Anda di halaman 1dari 13

| IP: 202.69.101.

170

| Buletin | Berita Dari Aceh | Do'a | Fatwa | Hadits | Khutbah | Kisah | Mu'jizat | Qur'an | Sakinah | Tarikh | Tokoh |
Aqidah | Fiqih | Tsaqofah | Sastra |
| Dunia Islam | Pustaka Sofwa | Kajian | Kaset | Kegiatan | Konsultasi | Materi KIT | Ekonomi Islam | Analisa |
Senyum | Download |
Menu Utama
Home
Kontributor
Tentang Kami
Buku Tamu
Produk Kami
Kirim Artikel / Berita
Formulir
Jadwal Shalat
Kontak Kami
Download
Forum Diskusi
Informasi !
Kajian Buku Berpegang Teguh
kepada al-Quran dan
as-Sunnah PENGUMUMAN
HASIL UJIAN
SELEKSI TAHAP II
SIWAKZ ALSOFWA
Bantu Korban Banjir
dan Longsor Bandung
Jadwal Kajian Harian

Kajian Islam

Statistik Situs
Minggu,20-3-2005 -2:6:10
Hits ...: 2485658
Online : 6 users
Artikel Tokoh Islam :
IMAM ASY-SYAFI'I (Pemilik Manhaj Fiqih Yang
Memadukan Antara Dua Madzhab Pendahulunya)
Selasa, 01 Februari 05

Pencarian
cari di
Berita
search

Nama Dan Nasabnya


Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin
Utsman bin Syafi bin as-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid
bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin Abdi Manaf
bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Kab bin Lu`ay bin
Ghalib Abu Abdillah al-Qurasyi asy-Syafii al-Makki,
keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.

Iklan

Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah


dari Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam
asy-Syafii berkumpul (bertemu nasabnya) dengan
Rasulullah pada Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah
yang ketiga
Sebutan asy-Syafii dinisbatkan kepada kakeknya yang
bernama Syafi bin as-Saib, seorang shahabat junior yang
sempat bertemu dengan Raasulullah SAW ketika masih
muda.
Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan
Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika

Jajak Pendapat
Rubrik apa yang
paling anda sukai di
situs ini ?

Meneladani Manasik
haji Rasulullah
Shallallaahu alaihi
wasalam
Kitab Tauhid 2
Kitab Tauhid 1
Kiat-Kiat
Menghidupkan Bulan
Ramadhan
Nama Islami
(puteri)
Yumna
(puteri)
Yusriyyah
(puteri)
Yusra
Banner

suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama


Fushthath, datanglah as-Saib bin Ubaid beserta puteranya,
yaitu Syafi bin as-Saib, maka Rasulullah SAW
memandangnya dan berkata, Adalah suatu kebahagiaan
bila seseorang mirip dengan ayahnya.

Buletin
Ekonomi
Fatwa
Fiqih

Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.

Firaq

Gelarnya

Kajian

Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau


Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya
terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk
mengikuti as-Sunnah.

Khutbah
Kisah
Konsultasi
Nama Islami

Kelahiran Dan Pertumbuhannya

Quran

Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang


merupakan -menurut pendapat yang kuat- tahun wafatnya
Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para
ulama tidak ada yang memastikannya.

Tarikh
Tokoh
Pilih

Tempat Kelahirannya
Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asySyafii. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan
di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota
Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
Imam al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat
tersebut dengan mengatakan bahwa yang shahih beliau
dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman. Sedangkan
penyebutan Yaman barangkali maksudnya adalah tempat
yang dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza.
Liputan Kegiatan
SEMBAKO LEBARAN Beliau kemudian lebih mendetail lagi dengan mengatakan,
Seluruh riwayat menunjukkan bahwa Imam asy-Syafii
1425H
dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke Asqalan, lalu
BUKA PUASA
dibawa ke Mekkah.
DHUAFA & FUQARA
1425H
Ibn Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi
SEHAT JELANG
dengan mengatakan tidak ada pertentangan antar riwayatRAMADHAN 1425H
riwayat tersebut (yang mengatakan Ghaza atau Asqalan),
karena ketika asy-Syafii mengatakan ia lahir di Asqalan,
maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah
Analisa
Ada Apa Dengan Bulan kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya
membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk
Muharram..?

