Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar belakang
Belum ada kesepakatan yang baku secara internasional mengenai pengertian hukum
udara (air law). Mereka kadang-kadang menggunakan istilah hukum udara (air law) atau hukum
penerbangan (aviation law) atau hukum navigasi udara (air navigation law) atau hukum
transportasi udara (air transportation law) atau hukum penerbangan (aerial law) atau hukum
aeronautika penerbangan (aeronautical law) atau udara-aeronautikda penerbangan (airaeronautical law) saling bergantian tanpa membedakan satu terhadap yang lain. Istilah-istilah
aviation law, atau air navigation law atau air transportation law atau aerial law atau
aeronautical law atau air-aeronautical law pengertiannya lebih sempit dibandingkan dengan
pengertian air law. Kadang-kadang menggunakan istilah aeronautical law terutama dari bahasa
romawi. Dalam bukunya, Nicolas Matteesco menggunakan istilah air-aeronautical law1[1]
sedangkan dalam praktik pada umumnya mengunakan istilah air law, tetapi dalam hal-hal
tertentu menggunakan aviation law. Pengertian air law lebih luas sebab meliputi berbagai aspek
hukum konstitusi, administrasi,

perdata, dagang, komersial, pidana, publik, pengangkutan,

manajemen, dan lain-lain. Verschoor memberi defenisi hukum udara (air law) adalah hukum dan
regulasi yang mengatur penggunaan ruang udara yang bermanfaat bagi penerbangan,
kepentingan umum, dan bangsa-bangsa di dunia.2[2]
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan ruang udara beserta sumber daya
didalamnya adalah masalah yurisdiksi. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip teritorial,
nasional, personalitas pasif, perlindungan atau keamanan, universalitas, dan kejahatan menurut
kriteria hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara di ruang udara, sangat
erat hubungannya dengan penegakkan hukum di ruang udara tersebut. Dengan adanya yurisdiksi,
negara yang tersangkutan mempunyai wewenang dan tanggung jawab di udara untuk
1[1] Lihat Matte N.M., Treaties on air-aeronautical law. (Toronto: The Carswell
Company Limited).
2[2] Air law is a body of rules governing the use of airspace and its benefit for
aviation, the general public and the nations of the world, lihat Verschoor,I.H.Ph.D,An
Introduction to air law. The Netherlands: Kluwer Law.
1

melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara. Berkenaan dengan wewenang dan tanggung
jawab negara melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara tidak terlepas dari muatan Pasal
33 UUD 1945 ayat (3) yang menyatakan, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Atas dasar ketentuan tersebut, maka lahir hak menguasai oleh negara atas sumber
daya alam yang ada di bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (termasuk
udara) dan penguasaan tersebut memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Makna dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut bahwa
ruang udara sebagaimana penjelasan sebelumnya merupakan sumber daya alam yang dikuasai
negara. Istilah dikuasai dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukan berarti dimiliki oleh
negara, melainkan memberikan arti kewenangan sebagai organisasi atau lembaga negara untuk
mengatur dan mengawasi penggunannya untuk sebesar-besarnya kemak-muran rakyat.
Sesuai 3[3] Konvensi Chicago Tahun 1944, dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa setiap negara
mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and exclusive souvereignity) atas ruang
udara atas wilayah kedaulatannya. Dari Pasal tersebut memberikan pandangan bahwa
perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayah teritorial,
adalah : (1) setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang
udara nasionalnya; (2) tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara nasional tanpa
mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara
antara negara dengan negara lain baik secara bilateral maupun multilateral. Secara yuridis formal
wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur secara holistik, sampai dikeluarkannya perjanjian atau konvensi Hukum Laut PBB
Tahun 1982. Sejak ditetapkannya konvensi tersebut sebagai hukum internasional dan telah
diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 1985, menyebabkan negara
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kewajib-an menyediakan Alur Laut Kepulauan
Indonesia- ALKI (archipelagic sea lane passages) yang merupakan jalur lintas damai bagai
kapal-kapal asing. Hal tersebut juga berlaku pada wilayah udara di atas alur laut tersebut.
Meskipun demikian, pemberlakuan ketentuan tersebut belum ada kesepakatan antara

3[3] Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global), Bandung : P.T. Alumni, hlm 427.
2

International Maritime Organization (IMO) dan International Civil Aviation Organization


(ICAO), akibatnya belum ada ketentuan adanya pesawat udara yang mengikuti alur laut tersebut.
B.

Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah sejarah munculnya Prinsip Hukum Udara yamg digunakan di Indonesia


(nasional) dan apa sajakah prinsip hukum udara nasional ?
2. Apakah kewajiban pengangkut dalam hukum pengangkutan?
3. Prinsip apakah yang berkenaan dengan tanggung jawab pengangkut terhadap sesuatu yang
diangkutnya?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah hukum pengangkutan
2. Untuk mengetahui sejarah munculnya prinsip hukum udara yang digunkan di Indonesia dan apa
saja prinsip hukum udara nasional
3. Untuk mengetahui kewajiban pengangkut dalam dalam hukum pengangkutan
4. Untuk mengetahui prinsip apa saja yang berkenaan dengan tanggung jawab pengangkut terhadap
sesuatu yang diangkutnya

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Prinsip Hukum Udara Nasional
a. Sejarah Hukum Udara Nasional
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan wilayah kepulauan dengan perbandingan 2: 3
antara daratan dan perairan dimana kapal dan pesawat udara asing mempunyai hak lintas untuk
melintasi

alur

alut

yang

telah

ditetapkan.

Hal ini sangat berpotensi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pesawat udara asing karena
terbukanya ruang udara diatas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Untuk itu diperlukan
adanya Undang-Undang negara untuk mengantisipasinya baik ruang udara di wilayah ruang
udara Indonesia secara keseluruhan maupun ruang udara diatas ALKI, Kedaulatan negara di
ruang udara, wilayah kedaulatan, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pada Bab III Kedaulatan Atas
Wilayah Udara pada: Pasal 4 menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia berdaulat penuh
dan utuh atas wilayah udara Republik Indonesia.Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia
memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara Republik Indonesia, sesuai dengan
ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional.4[17] Ketentuan
dalam pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik
Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah
dirgantara Indonesia sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah Republik Indonesia secara
menyeluruh tetap berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun
1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.
Indonesia yang telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sejak 27 April
1950 telah menyempurnakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 disusun dengan mengacu pada
Konvensi Chicago 1944 dan memerhatikan kebutuhan pertumbuhan transportasi udara di
Indonesia, karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 mengatur kedaulatan atas wilayah
udara Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan, produksi pesawat udara, pendaftaran, dan
kebangsaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan
keamanan wilayah udara, indepedensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan
4[17] H. K. Martono dan Amad Sudiro, Op. Cit., hlm 67.

majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum, berbagai jenis angkutan
udara baik niaga berjadwal, tidak berjadwal maupun niaga dalam negeri maupun luar negeri,
modal harus single majority shares tetap berada pada warga negara Indonesia, persyaratan
minimum mendirikan perusahaan penerbangan baru harus mempunyai 10 pesawat udara, 5
dimiliki dan 5 dikuasai, perhitungan tarif transportasi udara berdasarkan komponen tarif jarak,
pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, orang lanjut
usia, anak dibawah umur, pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya (dangerous goods),
ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, konsep tanggung jawab pengangkut,
asuransi tanggung jawab, tanggung jawab pengangkut terhadapap pihak ketiga (third parties
liability), tatanan kebandaraan dan lain-lain.
b. Prinsip Hukum Udara Nasional.
a.
Prinsip yuridik ruang udara nasional
5
[18] Dalam pasal 1 Konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan : negara-negara pihak
mengakui bahwa tiap-tiapa negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif ats ruang udara
yang terdapat di ats wilayahnya. Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang
terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Kedua Konvensi ini dengan sengaja menjelaskan bahwa
wilayah negar juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan. Hal ini juga dinyatakan oleh
Pasal 2 Konvensi Jenewa mengenai Laut wilayah dan oleh pasal 2 ayat 2 konvensi PBB tentang
Hukum Laut 1982. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara
di atas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran
maritim. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperbolehkan secara bebas
lintas terbang diatas wilayah negara, yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di
perairan nasional suatu negara. Satu-satunya pengecualian adalah mengenai lintas udara di selatselat internasional tertentu dan alur laut kepulauan. Sebagai akibetnya, kecuali kalau ada
kesepakatan konvensional lain, suatu negara bebas untuk mengatur dan bahkan melarang
pesawat asing terbang di atas wilayahnya dan tiap-tiap penerbangan yang tidak diizinkan
merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial negara di bawahnya. 6[19]) hal ini sering
terjadi diats wilayah udara indonesia bagian timur oleh pesawat-pesawat udara asing terutama
selama bagian kedua tahun 1999.
5[18] Boer Mauna, Hukum Internasional, op.cit., hlm.431.
6[19] I. C. J. Arret du, 27 Juni 1986, Activeties militaires au Nicaragua, rec. P. 128
5

Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas pesawat-pesawat
udara merupakan apek penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang di buat oleh negaranegara. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan ruang udara beserta sumber
daya didalamnya adalah masalah yurisdiksi. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip
teritorial, nasional, personalitas pasif, perlindungan atau keamanan, universalitas, dan kejahatan
menurut kriteria hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara di ruang udara,
sangat erat hubungannya dengan penegakkan hukum di ruang udara tersebut. Dengan adanya
yurisdiksi, negara yang tersangkutan mempunyai wewenang dan tanggung jawab di udara untuk
melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara. Berkenaan dengan wewenang dan tanggung
jawab negara melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara tidak terlepas dari muatan Pasal
33 UUD 1945 ayat (3) yang menyatakan, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Atas dasar ketentuan tersebut, maka lahir hak menguasai oleh negara atas sumber
daya alam yang ada di bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (termasuk
udara) dan penguasaan tersebut memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Makna dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut bahwa ruang udara sebagaimana
penjelasan sebelumnya merupakan sumber daya alam yang dikuasai negara. Istilah dikuasai
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukan berarti dimiliki oleh negara, melainkan memberikan
arti kewenangan sebagai organisasi atau lembaga negara untuk mengatur dan mengawasi
penggunannya untuk sebesar-besarnya kemak-muran rakyat. Sesuai Konvensi Chicago Tahun
1944, dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan
penuh (complete and exclusive souvereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Dari
Pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh
atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah : (1) setiap negara berhak mengelola dan
mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang udara nasionalnya; (2) tidak satupun kegiatan
atau usaha di ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana
telah diatur dalam suatu perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral
maupun multilateral.

[20] Secara yuridis formal wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum ada

peraturan perundang-undangan yang mengatur secara holistik, sampai dikeluarkannya perjanjian


atau konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982. Sejak ditetapkannya konvensi tersebut sebagai
hukum internasional dan telah diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang-undang No. 17 Tahun
1985, menyebabkan negara Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kewajib-an
menyediakan Alur Laut Kepulauan Indonesia- ALKI (archipelagic sea lane passages) yang
merupakan jalur lintas damai bagai kapal-kapal asing. Hal tersebut juga berlaku pada wilayah
udara di atas alur laut tersebut. Meskipun demikian, pemberlakuan ketentuan tersebut belum ada
kesepakatan antara International Maritime Organization (IMO) dan International Civil Aviation
Organization (ICAO), akibatnya belum ada ketentuan adanya pesawat udara yang mengikuti alur
laut tersebut.
Dari uraian di atas, bahwa batas wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum di
atur dalam peraturan perundang-undangan yang ada, hanya menetapkan bahwa Indonesia
mempunyai wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4
dan Pasal 5 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Kegiatan penerbangan merupakan
salah satu wujud kegiatan dan atau usaha terhadap wilayah kedaulatan atas wilayah udara yang
diberi wewenang dan tanggung jawab kepada Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5
UU No. 15 Tahun 1992, bahwa dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah
udara Republik Indonesia Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan
ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, penerbangan dan ekonomi
nasional.
Dalam penjelasan Pasal 5 disebutkan, bahwa wilayah udara yang berupa ruang udara di atas
wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional sehingga harus
dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Bentuk lain wujud
dari penyelenggaraan kedaulatan atas wilayah udara nasional Indonesia, adalah penegakan
hukum terhadap pelanggaran pesawat udara yang terbang pada kawasan terlarang baik nasional
maupun asing sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 1992, bahwa
pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang terbang melalui kawasan udara
terlarang, dan terhadap pesawat udara yang melanggar larangan dimaksud dapat dipaksa untuk
mendarat di pangkalan udara atau bandara udara di dalam wilayah Republik Indonesia. Dalam
7[20] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes , Pengantar Hukum Internasional,
Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Alumni, hlm.170.
7

