Anda di halaman 1dari 11

Neuropati Perifer Akibat Pengobatan Isoniazid pada Ras Kaukasia

Romi Andriyana
10.2013.220
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen KridaWacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510
Email: andriyana_romi@yahoo.com

Pendahuluan
Genetik merupakan sesuatu bidang ilmu yang mempelajari gen. Gen merupakan unit
terkecil dari manusia dan sel-sel makhluk hidup. Secara mudah, genetik merupakan sesuatu
yang menerangkan sebab mengapa kita mempunyai persamaan dengan ibu dan bapak kita
pada beberapa hal dan juga perbedaan pada beberapa hal. Genetik juga dapat menjadi
jawaban kepada turunnya sesuatu penyakit bawaan yang bersifat keturunan. Selain itu,
genetik juga dapat menjelaskan beberapa variasi yang terjadi berakibat dari variasi genetik
seperti efek farmakoterapi, forensik, agricultural dan persekitaran.
Sesuatu yang diturunkan secara keturunan adalah dipengaruhi oleh gen. gen terdiri
dari bahan kimia yang dinamakan asam deoksiribonukleat (DNA). DNA bereplikasi
menghasilkan salinan DNA baru yang identik. DNA mengandungi kode yang spesifik untuk
sesuatu protein seperti enzim yang membentuk sel-sel tubuh manusia. DNA dapat bermutasi
dan menghasilkan protein yang berbeda dari sebelumnya dan dapat atau tidak mengubah
fungsi asal protein tersebut. Enzim yang bermutasi dapat mengubah mekanisme biokimiawi
sehingga mengubah metabolism molekul-molekul dalam tubuh.
Farmakogenetik merupakan salah satu bidang dalam farmakologi klinik yang
mempelajari keanekaragaman (respons) obat yang dipengaruhi atau disebabkan oleh karena
faktor genetik. Atau dengan kata lain merupakan studi pengaruh genetik terhadap respons
obat. Kepentingan dari studi farmakogenetik ini yang paling penting adalah untuk
mengetahui atau mengenali individuindividu tertentu dalam populasi, yang dikarenakan
adanya ciri-ciri genetik tertentu, akan bereaksi atau mendapatkan pengaruh obat yang tidak
sewajarnya dibandingkan anggota populasi lain pada umumnya. Sehingga dengan dapat
dilakukan upaya-upaya pencegahan agar pengaruh yang tidak dikehendaki tidak sampai

terjadi, misalnya dengan menyesuaikan besar dosis atau dengan menghindari pemakaian obat
tertentu pada individu tertentu.
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien
(auto-anamanesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya (alo-anamnesis). Anamnesis
yang baik itu diantaranya adalah:1

Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
nama orang tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan,
pekerjaan, suku bangsa dan agama. Diketahui, identitasnya adalah prempuan usia
50 tahun, berasal dari ras kaukasian, bekerja di NGO (Non-Governmntal

Organization).
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang pergi ke dokter. Dalam
menuliskan keluhan utama, harus disertai dengan indikator waktu, berapa lama
pasien mengalami hal tersebut. Diketahui, keluhan utamanya adalah kesemutan di

lengan dan tungkai bawah.


Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita/kronologi, terinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien
datang berobat. Riwayat perjalanan penyakit disusun dalam bahasa Indonesia

yang baik sesuai dengan apa yang diceritakan oleh pasien.


Riwayat penyakit dahulu, menanyakan apakan pasien sebelumnya sudah pernah
sakit seperti ini karena akan sangat bertujuan untuk mengetahui kemungkinankemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan
penyakit sekarang. Diketahui, 4 bulan yang lalu didiagnosis tuberkulosis paru dan
sudah mendapat therapy.

Riwayat penyakit keluarga dan riwayat sosial maka kita menanyakan pertanyaanpertanyaan seperti adakah di keluarga pasien yang menderita penyakit seperti,
bagaimana kebiasaan pasien dan juga riwayat obat-obatan yang sedang
dikonsumsi oleh pasien tersebut. Diketahui, pasien mengkonsumsi obat Isoniazid
(INH).

