Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KEPERAWATAN DEWASA II

PBL 1 (KASUS III) HOSPITAL ACQUIRED PNEUMONIA

Oleh:

Annisa Fitri Lidia

(1406578123)

Dwi Puspita Sari

(1406544425)

Maleha Khoirunnisa

(1406623966)

Viona Maria Aritonang

(1406544204)

Wita Septiana

(1406544375)

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2015

BAB I
PEMBAHASAN

1.1 Kasus
Seorang laki-laki berusia 60 tahun dirawat di ruang neurologi hari ke 10 dengan stroke
iskemik dan HAP (Hospitalized Acquired Pneumonia). Hasil pengkajian saat ini kesadaran
somnolen, hemiparese dextra, terpasang NGT, Tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 90
x/menit, pernafasan 28 x/menit, suara nafas rhonchi +/-. Saat dilakukan suction, produksi ++
1.2 Analisis Kasus
1.2.1 Pengertian, Etiologi, dan Epidemiologi HAP
Pneumonia merupakan proses inflamasi yang terjadi di parenkimal paru yang
biasanya berkaitan dengan penigkatan caira interstisial dan cairan alveolar. Peningkatan
cairan interstisial dan alveolar tersebut disebabkan oleh patogen (virus, bakteri, atau jamur)
yang menginfeksi sel alveolar tipe II. Setelah menginfeksi, patogen atau pneumococci
kemudian bereplikasi dan menginvasi epitel alveolar. Pneumococci berpindah dari alveolus
yang satu ke alveolus lain melalui pori Kohn dan menyebabkan inflamasi dan konsolidasi
sepanjang kompartemen lobar sehingga terjadi peningkatan cairan alveolar dan cairan
interstisial di saluran alveolus. Peningkatan cairan ini yang kemudian menyebabkan
pertukaran gas karbondioksida dan oksigen tidak dapat berlangsung sehingga terjadilah
pneumonia (Black & Hawks, 2014).
Pneumonia terdiri atas beberapa jenis, diantaranya: CAP (Community Aquired
Pneumonia), HAP (Hospitalized Acquired Pneumonia), VAP (Ventilator Associated
Pneumonia), dan HCAP (Health Care Associated Pneumonia). Kelima jenis pneumonia
dibedakan berdasarkan tempat dan media penyebaran patogen. Apabila dikaitkan dengan
kasus, klien mengidap jenis pnuemonia HAP.
Hospital Acuired Pneumonia (HAP) merupakan salah satu jenis infeksi pneumonia
yang terjadi selama perawatan di rumah sakit. HAP merepresentasikan salah satu jenis infeksi
nosokomial yang paling umum terjadi dan punya urutan tingkat kematian tertinggi (sekitar
15% dari seluruh infeksi nosokomial) (Kieninger & Lipsett, 2009). Waktu berlanngsungnya

HAP berkisar lebih dari 48 jam setelah klien masuk rumah sakit (belum masuk masa inkubasi
patogen) (American Thoracic Society, 2005). Ketika terjadi inflamasi di alveolar (yang
disebabkan patogen), mekanisme pertahanan tubuh akan berlangsung. Namun, daya tahan
tubuh pasien rendah sementara patogen yang berada di rumah sakit bersifat lebih resiten dan
berbahaya sehingga pasien dapat terinfeksi HAP (Kieninger & Lipsett, 2009).
HAP memiiki etiologi berupa bakteri atau virus yang bersifat multi-drug resistence
(MDR).

Bakteri

penginfeksi

tersebut

terdiri

dari

beberapa

macam

diantaranya:

Staphylococcus aureus (28% dari kasus HAP yamg terjadi; paling umum ditemukan pada
penderita HAP), Pseudomonas aeruginosa (21,8%), Klebsiella species (9,8%), Escheria coli
(6,9%), Acinobacter species (6,8%), Eneterobacter species (6,3%), dan Serratia species
(Jones, 2010). Bakteri dapat masuk ke tubuh pasien dengan berbagai faktor resiko,
diantaranya konsumsi alkohol, riwayat operasi bedah dada mayor, sisem imunitas yang lemah
(seperti efek dari perawatan kanker, konsumsi obat tertentu, atau luka parah), riwayat
penyakit kronik, tersedak saliva atau makanan ke saluran pernapasan (contoh: pasca stroke),
dan usia lanjut (NHLBI). Apabila bakteri tersebut berhasil menginvasi alveolar, maka gejala
yang akan terlihat antara lain: batuk berdahak (sputum umumnya berwarna hijau), demam
dan menggigil, perasaan tidak nyaman, hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, nyeri dada
ketika bernapas dan batuk, dan napas pendek.
Sekitar tiga atau lima hingga sepuluh dari 1000 kasus pasien yang masuk ke rumah
sakit merupakan kasus HAP. Penyebaran bakteri HAP sangat bergantung pada waktu
serangan HAP yang terdiri atas serangan awal (early onset) dan serangan berikutnya (late
onset). Early onset berlangsung pada empat hari setelah masa inkubasi dan menghasilkan
prognosis yang lebih baik (dikarenakan bakteri HAP lebih sensitif terhadap antibiotik).
Bakteri yang umumnya terdapat sewaktu HAP early onset yaitu Enterobacteria ,
Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumonia (bakteri gram positif, berkolonisasi di
saluran pernapasan bagian atas dan bersifat resisten terhadap beta lactam antibiotic
traditional), dan Staphylococcus aureus (bakteri gram positif, berkolonisasi di saluran
pernapasan atas, terutama di saluran masuk nasal dan bersifat sensitif terhadap metichilin dan
penicilin resistant beta lactam antimicrobial). Sedangkan, late onset berlangsung pada lima
hari atau lebih setelah masa inkubasi dan disebabkan oleh bakteri MDR yang terdiri dari
Pseudomonas

