa bimbingan belajar dan pengajaran remedial pada
dimensi hambatan perkembangan dan akademik yang dialami peserta didik berkesulitan
belajar.
Mendasarkan pada landasan empirik pendidikan bagi anak berkesulitan belajar tersebut,
maka setting pendidikan bagi mereka dalam kurikulum 2013 tidak dalam bentuk sekolah
khusus tetapi sekolah inklusi. Karena itu kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
reguler yang berlaku pada kelompok usianya ditambah dengan program khusus sesuai
dengan kebutuhan danhambatan belajar yang dialami peserta didik.
Sejalan dengan hal tersebut, peserta didik lamban belajar agar dapat berperanserta di SD
membutuhkan layanan khusus dalam menguasai kemampuan esensial (pendidikan
karakter, kesadaran lingkungan, kreativitas, pemecahan masalah, dan literasi) karena
umumnya mereka mengalami problem belajar dalam mengembangkan kompetensi dasar
Baca-Tulis-Hitung. Bila problem
pengamatan lapangan
menunjukkan bahwa guru sebagai penanggung jawab utama belum memahami benar
problem dan kebutuhan peserta didik lambat belajar. Di samping itu perangkat pendukung
untuk layanan khusus bagi peserta didik berkesulitan belajar dan lambat belajar juga
belum tersedia. Sementara itu dari hasil angket dan diskusi dengan guru-guru sekolah
inklusi menyepakati bahwa kurikulum bagi peserta didik lamban
belajar dan
berkesulitan belajar mengacu pada kurikulum reguler dengan modifikasi dan guru-guru
membutuhkan panduan cara memodifikasi kurikulum.
Selama ini peserta didik lambat belajar di sekolah reguler diberi program remedial, di
Sekolah inklusif mereka mendapat program remedial, program pembelajaran individual,
dan layanan ruang sumber. Namun pelaksanaan remedial umumnya sekedar mengulang
materi pelajaran yang diberikan sebelumnya tanpa menganalisis kesulitan dan
permasalahan yang dialami anak. Tahapan yang harus dilakukan misalnya identifikasi,
asesmen, pengembangan program individual dan pelaksanaannya belum dilaksanakan
secara kontinyu yang berakibat tidak terdatanya portofolio yang menunjukkan
perkembangan dan pertumbuhan belajar peserta didik lamban belajar.
117
dan pelatihan
menutupi kekurangan
118
BAB V PENUTUP
120
121