Anda di halaman 1dari 33

WRAP UP

SKENARIO 2
TRAUMA PADA KEPALA

Kelompok B-14
Ketua
Sekretaris
Anggota

:
:
:

Reynaldi Fattah Z.
Widi Astuti Rosa
Marlita Adelina P.
Nadhila Adani
Nerissa Arviana R.
Mutiah Chairunnisah
Putri Utari Azde
Wahyu Tanzil Furqan
Windri Sekar Nilam

(1102013246)
(1102013300)
(1102013163)
(1102013196)
(1102013210)
(1102013189)
(1102013236)
(1102013298)
(1102013304)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2016-2017
TRAUMA PADA KEPALA

Perempuan berusia 25 tahun dibawa ke UGD RS dengan penuruna kesadaran setelah tertabrak
motor saat menyebrang jalan 2 jam yang lalu. Sesaat setelah ditabrak pasien pingsan. Dalam
perjalanan ke RS pasien sempat tersadar sekitar 10 menit, kemudian mengeluh nyeri kepala,
muntah, dan kembali tidak sadar. Keluar darah dari hidung dan telinga.
Tanda Vital
Airway
Breathing
Circulation

: terdapat bunyi snoring


: frekuensi nafas 10x/menit
: tekanan darah 160/90 mmHg, frekuensi nadi 40x/menit

Regio Wajah
Terlihat adanya brill hematoma. Trauma di daerah sepertiga tengah wajah, pada pemeriksaan
terlihat adanya cerebrospinal rhinorrea, mobilitas dari maxilla, krepitasi dan maloklusi dari gigi.
Regio Hidung
Inspeksi
: adanya edema atau deformitas pada hidung (-)
Palpasi
: krepitasi pada hidung (+)
Pemeriksaan fisik menggunakan rinoskopi anterior : clotting (+), perdarahan aktif (-), tampak
laserasi di septum dan konka inferior
Regio Tekinga
Liang telinga : lapang, terdapat laserasi, clotting (+), perdarah aktid (-), membran timpani utuh
Status Neurologis
GCS E1M1V1, pupil : bulat, anisokor, diameter 5mm/3mm, RCL -/+, RCTL -/+, kesan
hemiparesis dekstra, reflex patologis Babisnky +/-

KATA SULIT
1 Snoring
2 Maloklusi gigi
bentuk normalnya
3 Cerebrospinal rhinorrea
4 Brill hematoma
5 Clotting

: suara mengorok aakibat sumbatan aliran nafas


: bentuk rahang atas dan bawah yang menyimpang dari
: cairan serebrospinal yang keluar dari hidung
: echimosis bilateral, racoon eye
: penggumpalan darah

PERTANYAAN
1 Mengapa bisa terjadi snoring pada kasus tesrsebut?
2 Mengapa bisa terjadi brill hematoma?
3 Mengapa frekuensi nadi pasien menurun?
4 Apa diagnosis pasien?
5 Mengapa melakukan pemeriksaan refleks patologis Babinski?
6 Mengapa pada status neurologis, pupil anisokor?
7 Mengapa frekuensi nafas pasien menurun?
8 Mengapa terjadi hipertensi?
9 Mengapa bisa terjadi cerebrospinal rhinorrea?
10 Apa yang menyebabkan pasien sakit kepala dan muntah?
11 Pada kasus tersbut termasuk trauma kepala derajat berapa?
12 Bagaiman tatalaksana kasus tersebut?
13 Bagian saraf sebelah mana yang mengalami kerusakan?
14 Apa komplikasi dari trauma kepala?
15 Mengapa ditemukan kesan hemiparesis dekstra?
16 Pemeriksaan fisik dan penunjang apa yang harus dilakukan?
17 Mengapa terdapat krepitasi pada sepertiga tengah wajah?
BRAIN STORMING
1 Kemungkinan adanya sumbatan pada jalan nafas.
2 Pecahnya a. Ophtalmica , darah melalui fisura orbita lalu menumpuk di rongga orbita.
3 Merupakan Cushing response yaitu respon terhadap kenaikan tekanan intrakranial.
4 Kemungkinan adalah trauma wajah dengan fraktur basis cranii dan epidural hematom.
5 Untuk mengetahui lokasi lesi, UMN/LMN
6 Kemungkinan cedera mengenai nervus kranialis 2&3
7 Perdarahan menyebabkan bradikardi, sebagai kompensasinya tekanan darah meningkat,
sentral pernapasan di Formatio Reticularis terganggu sehingga frekuensi napas turun
8 Kompensasi terhadap perdarahan di otak.
9 Trauma kepala menyebabkan serabut tulang tengkorak merobek duramater sehingga
cairan serebrospinal keluar melalui hidung
10 Karena terjadi peningkatan tekanan intra kranial.
11 Termasuk trauma kepala berat GCS 3-8
12 Lakukan
Airway
: bebaskan jalan nafas, pasang ETT
Breathing
: oksigen
Circulation
: Resusitasi NaCl
Dextrose
: Dextrose 5%
13 Semua kecuali pons
2

