Anda di halaman 1dari 125

LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

PENDIDIKAN KHUSUS JENJANG PENDIDIKAN DASAR


TAHUN 2013

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN DASAR
DIREKTORAT PEMBINAAN PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS
PENDIDIKAN DASAR

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGANTAR

ii

HALAMAN DAFTAR ISI

iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1. Tantangan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Khusus

2. Penyempurnaan Pola Pikir

3. Penguatan Tata Kelola Kurikulum

4. Penguatan Materi

5. Karakteristik Kurikulum Pendidikan Khusus

B. Tujuan

23

C. Sasaran

23

BAB II LANDASAN

25

A. Landasan Filosofis

25

B. Landasan Yuridis

26

C. Landasan Sosiologis

27

BAB III LANDASAN TEORITIS

29

A. Tunanetra

29

B. Tunarungu

34

C. Tunagrahita

36

D. Tunadaksa

43

E. Tunalaras

53

F. Tunanetra Ganda

58

G. Autis

62

H. Kesulitan Belajar dan Lamban Belajar

68

I. Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa

83

BAB IV LANDASAN EMPIRIS


A. Tunanetra
B. Tunarungu

103
103
105

C. Tunagrahita

106

D. Tunadaksa

107

E. Tunalaras

108

F. Tunanetra Ganda

109

G. Autis

110

H. Kesulitan Belajar dan Lamban Belajar

114

I. Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa

119

BAB IV PENUTUP

121

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Berdasarkan pengertian tersebut, ada dua dimensi kurikulum, yang pertama adalah
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, sedangkan yang kedua
adalah cara yang digunakan untuk kegiatan pembelajaran.
Kurikulum pada dasarnya selalu mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada perubahan kebutuhan
peserta didik. Demikian juga kurikulum pendidikan khusus. Kurikulum pendidikan
khusus 2013 dikembangkan bertolak dari tantangan internal, eksternal, penyempurnaan
pola pikir, penguatan tata kelola kurikulum dan penguatan materi.

1. Tantangan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Khusus


Faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga kurikulum pendidikan khusus perlu
dilakukan perubahan, antara lain:
a. Tantangan internal
Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan dengan
tuntutan pendidikan yang mengacu kepada 8 (delapan) Standar Nasional
Pendidikan yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan,
standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Tantangan internal lainnya terkait dengan perkembangan penduduk Indonesia
dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Saat ini jumlah penduduk
Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari usia tidak produktif
(anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65 tahun ke atas). Jumlah

penduduk usia produktif ini akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035
pada saat angkanya mencapai 70%. Oleh sebab itu tantangan besar yang dihadapi
adalah bagaimana mengupayakan agar sumberdaya manusia usia produktif yang
melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi sumberdaya manusia yang
memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak menjadi
beban. Tantangan internal berkaitan dengan peserta didik berkebutuhan khusus
adalah masih rendahnya angka partisipasi murni (APM). ABK yang masih rendah
di bawah 35%.
b. Tantangan Eksternal
Tantangan eksternal antara lain terkait dengan arus globalisasi dan berbagai isu
yang terkait dengan masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi,
kebangkitan industri kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat
internasional. Arus globalisasi akan menggeser pola hidup masyarakat dari agraris
dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan perdagangan modern
seperti dapat terlihat di World Trade Organization (WTO), Association of
Southeast Asian Nations (ASEAN)

Community, Asia-Pacific Economic

Cooperation (APEC), dan ASEAN Free Trade Area (AFTA).


Tantangan eksternal juga terkait dengan pergeseran kekuatan ekonomi dunia,
pengaruh dan imbas teknosains serta mutu, investasi, dan transformasi bidang
pendidikan. Keikutsertaan Indonesia di dalam studi International Trends in
International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Program for
International Student Assessment (PISA) sejak tahun 1999 juga menunjukkan
bahwa capaian anak-anak Indonesia tidak menggembirakan dalam beberapa kali
laporan yang dikeluarkan TIMSS dan PISA. Hal ini disebabkan antara lain
banyaknya materi uji yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam
kurikulum Indonesia.
2. Penyempurnaan Pola Pikir
Kurikulum 2013 bagi peserta didik berkebutuhan khusus dikembangkan dengan
penyempurnaan pola pikir sebagai berikut:

a. pola pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran berpusat pada
peserta didik. Peserta didik harus memiliki pilihan-pilihan terhadap materi yang
dipelajari untuk memiliki kompetensi yang sama;
b. pola pembelajaran satu arah (interaksi guru-peserta didik) menjadi pembelajaran
interaktif (interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/
media lainnya);
c. pola pembelajaran terisolasi menjadi pembelajaran secara jejaring (peserta didik
dapat menimba ilmu dari siapa saja dan dari mana saja yang dapat dihubungi serta
diperoleh melalui internet);
d. pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif-mencari (pembelajaran siswa
aktif mencari semakin diperkuat dengan model pembelajaran pendekatan sains);
e. pola belajar sendiri menjadi belajar kelompok (berbasis tim);
f. pola pembelajaran alat tunggal menjadi pembelajaran berbasis alat multimedia;
g. pola pembelajaran berbasis massal menjadi kebutuhan pelanggan (users) dengan
memperkuat pengembangan potensi khusus yang dimiliki setiap peserta didik;
h. pola

pembelajaran

ilmu

pengetahuan

tunggal

(monodiscipline)

menjadi

pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidisciplines); dan


i. pola pembelajaran pasif menjadi pembelajaran aktif dan kritis.
Dengan demikian, pengembangan kurikulum pendidikan khusus pendidikan dasar
tahun 2013 berpedoman pada prinsip-prinsi sebagai berikut:
a. Relevansi: dua relevansi internal dan relevansi eksternal. Internal berupa
kebutuhan mengembangkan potensi anak dan mengatasi hambatan anak, dan
ekternal berupa kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk hidup di masyarakat
di masa kini dan masa yang akan datang.
b. Praktis dan fungsional: praktis maksudnya dapat dikerjakan oleh anak dengan
latihan, dan fungsional dapat digunakan untuk keterampilan di daerah lingkungan
keluarga (domestik), sebagai rekreasi, keterampilan di masyarakat, dan
keterampilan bekerja.

c. Fleksibilitas: dalam implementasi setiap pencapaian kompetensi dasar dibutuhkan


waktu belajar, metode, dan evaluasi yang menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi.
d. Berorientasi pada peserta didik: setiap penetapan kompetensi inti dan kompetensi
dasar memperhatikan kebutuhan anak akan kecakapan-kecakapan aktivitas
kehidupan sehari-hari, dan pada implementasi berdasarkan deskripsi kondisi anak
yang telah dimiliki dalam setiap aspek kecakapan.
e. Kontinuitas: berkesinambungan mulai kecakapan inti yang paling dasar dari
kehidupan awal anak sampai kemandirian dalam keluarga dan masyarakat.
f. Integratif: mengintegrasikan berbagai substansi dasar membaca, menulis,
berhitung dan domain karakter, pengetahuan, sikap, dan keterampilan ke dalam
penggunaan belajar aspek kecakapan aktivitas kehidupan sehari-hari. Aktivitas
kehidupan sehari-hari merupakan tema yang mengikat berbagai substansi dasar
dan domain-domain kepribadian anak ketika pengembangan pembelajaran.
g. Fungsi kompensatoris: hambatan yang ada pada tunagrahita memerlukan program
kompensatoris untuk mengatasi hambatan itu, sehingga mendukung pencapaian
kompetensi yang telah ditetapkan.
h. Efektivitas dan Efisien: semua penggunaan sumber daya pendukung pembelajaran
yang digunakan untuk mencapai kompetensi inti dan dasar dilakukan secara
efektif dan efisien
3. Penguatan Tata Kelola Kurikulum
Pelaksanaan kurikulum selama ini telah menempatkan kurikulum sebagai daftar
matapelajaran. Pendekatan Kurikulum 2013 bagi peserta didik dengan kesulitan
belajar khusus diubah sesuai dengan kurikulum satuan pendidikan. Oleh karena itu
dilakukan penguatan tata kelola sebagai berikut:
a. tata kerja guru yang bersifat individual diubah menjadi tata kerja yang bersifat
kolaboratif, dengan melibatkan guru pembimbing khusus;
b. penguatan manajeman sekolah melalui penguatan kemampuan manajemen kepala
sekolah sebagai pimpinan kependidikan (educational leader); dan

c. penguatan sarana dan prasarana untuk kepentingan manajemen dan proses


pembelajaran.

4. Penguatan Materi
Penguatan materi dilakukan dengan cara kajian konseptual, yuridik dan empirik. dan
perluasan materi yang relevan bagi peserta didik berkebutuyhan khusu. Sesuai dengan
hasil kajian materi ditemukan indikator utama dalam pengembangan kurikulum
pendidikan khusus ini di kelompokkan menjadi 3 yaitu akademik, kecakapan hidup
dan kompensatoris/ kekhususan yang selanjutnya dituangkan dalam struktur
kurikulum dengan bobot yang disesuaikan dengan kebutuhan khusus peserta didik.
Disamping pertimbangan kelompok materi tersebut juga dipertimbangkan unsur
tingkat intelektual peserta didik, sehingga komposisinya menjadi menjadi 3 yaitu
kurikulum bagi pesertadidik yang tidak disertai dengan hambatan intelektual dan
kurikulum bagi pesertadidik yang disertai hambatan intelektual.
5. Karakteristik
Sesuai dengan hasil kajian konseptual, empirik dan yuridik, karakteristik kurikulum
PKLK 2013 sebagai berikut:
a. Karakteristik umum
1) Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman
belajar terencana, dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di
sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar.
2) Mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan serta menerapkannya
dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat.
3) Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap,
pengetahuan dan keterampilan
4) Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih
lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran
5) Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements)
kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran

dikembangkan

untuk

mencapai

kompetensi

yang

dinyatakan

dalam

kompetensi inti
6) Kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling
memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antar mata pelajaran
dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal).

Tanpa hambatatan intelektual

Dengan hambatatan intelektual

SM

S M P/SMPLB

SD/SDLB
(Kelas atas)

SD/SDLB
(Kelas bawah)

PERBANDINGAN STRUKTUR KURIKULUM PKLK PESERTA DIDIK TANPA


HAMBATAN INTELAKTUAL DAN DENGAN HAMBATAN INTELEKTUAL
Catatan:
A = Akademik
B = Keterampilan
C = Kompensatoris/kekhususan

b. Karakteristik khusus
1) Tunanetra
Kurikulum untuk tunanetra pada jenjang pendidikan SDLB/ SD/ MI, memiliki
karakteristik khusus sebagai berikut:

mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual


dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan
intelektual dan psikomotorik;

sekolah

merupakan

bagian

dari

masyarakat

yang

memberikan

pengalaman belajar terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang


dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai
sumber belajar;

mengembangkan sikap,

pengetahuan,

dan

keterampilan

serta

menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat;

memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai


sikap, pengetahuan, dan keterampilan;

kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci


lebih lanjut dalam kompetensi dasar matapelajaran;

kompetensi

inti

kelas

menjadi

unsur

pengorganisasi (organizing

elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses


pembelajaran

dikembangkan

untuk

mencapai

kompetensi yang

dinyatakan dalam kompetensi inti;

kompetensi

dasar

dikembangkan

didasarkan

pada

prinsip

akumulatif, saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched)


antarmatapelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan
vertikal).

Perluasan program khusus peserta didik tunanetra yang semula bernama


orientasi dan mobilitas tunanetra diperluas menjadi bina mobililitas,
komunikasi dan sosial. Mata pelajaran ini bersifat kompensatoris dari tiga
hambatan tunantera yaitu hambatan sosialisasi, mobilitas, keterbatasan
memperoleh keanekargaman pengalaman.

Kurikulum SDLB/ SD/ MI untuk peserta didik tunanetra terdiri dari


kelompok A (Pendidikan Agama, PPKn, Bahasa Indonesia, IPA,
7

Matematika, IPA dan IPS) untuk kelas I (69%), II, (71%), III (72%) dan
kelas IV, V, VI masing-masing 71%. Untuk kelompok B ( Seni Budaya,
Prakarya, Penjas dan Orkes I (25%), II (24%), III (22%) dan kelas IV, V,
VI masing-masing 24%. Kelompok C yaitu pendidikan program khusus/
kompensatoris semua kelas I, II, III masing-masing 2 jam (6%) dan kelas
IV, V, VI masing-masing 2 jam atau sekitar 5%.
Kurikulum pendidikan khusus 2013 bagi tunanetra pada jenjang SMPLB/ SMP/
MTs karakteristik sebagai berikut:

Mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual


dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan
intelektual dan psikomotorik;

Sekolah

merupakan

bagian

dari

masyarakat

yang

memberikan

pengalaman belajar terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang


dipelajari di sekolah ke masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai
sumber belajar;

mengembangkan

sikap,

pengetahuan,

dan

keterampilan

serta

menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat;

memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai


sikap, pengetahuan, dan keterampilan;

kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci


lebih lanjut dalam kompetensi dasar matapelajaran;

kompetensi

inti

kelas

menjadi

unsur

pengorganisasi

organizing

elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses


pembelajaran

dikembangkan

untuk

mencapai

kompetensi yang

dinyatakan dalam kompetensi inti;

kompetensi
akumulatif,

dasar

dikembangkan

didasarkan

pada

prinsip

saling memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched)

antarmatapelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan


vertikal).

Terdapat dua pembeda dalam kurikulum ini yaitu:

Penambahan pada mata pelajaran kelompok B yaitu mata pelajaran


prakarya dan pemanfaatan teknologi bantu tunanetra. Perluasan mata
pelajaran prakarya menjadi prakarya dan pemanfaatan teknologi bantu
8

tunanetra netra dimaksudkan untuk memberikan bekal keterampilan


dalam

akses

teknologi

dan

informasi

meminimalisir

hambatan

belajar

sebagai

sebagai

bagian

akibat

upaya

langsung

dari

ketunanetraanya.

Perluasan program khusus peserta didik tunanetra yang semua orientasi


dan mobilitas tunanetra diperluas menjadi bina mobililitas, komunikasi
dan sosial. Mata pelajaran ini bersifat kompensatoris dari tiga hambatan
tunantera

yaitu

hambatan

sosialisasi,

mobilitas,

keterbatasan

memperoleh keanekargaman pengalaman.


Kurikulum SMPLB/ SMP/MTs untuk peserta didik tunanetra

dengan

proporsi mata pelajaran kelompok A:B:C adalah 75%:25%:5%. Adapun


kelompok A (Pendidikan Agama, PPKn, Bahasa Indonesia, IPA,
Matematika, IPA, IPS dan Bahasa Inggris). untuk kelompok B ( Seni
Budaya, Prakarya, Penjas dan Orkes, dan Kelompok C yaitu pendidikan
program khusus/ kompensatoris.

2) Tunarungu
a) Kurikulum

untuk

anak

tunarungu

disusun

secara

berjenjang

dan

berkesinambungan mulai dari tingkat satuan pendidikan Taman Kanak-kanak


hingga tingkat satuan pendidikan menengah.
b) Adanya keseimbangan muatan pembelajaran untuk anak tunarungu diantara
aspek akademik, keterampilan dan kompensatoris.
c) Adanya kebebasan berekspresi dan berkreasi bagi peserta didik tunarungu
dalam pembelajaran yang dikembangkan secara terorganisis untuk mencapai
kompetensi inti
d) Program kompensatoris/kekhususan berupa Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi
dan Irama (BKPBI) menjadi salah satu program yang wajib diberikan pada
tingkat Sekolah Dasar, serta menjadi program fakultatif untuk tingkat SMP
dan SMA

e) Struktur program BKPBI mencakup muatan pembelajaran komunikasi dan


kebahasaan (ekspresif dan resepsif) baik lisan, tulisan, maupun isyarat, dan
disusun berdasarkan kesesuaian beban belajar tiap satuan pendidikan
f) Pencapaian kompetensi dasar peserta didik tunarungu secara individual
tergantung pada kondisi dan kemampuan masing-masing individu

3) Tunagrahita
Kurikulum bagi anak tunagrahita perlu disesuaikan dengan kondisi tunagrahita
dan kebutuhan tunagrahita mandiri di kehidupan sekolah, keluarga dan
masyarakat. Keterbatasan tunagrahita sebagai individu yang menyandang
keterbatasan intelektual atau hambatan kognitif dan intelektual menurut Brown
dan koleganya di tahun 1979 (Kauffman & Hallahan, 2011: 557) berfokus pada
keterampilan fungsional sesuai dengan usia kronologis dalam setting lingkungan
yang alami (chronologically age-appropriate functional skills in natural
environments).
Karakteristik kurikulum peserta didik tunagrahita, adalah:

Individualisasi: pencapaian kompetensi dasar didasarkan pada kondisi masingmasing anak secara individual.

Berdasarkan asesmen: penetapan kompetensi dasar didahului oleh deskripsi


kompetensi yang telah dicapai dan hambatan yang dimiliki.

Tema relevan dengan budaya di keluarga, sekolah, dan masyarakat: tema


aktivitas kehidupan sehari-hari mengikuti budaya keluarga, sekolah, dan
masyarakat.

Jalinan kerjasama dengan keluarga dan masyarakat pengguna: saat asesmen,


penetapan kompetensi dasar, penetapan tema, dan evaluasi melalui proses
persetujuan/agreement dari pihak-pihak yang menindaklanjuti kecakapan
yang telah dicapai.

Mengintegrasikan

akademik

fungsional

dan

kompensatoris:

substansi

akademik fungsional dan kompensatoris untuk pemecahan masalah dalam

10

kehidupan sehari-hari seharusnya fungsional dalam pencapaian kompetensi


dasar yang terintegrasi dalam tema.

Pengembangan kepribadian: pemecahan masalah yang tertuang dalam tema


memberi peluang untuk berbagai pengembangan kepribadian.

Persiapan vokasional setaraf semi terampil dan nonmanajerial: pencapaian


kompetensi dasar mulai awal tingkat prasekolah sampai menengah sebagai
persiapan untuk memperoleh vokasional yang dapat dikerjakan oleh
tunagrahita kategori ringan.

Tema relevan dengan budaya di keluarga dan lingkungan terdekat anak: tema
aktivitas kehidupan sehari-hari mengikuti budaya di lingkungan keluarga dan
lingkungan terdekat anak. Lingkungan terbatas ini dikarenakan keterbatasan
kompetensi anak.

Mengintegrasikan membaca, menulis, berhitung, dan kompensatoris yang


bersifat terapi: substansi membaca, menulis, berhitung, dan kompensatoris
untuk pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan menolong diri
sendiri seharusnya fungsional dalam pencapaian kompetensi dasar yang
terintegrasi dalam tema.

Pengembangan kepribadian: pemecahan masalah dan menolong diri sendiri


yang tertuang dalam tema memberi peluang untuk berbagai pengembangan
kepribadian.

Menolong diri sendiri: kebutuhan yang utama dari kompetensi anak


tunagrahita kategori sedang adalah mampu menolong diri sendiri.

Rekreatif dan penggunaan waktu luang: kemampuan komunikasi dan interaksi


sosial bagi tunagrahita kategori sedang dimungkinkan pada program rekreatif
penggunaan waktu luang.

4) Tunadaksa
Peserta didik tunadaksa hakekatnya adalah seseorang yang memiliki hambatan
dalam aspek motorik, baik karena bentuk/kondisi organ gerak yang tidak normal
maupun karena fungsi organ gerak yang tidak normal. Manifestasi hambatan
motorik itu dapat dalam bentuk kekakuan organ gerak, kelayuhan, gangguan
11

koordinasi gerak, kontraktur sendi maupun dalam melakukan aktivitas hidup


sehari-hari. Berat ringannya hambatan motorik seseorang akan sangat
berpengaruh terhadap berat ringannya hambatan peserta didik dalam mengikuti
pendidikan.
Peserta didik tunadaksa ada yang tidak disertai hambatan intelektual seperti jenis
poliomyelitis, muskular distropi, dan jenis amputee, tetapi ada pula peserta didik
tunadaksa yang memiliki hambatan intelektual seperti sebagian dari anak cerebral
palsy. Kondisi ini membutuhkan kurikulum dan pembelajaran yang berbeda-beda
sesuai dengan karakteristik individual peserta didik tunadaksa tersebut.
Pendidikan anak tunadaksa dapat diselenggarakan di sekolah khusus atau sekolah
luar biasa, dan dapat pula di selenggarakan di sekolah regular/sekolah umum
seperti di sekolah dasar, dan madrasah ibtidaiyah.
Sehubungan dengan karakteristik peserta didik tunadaksa tersebut, maka
karakteristik kurikulum pendidikan khusus untuk peserta didik tunadaksa sebagai
berikut:
Tujuan pendidikan peserta didik tunadaksa bersifat dual purpose (ganda),
yaitu:

berkaitan

dengan

pemulihan/peningkatan

fungsi

fisik

dan

pengembangan kompetensi akademik.


Kurikulum pendidikan peserta didik tunadaksa dibedakan menjadi (2) dua
yaitu kurikulum bagi peserta didik tunadaksa yang tidak disertai hambatan
intelektual dan kurikulum peserta didik tunadaksa yang disertai adanya
hambatan intelektual.
Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) bagi peserta didik
tunadaksa yang tanpa hambatan intelektual diarahkan ke kurikulum sekolah
reguler, sedangkan bagi peserta didik tunadaksa yang mengalami hambatan
intelektual diarahkan yang lebih fungsional sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangannya.
Kurikulum untuk peserta didik tunadaksa dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
yaitu kelompok A (akademik), kelompok B (keterampilan) dan kelompok C
(program khusus binadiri dan binagerak).
12

Muatan kurikulum untuk peserta didik tunadaksa yang tidak mengalami


hambatan intelektual, proporsinya tingkat SD sebagai berikut:

kelompok

akademik 70%, ketrampilan 20%, program kekhususan 10%. Proporsi untuk


SMP kelompok akademik 70%, ketrampilan 20%, program kekhususan 10%.
serta proporsi untuk SMA kelompok akademik 80%, ketrampilan 10%,
program kekhususan 10%.
Muatan kurikulum untuk peserta didik tunadaksa yang mengalami hambatan
intelektual, proporsi tingkat SD sebagai berikut: kelompok akademik 60%,
ketrampilan 20%, program kekhususan 20%. Proporsi tingkat SMP kelompok
akademik 40%, ketrampilan 40%, program kekhususan 20%. serta untuk
proporsi tingkat SMA kelompok akademik 30%, ketrampilan 60%, program
kekhususan 10%.
Muatan kurikulum untuk peserta didik tunadaksa yang mengalami hambatan
intelektual pada tingkat sekolah lanjutan pertama (SMP) lebih ditekankan
kepada pengembangan kemandirian dan pra-vocational (persiapan ke arah
keterampilan kerja). Sedangkan pada tingkat sekolah menengah atas (SMA)
lebih ditekankan pada pengembangan kemandirian dan keterampilan kerja
(vocational).
Pembelajaran dilaksanakan melalui pendekatan individualisasi sesuai dengan
hasil asesmen masing-masing peserta didik.
Penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dibuat sedemikian
rupa sehingga menyenangkan bagi peserta didik dan melibatkan orang tua.
Pembelajaran bagi anak tunadaksa yang mengalami hambatan intelektual
ditekankan pada penguasaan membaca, menulis, berhitung yang bersifat
fungsional, yang terintegrasikan dalam setiap mata pelajaran dan lebih
ditekankan pada self help atau self care, serta lebih diarahkan pada materi
yang bersifat fungsional mengarah ke penguasaan vokasional.
Sistem penilaian berbasis proses dan menggunakan pendekatan portofolio
jenis lain yang dibutuhkan sesuai dengan karakteristik peserta didik.

13

Laporan kemajuan belajar siswa menekankan pada hasil yang bersifat


deskriptif kualitatif.
Program kekhususan bina diri dan bina gerak diberikan secara proposional
sesuai dengan kondisi kelainannya dan pelaksanaannya perlu pembiasaan.

5) Tunalaras
Karakteristik kurikulum bagi pesertadidik tunalaras pada jenjang sekolah dasar
diantaranya sebagai berikut:

Mengembangkan

keseimbangan

antara

pengembangan

sikap spiritual dan

sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan
psikomotorik;

Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman


belajar terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah
ke masyarakat dan memanfaatkan

Mengembangkan

sikap,

masyarakat sebagai sumber belajar;

pengetahuan,

dan

keterampilan

serta

menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat;

Memberi

waktu

yang

cukup

leluasa

untuk

mengembangkan berbagai

sikap, pengetahuan, dan keterampilan;

Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih
lanjut dalam kompetensi dasar matapelajaran;

Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements)


kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses

pembelajaran

dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi


inti;

Kompetensi
saling

dasar

dikembangkan

memperkuat (reinforced)

didasarkan
dan

pada

prinsip akumulatif,

memperkaya (enriched) antarmata

pelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal).

Struktur Kurikulum Pendidikan Khusus 2013 bagiPeserta Didik Tunalaras


dikembangkan dalam 3 (tiga) bagian mata pelajaran, yaitu: Bagian A kelompok
14

akademik, Bagian B kelompok kecakapan hidup, dan Bagian C Program Khusus.


Proporsi untuk untuk masing-masing bagian, yaitu: Bagian A 70%, Bagian B 20%,
dan Bagian C 10%.

Program khusus dalam Kurikulum Pendidikan Khusus Tahun 2013 bagi Peserta
Didik Tunalaras adalah Bina Prilaku, Pribadi, dan Sosial. Program ini berisi daftar
kompetensi inti dan kompetensi dasar yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan
khusus peserta didik tunalaras. Dalam implementasinya, kompetensi-kompetensi
tersebut dapat dipilih oleh guru sesuai dengan kebutuhan khusus masing-masing
peserta didik tunalaras. Program khusus ini bukan mata pelajaran tetapi memiliki
beban belajar yang setara dengan 2 jam mata pelajaran.

Karakteristik kurikulum bagi pesertadidik tunalaras pada jenjang Sekolah Menengah


Pertama diantaranya sebagai berikut:

Mengembangkan

keseimbangan

antara

pengembangan

sikap spiritual dan

sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan
psikomotorik;

Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman


belajar terencana dimana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah
ke masyarakat dan memanfaatkan

Mengembangkan

sikap,

masyarakat sebagai sumber belajar;

pengetahuan,

dan

keterampilan

serta

menerapkannya dalam berbagai situasi di sekolah dan masyarakat;

Memberi

waktu

yang

cukup

leluasa

untuk

mengembangkan berbagai

sikap, pengetahuan, dan keterampilan;

Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih
lanjut dalam kompetensi dasar matapelajaran;

Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements)


kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses

pembelajaran

dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi


inti;
15

Kompetensi
saling

dasar

dikembangkan

memperkuat (reinforced)

didasarkan
dan

pada

prinsip akumulatif,

memperkaya (enriched) antarmata

pelajaran dan jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal).

Struktur Kurikulum Pendidikan Khusus 2013 bagi Peserta Didik Tunalaras


dikembangkan dalam 3 (tiga) bagian mata pelajaran, yaitu: Bagian A kelompok
akademik, Bagian B kelompok kecakapan hidup, dan Bagian C Program Khusus.
Bagi peserta didik tunalaras yang tidak bermasalah di bidang akademik dan
diorientasikan kepada bidang akademik, proporsi untuk Bagian A 70%, Bagian B
20%, dan Bagian C 10%, sedangkan bagi peserta didik tunalaras yang bermasalah
di bidang akademik dan atau diorientasikan kepada bidang ketrampilan atau
kecakapan hidup, untuk Bagian A 30%, Bagian B 60%, dan Bagian C 10%.

Program khusus dalam Kurikulum Pendidikan Khusus Tahun 2013 bagi Peserta
Didik Tunalaras SMPLB/SMP/MTs adalah Bina Prilaku, Pribadi, dan Sosial.
Program ini berisi daftar kompetensi inti dan kompetensi dasar yang disiapkan
untuk

memenuhi

kebutuhan

khusus

peserta

didik

tunalaras.

Dalam

implementasinya, kompetensi-kompetensi tersebut dapat dipilih oleh guru sesuai


dengan kebutuhan khusus masing-masing peserta didik tunalaras. Program khusus
ini bukan mata pelajaran tetapi memiliki beban belajar yang setara dengan 2 jam
mata pelajaran.

6) Tunanetra Ganda
Karakteristik kurikulum tunanetra ganda adalah

Kurikulum bagi peserta didik tunanetra majemuk bersifat fungsional yang


lebih menekankan pada keterampilan kemandirian atau keterampilan hidup;
antara lain keterampilan dalam menjalin hubungan dengan orang lain,
menggunakan waktu luang, binadiri, serta kerumahtanggaan. Sedangkan
konten akademik akan dipadukan baik dalam kompetensi maupun pelaksanaan
pembelajaran di kelas

Pelaksanaan kurikulum fungsional

mengharapkan kemampuan pendidik

untuk selalu mempertimbangkan situasi; tempat; waktu dan media yang

16

natural dan konkrit yang memastikan titik berat pada proses dan
pengembangan konsep bagi pereta didik.

Kurikulum fungsional disini dikembangkan dengan pola child center atau


berpusat pada anak, dimana setiap keterampilan dimulai dari dalam diri siswa
mengarah pada lingkungan yang ada di luar dirinya

Area pelajaran diberikan untuk mengganti mata pelajaran sebagai bentuk dari
pengembangan

kurikulum

fungsional

dan

respon

atas

kompleksitas

permasalahan kognitif, sosial emosi serta komunikasi sebagai dampak dari


ketidakfungsian sensoris maupun hambatan motorik yang dimiliki peserta
didik tunanetra majemuk.

Area pelajaran terdiri dari : area komunikasi sosial, area binadiri dan area
bekerja sedangkan aspek-aspek akademis dipadukan dalam ketiga area
tersebut dan dikenal dengan akademik fungsional.

Area komunikasi dan sosial mencakup pengembangan keterampilan berbahasa


dan berkomunikasi; literasi; pemahaman tentang diri dan orang lain serta
lingkungan dari yang paling dekat menuju yang lebih jauh dari dirinya.

Area binadiri mencakup keterampilan menolong diri sendiri yang sangat


diperlukanbagi peserta didik tunanetra majemuk.

Area bekerja diberikan untuk menyiapkan peserta didik memiliki keterampilan


kerumahtanggaan pada kelas rendah; serta pra-vokasional pada kelas
menengah dan akhirnya keterampilan bekerja pada jenjang pendidikan tinggi.

Bersifat individualisasi yang disesuaikan dengan hasil asesmen dan


mempertimbangkan ketertarikan peserta didik.

