Anda di halaman 1dari 10

PATOFISIOLOGI

SEPSIS NEONATORUM

Disusun Oleh:
Anggi Lewis R.P Aruan
1161050113

Pembimbing
dr. Mas Wishnuwardhana, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
PERIODE 3 OKTOBER - 10 DESEMBER 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2016

I.

DEFINISI
Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai bakteremia

yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Angka kejadian sepsis
neonatal adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup. Sepsis neonatal dapat terjadi secara
dini, yaitu pada 5-7 hari pertama dengan organisme penyebab didapat dari intrapartum
atau melalui saluran genital ibu. Sepsis neonatal dapat terjadi setelah bayi berumur 7
hari atau lebih yang disebut sepsis lambat, yang mudah menjadi berat dan sering
menjadi meningitis. Sepsis nosokomial terutama terjadi pada bayi berat lahir sangat
rendah atau bayi kurang bulan dengan angka kematian yang sangat tinggi. Karena
masih tingginya angka kematian sepsis neonatal, tatalaksana yang utama adalah upaya
pencegahan dengan pemakaian proteksi di setiap tindakan terhadap neonatus,
termasuk pemakaian sarung tangan, masker, baju dan kacamata debu serta mencuci
segera tangan dan kulit yang terkena darah atau cairan tubuh lainnya.1
Klasifikasi Sepsis
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan
menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal
sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis).2, 3
Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi
segera dalam periode postnatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh
pada saat proses kelahiran atau in utero. Transmisi sepsis awitan dini terjadi secara
transplacental, hematogen dan ascending infection (pada aprtus lama dan ketuban
pecah dini) yang merupakan cara tersering. Flora normal pada genitalia wanita seperti
Group B Streptokokus (GBS) dan E. coli dapat berjalan secara ascending menuju
jalan lahir dan mencapai cairan amnion, pada membran amnion yang utuh maupun
yang telah ruptur. Saat cairan amnion yang terinfeksi diaspirasi oleh fetus, bakteri
patogen akan terjadi penetrasi melalui immaturemucosal barriers dan menyebabkan
pneumonia yang dapat menjadi distres pernapasan beberapa jam setelah kelahiran dan
apabila menembus blood brain barrier akan menyebabkan terjadinya meningitis. Di
negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD adalah Group B
Streptokokus[(>40%
monocytogenes,

kasus)],

sedangkan

E. coli,
di

Haemophilus

negara berkembang

influenza,

dan

termasuk

Listeria
Indonesia,

mikroorganisme penyebab tersering adalah batang Gramnegatif. Sepsis neonatorum

awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan angka
mortalitas sebesar 15-50%.2, 3
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi postnatal (lebih dari 72 jam)
yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial).
Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal.
Bakteri patogen didapatkan dari tangan pelayan kesehatan di rumah sakit atau anggota
keluarga, air pada ventilator atau inkubator, pemasangan alat yang invasif seperti
kateter vaskular, endotracheal tubes dan nasogastric tubes. Angka mortalitas SAL
lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulasenegative Staphilococci (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab
utama

SAL,

sedangkan

di

negara

berkembang

didominasi

oleh

mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas


aeruginosa). 2, 3
Faktor risiko
1) Faktor ibu/maternal2,3
Usia kehamilan kurang bulan
Persalinan yang lama
Ketuban pecah lebih dari 18-24 jam
Chorioamnionitis
Persalinan dengan tindakan
Demam pada ibu (> 38,4 C)
Infeksi saluran kencing pada ibu
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu
2) Faktor bayi 2,3
Asfiksia perinatal
Berat lahir rendah
Bayi kurang bulan
Prosedur invasif
Kelainan bawaan
3) Faktor lingkungan2, 3
Pengaruh lingkungan yang dapat menjadi predisposisi bayi yang terkena
sepsis antara lain yaitu teknik persalinan serta perawatan umbilikus dan pemberian
susu formula yang tidak higienis, tidak sterilnya perawatan di rumah sakit (NICU)
seperti pada praktek cuci tangan, pemasangan alat (kateter, infus, NGT, ETT).

II.