14 Amnesia, lumpuh, epilepsi


15 Kemungkinan terdapat lesi pada cerebri sinistra.
16 Vital sign, GCS, pupil, pola nafas, okulomotor, motorik, tanda rangsang meningeal,
reflek patologis
17 Karena ada fraktur pada 1/3 tengah wajah (Os. Maxilla)
HIPOTESIS
Trauma kepala disertai fraktur basis cranii dan perdarahan epidural menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial yang ditandai dengan bradikardi, hipertensi, bradipnea, nyeri kepala dan
muntah. Pemeriksaan yang dilakukan berupa tanda vital, GCS, pupil, okulomotor, motorik, pola
nafas, tanda rangsang meningeal, dan reflek patologis Babinski untuk mengetahui letak lesi.
Hasil dari pemeriksaan terdapat fraktur pada 1/3 tengah wajah, cedera nervus kranialis 2 dan 3,
trauma kepala berat, kemungkinan lesi pada cerebri sinistra dan mesencephalon, adanya
sumbatan pada jalan nafas, dan fraktur basis cranii. Penanganan berupa airway, breathing,
circulation dan dextrose. Komplikasi yang dapat dialami pasien berupa epilepsi, amnesia dan
kelumpuhan.
SASARAN BELAJAR
1 Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala
1.1 Definisi
1.2 Etiologi
1.3 Klasifikasi
1.4 Patofisiologi
1.5 Manifestasi klinis
1.6 Diagnosis dan Diagnosis banding
1.7 Tatalaksana
1.8 Komplikasi
1.9 Pencegahan
2 Memahami dan Menjelaskan Fraktur Sepertiga Tengah Wajah
3 Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intrakranial Akibat Trauma
3.1 Klasifikasi
3.2 Manifestasi klinis
3.3 Diagnosis dan Diagnosis banding
3.4 Tatalaksana
4 Memahami dan Menjelaskan Fraktur Maxilla Facial

1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala


1.1. Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
1.2. Etiologi
Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam
Tabel 1. Penyebab cedera kepala
Jenis cedera
Mekanisme
Coup dan countrecoup
Objek yang membentur bagian depan (coup) atau bagian
belakang (countrecoup) kepala; objek yang membentur bagian
samping kepala (coup atau countrecoup); kepala yang
mengenai objek dengan kecepatan rendah
Hematom ekstradural

Kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, kecelakaan saat olahraga

Hematom subdural

Kecelakaan lalu lintas atau terjatuh, khususnya pada orang


berusia tua atau orang dengan penyalahgunaan alkohol yang
kronik

Perdarahan intracerebral

Kontusi yang disebabkan oleh gaya dengan kekuataan yang


besar, biasanya akibat kecelakaan lalu lintas atau terjatuh dari
jarak yang jauh
Objek yang mengenai kepala dengan kekuatan yang besar
atau kepala yang membentur objek dengan sangat kuat;
fraktur tulang temporal, fraktur tulang occipital, dampak ke
arah atas dari vertebra cervical (fraktur dasar tulang
tengkorak)

Fraktur campuran

Cedera penetrasi

Misil (peluru) atau proyektil yang tajam (pisau, pemecah es,


kapak, baut)

Cedera aksonal difus

Kepala yang sedang bergerak dan membentur permukaan


yang keras atau objek yang sedang bergerak membentur
kepala yang dalam kondisi diam; kecelakaan lalu lintas (saat
kerja atau pejalan kaki); gerakan kepala memutar

1.3. Klasifikasi
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka
penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan bentuk dari
benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk
kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda
tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses
langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi:
kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.
Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai dari
Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;
a. Ringan
1.) GCS = 13 15
2.) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
3.) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma
b. Sedang
1.) GCS = 9-12
2.) Kehilangan kesaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam.
3.) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1.) GCS = 13-15
2.) Kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia
3.) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematom intrakranial
1.4. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O 2 dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
5

mempunyai cadangan O2, Jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa. Sebagai bahan
bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 75% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat
otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses metabolic
anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada komosio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam. Lalu hal ini akan menyebaban asidosis
metabolic.
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis tergantung
pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat dan keadaan kepala
sewaktu menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat
mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat pergeseran tulang,
dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak peregangan dan robeknya pembuluh darah
dan lain-lain=lesi media), dan lesi kontra (counter coup). Berdasarkan hal tersebut cedera otak
dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder
a. Kerusakan Primer
Kerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat
dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat
bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan
bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung kepada mekanisme trauma yang terjadi
sedangkan kerusakan difus adalah suatu keadaan patologis penderita koma (penderita
yang tidak sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval lucid) tanpa
gambaran Space Occupying Lesion (SOL) pada CT-Scan atau MRI.

b. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak,
tekanan darah tinggi.
6

1.5.Manifestasi klinik
Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
Battle sign (warnabiru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan:
Pasientertidurataukesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.
Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
Mual atau dan muntah.
Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
Perubahan keperibadian diri.
Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:
Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
8

Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).


Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.
1.6. Diagnosis dan Diagnosis Banding
A Pemeriksaan
a Neurologis
(1) Tingkat Kesadaran
Tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini
harus dilakukan secara periodik untuk menilai perbaikan atau perburukan keadaan
pasien. Tingkat kesadaran tidak akan terganggu jika cedera hanya terbatas pada satu
hemisfer otak, tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua hemisfer mulai terlibat,
atau jika ada proses patologis akibat penekanan atau cedera pada batang otak.
(2) Pupil dan Pergerakan Bola Mata, Termasuk Saraf Kranial
Penilaian pupil menunjukkan fungsi mesensefalon dan sangat penting pada
cedera kepala, karena :
Bagian kepala yang mengendaikan kesadaran seara antomis terletak
berdekatan dengan pusat yang mengatur reaksi pupil.
Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap gangguan
metabolik, sehingga bisa membedakan koma-metabolik atau koma struktural.
Reaksi okulosefalik (Dolls head eye phenomenon) dan reaksi terhadap tes
kalori (okulovestibuler) menunjukkan fungsi medla oblongata dan pons. Jangan
melakukan pemeriksaan okulosefalik jika cedera servikal beum dapat disingkirkan.
Reaksi okulovestibuler lebih superior daripada reaksi okulosefalik.
(3) Reaksi Motorik Berbagai Rangsang Dari Luar
Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu reaksi dari penderita
(spontan, rangsangan suara, nyeri, atau tanpa respon) berbanding lurus dengan
dalamnya penurunan kesadaran.
(4) Reaksi Motorik Terbaik
Terbagi atas :
Gerakan bertujuan jelas
Kekuatan gerakan harus dinilai menjadi :
o +5 : kekuatan gerakan normal
o +4 : kekuatan gerakan mendekati normal
o +3 : mampu melawan gravitasi
o +2 : dapat bergeser, tidak dapat melawan gravitasi
o +1 : tampak gerakan otot, tapi belum bergeser
Gerakan bertujuan tidak adekuat
Postur fleksor
Postur ekstensor
Diffise muscle flaccidity

(5) Pola Pernapasan


Pernapasan merupakan suatu kegiatan sensorimotor terintegrasi dari
keterlibatan berbagai saraf yang terletak pada hampir semua tingkat otak dan bagian
atas spinal cord. Kerusakan pada berbagai tingkat pada SSP akan memberikan
gambaran pola pernapasan yang berbeda.

CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)


Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.

MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder
menjadi edema, perdarahan dan trauma.

EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

(fraktur),

perubahan

struktur

BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

CSF, Lumbal Pungsi


Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk
mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.

ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial

Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrkranial

Screen Toxicologi
10

Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran


Diagnosis Banding
Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar, kita harus membedakan cedera
kepala tertutup dengan penyebab lainnya, seperti: koma diabetik, koma alkoholik, CVD
atau epilepsy (jika pasien kejang).
1.7. Tatalaksana
1. Airway
Membersihkan jalan nafas dengan memperhatikan kontrol servikal. Pasang
servikal collar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada cedera servikal.
Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada penderita koma.
2. Breathing
Penderita diberikan ventilasi dengan oksigen 100 % sampai diperoleh hasil
pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap
FiO2. Penggunaan pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2 (target
> 98%).
3. Circulation
Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat,
walaupun tidak selalu tampak jelas. Pada penderita yang hipotensi, harus segera
distabiisasi untuk mencapai euvolemia, segera lakukan pemberian cairan untuk
mengganti volume yang hilang dengan perbandigan 3:1 (300 ml RL/100 mL darah yang
hilang).
Kriteria Rawat :
Amnesia post traumatika jelas (> 1jam )
Riwayat kehilangan kesadaran
Penurunan tingkat kesadaran
Nyeri kepala sedang hingga berat
Intoksikasi alkohol atau obat
Fraktur tengkorak
Kebocoran CSS, Otorrhea, atau rinorrhea
Cedera penyerta yang jelas
Tidak punya orang serumah yang dapat bertanggung jawab
CT-Scan Abnormal atau tidak ada
Semua cedera tembus
Kriteria Pemulangan :
Tidak memenuhi kriteria rawat
Diskusikan kemungkinan kembali kerumah sakit bila keadaan memburuk dan
berikan lembaran observasi
Jadwalkan untuk kontrol ulang (1 minggu)
11