Penyelenggaraan kegiatan

pembelajaran

dalam

bentuk

tematik

yang

disesuaikan dengan kondisi setempat. Pemilihan tema didasarkan pada event


atau peristiwa yang secara umum terjadi di wilayah dimana sekolah berada
dan merupakan peristiwa besar yang terjadi setiap tahun. Misalnya : hari
kemerdekaan, Ramadhan, tahun baru, dan lainnya.

17

7) Autis
Karakteristik khusus kurikulum peserta didik autis adalah:

Kurikulum dirancang dan untuk diterapkan di sekolah khusus autis dari tingkat
taman kanak-kanak sampai dengan sekolah menengah.

Sekolah khusus autis diperuntukan bagi anak-anak autis berat dan atau
mengalami hambatan kecerdasan.

Mengacu kepada butir 2, maka kurikulum ini dirancang dan diperuntukkan


bagi anak-anak autis berat dan atau mengalami hambatan kecerdasan yang
belajar di sekolah khusus autis.

Pada tingkat taman kanak-kanak, muatan kurikulum terutama diarahkan untuk


proses intervensi dini dalam mengembangkan kemampuan bahasa/bicara,
interaksi, komunikasi, kemandirian dan kognitif.

Pada tingkat SD kelas awal (1-3) muatan kurikulum diarahkan untuk mirip
atau mendekat kepada muatan kurikulum SD regular, dengan maksud supaya
dapat diketahui anak-anak autis yang bisa mengikuti kurikulum umum dan
anak autis yang tidak bisa. Selambat-lambatnya pada kelas 3 SD, guru
bersama tim sekolah harus sudah dapat mendeteksi dan memutuskan anak
autis yang memungkinkan untuk didorong ke sekolah inklusif dan mana yang
harus tetap di sekolah khusus autis. Anak autis berat dan atau mengalami
hambatan intelektual, tetap belajar di sekolah khusus autis, sedangkan anak
autis yang tidak mengalami hambatan kecerdasan didorong untuk masuk ke
sekolah regular (sekolah inklusif).

Pada tingkat SD kelas tinggi (4-6) muatan kurikulum sudah secara spesifik
dirancang untuk anak autis berat dan atau mengalami hambatan intelektual.
Oleh karena itu, muatan akademiknya hampir seimbang dengan muatan
pengembangan keterampilan dan kompensatorik.

Karena sekolah khusus autis diperuntukan bagi anak autis berat dan atau
mengalami hambatan intelektual, maka instrument (soal) ujian akhir di kelas 6
SD dikembangkan sendiri oleh masing-masing sekolah, disesuaikan dengan
kemajuan dan capaian siswa.

18

Muatan kurikulum pada tingkat sekolah lanjutan (SMP) lebih ditekankan


kepada pengembangan pra-vocational (persiapan ke arah keterampilan kerja).

Muatan kurikulum pada tingkat sekolah menengah (SMA) lebih ditekankan


pada pengembangan kemandirian dan keterampilan kerja (vocational).

Dengan demikian, maka proporsi muata kurikulum di sekolah khusus autis


dapat digambarkan dalam table berikut:

Proporsi (%) Muatan Kurikulum di Sekolah Khusus Autis


TK

20

30

50

Rendah (1-3)

50

20

30

Tinggi (4-6)

30

40

30

SMP

20

60

20

SMA/SMK

10

80

10

Akademik

Keterampilan

Program khusus

SD

Keterangan:
Akademik: muatan yang ada pada mata pelajaran di sekolah regular, seperti
agama, pancasila, matematika, IPA, IPS dan lain-lain.
Keterampilan: mencakup dua bidang yaitu keterampilan bina diri dan
keterampilan kerja. Pada tingkat taman kenak-kanak dan SD, keterampilan
ditekankan pada bini diri, sedangkan pada tingkat SMP ditekankan pada
persiapan keterampilan kerja dan di SMA ditekankan pada keterampilan
kerja.
Program khusus: mencakup mata ajar sensori integrasi, bicara dan
komunikasi, keterampilan social.

8) Kesulitan Belajar dan Lambat Belajar

19

Selain matapelajaran yang berlaku bagi peserta didik pada umumnya, peserta
didik berkesulitan belajar dan lamban belajar disediakan program khusus
berupa Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial

Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial, tidak merupakan mata


pelajaran, tetapi dalam bentuk bantuan bimbingan belajar untuk membantu
mengatasi hambatan dan keterlambatan belajar yang dialami sesuai kebutuhan
peserta didik.

Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial mencakup sejumlah aspek


yang harus dikuasai anak, antara lain: (1) dimensi bina perseptual dan motorik,
(2) dimensi bina perhatian, (3) dimensi bina memori, (4) dimensi bina berpikir,
(5) dimensi bina bahasa, (6) dimensi bina motivasional, dan (7) dimensi bina
keterampilan akademik dasar membaca, menulis, dan berhitung.

Program khusus Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial setara dengan
2 (dua) jam pelajaran per minggu, dapat diselenggarakan secara inklusif
menggunakan waktu dan tempat belajar yang melekat pada setiap mata
pelajaran yang ada, dan/atau menggunakan tambahan waktu khusus di luar
jam belajar, dengan maupun tanpa Guru Pembimbing Khusus di ruang khusus
atau ruang sumber yang tersedia di sekolah.

Program khusus Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial mendasarkan


pada rambu-rambu kompetensi khusus yang dijabarkan ke dalam kompetensi
dasar, telah dimuat dalam kurikulum ini, yang dalam implementasinya di
lapangan harus disesuaikan dengan tingkat kebutuhan peserta didik kesulitan
belajar dan lamban belajar berdasarkan hasil asesmen pada saat ini.

Peserta didik kesulitan belajar dan lamban belajar ditetapkan berdasarkan hasil
asesmen yang dilakukan sekolah secara profesional oleh tenaga yang
kompeten di bidangnya masing-masing (psikolog, ortopedagog, dokter,
konselor, ahli matapelajaran, dll) sehingga dapat diketahui tingkat kebutuhan
bantuan bimbingan belajar yang dibutuhkan peserta didik yang bersangkutan.

Mempertimbangkan hasil asesmen profesional yang telah dilakukan, maka


implementasi kurikulum reguler bagi peserta didik kesulitan belajar dan
lamban belajar, dapat dilakukan melalui dua pendekatan :

20

Pendekatan akomodasi kurikulum, disediakan bagi peserta didik kesulitan


belajar dan lamban belajar yang membutuhkan bantuan bimbingan belajar
tingkat ringan dengan target belajar sama dengan peserta didik reguler
pada umumnya.

Pendekatan modifikasi kurikulum, disediakan bagi peserta didik kesulitan


belajar dan lamban belajar yang membutuhkan bantuan bimbingan belajar
tingkat sedang atau berat dengan target belajar di bawah peserta didik
reguler pada umumnya.

Proses akomodasi danmodifikasi kurikulum akan dijelaskan di bagian


implementasi kurikulum bagian berikutnya.

9) Cerdas Istimewa
Kurikulum untuk siswa cerdas istimewa dikembangkan dengan pendekatan
pendidikan yang adaptif (adaptive education) yaitu materi pendidikan yang
diberikan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi murid, selanjutnya disebut
dengan kurikulum berdiferensiasi.Maksud diadakan kurikulum berdiferensiasi
adalah untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, menghindari kebosanan dan
menempatkan agar perkembangan anak menjadi lebih baik. Diferensiasi
kurikulum bagi anak cerdas istimewa dapat dibagi dalam 4 bentuk, yaitu:

Pengkayaan (enrichment): yaitu berupa tawaran ekstra materi pelajaran


yang dimaksudkan untuk pendalaman dan perluasan.

Pemadatan atau pemampatan (compacting): yaitu berupa pemampatan


materi pelajaran reguler. Atau dengan kata lain bahwa pelajaran yang
diberikan tidak perlu dilakukan pengulangan-pengulangan yang memang
diperlukan sebagai latihan bagi anak-anak normal.

Paruh waktu (part-time) dalam kelompok-plus atau kelas-plus (pull-out):


Dalam kelompok/kelas itu diadakan ekstra aktivitas atau program yang
menantang khusus untuk anak-anak gifted. Kegiatan dalam kelompok/kelas
plus ini dilakukan beberapa jam dalam satu minggu. Bila anakanak gifted tersebut membutuhkan kegiatan yang menantang guna memenuhi
kebutuhan keberbakatannya, ia dapat sementara waktu keluar dari kelasnya
(pull-out), masuk ke dalam kelompok-plus atau kelas-plus tersebut, bersama-

21

sama dengan anak anak gifted lainnya dalam berbagai usia mengerjakan
berbagai proyek yang diminatinya.Kelas-kelas seperti ini sering juga
disebut Kangaroo-class.

Percepatan (acceleration): yaitu berupa lompat kelas (Class skipping).


Namun percepatan ini membutuhkan beberapa pertimbangan berupa:
kematangan sosial emosional, kapasitas intelektual, prestasi, adanya lompatan
perkembangan didaktik, persetujuan orang tua,danpenerimaan guru.
Pengembangan kurikulum bagi anak CIBI harus mengacu pada
kebutuhan

individual.

Oleh

karena

itu

dibutuhkan

program

pendidikan individual (individualized educational program ).


Tujuan system kerja (framework) pengembangan kurikulum yaitu
untuk menjamin bahwa setiap anak berkelainan memiliki suatu
program

yang

disesuaikan

dengan

individu

untuk

memenuhi

kebutuhannya yang unik dan mengkomunikasikannya dalam bentuk


tulisan bagi semua individu tentang semua hakikat siswa.

Framework memiliki tahapan-tahapan , sebagai berikut :

Menetapkan anak sebagai yang berhak mendapatkan layanan


pendidikan

khusus

melalui

suatu

Tim.Dalam

tahap

ini

penetapan anak dapat terjadi ketika anak sebelum sekolah atau


sesudah sekolah.

Mengakses kekuatan, kelemahan, dan minat.Pada tahap ini akan


ditentukan apakah ini cacat atau berbakat, apakah mereka
membutuhkan pendidikan khusus, dan tipe-tipe layanan apa
yang diperlukan.

Melakukan identifikasi. Pada tahap ini menentukan, apakah


anak tersebut memiliki kecacatan atau keterbelakangan tunggal
atau jamak.

Menganalisi layanan. Pada ahli yang bekerja melayani anak


berkebutuhan khusus

sering kali menunjukkan layanannya

22

diatas kemampuan guru PLB, misalnya : physical therapist,


accupational therapist, interpreter, dan sebagainya.

Menentukan

penempatan.

Tahap

ini

berkenaan

dengan

penentuan penempatan bagi siswa. Penempatan mencakup dua


konsep yang kritis dan controversial, yaitu lingkungan yang
sedikit terpisah (least restrictive environment atau LRE) dan
pendidikan public yang sesuai.

Membuat keputusan instruksional.Pada tahap ini keputusan


yang harus dibuat adaah program pendidikan apa yang diterima
oleh anak.

Mendesain metode dan prosedur instruksional untuk memenuhi


tujuan pengalaman belajar, menggunakan IEP, menjelaskan cara
mencapai setiap tujuan.

Menentukan metode untuk mengevaluasi kemajuan. Metode


evaluasi seharusnya menilai tingkat mana dari setiap tujuan
yang telah dicapai. Jika mungkin, kriteria dapat diamati dan
obyektif seharusnya dirumuskan secara spesfik.IEP seharusnya
di-update secara terus menerus .IEP berperan sebagai panduan
yang dapat dan seharusnya disesuaikan dengan perubahan
kebutuhan

anak.Modifikasi

yang

mendasar

seharusnya

dikomunikasikan kepada orang tua untuk bahan penilaian.

B. Tujuan
Kurikulum pendidikan khusus 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia
agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman,
produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
C. Sasaran
Kurikulum pendidikan khusus 2013 diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus
dengan atau tanpa hambatan intelektual, dengan rincian sebagai berikut:

23

1. Tunanetra,

yaitu peserta didik dengan hambatan penglihatan, baik kategori buta

(blind) maupun kurang lihat (low vision), pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan
SMP)
2. Tunarungu, yaitu peserta didik dengan hambatan pendengaran, meliputi tunarungu
kelompok tuli (deaf) dan tunarungu kurang dengar (hard of hearing) yang bersekolah di
sekolah luar biasa bagian tunarungu maupun di sekolah umum/reguler.
Sasaran kurikulum 2013 adalah
3. Tunagrahita, yaitu peserta didik dengan hambatan intelektual baik kategori ringan,
sedang, maupun berat.
4. Tunadaksa, yaitu peserta didik tunadaksa dengan hambatan motorik dan gerak.
5. Tunalaras, yaitu peserta didik dengan hambatan emosi dan prilaku baik kategori
sedang dan berat.
6. Tunanetra Ganda, yaitu peserta didik dengan hambatan penglihatan yang disertai
dengan hambatan lainnya yang berdampak pada kemampuan komunikasi dan
pemahaman tentang konsep.
7. Autis, yaitu peserta didik yang masuk kategori autistic spectrum disorder (ASD).
8. Kesulitan Belajar dan Lambat Belajar.
Sasaran kesulitan Belajar adalah peserta didik yang berdasarkan hasil asesmen
professional memiliki kecerdasan rata-rata atau di atas rata-rata tetapi memiliki deficit
perkembangan non akademik dan/atau akademik yang tidak disebabkan secara
langsung oleh factor lingkungan dan/atau hambatan sensory.
Sedangkan sasaran lambat belajar adalah peserta didi yang berdasarkan hasil asesmen
professional menunjukkan skor kecerdasan berada di bawah rata-rata tetapi belum
termasuk kategori tunagrahita.
9. Cerdas Istimewa, yaitu peserta didik yang berdasarkan hasil asesmen profesional
menunjukkan kemampuan intelektual istimewa, tanggung jawab terhadap tugas, dan
memiliki kreatifitas tinggi.

24

BAB II
LANDASAN

A. Landasan Filosofi
Landasan filosofis dalampengembangankurikulummenentukan kualitas peserta didik yang
akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran, posisi
peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik

dengan masyarakat dan

lingkungan alam di sekitarnya.


Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan filosofis yang memberikan dasar bagi
pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia Indonesia berkualitas
yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional merupakan upaya
pemenuhan hak-hak asasi manusia tanpa deskriminatif sebagai perwujudan nilai-nilai
Pancasila yang terimplementasi dalam rasa kemanusiaan, persatuan, demokratisasi, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Karena itu setiap warga negara, termasuk
peserta didik tunarungu berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu.
Landasan filsafat Pancasila menyiratkan bahwa sistem pendidikan nasional menempatkan
peserta didik sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dengan segala fitrahnya yang
dibekali oleh potensi, bakat, minat dan kecerdasannya masing-masing. Karena itu
pendidikan yang diselenggarakan harus disesuaikan dan diarahkan agar setiap peserta
didik tunarungu dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, mampu menjadi manusia
yang bermoral, berbudi luhur, dan berakhlak mulia, sehingga kelak mampu mengisi
pembangunan kehidupan yang berharkat dan bermartabat, sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa, makhluk individu maupun makhluk sosial.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika, merupakan lambang dan simbol pengakuan bahwa
Indonesia merupakan negara multi budaya, multi etnik, dan multi bahasa, adat istiadat,
agama dan kepercayaan sebagai sebuah kekayaan yang harus dijaga, dipelihara dan
dikembangkan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu
pendidikan yang dikembangkan di Indonesia adalah pendidikan untuk semua (Education
for all), yang diperuntukkan bagi semua warga negara Indonesia, tanpa memandang
perbedaan suku, agama, ras maupun adat istiadat. Keragaman yang ada menjadikan dasar
dan pengayom pelayanan pendidikan bagi peserta didik tunarungu dengan tanpa

25

mengabaikan kebutuhan utamanya yaitu pengembangan bahasa dan komunikasinya


disamping pengembangan aspek perkembangan lainnya.
Berdasarkan pemenuhan kebutuhan serta pengembangan potensi peserta didik tunarungu,
maka untuk mengaktualisasikan potensinya, institusi SLB-B memiliki tugas dan
tanggungjawab mengantarkan peserta didik agar : menyadari dan menerima keadaan
dirinya serta berusaha mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya, memiliki sifat-sifat
dasar sebagai warga yang baik, memiliki kehidupan jasmani, rohani dan sosial yang sehat,
serta memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk
berkomunikasi di masyarakat, bekerja dan berintegrasi dalam kehidupan masyarakat, dan
berkembang sesuai azas pendidikan seumur hidup.
Proses pencapaian tujuan tersebut memberikan arah bahwa (1) Pendidikan harus berakar
pada budaya bangsa yang beragam untuk membangun kehidupan bangsa masa kini
dan masa mendatang melalui pengalaman belajar yang bermakna. (2) Peserta didik
tunarungu adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif, dimana prosesnya berlangsung
melalui pemberian kesempatan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya sesuai
tugas perkembangannya agar mampu berpikir rasional dan kecemerlangan akademik
dengan memberikan makna terhadap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari
warisan budaya berdasarkan makna yang ditentukan oleh lensa budayanya tetapi juga
memiliki kearifan lokal. (3) menimbulkan rasa bangga,

diaplikasikan

dan

dimanifestasikan dalam kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat


sekitarnya, dan dalam kehidupan berbangsa masa kini, (4) Pendidikan untuk membangun
kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai
kemampuan intelektual, kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan
berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik
(experimentalism and social reconstructivism).
B. Landasan Yuridis
Penyusunan Kurikulum Pendidikan Khusus Pendidikan Dasar Tahun 2013 didasarkan
atas landasan Yuridis sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
26

5. Undang-Undang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan


Nasional
6. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
7. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
8. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
9. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) 2005--2025
10. Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Anak yang
memiliki kelainan fisik, mental, intelektual, emosi dan sosial dan yang Memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa
11. PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
12. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor

67 Tahun 2013 Tentang

kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SD/MI


13. Peraturan Menteri Pendidikan Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah
Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah
14. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun
2013 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar Dan Menengah.
15. Peraturan Menteri Pendidikan Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah
Menengah Atas/Madrasah Aliyah.

C. Landasan Sosiologis
Manusia adalah mahkluk sosial. Sosial mengacu kepada hubungan antar individu, antar
masyarakat dan individu dengan masyarakat. Hidup di masyarakat itu merupakan
manifestasi bakat sosial siswa. Oleh karena itu, aspek sosial melekat pada diri individu
yang perlu dikembangkan dalam perjalanan hidup siswa agar jadi matang. Oleh sebab itu
tugas pendidikan selain mengembangkan akal pikiran adalah mengembangkan aspek
sosial dari siswa. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan, yakni membimbing siswa agar
kelak dapat hidup serasi dengan masyarakat tempat hidupnya. Oleh karena itu
penyelenggaraan pendidikan harus memasukkan unsur-unsur hubungan sosial manusia
sehingga baik dalam proses maupun hasilnya, pendidikan dapat mempertahankan dan

27

meningkatkan keselarasan hidup dan pergaulan peserta didik sebagai objek dari
pendidikan.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah aspek keunggulan peserta didik berkebutuhan
khusus yang harus diberdayakan untuk kepentingan bangsa, negara, bahkan dunia. Dunia
menghadapi tantangan yang semakin besar, yang bersunber dari pertumbuhan jumlah
penduduk justru dibarengi dengan semakin terbatasnya sumber daya alam. Tantangantantangan tersebut hanya dapat ditanggulangi melalui sains dan teknologi. Potensi peserta
didik mempunyai keunggulan harus dikembangkan sedini mungkin, agar dapat
diberdayakan untuk mengatasi berbagai tantangan dunia.

28

BAB III
LANDASAN TEORITIS

Landasan teoritis pada bagian ini difokuskan bahasan tentang jenis hambatan yang disandang
peserta didik berkebutuhan khusus sebagai berikut.
A. Tunanetra
1. Definisi
Seseorang dikatakan tunanetra atau buta secara legal apabila

ketajaman

penglihatannya 20/200 atau kurang pada mata yang terbaik setelah dikoreksi, atau
lantang pandangnya tidak lebih besar dari 20 derajat.Dipandang dari dunia pendidikan,
seseorang dikatakan tunanetra apabila penglihtannya,setelah dikoreksi, tidak dapat
dimanfaatkan dalam proses pendidikan yang diperuntukkan bagi anak pada umumnya.
2. Klasifikasi
Secara garis besar tunanetra dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: buta dan kurang lihat
(low vision). Seseorang dikatakan buta apabila mempergunakan kemampuan perabaan
dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar. Mereka mungkin mempunyai
sedikit persepsi cahaya atau bentuk atau sama sekali tidak dapat melihat (buta total).
Seseorang dikatakan mempunyai penglihatan low vision atau kurang lihat apabila
ketunanetraannya berhubungan dengan kemampuannya dalam melakukan kegiatan
sehari-hari. Saluran utama dalam belajar mempergunakan penglihatan dengan
mempergunakan alat bantu baik yang direkomendasikan oleh dokter maupun bukan.
Media huruf yang dipergunakan sangat bervariasi tergantung pada sisa penglihatan
dan alat bantu yang dipergunakannya. Latihan orientasi dan mobilitas diperlukan oleh
siswa low vision untuk mempergunakan sisa penglihatannya.
3. Karakteristik
a. Karakteristik Kognitif
Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan belajar dalam
hal yang bervariasi. Lowenfeld menggambarkan dampak kebutaan dan low vision

29

terhadap perkembangan kognitif, dengan mengidentifikasi keterbatasan yang


mendasar pada anak dalam tiga area berikut ini:
o Tingkat dan keanekaragaman pengalaman. Ketika seorang anak mengalami
ketunanetraan, maka pengalaman harus diperoleh dengan mempergunakan
indera-indera yang masih berfungsi, khususnya perabaan dan pendengaran.
Tetapi bagaimanapun indera-indera tersebut tidak dapat secara cepat dan
menyeluruh dalam memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna, dan
hubungan ruang yang sebenarnya bisa diperoleh dengan segera melalui
penglihatan. Tidak seperti halnya penglihatan, ketika mengeksplorasi benda
dengan perabaan merupakan proses dari bagian ke kesuluruhan, dan orang
tersebut harus melakukan kontak dengan bendanya selama dia melakukan
eksplorasi tersebut. Beberapa benda mungkin terlalu jauh (misalnya bintang,
dan sebagainya), terlalu besar (misalnya gunung, dan sebagainya), terlalu
rapuh (misalnya binatang kecil, dan sebagainya), atau membahayakan
(misalnya api, dan sebagainya) untuk diteliti dengan perabaan.
o Kemampuan untuk berpindah tempat. Penglihatan memungkinkan kita untuk
bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tetapi tunanetra mempunyai
keterbatasan dalam melakukan gerakan tersebut. Keterbatasan tersebut
mengakibatkan keterbatasan dalam memperoleh pengalaman dan juga
berpengaruh pada hubungan sosial. Tidak seperti anak-anak yang lainnya,
anak tunanetra harus belajar bagaimana berjalan dengan aman dan efisien
dalam dalam suatu lingkungan dengan berbagai keterampilan orientasi dan
mobilitas.
o Interaksi dengan lingkungan. Jika anda berada disuatu tempat yang ramai,
anda dengan segera bisa melihat ruangan dimana anda berada, melihat orangorang disekitar, dan anda bisa dengan bebas bergerak di lingkungan tersebut.
Orang tunanetra tidak memiliki kontrol seperti itu. Bahkan dengan
keterampilan mobilitas yang dimilikinya, gambaran tentang lingkungan masih
tetap tidak utuh.
b. Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya terhadap perkembangan kognitif, tetapi juga
berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam

30

bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, ketika anda membaca atau
menulis anda tidak perlu memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau kata,
tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada gangguan pada
ketajaman

penglihatannya.

Anak-anak

seperti

itu

sebagai

gantinya

mempergunakan berbagai alternatif media atau alat untuk membaca dan menulis,
sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin mempergunakan
braille atau huruf cetak dengan berbagai alternatif ukuran. Dengan asesmen dan
pembelajaran yang sesuai, tunanetra dengan tanpa adanya kecacatan yang lain
dapat mengembangkan kemampuan membaca dan menulisnya seperti temanteman lainnya yang dapat melihat.
c. Karakteristik Sosial dan Emosional
Bayangkan keterampilan sosial yang biasa anda lakukan sehari-hari sekarang ini.
Apakah seseorang mengajarkan kepada anda bagaimana anda harus melihat
kepada lawan bicara anda ketika anda berbicara dengan orang lain, bagaimana
anda menggerakan tangan ketika akan berpisah dengan orang lain, atau
bagaimana anda melakukan ekspresi wajah ketika melakukan komunikasi
nonverbal? Dalam hal seperti itu mungkin jawabannya tidak. Perilaku sosial
secara tipikal dikembangkan melalui observasi kebiasaan dan kejadian sosial
serta menirunya. Perbaikan biasanya dilakukan melalui penggunaan yang
berulang-ulang dan bila diperlukan meminta masukan dari orang lain yang
berkompeten. Karena tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui
pengamatan dan menirukan, siswa tunananetra sering mempunyai kesulitan
dalam melakukan perilaku sosial yang benar.
Sebagai akibat dari ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan
sosial, siswa tunanetra harus mendapatkan pembelajaran yang langsung dan
sistematis dalam bidang pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau
orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik, mempergunakan gerakan
tubuh dan ekspresi wajah dengan benar, mempergunakan tekanan dan alunan
suara dengan baik, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat
pada waktu melakukan komunikasi, serta mempergunakan alat bantu yang tepat.
d. Karakteristik Perilaku

31

Ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan masalah atau penyimpangan


perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal tersebut berpengaruh pada
perilakunya. Siswa tunanetra kadang-kadang sering kurang memperhatikan
kebutuhan sehari-harinya, sehingga ada kecenderungan orang lain untuk
membantunya. Apabila hal ini terjadi maka siswa akan kecenderungan berlaku
pasif.
Beberapa siswa tunanetra sering menunjukkan perilaku stereotip, sehingga
menunjukkan perilaku yang tidak semestinya. Sebagai contoh mereka sering
menekan matanya, membuat suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan
kepala dan badan, atau berputar-putar. Ada beberapa teori yang mengungkap
mengapa tunanetra kadang-kadang mengembangkan perilaku stereotipnya. Hal
itu terjadi mungkin sebagai akibat dari tidak adanya rangsangan sensoris,
terbatasnya aktifitas dan gerak di dalam lingkungan, serta keterbatasan sosial.
Biasanya para ahli mencoba mengurangi atau menghilangkan perilaku tersebut
dengan membantu mereka memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan
strategi perilaku tertentu, misalnya memberikan pujian atau alternatif pengajaran,
perilaku yang lebih positif, dan sebagainya.

4. Kebutuhan dalam pembelajaran


Kebutuhan dalam pembelajaran bagi tunanetra dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:
pembelajaran dalam kurikulum inti yang diperluas dan mempergunakan prinsipprinsip metoda khusus.

a. Pembelajaran dalamKurikulum Inti yang Diperluas.


Para ahli mengemukakan, bahwa tunanetra mempunyai dua set kebutuhan
kurikulum: pertama adalah kurikulum yang diperuntukan bagi siswa pada
umumnya, seperti: bahasa, seni, matematika, dan IPS; kedua adalah sebagai akibat
dari ketunanetraannya yaitu kurikulum inti yang diperluas, seperti: keterampilan
kompensatoris, keterampilan interaksi sosial, dan keterampilan pendidikan karir.
Para ahli pendidikan bagi tunanetra, khususnya mereka yang memberikan bantuan

32

dan mengajar siswa dalam seting inklusif, mungkin akan dihadapkan dengan
dilema apa yang akan diajarkan dalam waktu yang terbatas. Mereka sebaiknya
mengajarkan langsung kepada siswa tunanetra keterampilan khusus untuk
mendukung keberhasilan tunanetra berada di sekolah umum.
b. empergunakan Prinsip-prinsip Metoda Khusus.
Siswa tunanetra hendaknya diberikan pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan belajaran khusus bagi mereka. Guru umum biasanya lebih
menekankan pembelajaran melalui saluran visual, yang sudah tentu tidak sesuai
dengan tunanetra. Lowenfeld mengemukakan tiga prinsip metoda khusus untuk
membantu mengatasi keterbatasan akibat ketunanetraan:
1) Membutuhkan Pengalaman Nyata.
Guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari
lingkungannya melalui eksplorasi perabaan tentang situasi dan benda-benda
yang ada di sekitarnya selain melalui indera-indera yang lainnya. Bagi siswa
yang masih mempunyai sisa penglihatan (low vision), aktifitas seperti itu
merupakan tambahan dari eksplorasi visual yang dilakukan. Kalau bendabenda nyata tidak tersedia, bisa dipergunakan model.
2) Membutuhkan Pengalaman Menyatukan.
Karena ketunanetraan menimbulkan keterbatasan kemampuan untuk melihat
keseluruhan dari suatu benda atau kejadian, guru hendaknya memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menyatukan dari bagian-bagian ke
keseluruhan. Mempegunakan pembelajaran gabungan, dimana siswa belajar
menghubungkan antara mata pelajaran akademis dengan pengalaman
kehidupan nyata, merupakan suatu cara yang bagus untuk memberikan
pengalaman menyatukan.
3) Membutuhkan Belajar sambil Bekerja.
Guru hendaknya memberi kesempatan kepada siswa tunanetra untuk
mempelajari suatu keterampilan dengan melakukan dan memperaktekan
keterampilan tersebut. Banyak bidang yang terdapat dalam kurikulum inti
yang diperluas, misalnya orientasi dan mobilitas, dapat dipelajari dengan

33

mudah oleh tunanetra apabila mempergunakan pendekatan

belajar sambil

bekerja ini.
Semua siswa, apakah dia tunanetra atau bukan, akan mendapatkan keuntungan dari
pembelajaran yang berdasar pada tiga prinsip metoda khusus tersebut, dan
mempergunakan metoda pembelajaran seperti itu dapat membantu siswa untuk
belajar membuat suatu konsep dari suatu pola umum.
B. Tunarungu
1. Definisi
Tunarungu adalah kondisi tidak berfungsinya organ pendengaran individu secara
normal, yang mencakup seluruh gradasi: ringan, sedang, dan berat, dan sangat berat.
yang akan mengakibatkan pada gangguan komunikasi dan bahasa. Keadaan ini
walaupun telah diberikan alat bantu mendengar secara pedagogis tetap memerlukan
pelayanan pendidikan khusus
2. Klasifikasi
Secara umum ketunarunguan diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, yaitu
Tuli (the deaf) dan kurang dengar (the hard of hearing).
Berdasarkan Tingkat Kerusakan/Kehilangan Kemampuan Mendengar, ketunarunguan
diklasifikasikan:
Sangat Ringan: 27 - 40 dB
Ringan : 41 - 55 dB
Sedang: 56 - 70 dB
Berat : 71 - 90 dB
Ekstrim 91 dB

3. Karakteristik
Ada beberapa kondisi dan permasalah khusus yang dihadapi oleh penyandang
tunarungu yang menjadikan karakteristik khusus. Boothroyd (1982:5) merinci
beberapa permasalahan yang muncul sebagai akibat dari ketunarunguan yaitu:

34

a. masalah dalam hal perseptual,


b. masalah dalam hal komunikasi dan bahasa,
c. masalah dalam bidang kognitif dan intelektual,
d. masalah dalam bidang pendidikan,
e. masalah dalam bidang emosi,
f. masalah dalam bidang sosial,
g. masalah dalam hal memperoleh pekerjaan atau vokasional, dan
h. masalah bagi orang tua dan masyarakat.
Dari beberapa permasalah tersebut, dampak langsungnya adalah: Pada tahap sensori
motor atr tidak menunjukkan perbedaan perilaku dengan anak pada umumnya. Tetapi
pada tahapan berikutnya terutama pada tahap pra-operasional/ formal, anak tunarungu
akan jauh tertinggal dengan anak dengar pada umumnya, anak dengar akan dapat
mengerjakan tugas yang menuntut logika dan kemampuan abstraksi. Disinilah timbul
permasalahan yang berarti dampak ketunarunguan terhadap kemampuan kognitif anak
tunarungu. Permasalahan Psikologis dan social, ketunarunguan berdampak pada
somatopsikologis
Ketunarunguan sering berakibat pada pola interaksi sosial-psikologis, sehingga
tunarungu cenderung dependent dan menarik diri dari sistem sosial.
4. Identifikasi
Untuk mengenali ada tidaknya hambatan pendengaran pada seserang anak, maka ada
beberapa teknik identifikasi yang dapat digunakan yaitu:
a. nontes, dengan mengenali perilaku seseorang anak yang menunjukkan adanya
gejala ketunarunguan seperti, senantiasa mendekatkan telinga saat berkomunikasi,
ekspresi mata (penglihatan) yang beringas
b. tes bunyi-bunyian, dengan melihat reaksi yang ditimbulkannya
c. tes garpu tala, (weber, rinne, scwabach)
d. tes audiometer
5. Jenis Ketunarunguan

35

a. Konduktif: kelainan pada hantaran (tidak lebih dari 70dB)


b. Perseptif/sensorineural: kelainan pada syaraf penerima
c. Sentral : kelainan pada syaraf pusat (otak)
d. Presbiacustic: Ketunarunguan yg disebabkan adanya kekakuan pd organ corti,
karena faktor usia
a. Layanan Pembelajaran
Layanan pendidikan untuk anak-anak tunarungu, diberikan dalam beberapa bentuk
layanan, secara segregasi (SLB) maupun integrasi dan Inklusi di sekolah umum, baik
secara penuh maupun parsial dalam bentuk kelas khusus.