aeruginosa,

Acinetobacter

baumannii,

dan

methicillin-resistant

Staphylococcus aureus atau MRSA (mekanisme resistansi berkembang melalui pengikatan


penisilin dan protein yang menyebabkan penurunan afinitas beta-lactam antimikrobial,

sehingga spektrum antimikrobial semakin menyempit untuk penanganan MRSA). Walaupun


HAP yang terjadi pada early onset memiliki prognosis yang lebih baik, namun resiko
terjadinya kolonisasi bakteri akan lebih tinggi karena bakteri mendapat antibiotik lebih awal
atau pasien mendapatkan perawatan di rumah sakit lebih awal sehingga penangannya harus
sama dengan penangan late onset (Jones, 2010).
1.2.2 Stroke Iskemia dan Hubungannya dengan HAP
Stroke merupakan perubahan sistem saraf yang disebabkan oleh adanya interupsi di
bagian blood supply ke salah satu bagian di otak. Terdapat dua jenis stroke, yaitu stroke
iskemia dan stroke hemoragik. Stroke iskemia disebabkan oleh adanya penutupan aliran
darah ke otak oleh trombus atau embolus. Jenis stroke ini lebih sering ditemukan dengan
persentase 83% dari semua kasus stroke. Sedangkan, stroke hemorragik disebabkan oleh
adanya pendarahan di jaringan otak atau di ruang subarachnoid dengan persentase 17% dari
semua kasus stroke (Black & Hawks, 2014). Apabila dikaitkan kasus, klien mengidap jenis
stroke iskemia.
Stroke iskemia mempunyai etiologi berupa terdapat tromboembolus (terbentuk akibat
atheroskleorosis yang menghasilkan plak di dinding endothelial pembuluh arteri) yang
menghambat pasokan darah ke otak. Stroke dapat terjadi pada pembuluh darah besar atau
kecil. Stroke pada pembuluh darah besar disebabkan oleh penutupan arteri serebral mayor
(internal karotis, anterior serebral, serebral tengah, serebral posterior, vertebral, dan basilar)
sedangkan stroke pada pembuluh darah kecil memengaruhi pembuluh-pembuluh darah yang
merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah besar untuk penetrasi jauh ke dalam otak
(Black & Hawks, 2014). Penutupan aliran darah di otak berlangsung secara singkat dan tibatiba yang dapat menimbulkan episode disfungsi saraf dimana serangan berlangsung selama 5
sampai 20 menit atau paling lama berlangsung selama satu jam.
Stroke mempunyai manifestasi klinis di arteri karotis dan di sirkluasi verterobasilar.
Manifestasi di arteri karotis berupa serangan cepat yang dapat menyebabkan aphasia,
kelemahan dan kelumpuhan di tangn atau kaki, dan gangguan penglihatan. Sedangkan,
manifestasi di sirkluasi verterobasilar berupa vertigo, diplopia, dysphagia, dysarthria, dan
ataxia. Stroke iskemia juga mempunyai faktor resiko berupa timbulnya infark serebral
(khususnya hemisphere dextra) yang dapat berdampak pada terjadinya HAP (Kemmling,

2013). Hal ini disebabkan karena limfosit T pada korteks frontal bagian kanan mengalami
penurunan sehingga mempengaruhi respon imunoregulasi terhadap bakteri HAP.
Stroke iskemia mempunyai hubungan dengan HAP. HAP termasuk sekuel atau
komplikasi yang sering terjadi dengan tingkat kematian yang lebih tinggi, defisit sistem saraf
yang lebih buruk, perawatan di rumah sakit berlangsung lebih lama, dan menambah biaya
pengobatan. Setelah tujuh hari serangan stroke terjadi, HAP merupakan komplikasi medikal
yang mendominasi sekitar 25% dari perawatan intensif pada pasien stroke. HAP secara
langsung berhubungan dengan mekanisme ventilasi, aspirasi dari dysphagia dan refleks batuk
yang tidak baik, imobilitas, dan kelemahan otot ekspirasi (Kemmling, 2013).
Stroke iskemia sangat mempengaruhi aktivitas sistem imun dengan menyebabkan
imunodepresi yang mempengaruhi aktivitas sistem saraf melalui kompleks humeral dan alur
sistem neuro yang mencakup aksis hipotalamus-pituitari adrenal, sistem parasimpatetik, dan
sistem simpatetik. Saat terjadi stroke iskemia, akan berlangsung aktivasi paraventricular
nukleus, saluran soliter nukleus, dan locus coeruleus, mekanisme penelanan yang rusak
(transmisi dopamin yang abnormal), dan level kesadaran yang rusak (hemisfer stroke bilateral
dan infark pada batang otak). Aktivasi paraventricular nukleus, saluran soliter nukleus, dan
locus coeruleus akan menimbulkan aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (dengan
sekresi glukokortikoid dari zona fasciculata di saluran adrenal, sehingga menyebabkan
peningkatan apoptosis limfosit dan perubahan mediator inflamasi atau anti inflamasi), sistem
saraf parasimpatetik (dengan aktivitas kolinergik yang mensupresi pelepasan sitokinin
perifer), dan aktivasi sistem saraf simpatetik serta saluran medula adrenal (dengan sekresi
norepinephrine dominan untuk saraf simpatetik dan epinephrine dominan untuk saluran
medula adrenal yang menghambat Th1 dan perubahan rasio Th1 dan Th2) yang menyebabkan
terjadiya perubahan sistem imun dan menghasilkan imunodepresi. Sedangkan,

