Anda di halaman 1dari 2

Definisi politik hukum menurut para ahli dan para pakar secara substantif pada dasarnya

adalah sama. Politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum
yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian
hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dari beberapa pengertian yang ada, inti
dari politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan
pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi
lembaga dan pembinaan dari para penegak hukum. Dari pengertian tersebut terlihat politik
hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat
dan kearah mana hukum akan dibanguan dan ditegakkan. (Moh. Mahfud MD, Politik Hukum
di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009, h.17.)
Perselisihan hasil pemilihan yang menjadi kewenangan MK menyelesaikannya adalah
pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Hanya saja, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
yang terdapat pada Pasal 236C yang menyatakan, Penanganan sengketa hasil penghitungan
suara pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung
dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak UndangUndang ini diundangkan. Dari bunyi pasal tersebut ditegaskan bahwa MK juga diberi
kewenangan untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada).
Namun kewenangan MK menyelesaikan sengketa hanya bertahan selama lebih kurang 5
tahun. Sebab, melalui Putusan Perkara Nomor 97/PUU-XI/2013, MK menyatakan tidak lagi
berwenang menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Salah satu alasan yang
dikemukakan dalam putusan tersebut, pilkada bukanlah rezim pemilu sebagaimana yang
diatur dalam pasal 22E Ayat (2) UUD 1945. (Refly Harun. 2016. Rekonstruksi Kewenangan
Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, Jurnal Konstitusi Volume 13, Mahkama
Konstitusi Republik Indonesia, hal. 2)
Urusan sengketa pilkada tesebut adalah kewenangan badan peradilan khusus yang akan
dibentuk hal itu ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 kemudian mengadopsi sebuah badan peradilan khusus
yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Hanya
saja, menjelang badan peradilan khusus tersebut dibentuk, kewenangan penyelesaian
sengketa hasil pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan
ketentuan Pasal 157 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang menyatakan,
Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh
Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus. (Refly Harun. 2016.
Rekonstruksi Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, Jurnal
Konstitusi Volume 13, Mahkama Konstitusi Republik Indonesia, hal. 2-3)
Pemilu harus dilakukan menurut prinsip-prinsip tertentu sehingga Pemilu itu sendiri dapat
dikatakan sebagai pemilu yang demokrais. Eric Barendt mengemukakan empet prinsip

Pemilu yang harus ditegaskan dalam konstitusi, yaitu berkala (regular), bebas (free),
persamaan (equal), rahasia (secret), dan pengadilan harus memiliki kewenangan untuk
menegakkan prinsip-prinsip tersebut. (Janedjri M. Gaffar. 2013. Demokrasi dan Pemilu di
Indonesia, Konstitusi Press (Konpress), hal. 41)
Agar Pemilu dapat benar-benar menjadi wahana pengejawantahan kedaulatan rakyat dan
hasilnya benar-benar merupakan bentuk kehendak rakyat, telah digariskan asas-asas pemilu,
yaitu jujur dan adil, serta para pemilih dapat menggunakan haknya secara langsung, umum,
bebas, dan rahasia. (Janedjri M. Gaffar. 2013. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia,
Konstitusi Press (Konpress), hal. 44)
Pemilihan kepala daerah secara langsung yang diterapkan di Indonesia tentunya harus dikaji
dalam kerangka teoritis yang lebih komprehensif, artinya selain pengkajiannya mendasarkan
pada konsep demokrasi, juga dalam perspektif konsep politik hukum nasional Indonesia.
Suatu negara disebut negara demokrasi jika pemerintahannya dijalankan dengan
mendasarkan pada filosofi bahwa pemerintahan itu berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat sebagaimana dikemukakan oleh Abraham Lincoln. (Mery Yanti, Menakar
Perkembangan Demokrasi Di Aras Lokal, Jurnal Administratio, Vol. 3 No. 6 Tahun 2009,
Lampung: Jurusan Administrasi Negara FISIP UNILA, hlm. 578; Lihat juga Jamhur Poti,
Demokratisasi Media Massa dalam Prinsip Kebebasan, Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu
Pemerintahan, Vol. 1 No. 1 Tahun 2011, Kepulauan Riau: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UMRAH, hal. 17)
MK mengutip salah satu prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal
menyatakan bahwa tidak seorangpun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan
pe;langgaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorangpun boleh dirugikan oleh
penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain (nullus/nemo commodum
capere potest de injuria sua propria). (Refly Harun. 2016. Refleksi Fenomena
Judicialization of Politics pada Politik Hukum Pembentukan Mahkamah Konstitusi dan
Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 13, Mahkama Konstitusi Republik
Indonesia, hal. 38)
Kebebasan lembaga peradilan dari campur tangan kekuatan di luarnya merupakan masalah
yang sangat esensial dalam penegakan hukum. Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 sendiri menegaskan keharusan kemerdekaan
lembaga peradilan ini. Pembicaraan tentang adanya kekuasaan kehakiman yang bebas tak
dapat dilepaskan dari ide negara hukum. Sebab, gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir
bersamaan dengan gagasan negara demokrasi dan negara hukum. (Moh. Mahfud MD,
Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi Jakarta: Rajawali Pers. hal. 87-88)

Anda mungkin juga menyukai