C. Tunagrahita
1. Definisi
Tunagrahita atau istilah lain disabilitas intelektual adalah gangguan atau hambatan
selama periode perkembangan pada kedua aspek intelektual dan fungsi adaptive
sehingga defisit dalam bidang konseptual, sosial, dan keterampilan adaptif. Kriteria
tersebut ditandai sebagai berikut:
a. Defisit fungsi intelektual, seperti berrasional, pemecahan masalah, perencanaan,
berpikir abstrak, pertimbangan, belajar akademik, dan mengambil belajar dari
pengalaman. Hal tersebut dapat dites melalui pemeriksaan klinis secara asesmen
dan tes individual, tes terstandar, dan tes kecerdasan.
b. Defisit dalam fungsi keterampilan adaptif sebagai akibat kegagalan yang diukur
secara perkembangan dan standar sosio-kultural pada kemandirian pribadi dan
tanggung jawab sosial. Tanpa dukungan yang terus-menerus akan mengalami
defisit yang terbatas pada bidang satu atau dua aktivitas kehidupan sehari-hari,
seperti komunikasi, partisipasi sosial, dan kemandirian dalam lingkungan yang
bervariasi seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat.
c. Hambatan keduanya dalam kecerdasan dan keterampilan adaptif terjadi selama
periode perkembangan.
2. Karakteristik tunagrahita meliputi:

36

Hambatan intelektual kategori ringan, sedang, berat, dan amat berat berdasarkan
tingkatan kecerdasan (IQ) berkisar (approximate) antara score 50-55 sampai 70 bagi
yang kategori ringan, dan 20-25 sampai 35-40 bagi yang kategori sedang. Kategori
ringan, sedang, dan berat berdasarkan keterampilan adaptif tergantung dua atau lebih
di antara 10 keterampilan adaptif yang berkekurangan (defisit). Bidang keterampilan
adaptif yang 10 itu semakin banyak yang mengalami hambatan akan semakin
menambah kategori berat dari kondisi tunagrahita. Klasifikasi berdasarkan tingkatan
dukungan luar yang dibutuhkan sebagai berikut:
a. Karakteristik berdasarkan kebutuhan dukungan pihak luar
Tingkatan dukungan yang

Deskripsi kebutuhan dukungan pihak luar

dibutuhkan
Intermittent

untuk

kategori Dukungan yang dibutuhkan sesuai dengan hal-hal yang

ringan

mendasar

atau

di

saat

diperlukan,

tidak

selalu

membutuhkan, misalnya saat selama transisi ketika


problem pekerjaan atau kesehatan.
Limited untuk kategori sedang

Membutuhkan dukungan pihak luar secara terus-menerus


terutama pengawasan periode dewasa

atau berlatih

bekerja.
Extensive untuk kategori berat

Setiap hari membutuhkan pengawasan dalam waktu yang


panjang.

Pervasive untuk kategori amat Kebutuhan untuk pengawasan sangat tinggi intensitasnya,
berat

terutama diperlukan perawat khusus.


Sumber: AAMR Ad Hoc Committee on Terminology and Classification.
Melalui (Hallahan & Kauffman, 2003: 113).

b. Karakteristik hambatan intelektual secara umum


1) Tingkat kecerdasan di bawah normal.
2) Mengalami kelambatan dalam segala hal kalau dibandingkan dengan anakanak normal sebaya, baik di tinjau dari psikis, social, dan kemampuan fisik.
3) Tidak dapat menyelesaikan studinya sampai tamat SD.
4) Tidak dapat konsentrasi terlalu lama (lekas bosan).

37

5) Daya abstraksi sangat kurang.


6) Perbendaharaan kata sangat terbatas.
7) Penyesuaian tingkah lakunya dikategorikan kurang adaptif.
8) Pikiran ingatan kemauan, dan sifat-sifat mental lainnya sedemikian
terbelakang kalau dibandingkan dengan anak normal sebaya.
9) Tidak dapat menjadi normal.
c. Karakteristik hambatan intelektual lainnya:
Karakteristik umum lainnya yang dikemukakan oleh James D. Page dalam Moh.
Amin (1995: 34-37) dapat ditinjau dari:
1) Kecerdasan, pencapaian tingkat kecerdasan selalu di bawah rata-rata.
2) Sosial, mengalami kelambatan dibandingkan dengan anak normal yang sebaya.
Hal ini ditunjukkan dengan skor Social Age (SA) lebih kecil dibandingkan
dengan Chronological Age (CA) sehingga skor Social Quotient (SQ) nya
rendah.
3) Fungsi mental lainnya, kesukaran dalam memusatkan perhatian; jangkauan
perhatiannya sangat sempit dan cepat beralih sehingga kurang tangguh dalam
menghadapi tugas; pelupa dan mengalami kesukaran mengungkapkan kembali
suatu ingatan; serta kurang mampu membuat asosiasi dan kreasi baru.
4) Dorongan dan emosi
5) Tunagrahita

berat

mempertahankan

hampir
diri;

tidak

dorongan

memperlihatkan
biologisnya

dorongan

untuk

berkembang

tetapi

penghayatannya terbatas. Bagi tunagrahita ringan kehidupan emosinya hampir


sama dengan anak normal tetapi kurang kaya, kurang beragam, kurang kuat,
kurang mampu menghayati perasaan bangga, tanggung jawab dan hak sosial.
6) Bahasa, terbatas perbendaharaan kata terutama pada kata yang abstrak.
7) Bidang akademis, bidang akademis membaca dan menghitung problematic
sulit dicapai.
38

8) Kepribadian, tidak mampu untuk emngarahkan diri sehingga segala sesuatu


yang terjadi pada dirinya bergantung pengarahan dari luar.
9) Kemampuan dalam organisme, tunagrahita berat sangat jelek dalam
mengorganisasikan dirinya yang ditunukkan baru dapat berjalan dan berbicara
pada usia dewasa, pendengaran dan penglihatanya tidak dapat difungsikan,
kurang rentan terhadap perasaan sakit, bau yang tidak enak, serta makanan
yang tidak enak.
d. Karakteristik khusus pada setiap kategori
1) Tunagrahita kategori ringan:

Karakteristik fisik: tidak jauh berbeda dengan anak normal, hanya sedikit
mengalami kelambatan sensomotorik.

Karakteristik psikis: berpikir abstrak, logis, analisis, asosiatif, dan fantasi


lemah, serta kurang mampu mengendalikan perasaan dan mudah
dipengaruhi.

Karakteristik sosial: dapat bergaul dan menyesuaikan diri di lingkungan


yang terdekat dan sederhana, serta mampu melakukan pekerjaan sederhana
dengan mandiri.

Karakteristik kaitan problem belajar yang meliputi:

ProblemVariabel Perhatian

Kesulitan dalam tiga bidang pokok:


a) Rentang perhatian tidak tahan lama
b) Fokus terkacaukan oleh berbagai rangsangan/stimulus
c) Pemilihan perhatian terhadap stimulus yang pokok.

Problem
sional

Strategi

Media a) Kurang mampu melakukan cara yang efektif untuk


mengatur informasi agar dapat dipanggil kembali.
b) Teknik khusus diperlukan dengan pengulangan,
penandaan

39

(labeling),penggolongan/klasifikasi,dan

perum pamaan/perbandingan.
c) Penelitian menunjukkan bahwa anak terlambat mental
kesulitan memproduksi strategi mediasional.
d) Cenderung sebagai pembelajar yang tidak aktif.
Problem Ingatan

Strategi untuk memproduksi mengalami kesulitan, tetapi


dapat dibina ingatannya dengan cara pengorganisasian,
dan kebiasaan rancangan yang baik (ditata informasinya).

ProblemTransfer/generalisasi Cenderung tidak mampu mengaplikasi kan pengetahuan


dan keterampilan yang telah diperoleh kepada tugas baru
atau situasi dengan rangsangan baru.
Kesulitan menghubungkan dan tidak mampu membentuk
struktur belajar.
Secara

khusus,

mereka

gagal

pada

penggunaan

pengalaman sebelumnya untuk membentuk keteraturan


yang akan membantu pemecahan masalah di masa akan
datang dari sifat-sifat problem yang sama.

2) Tunagrahita kategori sedang:


1) Karakteristik

fisik:

lebih

menampakkan

kecacatan

fisik

sejak

awal

kehidupannya, dan secara anatomi-patologis sering dijumpai tipe klinis, seperti:


Down syndrome dan Brain Damage.
2) Karakteristik psikis: pada umur dewasa mereka baru mencapai taraf
kecerdasan setaraf anak normal umur 7 tahun atau umur 8 tahun, hampir tidak
mempunyai inisiatif, kekanak-kanakan, sering melamun atau sebaliknya
hiperaktif.
3) Karakteristik sosial: kurang memiliki rasa etis, rasa belas kasihan, rasa
terimakasih, dan rasa keadilan.
3) Tunagrahita kategori berat dan sangat berat:

40

1) Karakteristik fisik: jasmaninya lemah, alat pencernaan kurang berfungsi,


kemampuan berjalan dicapai dalam waktu lama dan jika mampu jalannya tidak
teratur, banyak yang dijumpai cacat ganda.
2) Karakteristik psikis: perseverasi, penghayatan terhadap sekitar tidak teratur,
dan ketidaktepatan dalam mengikuti petunjuk.
3) Karakteristik sosial: kadang tidak bereaksi dalam proses komunikasi.
3. Aspek Psikososial Tunagrahita
a. Aspek Individual: orang yang dilabel dengan retardasi mental ditujukkan sebagai
kelompok yang berbeda pada aspek-aspek kepribadian, tingkah laku sosial, dan
penerimaan sosial. Resiko tinggi pada retardasi mental kecenderungan level
ketidakmampuan untuk secara serasi (agreeableness) sering dipersalahkan oleh
orang-orang yang berada di sekitarnya karena kegiatan yang tidak sehat. Rasa
tidak aman (insecure) juga diatribusi oleh pusat kontrol eksternalnya.
Kecenderungan kepribadian tersebut berakibat mereka lemah untuk kemandirian,
sehingga lebih cenderung bergantung berlebihan pada pihak lain di luar dirinya.
Kegagalan yang pernah dialami berulang kali menyebabkan learned helplessness
yaitu perasaan negatif/tidak berdaya terhadap hasil yang dilakukan ketika
mempelajarai sesuatu.
a. Gangguan psikiatrik: tunagrahita memiliki dual diagnosis. Gejala dari penyakit
mental berhubungan dengan kecacatan yang utama. Jadi selain kecacatan akibat
dari disabilitas intelektual juga beresiko gangguan psikiatri. Orang-orang
tunagrahita kadang diduga sebagai orang yang sakit jiwa, karena menampakkan
gejala perilaku maladaptif.
b. Gangguan Internalisasi. Gangguan suasana hati dan kecemasan sering sebagai
penunjuk dari gangguan internalisasi, sebab hal itu dapat berakibat emosional
yang berlebihan. Perasaan negatif dapat sebagai hal yang menetap pada seseorang,
seperti penolakan orang-orang di sekitarnya akan mengarahkan ke perkembangan
perasaan ketidakseimbangan sosial dan self-esteem rendah, selanjutnya berakibat
semakin merasa ditolak oleh lingkungan, demikian dijelaskan oleh Baroff,
1991(Mary Beirne-Smith, et.all, 2002: 200).

41

c. Gangguan Berpikir. Gangguan psikotik seperti Schizophrenia, gangguan


dimentia, dan penyakit Alzheimer diklasifikasikan sebagai gangguan berpikir
sebab ciri-ciri utamanya sebagai bentuk kekacauan dari berpikir. Gangguan ini
ditandai dengan halusinasi, delusi, di samping gejala-gejala dimensia termasuk
kebingungan dan kerugian memory. Retardasi mental dengan keterbatasan
komunikasi sering sulit ditentukan sebagai bentuk halusinasi ketika mereka
sedang berbicara.
d. Gangguan perilaku: mental retardasi sering diasosiasikan dengan perilaku
menyimpang. Walaupun tingkah laku tersebut akibat defisit keterampilan sosial
mereka, juga berhubungan pada gangguan psikotik, serta gangguan-gangguan
perilaku. Hal tersebut berakibat mereka kesulitan berperan serta secara bermakna
dalam setting masyarakat.
e. Gangguan perkembangan: Ketidakmampuan untuk beradaptasi secara sehat
dalam setting masyarakat juga diakibat beberapa gangguan yang menghambat
perkembangan kepribadian bagi mereka yang menyandang disabilitas intelektual.
Gangguan itu meliputi: cerebral palsy, epilepsy, dan hambatan autistik. Implikasi
psikososial berhubungan cara-cara orang-orang cerebral palsy merasakan tentang
keadaannya dan juga orang-orang lainnya menerima kepribadiannya. Sedangkan,
pada masalah anak yang mengalami epilepsy akan berakibat dirinya menjadi
memalukan karena munculnya gangguan kejang-kejang, sehingga menjadikan
dirinya self-esteem rendah. Selanjutnya, pada penyandang gangguan autistik
bahwa mereka terganggu dalam kapasitas kemampuan sosial, komunikasi, dan
imaginasi.

Ketidakmampuan

penggunaan

bahasa

untuk

mengekspresikan

emosinya secara efektif dapat mendorong tingkah laku yang agresif atau
menghindarkan diri seperti menyendiri/with drawl, sehingga menempatkan
mereka pada resiko penolakan sosial.
b. Aspek Lingkungan: kekuatan psikososial mendasari aktivitas sehari-hari. Seperti
halnya, orang-orang yang mencoba meseimbangkan antara kebutuhan, keinginan,
dan harapan sering konflik dengan satu dan lainnya. Aspek lingkungan yang
berakibat pada penyesuaian psikososial dari orang-orang retardasi mental adalah
lingkungan keluarga, perkembangan awal dari individu, pola asuh, lingkungan

42

hidup, serta bentuk-bentuk perlakuan di dalam asrama maupun gaya hidup


seseorang pada suatu lingkungan tempat tinggal.

D. Tunadaksa
1. Definisi
Peserta didik yang mengalami tunadaksa secara kuantitas jumlahnya kecil, tetapi di
dalamnya terdiri dari berbagai macam kelompok. Yang dimaksud peserta didik
tunadaksa adalah anak atau individu yang mengalami kelainan atau cacat yang
menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) karena kelainan neuro-muskular yang
bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan sedemikian rupa sehingga memerlukan
pelayanan pendidikan khusus. Kelainan tunadaksa dapat merentang dari kelainannya
yang hanya sedikit atau tidak ada pengaruhnya terhadap perkembangan dan belajar
anak, sampai pada kondisi lain yang melibatkan adanya kelainan neurologis yang
berpengaruh terhadap keterampilan motorik kasar dan halus, dan juga inteligensi.
Penting untuk disadari bahwa ketunadaksaan tidak secara otomatis menyebabkan
siswa memiliki ketunagrahitaan atau mengalami masalah belajar. Beberapa siswa
dengan ketunadaksaan mempunyai masalah belajar, asumsi hendaknya jangan dibuat
berdasarkan kapasitas belajar individu muncul karena ketunadaksaan. Meskipun berat
ketunadaksaan yang disandang seorang anak, kadang-kadang tidak ada pengaruhnya
terhadap kemampuan intelektual dan tingkat inteligensi bagi siswa dengan
ketunadaksaan merentang dari yang gifted sampai dengan yang tunagrahita berat.
2. Klasifikasi
Pada dasarnya berdasarkan definisi tunadaksa tersebut diatas kategori kelainan ini di
dalamnya ada berbagai jenis siswa dengan keanekaragaman. Berikut ini klasifikasi
anak tunadaksa:
a. Tunadaksa karena kelainan ortopedi yaitu kelainan yang terkena adalah bagianbagian tubuhnya. Contoh, monoplegia apabila hanya satu lengan yang terkena
kelainan; hemiplegia apabila kelainannya pada tangan, kaki, dan batang tubuh
pada satu sisi yang sama; paraplegia apabila kedua

kakinya yang terkena;

tetraplegia (biasanya disebut quadriplegia) melibatkan dua tangan dan dua kaki,
batang tubuh, serta leher; diplegia terjadi pada dua tangan atau pada dua kaki.
43

b. Tunadaksa karena kelainan Neurologis


Salah satu kelompok dari tunadaksa adalah dikarenakan aspek neurologis. Kondisi ini
terjadi disebabkan karena adanya masalah pada sistem syaraf pusat, yaitu: otak, spinal
cord, dan ujung syarafnya. Beberapa contoh kelainan neurologis pada anak dengan
ketunadaksaan adalah seperti di bawah ini.
Cerebral palsy. Cerebral palsy ditinjau dari sudut bahasa berarti kelumpuhan pada
otak. Hal itu merupakan suatu kesatuan kondisi yang melibatkan kontrol otot, postur,
dan gerakan yang tidak progresif, tidak akan bertambah jelek dari waktu ke waktu.
Permasalahan yang terjadi pada siswa dengan cerebral palsy tidak hanya pada otot.
Hal itu juga terjadi pada kemampuan otak untuk secara konsisten memerintah pada
otot apa yang harus dilakukan (Bigge, 1991). Bentuk yang paling umum dari cerebral
palsy pada anak-anak, jumlahnya hampir dua pertiga dari kondisi neurologis ini, apa
yang disebut spastic cerebral palsy. Pada kelainan ini, otot anak menjadi kaku (suatu
kondisi yang berkenaan dengan hypertonia) dan gerakan mereka menjadi janggal.
Pada athetoid cerebral palsy, siswa tidak bisa mengontrol ototnya, dan oleh
karenanya mereka memiliki gerakan memutar yang tiba-tiba atau tidak diduga dan
gerakan lainnya. Pada ataxic cerebral palsy, kelainan ini agak jarang, yang terkena
adalah keseimbangan dan koordinasi gerak, serta siswa kelihatan sangat kaku dan
salah arah ketika mereka menjangkau benda dan berusaha untuk menjaga
keseimbangannya. Yang terakhir, siswa mungkin memiliki cerebral palsy yang
melibatkan beberapa karakteristik tersebut. Kondisi tersebut disebut mixed cerebral
palsy.
Apabila cerebral palsy terjadi sejak lahir, penyebab itu biasanya tidak diketahui.
Meskipun demikian, banyak faktor yang dapat merusak perkembangan otak bayi yang
sangat beresiko.Sebagai contoh, kelainan genetik yang berpengaruh pada otak dapat
menyebabkan cerebral palsy. Seperti halnya juga, bayi yang lahir prematur adalah
yang berisiko seperti halnya mereka yang mempunyai kondisi perawatan medis,
seperti masalah jantung dan masalah ginjal. Bayi yang baru lahir dari ibu-ibu pecandu
alkohol atau obat-obatan, perokok, terkena rubella atau infeksi serius lainnya, atau
yang mengalami kekurangan gizi yang serius selama mengandung adalah juga
beresiko tinggi. Setelah lahir, pada anak-anak mungkin juga dapat terjadi cerebral

44

palsy sebagai akibat dari asphyxia, sebagai contoh, tercekik karena mainan atau
makanan atau tenggelam yang mengakibatkan tersumbatnya saluran nafas. Cerebral
palsy juga dapat terjadi ketika adanya kekerasan pada anak. Selain itu, infeksi yang
berat seperti meningitis dapat menyebabkan cerebral palsy.
Karena cerebral palsy ini diakibatkan oleh adanya kerusakan pada otak, siswa-siswa
seperti ini sering mempunyai kelainan yang lainnya. Mereka mungkin mempunyai
masalah pada penglihatan atau pendengarannya, ketunagrahitaan atau kesulitan
belajar, kelainan komunikasi baik ekspresif (menyampaikan)

maupun reseptif

(menerima), atau kelainan penangkapan. Keterbatasan fisik mereka juga berpengaruh


terhadap kemampuan mereka dalam melakukan kehidupan sehari-hari, termauk di
dalamnya menelan, mengontrol kantung kemih dan usus besar, dan bahkan bernafas.
Tapi harus diingat bahwa siswa-siswa seperti ini sangat unik: Siswa yang mempunyai
cerebral palsy yang signifikan mungkin dia gifted secara akademik. Di Amerika,
diperkirakan setiap tahunnya hampir 5.000 bayi lahir dengan cerebral palsy dan 1.500
diantarnya disebabkan karena sakit atau kecelakaan (Heller, Alberto, Forney, &
Schwartzman, 1996).
Spina bifida. Ketika beberapa anak-anak dilahirkan, tulang-tulang pada tulang
belakang belum rapat sama sekali. Kondisi seperti ini disebut spina bifida (secara
bahasa diartikan duri yang terbagi atau tersobek), dan hal itu juga ketunadaksaan
neurologis. Dua jenis spina bifida secara umum tidak mengakibatkan kelainan yang
signifikan (spina bifida occulta dan meningocele). Jenis yang ketiga, dengan nama
myelomeningocele, terjadi ketika pengikat tulang belakang dan penutupnya menonjol
keluar dari bagian yang terbuka pada tulang belakang. Jenis spina bifida ini termasuk
berat. Siswa dengan kondisi seperti ini biasanya mengalami kelumpuhan pada badan
bagian bawah dan kakinya. Mereka biasanya memiliki hydrocephalus (akumulasi dari
cairan cerebrospinal di dalam otak), suatu kondisi yang dapat diatasi dengan
memasukan pipa yang akan mengalirkan cairan tersebut. Mereka juga memiliki
berbagai kelainan seperti masalah kantung kemih dan usus besar. Bayi dengan spina
bifida yang berat biasanya langsung dioperasi sesaat setelah lahir untuk menutup
bagian yang terbuka pada tulang belakang, tetapi hal ini tidak mengurangi efek dari
kondisi tersebut.
Spinal cord injury. Khususnya diantara orang dewasa, spinal cord injury atau luka
pada jaringan tulang belakang merupakan penyebab umum ketunadaksaan secara

45

neurologis. Luka ini terjadi kalau tabrakan, luka parah, atau kerusakan lainnya pada
tulang belakang yang berpengaruh terhadap fungsi gerak dan sensori. Melalui spinal
cord pesan dari otak disampaikan ke berbagai bagian tubuh, dan dari berbagai bagian
tubuh kembali ke otak. Dengan adanya luka pada spinal cord ini menyebabkan otak
tidak dapat berkomunikasi dengan tubuh, dan hasilnya adalah kelumpuhan. Jenis dan
luasnya kelumpuhan tersebut ditentukan oleh dimana luka itu terjadi, apabila lukanya
terjadi di leher bagian atas maka kelumpuhannya akan lebih luas.
Penyebab spinal cord injury ini adalah salah satu yang mungkin mengenai anda,
keluarga anda, atau teman anda. Friend (2005) mengemukakan bahwa penyebab
tersebut diantaranya: kecelakaan mobil (44 persen dari kasus), kejadian kekerasan (24
persen), jatuh (22 persen), olahraga (8 persen), dan lainnya (2 persen). Penyebab yang
ditimbulkan karena olahraga, dua pertiganya disebabkan karena kecelakaan pada
waktu melakukan diving (menyelam). Hampir 82 persen dari seluruh spinal cord
injury ini terjadi pada laki-laki dan hanya 18 persen terjadi pada perempuan. Usia
terjadinya luka ini merentang dari usia enambelas sampai tigapuluh tahun, dan
mayoritas pada usia sembilanbelas tahun. Spinal cord injury ini sebetulnya bisa
dicegah,

misalnya:

mempergunakan

sabuk

pengaman

ketika

berkendaraan,

menghindari diving/menyelam, dan mempergunakan alat pelindung lainnya ketika


berolah raga merupakan tiga contoh bagaimana spinal cord injury ini bisa dikurangi.
c. Tunadaksa karena kelainan Musculoskeletal
Kelompok siswa tunadaksa karena kelainan Musculoskeletal yang memiliki kondisi
musculoskeletal, yaitu kelainan sebagai akibat dari adanya masalah pada kerangka
atau otot. Berikut adalah kelainan yang umum dari kasus tersebut:
1.

Duchenne muscular dystrophy. Muscular dystrophy adalah termasuk kelompok


kelainan genetik, tetapi yang paling umum dan bentuk paling berat dari kelompok
tersebut adalah Duchenne muscular dystrophy. Duchenne muscular dystrophy
terjadi apabila protein yang disebut dystrophin, dipergunakan oleh tubuh untuk
menjaga agar otot bekerja dengan tepat, tidak ada atau kurang secara signifikan.
Gejala awal dari muscular dystrophy terjadi pada masa anak-anak. Mereka
mungkin kelihatan kaku, dan mereka mungkin berjalan terlambat dibandingkan
dengan teman-teman sebayanya. Ketika usia sekolah dasar, otot siswa mulai
bertambah jelek, dan biasanya pada usia sebelas atau duabelas tahun, siswa-siswa

46

seperti ini membutuhkan kursi roda untuk bepergian. Jeleknya perkembangan otot
ini terus berlanjut sampai dewasa, sering sekali berpengaruh pada paru-paru dan
jantung.
Duchenne muscular dystrophy adalah kelainan genetik yang hanya terjadi pada
laki-laki. Hal itu dibawa dalam kromosom X, dan jika seorang ibu meneruskan
kromosom tersebut ke anak laki-lakinya, anak itu mempunyai kesempatan 50
persen untuk kena penyakit ini. Karena bapak memberikan kepada anak lakilakinya kromosom Y, mereka tidak dapat meneruskan penyakit ini. Jika seorang
perempuan mewariskan kromosom X dengan tidak sempurna, dia menjadi
pembawa kelainan, tetapi dia biasanya tidak mengembangkan muscular
dystrophy. Hampir 15.000 anak-anak usia sekolah mempunyai Duchenne atau
bentuk muscular dystrophy ringan.
2. Juvenile rheumatoid arthritis (JSA). Arthritis berhubungan dengan persendian
yang mudah sakit, dan penyakit ini eksis lebih dari seratus bentuk. JSA adalah
salah satu bentuk dari penyakit ini yang terjadi pada anak usia enambelas tahun
atau kurang. Gejala dari kelainan ini adalah memerah, membengkak, dan sakit
pada satu atau beberapa persendian. Siswa dengan kelainan ini mungkin lemah
pada pagi hari, mereka mungkin kadang-kadang mempunyai keterbatasan gerak,
dan mungkin ada rasa sakit pada mata. Gejala ini sangat berbeda-beda antara satu
siswa dengan siswa lainnya, dan beberapa siswa mungkin mempunyai satu masa
tertentu yang memunculkan semua gejala di atas.
Penyebab pasti dari JSA ini tidak diketahui. Ada kelainan imun otomatis dimana
tubuh merespon dengan salah terhadap beberapa sel yang dianggap asing dan
perlu dibasmi. Gejala JRA terjadi ketika imun menyerang sel-sel yang sehat. Para
peneliti berspekulasi bahwa JRA adalah kelainan genetik yang kemudian dipicu
oleh faktor luar, mungkin berupa virus.
JRA terjadi hampir 30 sampai 150 pada setiap 100.000 kelahiran bayi. Para ahli
memperkirakan bahwa antara 60.000 sampai 70.000 anak-anak sekarang ini
mempunyai kelainan ini (Arthritis Foundation, 2004). Kelainan ini lebih banyak
ditemukan pada perempuan daripada laki-laki, dengan rasio 4 atau 5:1. Beberapa
anak mungkin sembuh dari JRA, tetapi kebanyakan berlanjut dengan memiliki
gejala lainnya dalam kehidupannya.