mekanisme

penelanan yang rusak (transmisi dopamin yang abnormal), dan level kesadaran yang rusak
(hemisfer stroke bilateral dan infark pada batang otak) akan menyebabkan terjadinya aspirasi.
Imunodepresi dan aspirasi akan menyebabkan terjadinya penurunan daya tahan tubuh pasien
sehingga memicu terjadinya infeksi HAP (Hannawi, 2013).
1.2.3 Pengaruh Pemasangan NGT terhadap HAP
Nasogastric Tube atau yang biasa disebut dengan NGT adalah sebuah tabung yang
dimasukkan ke dalam tubuh melalui hidung, lalu melewati nasofaring dan kerongkongan lalu
sampai pada perut. NGT terbuat dari karet atau plastik yang biasanya berguna untuk

mengeluarkan isi perut (misalnya, racun atau udara), dan menempatkan nutrisi langsung ke
dalam perut dikarenakan klien mengalami dysphagia. Pemasangan NGT yang tidak benar
dapat menyebabkan ketidaknyamanan klien, kerusakan lebih lanjut, serta kematian
(NPSA,2005).
Memberi makan dengan menggunakan NGT tidak cocok untuk semua klien, termasuk
mereka yang mempunyai:
1. Resiko tinggi aspirasi
2. Statis lambung
3. Cedera hidung
4. Dasar patah tulang tengkorak, dll.
Peralatan yang akan dipergunakan untuk pemasangan NGT antara lain;
1. sarung tangan,
2. tabung NGT,
3. pelumas berbasis air,
4. jarum suntik,
5. kantung, perekat,
6. secangkir air,
7. kertas indikator PH
8. anastesi semprot.
Peralatan yang dipergunakan untuk pemasangan NGT harus steril, dan pastikan jika
kita sudah mendapatkan persetujuan (informed consent) dari klien sehingga tidak menggangu
kenyamanan klien. Klien harus diposisikan duduk tegak dengan kepala sedikit mencondong
kedepan dengan tujuan untuk memudahkan menelan nantinya. Cuci tangan dan gunakan
sarung tangan untuk menjaga kesterilan peralatan. Perkirakan panjang tabung (12-20 cm)
yang akan dimasukkan, lakukan ini dengan cara mengukur jarak antara ujung hidung, daun
telinga, kemudian xiphisternum. Lumasi ujung tabung dengan pelumas berbasis air yang
telah dipersiapkan. Masukkan tabung NGT lewat salah satu lubang hidung klien, namun jika
ada penolakkan, maka pindahkan tabung NGT dan coba di lubang hidung lainnya. Tanya
klien jika tabung NGT telah berada di belakang kerongkongan, dan mintalah klien untuk
meneguk air lewat sedotan. Ketika klien menelan, majukan NGT secara perlahan sampai
mencapai panjang yang diinginkan. Lakukan uji aspirasi dari tabung NGT dengan
menggunakan jarum suntik, dan kertas indikator pH. PH harus berada di kisaran 1 5,5. Jika

hasil pH benar, dan tabung NGT mengeluarkan cairan lambung, fiksasi tabung NGT dengan
perekat dan sambungkan kantung untuk memungkinkan drainase. Setelah semua selesai dan
tidak ada pernyataan ketidaknyamanan klien, maka lepas sarung tangan dan buang di tempat
sampah klinis.
Klien yang terserang stroke akan mengalami komplikasi yang dinamakan dysphagia,
keadaan dimana klien tidak dapat menelan dikarenakan penutupan bibir, inkoordinasi lingual
dan gangguan refleks menelan yang dapat menyebabkan gangguan baik lisan dan tahap
menelan. Karena keadaan tersebut, pasien stroke diputuskan untuk memakai tabung NGT
agar nutrisinya tetap terpenuhi. Namun, 44% penderita stroke mengalami pneumonia setelah
diberikan nutrisi lewat tabung NGT. Menurut penelitian Dziewas, tingkat penurunan
kesadaran ternyata berpengaruh pada pneumonia. Sebuah penurunan kesadaran diketahui
menjadi penyebab redaman refleks pelindung dan memburuknya koordinasi pernapasan, juga
menelan. Secara keseluruhan, tabung makan menawarkan perlindungan yang hanya terbatas
terhadap pneumonia aspirasi pada pasien dengan disfagia disebabkan oleh stroke. Pneumonia
terjadi terutama pada hari-hari pertama penyakit, dan dialami oleh pasien dengan penurunan
tingkat kesadaran dan lumpuh wajah yang parah.