penjelasannya dinyatakan, bahwa kewenangan menetapkan kawasan udara terlarang merupakan


kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk mengatur penggunaan wilayah udaranya, dalam
rangka pertahanan dan keamanan negara dan keselamatan penerbangan. Lebih jauh dalam
penjelasan pasal tersebut dinyatakan, kawasan udara terlarang terdiri atas kawasan udara
terlarang yang larangannya bersifat tetap (prohibited area) karena pertimbangan pertahanan dan
keamanan negara serta keselamatan penerbangan, dan kawasan udara terlarang yang bersifat
terbatas (restricted area) karena pertimbangan pertahanan dan keamanan atau keselamatan
penerbangan atas kepentingan umum, misalnya pembatasan ketinggian terbang, pembatasan
waktu operasi, dan lain-lain. Meskipun diatur pelarangan terbang di kawasan udara terlarang
dalam UU tersebut, namun tidak diatur secara tegas wewenang dan tanggung jawab terhadap
penenggakan hukum di kawasan udara tersebut.
Wujud dari bentuk wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional selain pelarangan di
kawasan udara terlarang tersebut atas, juga terdapat pelarang-an lain yaitu perekaman dari udara
menggunakan pesawat udara sebagai-mana ditetapkan dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 15 Tahun
1992, bahwa dilarang melakukan perekaman dari udara dengan menggunakan pesawat udara
kecuali atas izin Pemerintah. Pelarangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan pertahanan
dan keamanan negara. Dari beberapa ketentuan pelarangan sebagaimana diatur dalam UU No. 15
Tahun 1992 sebagai wujud pengakuan wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional, tetapi tidak
mengatur wewenang dan tanggung jawab penegakkan hukum di ruang udara nasional sebagai
wilayah kedaulatan di udara dan di kawasan udara terlarang.
2.2 Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan
Dari perikatan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim barang, timbul suatu
hukum yang saling mengikat antara para pihak yang terkait dalam perikatan tersebut. Adapun
hukum yang mengikat tersebut adalah berupa hak dan kewajiban. Dan pada makalah ini, kami
menitikberatkan pada pembahasan tentang tanggung jawab yang berkenaan dengan pengangkut
atas barang angkutannya.
Kewajiban-kewajiban pengangkut pada umumnya antara lain adalah :
1.Mengangkut penumpang atau barang-barang ke tempat tujuan yang telah ditentukan.
2.Menjaga keselamatan, keamanan penumpang, bagasi barang dengan sebaik-baiknya.
3.Memberi tiket untuk pengangkutan penumpang dan tiket bagasi.
4.Menjamin pengangkutan tepat pada waktunya.
5.Mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Dari bahasan diatas, dapat dipahami tentang adanya unsur tanggung jawab pengangkut atas
sesuatu yang diangkutnya tersebut. Dalam KUHD, pertanggungjawaban pengankut diatur dalam