47

3. Karakteristik
a. Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada
sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama
dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada
sistem cerebral, tingkat kecerdasannya merentang mulai dari tingkat idiocy sampai
dengan gifted. Artinya, anak Cerebral Palsy yang kelainannya berat, tidak berarti
kecerdasannya rendah. Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak Cerebral
Palsy juga mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan
persepsi terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami
kerusakan sehingga proses persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat
akan diteruskan ke otak oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas
menerima

dan

menafsirkan,

serta

menganalisis)

mengalami

gangguan.

Kemampuan kognisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu


fungsi kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa. Pada
akhirnya anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya
yang terjadi terus menerus melalui persepsi dengan menggunakan media sensori
(indra). Gangguan pada simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan dalam
menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan
mempengaruhi prestasi akademiknya.
b. Karakteristik Sosial/Emosi
Ditinjau dari aspek psikologis, anak tunadaksa cenderung merasa malu, rendah diri
dan sensitif, memisahkan diri dari llingkungan. Karakteristik sosial/emosional anak
tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna,
dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar, bermain
dan berperilaku salah lainnya. Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang
tua dan disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak.
Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat
mengakibatkan timbulnya problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah
marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi.
Problem emosi seperti itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan
48

gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki
rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
c. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat
tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti berkurangnya daya
pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan penyerta itu
banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara
disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara seperti lidah, bibir, dan rahang kaku
atau lumpuh sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya,
bicaranya diucapkan dengan susah payah dan tidak dapat dipahami orang lain.
Mereka juga mengalami aphasia sensoris, yaitu ketidakmampuan bicara karena
organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu kemampuan
menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran, tetapi
tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak Cerebral Palsy mengalami
kerusakan pada pyramidal tract dan extrapyramidal yang berfungsi mengatur
sistem

motorik.

Tidak

heran

mereka

mengalami

kekakuan,

gangguan

keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan, dan susah berpindah tempat.


Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atas
hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah, hipoaktif yang
menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban dan kurang merespons rangsangan
yang diberikan, dan tidak ada koordinasi, seperti kaku waktu berjalan, sulit
melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, misalnya
menulis, menggambar, atau menari. Derajat keturunan akan mempengaruhi
kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan, kecenderungan untuk bersifat
pasif. Demikianlah pada halnya dengan tingkah laku anak tunadaksa sangat
dipengaruhi oleh jenis dan derajat keturunannya. Jenis kecacatan itu akan dapat
menimbulkan perubahan tingkah laku sebagai kompensasi akan kekurangan atau
kecacatan.
4. Layanan Pembelajaran
Ketika melakukan pendekatan dalam pembelajaran bagi siswa-siswa dengan kelainan
fisik dan kesehatan, anda hendaknya memperhatikan dua bidang berikut: (1)

49

aksesibilitas, sehingga mereka mendapat kemudahan dari pembelajaran yang anda


lakukan, dan (2) faktor-faktor yang secara langsung berhubungan dengan kebutuhan
fisik dan kesehatan anak (Closs, 2000).
a. Akses dalam Pendidikan
Siswa-siswa dalam kelompok ini biasanya memerlukan bantuan untuk memperoleh
kemudahan dalam pendidikannya. Salah satu dari aksesibilitas tersebut adalah
behubungan dengan aksesibilitas fisik, seperti: ramp atau jalan yang landai untuk
kursi roda, tangga berjalan, gang yang cukup luas, dan sebagainya. Umumnya
akses seperti ini berbentuk garis lurus. Akses seperti itu mungkin cukup sulit untuk
dibuat tetapi merupakan akses yang penting dalam pendidikan bagi anak-anak
dengan kelainan fisik dan kesehatan.
Alat bantu untuk postur dan gerak. Siswa-siswa dengan kelainan fisik dan
kesehatan kemungkinan akan menghadapi masalah ketika mereka duduk di kursi,
mungkin mereka memerlukan bantuan untuk itu. Lebih lanjut, postur dan posisi
mereka ketika duduk, atau kadang-kadang berbaring, dapat berpengaruh terhadap
kemampuan pernafasan mereka, kenyamanan mereka, dan lebih jauhnya untuk
kesehatan mereka. Kadang-kadang posisi duduk mereka perlu dirubah sesuai
dengan rekomendasi yang diperuntukkan bagi mereka. Pertimbangan kedua adalah
tentang bagaimana siswa bergerak di dalam kelas dan di lingkungan sekolah.
Kursi roda telah dikemukakan sebelumnya merupakan alat bantu untuk anak-anak
seperti ini, tapi itu bukan satu-satunya pilihan. Beberapa siswa diantaranya mungkin
memerlukan pembelajaran khusus untuk keterampilan mobilitas atau bergerak.
Untuk kasus seperti itu, alat-alat bantu mobilitas seperti gait trainers dan adaptive
walkers dapat membantu mereka menjaga keseimbangannya dan menyokong berat
badannya ketika berdiri atau berjalan. Yang lainnya mungkin memerlukan brace
atau alat penyangga tubuh dan alat-alat sejenis lainnya, secara umum disebut
orthoses, yang dapat menstabilkan kaki mereka sehingga mereka dapat berjalan.
Alat bantu untuk komunikasi. Seperti halnya siswa-siswa dengan gangguan
komunikasi, beberapa siswa dengan kelainan fisik dan kesehatan juga memerlukan
bantuan untuk berkomunikasi dengan guru dan teman-temannya. Beberapa
diantaranya mempergunakan alat bantu komunikasi dan alat-alat teknologi yang

50

lainnya untuk mengemukakan pikiran atau kebutuhannya. Tetapi bagi siswa yang
tidak mempunyai kemampuan untuk mempergunakan tangannya untuk menulis atau
menunjuk ke gambar yang dipergunakan sebagai alat komunikasi, mereka dapat
mencari bentuk komunikasi yang lainnya. Beberapa alat bantu komunikasi dibuat
dengan ukuran besar dengan batas antara kotak yang satu dengan lainnya
ditimbulkan sehingga siswa yang dapat menyentuh papan tersebut akan terbantu
ketika meraih dan menyentuh gambar atau simbol dengan benar. Beberapa anak
diantaranya mungkin sama sekali tidak dapat mempergunakan tangannya. Mereka
dapat mempergunakan tongkat penunjuk yang ditempelkan di kepalanya dan
mempergunakan tongkat tersebut untuk menyentuh gambar atau simbol yang ada
pada papan. Bagi para ahli yang bekerja dengan siswa-siswa yang memerlukan
penggunaan alat bantu komunikasi ini, mungkin memerlukan penyesuaian dalam
pembelajaran. Misalnya, beberapa siswa mungkin memerlukan waktu tambahan
untuk merespon pertanyaan guru. Siswa-siswa yang lainnya mungkin memerlukan
lebih dari satu jenis alat bantu ketika mereka melakukan komunikasi dengan orang
lain.
Alat bantu untuk belajar. Siswa-siswa dengan kelainan fisik dan kesehatan apakah
dia mudah atau sulit ketika belajar, mereka mungkin membutuhkan pertimbanganpertimbangan khusus hubungannya dengan pekerjaan sekolah. Sebagai contoh, suatu
strategi bagi siswa yang sering tidak sekolah dan lelah. Anda mungkin
membutuhkan pertimbangan untuk tidak memberikan tugas sekolah, atau anda tidak
menghukumnya kalau dia tidak mengerjakan tugas sekolah. Anda juga mungkin
perlu memberikan bantuan kepada mereka untuk belajar konsep-konsep atau
keterampilan-keterampilan yang tidak mereka peroleh ketika mereka tidak
bersekolah.
Di sekolah umum, anda mungkin akan menemukan bahwa strategi pembelajaran
dengan mempresentasikan seluruh isi buku akan sangat membantu bagi para siswa.
Tetapi bagi siswa dengan kelainan fisik dan kesehatan mungkin akan lebih
menguntungkan kalau mempergunakan curriculum overlapping. Dalam pendekatan
seperti ini, siswa berpartisipasi dalam kegiatan yang sama seperti halnya temanteman yang lainnya, tetapi mungkin mereka mempunyai tujuan yang berbeda.

51

Bentuk yang ketiga dari akses dalam pendidikan ini adalah hubungannya dengan
penggunaan alat-alat bantu teknologi. Beberapa siswa mungkin membutuhkan
bahan-bahan yang disesuaikan sehingga mereka dapat mempergunakannya.
Misalnya meja belajar kecil yang dipergunakan oleh para siswa, mungkin
memerlukan pembesaran bagi siswa yang memiliki kontrol gerak yang terbatas agar
mereka dapat bergerak bebas di sekitarnya. Gelas tabung dalam pelajaran kimia,
mungkin memerlukan adanya pegangan khusus sehingga siswa dapat memegangnya.
Pikirkanlah tentang penyesuaian yang perlu anda lakukan ketika mengajarkan
sesuatu kepada siswa dengan kelainan fisik dan kesehatan.
Layanan lainnya yang berhubungan. Para siswa dengan kelainan fisik dan
kesehatah mungkin memerlukan layanan lainnya dari ahli terapi wicara, terapi fisik,
terapi okupasi, dan guru penjas adaptif. Para ahli ini membantu para siswa untuk
mendapatkan kemudahan dalam pendidikan dengan pembelajarannya ditujukan pada
kebutuhan komunikasinya, kebutuhan gerak kasar dan halusnya, dan kebutuhan
mereka akan rekreasi serta membangun keterampilan fisiknya. Beberapa siswa
diantaranya mungkin memerlukan alat transportasi khusus, semua itu harus
disediakan.
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Sakit, Luka, Kondisi, atau Kelainan.
Kebutuhan fisik dan kesehatan yang ada pada setiap siswa juga berpengaruh
terhadap akses pendidikan. Dua hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
aspek tersebut adalah bagaimana anak masuk kembali ke sekolah dan keadaan
darurat yang mungkin terjadi di sekolah.
Masuk kembali ke sekolah. Banyak siswa dengan kelainan fisik dan kesehatan
bolos dari sekolah. Mereka mungkin terkena infeksi atau sakit, mereka memerlukan
waktu yang lama untuk tinggal di rumah sakit, atau mereka memerlukan waktu yang
banyak untuk pulang pergi ke dokter. Lebih banyak dia bolos sekolah, lebih banyak
dia menghadapi kesulitan baik berhubungan dengan pelajaran maupun dengan
teman-teman dan gurunya. Mereka sering harus melakukan penyesuaian terhadap
perubahan yang terjadi ketika mereka tidak masuk sekolah, dan terhadap status
perubahan fisik mereka serta kebutuhan emosional. Untuk siswa dengan TBI
memerlukan pertimbangan-pertimbangan khusus yang menyangkut kepribadian,
perilaku, dan kemampuan belajarnya yang mungkin telah berubah secara signifikan
52

sebagai akibat dari kecelakaaan yang menimpanya, dan para ahli serta teman-teman
di sekolahnya perlu dipersiapkan untuk menerima perubahan tersebut. Para orang
tua juga harus tetap melakukan komunikasi serta terbuka sehingga setiap
permasalahan dapat segera dipecahkan.
Berhubungan dengan keadaan darurat. Masa gawat, kejadian, dan keadaan darurat
kadang-kadang terjadi di sekolah untuk siswa dengan kelainan fisik dan kesehatan,
dan para guru serta para ahli lainnya perlu tahu bagaimana untuk merespon berbagai
keadaan tersebut. Dengan meningkatkan kewaspadaan dan segera merespon
terhadap siswa yang terkena serangan mendadak, merupakan dua contoh yang perlu
dilakukan oleh sekolah dengan mempersiapkan berbagai obat-obatan yang
diperlukan sesuai dengan kebutuhan siswa. Orang tua juga hendaknya memberikan
berbagai informasi yang diperlukan tentang anaknya, dan secara terbuka
memberikan jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan oleh sekolah
berkenaan dengan anaknya.
E. Tunalaras
1. Definisi
Banyak istilah yang sering digunakan untuk menunjuk pada peserta didik tunalaras,
diantaranya peserta didik dengan hambatan emosi dan prilaku, nakal, dan delinkuen. Dalam
bahasa asing istilah tunalaras sering dipadankan dengan istilah emotional and behavior
disorder, emotional and behavioral difficulties, emotional disturbance - ED, serious
emotional disturbance, emotional disturbance and behavioral disorders, behavior disorder,
socially maladjusted, dan masih banyak lagi.
Dalam buku ini yang dimaksud dengan peserta didik tunalaras adalah yang mengalami
hambatan atau gangguan emosi dan prilaku yang sedemikian rupa yang akibat prilakunya
dapat merugikan diri sendiri dan atau lingkungan sehingga untuk mengembangkan
potensinya secara optimal diperlukan layanan pendidikan khusus.
2. Klasifikasi
Peserta didik tunalaras secara umum diklasifikkasikan menjadi dua, yaitu: tunalaras emosi
dan tunalaras sosial. Tunalaras emosi adalah mereka yang hambatan prilakunya disebabkan
oleh adanya hambatan dalam perkembangan emosi. Sedangkan pada tunalaras sosial, sebab
utamanya karena terhambatnya perkembangan sosial. Jika dikaitkan dengan istilah asing,
pengertian peserta didik tunalaras emosi hakekatnya lebih dekat dengan pengertian EBD,

53

sedangkan pengertian tunalaras sosial lebih dekat dengan kelompok socially maladjusted
dan atau behavior disorder.
Peserta didik tunalaras emosi adalah suatu kondisi yang menunjukkan satu atau lebih dari
karakteristik berikut ini selama jangka waktu yang lama dan pada suatu tingkatan tertentu
dan berdampak merugikan terhadap kinerja pendidikan anak.
a. Ketidakmampuan untuk belajar yang tidak dapat dijelaskan dari faktor-faktor
intelektual, sensorik, atau kesehatan;
b. Ketidakmampuan untuk membangun atau mengatur hubungan interpersonal yang
memuaskan dengan teman sebaya dan guru;
c. Jenis-jenis perilaku atau perasaan yang tidak tepat di bawah kondisi normal;
d. Suasana ketidakbahagiaan atau depresi umum yang terus menerus.
e. Kecenderungan untuk mengembangkan gejala-gejala fisik atau ketakutan yang
berhubungan dengan masalah pribadi atau sekolah.
Istilah tunalaras emosi tersebut termasuk kepada anak-peserta didik yang menderita
skizofrenia. Istilah itu tidak termasuk anak-peserta didik yang secara sosially maladjusted,
kecuali jika sudah dinyatakan bahwa mereka memiliki gangguan emosi yang serius.
Adapun peserta didik tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami gangguan emosi dan
prilaku yang disebabkan oleh terhambatnya perkembangan sosial. Mereka menunjukkan
prilaku-prilaku yang kurang selaras dengan aturan sosial.
Dibandingkan dengan siswa yang tunalaras emosi, pada kelompok peserta didik tunalaras sosial,
akibat prilakunya cenderung menimbulkan konflik, merugikan, atau bahkan membahayakan
orang lain. Sedangkan pada siswa tunalaras emosi, cenderung tidak.
3. Karakteristik
Secara umum, terdapat tiga ciri khas dari peserta didik tunalaras, yakni: yakni: (1) tingkah laku
yang sangat ekstrim dan bukan hanya berbeda dengan tingkah laku peserta didik lainnya, (2)
suatu problem emosi dan perilaku yang kronis, yang tidak muncul secara langsung, (3) tingkah
laku yang tidak diharapkan oleh lingkungan karena bertentangan dengan harapan sosial dan
kultural.
a.

Karakteristik peserta didik tunalaras emosi


Sebagai pembelajar, siswa tunalaras emosi memiliki karakteristik yang sebenarnya sulit
dibedakan dengan peserta didik terbelakang mental mampu didik dan siswa berkesulitan
belajar, kecuali bahwa peserta didik dengan gangguan emosi memiliki frekuensi yang

54

lebih besar dalam prilaku-prilaku tertentu dan selalu terarah kepada prilaku acting out
atau prilaku-prilaku yang secara sosial maladaptive. Siswa dengan gangguan emosi
umumnya juga memiliki IQ yang rendah, memiliki pengalaman gagal dalam satu atau
lebih bidang pelajaran, seperti membaca dan matematika, serta menunjukkan prestasi
dibawah ekspektasi yang diharapkan berdasar atas umur dan kemampuannya.
Secara umum, terdapat tiga isu penting terkait dengan karakteristik anak tunalaras emosi
sebagai siswa atau pembelajar. Pertama, adanya kesenjangan antara kemampuan
potensial dengan prestasi yang ditunjukkan. Kesenjangan ini umumnya disebabkan
karena ketidakkonsistenan dalam pola-pola memfungsikan kemampuannya, serta
kontribusi dari sifat-sifat prilaku dan pribadinya, seperti: kemampuannya dalam
mengatasi kecemasan, perasaan harga diri, konformitas terhadap tuntutan otoritas,
penerimaan kelompok sebaya, konflik, ketergantungan, kenyamanan dalam aktivitas
akademik, serta ketidakmampuan dalam merancang tujuan yang realistik.
Kedua, bahwa masalah belajar pada peserta didik dengan gangguan emosi merupakan
manifestasi dari problem emosionalnya. Ketiga, bahwa terdapat peserta didik dengan
gangguan emosi yang berbakat dan kreatif, tetapi underachiever. Mereka ini umumnya
memiliki pengalaman yang sulit dalam relasi dengan orang tua, perilaku yang ekstrim
pasif, agresi fisik, dan inferioritas.
Gangguan emosi pada siswa juga dapat menjadikan siswa

tidak mampu belajar

membaca dan berhitung, yang dikarenakan tidak mampu mencurahkan energi


psikologisnya secara cukup untuk belajar ketrampilan tersebut. Dalam membaca dan
berhitung mereka menjadi tidak mampu memenuhi ekspektasi kelompok teman sebaya
dan orang yang lebih tua. Kegagalan peserta didik tunalaras emosi dalam belajar tersebut
juga berkorelasi secara signifikan dengan intellectual maturity, hyperactive style, serta
ketidaktepatan dalam impulse control (seperti sikapnya yang reaktif dan impulsif), yang
kemudian berpengaruh terhadap learning deficit dan learning style.
b.

Karakteristik peserta didik tunalaras sosial


Terdapat beberapa ciri umum prilaku belajar peserta didik tunalaras social, diantaranya
kurang memiliki motivasi, kurang disiplin, sensitif terhadap hal-hal yang dianggap
merugikan dirinya, mudah terganggu konsentrasinya, cepat tersinggung dan marah, tidak
sabar, kurang mampu belajar dari pengalaman, memiliki cara tersendiri dalam mengolah
dan memahami informasi, sugestible, tidak peduli dengan orang lain, dan mau
menangnya sendiri. Siswa tunalaras sosial juga cenderung menunjukkan prilaku negatif

55

lain, seperti impulsif, agresi fisik, jahat, sering berkomentar yang tidak tepat, suka
melawan, bohong, mengadu, bullying, suka mengusik, usil, menghindari tugas.
Siswa tunalaras juga memiliki karakteristik yang dapat menghalangi perkembangan
sosial dan akademik. Karakteristik tersebut selalu tampak jelas dan persisten dalam latar
dan lingkungan yang berbeda, serta selalu dengan sedikit penghormatan atau
penghargaan terhadap norma sosial dan budaya. Beberapa karakteristik prilaku tersebut,
diantaranya: mengganggu aktivitas kelas, impulsif, mudah kacau, mengabaikan peraturan
kelas, buruk konsentrasi, menentang perubahan, berbicara terus menerus, agresif, suka
mengganggu dan mengintimidasi orang lain, pembolos, tidak jujur, konsisten
menyalahkan orang lain, dan tidak dapat bekerja dalam kelompok.
Dibandingkan dengan tunalaras emosi, pada peserta didik tunalaras sosial dalam
membuat keputuasan tentang perilakunya dilakukan secara sadar, memahami
konsekuensi dari perilakunya, mampu mengontrol perilakunya, memiliki rasa bersalah
atau rasa penyesalan terhadap perilaku mereka, prilakunya dinyatakan keluar
(eksternalisasi).
4.Identifikasi
Identifikasi peserta didik tidaklah mudah, karena sifatnya relatif. Tidak memiliki kriteria yang
pasti sebagaimana pada anak-anak penyandang disabilitas. Pada umumnya ukuran utama
apakah anak dapat dikategorikan tunalaras atau tidak adalah berdasar kepada prilaku-prilaku
yang ditampilkan, dengan mempertimbangkan umur, sering tidaknya, berat ringannya, tempat,
mudah tidaknya dipengaruhi. Label tunalaras kemungkinan juga mengandung resiko
penolakan dari lingkungan, terutama orang tuanya. Untuk itu, identifikasi harus dilakukan
secara teliti dan hati-hati. Pada umumnya, anak dapat dikategorikan sebagai penyandang
tunalaras jika lingkungan sudah merasa kewalahan dengan prilaku anak yang tidak
diharapkan, sehingga prilaku tersebut perlu untuk dihilangkan.
5. Pembelajaran
Masalah utama yang dihadapi oleh peserta didik tunalaras bukanlah masalah yang terkait
langsung dengan masalah akademik, tetapi lebih banyak terkait dengan masalah sikap dan
prilaku. Karena itu, masalah yang sering dihadapi guru dalam pembelajaran peserta didik
tunalaras sering kali bukan persoalan pembelajaran, tetapi lebih kepada masalah pengelolaan
kelas, yaitu bagaimana upaya guru menciptakan situasi yang kondusif yang diperlukan untuk
mendukung pencapaian tujuan pembelajaran. Konsekuensinya, guru yang mengajar peserta
didik tunalaras perlu menguasai berbagai pendekatan dalam pengelolaan kelas.

56

Mengingat karakteristik dan kebutuhan siswa tunalaras, maka dalam pelaksanaan pembelajaran,
perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Pembelajaran dilakukan melalui multi metode dan sampai tahap bertingkahlaku.
b. Menekankan terlaksananya pendekatan pembelajaran saintifik, diindividualisasikan,
kontektual, aktif, dan kooperatif.
c. Mengutamakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (learning based problem) dan
pembelajaran sosial emosional (social emotional learning - SEL).
d. Mengoptimalkan penggunaan media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan.
e. Menekankan penerapan pendekatan intervensi proaktif (Proactive Intervention).
Selanjutnya, dengan mencermati karakteristik prilaku belajar peserta didik tunalaras seperti
dipaparkan pada bagian sebelumnya, strategi umum pembelajaran peserta didik tunalaras yang
dapat diterapkan yaitu melalui pendekatan kontrak sosial, response cost (menerapkan pinalti
jika terjadi pelanggaran), monitoring diri (siswa menjaga dan mengawasi prilakunya sendiri,
membangun kemampuan mengontrol diri), analisis tugas, time out, token economy, dan
sistem poin.
Berdasarkan pengalaman, beberapa praktek terbaik dalam pembelajaran peserta didik tunalaras
(EBD), diantaranya:
Mengembangkan ekspektasi perilaku yang konsisten.
Libatkan siswa dalam menetapkan tujuan akademis dan pribadi.
Libatkan dalam situasi bermain peran.
Berkomunikasi dengan orang tua, sehingga ada strategi yang konsisten di rumah dan sekolah.
Tetapkan batas-batas prilaku yang boleh dan yang tidak boleh.
Terapkan konsekuensi dengan segera, adil dan konsisten.
Mengakui dan memperkuat perilaku yang dapat diterima.
Hindari konfrontasi dan perebutan kekuasaan.
Menyediakan lingkungan kelas yang sangat terstruktur.
Berikan aturan dan harapan yang jelas.
Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Berikan kesempatan pada peserta didik untuk belajar mengontrol dirinya sendiri

57

Ajarkan selftalk untuk meredakan stres dan kecemasan.


Ajarkan dan sediakan waktu untuk relaksasi.
Menetapkan isyarat sebagai pengingat untuk perilaku yang tidak pantas.
Hindari situasi yang dapat meningkatkan tingkat kecemasan.
Menyediakan lingkungan kelas yang positif dan menggembirakan.
Gunakan media visual dalam presentasi pembelajaran.
Gunakan teknologi khusus dan perangkat lunak.
Kembangkan dan gunakan kontrak perilaku.
Lakukan umpan balik dengan sering.

F. Tunanetra Ganda
Tunanetra Ganda atau Multiple Disabilities Visual Impairment adalah kelompok yang
sangat hiterogen. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan cakupan yang sangat luas
pada anak-anak yang memiliki kebutuhan sangat berbeda. Sebagai tambahan dari
kehilangan penglihatan, anak-anak dengan MDVI dapat memiliki satu atau lebih
kebutuhan tambahan yang luas berupa ketidakmampuan fisik, ketidakmampuan bicara,
ketidakmampuan berperilaku dan belajar.
1. Definisi
MDVI meliputi kondisi dengan rentang cakupan yang sangat luas baik dalam hal
kemampuan dan kebutuhan,

mencakup siswa yang dapat belajar dan

membaca

Braille sampai pada mereka yang lebih memerlukan pendekatan keterampilan hidup
fungsional. Kombinasi dari ketunaan ganda adalah sangat unik pada setiap siswa,
derajat ketidakmampuan kognitif, fisik, penglihatan dan emosi sangatlah berbeda
pada setiap siswa (Heydt,Kathy)
Hingga saat ini di Indonesia belum ada istilah baku yang digunakan untuk
meyebut populasi ini. Beberapa orang menyebut sebagai Tunanetra Ganda tetapi
banyak yang menggunakan istilah seperti yang digunakan oleh masyarakat di dunia
lain yaitu Multiple Disabilities Visual Impairment (MDVI). Baru-baru ini di Negaranegara berkembang dan Negara maju yang telah memberikan layanan secara lebih
optimal pada populasi ini menyebut mereka dengan istilah Visual Impairment and
Additional Disabilities (VIAD). Juga ada yang menyebut sebagai Visual Impairment
58

and Multiple Disabilities (VIMD). Semua ini menggambarkan keunikan dan


kompleksitas yang dimiliki oleh penyandangnya
Maka tunanetra majemuk dapat diartikan sebagai : seseorang yang memiliki
hambatan penglihatan, baik low vision atau total ditambah dengan satu atau lebih
hambatan lainnya
2. Klasifikasi
Bila melihat dari waktu terjadinya maka tunanetra majemuk dapat dibedakan dalam
beberapa kategori seperti di bawah ini.
a. terjadi pada masa pre-natal, seperti: infeksi, prematur, genetik, alkohol dan obatobatan, virus (misalkan rubella , toxoplasmasis, cytomegalovirus), kecelakaan,
serta lainnya;
b. terjadi pada proses kelahiran, seperti: prematur, inveksi pada ibu (herpes), mal
praktik pada saat kelahiran, dan lainnya
c. terjadi pada masa post-natal, seperti: meningitis, encephalitis, penyakit pada masa
kanak-kanak, atau penyakit lainnya;
Kategori di atas menjadi penting karena sangat berpengaruh pada pemahaman
karakteristik dan kebutuhan belajar peserta didik.
Sedangkan jika dilihat dari variasi atau kombinasi hambatan yang dimiliki, tunanetra
majemuk dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini.

Hambatan
penglihata
n
Hambatan
pendengara
n

Hambatan
intelegensi

Hambatan
perilaku

Hambatan
wicara

Hambatan
lainnya

Hambatan
gerak

59

3. Karakteristik
Dampak atas tidak berfungsinya indera sensoris dan indera lainnya sangat
berpengaruh pada proses belajar peserta didik, perilaku-perilaku berbeda, aneh dan
menantang seringkali dipahami sebagai kondisi yang melekat pada peserta didik
daripada sebagai dampak.
Pada umumnya karakteristik anak tuna netra-rungu adalah:
a. memiliki hambatan dalam memahami dunia;
b. terlihat lebih suka menarik diri dan terisolasi;
c. kurangnya kemampuan berkomunikasi dengan lingkungannya, dengan cara yang
berarti dan dapat diterima;
d. kurangnya keingintahuan sehingga menjadikannya tidak menunjukkan memiliki
motivasi pada hal-hal yang dasar;
e. memiliki masalah kesehatan yang dapat mengarah pada keterlambatan
perkembangan yang serius;
f. memiliki kesulitan yang luar biasa dalam membangun dan menjaga hubungan
dengan orang lain;
g. sering menolak bila disentuh;
h. lemahnya kemampuan mengantisipasi kejadian dan akibat dari yang dilakukannya;
i. memiliki masalah dalam makan dan pencernakan serta pola tidur;
j. menunjukkan kefrustasian, masalah dalam disiplin, hambatan dalam sosialisasi,
emosi,

dan

perkembangan

kognitif

berkomunikasi;
k. memiliki keunikan dalam cara pembelajaran
60

sebab

ketidakmampuannya

dalam

4. Identifikasi
Proses identifikasi

dilakukan melalui pengamatan dan wawancara. Pengamatan

meliputi dua hal yakni pengamatan fisik dan perilaku. Pengamatan fisik akan meliputi
adanya permasalahan fisik, misalnya; perbedaan bentuk anggota tubuh atau wajah;
maupun ketidaklengkapan anggota tubuh. Sedangkan pengamatan perilaku dilakukan
untuk melihat adanya pengecualian dari suatu perilaku umum ketika individu sedang
melakukan sesuatu. Misalnya, mendekatkan buku ke arah wajah pada saat membaca,
mendekatkan telinga pada sumber bunyi pada saat mendengarkan sesuatu. Perbedaanperbedaan yang muncul tersebut dicatat untuk dilakukan pengecekan lebih mendalam
oleh ahli yang berkompeten melalui asesmen.
Identifikasi melalui wawancara singkat dilakukan untuk memperjelas suatu gejala
yang terlihat. Jika peserta didik dapat berkomunikasi secara verbal, maka ia akan
menjadi sumber informasi utama. Orang-orang yang ada di sekitar peserta didik
seperti keluarga dan orang dekat lainnya juga dapat menjadi sumber informasi untuk
melengkapi identifikasi kita.
Seorang pendidik bahkan orang tua dapat berperan untuk melakukan identifikasi awal,
karena mereka memiliki waktu yang cukup banyak bersama dengan peserta didik.
Dengan waktu yang dimiliki mereka dimungkinkan dapat melihat perubahanperubahan baik fisik maupun perilaku peserta didik. Identifikasi dapat dilakukan di
sekolah-sekolah khusus dengan ketunaan tunggal, seperti tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, tunadaksa, autis dan masyarakat. Berdasarkan penemuan di lapangan,
ditemukan banyak siswa tuna daksa maupun tunagrahita yang juga memiliki
hambatan penglihatan.
Jika proses identifikasi telah dilakukan, selanjutnya perlu dilakukan asesmen. Segala
catatan yang dikumpulkan dalam identifikasi menjadi dasar untuk penggalian
informasi lebih mendalam. Asesmen pada peserta didik tuna majemuk lebih
diutamakan berupa asesmen fungsional yang dilakukan oleh tim pendidik, para ahli
dan keluarga yang bekerja langsung dengan siswa.