1.2.4 Hubungan antara Kesadaran Somnolen dengan HAP


Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. Penurunan
kesadaran adalah keadaan dimanapenderita tidak sadar dalam arti tidak terjaga/tidak
terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons yang normal terhadap
stimulus.
Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer
serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada kedua
sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan. Ascending Reticular Activating
System merupakan suatu rangkaian atau network system yang dari kaudal berasal dari
medulla spinalis menuju rostral yaitu diensefalon melalui brain stem sehingga kelainan yang
mengenai lintasan ARAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke
subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran.
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri termasuk ingatan,
berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular activating system

ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks serebri tetap
sadar (awake). Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan
yang berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan manifestasi
rangkaian inti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf pada susunan saraf.
Penurunan Kesadaran dapat disebabkan oleh SEMENITE, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

S : Sirkulasi
E : Ensefalitis
M : Metabolik
E : Elektrolit
N : Neoplasma
I : Intoksikasi
T : Trauma
E : Epilepsi

Dalam kasus diatas, penurunan kesadaran kepada tingkat somnolen disebabkan oleh
gangguan sirkulasi. Sirkulasi meliputi stroke dan penyakit jantung, Syok (shock) adalah kondisi
medis tubuh yang mengancam jiwa yang diakibatkan oleh kegagalan sistem sirkulasi darah
dalam mempertahankan suplai darah yang memadai. Berkurangnya suplai darah mengakibatkan
berkurangnya suplai oksigen ke jaringan tubuh. Jika tidak teratasi maka dapat menyebabkan
kegagalan fungsi organ penting yang dapat mengakibatkan kematian. Kegagalan sistem sirkulasi
dapat disebabkan oleh Kegagalan jantung memompa darah, terjadi pada serangan jantung.
Progress Shock mulai dari tahap luka hingga kematian cell, kegagalan organ, dan pada
akhirnya jika tidak diperbaiki, akan mengakibatkan kematian organ tubuh. Dalam kasus 3, shock
ini menyebabkan penurunan kesadaran dan imobilisasi pada pasien (kehilangan kemampuan
geraknya secara total, tetapi juga mengalami penurunan aktivitas dari kebiasaan normalnya)
sehingga pasien memerlukan bantuan dari pemasangan NGT. Namun ternyata, apabila
pemasangan NGT dilakukan dengan cara yang kurang tepat, pasien akan berisiko terkena HAP.
Pada orang-orang yang mengalami penurunan kesadaran, mereka juga cenderung berisiko
untuk terkena HAP karena pasien dengan penurunan kesadaran dapat dengan tidak sengaja
menghirup sebagian kecil lendir tenggorok pada waktu tidur. Lendir ini kemudian akan terus
menempel pada saluran pernapasan, dan metode penularan pneumonia yang paling sering adalah
terhirupnya kelompok bakteri di permukaan lapisan lendir saluran napas atas. Jika terdapat
kelompok bakteri di saluran napas atas (hidung, tenggorok atas) dan kemudian terhirup ke
saluran napas bawah, bakteri dapat menginfeksi jaringan paru-paru dan akhirnya menyebabkan
peradangan, kemudian timbulah penyakit pneumonia yang didapatkan ketika pasien dirawat di
rumah sakit (HAP).

Dalam menilai penurunan kesadaran dikenal beberapa istilah yaitu :


1. Kompos mentis: adalah kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca indra dan
bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dalam.

GCS

Skor 14-15
2. Apatis: Kesadaran dimana pasien terlihat mengantuk tetapi mudah di bangunkan dan reaksi
penglihatan, pendengaran, serta perabaan normal. Skor GCS: 13

3. Somnelen: Mata cenderung menutup, mengantuk, masih dapat dibangunkan dengan perintah,
masih dapat menjawab pertanyaan walau sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi
terhadap sekitarnya menurun. Skor 11-12.
4. Stupor/Sopor: Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata
atau bersuara satu dua kata . Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang
nyeri. Skor 8-10.
5. Soporokoma/Semikoma: Mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya
dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya gerakan primitif.
6. Koma: Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka
mata, bicara maupun reaksi motorik. Skor < 5. (Harsono , 1996)
Pemantauan tingkat kesadaran dapat dilakukan dengan mengunakan beberapa metode,
yaitu:
1. Pemeriksaan Glasgow Coma Skala (GCS ), Skala yang dinilai:
BUKA MATA

Nilai total : 4

Buka mata tidak ada meskipun dirangsang

nilai

Buka mata jika ada nyeri

nilai

Buka mata jika diajak bicara/ disuruh

nilai

Buka mata spontan

nilai

RESPON MOTORIK

Nilai total : 6

Respon motor tidak ada

nilai

Respon motor ektensi

nilai

Respon motor fleksi abnormal

nilai

Respon motor reaksi abnormal

nilai

Respon motor tunjuk nyeri

nilai

Respon motor menurut perintah

nilai

RESPON VERBAL

Nilaitotal : 5

Respon verbal tidak ada

nilai

Respon verbal tanpa arti

nilai

Respon verbal tak benar

nilai

Respon verbal bicara kgacau

nilai

Respon verbal orientasi baik

nilai

GCS nilai 15 : kesadaran normal.