PATOFISIOLOGI
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
korion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan. Blanc
(1961) membahaginya dalam 3 golongan, yaitu: Pada masa antenatal atau sebelum
lahir, pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan
umbilicus, masuk kedalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin.
Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta,
antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza,
parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis dan
toksoplasma, triponema pallidum dan listeria. Pada masa intranatal atau saat
persalinan. Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain.
Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan serviks
naik mencapai korion dan amnion, akibatnya terjadi amnionitis dan korionitis,
selanjutnya kuman melalui umbilkus masuk ke tubuh bayi.
Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih
berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam
rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan
ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir
akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam. Selain melalui
cara tersebut diatas infeksi pada janin dapat terjadi melalui kontak langsung pada
kuman saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi seperti herpes genitalis,
Candida albicans dan gonorea.
Pada masa pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah
kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi yang diperoleh (acquired infection) yaitu
infeksi nosokomial dari lingkungan diluar rahim misalnya melalui alat-alat;
pengisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasagastrik dan botol minuman.
Bayi yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi
dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang
terlalu lama dan hunian terlalu padat juga mudah mendapat infeksi nosokomial
ini.5'

III.

DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis sepsis neonatorum merupakan hal yang sulit karena

tanda dan gejala awal yang sering tidak spesifik.6


Anamnesis yang dapat membantu penegakan diagnosis sepsis neonatorum adalah:7

Riwayat ibu mengalami infeksi intrauterine, demam dengan kecurigaan infeksi


berat, atau ketuban pecah dini.

Riwayat persalinan tindakan, penolong persalinan, lingkungan persalinan yang


kurang higienis.

Riwayat lahir asfiksia berat, bayi kurang bulan, berat lahir rendah.

Riwayat air ketuban keruh, purulen atau bercampur mekonium.

Riwayat bayi malas minum, penyakitnya cepat memberat.

Riwayat keadaan bayi, lunglai, mengantuk, aktivitas berkurang atau


irritable/rewel, muntah, perut kembung, tidak sadar, kejang.
Diagnosis dini sepsis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan terapi

diberikan tanpa menunggu hasil kultur. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak spesifik
dengan diagnosis banding yang sangat luas, termasuk gangguan napas, penyakit
metabolik, penyakit hematologik, penyakit susunan syaraf pusat, penyakit jantung,
dan proses penyakit infeksi lainnya (misalnya infeksi TORCH = toksoplasma, rubela,
sitomegalo virus, herpes). Bayi yang diduga menderita sepsis bila terdapat gejala:
Letargi, iritabel,
Tampak sakit,
Kulit berubah warna keabu-abuan,gangguan perfusi, sianosis, pucat, kulit bintikbintik tidak rata, petekie, ruam, sklerema atau ikterik,
Suhu tidak stabil demam atau hipotermi,
Perubahan metabolik hipoglikemi atau hiperglikemi, asidosis metabolik,

Gejala gangguan kardiopulmonal gangguan pernapasan (merintih, napas cuping


hidung, retraksi, takipnu), apnu dalam 24 jam pertama atau tiba-tiba, takikardi, atau
hipotensi (biasanya timbul lambat),
Gejala gastrointestinal: toleransi minum yang buruk, muntah, diare, kembung
dengan atau tanpa adanya bowel loop.
Kriteria SIRS

Tabel 1. Sumber: Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): S45-9

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menunjang diagnosis sepsis


neonatorum, antara lain:

Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan darah rutin yaitu jumlah leukosit PMN, jumlah trombosit
dan preparat darah hapus. Hasil positif apabila didapatkan jumlah leukosit
total 25.000/mm3 atau 5000/mm3 dan jumlah trombosit < 150.000/mm.7
Dengan preparat darah hapus yang perlu diperhatikan adalah jumlah leukosit
imatur (neutropenia < 1800/l) sehingga dapat diperhitungkan rasio neutrofil
imatur dengan neutrofil total. Dikatakan terinfeksi apabila rasio I:T > 0,2.
Preparat darah hapus menunjukkan gambaran hasil berupa hemolisis,
hipergranulasi, hipersegmentasi dan toksik granulasi.