61

5. Layanan Pembelajaran
Pembelajaran bagi peserta didik ini harus dikembangkan dalam setting alami dan
pengalaman nyata agar terjadi proses pengembangan konsep. Siswa seringkali
memiliki pemahaman konsep yang salah apabila pembelajaran tidak dilakukan
dengan cara yang alami dan tempat dan waktu yang tepat. Misalnya; belajar
mengancingkan baju seharusnya dilakukan di kamar atau kamar mandi pada saat
siswa memang harus berpakaian.
Keseimbangan antara kegiatan individual dan kelompok harus disesuaikan guru agar
peserta didik dapat mengembangkan keterampilan khusus yang menjadi focus tetapi
juga tidak kehilangan kesempatan untuk belajar dari peserta didik lain atau child to
child learning. Begitu juga dalam mengatur jadwal kegiatan hendaknya disusun
mengikuti ritme atau harmoni dari kegiatan yang tenang ke cepat dan kembali tenang
lagi.
Pembelajaran harus dilakukan dengan menitikberatkan pada proses bukan hasil, siswa
tunanetra majemuk belajar dengan melakukan langsung mereka tidak akan dapat
memahami suatu konsep tanpa melakukan dan mengalami langsung. Konsistensi
pada cara, media, tempat pelaksanaan kegiatan dan guru yang mengajar sangat
diperlukan bagi peserta didik untuk mengembangkan keterampilan dan pemahaman
secara komprehensif.

G. Autis
1. Definisi
Autisme atau autistik merupakan gangguan perkembangan yang secara signifikan
mempengaruhi komunikasi verbal dan non-verbal dan interaksi sosial, sering
diasosiasikan dengan keterikatan dalam aktivitas yang diulang-ulang dan gerakan
stereotype, menolak perubahan lingkungan/perubahan rutinitas sehari-hari dan tidak
biasa merespon pengalaman-pengalaman sensorik (The Individuals with Disabilities
Education Act). Autisme merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang

62

kompleks meliputi gangguan pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi, serta
gangguan emosi dan persepsi sensori yang muncul pada usia sebelum 3 tahun.

Karakteristik penderita autisme ditandai dengan empat tanda dasar yaitu isolasi sosial,
keterbelakangan mental (sekitar 70-75% dari penyandang autism), defisit bahasa,
serta stereotip & perilaku yang diulang-ulang (Rodier, 2000; Alloy, Riskind & Manos;
2005; Happe & Frith dalam Gabriels & Hill, 2007 ).
Penggunaan istilah Autistic pertama kali dikemukakan oleh Leo Kanner pada tahun
1943 diambil dari bahasa Yunani autos yang artinya self. Kanner mempublikasikan
hasil pengamatannya pada 11 anak autis, yang menunjukkan
berikut

ciri-ciri sebagai

: (a) Kesendirian yang extrim dan kurang berespon sosial, (b) Keinginan

yang obsesif untuk mempertahankan kesamaan, (c) Kemampuan menghafal yang


luar biasa, (d) Ekolalia yang tertunda (e) Sensitifitas yang berlebihan terhadap stimuli,
(f) Terbatasnya jenis aktifitas , (g) Potensi-potensi kognitif yang baik. Namun Kanner
menonjolkan 2 ciri utama gangguan yaitu adanya keterasingan dari lingkungan yang
terjadi secara ekstrim (extreme aloneness) dan kondisi yang selalu mempertahankan
kesamaan (baik perilaku maupun keteratrikan pada sesuatu).

Autisme lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 4-5 : 1.
Dalam pengklasifikasian gangguan autisme untuk tujuan ilmiah dapat digolongkan
atas autisme ringan, sedang dan berat. Penanganan atau intervensi pada autisme perlu
dilakukan secara intensif dan terpadu sehingga memberikan hasil yang optimal.
2. Asesmen
Panduan penetapan diagnosis gangguan perkembangan dan gangguan mental yang
biasa digunakan adalah diagnosis yang disepakati oleh (APA) American Psychiatric
Associationyang tertuang dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual ot Mental
Disorder).
Dalam DSM-IV-TR (DSM ke empat, edisi revisi), kriteria Autisme adalah;
Kriteria A : Harus ada 6 gejala dari (1),(2),(3) dengan minimal dua gejala dari (1) dan
masing-masing satu gejala dari (2) dan (3)

63

(1) Gangguan kualitatif dalam interaksi social timbal balik yang muncul dalam bentuk
minimal dua gejala berikut ini:
a. Gangguan yang dalam berbagai tingkahlaku non verbal seperti; kontakmata,
ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak gerik, untuk melakukan interaksi
b. Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang sesuai
dengan tingkat perkembangan
c. Kurangnya spontanitas untuk berbagi kesenangan, minat atau prestasi dengan
oranglain (seperti jarang memperlihatkan, membawa atau menunjuk obyekobyek yang diminati).
d. Kurang mampu melakukan hubungan social atau emosional timbal balik.
(2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi yang muncul dalam bentuk minimal satu
gejala berikut ini:
a. Keterlambatan dalam perkembangan bahasa atau tidak bicara sama sekali
( tidak disertai oleh usaha untuk kompensasi melalui cara-cara komunikasi
alternative seperti bahasa isyarat atau mimic wajah)
b. Pada individu dengan kemampuan bicara yang cukup baik, terdapat gangguan
dalam beribisiatif atau mempertahankan percakapan denganoranglain.
c. Pernggunaan bahasa yang stereoti dan repetitif atau bahasa yang aneh
d. Kurangnya melakukan permainan pura-pura atau meniru social secara spontan
dan bervariasi, sesuai dengan tahap perkembangan.
(3) Pola-pola repetitive dan stereotip yang kaku pada tingkah laku,minat, dan aktifitas,
yang muncul dalam bentuk menimal satu gejala berikut ;
a. Pre-okupasi terhadap pola-pola minat yang strerotip dan terbatas dengan
intensitas abnormal
b. Terpaku pada rutinitas atau ritual khusus yang tidak fungsional
c. Melakukan geraka-gerakan stereotip dan repetitip ( seperti mengepakkan
tangan, menggerakkan jari-jari, atau melakukan gerakan seluruh badan yang
kompleks)
d. Preokupasi terus-menerus terhadap bagia-bagian obyek.

64

Kriteria B : Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area
berikut, dengan permulaan terjadi pada usia 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2) bahasa yang
digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) permainan simbolik atau imajinatif.
Kriteria C : Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Retts Disorder atau
Childhood Disintegrative Disorder.
Pada bulan Mei 2013 diluncurkan DSM V sebagai kriteria diagnostik yang baru, yang
menjadikan satu semua ciri-ciri autistik dengan istilah Autism Spectrum Disorder atau
Gangguan Spektrum Autis yang perlu pula dicermati sebagai pembanding kriteria
diagnostik yang berdasarkan pada DSM IV-TR.
Kriteria A : Adanya deficit atau kekurangan yang relatif menetap dalam komunikasi
sosial dan interaksi sosial dalam berbagai situasi, yang tidak disebabkan karena
keterlambatan perkembangan secara umum, dan termanifestasikan dalam semuahal di
bawah ini :
1. Kendala dalam hubungan sosial-emosional timbal balik : mulai dari cara bersosialisasi
yang abnormal dan kegagalan dalam menjalin komunikasi timbal balik sampai pada
kurangnya kemampuan untuk berbagi tentang hal-hal yang menarik, berbagi rasa
(emosi),

suasana hati, dan kurang responsive

hingga kurangnya inisiatif dalam

berinteraksi sosial.
2. Kendala atau kurangnya kemampuan dalam penggunaan komunikasi non-verbal
dalam interaksi sosial : mulai dari kemampuan yang rendah dalam mengintegrasikan
komunikasi verbal-nonverbal, sampai pada abnormalitas pada kontak mata dan bahasa
tubuh, atau kurang mampu dalam memahami dan menggunakan komunikasi nonverbal hingga kekurangan secara total dalam ekspresi wajah atau penggunaan bahasa
tubuh.
3. Kendala dalam mengembangkan dan mempertahankan hubungan sosial yang sesuai
dengan usia perkembangannya (selain dengan pengasuh) : mulai dari kesulitan
mengadaptasikan perilaku

yang sesuai dalam keadaan sosial yang berbeda-beda

sampai pada kesulitan dalam berbermain imajinatif

dan berteman hingga tidak

adanya ketertarikan pada orang lain.


Kriteria B : Pola perilaku yang terbatas dan berulang, ketertarikan atau aktivitas
termanifestasikan paling tidak pada dua dari berikut :

65

1. Gerakan motorik atau penggunaan obyek

yang stereotip atau berulang: (seperti

stereotip gerakan motorik yang sederhana, ekolalia, atau distress ektrim yang terjadi
ketikan ada perubahan kecil).
2. Ketaatan pada rutinitas yang berlebihan/kaku, adanya pola ritualistik perilaku verbal
dan non verbal atau kesulitan untuk berubah: ( seperti misalnya : adanya pola ritual
motorik, pemilihan jenis makanan yang kaku, mempertanyakan secara berulang atau
terjadi dstress yang ekstrim ketika terjadi perubahan kecil).
3. Adanya keterbatasan yang tinggi, ketertarikan pada sesuatu yang terbatas dengan
intensitas dan fokus yang abnormal ( seperti misalnya kelekatan atau ketertarikan
pada obyek-obyek yang tidak biasa, ketertarikan yang terbatas).
4. Reaksi

yang

berlebihan

(hyperreactive)

atau

sangat

kekurangan

(hyporeactive)terhadap rangsang sensoria atau ketertarikan yang tidak biasa terhadap


aspek sensori lingkungan : (seperti misalnya rasa sakit/panas/dingin, respon yang
tidak tepat pada bunyi, aroma atau sentuhan, terpesona secara berlebihan pada lampu
atau obyek yang berputar).
Kriteria C : Simptom harus mulai terlihat /ada pada masa kanak awal ( walaupun
mungkin belum termanifestsi secara nyata sampai kapasitas anak yang terbatas tidak lagi
dapat memenuhi tuntutatan secara sosial ).
Kriteria D :Simptom yang terjadi secara bersamaan membatasi dan menganggu fungsi
keseharian.
3. Klasifikasi dan karakteristik
Derajad berat ringannya autistik seseorang, berdasarkan DSM V dapat diklasifikasikan
dalam 3 tingkatan yang mendasarkan pada aspek komunikasi sosial dan ketertarikan yang
terbatas dan perilaku berulang, yaitu :
Ketertarikan yang terbatas

Derajad Autistik

Komunikasi Sosial

Derajad 1

Dapat berinteraksi sosial tanpa

Keterbatasan yang nyata

Membutuhkan

bantuan, walaupun mengalami

paling tidak pada satu hal.

dukungan/bantuan ringan

kendala atau kekurangan dalam

66

dan perilaku berulang

komunikasi sosial
Derajad 2

Ditandai dengan kekurangan

Ditandai dengan keterbatasan

Membutuhkan dukungan /

dan keterbatasan dalam

yang nyata dalam beberapa

bantuan sedang

berinteraksi serta dalam

hal.

memberikan respon secara


sosial
Derajad 3

Kemampuan berkomunikasi

Ditandai denganadanya

Sangat membutuhkan

sosial yang terbatas

keterbatasan yang nyata


dalam kehidupan sehari-hari.

dukungan / bantuan

Derajad autistik tersebut, tampaknya sejalan dengan pengklasifikasian yang didasarkan


pada fungsi kecerdasan penyandang autis, yang juga dikategorikan dalam 3 tingkatan,
yaitu :
a. Fungsi kecerdasan rendah (Low Functioning Intelligence).Apabila penyandang autis
masuk ke dalam kategori low functioning intelligence maka dikemudian hari kecil
kemungkinan untuk dapat diharapkan untuk hidup mandiri secara penuh, ia tetap
akan memerlukan bantuan orang lain.
b. Fungsi kecerdasan menengah (Medium Functioning Intelligence).Apabila penderita
masuk ke dalam kategori medium functioning intelliegence maka memjungkinkan
untukdilatih

bermasyarakat dan mempunyai kesempatan yang cukup baik bila

diberikan pendidikan khusus yang dirancang secara khusus untuk penyandang autis.
c. Fungsi kecerdasan tinggi (High Functioning Intelligence). Apabila penderitanya
masuk ke dalam kategori high functioning intelligence maka dengan pendidikan yang
tepat, diharapkan dapat hidup secara mandiri bahkan dimungkinkan dapat berprestasi,
dapat juga hidup berkeluarga.

4.

Penanganan Autis
a. Penanganan dini

67

1) Intervensi medis
2) Intervensi keterapian fisik

Neurodevelopmental Physiotherapy

Integrasi Sensori : penyandang autis pada umumnya juga merasakan


pengalaman informasi sensori yang berbeda

3) Intervensi perilakuan ( Behavioral Intervention )


4) Tujuan dari intervensi perilakuan adalah mengajarkan pada anak perilaku dan
keterampilan yang akan memfasilitasi perkembangannya, serta membangtunya
mencapai derajad tertinggi kemadirian yang bisa dikuasainya dengan kualitas
tertinggi yang dapat dicapainya.

5. Penanganan pendidikan
Penanganan pendidikan bagi anak-anak penyandang autis, pada hakekatnya adalah
lebih menekankan pada intervensi atau pendidikan perilaku, dengan suatu filosofi
yang sama dengan intervensi perilakuan pada usia dini yaitu mengajarkan pada anak
perilaku dan keterampilan

yang akan memfasilitasi perkembangannya, serta

membangtunya mencapai derajad tertinggi kemadirian yang bisa dikuasainya dengan


kualitas tertinggi yang dapat dicapainya. Oleh karenanya, kurikulum perlu
disesuaikan dengan pengembangan aspek perilaku sebelum kemudian menyentuh
aspek akademik.
o Bahasa dan Komunikasi
o Sosial Emosi dan Perilaku
o Kemandirian dan Keterampilan Hidup
o

Sensori Motorik

H. Kesulitan Belajar dan Lambat Belajar


1. Kesulitan Belajar
Istilah kesulitan belajar dalam Kurikulum 2013 diambil dari isilah learning
disabilities. Meskipun istilah learning disabilities sering dikaburkan dengan learning
68

difficulties dan learning problem, namun secara konseptual istilah learning disability
lebih tepat dimaknai sebagai kesulitan belajar karena kondisinya yang sangat
khas/spesifik sehingga sering disebut specific learning disability. Dari sisi makna
kata, istilah kesulitan belajar memiliki makna yang lebih optimistik (Abdurrahman,
2003).
Istilah learning difficulties disejajarkan dengan learning problems merujuk pada
kondisi siswa yang mengalami kesulitan dalam mencapai prestasi akademik dalam
bidang bahasa dan berhitung atau dalam bidang akademik yang lain (Setswood, 2004).
Istilah lain yang juga digunakan adalah general learning difficulties (Chan, 1998;
Cheng, 1998, McMillan&Siperstein, 2002; Westwood, 2003, dalam Westwood, 2004).
Penyebab masalah belajar adalah: ketidak tepatan atau ketidaksesuaian pembelajaran;
ketidaksesuaian dan ketidakcocokan kurikulum; lingkungan kelas; hambatan sosialekonomi; lemahnya hubungan antara guru dan siswa; kehadiran siswa di kelas yang
rendah; masalah kesehatan; hambatan karena bahasa kedua; kurang percaya diri;
adanya masalah emosional dan perilaku; kecerdasan di bawah rata-rata; hambatan
sensoris; dan kesulitan pemrosesan informasi.
Istilah learning disabilities atau spesific learning disabilities merujuk pada hambatan
atau keterlambatan perkembangan pada salah satu atau beberapa dari proses bicara,
bahasa, membaca, menulis, aritmatika, atau mata pelajaran lain sebagai hasil dari
hambatan psikologis karena adanya disfungsi syaraf dan/atau adanya hambatan emosi
atau perilaku. Permasalahan ini bukan hasil dari adanya hambatan kecerdasan,
hambatan sensoris atau indera, atau adanya hambatan budaya dan hambatan dalam
pembelajaran (Kirk, dalam Sotelo-Dynega, Flanagan dan Alvonso, 2011).
Istilah learning disabilities atau specific learning disabilities diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia menjadi kesulitan belajar atau kesulitan belajar khusus. Alih bahasa
secara leksikal dari istilah learning disabilities adalah ketidakmampuan belajar.
Namun demikian istilah

kesulitan belajar telah banyak digunakan oleh praktisi,

akademisi dan digunakan juga dalam regulasi pemerintah yaitu dalam PP No. 17/2010
dan Permendiknas No. 70/2009.
a. Definisi
Peserta didik kesulitan belajar, dimaksud dalam kurikulum ini adalah peserta didik
yang berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan secara profesional oleh orang69

orang yang kompeten di bidangnya, mereka memiliki tingkat kecerdasan rata-rata


atau di atas rata-rata, tetapi mengalami defisit perkembangan salah satu atau lebih
dari beberapa dimensi berikut ini, yang bukan disebabkan oleh faktor lingkungan
dan/atau kelainan sensoris, maupun keterbelakangan intelektual. Dimensi
dimaksud adalah :
1) Gangguan perhatian (attention disorder)
2) Gangguan memori (memory disorder)
3) Gangguan persepsi visual dan motorik
4) Hambatan bahasa (language disorder)
5) Kesulitan membaca (disleksia)
6) Kesulitan menulis (disgrafia)
7) Kesulitan berhitung (diskalkulia)

b. Klasifikasi Kesulitan Belajar


Klasifikasi kesulitan belajar yang digunakan dalam Kurikulum 2013 ini dibatasi
menjadi 7 area, adalah sebagai berikut :
1) Area gangguan perhatian (attention disorder)
2) Area gangguan memori (memory disorder)
3) Area gangguan persepsi visual dan motorik
4) Area hambatan bahasa (language disorder)
5) Area kesulitan belajar akademik membaca (disleksia)
6) Area kesulitan belajar akademik menulis (disgrafia)
7) Area kesulitan belajar akademik matematika(diskalkulia)

c. Karakteristik Kesulitan Belajar


1) Anak dengan gangguan perhatian :

daya konsentrasi terbatas

70

sulit memusatkan perhatian pada tugas tertentu dalam waktu yang ditentukan
dibanding teman sebaya

mudah beralih perhatian dari satu obyek ke obyek lain

kurang fokus terhadap tugas tertentu

2) Anak dengan gangguan memori

daya ingatannya pendek

mudah lupa terhadap tugas-tugas yang memerlukan waktu yang panjang

sulit mengingat konsep-konsep yang rumit/abstrak

3) Anak dengan gangguan perseptual motorik

mengalami gangguan persepsi visual

mengalami gangguan persepsi auditoris

mengalami gangguan persepsi motorik

memiliki keterbatasan dalam gerak motorik halus dan kasar

4) Anak dengan hambatan bahasa

mengalami hambatan berbahasa ekspresif

mengalami hambatan berbahasa reseptif

5) Anak dengan kesulitan membaca


Pada jenjang sekolah dasar, anak dapat dicurigai mengalami kesulitan membaca jika
setidaknya selama enam bulan anak menampilkan kesulitan untuk:

ketepatan dan kelancaran membaca tertinggal dari teman sebaya,

memahami bacaan saat dibaca dengan keras maupun dalam hati,

mengingat apa yang baru dibacanya,

memahami kalimat cerita dalam matematika,

cenderung menghilangkan/melewatkan atau membaca terbalik kata atau huruf


dalam bacaan yang dihadapinya.

6) Anak dengan kesulitan menulis (disgrafia)

71

Secara umum, anak yang mengalami kesulitan menulis menampilkan ciri:

Sering terlambat selesai saat menulis tulisan

Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6


dengan 9, dan sebagainya.

Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca.

Menghilangkan, mengganti, membalik urutan huruf

Sulit menulis dengan lurus pada kertas tidak bergaris.

kesulitan memahami perbedaan huruf besar dan kecil saat menulis

kesulitan mewarna sesuai garis

kesulitan memegang alat tulis saat menggambar atau menulis

kesulitan membentuk huruf atau bentuk geometris

kesulitan menempatkan atau sebaliknya selalu menambahkan spasi antar huruf


atau kata yang ditulis

7) Anak dengan kesulitan matematika


Secara umum, anak yang mengalami kesulitan matematika menampilkan ciri:

Sulit membedakan tanda-tanda : +, -, x, :, >, <, =

Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan.

Sering salah membilang dengan urut.

Sering salah membedakan angka 9 dengan 6, 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3


dengan 8, dan sebagainya.

Sulit membedakan bangun-bangun geometri.

Sulit mengingat fakta-fakta matematika dasar (penambahan atau perkalian


sederhana)

Kesulitan memahami hubungan antara simbol angka dan jumlah obyek

Kesulitan memecahkan permasalahan matematika dalam soal cerita

Kesulitan memahami waktu

Kesulitan memperkirakan kuantitas dan jumlah

72

Kesulitan membuat perbandingan (lebih, kurang, dll)

Anak dapat dicurigai mengalami kesulitan membaca, menulis maupun matematika


apabila

menampilkan

beberapa

ciri

di

atas

setidaknya

selama

enam

bulan.Kecurigaan guru ditujukan untuk antisipasi keberadaan anak-anak yang


beresiko mengalami kesulitan belajar.Kecurigaan itu menjadi dasar dilakukan
identifikasi dan asessmen permasalahan belajar pada anak.

c.

Identifikasi dan Asesmen


Tantangan dalam melakukan identifikasi dan asesmen untuk anak berkesulitan
belajar yang perlu disadari oleh guru maupun pihak sekolah diantaranya:
1) Kasus kesulitan belajar tidak tampak berbeda secara fisik (Fletcher, 2007)
dan banyak memiliki karakteristik yang sama dengan lamban belajar serta
permasalahan belajar lainnya yang terjadi karena faktor lingkungan. Oleh
karena itu, pemilahan diperlukan secara detil berdasarkan informasi yang
diperoleh. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan pengklasifikasian
atas kesulitan belajar yang dialami anak yang akan berdampak pada
penanganan yang tidak sesuai.
2) Jumlah kasus kesulitan belajar spesifik secara umum yang menjadi
permasalahan guru reguler perlu pemilahan program penanganan. Dengan
identifikasi dan asesmen jenis dan sebab yang tepat dari kesulitan belajar
yang dialami anak, maka pembuatan program kekhususan yang terjadwal
secara sistematis akan lebih tepat.
Identifikasi adalah upaya untuk menemukenali anak berkesulitan belajar spesifik.
Gejala awal yang mudah dikenali guru maupun orang tua adalah ketika siswa
memiliki masalah dalam belajar yang ditengarai oleh adanya prestasi belajar
yang rendah maupun di bawah kriteria ketuntasan yang ditetapkan. Identifikasi
dapat dilakukan sebelum maupun setelah masuk sekolah. Tes masuk sekolah
dasar merupakan contoh dari penerapan tes yang ingin mengetahui penguasaan
kemampuan prasyarat akademik anak sebelum memasuki jenjang sekolah dasar.
Instrumen formal untuk mengetahui kesiapan masuk sekolah yang banyak
digunakan adalah NST (Nijmeedgse School Bekwaamheids test). NST
digunakan untuk mengukur kesiapan seorang anak memasuki jenjang sekolah
dasar usia lima tahun sampai dengan usia enam tahun delapan bulan. Identifikasi
73

setelah masuk sekolah dimaksudkan untuk

menemukenali anak yang

memerlukan bantuan lebih banyak karena perkembangan kemampuan belajar


menunjukkan perbedaan (lebih cepat maupun lambat) dengan teman lainnya.
Pada identifikasi ini diperlukan kepekaan guru untuk menandai permasalahan
belajar pada anak untuk segera ditindaklanjuti.
Namun demikian tidak semua siswa yang mengalami masalah dalam belajar
merupakan siswa dengan kesulitan belajar. Oleh karena itu, asesmen dilakukan
lebih lanjut untuk:

Keputusan untuk kelayakan (elligibility)

Untuk menetapkan anak berkesulitan belajar yang berhak mendapat layanan


khusus (akomodasi dan modifikasi serta program kekhususan) maka
diperlukan pemenuhan pada kriteria tertentu mengacu pada DSM V
sebagaimana dijabarkan dalam kriteria diagnosis pada bagian 5.

Mengetahui kemampuan saat ini dan kebutuhan pendidikan

Setelah ditetapkan anak kesulitan belajar, maka anak tersebut berhak


mendapat layanan program kekhususan berupa pengajaran remidial maupun
pemberian akomodasi atau modifikasi pembelajaran. Untuk menetapkan
program kekhususan tersebut, selanjutnya perlu diketahui kemampuan saat
ini dan kebutuhan yang diperlukan oleh anak melalui asesmen berbasis
kurikulum dan asesmen pada area (1) berbicara ekspresif, (2) pemahaman
mendengar, (3) menulis ekspresif, (4) kemampuan membaca dasar, (5)
membaca pemahaman, (6) kelancaran membaca, (7) penghitungan dalam
matematika, dan (8) pemecahan masalah dalam matematika

Pengembangan program individual

Berdasarkan hasil asesmen berbasis kurikulum maka dapat ditentukan


akomodasi atau modifikasi yang diperlukan dan tertuang dalam PPI. Selain
itu, muatan program kekhususan dalam bentuk pengajaran remidial menjadi
bagian dari PPI untuk anak kesulitan belajar sesuai dengan area kesulitan
yang berhasil dilokalisir berdasarkan asesmen pada poin b.

74

Asesmen merupakan proses yang berkelanjutan dan sistematis dari berbagai


informasi dalam rangka membuat keputusan untuk memenuhi kebutuhan
anak. Secara lebih rinci maka proses asesmen merupakan:
-

Proses yang berkelanjutan oleh karena itu dilakukan berulang dan


bukan suatu keputusan yang dibuat berdasarkan satu kali pengamatan.

Sistematis, dilakukan oleh tim yang profesional dengan menggunakan


serangkaian tes yang secara sistematis.

Menggabungkan data dari berbagai sumber untuk menentukan


keputusan

Bertujuan untuk memenuhi kebutuhan anak.

d. Kriteria Diagnosis
Berdasarkan DSM V terdapat 4 kriteria yang harus dipenuhi untuk
menegakkan diagnosis anak kesulitan belajar berdasarkan sintesis dari sejarah
(perkembangan anak, sejarah kesehatan, keluarga dan pendidikan), catatan
sekolah dan asesmen pendidikan dan psikologis, antaralain:
1) Kesulitan dalam belajar dan menggunakan ketrampilan akademik, yang
diindikasikan oleh temuan minimal 1 tanda dari beberapa tanda berikut
secara menetap selama 6 bulan.

Ketidakakuratan atau lamban serta berusaha kuat untuk membaca kata


(misal: membaca satu kata secara keras dengan tidak akurat atau
lamban atau disertai jeda diam sejenak), sering menebak kata,
kesulitan membunyikan kata

Kesulitan memahami makna apa yang dibaca (misal: kemungkinan


anak membaca dengan akurat tapi tidak memahami urutan, hubungan,
kesimpulan atau makna implisit dari apa yang dibaca.

75

Kesulitan

dalam

mengeja

(misal:

kemungkinan

menambah,

menghilangkan, atau mengganti konsonan maupun vokal).

Kesulitan menulis ekspresif (misal: melakukan kesalahan struktur


kalimat atau tanda baca dalam kalimat, pengorganisasian paragraf yang
buruk, ide tulisan kurang jelas)

Kesulitan menguasai konsep bilangan, fakta operasi bilangan atau


penghitungan (misal: kurang memahami bilangan, besar kecil bilangan,
dan hubungannya; menghitung dengan jari untuk menghitung 1 digit
bilangan dan bukan dengan menggunakan ingatan (recall) fakta
matematika seperti yang dilakukan teman sebaya; kebingungan di
tengah-tengah proses

penghitungan aritmatika dan kemungkinan

mengganti prosedur.

Kesulitan dalam pemahaman matematika (misal: kesulitan menerapkan


konsep matematika, fakta atau prosedur untuk memecahkan masalah
matematika).

2) Ketrampilan akademik anak secara mendasar berada di bawah harapan


usia kalender dan secara signifikan berdampak pada tampilan kemampuan
akademik atau okupasi, atau aktivitas sehari-hari, sebagaimana juga
ditemukan dalam hasil tes prestasi terstandar dan asesmen klinis yang
menyeluruh. Untuk individu di atas 17 tahun atau lebih, sejarah kesulitan
belajar yang terdokumentasi dapat mengganti penggunaan tes prestasi
terstandar.
3) Kesulitan belajar dimulai sejak anak memasuki jenjang sekolah tapi
mungkin belum sepenuhnya muncul sebelum ketrampilan akademik
dibutuhkan melebihi kapasitas anak (misal: dalam tes, membaca atau
menulis laporan yang kompleks dengan jadwal ketat, beban akademik
yang berat).
4) Kesulitan belajar tidak terkait dengan disabilitas intelektual, ketajaman
visual atau auditori yang terbatas, kelainan mental atau neurologis lain,
kondisi psikososial yang tidak menguntungkan, kelemahan penguasaan

76

bahasa instruksi akademik (misal: bahasa yang kurang dikuasi) atau


pembelajaran yang tidak memadai

e.

Layanan Pendidikan
Anak dengan kesulitan belajar memiliki kebutuhan belajar yang secara kualitatif
berbeda dengan anak pada umumnya. Dengan demikian anak dengan kesulitan
belajar membutuhkan layanan pembelajaran yang relatif berbeda sebagaimana
yang tersedia bagi anak pada umumnya di sekolah reguler. Sebagai contoh,
seorang siswa dengan kesulitan belajar membaca membutuhkan layanan
pembelajaran yang lebih eksplisit, lebih intensif dan lebih suportif dibandingkan
dengan anak pada umumnya (Foorman dan Torgesen, dalam Sotelo-Dynega,
Flanagan dan Alvonso, 2011).
Pendekatan tradisional dalam layanan pendidikan bagi siswa dengan kesulitan
belajar dilakukan melalui program pullout, yang dilakukan dalam kelompok
kecil (5-15 anak) di kelas khusus. Meskipun pendekatan tradisional ini mendapat
kritik bahwa pendekatan tersebut tidak memberi dampak pada proses normalisasi
anak kesulitan belajar (Foorman dan Torgesen, dalam Sotelo-Dynega, Flanagan
dan Alvonso, 2011), namun program ini masih banyak diterapkan di beberapa
negara karena dianggap masih cukup realistis dan berguna. Pendekatan dalam
layanan pendidikan yang lebih memberikan ruang dalam proses normalisasi
adalah pendekatan inklusif. Mereka belajar bersama dengan teman sebaya di
kelas-kelas reguler sepanjang waktu. Jika mengalami kesulitan dalam bidang
tertentu, guru dapat melakukan adaptasi melalui program akomodasi atau
modifikasi kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan tingkat kesulitan dan
kebutuhan khusus peserta didik.

f.