GCS nilai 03 : kesadaran coma.
2. AVPU
Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, yaitu:
A (Alert): Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V.
V (Verbal): Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga
korban. Pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh pasien, jika
tidak merespon lanjut ke P.
P (Pain): Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah menekan
bagian putih dari kuku tangan di pangkal kuku. Selain itu dapat juga dengan menekan
bagian tengah tulang dada atau sternum dan juga areal di atas mata.
U (Unresponsive): Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi maka
pasien berada dalam keadaan unresponsive.

3.

ACDU Ada metoda lain yang lebih sederhana dan lebih mudah dari GCS dengan hasil
yang kurang lebih sama akuratnya, yaitu skala ACDU, pasien diperiksa kesadarannya
apakah baik (alertness), bingung/kacau (confusion), mudah tertidur (drowsiness), dan
tidak ada respon (unresponsiveness).

4.

Menilai reflek-reflek patologis :


a. Reflek Babinsky: Apabila kita menggores bagian lateral telapak kaki dengan suatu
benda yang runcing maka timbullah pergerakan reflektoris yang terdiri atas fleksi
kaki dan jari-jarinya ke daerah plantar
b. Reflek Kremaster : Dilakukan dengan cara menggoreskan kulit dengan benda
halus pada bagian dalam (medial) paha. Reaksi positif normal adalah terjadinya
kontrkasi M.kremaster homolateral yang berakibat tertariknya atau mengerutnya
testis. Menurunnya atau menghilangnya reflek tersebut berarti adanya ganguan
traktus corticulspinal

5. Uji syaraf kranial :


NI.N. Olfaktorius: penghiduan diperiksa dengan bau bauhan seperti tembakau, wangiwangian, yang diminta agar pasien menyebutkannya dengan mata tertutup
N.II. N. Opticus: Diperiksa dengan pemerikasaan fisus pada setiap mata. digunakan
optotipe snalen yang dipasang pada jarak 6 meter dari pasien. fisus ditentukan dengan
kemampuan membaca jelas deretan huruf-huruf yang ada.
N.III/ Okulomotoris. N.IV/TROKLERIS, N.VI/ABDUSEN: Diperiksa bersama dengan
menilai kemampuan pergerakan bola mata kesegala arah, diameter pupil, reflek cahaya
dan reflek akomodasi
N.V. Trigeminus berfungsi sensorik dan motorik: Sensorik diperiksa pada permukaan
kulit wajah bagian dahi , pipi, dan rahang bawah serta goresan kapas dan mata tertutup
Motorik diperiksa kemampuan menggigitnya, rabalah kedua tonus muskulusmasketer
saat diperintahkan untuk gerak menggigit.
N.VII/ Fasialis fungsi motorik N.VII: diperiksa kemampuan mengangkat alis,
mengerutkan dahi, mencucurkan bibir, tersentum, meringis (memperlihatkan gigi depan)
bersiul, menggembungkan pipi. Fungsi sensorik diperiksa rasa pengecapan pada
permukaan lidah yang dijulurkan (gula , garam, asam)

N.VIII/ Vestibulo acusticus: Fungsi pendengaran diperiksa dengan tes Rinne, Weber,
Schwabach dengan garpu tala.
N.IX/ Glosofaringeus, N.X/vagus: diperiksa letak ovula di tengah atau deviasi dan
kemampuan menelan pasien
N.XI / Assesorius: diperiksa dengan kemampuan mengangkat bahu kiri dan kanan
( kontraksi M.trapezius) dan gerakan kepala
N.XII/ Hipoglosus: diperiksa dengan kemampuan menjulurkan lidah pada posisi lurus ,
gerakan lidah mendorong pipi kiri dan kanan dari arah dalam
1.2.5 Hubungan Hemiparase Dextra, Bunyi Napas Ronchii dengan HAP dan Stroke
Iskemik
Sebagai seorang perawat, maka harus memperhatikan data-data pendukung lainnya agar
faktor risiko dari penyakit yang akan muncul dapat diantisipasi (NANDA, 2014). Keterkaitan
penyakit dari kasus diatas yaitu stroke iskemik yang memaksa klien untuk dirawat di rumah
sakit selama 10 hari dapat menyebabkan klien mengidap HAP; penggunaan NGT yang kurang
steril atau salah dapat menambah faktor risiko HAP; HAP dapat mempengaruhi tingkat
kesadaran penderita hingga menjadikan penderita mengalami kesadaran somnolen; klien
mengalami hemiparese dextra dan bunyi napas ronchi +/- karena stroke yang dideritanya
menyebabkan terganggunya bagian otak yang mengatur sisi kanan tubuh dan pernapasan
sehingga terjadi bunyi napas ronchi karena mucus dan mucus berlebih dapat meningkatkan risiko
HAP; serta stroke dan HAP mempengaruhi tekanan darah, nadi, dan suhu penderita.
Stroke iskemik merupakan stroke yang disebabkan karena terganggunya aliran darah di
otak yang disebabkan karena sumbatan baik berupa thrombus atau embolus (Doenges, 2013).
HAP sendiri merupakan pneumonia atau timbulnya tanda-tanda pneumonia karena sudah 48 jam
dirawat dirumah sakit (Smelter, et. al., 2010). Hemiparese dextra merupakan keadaan dimana sisi
tubuh sebelah kanan mengalami lemah atau bahkan lumpuh karena terganggunya korpus
kalosum yang menghubungkan hemisfer otak kanan dengan kiri. Gangguan tersebut dapat
menyebabkan imobilisasi pada klien. Bunyi napas ronchi merupakan bunyi napas tidak normal
pada ekspirasi yang disebabkan karena obstruksi pada bronkus. Dari hal tersebut, dapat dilihat
bahwa terdapat keterkaitan antara stroke, hemiparese dextra, suara napas ronchi +/- dan HAP.