Terapi Medikamentosa Cedera Otak


Tujuan utamanya adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak yang
telah mengalami cedera.
i Cairan Intravena
Diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemia. Jangan memberikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung
glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera.
Karena itu, cairan yang dianjurkan adalah larutan garam fisiologis atau Ringers Lactate.
ii Manitol
Merupakan diuretik osmotik yang poten, digunakan untuk menurunkan TIK yang
meningkat. Sediaan yang tersedia adalah cairan dengan konsentrasi 20%. Dosis yang
diberikan adalah 1 g/kg BB intravena. Jangan diberikan pada pasien yang hipotensi.
Indikasinya adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadinya dilatasi pupil,
hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat pasien observasi. Pada keadaan ini, berikan bolus
manitol dengan cepat (dalam 5 menit) dan penderita langsung dibawa ke CT-Scan atau kamar
operasi (bila sebab telah diketahui dengan CT-Scan).
iii Furosemid
Diberikan bersama manitol, dosis yang biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB
diberikan secara intravena, tapi jangan diberikan pada pasien hipovolemik.
iv Barbiturat
Bermanfaat menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain. Tapi jangan
diberikan pada keadaan hipotensi dan hipovolemik
v

Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma kadang terjadi, diduga berkaitan dengan kejang awal yang terjadi
pada minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur depresi. Fenitoin adalah obat
yang biasa diberikan pada fase akut. Dosis dewasa awalnya adalah 1 g intravena dengan
kecepatan pemberian < 50 mg/menit dan dosis pemeliharaannya adalah 100 mg/8 jam,
dengan titrasi untuk mencapai kadar terapeutik serum. Pada pasien dengan kejang lama,
diazepam atau lorazepam digunakan digunakan sebagai tambahan sampai kejang berhenti.
1.8 Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999) pada cedera
kepala meliputi
a. Koma
b. Kejang/Seizure
c. Infeksi
d. Hilangnya kemampuan kognitif
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
1.9. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan
terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan adalah
12

untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas,
memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
2. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intrakranial Akibat Trauma
2.1. Epidural Hematoma
Definisi
Hematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater
( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis ini biasanya berasal dari
perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau
robekan arteri-arteri meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai
dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan
robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang
terjadi hanya sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih
jarangterjadi.
Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi :
1. Trauma kepala
2. Sobekan a/v meningea mediana
3. Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum
4. Ruptur v diplorica
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier
yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur
tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % )
disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anakanak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara.Hematom jenis ini yang berasal
dari perdarahan vena lebih jarang terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus
duramatris oleh fraktur oksipital, parietal atau tulang sfenoid.
Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi (1,3)
1.Akut
:ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma
2.Subakut
:ditentukan diagnosisnya antara 24 jam 7 hari
3.Kronis
: ditentukan diagnosisnya hari ke 7
Patofisiologi
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang
lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan
fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal
tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketika terjadi garis
fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.
Gejala Klinis
Gejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;
13

1. Interval lusid (interval bebas)


Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan
perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari
50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari
saat terjadinya cedera. Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya
jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid.
Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval ini
menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena
trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial.
Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang
dimungkinkan berasal dari arteri.
2. Hemiparesis
Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek
pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan
dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan
tentorial.
3. Anisokor pupil
Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun
sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya
kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Tatalaksana
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2)
pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang
memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume
lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan
pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute konservatif. Tidak semua kasus
perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera. Jika lesinya kecil dan
pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan pemeriksaan
neurologis berkala cukup masuk akal. Meskipun manajemen konservatif sering
ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian klinis, publikasi terbaru Guidelines for the
Surgical Management of Traumatic Brain Injury merekomendasikan bahwa pasien yang
memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya, dan < 5 mm midline
shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani secara non-operatif.
Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran hematom
nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural terhambat telah
dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien
memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus
diindikasikan.
14

Terapi Bedah
Berdasarkan pada Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury,
perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa
mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural
memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5
mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan
status kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi. Lokasi juga
merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom temporal, jika
cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan lebih
cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan
gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang
yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial.
2.2. Subdural Hematoma
Definisi
Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid.
Perdarahan subdural dapat berasal dari :
1. Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan
subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus
venosus dura mater.
2. Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid
Etiologi
1. Trauma kepala.
2. Malformasi arteriovenosa.
3. Diskrasia darah.
4. Terapi antikoagulan
Patofisiologi
Vena cortical menuju dural atau sinus dural pecah dan mengalami memar atau laserasi,
adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan contusio
serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah
dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.
Gejala Klinis
Gejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai
penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat
deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan
intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat
kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala
yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.
15

Terapi
Tindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya
dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua
dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah
mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi
(diandingkan dengan burr-hole saja).
2.3. Intraserebral Hematom
Definisi
Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral pasca
traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau
robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal otak atau kadangkadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai
beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.
Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam
substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak).
Etiologi
Intraserebral hematom dapat disebabkan oleh :
1. Trauma kepala.
2. Hipertensi.
3. Malformasi arteriovenosa.
4. Aneurisme
5. Terapi antikoagulan
6. Diskrasia darah
Klasifikasi
Klasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;
1. Hematom supra tentoral.
2. Hematom serbeller.
3. Hematom pons-batang otak.
Patofisiologi
Hematom intraserebral biasanya 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah
ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur
kalvaria.
Gejala Klinis.
Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan
hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4
hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi otak diagnosanya
dapat ditegakkan lebih cepat.
Kriteria diagnosis hematom supra tentorial :
16

nyeri kepala mendadak


penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.
Tanda fokal yang mungkin terjadi
Hemiparesis / hemiplegi
Hemisensorik
Hemi anopsia homonim
Parese nervus III.