Program Kekhususan
Di luar kurikulum reguler yang berlaku bagi peserta didik pada umumnya, anakanak dengan kesulitan belajar wajib disediakan program kekhususan sesuai
dengan kebutuhan mereka. Program kekhususan bagi peserta didik lamban
belajar dirangkum menjadi Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial.

77

Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial, bukan merupakan mata


pelajaran, tetapi merupakan aktivitas bimbingan belajar khusus yang diberikan
kepada mereka secara terjadwal untuk membantu mengatasi hambatan belajar
mereka. Bina Perilaku Belajar diarahkan pada upaya membantu mengatasi
kesulitan belajar dengan cara menguasai strategi metakognisi, memperbaiki
kebiasaan belajar yang kurang sesuai, menemukan dan memperkuat strategi
belajar yang tepat, menumbuhkan motivasi belajar, melatih keterampilan belajar
dalam pemilihan materi, media, dan sumber belajar, memperbaiki kesalahankesalahan

dalam

membaca,

menulis

dan

berhitung,

menemukan

dan

memperbaiki hambatan perseptual motorik, serta problem belajar lain yang


dialami peserta didik.
Pengajaran remedial diarahkan pada upaya memperjelas dan mempermudah
pemahaman anak terhadap materi pembelajaran yang telah disampaikan guru
tetapi belum dikuasai oleh peserta didik kesulitan belajar. Sebelum pelaksanaan
pembelajaran remedial, mengharuskan guru melakukan evaluasi formatif pada
setiap pembelajaran untuk mengetahui tingkat kebutuhan pengajaran remedial
yang harus diberikan kepada peserta didik kesulitan belajar. Pengajaran remedial
bagi peserta didik kesulitan belajar dalam konteks Kurikulum Pendidikan Khusus
2013 dimaknai khusus tidak sekedar pengulangan pembelajaran seperti yang
diberlakukan bagi siswa pada umumnya yang belum memenuhi kriteria
ketuntasan minimal, akan tetapi lebih pada peninjauan ulang terhadap tingkat
kesulitan materi ajar dibandingkan dengan level kemampuan dan kebutuhan
belajar anak pada saat ini, tujuan dan target pembelajaran yang ditetapkan guru,
penggunaan strategi pembelajaran yang dipilih, bantuan khusus yang dibutuhkan,
serta pemilihan media pembelajaran yang sesuai.

2. Lambat Belajar
a. Definisi
Istilah lamban belajar dalam Kurikulum Pendidikan Khusus 2013 didasarkan pada
istilah slow learner (Griffin, 1978; Mercer, 1996; Williamson, 1974), yakni peserta
didik yang mengalami kelambanan belajardibandingkan dengan kelompok teman-

78

teman sebaya mereka, namun tidakmemiliki keterbelakanganyang serius yang


memerlukanpendidikan khusus.
Banyak definisi lamban belajar (slow learner) yang dikemukakan para ahli.Easmead
(2004) mendefinisikan lamban belajar atau slow learner adalah anak yang memiliki
skor IQ antara 70 - 90, skor IQ anak normal berkisar antara 90 - 110. Kurangdari 70
dianggapMentalRetarded atau Intelectual Disability.Lamban belajar tidaktermasuk
terbelakang mental/tunagrahita.
Mercer (1996) mendefinisikan lamban belajar
belajarnya

adalah anak-anak yang kinerja

buruk di sekolah, namun tidak memenuhi syarat untuk pendidikan

khusus, skor tes kecerdasan mereka terlalu tinggi untuk disebut sebagai anak
tunagrahita. Meskipun anak lambat belajar kemungkinan membutuhkan pendidikan
khusus mereka tidak cocok dengan system sekolah khusus atau SLB-C (Macmillan,
Gresham, Bocian & Lambros, 1998).
Carrol (2004) mendefinisikanslowlearner adalah siswa dengan kemampuan kognitif
di bawah rata-rata tetapi tidak termasuk terbelakang mental namun mereka harus
berupaya keras untuk menguasai kebutuhan akademik di kelas reguler. Untuk
menjamin keberhasilan mereka di sekolah, diperlukan akomodasi. Peserta didik
lambat belajar kemampuannya cenderung di bawah rata-rata kelas, gagal berulangulang dalam semua mata pelajaran, dan atau prestasi akademiknya di bawah ratarata kelas, sering tinggal kelas, drop out, atau gagal sekolah. Kegagalan anak
lambat belajar umumnya karena kemampuan intelektual rendah tetapi mereka ini
tidak dapat dikategorikan anak tunagrahita, kemampuan mereka berada di antara
anak normal dan tunagrahita. Populasi lambat belajar secara statistik + 15 %,
proporsi ini jauh lebih besar dibandingkan yang terdaftar di sekolah. Berdasarkan
perkiraan dari distribusi normal populasi lambat belajar 14,1 %. Hasil penelitian
Neisser(1998) dalam Shaw, dkk. (2005 ) menunjukkan bahwa populasi anak lambat
belajar berkisar 12,4 %. Populasi ini di Indonesia diperkirakan antara 10-15%
(Nawangsari, 2008).
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan para ahlidi atas, definisi tentang
Peserta didik lamban belajar, dimaksud dalam kurikulum ini adalah peserta didik
yang berdasakan hasil asesmen profesional dan dilakukan oleh orang-orang yang

79

kompeten di bidangnya, hasilnya menunjukkan kondisi, perilaku dan hasil belajar


sebagai berikut :
1) Memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata tetapi belum termasuk kategori
tunagrahita (intelectual disability).
2) Respon terhadap pembelajaran cenderung lebih lambat dibanding teman sebaya
3) Respon

terhadap

lingkungan

(perilaku

adaptif)

cenderung

mengalami

keterbatasan dibanding teman sebaya


4) Prestasi belajar hampir seluruh matapelajaran cenderung di bawah rata-rata
5) Tanpa penambahan waktu dan bimbingan belajar khusus, anak tersebut
cenderung beresiko tidak naik kelas atau tidak dapat menyelesaikan pendidikan
sesuai waktu yang direncanakan.
b. Karakteristik Lamban Belajar
Secara umum peserta didik lamban belajar mungkin menunjukkan beberapa atau
semua karakteristik yang akan dikemukakan berikut, tergantung pada usia, level kelas
dan pengetahuan yang diperoleh di sekolah.
Menurut Shaw (2010) karakteristik peserta didik lamban belajar meliputi (1)
menunjukkan kemampuan lebih tinggi ketika informasi disajikan secara konkret; (2)
semakin abstrak suatu konsep atau teknik mengajar, semakin sulit bagi mereka untuk
belajar; (3) tidak menggeneneralisasikan atau mentransfer keterampilan, pengetahuan,
dan strategi sebagaimana teman seusianya; (4) cenderung belajar apa yang diajarkan
dan mengalami kesulitan mentransfer dan menerapkan konsep yang diajarkan dengan
situasi baru; (5) kesulitan dalam mengorganisasikan materi baru dan mengasimilasi
informasi baru dengan informasi yang diperoleh sebelumnya; (6) kesulitan kognitif;
(7) kesulitan mengelola waktu dan tujuan jangka panjang; (8) lebih berhasil jika
terlibat aktif dalam pembelajaran dengan waktu yang lebih lama; (9) membutuhkan
latihan ekstra dan waktu lebih lama dalam mengerjakan tugas pada keterampilan
akademik yang sama dengan teman mereka; hampir selalu mengalami defisit
akademik dan motivasi.
Joseph (2013) menyatakan bahwa karakteristik anak lamban belajar adalah (1)
tampilan fisik tidak berbeda dengan anak normal; (2) dapat dididik di sekolah reguler

80

dan mungkin berhasil jika diberi waktu belajar yang lebih lama dan silabus
disesuaikan dengan kebutuhan mereka; (3) kurang mampu menguasai tuntutan
kurikulum dan mengimbangi kecepatan belajar anak berkemampuan rata-rata; (4)
mengalami kesulitan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi; (5) konsep diri
rendah, persepsi diri negatif, rentang perhatian pendek, dan tidak bisa berkonsentrasi
lama pada satu topik.
Sullivan dalam Joseph (2013) mendeskripsikan karakteristik peserta didik
lambanbelajar meliputi : (1) perhatian

dan rentang konsentrasi pendek; (2) lambat

mereaksi; (3) kemampuan regulasi diri terbatas; (4) kemampuan mengabstraksi dan
menggeneralisasi terbatas; (5) lambat menghubungkan unsure-unsur bahasa: kata-kata, frase, kalimat; (6) gagal mengenali unsur penting dalam informasi baru; (7)
kebiasaan belajar lambat dan cepat lupa; (8) sudut pandang terbatas; (9) kurang
mampu meralisasikan standar standar kinerja; (10) orisinalitas kinerja dan kreativitas
rendah; (11) kurang mampu menganalisis, memecahkan masalah, atau berpikir kritis;
(12) kurang mampu melakukan proses mental yang lebih tinggi.

c. Identifikasi dan Asesmen


Diagnosis dini anak lambat belajar sangat penting dilakukan sejak usia dini, terutama
pada rentang usia antara 2-6 tahun. Pada rentang usia tersebut guru atau orang tua
dapat mengidentifikasi dengan mudah tanda-tanda lamban belajar, dengan
pengamatan yang cermat tentang: (1) hambatan wicara, (2) problem perkembangan
bahasa (kalimat tidak teratur), (3) asesmen level kosa kata (kosa kata terbatas); (4)
kemampuan verbal; (5) problem struktur, kalimat pendek, kesalahan gramatika; (6)
perilaku anak; (7) kesalahan ejaan; (8) berinteraksi dengan anak lain, (9) ketika
diskusi kelas, (10) problem membaca, (11) minat; (12) lambat dalam merespon atau
mengambil keputusan.
Pada usia SD/SMP identifikasi awal untuk menemukan peserta didik lamban
belajar, lebih ditekankan pada melihat hasil belajar yang dicapai untuk semua
matapelajaran. Anak dengan hasil belajar di bawah rata-rata kelas pada umumnya,
mengindikasikan sebagai anak dengan kategori lamban belajar.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan secara cermat, dan mendasarkan
pada hasil belajar yang dicapai tersebut, maka pada tahap berikutnyaharus

81

dilakukan asesmen lanjutan melalui proses asesmen profesional. Metode asesmen


yang dapat digunakan antara lain meliputi: (1) tes kecerdasan (uji kelompok); (2)
tes kecerdasan individu (tes pencapaian); (3) the Stanford-Binet atau tes
kecerdasan skala Binet; (4) tes kosakata; (5) uji persepsi visual;
(6) tes ejaan; (7) tes kepribadian; (8) kuesioner perilaku anak; (9) tes diagnostik
membaca dan berhitung; (9) penilaian terhadap level kosakata, kemampuan verbal;
dan (10) pengukuran sikap dan minat belajar.

d. Layanan Pendidikan
Sesuai dengan defenisi dan karakteristik peserta didik lamban belajar yang tidak
mengharuskan mereka dimasukkan ke dalam sekolah khusus, maka sistem
layanan pendidikan yang diperlukan bagi mereka adalah sistem pendidikan
inklusif bukan sistem pendidikan dalam bentuk satuan pendidikan khusus (SLB).
Sistem layanan pendidikan inklusif, mengharuskan pihak sekolah reguler
menyediakan lingkungan fisik, sosial dan pembelajaran yang aksesibel bagi semua
anak untuk membantu mengatasi hambatan belajar mereka. Karena itu sekolah
reguler perlu menyediakan program-program tambahan di luar tuntutankurikulum
reguler, seperti : (1) lingkungan sehat; (2) chek-up kesehatan secara berkala; (3)
motivasi; (4) pembelajaran individual; (5) penggunaan metode khusus; (6)
kunjungan rumah oleh guru kelas/guru khusus; dan (7) rekaman pertumbuhan dan
perkembangan belajar anak dalam bentuk portofolio.

e. Program Kekhususan
Di luar kurikulum reguler yang berlaku bagi peserta didik pada umumnya, anakanak dengan kondisi lamban belajar wajib disediakan program kekhususan sesuai
dengan kebutuhan mereka. Program kekhususan bagi peserta didik lamban belajar
dirangkum menjadi Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial.
Bina Perilaku Belajar dan Pengajaran Remedial, bukan merupakan mata pelajaran,
tetapi merupakan aktivitas bimbingan belajar khusus yang diberikan kepada
mereka secara terjadwal untuk membantu mengatasi hambatan belajar mereka.

82

Bina Perilaku Belajar diarahkan pada upaya membantu mengatasi hambatan


belajar dengan cara memperbaiki kebiasaan belajar yang kurang sesuai,
menemukan dan memperkuat strategi belajar yang tepat, menumbuhkan motivasi
belajar, melatih keterampilan belajar dalam pemilihan materi, media, dan sumber
belajar, memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam membaca, menulis dan
berhitung, menemukan dan memperbaiki hambatan perseptual motorik, serta
problem belajar lain yang dialami peserta didik.
Pengajaran remedial diarahkan pada upaya memperjelas dan mempermudah
pemahaman anak terhadap materi pembelajaran yang telah disampaikan guru
tetapi belum dikuasai oleh peserta didik lamban belajar. Sebelum pelaksanaan
pembelajaran remedial, mengharuskan guru melakukan evaluasi formatif pada
setiap pembelajaran untuk mengetahui tingkat kebutuhan pengajaran remedial
yang harus diberikan kepada peserta didik lamban belajar.
Pengajaran remedial bagi peserta didik lamban belajar dalam konteks Kurikulum
Pendidikan

Khusus

2013

dimaknai

khusus

tidak

sekedar

pengulangan

pembelajaran seperti yang diberlakukan bagi siswa pada umumnya yang belum
memenuhi kriteria ketuntasan minimal, akan tetapi lebih pada peninjauan ulang
terhadap tingkat kesulitan materi ajar dibandingkan dengan level kemampuan dan
kebutuhan belajar anak pada saat ini, tujuan dan target pembelajaran yang
ditetapkan guru, penggunaan strategi pembelajaran yang dipilih, bantuan khusus
yang dibutuhkan, serta pemilihan media pembelajaran yang sesuai.

I. Cerdas Istimewa
1. Definisi Cerdas Istimewa
Menurut definisi yang dikemukakan Renzuli, anak berbakat merupakan
satu interaksi diantara tiga sifat dasar manusia yang menyatu ikatan
terdiri dari kemampuan umum dengan tingkatnya di atas kemampuan
rata-rata, komitmen yang tinggi terhadap tugas-tugas dan kretivitas yang
tinggi.Anak

berbakat

ialah

anak

yang

memiliki

kecakapan

dalam

mengembangkan gabungan ketiga sifat ini dan mengaplikasikan dalam


setiap tindakan yang bernilai.Anak-anak yang mampu mewujudkan ketiga

83

sifat itu masyarakat memperoleh kesempatan pendidikan yang luas dan


pelayanan yang berbeda dengan program-program pengajaran yang
regular.

2. Klasifikasi siswa cerdas istimewa


Keberbakatan itu sendiri sangatlah kompleks, bukan hanya ditentukan nilai
intelektualnya

saja,

akan

tetapi

merupakan

faktor

multidimensi

dan

dinamis. Carpenter (2001) dan Lyth (2003) membagi anak CIBI atas :
- Ringan (mild), IQ = 115 - 129
- Sedang (moderate), IQ = 130 - 144
- Tinggi (high), IQ = 145 - 159
- Kekecualian (exceptional), IQ = 160 - 179
- Amat sangat (profound), IQ = 180+
Namun menurut Rezulli jika IQ anak 130 bisa dikatakan anak tersebut termasuk
anak cerdas istimewa dan bakat istimewa (CIBI)
3. Karakteristik siswa cerdas istimewa
Anak-anak gifted bukanlah anak dengan populasi seragam, ia mempunyai
banyak

variasi,

baik

personalitasnya,

variasi

maupun

pola

variasi

tumbuh

kembangnya,

keberbakatannya.

Semakin

variasi
tinggi

perkembangan inteligensianya, maka akan terjadi deskrepansi (perbedaan)


di berbagai domain perkembangan. Deskrepansi ini bukan saja akan
menyangkut perkembangan dalam individu, tetapi juga akan menyangkut
perkembangan antar individu. Kondisi inilah yang sering membawa
berbagai kesulitan pada anak-anak gifted dan sering salah terinterpretasi.
Sebagian besar anak gifted akan mengalami perkembangan motorik kasar
yang

melebihi

kapasitas

normal,

namun

mengalami

ketertinggalan

perkembangan motorik halus. Saat ia masuk ke sekolah dasar, umumnya


ia mengalami kesulitan menulis dengan baik. Banyak dari anak-anak ini
diberi

hukuman

menulis

berlembar-lembar
84

yang

justru

tidak

menyelesaikan masalahnya bahkan akan memperberat masalah yang


dideritanya. Anak-anak gifted adalah anak-anak yang sangat perfeksionis,
sehingga perkembangan kognitif yang luar biasa tidak bisa ia salurkan
melalui bentuk tulisan. Hal ini selain dapat menyebabkan kefrustrasian
dan juga dapat menyebabkan kemerosotan rasa percaya diri, konsep diri
yang kurang sehat serta menurunnya motivasi untuk berprestasi.
Deskrepansi antara perkembangan kognitif dan ketertinggalan motorik
halus, ditambah karakteristik perfeksionisnya bisa menimbulkan masalah
yang cukup serius baginya, terutama kefrustrasian dan munculnya konsep
diri negatip, ia merasa sebagai anak yang bodoh tidak bisa menulis.
Namun seringkali pendeteksian tidak diarahkan pada akar permasalahan
yang sebenarnya, dan penanggulangan hanya ditujukan pada masalah
perilakunya yang dianggap sebagai perilaku membangkang.
Anak cerdas berbeda dengan anak CIBI (gifted) dan anak-anak cerdas
tidak bisa dimaksukkan ke dalam kelompok gifted karena mereka
memiliki karakteristik yang berbeda. Sekalipun mereka juga memiliki
tingkat inteligensi yang tinggi, namun kemampuan mereka dalam analisis,
abstraksi dan kreativitas tidak seluar biasa anak-anak CIBI.
Ada beberapa perbedaan karakteristik anak CIBI dari berbagai sudut pandang atau
pendapat yang berbeda.
Pada umumnya karakteristik anak CIBI ada tiga komponen utama yaitu :
- Memiliki kemampuan intelektual (IQ) di atas rata-rata
- Kreativitas tinggi
- Komitmen terhadap tugas yang cukup tinggi
Selain itu, ada beberapa tambahan pendapat lain mengenai karakteristik anak CIBI
yaitu :
Menurut Linda Kreger Silverman, karakteristik anak CIBI adalah sebagai berikut
- Lancar menggunakan komputer
- Memiliki penjelasan yang bagus
- Memiliki pendengaran yang tajam
- Memiliki banyak ide menarik
- Rasa ingin tahu yang tinggi

85

- Perseptif dan insightfull


- Rasa humor yang tinggi
- Memiliki ingatan jangka panjang yang sangat baik
- Sangat kreatif dan imajinatif
- Memahami konsep-konsep abstrak
- Dapat melakukan pekerjaan yang menantang dengan baik
- Penguasaan kosakata yang luas
- Pengamat yaang hebat
- Pemahaman yang baik
- Memiliki kemampuan verbal yang tinggi dalam diskusi
Menurut hasil penelitian Balitbang Depdikbud (1986) dan Council of Curriculum
Examinations and Asessment (2006) menyebutkan bahwa seorang anak cerdas
istimewa dan bakat istimewa (CIBI) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut ini :
- Sangat peka dan waspada
- Belajar dengan mudah dan cepat
- Mampu berkonsentrasi
- Lancar berbahasa
- Mempunyai daya ingat yang baik
- Sangat logis
- Cepat berespon secara verbal dengan tepat
- Kadang-kadang tingkah lakunya tidak disukai orang lain
- Menunjukkan kepemimpinan yang tinggi
- Mudah bosan terhadap hal-hal yang dianggapnya rutin
- Memiliki keterampilan sosial
- Berfokus pada minatnya sendiri
- Mampu belajar sendiri dalam bidang-bidang yang diminati
- Dapat berkomunikasi dengan orang dewasa maupun teman sebayanya
- Tertarik pada topik-topik yang berkaitan dengan orang yang lebih dewasa
- Tidak memerlukan motivasi dari luar
- Memiliki tujuan yang jelas dalam setiap kegiatannya
- Tidak mudah putus asa/ ulet
- Memiliki imajinasi yang orisinil dan hidup
- Mempunyai rasa humor

86

- Mempunyai pendapat dan pandangan yang kuat terhadap sesuatu


- Menunjukkan pemecahan masalah dengan cara yang tidak lazim/ baru
- Memiliki kemampuan memikirkan beberapa pemecahan masalah
- Memiliki kemampuan dalam mengatasi masalah dengan sangat cepat
- Menyukai kegiatan verbal daripada tertulis
- Kemampuan membaca yang baik
- Cermat atau teliti dalam mengamati
- Memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap pengetahuan
- Mempunyai minat yang luas dan mendalam
- Memiliki pengetahuan umum yang luas
4. Identifikasi siswa cerdas istimewa
a. Identifikasi dapat diartikan proses mengenali anak yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa sehingga diperlukan layanan
berdiferensiasi agar mereka dapat berkembang secara penuh seperti
potensi yang dimilikinya.Identifikasi anak berbakat bertujuan untuk
mendapatkan anak berbakat dan mengembangkannya secara khusus
dan optimal. Adapun tokoh yang dapat mengidentifikasi adalah:Ahli
pendidikan, dan psikolog, tenaga kependidikan, orang tua murid,
murid, dan anggota keluarga lainny, teman sekolah atau sebaya,
kelompok atau tokoh-tokoh masyarakat.
b. Prinsip identifikasi yang perlu diperhatikan:
Cerdas Istimewa merupakan suatu fenomena yang kompleks sehingga
identifikasi hendaknya dilakukan secara multidimensional, yaitu:

Menggunakan sejumlah cara pengukuran untuk melihat variasi dari


kemampuan yang dimiliki oleh siswa cerdas istimewa pada usia
yang berbeda.

Mengukur bakat-bakat khusus yang dimiliki untuk dijadikan acuan


penyusunan program belajar bagi siswa cerdas istimewa.

Tidak hanya memperhatikan hal-hal yang sudah teraktualisasi,


namun juga mengidentifikasi potensi.

87

Identifikasi tidak hanya untuk mengukur aspek kognitif, namun


juga motivasi, minat, perkembangan sosial emosional serta aspek
non kognitif lainnya.

Pada hakikatnya masalah identifikasi anak berbakat mencakup 2 hal


yaitu mengenal ciri-ciri anak berbakat, dan berdasarkan pengenalan
ciri-ciri anak berbakat mengembangkan cara untuk mengidentifikasi
anak-anak tersebut.
Ciri-ciri anak berbakat sebagai berikut:

Ciri fisik seperti perkembangan psikomotorik lebih cepat dari anak


rata-rata.

Ciri-ciri mental-intelektual, usia mental lebih tinggi daripada ratarata anak normal. Daya tangkap dan pemahaman lebih cepat dan
luas, memiliki hasrat ingin tahu yang besar, kreatif, dan berciri
khas.

Ciri emosional seperti percaya diri yang kuat, peka terhadap


situasi, dan menyukai hal baru.

Ciri sosial seperti suka bergaul dengan orang yang lebih tua, suka
permainan yang mengandung pemecahan maslah, dan suka bekerja
sendiri.

Beberapa kemungkinan teknik identifikasi anak berbakat yang dapat


dilakukan disekolah, ialah :

Penggunaan

tes

kecerdasan.

Untuk

keperluan

identifikasi

keberbakatan dapat di lakukan dalam dua tahap, yaitu tahap


penjaringan dan tahap seleksi. Tahap penjaringan dapat dilakukan
secara kelompok dengan menggunakan tes kelompok. Secara
intelektual, anak yang dapat digolongkan kedalam anak berbakat
adalah mereka yang memiliki IQ 130 ke atas.Biasanya tes aptitude
seperti tes intelegensi, dan tes prestasi belajar. Tes progressive
Matrices

disarankan

karena

menurut

Jensen

merupakan

tes

intelegensi umum yang paling culture free.Tes tersebut tidak


banyak dipengaruhi oleh status sosio-ekonomis. Orang-orang yang
tidak berpendidikan dapat mencapai skor yang tiggi pada tes PM.

88

Keuntungannya ialah bahwa dalam waktu singkat dapat diperoleh


keterangan mengenai tingkat kemmapuan mental anak.

Tahap berikutnya di lakukan seleksi, dan untuk keperluan seleksi


ini digunakan tes individual agar memberikan hasil pengukuran
yang lebih teliti, cermat dan akurat. Wechsler Intelligence Scale
for Children (WISC) adalah tes kecerdasan individual yang dapat
digunakan, untuk mengidentifikasi keberbakatan. Masalah utama
yang di hadapi dalam teknik ini ialah karena dalam penggunaan tes
kecerdasan hanya bisa di lakukan oleh orang tertentu yang
berkeahlian dalam hal itu. Akibatnya penggunaan teknik ini
memiliki keterbatasan.

Studi kasus.Prestasi akademik dan perilaku-perilaku non akademik,


dapat dijadikan indikator dari keberbakatan seseorang. Identifikasi
anak berbakat dengan menggunakan teknik ini dilakukan dengan
jalan menghimpun berbagai informasi tentang anak dari berbagai
sumber baik orang tua, guru, teman sebaya atau pihak lain. Di
dalam studi kasus semacam ini boleh tidak menggunakan tes
kecerdasan melainkan lebih banyak menggunakan wawancara,
pengamatan, pencatatan, studi dokumentasi yang berkenaan dengan
riwayat perkembangan anak.Masalah yang mungkin terjadi dalam
teknik ini ialah validitas pengamatan dan penghimpunan informasi,
hingga

mana

dipengaruhi

pengamatan
oleh

dan

bias-bias

pencatatan

pribadi.Untuk

informasi
itu

studi

tidak
kasus

menghendaki pengamatan dan pencatatan yang berkelanjutan dan


tidak berlangsung hanya sesaat.
Penyaringan dan identifikasi anak berbakat perlu memperhatikan
faktor-faktor

yang

mungkin

menghambat

perkembangan

keberbakatan.Keberbakatan akan ada di dalam berbagai kelompok


masyarakat dan kebudayaan. Akan tetapi sering kali keberbakatan
itu tidak muncul karena ada hambatan sosial budaya. Faktor sosial
budaya yang tidak kondusif untuk perkembangan keberbakatan
akan menjadikan anak berbakat dalam status tidak beruntung, yaitu
anak berbakat yang karena faktor bahasa, keadaan kebudayaan,

89

kehidupan

ekonomi,

lingkungan

keluarga

yang

merugikan

mengalami hambatan pengembangan kemampuan intelektual dan


kreativitasnya.Mengingat faktor-faktor ini maka hasil tes tidak
selalu mutlak dapat di jadikan tolok ukur keberbakatan.Strategi
pendidikan yang ditempuh selama ini bersifat masal memberikan
perlakuan standar/rata-rata kepada semua siswa sehingga kurang
memperhatikan perbedaan antar siswa dalam kecakapan, minat,
dan bakatnya. Dengan strategi semacam ini, keunggulan akan
muncul secara acak dan sangat tergantung kepada motivasi belajar
siswa serta lingkungan belajar dan mengajarnya. Oleh karena itu
perlu dikembangkan keunggulan yang dimiliki oleh siswa agar
potensi yang dimiliki menjadi prestasi yang unggul.Mengingat
situasi dan kondisi Indonesia, yaitu bahwa sebagian penduduk
tinggal di daerah terpencil maka dalam prosedur identifikasi
hendaknya diberikan prioritas terhadap studi kasus, yaitu dengan
menghimpun informasi tentang anak berbakat dari berbagai pihak,
berdasarkan

observasi

terarah,

dan

dengan

menelaah

record

prestasi dan karya. Lalu tahap selanjutnya identifikasi anak


berbakat dilakukan dengan tes yang dibakukan.

c. Model Identifikasi Anak Berbakat


Terdapat beberapa model untuk mengidentifikasi anak berbakat yaitu:

Model Renzulli.
Menurut Renzulli kinerja seseorang secara khusus dipengaruhi
oleh

motivasi

yang

muncul

dalam

komitmen

menyelesaikan

tugasnya; dan ketiga dimensi ini saling berhubungan.Ini berarti


setiap identifikasi harus mewakili kawasan-kawasan tersebut, bila
ingin menyelenggarakan pendidikan bagii anak berbakat.Meskipun
dua kawasan yang mendampingi kemampuan intelektual adalah
kawasan non intelektual, namun kawasan non intelektual ini sangat
menentukan kinerja intelektual seseorang. Oleh karenanya ia
beranggapan bahwa ketiga kawasan tersebut saling berinteraksi.

90

Three-ring-interaction atau interaksi tiga lingkaran ini (ITL)


mencangkup komitmen terhadap tugas, kreativitas dan kemampuan
intelektual umum.Konsep kebrbakatan ini menunjuk pada mereka
sebagai yang berbakat bila di dalam berbagai kegiatan khusus yang
dilakukan

produktivitasnya

ternyata

beranjak

pada

komitmen

dalam kegiatannya. Konsep ini dianggap menarik, karena dalam


mengidentifikasikan superioritas seseorang, perkembangan yang
luar biasa diperhatikan setelah dalam pelaksanaan suatau tugas
memperlihatkan

kreativitas

dan

komitmen

pada

tugas

tersebut.Pendekatan Renzulli penting karena sangat membedakan


orang berbakat dari yang biasa-biasa saja disebabkan factor
motivasi dan kreativitas, serta prosedur identifikasinya yang
terkenal dengan SEM.

Model Cohn.
Cohn

menyajikan

suatu

pendekatan

yang

disebut

multidimensional.Ia beranjak dari tiga klasifikasi kawasan yaitu


intelektual, artistic dan social. Tiga kawasan itu ditambah lagi
dengan kawasan kemanusiaan yang lain. Setiap kawasan tersebut
terdeferensiasikan lagi dalam berbagai aspek.Demikian kawasan
intelektual terbagi lagi dalam aspek kuantitatif, verbal, special dan
beberapa dimensi khusus lainnya.Kawasan artistic mencangkup
aspek seni rupa, seni pertunjukan dan dimensi khusus artistic
tertentu.Demikian kawasan social mencangkup bakat altruistic dan
empati,

kepemimpinan

dan

dimensi

khusus

tertentu

lainnya.