Hasil Jajak Pendapat

Mutiara Hikmah

Penerimaan Aceh !

Bursa Saham Dalam


Perspektif Islam
Sutrah Dalam Perspektif
Fiqh Islam
Bolehkah Wanita Haid
dan Orang Junub Masuk
Masjid..?
Instan Messg
ilhamudin : al ilmu qobla
'amal
20-Mar-05 00:54
wajdi : syariah dan
khilafah solusi umat di
dunia ini
20-Mar-05 00:38

negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena


ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur 10 tahun, ia
dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya
yang mulia itu lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu
Imam asy-Syafii tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang
yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan
kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak
menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas
taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz,
Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafii kecil
menghafal al-Quran dan berhasil menamatkannya dalam
usia 7 tahun.

Menurut pengakuan asy-Syafii, bahwa ketika masa belajar


dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar
gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia
bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri
pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk
abd rahim : kirimkan
mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa
artikel -artikel islam ke
yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh
syukran
qablahuabed21a@yahoo.c dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.
om
Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu
19-Mar-05 11:18
masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak
latadry : Cak husnul di
aceh, piye kabare??baca
ini dong..he he..hati-hati
ya..met bekerja...
19-Mar-05 04:49
Murni : Alsofwa, this is
the first time I came to
your web. Than I really
suprise with the articles.
could you send me some
your articles about a
woman in
Islam.PLEASE... ...
19-Mar-05 04:23

saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk


hal yang bermanfaat baginya. Lalu ia pun merasakan
lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya
yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi
ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit
yang dijumpainya untuk mencatat.
Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Quran 30
juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia
hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia
15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah
dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin
Khalid az-Zanji.
Semula beliau begitu gandrung dengan syair dan bahasa di
mana ia hafal syair-syair suku Hudzail. Bahkan, ia sempat
berinteraksi dengan mereka selama 10 atau 20 tahun. Ia
belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam ilmu hadits, ia
belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab

amirotul : butuh artikel or


produk-produk tentang
pendidikan anak mulai
dlm kandungn s/d balita
19-Mar-05 03:32
Nama*
Email
Pesan*
Shout

*harus diisi

al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang


imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar
berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.
Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu
Imam asy-Syafii amat senang dengan syair dan ilmu
bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku
Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih.
Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang
Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping
syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan
bangsa Arab serta sastra.
Kapasitas keilmuannya dalam bahasa Arab tidak dapat
diragukan lagi, bahkan seorang imam bahasa Arab, alAshmui mengakui kapasitasnya dan mentashhih syairsyair Hudzail kepadanya.
Di samping itu, imam asy-Syafii juga seorang yang bacaan
al-Qurannya amat merdu sehingga membuat orang yang
mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan
oleh Ibn Nashr yang berkata, Bila kami ingin menangis,
masing-masing kami berkata kepada yang lainnya,
bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang
membaca al-Quran, dan bila kami sudah mendatanginya
sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Quran,
orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking
merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti
itu, ia berhenti membacanya.
Di Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia
berguru kepada Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti
Mekkah. Setelah itu, ia dibawa ibunya ke Madinah untuk
menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau berguru
dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini
wafat (tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada
Ibrahim bin Sad al-Anshary, Muhammad bin Said bin
Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.
Sepeninggal Imam Malik, asy-Syafii merantau ke wilayah
Najran sebagai Wali (penguasa) di sana. Namun betapa pun
keadilan yang ditampakkannya, ada saja sebagian orang
yang iri dan menjelek-jelekkannya serta mengadukannya
kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke
Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau

berhasil membela dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah


yang amat meyakinkan sehingga tampaklah bagi khalifah
bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak beralasan
dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis
bebas atasnya. (kisah ini dimuat pada rubrik kisah-kisah
islami-red.,).
Beliau kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu
dengan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam
Abu Hanifah. Beliau membaca kitab-kitabnya dan mengenal
ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional), kemudian kembali lagi ke
Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9 tahun
untuk menyebarkan madzhabnya melalui halaqah-halaqah
ilmu yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah,
demikian juga melalui pertemuannya dengan para ulama
saat berlangsung musim haji. Pada masa ini, Imam Ahmad
belajar dengannya.
Kemudian beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H.
Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh
para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari
berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang
dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam
buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul
Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya
yang nyantri dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu
Tsaur, az-Zafarany dan al-Karaabiisy.
Kemudian beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana
dalam waktu yang relatif singkat, setelah itu
meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada tahun
198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk
kemudian meninggalkannya menuju Mesir.
Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya
kesohorannya sudah mendahuluinya tiba di sana. Dalam
perjalanannya ini, beliau didampingi beberapa orang
muridnya, di antaranya ar-Rabi bin Sulaiman al-Murady
dan Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah
dulu di Fushthath sebagai tamu Abdullah bin Abdul
Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik. Kemudian
beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami Amr bin alAsh. Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam
sebelumnya, yaitu pengikut Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik lebih condong kepadanya dan terkesima dengan
kefasihan dan ilmunya.

Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama


masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar,
berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapatpendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan
madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum
dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir,
sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah
diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang
buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para
muridnya.
Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya
Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asySyaafiiy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan bagaimana
kemunculan sosok asy-Syafii dan manhaj fiqihnya. Sebuah
manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan
fiqih Ahli Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang
menyala, kemumpunian dalam al-Quran dan as-Sunnah,
kejelian dalam linguistik Arab dan sastra-sastranya,
kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan
permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat
dan qiyasnya.
Bila kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad
ini telah muncul dua perguruan (Madrasah) utama di
dalam fiqih Islam; yaitu perguruan rasional (Madrasah Ahli
Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits).
Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan
tangan dari fiqih Abdullah bin Masud yang dulu tinggal di
sana. Lalu ilmunya dilanjutkan oleh para sahabatnya dan
mereka kemudian menyebarkannya. Dalam hal ini, Ibn
Masud banyak terpengaruh oleh manhaj Umar bin alKhaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan
menggali illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik
dari Kitabullah mau pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di
antara murid Ibn Masud yang paling terkenal adalah
Alqamah bin Qais an-Nakhaiy, al-Aswad bin Yazid anNakhaiy, Masruq bin al-Ajda al-Hamadaany dan Syuraih
al-Qadly. Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I
H. Setelah mereka, perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh
Ibrahim bin Yazid an-Nakhaiy, ahli fiqih Iraq tanpa
tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di
antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan
pengajiannya sepeninggalnya. Hammad adalah seorang

Imam Mujtahid dan memiliki pengajian yang begitu besar di


Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak penuntut ilmu, di
antaranya Abu Hanifah an-Numan yang pada masanya
mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya
berakhir tampuk kepemimpinan fiqih. Ia lah yang
menggantikan syaikhnya setelah wafatnya dan mengisi
pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada
masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih
dengannya, termasuk di antaranya murid-muridnya yang
setia, yaitu Qadi Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan,
Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain mereka.
Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan
Ahli Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.
Sedangkan perguruan Ahli Hadits berkembang di
semenanjung Hijaz dan merupakan kepanjangan tangan dari
perguruan Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar,
Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya
yang berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan
ini banyak melahirkan para imam seperti Said bin alMusayyab, Urwah bin az-Zubair, al-Qasim bin Muhammad,
Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sad dan Malik bin Anas.
Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas
nash-nash Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak
mendapatkannya, maka dengan atsar-atsar para shahabat. Di
samping itu, timbulnya perkara-perkara baru yang relatif
sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk
melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas,
berbeda halnya dengan kondisi di Iraq.
Saat imam asy-SyafiI muncul, antara kedua perguruan ini
terjadi perdebatan yang sengit, maka ia kemudian
mengambil sikap menengah (baca: moderat). Beliau berhasil
melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua perguruan
tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan
antara kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia
sempat berguru kepada tokoh utama dari keduanya; dari
perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan pendirinya, Imam
Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan
orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid
Imam Abu Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asySyaibany.
Imam asy-Syafii menyusun Ushul (pokok-pokok utama)
yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah
yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul

fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan


dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis.
Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di
mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya,
kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil,
kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil
yang dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk
kepada al-Quran dan hal-hal yang nampak baginya dari itu
kecuali bila ada dalil lain yang mengharuskan pengalihannya
dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu, ia merujuk
kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar
Ahad yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia
seorang yang Tsiqah (dapat dipercaya) pada diennya,
dikenal sebagai orang yang jujur dan tersohor dengan kuat
hafalan. Asy-Syafii menilai bahwa as-Sunnah dan alQuran setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada
al-Quran saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang
menjelaskannya. Al-Quran membawa hukum-hukum yang
bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat menyeluruh)
sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. asSunnah pula lah yang mengkhususkan makna umum pada
al-Quran, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan
makna globalnya.
Untuk berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafii hanya
mensyaratkan bersambungnya sanad dan keshahihannya.
Bila sudah seperti itu maka ia shahih menurutnya dan
menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus tidak
bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima
suatu hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam
Malik, atau hadits tersebut harus masyhur dan periwayatnya
tidak melakukan hal yang bertolak belakang dengannya.
Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafii berada di garda
terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas
keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya
inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya
popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga
mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela
as-Sunnah).
Barangkali faktor utama kenapa asy-Syafii lebih banyak
berpegang kepada hadits ketimbang Imam Abu Hanifah
bahkan menerima hadits Ahad bilamana syarat-syaratnya
terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat memahami
illat-illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali

Pengeluaran Aceh

yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits


yang menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para
sahabatnya tidak demikian.
Setelah merujuk al-Quran dan as-Sunnah, asy-Syafii
menjadikan ijma sebagai dalil berikutnya bila menurutnya
tidak ada yang bertentangan dengannya, kemudian baru
Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Quran
dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas
yang dilakukan Imam Abu Hanifah.
Aqidahnya
Di sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana
aqidahnya sama dengan aqidah para ulama Salaf;
menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan
menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa
melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil (penafsiran yang
menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias
mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan
Tathil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat
Allah).
Beliau, misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma`
dan Sifat sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam kitabNya dan Rasulullah dalam haditsnya, bahwa siapa pun
makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya, alQuran sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits
Rasulullah sudah shahih karena diriwayatkan oleh periwayat
yang adil; maka tidak ada alasan baginya untuk
menentangnya dan siapa yang menentang hal itu setelah
hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir
kepada Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum
validnya hujjah atas seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat
ditolerir karena kejahilannya sebab ilmu mengenai hal itu
tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun
pemikiran.
Beliau juga mengimani bahwa Allah Taala Maha
Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas arasy-Nya
dan sebagainya.
Beliau juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan,
perbuatan dan keyakinan dengan hati. (untuk lebih jelasnya,
silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafii karangan
Imam al-Baihaqi; Itiqaad al-A`immah al-Arbaah karya

