Anda di halaman 1dari 3

Otokritik : Multikulturalisme di Indonesia

Otokritik pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk melakukan perubahan budaya
dalam suatu komunitas masyarakat, keluarga, golongan, organisasi atau lembaga dengan
melakukan kritik yang dilakukan oleh anggota dari dan untuk komunitas itu sendiri.
Di dalam kehidupan sering dijumpai adanya perbedaan, tak terkecuali di Indonesia.
Konsep tentang multikulturalisme telah lama mendominasi kehidupan masyarakat. Hal ini
berkaitan dengan masyarakat Indonesia yang memiliki banyak suku bangsa, agama, dan ras.
Dengan itulah konsep masyarakat multikultural menjadi topik yang relevan untuk ditelaah
karena sesuai dengan semboyan Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Masyarakat multikultural
disini lebih dipandang sebagai masyarakat yang memiliki kesederajatan dalam bertindak di
negara meski berbeda-beda suku bangsa, ras, maupun agama. Lebih tepatnya masyarakat
multikultural tidaklah hanya sebagai konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau
kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, akan tetapi menekankan pada
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Indonesia memiliki situasi multikultur yang bagus dalam sistem kebudayaan, namun
dalam sistem pemerintahan situasi ini membaik setelah runtuhnya Orde Baru. Budaya
masyarakat Indonesia menggambarkan semangat multikulturalisme dalam kesehariannya. Saling
menghormati antar agama dan ritual ibadahnya, saling menghormati antar etnis dan ritual
kebudayaannya sebenarnya sudah tertanam sejak lama.
Keberadaan negara yang mengusung gagasan pluralisme lah yang sebenarnya yang
menghambat hal tersebut. Program program nasional yang berlandaskan pluralisme telah
banyak tersistem sejak Orde Baru. Program-program perumahan rakyat yang tidak memandang
kebiasaan berumah tangga dari masing-masing budaya.
Semangat multikulturalisme tumbuh dengan baik setelah reformasi bergulir. Gagasan
pluralisme dipertanyakan karena telah gagal mengawal kekayaan budaya Indonesia. Semangat di
dunia politik tercermin dalam gagasan otonomi daerah. Peraturan dan pengelolaan SDM dan
SDA daerah telah dilimpahkan kewenangannya kepada masyarakat daerah tidak sepenuhnya
pusat lagi. Kebijakan daerah yang diharapkan lebih peka akan situasi sekitarnya diharapkan

mampu membentuk SDM dan SDA Indonesia yang diharapkan. Pertelevisian juga merasakan
imbas dari semangat multikulturalisme. Gagasan penghapusan televisi nasional menjadi televisi
lokal berjaringan diharapkan mampu melestarikan budaya-budaya lokal bukan hanya tontonan
budaya Jakarta ataupun Amerika.
Masyarakat diibaratkan sebagai sebuah kristal yang mempunyai permukaan yang tidak
rata. Hal ini dikarenakan masyarakat terdiri atas berbagai perbedaan yang membentuk satu
kesatuan yang utuh dan menyeluruh. Perbedaan-perbedaan ini dalam sosiologi dinamakan
struktur sosial. Bentuk umum dari struktur masyarakat adalah diferensiasi sosial dan stratifikasi
sosial. Diferensiasi sosial merupakan perbedaan masyarakat secara horizontal. Sedangkan
stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat secara vertikal. Kesemua bentuk ini secara tidak
langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat, terlebih Indonesia yang
memiliki masyarakat multikultural.
Manifestasi empiris penurunan rasa aman dan damai masyarakat akhir-akhir ini terlihat
makin nyata dan transparan. Munculnya berbagai tindak kekerasan, terorisme, dan kerusuhan
yang terjadi di berbagai daerah merupakan sebagian yang memperkuat gejala tersebut.
Bersamaan dengan itu semakin mudah ditemukan fenomena sosial, yang dikarenakan perbedaan
etnis, ideologi politik, dan dogmatisme agama.
Berbagai lembaga negara serta pranata sosial yang ada seakan mengalami stagnasi dan
krisis legitimasi, karena tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara normal. Dialog dari
hati ke hati antara individu atau kelompok nyaris tidak berjalan, karena yang terjadi adalah
eksklusivisme, ketidakpercayaan serta kecurigaan yang menekankan supremasi dan
kebenaran sendiri. Kondisi anomali ini mengandung risiko kemunculan gejala, yang oleh Erich
Fromm disebut sebagai letupan perasaan yang sangat destruktif berupa kemarahan sosial yang
memperbolehkan iri dan benci dilampiaskan di bawah kedok keutamaan.
Hal ini pada gilirannya akan menggeser sendi-sendi toleransi dan kemanusiaan dalam
kehidupan bermasyarakat. Kita melihat orang atau kelompok lain sebagai segmen yang terpisah,
bukan sebagai kesatuan yang utuh lagi. Cara pandang demikian dapat mengakibatkan semakin
tingginya kecurigaan pada orang atau kelompok lain dan semakin tipisnya toleransi dan
kesediaan untuk saling menerima.

Persoalannya, bahwa dalam masyarakat yang multikultural biasanya memiliki tingkat


diferensiasi sosial cukup tinggi yang sangat rentan dan resisten terhadap munculnya konflik
horizontal. kondisi masyarakat demikian tidak kondusif bagi upaya pengembangan toleransi dan
demokrasi.
Oleh karenanya dibutuhkan sebuah solusi yang konstruktif dan nyata untuk mencapai
sebuah tatanan kehidupan yang damai, kondusif, dan aman. Setumpuk solusi-pun jika tidak dapat
dilaksanakan dengan baik pada masyarakat, tentu akan mengalami kerusakan sedikit demi
sedikit. Kiranya, kita dapat menurunkan ego, melepas semua bendera yang kita miliki,
melakukan dengan cara profesional, serta saling bahu-membahu demi tercipta suatu misi
bersama sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Melalui pembelajaran ini, kita sebagai generasi muda diingatkan akan banyaknya
keragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, mulai dari keragaman suku, bahasa, adat,
agama, status ekonomi, pekerjaan, dan lain-lain. Keragaman ini berpotensi menjadikan bangsa
Indonesia sebagai bangsa rawan konflik. Oleh karenanya, jangan jadikan perbedaan sebagai
penghalang untuk harmonis, melainkan jadikanlah sebagai dorongan untuk membentuk suatu
kesatuan yang utuh. Karena perbedaan adalah warna yang indah

Anda mungkin juga menyukai