Kawasan tambahan lain mencangkup kemampuan kemanusiaan


yang lain yang terbagi dalam berbagai kekhususan.

Model Gagne.
Perumusan Gagne tentang keberbakatan berbeda dari perumusan
ahli lainnya. Sebab amat membedakan keberbakatan intelektual
(gifted)

dan

perolehan

hasil

belajar

skolastik.

Sementara

keberbakatan lainnya (talented) terutama terkait dengan kualitas

91

kepemimpinan, kinerja mekanik, keterampilan manipulative,dan


eksprsi seni music, literature serta hubungan kemanusiaan dan
kemajuan kemanusiaan lainnya. (Khatena, J, 1992).Giftedness
adalah erasi dengan kompetensi atau aptitude di atas rata-rata
dalam berbagai kemampuan manusia, sedangkan talent adalah
situasi tampilnya kinerja atau kemampuan di atas rata-rata dalam
berbagai aktivitas. Aptitude terbagi lagi menjadi empat kategori,
yaitu

intelektual,

kreatif,

sosioafektif

dan

sensorimotorik

sedangkan talent terbagi menjadi lima kategori yaitu akademik,


teknik artistic, inter-personal dan atletik. (Gagne, F , dalam
Calangelo & Davis, 1991).Dalam menjelaskan konsep katalisator,
Gagne memaparkan pengertian tersbut sebagai pemandu positif
atau

negative

yang

menjadikan

aptitude

terwujud

menjadi

talented.Dua tipe katalisator dibedakan Gagne, yaitu yang sifatnya


interpersonal

yaitu

ingin

tahu,

motivasi,

ketekunan

dan

kemandirian, dan yang berasal dari lingkungan, yaitu orang tua,


teman sebaya , sekolah dan sebagainya. (Gagne dalam Calangelo &
David, 1991).Apatitude banyak menunjuk pada proses terwujudnya
sesuatu sebagai cirri seseorang dan banyak dipengaruhi oleh
potensi heriditer, sedangkan talented menunjuk pada hasil daripada
suatu

kegiatan.Apatitude

sebaiknya

diidentifikasi

melalui

tes

psikologis, sedangkan talent sebaiknya ditandai melalui kinerja


atau pertunjukan tertantu. (Gagne dalam Calangelo & David, 1991).
Pada sub bab sebelumnya Renzulli telah memperkenalkan suatu
pola identifikasi SEM sebagai upaya menjaring anak berbakat
seoptimal

mungkin

dalam

arti

jumlah

maupun

cirri-cirinya.

Pembelajaran bagi anak berbakat selain ditandai oleh kemampuan


intelektual,

lebih

intelektual.Jadi,

banyak
konsep

dipengaruhi
identifikasi

oleh

kawasan

program

non

pendidikan

seharusnya memperhitungkan kawasan-kawasan yang saling terkait


tersebut untuk memberikan peluang pendidikan luar biasa sesuai
kebutuhannya.

Model Sternberg.

92

Pendekatan Sternberg didasarkan pada teori komponen intelegensi


manusia. Sternberg menganalisa pengatasan masalah manusia
(human

problem

solving)

sebagai

cakupan

proses

informasi

elementer atau komponen, yang memilki lima fungsi matematika;


kinerja; perolehan; retensi dan transfer (Kitano & Kirby, 1986).
Menurut Sternberg teori keberbakatan intelektual harus difahami
dengan berfungsinya secara superior aktivitas dan umpan balik
dari komponen informasi yang semuanya bisa dilatihkan.
5. Jenis Siswa Cerdas Istimewa
Menurut Betts dan Neihart ada 6 tipe anak gifted. Macam-macam tipe anak cerdas ini
perlu diketahui mengingat tidak semua anak CIBI memiliki ciri dan karakter yang
sama sehingga hal tersebut cukup membingungkan guru, orang tua atau masyarakat.
Guru masih banyak yang menganggap bahwa anak CIBI harus rajin, tekun, taat dan
patuh. Oleh karena itu ketika guru melihat ada anak yang memiliki ciri berlawanan
dengan anggapan tersebut maka guru menganggap anak tersebut tidak cocok disebut
CIBI.anggapa ini pun akhirnya akan berdampak pada cara guru dalam melakukan
pendampingan terhadap anak CIBI. Orang tua juga sering membandingkan anaknya
yang termasuk kategori CIBI dengan anak CIBI lainnya. Membanding-bandingkan
ciri ini akan melahirkan tuntutan yang berlebihan atau harapan melebihi kemampuan
anak CIBI itu sendiri. Orang tua yang memiliki anak bandel atau pemberontak akan
menganggap anaknya tidak CIBI hanya karena orang tua tersebut membandingkan
dengan anak CIBI lain yang memiliki ciri penurut, taat dan rajin. Hal yang sama akan
ditemui dimasyarakat. Masyarakat akan menjadi heran, aneh dan kaget bila melihat
beberapa anak CIBI memperlihatkan sebuah ciri yang tidak sesuai dengan anggapan
mereka. Lalu masyarakat akan mengambil kesimpulan bahwa program layanan yang
ada dan membimbing anak CIBI adalah gagal.Menjadi sangat penting kita mulai
mempelajari dan melakukan pengamatan untuk kemudian memandang anak CIBI
dalam sudut pandang yang benar-benar baru.Tipe ini disampaikan pada Seminar
Nasional Potensi Luar Biasa Sejuta Anak Cerdas Istimewa, pada tanggal 23 Februari
2010 di Jakarta.

93

a. Tipe I (The Succesful)


Dalam dunia pendidikan, menurut Betts dan Neihart, anak-anak gifted yang
terindentifikasi sebanyak 90 persen adalah dari kelompok tipe ini. Mereka adalah
anak-anak yang mampu meraih yang sangat baik, dan dapat mengikuti sistem
pendidikan konvensional dengan baik. Mereka mendengarkan dan mempelajari
dengan baik apa yang diajarkan baik di sekolah maupun di rumah. Dalam berbagai tes
atau ujian mereka juga meraih skor yang tinggi, disamping itu mereka dapat terpilih
dan mendapatkan tempat dalam program pendidikan anak gifted.
Terhadapnya, lingkungan baik pihak sekolah maupun orang tua sangat percaya bahwa
dirinya dapat meraih prestasi sebaik-baiknya.Ia sangat disenangi oleh sekolah, orang
tua dan diterima dengan baik oleh teman-teman sebanyanya. Ia juga tidak mengalami
masalah dalam pergaulan. Perkembangan sosial emosionalnya sangat baik. Terhadap
anak-anak ini pula, orang disekitarnya tidak melihat apa kekurangannya. Namun
sebetulnya ia kurang bisa belajar secara mandiri. Ia mendapatkan prestasi karena
dukungan dan bimbingan. Bukan karena mengembangkan minatnya secara mandiri.
Kelihatannya ia memiliki konsep diri yang positif, sebagai bentukan karena ia
mempunyai prestasi yang baik dan lingkungan yang dapat menerima dirinya dengan
baik. Mereka memang menyabet nilai kompetensi yang tinggi saat sekolah.Namun
sebetulnya mereka tidak bisa mengembangkan talentanya secara mandiri.

b. Tipe II (The Challenging)


Tipe ini sering tidak teridentifikasi oleh sekolah atau orang tua karena mereka tidak
menunjukkan prestasi yang baik. Mereka biasa melakukan segala sesuatu secara
spontan dan seringkali spontanitas itu dianggap kegiatan yang mengacaukan, tidak
teratur dan tidak patuh.Anak kelompok ini biasanya memiliki tingkat kreatifitas yang
sangat tinggi, namun tidak belajar untuk memanfaatkan kebolehannya.Anak ini lebih
banyak frustasi karena sistem pendidikan tidak memberikan keleluasan dan perhatian
kepada mereka baik kreatifitasnya maupun talentanya.
Kelompok gifted ini adalah kelompok anak yang beresiko tinggi, karena luput dari
perhatian dan tidak ditangani dengan baik dan berakibat pada putus sekolah, perilaku

94

bermasalah dan masuk ke dalam sirkuit kenakalan remaja dan penyalahgunaan obat
terlarang.

c. Tipe III (The Underground)

Kelompok ini adalah kelompok yang menyembunyikan talenta dan kemampuannya.


Umumnya terjadi pada kelompok gifted perempuan diusia sekolah lanjutan pertama.
Mereka cenderung menyembunyikan kemampuannya untuk bisa diterima oleh teman
sebayanya. Pada lelaki biasanya terjadi ketika masa usia SMA karena mereka
meresppon perkembangan sosial yang terjadi disekelilingnya. Ciri mereka biasanya
diawal tahun pelajaran cenderung mampu memaksimalkan kemampuannnya, namun
ketika menjelang akhir mereka mengalami penurunan yang drastis dan bahkan
menolak kelebihan yang ada pada dirinya.
Anak seperti ini adalah kelompok anak yang merasa tidak nyaman, tidak aman dan
merasa cemas.Bahkan tekanan tidak hanya muncul dari dirinya sendiri, namun juga
dari lingkungan.Teman sebayanya menekan kemampuan mereka untuk bisa menerima
kelebihan mereka.Tidak hanya itu bahkan orang tua dan guru sekalipun memberikan
tekanan yang tidak kalah beratnya kepada mereka.

d. Tipe IV (The Dropouts)


Kelompok ini memiliki potensi yang tinggi namun tidak mendapatkan dukungan yang
baik dari sekolah dan orang tua. Mereka cenderung tidak bisa memunculkan
prestasinya dengan harapan dan kemampuannya sendiri.Sistem pendidikan di sekolah
menyebabkan ke-frustasi-an dan pada akhirnya membawanya pada penarikan diri dan
kondisi depresi.

Tipe ini merupakan dampak dari tidak adanya penanganan yang baik untuk anak
kelompok II atau The Chalanging yang berlanjut kepada frustasi dan depresi.Frustasi

95

dan depresi ini bisa muncul di sekolah tingkat lanjut namun pada dasarnya telah
dimulai sejak pendidikan dasar.Droupout bukan saja dalam bentuk prestasi sekolah
yang menurun namun juga secara mental dan emosional.

Kelompok ini memang merupakan kelompok anak gifted yang terlambat


diidentifikasi. Di sekolah dasar ia tidak terdekteksi sebagai anak gifted. Akhirnya
anak seperti ini tidak memiliki mitivasi internal yang sangat lemah.Kelompok ini
membutuhkan kerjasama dengan yang baik dengan orang yang dewasa yang memang
dipercayai.Orang tua juga memerlukan bimbingan khusus agar dapat menghadapinya
dengan baik. Kepada anak ini perlu dilakukan tes untuk melihat dibagian apa
kekuatannya.
e. Tipe V (The Double Labeled)
Merupakan kelompok gifted yang memiliki gangguan secara fisik, emosional tatupun
gangguan belajar (learning disabilities). Anak kelompok ini memerlukan program
khusus untuk modifikasi program yang sesuai dengan kondisinya. Seringkali ia tidak
menunjukkan prestasi sebagaimana anak gifted pada umumnya karena mereka lebih
sering dilihat dari sisi lemahnya, bukan kekuatannya.
Misalnya tulisan yang jelek disebabkan karena motorik halusnya terganggu atau
perilakunya yang kacau sehingga tidak dapat menyelesaikan tugasnya dengan
baik.Anak-anak ini juga seringkali kesulitan menyelesaikan tugas-tugasnya karena
ketidakbiasaannya sebagai akibat gangguan yang memang kasat mata.
Bila sekolah dan orang tua tidak mampu menemukan sumber kekurangannya lalu
berlanjut secara terus menerus maka akan memunculkan kefrustasian, merasa tidak
dihargai, tak dibantu dan merasa terasing. Bahkan si anak sendiri mungkin tidak
mengakui dan menyadari sumber masalahnya sendiri secara spesifik.
Sekolah dan orang tua sering tidak mengakui bahwa sesungguhnya anak itu luar biasa
karena memang secara fisik dan tampilam, mereka tidak mampu memperlihatkannya
secara baik.Karena tidak teridentifikasi, pihak sekolah hanya melihat dan menangani
kekurangannya saja namun faktpr kelebihannya tidak terkelola dengan baik.

96

f. Tipe VI (The Outonomous Learner)


Anak gifted yang sangat mandiri dan mempunyai jiwa kepemimpinan yang sangat
kuat. Ia dapat mengembangkan diri secara kreatif dan mampu memanfaatkan segala
sesuatu yang ditawarkan dalam pendidikan. Apa yang didapatkan dari sekolah dapat
ia kembangkan sendiri sebagai sesutau yang baru. Ia tidak tergantung kepada orang
lain dan sangat independen. Ia dapat menentukan sendiri apa yang ingin dicapainya,
mempunyai sikap diri yang positif. Ia juga mampu mengekspresikan perasaan, tujuan
dan cita-citanya dengan baik dan bebas. Ia sangat disayangi oleh lingkungan dan
mendapatkan dukungan positif. Biasanya ia terpilih menjadi pemimpin dalam
kelompoknya, baik di sekolah maupun d masyarakat.

6. Layanan Pembelajaran siswa cerdas istimewa


Dari berbagai penelitian memperlihatkan bahwa trend pendidikan anak cerdas
istimewa secara mainstream kini lebih menyadari bahwa pendidikan untuk berbagai
kelompok giftedini lebih baik berada dalam sekolah atau kelas-kelas reguler bersama
dengan anak-anak usia sebayanya. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak ini dapat
melakukan kontak yang baik dengan peer grup atau sebayanya, guna pengembangan
sosial emosional yang tepat yaitu pengembangan self-esteem yang baik serta selfconcepts yang realistis. Disamping itu, anak-anak ini juga membutuhkan metoda
tersendiri terutama ditujukan pada aktualisasi prestasi dengan pendekatan multitalenta,
maka dalam kelas-kelas reguler kepadanya diperlukan kurikulum yang sesuai dengan
level masing-masing serta adanya kurikulum berdiferensiasi. Bentuk sekolah atau
kelas reguler yang menerima beragam keunikan anak, dan memberikan tawaran
pedidikan sesuai dengan keunikan anak didik, disebut sebagai kelas atau sekolah
inklusi.
Beragam kelas atau sekolah inklusi yang banyak dikembangkan oleh berbagai negara
mempunyai beberapa keragaman. Sebagai misal, Norwegia yang telah memulai
pendidikan melalui kelas inklusi sejak adanya reformasi pendidikan tahun 1994 yang
meletakkan anak-anak giftedbersama beragam anak-anak berkebutuhan khusus

97

lainnya seperti anak berkecerdasan kurang dan terbatas, cacat fisik primer, dan anakanak normal. (Bentuk seperti ini biasa disebut full-inclusion). Bentuk sekolah atau
kelas inklusi seperti ini membutuhkan tawaran pendidikan dengan banyak level atau
komptensi. Namun negara Belanda meletakkan anak gifted dalam sekolah inklusi
yang terbatas bersama 4 kelompok lainnya yaitu: penyandang ADHD, Autisme,
learning disabilities dan anak normal. Berbeda dengan model yang dikembangkan
oleh Norwegia, dalam Undang-undang pendidikan Belanda, sekolah reguler sebagai
sekolah inklusi hanya menerima anak berkecerdasan normal ke atas, dan tidak
bergangguan cacat primer. Bentuk sekolah seperti ini telah berdiri sejak tahun 1990
dengan nama program We Zijn Weer Samen Naar School atau Kita Kembali Sekolah
Bersama-sama. Nama seperti ini diberikan karena semula anak anak berkebutuhan
khusus tersebut dipisah diletakkan di sekolah-sekolah khusus. Bentuk pendidikan di
Belanda kini lebih kepada pendekatan sistem kompetensi atau level, dibagi dalam 3
kompetensi, yaitu kompetensi atas, rata-rata, dan bawah.
Guru kelas atau guru bidang studi di sekolah reguler bersama-sama guru
Pendidikan Luar Biasa (PLB) atau Pendidikan Khusus (PKh) sebelum
melaksanakan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan
khusus terlebih dahulu perlu menjabarkan standar kompetensi dan
kompetensi

dasar

dalam

rencana

pembelajaran

reguler,

modifikasi

pembelajaran serta program pengajaran individual (PPI) untuk anak


berkebutuhan khusus.
PPI merupakan rencana pengajaran yang dirancang untuk satu orang
peserta

didik

yang

berkebutuhan

khusus

atau

yang

memiliki

kecerdasan/bakat istimewa. PPI harus merupakan program yang dinamis


artinya sensitif terhadap berbagai perubahan dan kemajuan peserta didik,
dan disusun oleh sebuah tim terdiri dari orang tua/wali murid, guru kelas,
guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus/ PLB, dan peserta didik
yang bersangkutan yang disusun secara besama-sama.
Idealnya PPI tersebut disusun oleh tim terdiri dari Kepala Sekolah,
Komite Sekolah, Tenaga ahli dan Profesi terkait, orang tua/wali murid,
guru kelas, guru mata pelajaran dan guru pendidikan khusus/PLB, serta
peserta didik yang bersangkutan.

98

Strategi

Pembelajaran

Berdiferensiasi

dalam

mendiferensiasikan

pengajaran, guru bisa melakukan modifikasi terhadap lima unsur kegiatan


mengajar,

yaitu

materi pelajaran,

proses, produk,

lingkungan

dan

evaluasi (Howard, 1999; Weinbrenner, 2001)


a. Substansi Pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran, guru harus bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa semua siswa mempelajari materi pelajaran dalam
kurikulum yang harus dikuasai siswa. Namun, guru tidak harus
mengajarkan materi pelajaran tersebut pada semua siswa.Artinya,
siswa yang telah menguasai kompetensi atau bahan ajar tertentu boleh
mengurangi waktu yang diperlukan untuk menguasai kompetensi dan
bahan ajar itu.Mereka boleh meloncatinya. Materi pelajaran dapat
dimodifikasi melalui berbagai kegiatan pembelajaran, antara lain:

Pemadatan

materi

pelajaran,yaitu

sebuah

strategi

untuk

merampingkan waktu yang dihabiskan siswa untuk menyelesaikan


kurikulum reguler. Dalam memadatkan materi pelajaran, guru
harus menentukan kompentensi atau bahan ajar apa yang telah
dikuasai siswa dan apa yang masih harus dipelajarinya, dan
kemudian menggantikan kompetensi atau bahan ajar yang telah
dikuasai tersebut dengan materi lain yang lebih menantang. Untuk
itu, guru harus mempertimbangkan minat siswa karena siswa
dituntut

untuk

kemandirian

menunjukkan

dalam

komitmen,

melakukan

tugas

tanggung

jawab

menantang.Ada

dan

delapan

langkah untuk memadatkan materi pelajaran, yaitu:Tentukan tujuan


pembelajaran pada materi yang akan diajarkan;Cari cara yang
sesuai

untuk

mengevaluasi

tujuan

pembelajaran

tersebut;Identifikasi siswa yang mungkin telah menguasai tujuan


(atau dapat menguasainya dengan lebih cepat);Evaluasi siswasiswa tersebut untuk menen-tukan tingkat penguasaan;Kurangi
waktu yang diperlukan siswa untuk mempelajari materi yang telah
dikuasai;Berikan pengajaran pada sekelompok kecil atau siswa
secara individu, yang belum menguasai tujuan pembelajaran di
atas, tetapi dapat menguasainya lebih cepat dari teman-teman

99

lainnya;Dokumentasikan kegia-tan belajar pengganti yang lebih


menantang,

yang

sesuai

dengan

minat

siswa;Dokumentasikan

proses pemadatan dan opsi pembelajaran.

Studi intradisiplin,yaitu studi atas satu tema atau topik dengan


melibatkan mata pelajaran lain yang relevan. Guru mata pelajaran
yang ingin memodifikasi topik atau tema tertentu dari materi
pelajaran, dapat bekerjasama dengan guru mata pelajaran yang lain
yang relevan. Selanjutnya, mereka dapat mengeksplorasi bentuk
kegiatan pembelajaran yang mungkin dilakukan.

Kajian mendalam.Cara ini bisa dilakukan oleh siswa berbakat bila


mereka

sudah

siap

dengan

pengetahuan,

kemampuan

untuk

mengaplikasikan pengetahuan, waktu dan enerji yang dibutuhkan


untuk tugas ini. Minat siswa pada suatu topik merupakan penentu
utama dari ke-mauan untuk mengeksplorasi topik itu secara
mendalam.
b. Proses Pembelajaran.
Banyak kegiatan yang bisa dilakukan oleh guru untuk memodifikasi
proses

pengajaran

dan

pembelajaran,

antara

lain

dengan:

Mengembangkan kecakapan berpikir. Siswa berbakat perlu untuk


mengembangkan kecakapan berpikir analitis, organisasional, kritis
dan kreatif. Guru dapat mengajarkan secara langsung kecakapan ini,
atau memadukannya dalam materi pelajaran. Kecakapan berpikir juga
bisa dikembangkan melalui teknik bertanya.Hubungan dalam dan
lintas disiplin.Untuk itu, siswa berbakat memerlukan kecakapan
berpikir

tingkat

menyintesis,

tinggi,

mengaplikasi

terutama
dan

kemampuan

mengevaluasi.

menganalisis,

Siswa

berbakat

dianggap siap untuk belajar dengan kecakapan berpikir yang lebih


tinggi bila mereka memiliki kecakapan untuk memecah satu ide atau
konsep ke dalam bagian-bagian penting; mengatur kembali fakta-fakta,
konsep dan ide ke dalam satu kombinasi baru; mengaplikasikan apa
yang telah mereka kuasai dengan cara yang baru dan kreatif;
danmenentukan nilai suatu ide.Studi mandiri, merupakan alternatif
lain dalam memodifikasi proses. Sebagian siswa berbakat senang

100

bekerja sendiri, mulai dari menentukan topik yang menjadi fokus


studi, menentukan cara dan waktu penyelesaian, menentukan sumber
untuk melakukan studi hingga menentukan format produk akhir studi.
Guru dapat memfasilitasi studi mandiri dengan cara mengelompokkan
siswa berdasarkan minat yang sama. Bila seorang siswa benarbenar
ingin lebih mendalami suatu topik, guru bisa menawarkan satu
kontrak studi mandiri bagi siswa yang bersangkutan.
c. Produk.
Dalam memodifikasi produk, guru dapat mendorong siswa untuk
mende-monstrasikan apa yang telah dipelajari atau dikerjakan ke
dalam beragam format yang mencerminkan pengetahuan maupun
kemampuan untuk memanipulasi ide. Misalnya daripada meminta
siswa untuk menambah jumlah halaman laporan dari suatu bab, guru
bisa meminta siswa untuk menyintesis pengetahuan yang telah
diperoleh. Guru juga bisa memberikan kesempatan

pada siswa

berbakat untuk menginvestigasi masalah riil yang terjadi di sekitarnya


dan

mempresentasikan

solusinya.Misalnya,

siswa

diminta

untuk

menginvestigasi polusi dari emisi kendaraan atau polusi air kali, dan
hasilnya bisa di-sampaikan pada instansi pemerintah atau swasta yang
terkait.
d. Lingkungan Belajar. Iklim belajar di kelas merupakan faktor yang
berpengaruh langsung pada gaya belajar dan minat siswa. Sikap guru
lah yang sangat menentukan iklim di dalam kelas. Lingkungan belajar
yang sesuai adalah yang mengandung kebe-basan memilih dalam satu
displin;

kesempatan

kelompok;

untuk

kemandirian

mempraktikkan

dalam

belajar;

krea-tivitas;

kompleksitas

interaksi
pemikiran;

keterbukaan terhadap ide; mobilitas gerak; menerima opini; dan


meren-tangkan belajar hingga keluar ruang kelas. Untuk itu, guru
harus mampu membuat pilihan-pilihan yang sesuai mulai dari apa
yang akan diajarkan, ba-gaimana mengajarkannya, materi dan sumber
daya apa yang perlu disediakan hingga bagaimana mengevaluasi
pertumbuhan belajar siswa.
e. Evaluasi

101

Memodifikasi

evaluasi

berarti

menentukan

suatu

metode

untuk

mendokumentasikan penguasaan materi pelajaran pada siswa berbakat.


Guru harus memastikan bahwa siswa berbakat memiliki kesempatan
untuk mendemonstrasikan penguasaan materi pelajaran sebelumnya
ketika akan mengajarkan pokok bahasan, topik, atau unit baru mata
pelajaran. Guru juga harus mendorong mereka untuk mengembangkan
rubrik atau metode lain untuk mengevaluasi proyek atau hasil studi
mandiri mereka

102

BAB IV
LANDASAN EMPIRIS

A. Tunanetra
Pada saat ini perekonomian Indonesia terus tumbuh di tengah bayang-bayang resesi dunia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2005 sampai dengan 2008 berturut-turut 5,7%,
5,5%, 6,3%, 2008: 6,4% (www.presidenri.go.id/index.php/ indikator). Pertumbuhan
ekonomi Indonesia tahun 2012 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan
ekonomi negara- 8 negara ASEAN sebesar 6,5 6,9 % (Agus D.W. Martowardojo, dalam
Rapat Paripurna DPR, 31/05/2012). Momentum pertumbuhan ekonomi ini harus terus
dijaga dan ditingkatkan. Generasi muda berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif, ulet,
jujur, dan mandiri, sangat diperlukan untuk memantapkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia di masa depan. Generasi seperti ini seharusnya tidak muncul karena hasil
seleksi alam, namun karena hasil gemblengan pada tiap jenjang satuan pendidikan dengan
kurikulum sebagai pengarahnya.
Sebagai negara bangsa yang besar dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan
beragamnya kemajuan pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun
ancaman disintegrasi bangsa masih tetap ada. Kurikulum harus mampu membentuk
manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat
untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan untuk
berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.
Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus
pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa
generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada
kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut bersumber dari kurikulum, namun beberapa ahli
pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah
implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan
peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik.
Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan direorganisasi terhadap beban belajar
dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini.

103

Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan
dengan beban belajar anak, khususnya anak sekolah dasar. Beban belajar ini bahkan
secara kasatmata terwujud pada beratnya beban buku yang harus dibawa ke sekolah.
Beban belajar ini salah satunya berhulu dari banyaknya mata pelajaran yang ada di
tingkat sekolah dasar. Oleh karena itu kurikulum pada tingkat sekolah dasar perlu
diarahkan kepada peningkatan 3 (tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung
serta pembentukan karakter.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk
masih adanya kecurangan di dalam Ujian Nasional/UN menunjukkan mendesaknya upaya
menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam
satuan pendidikan, maka kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilainilai kejujuran pada peserta didik.
Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan manusia telah secara nyata mempengaruhi
secara negatif lingkungan alam. Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih,
adanya potensi rawan pangan pada berbagai belahan dunia, dan pemanasan global
merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang
akan datang. Kurikulum seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan
kepedulian generasi muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan
untuk merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan
ketahanan pangan.
Hasil studi PISA (Program for International Student Assessment), yaitu studi yang
memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPA, menunjukkan peringkat
Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil studi TIMSS
(Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan anak Indonesia
berada pada ranking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang
komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan
pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil studi ini menunjukkan perlu ada
perubahan orientasi kurikulum dengan tidak membebani peserta didik dengan konten
namun pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga negara untuk
berperanserta dalam membangun negara pada masa mendatang.
Kurikulum 2013 untuk anak tunanetra memperhatikan kemampuan akademik dan non
akademik yang dimiliki anak tunanetra. Anak tunanetra memiliki kemampuan yang

104

beragam seperti anak lain sebaya. Levingston (dalam Blackhurst & Berdine, 1981)
sependapat dengan Kirtley, bahwa perkembangan inteligensi tidak langsung dipengaruhi
oleh hilangnya fungsi penglihatan, dan IQ sendiri tidak cukup untuk mengukur
kemampuan belajar. Jadi kemampuan anak tunanetra mungkin lebih bagus dari pada hasil
yang ditunjukkan (Kline, 1997). Kwan (1995) menyatakan bahwa interaksi ibu dan anak
tunenetra akan berpengaruh positif jika ibu memberikan respon yang positif, misalnya:
mendorong mobilitas anak, membantu jika diminta, mengajak bicara,

dan lain

sebagainya. Interaksi ibu dan anak akan negatif jika perilaku ibu bersifat menentukan,
misalnya:

hanya memberi tanda-tanda memperhatikan. Hardman, dkk (1990)

berpendapat bahwa kemampuan persepsi dan belajar anak tunanetra rendah karena anak
tunanetra lebih mengandalkan indra lain. Warren

menyatakan bahwa ada beberapa

daerah inteligensi anak tunanetra yang berbeda dengan anak awas mulai dari pemahaman
konsep spasial sampai dengan pengetahuan umum tentang lingkungan (Harring &
Schiefbusch, 1967).
B. Tunarungu
Bangsa Indonesia secara geografis, demografis, sosial budaya, agama, memiliki potensi
positif yang dapat menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang maju, memiliki peradaban
tinggi, serta dapat bersaing dalam dunia regional maupun internasional. Tetapi dari
keberagaman tersebut juga dapat memunculkan potensi negatif, seperti disintegrasi, rasa
kedaerahan

yang

ekstrim/radikal,

dan

sebagainya.