Hemiparese dextra merupakan lemahnya sisi tubuh bagian kanan yang diidentifikasi
disebabkan karena kerusakan atau terganggunya otak kiri, tepatnya pada korpus kalosum
sehingga terjadi gangguan pengiriman sinyal dari otak kanan menuju kiri. Jika dikaitkan dengan
kasus, maka penyebab kerusakan pada korpus kalosum yaitu karena adanya thrombus/ embolus
pada daerah sekitar korpus kalosum sehingga bukan hanya stroke iskemik, Tn. X juga
mengalami hemiparese dextra. Korpus kalosum sebagai rute komunikasi kedua hemisfer otak
mengalami gangguan sehingga terdapat kegagalan motorik, sensorik, dan kognitif untuk
mengatur sisi kanan tubuh (Black, J. M., Hawks, J.H., 2014). Hemiparese dextra menyebabkan
Tn. X tidak mampu mengoptimalkan kerja tubuh bagian kanan sehingga terjadi imobilisasi.
Bunyi napas ronchi merupakan bunyi napas tidak normal, yang dapat terjadi karena
adanya obstruksi pada bronkus. Ditilik dari kasus, Tn. X menderita stroke iskemik dan
hemiparese dextra yang menyebabkan sisi kanan tubuhnya mengalami kelumpuhan. Hal tersebut
juga menyebabkan mekanisme batuk yang terjadi tidak optimal. Sisi sebelah kanan mengalami
kelumpuhan, sel penghasil mucus mengalami perubahan (hipertrofi dan hyperplasia) serta silia
yang melapisi bronkus ikut mengalami kelumpuhan atau disfungsi sehingga menyebabkan
akumulasi mucus kental pada saluran napas. Mukus kemudian menjadi tempat perkembangan
mikroorganisme dan bakteri sehingga meningkatkan risiko terjadinya HAP (Black, J. M., Hawks,
J.H. (2014).

1.2.6 Hubungan antara Demam dan Kenaikan Suhu Tubuh dengan HAP
HAP disebabkan oleh Bakteri S.pneumoniae, H. Influenzae, Methicillin Sensitive,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Acinetobacter spp, Methicillin Resistance, Staphylococcus aureus. Rute masuk dari bakteri
tersebut melalui aspirasi, inhalasi, hematohenik, dan penyebaran langsung.
Gejala HAP yaitu frekuensi napas meningkat dan demam. HAP menyebabkan frekuensi
napas meningkat karena pneumokokus menginfeksi sel alveoulus tipe II, kemudian bakteri
berkembang biak dan menginfeksi epitel elveolus. Bakteri menyebar hingga menyebabkan
inflamasi dan konsolidasi lobus sehingga proses difusi terhambat. Penyebab demam pada HAP

adalah adanya peradangan pada alveolus sebagai respon terhadap masuknya mikroba dengan
cara pengeluaran pirogen endogen oleh makrofag.

2.2.7 Asuhan Keperawatan HAP (Black and Jane, 2014)


a. Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji oleh perawat :
1. Kontak dengan klien lain yang mengalami pneumonia
2. Factor yang menunjukkan adanya penyakit non infeksi yang memunculkan gejala serupa
dengan pneumonia (misalnya emboli paru, reaksi alergi terhapad obat atau zat lain.)
3. Tingkat kesadaran menurun, yang meningkatkan risiko aspirasi
4. Adanya nyeri dada, batuk dan produksi sputum
5. Lakukan pemeriksaan pernapasan tiap 4 jam, termasuk menentukan laju dan karakter
pernapasan, auskultasi suara napas dan pemeriksaan kulit serta bantalan kuku untuk
menentukan keparahan hipoksia.
6. Pemeriksaan analisis kadar oksigen transkutan atau pemeriksaan AGD untuk
mengevaluasi kebutuhan dukungan oksigen
7. Airway: Apakah pasien berbicara dan bernafas secara bebas, terjadi penurunan kesadaran,
penggunaan otot-otot bantu pernafasan, gelisah, sianosis, kejang, retensi lendir/sputum di
tenggorokan, suara serak, batuk
8. Breathing: Adakah suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll, sianosis, takipnu, dispnea,

hipoksia, panjang pendeknya inspirasi ekspirasi


9. Circulation: Adanya hipotensi/hipertensi, takipnu, hipotermi, pucat, ekstremitas dingin,
penurunan capillary refill, produksi urin menurun, nyeri, pembesaran kelenjar getah bening
10. Melakukan pemeriksaan fisik Aktivitas dan istirahat. Data Subyektif: kesulitan dalam
beraktivitas, kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis, mudah lelah, kesulitan istirahat, nyeri
atau kejang otot. Data obyektif: Perubahan tingkat kesadaran, perubahan tonus otot (flasid atau
spastic), paraliysis (hemiplegia), kelemahan umum, gangguan penglihatan.