pasal 468. Pada ayat (1), dinyatakan bahwa pengangkut wajib menjamin keselamatan barang dari
saat diterimanya hingga saat diserahkannya. Pada ayat (2) dijelaskan tentang penggantirugian
atas barang dan ketentuannya, dan pada ayat (3), bahwa pengangkut bertanggung jawab atas apa
yang dilakukan oleh awaknya dan atas alat-alat yang digunakannya dalam pengangkutan.
Drs. Suryatin, dalam bukunya Hukum Dagang I dan II (Pradnya Paramita, 1983, hal 223-225)
tentang pertanggungan jawab adalah sebagai berikut5 ;
Oleh karena dalam ayat (2) disebutkan tidak dapat dicegah maupun dihindarkan secara layak,
maka harus dipertimbangkan apakah kerugian-kerugian yang diderita tadi dapat dicegah atau
dihindarkan atau tidak, menurut daya kemampuan si pengangkut. Dan adanya perkataan secara
layak, maka pertanggungjawaban si pengankut tergantung pada keadaan dan/atau kejadian yang
tidak dapat dipastikan terlebih dahulu. Sehingga pertanggungjawabannya merupakan
pertanggungjawaban secara relatif.
Berbeda dengan ayat (3), yang merupakan suatu pertanggungjawaban secara mutlak. Dan si
pengangkut harus menyelidiki kemampuan pekerjanya dan alat yang akan digunakannya. Dan
apabila terjadi pencurian barang sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 469 KUHD, maka
pengangkut hanya bertanggung jawab kalau ia diberitahu akan sifat dan harga barang sebelum
diserahkan atau pada waktu diserahkan. Hal ini bertujuan agar pengangkut dapat mengetahui
berat-ringan resiko yang dibebankan kepadanya.
Ketentuan pada pasal 469 KUHD ini dikuatkan oleh pasal 470, dimana ditentukan bahwa
pengangkut tidak bertanggung jawab apabila ia diberi keterangan yang tidak benar tentang sifat
dan harga barang yang bersangkutan. Berkaitan dengan tanggungjawabnya, sebagaimana yang
telah disebutkan dalam pasal 468 KUHD, maka dalam pasal 470 KUHD si pengangkut tidak
dibenarkan untuk mengadakan perjanjian untuk mengurangi atau menghapuskan tanggung
jawabnya. Dalam pasal ini juga ditekankan bahwa pengangkut dapat diberi keringanan
berkenaan dengan besarnya resiko yang menjadi bebannya.
Sungguhpun pengangkut dapat mengurangi pertanggungjawabannya, namun perjanjian semacam
itu tidak dapat berlaku, bila ternyata kerugian tersebut terjadi atas kelalaian pengangkut atau
bawahan-bawahannya, sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 471 KUHD.
Dari bahasan diatas, tentu ada acuan dasar pertanggungjawaban pengangkut terhadap sesuatu
yang diangkut olehnya. Maka berikut ini akan dikaji tentang prinsip-prinsip dalam
pertanggungjawaban pengangkut dalam hukum Transportasi.
2.3 Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Pengangkut dalam Sesuatu Yang Diangkutnya
Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya lima prinsip tanggung jawab pengangkut
yaitu:
9

1.Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liabelity)


2.Tanggung Jawab Atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)
3.Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)
4.Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut (Limitation of Libelity)
5.Presumtion of Non Liability

Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liability)

Menurut prinsip ini, ditekankan bahwa selalu bertanggung jawab6 atas setiap kerugian yang
timbul pada pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan
bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi
kerugian itu.
Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.7 Hal
ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai
aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung
pengangkutan.
Prinsip ini hanya dijumpai dalam 86 ayat 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran, yang menyatakan:
jika perusahaan angkutan perairan dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud
aya 1 huruf b: musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; c. Keterlambatan angkutan
penumpang, dan atau barang yang diangkut; d. Kerugian pihak ketiga bukan disebabkan oleh
kesalahannya, maka dia dapat dibebaskan sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya.
Walaupun hanya terdapat pada pengangkutan perairan, bukan berarti pada pengangkutan darat
dan pengangkutan udara tidak dibolehkan. Dalam perjanjian pengangkutan, perusahaan angkutan
dan pengirim boleh menjanjikan prinsip tanggung jawab praduga, biasanya dirumuskan dengan
(kecuali jika perusahaan angkutan dapat membuktikan bahwa kerugian itu dapat karena
kesalahannya).
Dengan demikian jelas bahwa dalam hukum pengangkutan di Indonesia, prinsip tanggung jawab
karena kesalahan dan karena praduga bersalah keduanya dianut. Tetapi prinsip tanggung jawab
karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah
pengecualian, artinya pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam
penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak
bersalah atau lalai, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab.
Beberapa pasal dalam Undang-undang Pengangkutan Tahun 1992 yang mengatur tentang prinsip
tanggung jawab praduga bersalah adalah pasal 43 ayat 1b dan pasal 44 UU No. 15 Tahun 1992
tentang Penerbangan.
10

Tanggung Jawab atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)

Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas
kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang
dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada
pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.9 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer
tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya
diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.
Dalam KUHD, berkaitan dengan angkutan udara, prinsip ini dapat ditemukan dalam pasal 43-45
Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1995 tentang pengangkutan udara.

Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)

Pada prinsip ini, titik beratnya adalah pada penyebab bukan kesalahannya. Menurut prinsip ini,
pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang
diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tdaknya kesalahan pengangkut.
Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab
mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa
angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat.

Pembatasan tanggung jawab pengangkut (limitation of liability)

Bila jumlah ganti rugi sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 468 KUHD itu tidak dibatasi,
maka ada kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit. Menghindari hal ini,,
maka undang-undang memberikan batasan tentang ganti rugi. Jadi, pembatasan ganti rugi dapat
dilakukan oleh pengangkut sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian
pengangkutan, konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk undang-undang. Hal ini diatur
dalam pasal 475, 476 dan pasal 477 KUHD.11 mengenai pembatasan tanggung jawab
pengangkut dalam angkutan udara, diatur dalam pasal 24 ayat (2), pasal 28, pasal 29 ayat (1) dan
pasal 33 Ordonansi Pengangkutan Udara. Satu pasal lain mengenai pembatasan tanggung jawab
pihak pengangkut adalah pasal 33, dimana pasal tersebut menentukan gugatan mengenai
tanggung jawab atas dasar apapun juga hanya dapat diajukan dengan syarat-syarat dan batasbatas seperti yang dimaksudkan dalam peraturan ini.
Dengan terbatasnya gugatan mengenai tanggung jawab dari pihak pengangkut, maka terbatas
pula tanggung jawab pihak pengangkut. Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut Dalam
Ordonansi Pengangkutan Udara yang memuat ketentuan mengenai pembebasan adalah pasal 1
11

ayat (1), pasal 29 avat (1) dan pasal 36. Pasal 36 menemukan bahwa pengangkut bebas dari
tanggungjawabnya dalam hal setelah dua tahun penumpang yang menderita kerugian tidak
mengajukan tuntutannya.
Selain itu ada hal-hal yang membuat pengangkut tidak bertanggung jawab apabila timbul suatu
keadaan yang sama sekali tidak diduga sebelumnya, contohnya adalah sebagai berikut : bahaya
perang, sabotase, kebakaran, kerusuhan, kekacauan dalam negeri. Asuransi tanggung jawab
dibidang pengangkutan udara didasarkan atas prinsip terjadinya peristiwa asuransi tersebut
karena mencakup kerugian-kerugian yang terjadi selama jangka waktu asuransi dan dilandasi
kerugian yang paling dekat berdasar atas produk yang keliru.
Pada Undang-undang No 1 tahun 2009 pengaturan mengenai tanggung jawab pengangkut dapat
dilihat pada pasal 141 147.
Pada Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, pengangkut masih dapat menyangkal keharusan
bertanggung jawab asal dapat membuktikan bahwa pengangkut telah mengambil tindakan untuk
menghindarkan kerugian atau bahwa pengangkut tidak mungkin untuk mengambil tindakan
tersebut. Hal ini menggambarkan prinsip atas dasar Praduga, seperti yang disebut dalam pasal 24
ayat (1), 25 ayat (1), 28 dan 29 OPU; Pengangkut tidak bertanggungjawab untuk kerugian,
apabila:
1.ia dapat membuktikan bahwa ia dan semua buruhnya telah mengambil segala tindakan yang
perlu untuk menghindarkan kerugian;
2.ia dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin mengambil tindakan pencegahan itu;
3.kerugian itu disebabkan oleh kesalahan yang menderita itu sendiri;
4.kesalahan penderita kerugian membantu terjadinya kerugian itu
Dari penjelasan diatas, aturan mengenai tanggung jawab tadi merupakan salah satu bentuk
perlindungan hukum bagi para pihak khususnya pengguna jasa angkutan udara. Tanggung jawab
yang ditegaskan dalam undang-undang tadi akan meningkatkan kualitas dalam pemberian
kenyamanan, pelayanan serta keselamatan bagi penumpang. Artinya secara normatif
perlindungan hukum bagi penumpang telah ada, tinggal bagaimana pelaksanaan dari aturan tadi.

Presumtion of non Liability

Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki tanggung jawab.13 Dalam hal ini, bukan
berarti pengangkut membebaskan diri dari tanggung jawabnya ataupun dinyatakan bebas
tanggungan atas benda yang diangkutnya, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam
mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan. Pengaturan ini ditetapkan
dalam :
1. pasal 43 ayat 1 b UU penerbangan
12

2. pasal 86 UU pelayaran

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip teritorial, nasional, personalitas pasif,
perlindungan atau keamanan, universalitas, dan kejahatan menurut kriteria hukum yang berlaku.
Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara di ruang udara, sangat erat hubungannya dengan
penegakkan hukum di ruang udara tersebut. Dengan adanya yurisdiksi, negara yang tersangkutan
mempunyai wewenang dan tanggung jawab di udara untuk melaksanakan penegakkan hukum di
ruang udara. Berkenaan dengan wewenang dan tanggung jawab negara melaksanakan
penegakkan hukum di ruang udara tidak terlepas dari muatan Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) yang
menyatakan, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atas dasar ketentuan
tersebut, maka lahir hak menguasai oleh negara atas sumber daya alam yang ada di bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (termasuk udara) dan penguasaan tersebut
memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Makna dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut bahwa ruang udara sebagaimana
penjelasan sebelumnya merupakan sumber daya alam yang dikuasai negara. Istilah dikuasai
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukan berarti dimiliki oleh negara, melainkan memberikan
arti kewenangan sebagai organisasi atau lembaga negara untuk mengatur dan mengawasi
penggunannya untuk sebesar-besarnya kemak-muran rakyat. Sesuai Konvensi Chicago Tahun
1944, dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan

13

penuh (complete and exclusive souvereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Dari
Pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh
atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah : (1) setiap negara berhak mengelola dan
mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang udara nasionalnya; (2) tidak satupun kegiatan
atau usaha di ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana
telah diatur dalam suatu perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral
maupun multilateral.
Adapun kewajiban dri pengangkut dalam pengangkutan udara antara lain adalah
mengangkut penumpang atau barang-barang ke tempat tujuan yang telah ditentukan, menjaga
keselamatan, keamanan penumpang, bagasi barang dengan sebaik-baiknya, memberi tiket untuk
pengangkutan penumpang dan tiket bagasi, menjamin pengangkutan tepat pada waktunya,
mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dan dalam hukum pengangkutan udara juga dikenal
adanya 5 prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu tanggung jawab praduga bersalah
(Presumtion of Liabelity), tanggung jawab atas dasar kesalahan (Based on Fault or Negligence),
tanggung jawab pengangkut mutlak (Absolut Liability), pembatasan tanggung jawab pengangkut
(Limitation of Libelity), dan presumtion of non liability. Semua prinsip dan prosedur
penerbangan ini bertujuan demi keamanan, kenyamanan dan keselamatan bagi konsumen atau
penumpang penerbangan itu sendiri.
B.

Saran
Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas pesawatpesawat udara merupakan apek penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang di buat oleh
negara-negara. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan didalamnya adalah prinsipprinsip yang terkandung dalam hukum udara internasional maupun hukum udara nasional.
Prinsip-prinsip tersebut menjadi titik acuan negara-negara dalam mempertahankan kedaulatan
maupun yuridiksi negaranya. Maka sangat jelas bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam
hukum udara nasional maupum hukum udara internasional sangat penting untuk di patuhi
ataupun ditaati negara-negara lain. Dan meskipun telah adanya perlindungan hukum bagi
konsumen, peningkatan tanggung jawab bagi penjaminan keselamatan dan kenyamanan
konsumen masih diperlukan adanya pengoptimalan lagi.

14

15

Anda mungkin juga menyukai