Dalam

bidang

pendidikan,

permasalahan yang muncul berkaitan dengan kurangnya pemerataan pendidikan,


tingginya angka putus sekolah, tingginya jumlah angka pengangguran, dekadensi moral
dan nilai-nilai, lunturnya rasa solidaritas sosial, dan sebagainya.
Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus
pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa
generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada
kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut bersumber dari kurikulum, namun beberapa ahli
pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah
implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan
peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik.
Persoalan yang banyak di lontarkan pada pendidikan luar biasa khususnya anak
tunarungu adalah bahwa selama ini kurikulum yang diterapkan pada peserta didik

105

tunarungu menggunakan kurikulum yang digunakan pada sekolah reguler. Dalam


kenyataan dilapangan bahwa kemampuan peserta didik tunarungu memiliki kemampuan
yang beragam baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik. Disisi lain bahwa
kesulitan anak tunarungu adalah dalam kebahasaannya, selama ini belum diberikan
pelayanan secara maksimal karena perbandingan antara akademik, vokasional dan
kompensatoris belum seimbang, sehingga kemampuan kebahasaan masih jauh dari
harapan.
Solusi atas kompleksitas permasalahan-permasalan tersebut dapat diurai melalui upayaupaya pendidikan yang operasional, sistematis dan terintegrasi yang dikemas dalam suatu
kurikulum yang adaptif, akomodatif dan fleksibel.Kurikulum harus mampu membentuk
manusia Indonesia seutuhnya yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan
masyarakat untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan
kebutuhan untuk berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.Kurikulum untuk anak
tunarungu perlu direorientasi dan direorganisasi sesuai kondisi dan kebutuhan beban
belajar dan kemampuan pembelajaran mereka, agar dapat berkembang seoptimal
mungkin.
C. Tunagrahita
Untuk memenuhi kebutuhan khusus anak tunagrahita, sekolah atau lembaga pendidikan
bagi tunagrahita dituntut menyiapkan program pemenuhan kebutuhan tersebut dalam
bentuk kurikulum. Kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan tunagrahita biasanya
dapat digolongkan sebagai bidang studi dan sebagai keterampilan khusus. Secara
keseluruhan program atau kurikulum tersebut memiliki tujuan (a) untuk meniadakan atau
mengurangi hambatan belajar dan perkembangan akibat ketunagrahitaan, (b) memberikan
berbagai keterampilan agar mereka mampu berkompetisi dengan orang lain pada
umumnya, dan (c) membantu mereka untuk memahami atau menyadari akan potensi dan
kemampuannya.
Perhatian dunia terhadap anak berkebutuhan khusus mengalami perkembangan yang
cukup pesat. Di Eropa, sekolah khusus pertama didirikan kira-kira sudah 200 (dua ratus)
tahun yang lalu, namun baru pada abad ke-20 terjadi perhatian yang serius dengan
diakuinya hak-hak sipil para penyandang cacat, termasuk diberlakukannya perundangundangan yang mewajibkan pendidikan untuk semua (Befring, 2001). Sejak tahun 1970an, di Eropa perubahan radikal telah terjadi di bidang pendidikan luar biasa. Layanan

106

pendidikan luar biasa diperluas mencakup tidak hanya di sekolah khusus tetapi juga di
semua sekolah umum, anak usia pra-sekolah, remaja, sekolah menengah dan orang
dewasa yang berkebutuhan pendidikan khusus (Befring dan Tangen, 2001). Meskipun
pendidikan luar biasa telah cukup lama digunakan dalam melayani anak berkelainan,
namun baru pada abad 20 dipelajari sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri.
Pendidikan khusus sebagai disiplin ilmu merupakan bidang yang kompleks karena
bersifat multidisipliner, dan oleh karena itu diperlukan kolaborasi dengan disiplin ilmu
lain. Disiplin ilmu yang terkait dengan pendidikan khusus (PK) meliputi pedagogik,
psikologi, kedokteran dan sosiologi yang membentuk area of congruence dengan fokus
kajiannya sangat khas yaitu hambatan belajar (barier to learning), hambatan
perkembangan (barier to develeopment), dan kebutuhan khusus pendidikan (special needs
education), baik yang sifatnya temporer maupun permanen, dan bukan fokus kepada
kecacatan. Area of congruence disiplin ilmu pendidikan khusus mencakup tiga aspek
meliputi : (1) interaction and comunication impairment, (2) behavior and social
emotional impairment, (3) perceptual motor impairment. Area ini dapat terjadi pada
setiap jenis anak berkebutuhan khusus, seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, anak cerdas dan berbakat istimewa, maupun jenis
anak berkebutuhan khusus yang lain.

D. Tunadaksa
Kurikulum untuk peserta didik tunadaksa dengan hambatan intelektual disesuaikan
dengan kemampuan dan karakteristik masing-masing peserta didik. Peserta didik
tunadaksa dengan hambatan intelektual dengan gangguan fisik motorik yang memiliki
kemampuan kecerdasan rata-rata sama dengan peserta didik-peserta didik normal
dan/diatas rata-rata, menggunakan kurikulum umum/regular dengan menambahkan
pengembangan kompensatoris, sesuai kebutuhannya. Secara akademik mereka mampu
mengikuti jenjang pendidikan yang sama pula dengan peserta didik regular sampai di
perguruan tinggi. Untuk jenis tunadaksa dengan hambatan intelektual sedang / peserta
didik yang mengalami hambatan kecerdasan dengan hambatan fisik motorik yang disertai
dengan

kemampuan

kecerdasan

subnormal,

dan/atau

hambatan

bicara,

dan

atau/pendengaran, serta dan atau/gangguan penglihatan, kurikulum disesuaikan dengan


kondisi dan kemampuan

yang masih dimilikinya sehingga diharapkan setelah lulus

107

peserta didik mempunyai bekal untuk hidup mandiri dalam arti mengurus diri sendiri dan
memiliki keterampilan berdasarkan kemampuan dan pilihannya masing.
E. Tunalaras
Indonesia, negara yang besar dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan
beragamnya kemajuan pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun
ancaman disintegrasi bangsa masih tetap ada. Kurikulum harus mampu membentuk
manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat
untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan untuk
berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.
Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus
pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa
generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada
kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut bersumber dari kurikulum, namun beberapa ahli
pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah
implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan
peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik.
Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan direorganisasi terhadap beban belajar
dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini.
Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan
dengan beban belajar peserta didik, khususnya peserta didik sekolah dasar termasuk yang
berkebutuhan khusus. Beban belajar ini bahkan secara kasatmata terwujud pada beratnya
beban buku yang harus dibawa ke sekolah. Beban belajar ini salah satunya berhulu dari
banyaknya mata pelajaran yang ada di tingkat dasar. Oleh karena itu kurikulum pada
tingkat sekolah dasar atau sekolah dasar luar biasa perlu diarahkan kepada peningkatan 3
(tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung serta pembentukan karakter.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk
masih adanya kecurangan di dalam Ujian Nasional menunjukkan mendesaknya upaya
menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam
satuan pendidikan. Maka kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilainilai kejujuran pada peserta didik.
Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan manusia telah secara nyata mempengaruhi
secara negatif lingkungan alam. Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih,
108

adanya potensi rawan pangan pada berbagai belahan dunia, dan pemanasan global
merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang
akan datang. Kurikulum seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan
kepedulian generasi muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan
untuk merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan
ketahanan pangan.
Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai, mutu pendidikan Indonesia harus terus
ditingkatkan. Hasil studi PISA (Program for International Student Assessment), yaitu
studi yang memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPA, menunjukkan
peringkat Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil studi
TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan peserta
didik Indonesia berada pada ranking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami
informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat,
prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil studi ini
menunjukkan perlu ada perubahan orientasi kurikulum dengan tidak membebani peserta
didik dengan konten namun pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua
warga negara untuk berperanserta dalam membangun negara pada masa mendatang.
Berdasarkan uraian di atas dapat menjadi dasar terhadap perlunya pembaharuan
kurikulum pendidikan khusus tunalaras, yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik,
orang tua, dan masyarakat secara umum terhadap pelaksanaan pendidikan khusus.
F. Tunanetra Ganda
Pekembangan pendidikan bagi tunanetra majemuk berkembang secara significant seiring
dengan

peningkatan

jumlah

anak-anak

yang

memiliki

hambatan

majemuk.

Kecenderungan yang ada di negara maju seperti Amerika saat ini menunjukkan bahwa
60 70 % anak yang masuk ke sekolah tunanetra, memiliki hambatan tambahan (MDVI).
Pada kesempatan yang sama, gaung atas pelaksanaan pendidikan untuk semua (Education
for All) telah mendorong negara-negara berkembang untuk mengakomodasi kebutuhan
belajar anak-anak ini. Jika pada masa lampau mereka termarginalkan dan tidak
mendapatkan layanan pendidikan di sekolah formal, maka saat ini banyak Negara
berkembang yang membuka layanan pendidikan. Dampak dari kondisi tersebut adalah
kebutuhan tentang kurikulum yang dapat dijadikan panduan.

109

Di beberapa Negara, kurikulum untuk tunanetra majemuk diterapkan dengan model yang
berbeda tetapi semua mengacu pada filosofis dasar yang mencakup empat area to work,
to play , to love & to live. Filosofis dasar yang lain adalah harus dilakukan melalui
aktifitas akademik.
India tidak mengembangkan kurikulum khusus bagi tunanetra majemuk, tetapi mereka
membuat panduan khusus melainkan menoba mengikuti kurikulum umum. Tetapi ada
panduan-panduan khusus yang dikembangkan untuk mengakomodasi strategi dalam
memodifikasi kurikulum umum menjadi kurikulum fungsional, modifikasi dalam
pendekatan pembelajaran, media serta evaluasi.
Thailand memiliki fleksibilitas dalam penggunaan kurikulum, sekolah dapat memilih
sesuai dengan kondisi siswa. Pada dasarnya mereka membedakan 3 kurikulum yang dapat
dipergunakan:
1. Kurikulum untuk tunanetra yang mengacu pada kurikulum sekolah umum
2. Kurikulum yang dikembangkan oleh sekolah atau guru sendiri tetapi diakui oleh
pemerintah (peserta didik diharapkan menyelesaikan kelas 4 dari kurikulum umum).
Kurikulum ini diadopsi dari kurikulum tunanetra atau umum tetapi dikembangkan
menjadi kurikulum fungsional.
Di Amerika, kurikulum tunanetra majemuk mengadopsi kurikulum umum tetapi setiap
Negara bagian memeliki panduan atau aturan yang menjelaskan secara detail tentang tata
cara penyesuaian. Pendekatan tematik menjadi inti utama yang diwujudkan dalam bentuk
kurikulum fungsional dan menginteragrasikan muatan akademik pada setiap kegiatan di
kelas. Sekolah atau guru memiliki fleksibilitas dalam merancang program pembelajaran,
pemerintah federal memberikan peraturan untuk evaluasi yang berdasarkan portofolio
disertai bukti-bukti yang kuat.
G. Autis
Pengembangan system pendidikan dan kurikulum khusus untuk siswa autis didasarkan
kepada sejumlah fakta dan data yang berhasil dikumpulkan dari para praktisi di lapangan.
Perolehan data dilakukan melalui wawancara mendalam, focus group discussion maupun
kuesioner. Berikut adalah beberapa fakta empiris terkait dengan pengembangan
kurikulum untuk anak autis.

110

1. Anak-anak autis banyak yang sudah terindentifikasi pada usia dini, kisaran 2-4 tahun.
Mereka yang sudah terindetifikasi sebagai autis pada usia tersebut, banyak yang
mengikuti program intervensi dini terutama untuk pengembangan kemampuan socialkomunikasi, melalui program terafi bahasa dan terapi prilaku.
2. Fakta juga menunjukkan bahwa belum semua siswa autis teridentifikasi pada usia dini.
Mereka tidak memperoleh program intervensi dini dan terlambat masuk ke sekolah.
3. Banyak lembaga-lembaga klinik di masyarakat yang memberikan layanan terapi
kepada anak-anak autis.
4. Sejauh ini belum ada sekolah formal khusus untuk autis.
5. Sebagian besar autis mengalami hambatan/kekurangan kapasitas intelekual, sehingga
relative

mengalami

kesulitan

ketika

harus

mengikuti

pendidikan

dengan

menggunakan kurikulum regular.


6. Sejumlah anak autis memiliki kapasitas intelektual yang memadai sehingga mereka
dapat mengkuti pendidikan di sekolah umum (regular). Pada saat yang bersamaan
mereka juga mengikuti program terapi di luar jam sekolah di sejumlah klinik terapi.
Tujuan program terapi yang dijalani dimaksudkan untuk meningkatkan prilakunya
sehingga semakin kondusif untuk berinteraksi dengan lingkungan.
7. Ada beberapa persepsi dan harapan dari praktisi di lapangan tentang pengembangan
kurikulum khusus untuk autis, di antaranya adalah sbb.:
a. Untuk keperluan pengembangan kurikulum dan penyelenggaraan pendidikan,
anak autis secara umum dibedakan ke dalam dua katagori utama yaitu (1) autis
sedang-berat, dan (2) autis ringan.
b. Autis sedang-berat adalah anak autis yang hambatan prilakunya tergolong sedang
dan atau berat dan disertai dengan hambatan fungsi intelektual (tunagrahita).
c. Autis ringan adalah anak autis yang hambatan perilakunya tergolong ringan dan
tidak disertai hambatan fungsi intelektual (tunagrahita).
d. Perlu dibentuk (diselenggarakan) Sekolah khusus autis, yaitu sekolah yang secara
khusus menerima dan memberi layanan pendidikan kepada siswa autis.
e. Sekolah khusus autis menyelenggarakan program pendidikan mulai dari tingkat
persiapan (taman kanak-kanak), sekolah dasar dan sekolah lanjutan.

111

f. Muatan kurikulum sekolah khusus autis di tingkat persiapan (taman-kanak-kanak)


terutama diarahkan kepada pengembangan bahasa/komunikasi, kemandirian,
emosi dan perilaku social.
g. Kurikulum sekolah khusus autis di tingkat lanjutan, muatannya lebih diarahkan
kepada pengembangan aspek social, bina diri (merawat diri), kemandirian,
keterampilan khusus (vocational), dan sedikit akademik yang disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan masing-masing siswa. Pada kurikulum ini tidak ada
standard kompetensi, tetapi disediakan daftar (menu) kompetensi dan atau daftar
keterampilan untuk dipilih sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masingmasing siswa. Tidak ada ujian nasional untuk mereka.
h. Anak autis sedang-berat memperoleh layanan pendidikan di sekolah khusus autis,
dari mulai tingkat persiapan, sekolah dasar, maupun sekolah lanjutan.
i. Pada tingkat persiapan (TK) dan sekolah dasar, semua siswa autis diharapkan
untuk bersekolah di sekolah khusus autis, supaya mereka memperoleh
kemampuan-kemampuan dasar yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan
lingkungan

(yaitu

kemampuan

bahasa/komunikasi,

emosi,

social,

dan

kemandirian). Dalam kondisi dimana seorang autis ringan tidak dapat mengikuti
pendidikan di SD khusus autis, mereka bisa mengikuti pendidikan di SD umum
sambil memperoleh pembinaan aspek emosi, social dan kemandirian secara
parallel.
j. Pada tingkat sekolah menengah baik menengah pertama maupun menengah atas
(SMP dan SMA), anak autis ringan didorong/difasilitasi untuk mengikuti
pendidikan di SMP dan SMA inklusif.
k. Muatan kurikulum di sekolah khusus autis secara umum terbagi dalam tiga bidang
utama, yaitu bidang prilaku, bidang keterampilan dan bidang akademik, dengan
rincian sbb.:
1) Bidang prilaku, mencakup kemampuan bahasa/bicara, berkomunikasi/interaksi,
dan prilaku social (penyesuaian dengan lingkungan).
2) Bidang keterampilan, mencakup keterampilan merawat diri (activity daily living)
dan keterampilan kerja.
3) Bidang akademik, mencakup penguasaan bidang studi (mata pelajaran).
112

l. Pelaksanaan pendidikan untuk siswa autis di sekolah regular (inklusif) harus


memenuhi beberapa persyaratan utama yaitu (1) kepahaman dari kepala sekolah,
guru dan personal lainnya tentang konsep pendidikan inklusif, (2) ketersediaan
guru pembimbing khusus, (3) ketersediaan sarana dan alat pendukung.
m. Sekolah inklusif dengan sekolah khusus autis harus memiliki pemahaman dan
hubungan kerja yang konstruktif, yang memungkinkan siswa autis untuk dapat
masuk dan keluar dari dua lembaga tersebut secara fleksibel, sesuai kebutuhan.
n. Pada usia 1 atau 2 tahun anak-anak autis diharapkan sudah menjalani proses
deteksi dan asesmen. Pada usia 2-4 tahun mereka diharapkan sudah memperoleh
program intervensi dini, baik dilakukan di rumah, klinik, play group atau lembaga
lain. Pada usia 4-6 tahun mereka diharapkan sudah mengikuti pendidikan kelas
persiapan (TK) di sekolah khusus autis. Selanjutnya mereka diharapkan mengikuti
pendidikan di sekolah dasar khusus autis. Pada tingkat ini mereka terbagi dalam
dua group yaitu pengguna kurikulum A dan B. Mereka yang menggunakan
kurikulum A melanjutkan ke sekolah lanjutan khusus autis. Sedangkan yang
menggunakan kurikulum B selanjutnya difasilitasi untuk memasuki SMP dan
SMA/SMK inklusif. Alur ini dapat dilihat pada gambar berikut:

Keterangan:
PG

= play group

TK Kh.

= Taman kanak-kanak khusus austis

113

SD Kh.

= sekolah dasar khusus autis

KUR A

= Kurikulum khusus autis

KUR B

= kurikulum setara SD regular

INKL

= Inklusif

H. Lambat Belajar dan Kesulitan Belajar


Pada saat ini perekonomian Indonesia terus tumbuh di tengah bayang-bayang resesi
dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2005 sampai dengan 2008 berturut-turut
5,7%, 5,5%, 6,3%, 2008: 6,4%..Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012
diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi negara- negara ASEAN
sebesar 6,5 6,9 % (Agus D.W. Martowardojo, dalam Rapat Paripurna DPR,
31/05/2012). Momentum pertumbuhan ekonomi ini harus terus dijaga dan ditingkatkan.
Generasi muda berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif, ulet, jujur, dan mandiri, sangat
diperlukan untuk

memantapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.

Generasi seperti ini seharusnya tidak muncul karena hasil seleksi alam, namun karena
hasil gemblengan pada tiap jenjang satuan pendidikan dengan kurikulum sebagai
pengarahnya.
Sebagai negara bangsa yang besar dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan
beragamnya kemajuan pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun
ancaman disintegrasi bangsa masih tetap ada. Kurikulum harus mampu membentuk
manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat
untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan untuk
berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.
Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus
pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa
generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada
kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut bersumber dari kurikulum, namun beberapa ahli
pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah
implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan
peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik.

114

Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan direorganisasi terhadap beban belajar
dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini.
Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan
dengan beban belajar siswa, khususnya siswa sekolah dasar. Beban belajar ini bahkan
secara kasatmata terwujud pada beratnya beban buku yang harus dibawa ke sekolah.
Beban belajar ini salah satunya berhulu dari banyaknya matapelajaran yang ada di tingkat
sekolah dasar. Oleh karena itu kurikulum pada tingkat sekolah dasar perlu diarahkan
kepada peningkatan 3 (tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung serta
pembentukan karakter.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk
masih adanya kecurangan di dalam Ujian Nasional/UN menunjukkan mendesaknya upaya
menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam
satuan pendidikan. Maka kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilainilai kejujuran pada peserta didik.
Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan manusia telah secara nyata mempengaruhi
secara negatif lingkungan alam. Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih,
adanya potensi rawan pangan pada berbagai belahan dunia, dan pemanasan global
merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang
akan datang. Kurikulum seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan
kepedulian generasi muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan
untuk merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan
ketahanan pangan.
Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai, mutu pendidikan Indonesia harus terus
ditingkatkan. Hasil studi PISA (Program for International Student Assessment),
yaitustudi yang memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPA,menunjukkan
peringkat Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil studi
TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan siswa
Indonesia berada pada ranking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi
yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur
dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil studi ini menunjukkan perlu
ada perubahan orientasi kurikulum dengan tidak membebani peserta didik dengan konten

115

namun pada aspek kemampuan esensial diperlukan semua warga negara untuk
berperanserta dalam membangun negara pada masa mendatang.
Sejalan dengan hal tersebut, peserta didik berkesulitan belajar agar dapat berperanserta di
sekolah membutuhkan layanan khusus dalam menguasai kemampuan esensial
(pendidikan karakter, kesadaran lingkungan, kreativitas, pemecahan masalah, literasi)
karena umumnya mereka mengalami problem belajar dalam mengembangkan kompetensi
dasar Baca-Tulis-Hitung. Bila problem ini tidak segera diatasi akan berkontribusi pada
rendahnya peringkat studi PISA ataupun TIMMS. Dari

pengamatan lapangan

menunjukkan bahwa guru sebagai penanggung jawab utama belum memahami benar
problem dan kebutuhan anak berkesulitan belajar tersebut. Di samping itu perangkat
pendukung untuk layanan khusus bagi peserta didik berkesulitan belajar juga belum
tersedia. Sementara itu dari hasil angket dan diskusi dengan guru-guru sekolah inklusi
menyepakati bahwa kurikulum bagi peserta didik berkesulitan belajar mengacu pada
kurikulum reguler dengan akomodasi dan modifikasi kurikulum sesuai dengan berat
ringannya hambatan belajar yang dialami peserta didik. Guru-guru di sekolah reguler
perlu disediakan panduan bagaimana mengimplementasikan kurikulum reguler bagi
peserta didik berkesulitan belajar.
Berbagai program layanan pendidikan bagi anak berkesulitan belajar, di beberapa negara
ternyata tidak ditemukan sekolah khusus bagi mereka. Mereka semua peserta didik
berkesulitan belajar mengikuti pendidikan reguler secara inklusif dan menggunakan
kurikulum sekolah reguler sesuai kelompok usianya. Program-program bimbingan khusus
diperlukan bagi mereka untuk mengatasi hambatan perhatian, persepsi, memori, berpikir
dan bahasa serta hambatan akademik membaca, menulis dan berhitung. Pelaksanaan
program bimbingan khusus ini disediakan di sekolah maupun melalui lembaga-lembaga
khusus di luar sekolah.
Praktik pendidikan bagi anak berkesulitan belajar di Indonesia agak sedikit berbeda
meskipun sebagian besar sama dengan yang dilakukan di negara-negara lain. Beberapa
sekolah yang membuka sekolah khusus untuk anak berkesulitan belajar di Indonesia,
dalam perjalanan waktu ternyata juga cenderung mengarah ke setting inklusif, bukan
sekolah segregatif. Ada sejumlah lembaga, biro dan pusat-pusat layanan teraputik,
menyediakan layanan khusus bagi anak berkesulitan belajar di luar jam sekolah, tetapi
bukan merupakan sekolah khusus. Pada umumnya para pengelola lembaga, biro atau

116

pusat-pusat layanan teraputik menyadari bahwa anak berkesulitan belajar secara umum
dapat mengikuti pendidikan secara inklusif di sekolah reguler sesuai denan kelompok
usianya tetapi perlu bantuan berupa bimbingan belajar dan pengajaran remedial pada
dimensi hambatan perkembangan dan akademik yang dialami peserta didik berkesulitan
belajar.
Mendasarkan pada landasan empirik pendidikan bagi anak berkesulitan belajar tersebut,
maka setting pendidikan bagi mereka dalam kurikulum 2013 tidak dalam bentuk sekolah
khusus tetapi sekolah inklusi. Karena itu kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
reguler yang berlaku pada kelompok usianya ditambah dengan program khusus sesuai
dengan kebutuhan danhambatan belajar yang dialami peserta didik.
Sejalan dengan hal tersebut, peserta didik lamban belajar agar dapat berperanserta di SD
membutuhkan layanan khusus dalam menguasai kemampuan esensial (pendidikan
karakter, kesadaran lingkungan, kreativitas, pemecahan masalah, dan literasi) karena
umumnya mereka mengalami problem belajar dalam mengembangkan kompetensi dasar
Baca-Tulis-Hitung. Bila problem

ini tidak segera diatasi akan berkontribusi pada

rendahnya peringkat studi PISA ataupun TIMMS. Dari

pengamatan lapangan

menunjukkan bahwa guru sebagai penanggung jawab utama belum memahami benar
problem dan kebutuhan peserta didik lambat belajar. Di samping itu perangkat pendukung
untuk layanan khusus bagi peserta didik berkesulitan belajar dan lambat belajar juga
belum tersedia. Sementara itu dari hasil angket dan diskusi dengan guru-guru sekolah
inklusi menyepakati bahwa kurikulum bagi peserta didik lamban

belajar dan

berkesulitan belajar mengacu pada kurikulum reguler dengan modifikasi dan guru-guru
membutuhkan panduan cara memodifikasi kurikulum.
Selama ini peserta didik lambat belajar di sekolah reguler diberi program remedial, di
Sekolah inklusif mereka mendapat program remedial, program pembelajaran individual,
dan layanan ruang sumber. Namun pelaksanaan remedial umumnya sekedar mengulang
materi pelajaran yang diberikan sebelumnya tanpa menganalisis kesulitan dan
permasalahan yang dialami anak. Tahapan yang harus dilakukan misalnya identifikasi,
asesmen, pengembangan program individual dan pelaksanaannya belum dilaksanakan
secara kontinyu yang berakibat tidak terdatanya portofolio yang menunjukkan
perkembangan dan pertumbuhan belajar peserta didik lamban belajar.

117

Di samping layanan sekolah reguler, di masyarakat juga berkembang layanan pendidikan


bagi peserta didik lamban belajar yang ditawarkan oleh lembaga bimbingan belajar,
lembaga psikologi, lembaga terapeutik, sekolah khusus, dan home schooling yang akhirakhir ini berkembang pesat di Indonesia. Hasil penelitian tentang keberhasilan lembagalembaga tersebut belum ditemukan. Beberapa temuan penelitian best practice tentang
layanan lamban belajar di antaranya adalah :
(1) bahwa setelah diberi pelatihan pembelajaran individual selama dua bulan fungsi
akademik anak-anak dan penghargaan diri anak lambat belajar meningkat secara
signifikan (Krishnakumar & Ramakrishnan, 2006);
(2) pendekatan Learner-Teacher- Chain (LTCh) layak diterapkan untuk pembelajaran
bahasa kedua karena prosedur yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip sikap dan
metodologis yang tepat sehingga semua siswa (reguler dan lamban belajar) belajar
dengan sukses. Pendekatan LTCh membutuhkan kerja keras dan, guru yang
berkualitas dan terlatih sangat kompeten, sangat termotivasi dan cukup antusias
untuk menghadapi pembelajar bahasa kedua (Czarny, 1993);
(3) mengasesmen memori visual melalui pembelajaran dengan model animasi komputer
meningkatkan hasil belajar peserta didik lambat belajar (Sugapriya & Ramachandran,
2010);
(4) intervensi akademis efektif dalam meningkatkan keterampilan akademik anak lambat
belajar. Anak lambat belajar juga mendapat manfaat maksimal dari intervensi
akademik untuk pengaturan sosial budaya mereka. Mayoritas siswa mendapat
manfaat dari intervensi akademik yang diterapkan secara kreatif dengan drama,
bermain peran, sajak, dan bercerita. Dan reviu terakhir pada akhir pembelajaran
sangat membantu pemahaman siswa lambat belajar. Implikasi teoritis memberikan
konstruksi teoritis psikologi pendidikan dan sekolah, dan implikasi praktis bagi
akademisi, pembuat kebijakan, pendidikan, dan psikolog anak dan konselor dalam
kebutuhan khusus advokasi (Malik, 2012);
(5) temuan penelitian Pengaruh Pelatihan Kemampuan Mental dari siswa Lambat Belajar
menunjukkan bahwa

semua aspek kemampuan mental kelompok eksperimen

lambat belajar membaik, pembimbingan

dan pelatihan

menutupi kekurangan

sebelumnya dan mereka menjadi lebih berprestasi artinya pengembangan kurikulum

118

yang dimodifikasi berdasarkan kebutuhan lambat belajar, ada kemungkinan kuat


bahwa pelajar yang lebih lambat akan lulus tes pada level lebih tinggi (Shaw, 2005).
Paparan tentang lambat belajar tersebut menunjukkan bahwa kurikulum peserta didik
lamban belajar sebaiknya dimodifikasi sesuai kebutuhan mereka. Guru membutuhkan
panduan untuk memberikan layanan khusus bagi mereka dan temuan-temuan best
practice dapat dimanfaatkan untuk bahan pengembangan panduan. Model-model layanan
khusus yang berkembang di masyarakat dapat dijadikan referensi untuk bahan
pertimbangan. Akhirnya diperlukan kerjasama antara pengambil kebijakan, praktisi dan
stakeholder untuk menjadikan peserta didik lamban belajar sukses di sekolah dan
kehidupannya sehingga mampu berperanserta dalam membangun bangsa di masa datang.
I. Cerdas Istimewa
Layanan pendidikan bagi siswa-siswa cerdas istimewa telah disediakan di berbagai negara
mulai abad XX yang lalu, diawali dengan penelitian jangka panjang (longitudinal study)
oleh Lewis Terman selama hampir 50 tahun, mengikuti perkembangan pendidikan, karier,
dan sosial siswa-siswa cerdas istimewa. Sebagian besar siswa-siswa ini sukses berkarier
dan bermasyarakat. Berbagai program juga telah dikembangkan di berbagai negara.
Dilihat dari penempatannya, layanan pendidikan bagi siswa cerdas istimewa dapat
disediakan dalam lingkungan inklusif (di kelas biasa bersama teman-teman sebayanya,
tetapi dengan diversifikasi kurikulum, pembelajaran, dan evaluasi) atau di lingkungan
segregatif (kelas khusus atau sekolah khusus). Sedangkan dilihat dari jenis programnya,
dapat ditemukan program pengayaan (materi ajar tambahan, praktik laboratorium,
kompetisi mata pelajaran, praktik/ kuliah lapangan, magang kerja, dan lain sebagainya)
atau program percepatan (pemampatan, lompat kelas).
Di Indonesia, beberapa jenis penyelenggaraan pendidikan bagi siswa CI telah dirintis
dalam beberapa tahun terakhir, baik pada jenjang SD, SMP atau SMA sederajat antara lain:
Sekolah bertaraf Internasional, Sekolah Akselerasi, sekolah Unggulan, SMA Plus dan
sebagainya. Dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, praktik penyelenggaraan
pendidikan untuk siswa CI masih terus berlangsung hingga saat ini. Hasil kajian empiris
terhadap para penyelenggara pendidikan antara lain dapat disimpulkan, bahwa:
1. Belum adanya kurikulum dan standar penyelenggaraan layanan pendidikan khusus
bagi siswa CI mengakibatkan kegiatan penyelenggaraan kelas-kelas khusus siswa CI
bervariasi,
119

2. Dibutuhkannya kurikulum khusus yang setara dengan kurikulum sekolah umum


dengan tambahan program pengayaan sesuai dengan tingkat perkembangan siswa CI,
3. Diperlukan program

yang bermuatan non-akademik seperti seni, olahraga,

keterampilan dan pembinaan karakter,


4. Program layanan bagi siswa CI harus dimulai sedini mungkin pada sekolah dasar, dan
5. Perlunya dimungkinkan ujian nasional pada tengah tahun, tidak hanya pada akhir
tahun pelajaran.

BAB V PENUTUP

120

121

Anda mungkin juga menyukai