b. Diagnosis, Hasil yang diharapkan, Intervensi


1. Diagnosis : Gangguan Pertukaran Gas
Diagnosis ditulis gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi yang menumpuk
dan pembengkakan karena infeksi paru.
Hasil yang diharapkan

Pertukaran gas pada klien akan lebih baik, saturasi oksigen diatas 92% dan terpelihara
dengan baik,dengan jumlah oksigen inspirasi yang menurun tidak memiliki manifestasi
pucat atau sianosis dan status kesadaran meningkat dibandingkan dengan kondisi awal
Intervensi
Titrasi laju pemberian oksigen untuk menjaga saturasi oksigen diatas 92%
2. Diagnosis : Pembersihan jalan napas tidak efektif
Pembersihan jalan napas yang tidak efektif merupakan diagnosis umum dan
berhubungan dengan sekresi berlebihan dan batuk yang lemah. Inflamasi dan
peningkatan sekresi pada pneumonia membuatnya sulit untuk menjaga kepatenan jalan
napas
Hasil yang diharapkan
Kebersihan jalan napas klien akan tetap efektif, dibuktikan dengan menjaga jalan napas
tetap paten dan pembersihan sekresi yang efektif.
Intervensi
-

Meningkatkan asupan cairan


Melatih mengajurkan batuk efektif dan teknik napas dalam dan sering mengganti

posisi
Anjurkan klien menggunakan spirometernya tiap 2 jam saat terbangun
Klien dengan penurunan kesadaran harus dimiringkan setiap 2 jam dan harus
diletakkan dalam posisi menyamping, kecuali kontradiksi untuk mencegah

aspirasi
Berikan obat bronkodilator, jika diresepkan
Jika ada indikasi, mungkin diperlukan tindakan yang lebih agresif untuk menjaga
jalan napas seperti fisioterapi dada, pengisapan dan jalan napas buatan

3. Diagnosis : Pola Napas Tidak Efektif


Diagnosis ini berhubungan dengan takipnea. Banyak klien mengalami takipnea
kompensatoris karena ketidakmampuan memenuhi kebutuhan metabolic. Ini terjadi
karena alveolus yang terserang tidak dapat bertukar oksigen dan karbondioksida dengan
efektif. Laju pernapasan yang tinggi juga dapat terjadi karena nyeri dada dan peningkatan
suhu tubuh.
Hasil yang diharapkan

Klien akan mendapatkan pola napas yang lebih baik, yang ditunjukkan dengan
angka pernapasan dalam batas normal, ekspansi dada yang cukup, suara napas bersih,
dyspnea yang menurun
Intervensi
Posisikan klien agar nyaman dan mudah dalam bernapas yaitu meningkatkan
bagian kepala dari ranjang sebesar 45 derajat. Ajarkan klien bagaimana menekan dinding
dada dengan bantal agar terasa nyaman saat batuk dan bagaimana menggunakan
spirometri insentif.
4. Diagnosis : Intoleransi Aktivitas
Diagnosis ini berhubungan dengan penurunan kadar oksigen untuk kebutuhan
metabolic. Berkurangnya cadangan energy serta gangguan penyaluran oksigen dan
karbondioksida yang menyebabkan sisa oksigen yang sedikit untuk memenuhi kebutuhan
metabolic
Hasil yang Diharapkan
Toleransi aktivitas klien akan meningkat, dibuktikan dengan peningkatan aktivitas
fisik secara progresif tanpa dyspnea dan kelelahan berlebihan
Intervensi
Kaji kadar aktivitas awal klien dan responnya terhadap aktivitas. Memeriksa
adanya perubahan pada pernapasan dan denyut nadi, dyspnea nyata, kelelahan, disritmia.
Jadwalkan aktivitas setelah terapi atau obat-obatan. Berikan dukungan psikologis dan
lingkungan yang tenang.
5. Diagnosis : Gangguan Membran Mukosa Mulut
Diagnosa keperawatan gangguan membrane mukosa mulut dapat digunakan dan
berhubungan dengan bernapas melalui mulut
Hasil yang Diharapkan
Klien akan mengalami perbaikan membrane mukosa yang ditunjukkan oleh
perbaikan skor penilaian mulut
Intervensi

kaji membrane mukosa tiap sif. jika klien dapat menyeka dan membasahi mulutnya,
tinggalkan lap dan air diatas meja klien. Jika klien tidak dapat melembabkan mulut,
bantulah klien.
6. Diagnosa: Penurunan tingkat kesadaran, pasien berada pada tingkat kesadaran somnolen
Hasil yang diharapkan: Menetapakn kriteria hasil: Terjadi peningkatan kesadaran, tandatanda vital dalam batas normal, tidak adanya penurunan kesadaran, pasien memperlihatkan
kepatenan jalan napas.
Intervensi:
a. Mandiri :
- Tentukan faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu, yang dapat menyebabkan
-

penurunan perfusi dan potensial tingkat kesadaran pasien


Catat status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai standart
Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana
Pantau tekanan darah
Pantau suhu lingkungan
Pantau intake, output, turgor
Pantau irama jantung
Beritahu klien untuk menghindari/ membatasi batuk,muntah
Perhatikan adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak sesuai
Tinggikan kepala 15-45 derajat
Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan napas dan memberikan

pengeluaran sekresi yang optimal


- Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4 jam
- Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap jam dan, laporkan perubahan tingkat
kesadaran pada dokter.
b. Kolaborasi :
- Berikan oksigen sesuai indikasi
- Berikan obat sesuai indikasi
- Berikan oksigenasi yang sesuai

c. Evaluasi
Pneumonia harus cepat sembuh setelah klien mendapatkan antibiotic spesifikorganisme, dan sepanjang tidak ada gangguan imun atau malnutrisi. Klien yang sudah
lanjut usia mungkin membutuhkan waktu lama dalam penyembuhannya.