Syaikh Dr.Muhammad Abdurrahman al-Khumais [sudah


diterjemahkan kurang lebih judulnya-: Aqidah Empat
Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Yaqub])
Syair-Syairnya
Imam asy-Syafii dikenal sebagai salah seorang dari empat
imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga
seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat
menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa
Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau
sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang
merupakan suku arab paling fasih kala itu. Beliau
mempelajari semua syair-syair mereka, karena itu ia
dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa
semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh
sastra Arab semasanya, al-Ashmui sebagaimana telah
disinggung sebelumnya.
Imam Ahmad berkata, asy-Syafii adalah orang yang paling
fasih. Imam Malik terkagum-kagum dengan bacaannya
karena demikian fasih. Karena itu, pantas bila Imam Ahmad
pernah berkata, Tidak seorang pun yang menyentuh tinta
atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafii.
Ayyub bin Suwaid berkata, Ambillah bahasa dari asySyafii.
Hampir semua isi syair yang dirangkai Imam asy-Syafii
bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus
syairnya adalah syair klasik. Alhasil, ia mirip dengan
perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang
berlaku di tengah manusia.
Di antara contohnya,
- Syair Zuhud
Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang
Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut
pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?

Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit


Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?
- Syair Akhaq
Kala memaafkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat
melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapanucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang
paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah
kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih
sayang
Tawadlu, Wara Dan ibadahnya
Imam asy-Syafii terkenal dengan ketawadluan (kerendahan
diri)-nya dan ketundukannya pada kebenaran. Hal ini
dibuktikan dengan pengajiannya dan pergaulannya dengan
teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain. Demikian
juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan
bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan,
kewaraan, ketakwaan dan ketinggian martabatnya.
Sekali pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli
debat, amanah dan hanya mencari kebenaran, namun hal itu
semua bukan karena ingin dipandang dan tersohor. Karena
itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya
yang amat masyhur, Tidaklah aku berdebat dengan
seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah
menjelaskan kebenaran atas lisannya atau lisanku.
Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada
gurunya, asy-Syafii ini; ketika ia ditanya oleh anaknya
tentang gurunya tersebut, Siapa sih asy-Syafii itu hingga
ayahanda memperbanyak doa untuknya? ia menjawab,
Imam asy-Syafii ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat
kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya
ini ada penggantinya.?
Imam asy-Syafii seorang yang faqih bagi dirinya, banyak

akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan


dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia
berkata, Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat
sunnat.
Sekali pun demikian, ar-Rabi bin Sualaiman, muridnya
meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga
wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Quran.
Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa`
meriwayatkan dari ar-Rabi bin Sulaiman yang berkata,
Imam asy-Syafii membagi-bagi malamnya; sepertiga
pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan
sepertiga ketiga untuk tidur.
Menambahi ucapan ar-Rabi tersebut, Adz-Dzahabi berkata,
Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan
dengan niat.
Ya, Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri
kelakuan para ulama. Bila ilmu membuahkan perbuatan,
maka ia akan meletakkan pelakunya di atas jalan
keselamatan.
Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para
ulama yang bekerja (amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan
ahli ibadah (abidiin), yang menjadi tumpuan umat di dalam
menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya,
La hawla wa la quwwata illa billaah.
Imam asy-Syafii tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi
dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh
para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada
tanggal 30 Rajab tahun 204 H.
Alangkah indah isi bait Rats` (syair mengenang jasa baik
orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad
bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafii)
setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu
berkilauan
REFERENSI:
- asy-Syafii; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya

Ahmad Tamam
- Itiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya
Dr.Muhammad Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuuah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafii Syaairan karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafii, terbitan al-Hai`ah alMishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafii (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafii karya Dr.Muhammad alAqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafii
Diringkas dan disadur oleh,
Abu Hafshoh al-Afifah
Hit : 1 | Index Tokoh Islam | kirim ke teman | Versi cetak |
|
|
|
| Pasca
Shahabat Tabi'in TabiutTabi'in Abad 3
|
|
|
H|

|
Kontemporer
|

YAYASAN AL-SOFWA
Jl.Raya Lenteng Agung Barat No.35 PostCode:12810 Jakarta Selatan - Indonesia
Phone: 62-21-78836327. Fax: 62-21-78836326. e-mail: mailto:info@alsofwah.or.id | website:
http://www.alsofwah.or.id/ | Member Info Al-Sofwa
Artikel yang dimuat di situs ini boleh di copy & diperbanyak dengan syarat tidak untuk komersil.

Anda mungkin juga menyukai