Skenario 2 Blok Medikolegal
Skenario 2 Blok Medikolegal
SKENARIO 2
TRAUMA PADA KEPALA
Kelompok B-14
Ketua
Sekretaris
Anggota
:
:
:
Reynaldi Fattah Z.
Widi Astuti Rosa
Marlita Adelina P.
Nadhila Adani
Nerissa Arviana R.
Mutiah Chairunnisah
Putri Utari Azde
Wahyu Tanzil Furqan
Windri Sekar Nilam
(1102013246)
(1102013300)
(1102013163)
(1102013196)
(1102013210)
(1102013189)
(1102013236)
(1102013298)
(1102013304)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2016-2017
TRAUMA PADA KEPALA
Perempuan berusia 25 tahun dibawa ke UGD RS dengan penuruna kesadaran setelah tertabrak
motor saat menyebrang jalan 2 jam yang lalu. Sesaat setelah ditabrak pasien pingsan. Dalam
perjalanan ke RS pasien sempat tersadar sekitar 10 menit, kemudian mengeluh nyeri kepala,
muntah, dan kembali tidak sadar. Keluar darah dari hidung dan telinga.
Tanda Vital
Airway
Breathing
Circulation
Regio Wajah
Terlihat adanya brill hematoma. Trauma di daerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan
terlihat adanya cerebrospinal rhinorrea, mobilitas dari maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.
Regio Hidung
Inspeksi
: adanya edema atau deformitas pada hidung (-)
Palpasi
: krepitasi pada hidung (+)
Pemeriksaan fisik menggunakan rinoskopi anterior : clotting (+), perdarahan aktif (-), tampak
laserasi di septum dan konka inferior
Regio Tekinga
Liang telinga : lapang, terdapat laserasi, clotting (+), perdarah aktid (-), membran timpani utuh
Status Neurologis
GCS E1M1V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 5mm/3mm, RCL -/+, RCTL -/+, kesan
hemiparesis dekstra, reflex patologis Babisnky +/-
KATA SULIT
1 Snoring
2 Maloklusi gigi
bentuk normalnya
3 Cerebrospinal rhinorrea
4 Brill hematoma
5 Clotting
PERTANYAAN
1 Mengapa bisa terjadi snoring pada kasus tesrsebut?
2 Mengapa bisa terjadi brill hematoma?
3 Mengapa frekuensi nadi pasien menurun?
4 Apa diagnosis pasien?
5 Mengapa melakukan pemeriksaan refleks patologis Babinski?
6 Mengapa pada status neurologis, pupil anisokor?
7 Mengapa frekuensi nafas pasien menurun?
8 Mengapa terjadi hipertensi?
9 Mengapa bisa terjadi cerebrospinal rhinorrea?
10 Apa yang menyebabkan pasien sakit kepala dan muntah?
11 Pada kasus tersbut termasuk trauma kepala derajat berapa?
12 Bagaiman tatalaksana kasus tersebut?
13 Bagian saraf sebelah mana yang mengalami kerusakan?
14 Apa komplikasi dari trauma kepala?
15 Mengapa ditemukan kesan hemiparesis dekstra?
16 Pemeriksaan fisik dan penunjang apa yang harus dilakukan?
17 Mengapa terdapat krepitasi pada sepertiga tengah wajah?
BRAIN STORMING
1 Kemungkinan adanya sumbatan pada jalan nafas.
2 Pecahnya a. Ophtalmica , darah melalui fisura orbita lalu menumpuk di rongga orbita.
3 Merupakan Cushing response yaitu respon terhadap kenaikan tekanan intrakranial.
4 Kemungkinan adalah trauma wajah dengan fraktur basis cranii dan epidural hematom.
5 Untuk mengetahui lokasi lesi, UMN/LMN
6 Kemungkinan cedera mengenai nervus kranialis 2&3
7 Perdarahan menyebabkan bradikardi, sebagai kompensasinya tekanan darah meningkat,
sentral pernapasan di Formatio Reticularis terganggu sehingga frekuensi napas turun
8 Kompensasi terhadap perdarahan di otak.
9 Trauma kepala menyebabkan serabut tulang tengkorak merobek duramater sehingga
cairan serebrospinal keluar melalui hidung
10 Karena terjadi peningkatan tekanan intra kranial.
11 Termasuk trauma kepala berat GCS 3-8
12 Lakukan
Airway
: bebaskan jalan nafas, pasang ETT
Breathing
: oksigen
Circulation
: Resusitasi NaCl
Dextrose
: Dextrose 5%
13 Semua kecuali pons
2
Hematom subdural
Perdarahan intracerebral
Fraktur campuran
Cedera penetrasi
1.3. Klasifikasi
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka
penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan bentuk dari
benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk
kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda
tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses
langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi:
kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.
Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai dari
Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;
a. Ringan
1.) GCS = 13 15
2.) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
3.) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma
b. Sedang
1.) GCS = 9-12
2.) Kehilangan kesaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam.
3.) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1.) GCS = 13-15
2.) Kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia
3.) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematom intrakranial
1.4. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O 2 dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
5
mempunyai cadangan O2, Jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa. Sebagai bahan
bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 75% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat
otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses metabolic
anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada komosio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam. Lalu hal ini akan menyebaban asidosis
metabolic.
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis tergantung
pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat dan keadaan kepala
sewaktu menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat
mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat pergeseran tulang,
dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak peregangan dan robeknya pembuluh darah
dan lain-lain=lesi media), dan lesi kontra (counter coup). Berdasarkan hal tersebut cedera otak
dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder
a. Kerusakan Primer
Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat
dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat
bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan
bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung kepada mekanisme trauma yang terjadi
sedangkan kerusakan difus adalah suatu keadaan patologis penderita koma (penderita
yang tidak sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval lucid) tanpa
gambaran Space Occupying Lesion (SOL) pada CT-Scan atau MRI.
b. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak,
tekanan darah tinggi.
6
1.5.Manifestasi klinik
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
Battle sign (warnabiru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:
Pasientertidurataukesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
Mual atau dan muntah.
Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
Perubahan keperibadian diri.
Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:
Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
8
MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi edema, perdarahan dan trauma.
EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
(fraktur),
perubahan
struktur
BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial
Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrkranial
Screen Toxicologi
10
Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma kadang terjadi, diduga berkaitan dengan kejang awal yang terjadi
pada minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur depresi. Fenitoin adalah obat
yang biasa diberikan pada fase akut. Dosis dewasa awalnya adalah 1 g intravena dengan
kecepatan pemberian < 50 mg/menit dan dosis pemeliharaannya adalah 100 mg/8 jam,
dengan titrasi untuk mencapai kadar terapeutik serum. Pada pasien dengan kejang lama,
diazepam atau lorazepam digunakan digunakan sebagai tambahan sampai kejang berhenti.
1.8 Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999) pada cedera
kepala meliputi
a. Koma
b. Kejang/Seizure
c. Infeksi
d. Hilangnya kemampuan kognitif
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
1.9. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan
terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan adalah
12
untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas,
memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
2. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intrakranial Akibat Trauma
2.1. Epidural Hematoma
Definisi
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater
( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis ini biasanya berasal dari
perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau
robekan arteri-arteri meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai
dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan
robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang
terjadi hanya sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih
jarangterjadi.
Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
1. Trauma kepala
2. Sobekan a/v meningea mediana
3. Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
4. Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier
yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur
tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % )
disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anakanak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara.Hematom jenis ini yang berasal
dari perdarahan vena lebih jarang terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus
duramatris oleh fraktur oksipital, parietal atau tulang sfenoid.
Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi (1,3)
1.Akut
:ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2.Subakut
:ditentukan diagnosisnya antara 24 jam 7 hari
3.Kronis
: ditentukan diagnosisnya hari ke 7
Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang
lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan
fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal
tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketika terjadi garis
fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.
Gejala Klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
13
Terapi Bedah
Berdasarkan pada Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury,
perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa
mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural
memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5
mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan
status kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi. Lokasi juga
merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom temporal, jika
cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan lebih
cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan
gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang
yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.
2.2. Subdural Hematoma
Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid.
Perdarahan subdural dapat berasal dari :
1. Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan
subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus
venosus dura mater.
2. Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid
Etiologi
1. Trauma kepala.
2. Malformasi arteriovenosa.
3. Diskrasia darah.
4. Terapi antikoagulan
Patofisiologi
Vena cortical menuju dural atau sinus dural pecah dan mengalami memar atau laserasi,
adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan contusio
serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah
dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
Gejala Klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai
penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat
deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan
intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat
kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala
yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.
15
Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya
dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua
dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah
mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi
(diandingkan dengan burr-hole saja).
2.3. Intraserebral Hematom
Definisi
Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral pasca
traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau
robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal otak atau kadangkadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai
beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam
substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak).
Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
1. Trauma kepala.
2. Hipertensi.
3. Malformasi arteriovenosa.
4. Aneurisme
5. Terapi antikoagulan
6. Diskrasia darah
Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.
Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanya 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah
ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur
kalvaria.
Gejala Klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan
hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4
hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi otak diagnosanya
dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial :
16
17
Gambar 1. Anatomi
Tulang Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik
dalam membentuk wajah manusia. Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya
lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang
membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga
mata (orbita). Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian: (Mansjoer, 2000)
a. Bagian hidung terdiri atas:
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung di sudut
mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os
Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya
berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis
yang tegak (Boeis, 2002).
b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yang terdiri dari
dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua buah
tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian
yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan
dari mandibula terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot (Boeis, 2002).
18
menguntungkan,
dikaitkan
dengan
garis
20
21
22
Gambar 11A. Fraktur Le Fort I, 10B. Fraktur Le Fort II, 10C Fraktur Le Fort III
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral.
Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara
visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis
periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan
mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto rontgen
proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.Perawatan Fraktur
Maksila (Thomas, 2007)
Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu
sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada masingmasing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan defenitif dilakukan, maka
hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni
berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan
ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang harus
23
26
27
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah
rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang
tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah
pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen
cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus
tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat
dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan
daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak
tersedia, maka foto polos x-ray dapat memberikan informasi yang bermanfaat.
Diperlukan foto posisi AP, lateral, Townes view dan tangensial terhadap bagian
yang mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos
cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau
pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur,
pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses
osteolitik atau osteoblastik.
2. CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa
fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan
1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi.
CT scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital,
tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
3. MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan
penunjang tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan
vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT
scan. MRI memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT
scan.
c. Pemeriksaan Penunjang Lain
Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya
kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan
adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang
kemudian disebut suatu halo atau ring sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat
diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu
polipeptida yang berperan dalam transport ion Fe.
28
craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari
lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan
jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna
bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal.
Kerugian teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti
edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen.
Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa Craniii anterior.
Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.
Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus
endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan
sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal
etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral,
tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang
yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan
80%. Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang
abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.
Otorrhea
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta arakhnoid
robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa diklasifi- kasikan
menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang
dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien dengan fraktura
longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari
telinga luar. Pasien dengan fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik
normal dan memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin,
kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50
persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang
transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti
spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore
mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang,
dimana ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.(2)
Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab paling sering
dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus
segera diberikan,Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan
ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi
antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.(3)
Pnemocephalus:
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui menings.Meningkatnya
tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity melalui defek pada
duramater dan menjadi terperangkap.Tik yang meningkat dapat memperbesar defek yang
ada dan menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari:
30
operasi untuk membebaskan udara intracranial,serta memperbaiki defek yang ada, dan
tredelenburg position.
4.6. Komplikasi
- Mengingoensefalitis
- abses serebri.
- Lesi nervii cranialis permanen
- Liquorrhea.
- CCF (Carotis cavernous fistula).
DAFTAR PUSTAKA
Bamberger D. Diagnosis, initial management and prevention of meningitis, University of Missouri
Kansas City School of Medicine, Kansas City, Missouri.
Bates, B. (1997). Buku Saku Pemeriksaan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Boss BJ. Alterations of Neurologic Function. In : Understanding Pathophysiology 3rd edition.
Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. 1991.Gajah Mada
University.
Cohen SM, Marion DW. Traumatic Brain Injury. In : Textbook of Critical Care Fifth Edition. Fink
De Jong, W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Guyton. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Harsono.2003. Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajah Mada University Press.
Haryono Y. 2006. Rinorea cairan serebrospinal. USU. Departemen THT-KL FK USU.
Huether SE, McCance KL. editors. 2004. Mosby, Inc. St. Louis. p. 392-95
Iskandar J. 1981. Cedera Kepala. PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia. Jakarta.
Japardi I. 2004. Cedera Kepala. PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.
Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Masjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
31
MP, Abraham E, Vincent J, Kochanek PM. editors. 2005. Elsevier Inc. Philadelphia.
Nadeau K. 2004.Neurologic injury(chapter 29).
Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika
Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas, Papadimos , Stawicki SPA. 2010.
Traumatic tension pneumocephalus: Two cases and comprehensive review of
literature.
Porth C M, Gaspard KJ. 2004. Essential of Pathophysiology. Philadelphia.
Price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Volume 1 dan 2. Jakarta : EGC
Sidharta P, Mardjono M. 1981. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta.
Swartz, M. 1997. Intisari Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EG.
32