DAFTAR PUSTAKA

American Thoracic Society. (2005). Guidelines for the Management of Adults withHospitalacquired, Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia: a consensus
statement. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 171:391-393.
doi: 10.1164/rccm.200405-644ST
Black, J. M., Hawks, J.H. (2014). Medical surgical nursing: clinical management for positive
outcomes. Singapore: Elsevier.
Black and jane, (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk Hasil

yang Diharapkan Edisi 8 Buku 1.Singapore : Elsevier

Doenges, M.E., et.al. (2010). Nursing care plans: guidelines for


across the life span 8th ed.

individualizing

client

care

Philadelphia: Davis Company

Doughety, L., Lister, S. (2004) The Royal Marsden Hospital Manual of Clinical Nursing
Procedures (6th ed). Oxford: Blackwell Publishing.
Dziewas, R., et al. (2004). Pneumonia in acute stroke patients fed by nasogastric tube. J Neuro,
Neurosurg Psychiatry, 75, 852-856. doi: 10.1136/jnnp.2003.019075

Guyton, A.C. & Hall, J.E. (2010). Text book of medical physiology 12th ed. Philadelphia :
Elsevier.
Hannawi, Yousef., Hannawi, Bashar., Rao, Chethan P.R., Suarez, Josef I., Bershard, Eric M.
(2013). Stroke Associated Pneumonia: Major Advances and Obstacles. Cerebrovascular
Disease. 35, 430-443. doi:1159/000350199
Herdman, T.H., Kamitsuru, S. (2014). NANDA International Nursing Diagnoses: Definition and
Classification. 2015-2017. Tenth Edition. Oxford: Wiley Blackwell.

Jones, Ronald N. (2010). Microbial Etiologies of Hospital-Acquired Bacterial Pneumonia and


Ventilator-Associated Bacterial Pneumonia. Clinical Infectious Diseases. 51(S1), S81S87.
doi: 10.1086/653053
Kemmling, Andre., Lev, Michael H., Payabvash, Seyedmehdi., Betensky, Rebecca A., Qian,
Jing., Masrur, Shihab., Schwamm, Lee H. (2013). Hospital Acquired Pneumonia Is
Linked to Right Hemispheric Peri-Insular Stroke. PLOS ONE. 8 (8), 1-7. Retrieved from
http://www.plosone.org
Kieninger, Alicia N., Lipsett, Pamela A. (2009). Hospital - Acquired Pneumonia:
Pathophysiology,

Diagnosis,

doi:10.1016/j.suc.2008.11.001

and

Treatment.

Surgical

Clinical.

89,

43946.

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2012). Fundamentals of Nursing: Concepts,
Process, and Practice. 9t Ed. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education, Inc.
Martini, F., et. al. (2012). Fundamentals of anatomy and physiology 9th ed. Glenview: Pearson
Education,Inc.
Medison, I. Sabri, Y. S., Ermayanti, S., & Yanny, F. F. (2012). Penuntun skill lab blok 3.3:
Respirasi. Diakses dari

http://repository.unand.ac.id/18503/10/Penuntun%20skills

%20lab%20%20Gangguan% 0respirasi%20blok%203.pdf. Diakses pada 20 September 2015.


Medline Plus. (n.d). Hospital-acquired pneumonia. Retrieved from
https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000146.htm
Metheny, N.A., Meert K.L. (2004) Monitoring feeding tube placement. Nutrition in clinical
practice. 19: 5, 487495.
Mergenthaler,Philipp., Dirnagl, Ulrich., Meisel, Andreas. (2004). Pathophysiology of Stroke:
Lessons From Animal Models. Metabolic Brain Diseases. 19, 151-167
National Heart, Lung, and Blood Institute. (n.d). What causes pneumonia. Retrieved from
https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/pnu/types
National Patient Safety Agency (2005) Patient Safety alert 05. Reducing the harm caused by
misplaced nasogastric feeding tubes. London: NPSA.
Padmosantjojo. (2000). Keperawatan Bedah Saraf. Jakarta: Bagian Bedah Saraf FKUI
PDPI, (2003). Pneumonia nosokomial pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
indonesia
Sherwood, L. (2013). Human physiology from cells to systems 8th edition. Kanada: Cengange.
Sherwood, lauralee. (2012).Fisiologi Manusia.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC)
Sloane, ethel.(2012).Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC)
Soemantri, iman. (2007). Asuhan keperawatan pada Pasien dengan gangguan sistem
pernapasan. Jakarta : Salemba medika
Tortora GJ, Derrickson B.(2012).Principle of anatomy and physiology. 13th ed. USA:
John Wiley & Sons Ltd

Wilkinson, J.M., Ahern, N.R. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Diagnosis
intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Jakarta : EGC

NANDA,

Anda mungkin juga menyukai