Kriteria diagnosis hematom serebeller ;


Nyeri kepala akut.
Penurunan kesadaran.
Ataksia
Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.
Kriteria diagnosis hematom pons batang otak:
Penurunan kesadaran koma.
Tetraparesa
Respirasi irreguler
Pupil pint point
Pireksia
Gerakan mata diskonjugat.
Terapi
Untuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan darah
harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra cerebral hematom
yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan
monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan.
Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan
neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis
Konservatif
Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial
Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller
Bila perdarahan pons batang otak.
Pembedahan
Kraniotomi
- Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan efek massa
- Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan efek massa

17

3. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Maksilofasial


3.1 Anatomi Maksilofasial

Gambar 1. Anatomi

Tulang Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik
dalam membentuk wajah manusia. Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya
lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang
membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga
mata (orbita). Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian: (Mansjoer, 2000)
a. Bagian hidung terdiri atas:
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung di sudut
mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas. Dan Os
Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung dan bentuknya
berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis
yang tegak (Boeis, 2002).
b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yang terdiri dari
dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua buah
tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian
yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan
dari mandibula terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot (Boeis, 2002).
18

3.2. Definisi Trauma Maksilofasial


Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang
menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah
adalah tulang kepala (Ariwibowo, 2008).
Trauma Jaringan lunak
1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.
2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.
3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.
4. Cedera kelopak mata.
5. Cedera telinga.
6. Cedera hidung.
Trauma Jaringan keras
1. Fraktur sepertiga atas muka.
2. Fraktur sepertiga tengah muka.
a) Fraktur hidung (os nasale).
b) Fraktur maksila (os maxilla).
c) Fraktur zigomatikum (os zygomaticum dan arcus zygomaticus).
d) Fraktur orbital (os orbita).
3. Fraktur sepertiga bawah muka.
a) Fraktur mandibula (os mandibula).
b) Gigi (dens).
c) Tulang alveolus (os alveolaris).
3.3. Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan
fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah
penyebab utama trauma maksilofasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan
pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya
terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%
kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas
(Ghazali 2007).
3. 4 Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan
keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya
disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau
pisau dan golok pada perkelahian (Ghazali, 2007).
a. Trauma Jaringan Lunak Wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari
luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan (Wim de
Jong, 2000):
19

1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab


a. Ekskoriasi
b. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek (vulnus laceratum), luka tusuk (vulnus
punctum)
c. Luka bakar (combustio)
d. Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
Skin Avulsion & Skin Loss
3. Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak
Langer.(Gambar 1)

menguntungkan,

dikaitkan

dengan

garis

b. Trauma Jaringan Keras Wajah


Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang
terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif. Secara umum dilihat dari
terminologinya trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan
(Padersen, 2007):
1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomis dan estetik
a. Bersifat single

: Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla,


mandibula, gigi dan alveolus.
b. Bersifat multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks
mandibula.

Gambar 3. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D.


Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis (Banks, 1990)

20

Gambar 4. A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah inferomedial. B


Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis (Pedersen, 2007)
2. Dibedakan berdasarkan kekhususan (Padersen, 2007)
a. Fraktur Dinding Orbita
Fraktur dinding orbital adalah terputusnya kontinuitas antara jaringanjaringan pada dinding orbital dengan atau tanpa keterlibatan tulang-tulang di
daerah sekitarnya. Faktor penyebab bervariasi. Kecelakaan lalu lintas merupakan
faktor etiologi yang dominan yang bertanggung jawab menyebabkan terjadinya
fraktur dinding inferior orbita. Faktor lain fraktur dinding inferior orbita adalah
akibat perkelahian. Selain itu, bisa juga diakibatkan karena senjata yang tumpul
atau tajam. Faktor etiologi lain yang mengakibatkan fraktur dinding inferior
orbital adalah kecelakaan pekerjaan, contohnya jatuh dari tempat yang tinggi atau
alat yang jatuh ke kepala atau kecelakaan ketika berolahraga terutamanya
olahraga seperti tinju, kriket, hoki serta sepak bola, tembakan serta gigitan hewan.
Terdapat dua teori yang dapat menjelaskan terjadinya fraktur dinding
inferior orbita, atau fraktur blow-out. Teori yang predominan mengatakan bahwa
fraktur ini disebabkan kenaikan tekanan intraorbita yang terjadi secara mendadak
apabila suatu objek yang lebih besar dari diameter orbita rim memukul. Teori
yang kedua menyatakan bahwa suatu objek yang mengenai orbita dengan keras
akan mengakibatkan daya yang menekan pada inferior orbita rim dan seterusnya
akan merusak dinding inferior orbita. Teori ini juga menjelaskan bagaimana
fraktur blow-in terjadi. Fujino dan Makino menyokong teori ini. Mereka percaya
bahwa penyebab utama mekanisme terjadinya fraktur adalah daya yang mengenai
orbita rim. Derajat peningkatan tekanan orbital kemudiannya yang menentukan
jaringan orbital didorong ke dalam orbita atau ke sinus maksila.
Fraktur pureblow-out biasanya terjadi apabila suatu objek tumpul yang
lebih besar dari diameter orbital rim seperti tinju, siku, bola baseball, bola tenis,
atau bola hoki. Isi orbita akan terkompresi ke posterior, mengarah ke arah apeks
orbita. Oleh karena bagian posterior orbita tidak bisa mengakomodasi
peningkatan volume jaringan ini, tulang orbita akan patah di titik yang paling
lemah yaitu pada dinding inferiornya. Jika daya terjadi dari objek yang lebih kecil
dari diameter orbital rim, bola mata akan ruptur atau isi orbital mengalami
kerusakan tanpa terjadinya fraktur.
b. Fraktur Zygoma (Thomas, 2007)

21

Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara elektif. Fraktur


arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan Gillies klasik. Fraktur Le
FortI, Le Fort II, dan Le Fort III (Thomas, 2007)
1. Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau
bergabung dengan fraktur fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I,
garis frakturnya dalam jenis fraktur transversus rahang atas melalui lubang
piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke
posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan
palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah
blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur
transmaksilari.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,
pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi
terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat adanya open bite anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri.
Selanjutnya pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan
proyeksi wajah anterolateral.
2. Fraktur Le Fort II (Thomas, 2007)
Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip
dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya
dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura
zigomatikomaksilaris dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena.
Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, biasa
merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan
sering tidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan
oklusinya tidak separah pada Le Fort I.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam dua
pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral,
pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat
terlihat pupil cenderung sama tinggi, ekimosis dan edema periorbital. Sedangkan
secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah,
mati rasa pada daerah kulit yang dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak separah jika
dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan
pemeriksaan dengan foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos
dan CT scan.

22

3. Fraktur Le Fort III (Thomas, 2007)


Le Fort III adalah Fraktur kraniofasial disjunction, merupakan cedera yang
parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni
basis kranii. Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang
mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa
mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma
intrakranial.

Gambar 11A. Fraktur Le Fort I, 10B. Fraktur Le Fort II, 10C Fraktur Le Fort III
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort III dilakukan secara ekstra oral.
Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi. Secara
visualisasi dapat terlihat pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis
periorbital bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan
mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto rontgen
proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT scan.Perawatan Fraktur
Maksila (Thomas, 2007)
Perawatan pada masing-masing fraktur maksilofasial itu berbeda satu
sama lain. Oleh sebab itu perawatannya akan dibahas satu per satu pada masingmasing fraktur maksilofasial. Tetapi sebelum perawatan defenitif dilakukan, maka
hal yang pertama sekali dilakukan adalah penanganan kegawatdaruratan yakni
berupa pertolongan pertama (bantuan hidup dasar) yang dikenal dengan singkatan
ABC. Apabila terdapat perdarahan aktif pada pasien, maka hal yang harus
23

dilakukan adalah hentikanlah dulu perdarahannya. Bila pasien mengeluh nyeri


maka dapat diberi analgetik untuk membantu menghilangkan rasa nyeri. Setelah
penanganan kegawatdaruratan tersebut dilaksanakan, maka perawatan defenitif
dapat dilakukan.
Pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi
maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari
pengawatan sirkumzigomatik. Apabila segmen fraktur mengalami impaksi, maka
dilakukan pengungkitan dengan menggunakan tang pengungkit, atau secara tidak
langsung dengan menggunakan tekanan pada splint/arch bar.
Sedangkan perawatan pada fraktur Le Fort II serupa dengan fraktur Le
Fort I. Hanya perbedaannya adalah perlu dilakukan perawatan fraktur nasal dan
dasar orbita juga. Fraktur nasal biasanya direduksi dengan menggunakan molding
digital dan splinting.
Selanjutnya, pada fraktur Le Fort III dirawat dengan menggunakan arch
bar, fiksasi maksilomandibular, pengawatan langsung bilateral atau pemasangan
pelat pada sutura zigomatikofrontalis dan suspensi kraniomandibular pada
prosessus zigomatikus ossis frontalis.
3.5 Manifestasi Klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa (Grabb and Smith 2007;
Thomas, 2007)
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur
mandibula.
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah
fraktur.
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang yang
fraktur.
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah nervus
alveolaris.
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus.
3.6 Diagnosis
Pemeriksaan fisik
Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut :
a. Lokasi nyeri dan durasi nyerinya.
b. Adanya Krepitasi.
c. Fraktur.
Tanda pasti fraktur adalah pemendekan, rotasi, angulasi, dan false movement
d. Deformitas, kelainan bentuk.
24

e. Trismus (tonik kontraksi rahang)


f. Edema.
g. Ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas.
3.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma maksilofasial yaitu meliputi :
1. Periksa kesadaran pasien.
2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :
Apakah asimetris atau tidak.
Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.
3. Apakah ada hematoma :
a. Fraktur zigomatikus
Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara cepat
sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam. Periksa mulut bagian
dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada hematoma, nyeri tekan dan
krepitasi pada dinding zigomatikus.
b. Fraktur nasal
Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah medial.
c. Fraktur Orbita
Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah
Apakah sejajar atau bergeser
Apakah pasien bisa melihat
Apakah dijumpai diplopia
Hal ini karena :
o Pergeseran orbita
o Pergeseran bola mata
o Paralisis saraf ke VI
o Edema
d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala.
Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan,
deformitas, iregularitas, dan krepitasi.
Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung, pada
fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada regio
ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak menutup secara sempurna berarti
pada rahang sudah terjadi fraktur.
e. Cedera saraf
Uji anestesi pada wajah (saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi atas).
f. Cedera gigi
Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan
juga disekitarnya.
25

4. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Cranii


4.1 Definisi
Fraktur ini didefinisikan sebagai fraktur linear dasar tengkorak, dan biasanya frakturnya
banyak pada wajah dan meluas kedasar tengkorak. Sinus sphenoid, foramen magnum, os
temporal dan sphenoidal adalah daerah yang paling umum terjadi patahan. Basis Craniii
memiliki bentuk yang tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Sekitar 70% fraktur basis Cranii berada pada
daerah anterior, meskipun kalvaria tengah adalah bagian terlemah dari basis Cranii
namun hanya 20% fraktur yang ditemukan dan sekitar 5% fraktur pada daerah posterior.
4.2 Klasifikasi
Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur
fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.
Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu :
a. Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan
umumnya tidak diperlukan intervensi.
b. Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa
kerusakan pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan operasi untuk
mengoreksi deformitas yang terjadi.
c. Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan
bayi yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadi
melebar.
d. Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar
tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal (Cerebrospinal
Fluid).

( Gambar 4. Jenis jenis fraktur pada os. Cranium

26

4.3. Manifestasi klinik


Gambaran klinis dari fraktur basis crania yaitu :
1. Hemotimpanum.
2. Parese nervus cranialis ( nervus I, II, III, IV, VII, dan VIII ) dapat terjadi.
3. Hematoma
4. Otorrhea atau keluarnya cairan otak melalui telinga menunjukan terjadi fraktur pada
petrous pyramid yang merusak kanal auditory eksternal dan merobek membrane
timpani mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah terkumpul disamping
membrane timpani (tidak robek)
5. Battle Sign (warna kehitaman di belakang telinga) : Fraktur meluas ke posterior dan
merusak sinus sigmoid.

( Gambar 5. Battle Sign)


6. Racoon atau pandabear: fraktur dasar tengkorak dari bagian anterior menyebabkan
darah bocor masuk ke jaringan periorbital.

( Gambar 6. Racoons Eye )


4. 4 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara lain :
1. Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung
2. Keluar darah atau cairan jernih dari telinga
3. Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda eyes)
4. Adanya luka memar di belakang telinga (Battles sign)
5. Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi
6. Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.

27

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan pada suatu pemeriksaan neurologis lengkap, pemeriksaan darah
rutin, dan pemberian tetanus toxoid (yang sesuai seperti pada fraktur terbuka tulang
tengkorak), pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosa satu fraktur adalah
pemeriksaan radiologi.
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Rontgen: Sejak ditemukannya CT-scan, maka penggunaan foto Rontgen
cranium dianggap kurang optimal. Dengan pengecualian untuk kasus-kasus
tertentu seperti fraktur pada vertex yang mungkin lolos dari CT-can dan dapat
dideteksi dengan foto polos maka CT-scan dianggap lebih menguntungkan
daripada foto Rontgen kepala.
Di daerah pedalaman dimana CT-scan tidak
tersedia, maka foto polos x-ray dapat memberikan informasi yang bermanfaat.
Diperlukan foto posisi AP, lateral, Townes view dan tangensial terhadap bagian
yang mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi. Foto polos
cranium dapat menunjukkan adanya fraktur, lesi osteolitik atau osteoblastik, atau
pneumosefal. Foto polos tulang belakang digunakan untuk menilai adanya fraktur,
pembengkakan jaringan lunak, deformitas tulang belakang, dan proses-proses
osteolitik atau osteoblastik.
2. CT scan : CT scan adalah kriteria modalitas standar untuk menunjang diagnosa
fraktur pada cranium. Potongan slice tipis pada bone windows hingga ketebalan
1-1,5 mm, dengan rekonstruksi sagital berguna dalam menilai cedera yang terjadi.
CT scan Helical sangat membantu untuk penilaian fraktur condylar occipital,
tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
3. MRI (Magnetic Resonance Angiography) : bernilai sebagai pemeriksaan
penunjang tambahan terutama untuk kecurigaan adanya cedera ligamentum dan
vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik diperiksa dengan menggunakan CT
scan. MRI memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik dibanding CT
scan.
c. Pemeriksaan Penunjang Lain
Perdarahan melalui telinga dan hidung pada kasus-kasus yang dicurigai adanya
kebocoran CSF, bila di dab dengan menggunakan kertas tissu akan menunjukkan
adanya suatu cincin jernih pada tissu yang telah basah diluar dari noda darah yang
kemudian disebut suatu halo atau ring sign. Suatu kebocoran CSF juga dapat
diketahui dengan menganalisa kadar glukosa dan mengukur tau-transferrin, suatu
polipeptida yang berperan dalam transport ion Fe.

28

( Gambar 7. HALO sign )


Diagnosis Banding
Echimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti
kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang yang
membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan fraktur
dinding medial atau sekeliling orbital).
Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh :
1. Kongenital
2. Ablasi tumor atau hidrosefalus
3. Penyakit-penyakit kronis atau infeksi
4. Tindakan bedah
4.5. Tatalaksana
Penanganan khusus dari fraktur basis Cranii terutama untuk mengatasi komplikasi yang
timbul, meliputi : fistula cairan serebrospinal, infeksi, dan pneumocephalus dengan fistula.
1. Fistula cairan serebrospinal:
Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala
lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obatobatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.
Rinorrhea
Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS mungkin bocor
melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui
sinus sfenoid, dan agak jarang mela- lui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian
petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba Eustachian dan bila membran
timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada
hampir 80 persen kasus. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas
berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diureticdan steroid. Dilakukan punksi
lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan.
Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
Pendekatan pembedahan dapat secara intraCraniial, ekstraCraniial dan secara bedah sinus
endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu dengan melakukan Craniiotomi melalui daerah
frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa
29

craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari
lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan
jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna
bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal.
Kerugian teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti
edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen.
Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa Craniii anterior.
Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.
Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus
endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan
sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal
etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral,
tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang
yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan
80%. Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang
abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.
Otorrhea
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta arakhnoid
robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa diklasifi- kasikan
menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang
dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien dengan fraktura
longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari
telinga luar. Pasien dengan fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik
normal dan memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin,
kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50
persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang
transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti
spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore
mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang,
dimana ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.(2)
Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab paling sering
dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus
segera diberikan,Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan
ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi
antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.(3)
Pnemocephalus:
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui menings.Meningkatnya
tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity melalui defek pada
duramater dan menjadi terperangkap.Tik yang meningkat dapat memperbesar defek yang
ada dan menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari:

30

operasi untuk membebaskan udara intracranial,serta memperbaiki defek yang ada, dan
tredelenburg position.
4.6. Komplikasi
- Mengingoensefalitis
- abses serebri.
- Lesi nervii cranialis permanen
- Liquorrhea.
- CCF (Carotis cavernous fistula).

DAFTAR PUSTAKA
Bamberger D. Diagnosis, initial management and prevention of meningitis, University of Missouri
Kansas City School of Medicine, Kansas City, Missouri.
Bates, B. (1997). Buku Saku Pemeriksaan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Boss BJ. Alterations of Neurologic Function. In : Understanding Pathophysiology 3rd edition.
Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. 1991.Gajah Mada
University.
Cohen SM, Marion DW. Traumatic Brain Injury. In : Textbook of Critical Care Fifth Edition. Fink
De Jong, W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Guyton. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Harsono.2003. Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajah Mada University Press.
Haryono Y. 2006. Rinorea cairan serebrospinal. USU. Departemen THT-KL FK USU.
Huether SE, McCance KL. editors. 2004. Mosby, Inc. St. Louis. p. 392-95
Iskandar J. 1981. Cedera Kepala. PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia. Jakarta.
Japardi I. 2004. Cedera Kepala. PT Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.
Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Masjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
31

MP, Abraham E, Vincent J, Kochanek PM. editors. 2005. Elsevier Inc. Philadelphia.
Nadeau K. 2004.Neurologic injury(chapter 29).
Nanda. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Prima Medika
Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas, Papadimos , Stawicki SPA. 2010.
Traumatic tension pneumocephalus: Two cases and comprehensive review of
literature.
Porth C M, Gaspard KJ. 2004. Essential of Pathophysiology. Philadelphia.
Price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Volume 1 dan 2. Jakarta : EGC
Sidharta P, Mardjono M. 1981. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta.
Swartz, M. 1997. Intisari Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EG.

32

Anda mungkin juga menyukai