CRP
C-reactive protein (CRP), yaitu protein yang timbul pada fase akut
kerusakan jaringan. Peninggian kadar CRP ini terjadi 24 jam setelah terjadi
sepsis, meningkat pada hari ke 2-3 sakit dan menetap tinggi sampai infeksi
teratasi. Nilai CRP akan lebih bermanfaat bila dilakukan secara serial karena
dapat memberikan informasi respons pemberian antibiotik serta dapat pula
dipergunakan untuk mentukan lamanya pemberian pengobatan dan kejadian
kekambuhan pada pasien dengan sepsis neonatal.

Kultur darah hingga saat ini merupakan gold standard dalam menentukan
diagnosis sepsis. Hasil kultur darah positif merupakan tanda definitif
terdapatmya bakteri patogen. Namun mempunyai kelemahan yaitu hasil
biakan bakteri baru dapat diperoleh minimal 3-5 hari.

Radiologi
o Foto toraks dilakukan jika terdapat respiratory distress atau apnea.
o CT-Scan harus dilakukan pada pasien yang dicurigai meningitis.

IV. TATALAKSANA
Non medikamentosa
Terapi suportif8

o Thermal care: suhu lingkungan yang hangat perlu diperhatikan.


o Respiratory: oksigenasi yang adekuat dan monitoring gas darah
o Cardiovascular: perhatikan tekanan darah dan perfusi untuk mencegah syok. Berikan
volume expanders seperti normal salin, intoropik serperti dobutamin atau dopamin
mungkin diperlukan. Monitor intake dan output cairan.
o Hematologic: tatalaksana DIC dan neutropeni sesuai standart protokol.
o CNS: tatalaksana kejang
o Metabolic : observasi dan tatalaksana hipoglikemi, hiperglikemi dan asidosis
metabolik.
Medikamentosa
Sepsis Awitan Dini
Pada bayi dengan sepsis awitan dini, terapi empirik harus meliputi
Streptococcus Group B, E. coli, dan Lysteria monocytogenes. Kombinasi penisilin
dan ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas antimikroba lebih luas
dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab sepsis awitan dini.
Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.
Sepsis Awitan Lambat
Kombinasi pensilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida juga dapat
digunakan untuk terapi awal sepsis awitan lambat. Pada kasus infeksi
Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat anti staphylococcus yaitu
vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal.
Pemberian antibiotik harusnya disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada
masing-masing unit perawatan neonatus.
Penisilin atau derivatnya, biasanya ampisilin 100mg/ kg/24jam intravena tiap
12 jam, kombinasi antara ampisilin dengan aminoglikosida dapat memberikan
outcome yang lebih baik. Apabila terjadi meningitis untuk umur 0-7 hari 100200mg/kg/ 24jam intravena/intramuskular tiap 12 jam, umur >7 hari 200300mg/kg/24jam intravena/ intramuskular tiap 6-8 jam, maksimum 400mg/
kg/24jam. Ampisilin sodium/sulbaktam sodium (Unasyn), dosis sama dengan
ampisilin ditambah aminoglikosid 5mg/kg/24jam intravena diberikan tiap 12 jam.
Pada sepsis nosokomial, sebaiknya diberikan vankomisin dengan dosis tergantung
umur dan berat badan:

<1,2kg umur 0-4 minggu: 15mg/kg/kali tiap 24jam


1,2-2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12- 18jam
1,2-2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8- 12jam
>2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12jam
>2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8jam
ditambah aminoglikosid atau sefalosporin generasi ketiga.
Terapi lanjutan disesuaikan dengan hasil biakan dan uji resistensi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Titut S. Pusponegoro. 2010. Journal : Sari pediatri Vol 2. No. 2. Jakarta


2. Kosim, M. 2014. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
3. Lissauer, Tom & Avroy Fanaroff, 2010, Neonatologi At A Glance, EMS,
Jakarta.
4. Kovatchev BP, Farhy LS, Cao H, et al. Sample asymmetry of heart rate
characteristics with application to neonatal sepsis and systemic inflammatory
response syndrome. Pediatr Res. 2003 Dec;54(6):892-8.
5. Korones SB, Bada-Ellzey HS. Neonatal decision making. Penyunting 2nd ed.
Missouri: Mosby Year Book 1993:h.104-11
6. Berry A, Rosenkrantz T, et al. Neonatal sepsis [Internet]. 2014 [Updated: Feb
11;

Cited

2016

Aug

9).

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. 2010. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai