Anda di halaman 1dari 9

Kelalaian Dokter Pada Pasien Shock Anafilaktik

Elbert Aldrin Harijanto


102013030
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
elbert.2013fk030@civitas.ukrida.ac.id
Pendahuluan
Dalam profesi di bidang kesehatan, banyak kejadian tidak terduga yang terjadi pada
pasien yang disebabkan baik oleh penyakit yang dideritanya, komplikasi obat, maupun karena
kelalaian dokter ataupun tenaga medis yang bertugas. Namun seiring dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan pengalaman para tenaga medis terdahulu, sebagian besar dari kejadiankejadian tidak terduga ini sudah dapat di prediksi dan dapat ditangani sehingga pasien terhindar
dari bahaya kecacatan maupun hal terburuknya yaitu kematian. Dengan meningkatnya kesadaran
hukum dan dan kesadaran akan hak-hak pasien, masyarakat seringkali mengaggap kegagalan
upaya penyembuhan yang dilakukan dokter terhadap pasien identik dengan kegagalan tindakan
medik. Padahal dokter tidak bisa di persalahkan jika ia telah melaksanakan tugas profesinya
sesuai dengan standar pelayanan medik dan prosedur yang telah disepakati oleh organisasi
profesinya dan Rumah Sakit tempat ia bekerja.
Komunikasi dan consent
Informed consent merupakan alat paling penting dalam hubungan dokter-pasien pada
masa kini. Informed consent yang benar harus disertai dengan komunikasi baik antara dokter
dan pasien. Keterangan yang dapat diberikan kepada pasien sebelum mendapatkan informed
consent termasuklah menerangkan diagnosis penyakit, prognosis dan pilihan pengobatan
penyakit. Perlu juga kebaikan dan keburukan masing-masing tindakan yang bakal dilakukan.
Informed consent harus memuatkan pilihan untuk pasien menerima atau menolak tindakan
medik yang bakal dilakukan dokter selain mencantumkan pilihan terapi lain. 1 Pasien yang
kompeten boleh memilih untuk menolak tindakan medik walaupun tanpa tindakan ini dapat
mengancam nyawa pasien. Terdapat dua kondisi di mana informed consent dikecualikan yaitu:
1. Pasien menyerahkan sepenuhnya keputusan tindakan medik terhadap dirinya kepada
dokter. Apabila pasien menyerahkan semua keputusan kepada dokter yang merawatnya,
dokter tetap harus menerangkan secara lengkap tindakan yang bakal dilakukan.
2. Keadaan apabila pemberitahuan tentang kondisi penyakit pasien dapat berdampak besar
terhadap pasien secara fisik, psikologis dan emosional. Contohnya adalah apabila pasien
cenderung untuk membunuh diri apabila mengetahui tentang penyakitnya. Namun,
dokter pada awalnya harus menganggap bahwa semua pasien dapat menerima berita
tentang penyakitnya dan memberikan informasi selengkapnya sesuai dengan hak pasien.
1

Malpraktek
Beberapa sarjana sepakat untuk merumuskan penggunaan istilah medical malpractice
(malpaktek medik) sebagaimana disebutkan dibawah ini :
1. John D. Blum memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai a form of
professional negligence in which measerable injury occurs to a plaintiff patient as the
direct result of an act or ommission by the defendant practitioner (malpraktik medik
merupakan bentuk kelalaian profesi dalam bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang
terjadinya pada pasien yang mengajukan gugatan sebagai akibat langsung dari tindakan
dokter).2
2. Black Law Dictionary merumuskan malpraktik sebagai any professional misconduct,
unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiacry duties, evil practice, or
illegal or immoral conduct (perbuatan jahat dari seorang ahli, kekurangan dalam
keterampilan yang dibawah standar, atau tidak cermatnya seorang ahli dalam
menjalankan kewajibannya secara hukum, praktek yang jelek atau ilegal atau perbuatan
yang tidak bermoral).3
Dari beberapa pengertian tentang malpraktik medik diatas semua sarjana sepakat untuk
mengartikan malpraktik medik sebagai kesalahan tenaga kesehatan yang karena tidak
mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan sesuai dengan standar profesinya
yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka atau cacat atau bahkan meninggal dunia.
Malpraktek dibedakan menjadi dua bentuk yaitu malpraktek etik dan malpraktek yuridis ditinjau
dari segi etika profesi dan segi hukum.4
Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah kesalahan profesi karena kelalaian dalam
melaksanakan etika profesi, maka sanksinya adalah sanksi etika yang berupa sanksi administrasi
sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Contoh konkrit yang merupakan malpraktek etik ini antara lain:
a. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak
diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena
laboratorium memberikan janji untuk memberikan hadiah kepada dokter yang
mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan
hadiah tersebut.
b. Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji
kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadangkadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi
kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya
tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik.4
Malpraktek yuridis
2

Malpraktek yuridis dibagi menjadi malpraktek perdata, pidana, dan administratif.


Malpraktek perdata (civil malpractice) terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga
kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga
menimbulkan kerugian pada pasien. Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat
berupa tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan, melakukan apa yang
menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya, melakukan apa
yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan
hasilnya, melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan. Untuk
perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti
harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat), perbuatan tersebut melanggar hukum
(baik tertulis maupuntidak tertulis), ada kerugian, ada hubungan sebab akibat (hukum kausal)
antara perbuatan yang melanggar hukum dengan kerugian yang diderita, adanya kesalahan
(schuld). Untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter, maka
pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure yaitu adanya suatu kewajiban dokter
terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim, penggugat (pasien)
telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya, dan secara faktual kerugian itu
disebabkan oleh tindakan dibawah standar. Namun ada kalanya seorang pasien tidak perlu
membuktikan adanya kelalaian dokter. Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi res ipsa
loquitor yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa
yang tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul
komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian,
dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.4
Malpraktek pidana (criminal malpractice) terjadi apabila pasien meninggal dunia atau
mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atau kurang cermat
dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat
tersebut. Malpraktek medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsure culpa lata
atau kelaalaian berat atau zware schuld dan pula adanya akibat fatal atau serius. Terdapat tiga
jenis malpraktek pidana yaitu malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional) seperti pada
kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia
kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada
orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar;
malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness) seperti melakukan tindakan yang tidak
lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai
persetujuan tindakan medis; dan malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang
hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien. Kelalaian
dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance
berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau
improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan
3

medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang
tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan
tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan
medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan
bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada
kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian,
sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang
tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk. Kelalaian medik adalah salah satu bentuk
dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi.
Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu
(komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya
dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi
yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang
bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang
seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian
atau cedera bagi orang lain.4
Malpraktek administrative (administrative malpractice) terjadi apabila dokter atau tenaga
kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku,
misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan
izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.
Dua macam pelanggaran administrasi tersebut adalah pelanggaran hukum administrasi tentang
kewenangan praktek kedokteran dan pelanggaran administrasi mengenai pelayanan medis4
Pembuktian Malpraktek di Pelayanan Kesehatan
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni cara langsung dan tidak langsung. Cara langsung membuktikan adanya
kelalaian memakai tolok ukur yang disebut dengan 4 D. Tolak ukur pertama yaitu duty
(kewajiban) mempunyai makna bahwa dokter harus bertindak berdasarkan indikasi medis,
bertindak secara hati-hati dan teliti, bekerja sesuai standar profesi, dan melakukan informed
consent kepada pasien. Tolak ukur kedua yaitu dereliction of Duty (penyimpangan dari
kewajiban) yaitu jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya
atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter
dapat dipersalahkan. Tolak ukur ketiga yaitu direct cause (penyebab langsung) dan tolak ukur
keempat yaitu damage (kerugian). Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan
kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya
dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan
jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium
dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pem buktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus
diberikan oleh si penggugat (pasien).5
4

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa
loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi
kriteria fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai, fakta itu terjadi memang
berada dalam tanggung jawab dokter, dan fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien
dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.5
Kejadian Tidak Diharapkan
Ketika memberikan pelayanan kepada pasien, terjadilah hubungan yang disebut kontrak
terapeutik. Dalam hubungan tersebut timbul hak, kewajiban dan tanggungjawab yang mengikat
para pihak dengan dilandaskan pada niat baik, kepercayaan dan kesetaraan. Di satu pihak pasien
dengan jujur menjelaskan masalahnya dan mempercayakan pengobatannya kepada dokter dan di
pihak lain dokter akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk menolong pasien tersebut.
Dalam perikatan ini, dokter harus berupaya sebaik mungkin (inspannings verbintenis) sesuai
standar profesi namun tidak dibenarkan untuk menjamin hasil pengobatannya karena memang
bukan perikatan hasil (resultaat verbintenis).6
Sekalipun dokter telah berupaya sebaik mungkin, adakalanya hasil pengobatan tidak
sesuai dengan harapan pasien ataupun dokter, ketidakberhasilan itu dapat berupa antara lain
timbulnya nyeri kronik, kecacatan, koma atau bahkan kematian. Kejadian tidak diharapkan
(KTD) ini disebut dengan adverse event. KTD dapat dikelompokkan sebagai perjalanan penyakit
yang tidak dapat dihentikan misal karena keganasan atau stadium yang sudah lanjut; atau karena
komplikasi penyakit yang terjadi kemudian, merupakan risiko yang tidak dapat diketahui atau
dibayangkan sebelumnya (unforeseeable risk), merupakan risiko yang sudah dapat diketahui
namun dapat diterima oleh pasien (foreseeable but accepted), dan akibat dari kegagalan dokter
melaksanakan pelayanan yang layak (reasonable care) dalam melaksanakan tugas
profesionalnya, tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Dalam hal 1,2,3 diatas, dokter tidak harus
bertanggungjawab selama dokter tersebut telah melakukan asuhan medis sesuai standar profesi.
Bila terjadi yang nomer 4, dokter dapat dimintai pertangungjawaban karenanya.6
Mengingat adanya risiko pada tindakan pengobatan oleh dokter, maka dipandang perlu
diterbitkan Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang mengatur
praktik kedokteran di Indonesia. Pengaturan Praktik Kedokteran dilaksanakan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai perwujudan otonomi profesi dalam melakukan pengaturan
diri (self regulation) pada profesi kedokteran dan kedokteran gigi. Pengaturan praktik kedokteran
oleh KKI bertujuan 1) untuk melindungi masyarakat dan 2) untuk meningkatkan mutu praktik
kedokteran dan kedokteran gigi. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengaturan dilakukan oleh KKI
melalui berbagai kegiatan diantaranya:6

1. Meregistrasi dokter/dokter gigi praktik (practitioner) melakui penilaian kredential. Bila


dinilai memenuhi persyaratan mutu, kepada yang bersangkutan akan diberikan surat
tanda registrasi (STR) sebagai bukti kewenangannya untuk melaksanakan asuhan medis.
2. Melakukan pembinaan dan pengawasan kepada para praktisi diatas, melalui penyusunan
standar-standar praktik kedokteran diantaranya standar pendidikan profesi, standar
kompetensi, standar perilaku profesional dan manual-manual teknis lainnya.
3. Melakukan penegakan disiplin profesi kedokteran berupa penilaian kinerja dan perilaku
profesional dari dokter/dokter gigi yang berpraktik, dalam hal ini dilakukan oleh Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

MKDKI adalah bagian dari KKI yang bersifat otonom dalam melaksanakan tugas
fungsionalnya. Tugas pokok MKDKI adalah menegakkan disiplin profesi kedokteran, yang
meliputi keahlian profesional (professional expertise) dan perilaku profesional (professional
behaviour). Keluhan pasien pada umumnya adalah, hasil pengobatan yang tidak sesuai harapan
dan komunikasi yang tidak adekuat, baik karena pasien tidak memahami penjelasan dokter atau
karena informasi dokter yang tidak memadai sehingga pasien tidak memahami permasalahnya
dan kemudian menimbulkan respons emosional. Bila pasien tidak puas pada pelayanan
dokter/dokter gigi, pasien dapat menanyakan kepada dokter atau manajemen rumah sakit dalam
rangka meminta penjelasan tentang penanganan terhadapnya. Bila pasien menduga adanya
pelanggaran disiplin yang serius, dan dalam rangka meningkatkan kinerja dokter/dokter gigi,
sebaiknya pasien mengadukan keluhannya kepada MKDKI. Pengaduan tentang kinerja
dokter/dokter gigi dapat disampaikan oleh pasien atau keluarganya, atau oleh otoritas kesehatan
seperti dinas kesehatan, departemen kesehatan, sarana kesehatan, dan lain-lain.vSetelah
menerima laporan/pengaduan, MKDKI akan mengumpulkan fakta data dan informasi untuk
kemudian membentuk majelis yang akan melakukan pemeriksaan dalam rangka menemukan ada
atau tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang telah dilakukan oleh seorang dokter/dokter gigi.
Bila ditemukan pelanggaran disiplin profesi maka MKDKI akam memberikan sanksi disiplin
dalam rangka memperbaiki inerja yang bersangkutan berupa peringatan tertulis, reedukasi,
pencabutan sementara STR dan SIP, atau pencabutan selamanya bila dipandang kinerja
dokter/dokter gigi tersebut tidak dapat diperbaiki lagi. MKDKI tidak berwenang menyelesaikan
sengketa medik atau memerintahkan pihak lain untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi,
maka bila menginginkan hal tersebut pengadu dapat memanfaaatkan lembaga mediasi atau
peradilan umum.6,7
Upaya Pencegahan Malpraktek

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga dokter, bidan dan ahli
kesehatan lainnya karena adanya mal praktek diharapkan para dokter,bidan dan ahli kesehatan
lainnya dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:6
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

Syok anafilaksis
Syok anafilaktik adalah suatu respon alergi yang dapat timbul dalam waktu menit
ataupun jam setelah adanya kontak dengan alergen. Gejala klinisnya berupa shok dan merupakan
hipersensitivitas tipe I dimana adanya paparan yang menstimulasi formasi dari antibodi IgE dan
mengikat reseptor pada sel mast dan terjadi cross-link dengan paparan selanjutnya yang
menyebabkan degranulasi sel mast kemudian melepaskan mediator inflamasi seperti histamin,
leukotriene, dan prostaglandin. Mediator inflamasi tersebut mengakibatkan gejala klinis seperti
rasa gatal. hipotensi dikarenakan vasodilatasi, sesak napas karena bronkokonstriksi dan oedema
laringeal yang dikuatirkan akan menutup jalur napas bagian atas. Syok anafilaksis dapat
disebabkan oleh berbagai alergen seperti obat, sengatan lebah, dan kacang. Kematian
dikarenakan syok anafilaktik karena obat seharusnya dapat dicegah dengan menanyakan apakah
pasien tersebut mempunyai alergi dengan obat atau tidak.8
Penatalaksanaan Syok Anafilaksis
Bila kita mencurigai adanya reaksi anafilaksis segera bertindak dan jangan ditunggutunggu. Salah seorang penulis mengatakan Do not wait until it is fully developed artinya
segeralah bertindak. Yang dapat dilakukan apabila terjadi syok anafilaksis adalah:7
1. Posisi: Segera penderita dibaringkan pada posisi yang nyaman /comfortable dengan
posisi kaki ditinggikan (posisi trendelenberg), dengan ventilasi udara yang baik dan
jangan lupa melonggarkan pakaian.
2. Airways : Jaga jalan nafas dan berikan oksigen nasal/mask 5-10 I/menit, dan jika
penderita tak bernafas disiapkan untuk intubasi.
7

3. Intravena access : Pasang IV line dengan cairan NacL 0,9% / Dextrose 5% 0,5-1 liter/30
menit
4. Drug: Epinefrin / Adrenalin adalah drug of choice pada syok anafilaksis dan diberikan
sesgera mungkin jika mencurigai syok anafilaksis (TD sistolik turin < 90 MmHg).
Namun harus hati-hati dengan penderita yang dalam sehari-hari memang hipotensi. Untuk
itu perlunya dilakukan pemeriksaan TD sebelum dilakukan tindakan.
5. Dosis : 0,3-0,5 ml/cc Adrenalin/Epinefrin 1 : 1000 diberikan IM (untuk anak-anak dosis :
0,01 ml/KgBB/.dose dengan maksimal 0,4 ml/dose). Bila anafilaksis berat atau tidak
respon dengan pemberian dengan cara SK/IM pemberian Epinefrin/adrenalin dapat
langsung melalui intavena atau intratekal (bila pasien sudah dilakukan intubasi melalui
ETT) dengan dosis 1-5 ml (Epi 1 : 10.000, dengan cara membuatnya yaitu mengencerkan
epinefrin 1 ml1: 1000 dengan 10 ml NaCl). Dapat diulang dalam 5-10 menit. Jika belum
ada respons diberikan adrenalin perdip dengan dosis ug/menit (cara membuat : 1 mg
Epinefrin1: 1000 dilarutkan dalam DX5% 250 cc).
Selain pemberian Epi/Adrenalin pemberian antihistamin ternyata cukup efektif untuk
mengontrol keluhan yang ditimbulkan pada kulit atau membantu pengobatan hipotensi yang
terjadi. Dapat diberikan antihistamin antagonist H1 yaitu Dipenhidram dengan dosis 25-50 mg
IV (untuk anak-anak 2 mg/KgBB) dan bila dikombinasikan dengan antagonis H2 ternyata lebih
superioar yaitu denagn Ranitidin dosis 1 mg/kgbb IV atau dengan Cimetidine 4 mg/kgbb IV
pemberian dilakukan secara lambat. Pemberian golongan kortikosteroid dapat diberikan
walaupun bukan first line therapy. Obat ini kurang mempunyai efek untuk jangka pendek, lebih
berefek untuk jangka panjang. Dapat diberikan Hidrokortison 250-500 mg IV atau metal
prednisolon50-100 mg IV. Bila terdapat bronkospasme yang tak respon dengan adrenalin dapat
diberikan aminophylin dengan dosis 6 mg/KgBB dala 50 ml NaCL 0.9% diberikan secara Iv
dalam 30 menit. Bila penderita menunjukan tanda-tanda perbaikan harus diobservasi minimal 6
jam atau dirujuk ke RS bila belum menujukan respons.7
Penutup
Malpraktek medik merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan kedokteran di bawah standar.
Malpraktek dapat dibagi menjadi malpraktek etik dan malpraktek yuridis. Selain itu dalam
pelayanan kedokteran meskipun dokter telah berusaha sebaik mungkin, terkadang timbul
kejadian yang tidak diinginkan (adverse event) yang dapat berakibat merugikan pasien. Apabila
dokter sebenarnya dapat mencegah adverse event tetapi tidak dilakukan maka dokter melakukan
malpraktek.
Daftar Pustaka
1. Guwandi J, Pengantar Ilmu Hukum Medik dan Bioetika, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta; 2009
2. Bawono, Bambang Tri. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggulangan
Malpraktik Profesi Medis. Jurnal Hukum Unissula; 2011
8

3. Wiradharma, Danny. Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta, EGC;
1999
4. McCellan FM. Medical malpractice: law, tactics, and ethics. Philadelphia: Temple
University; 2004.p.39.
5. Isfandyarie, Anny. Malpraktek dan resiko medik dalam kajian hukum pidana. Jakarta:
Prestasi Pustaka; 2005.h.46-7.
6. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2001.h.178-180.
7. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga; 2014. h. 128-9.
8. Naish J, Court DS. Medical sciences. London: Elsevier; 2015. p. 559

Anda mungkin juga menyukai