Diketahui dari skenario pasien ini didiagnosis oleh dokter menderita Neuropati Perifer karena
INH.
Neuropati perifer akibat penggunaan INH merupakan suatu kejadian penyakit yang
disebabkan oleh efek samping penggunaan INH yang menyebabkan berkurangnya neuron
perifer. INH sendiri merupakan obat utama dalam regimen pengobatan kasus tuberkulosis
yang dianjurkan oleh World Health Organization (WHO). Neuropati akibat penggunaan INH
merupakan sesuatu kelainan yang sering terjadi pada ras tertentu disebabkan kelainan
metabolisme isoniazid yang berakibat dari variasi genetik. Hal ini dinamakan genetik
polimorfisme.
Farmakogenetika
Farmakogenetika merupakan salah satu bidang dalam farmakologi klinik yang
mempelajari keanekaragaman pengaruh (respons) obat yang dipengaruhi atau disebabkan oleh
karena faktor genetik. Atau dengan kata lain merupakan studi mengenai pengaruh genetik
terhadap respons obat. Kepentingan dari studi farmakogenetika ini yang paling utama sebenarnya
adalah untuk mengetahui atau mengenali individu-individu tertentu dalam populasi, yang
dikarenakan adanya ciri-ciri genetik tertentu, akan bereaksi atau mendapatkan pengaruh obat
yang tidak sewajarnya dibandingkan anggota populasi lain pada umumnya. Sehingga dengan
demikian dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan agar pengaruh buruk yang tidak dikehendaki
tidak sampai terjadi, misalnya dengan menyesuaikan besar dosis atau dengan menghindari
pemakaian obat tertentu pada individu tertentu. 2

Metabolisme obat
Metabolisme obat terutama terjadi di sel-sel hati (mikrosom = retikulum endoplasma
hati), serta di sitosol. Selain hati, dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit juga
menjadi tempat biotransformasi obat. Metabolisme memiliki tujuan untuk mengubah obat
yang non polar (larut dalam lemak) menjadi polar (larut dalam air) agar dapat dieksresi
melalui ginja.. Pada umumnya perubahan ini menyebabkan obat menjadi inaktif,namun ada
juga yang justru menjadi lebih aktif, atau bahkan toksik.2
Metabolisme obat dibagi menjadi 2 fase, yakni fase I yang merupakan fase reduksi,
oksidasi, dan hidrolisis; dan fase II yang merupakan reaksi konjugasi dengan substrat lain,
misalnya asam glukoronat, asamsulfat, asam asetat, dan asam-asam amino.
3

Reaksi fase I dilakukan oleh enzim sitorkrom P450 (CYP) sebagai enzim pengoksidasi, dan
merupakan enzim yang terpenting dalam reaksi ini. Enzim ini memiliki isoenzim sekitar 50
macam.
Reaki fase II, terutama reaksi glukuronidasi (oleh enzim UDP-glukuroniltransferase /
UGT),dan reaksi asetilasi oleh enzim N-asetiltransferase 2(NAT2). Polimorfisme genetik
dapat ditemukan pada enzim CYP2D6, CYP2D9, CYP2C19, serta NAT2. Oleh karena itu,
populasi terbagi menjadi 2 golongan. Untuk enzim-enzim CYP (sebagai enzim dalam reaksi
oksidasifase I), populasi terbagi menjadi golongan extensive metabolizer (EM) dan poor
metabolizer (PM). Sementara untuk enzim NAT2 yang berperan dan asetilasi fase II, terbagi
menjadi rapid acetylator (RA) dan slow acetlyator (SA).2
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat
Sifat khas metabolism obat merupakan variasi antar individual yang besar dan
memberikan perbedaan yang menonjol. Perbedaan ini memberikan penjelasan mengapa
pasien memberikan respon yang berbeda terhadap dosis obat terapi yang sama dengan pasien
lain.

Lingkungan

Kondisi penyakit

Variasi genetika
Keberagaman genetic terjadi untuk semua protein tanpa kecuali termasuk enzim

enzimnya yang mengkatalisis reaksi obat metabolism. Perbedaan melibatkan berbagai macam
mekanisme molecular seperti, berkurangnya kemampuan katalitik, kecepatan aktifitas dll.
Sifat ini diturunkan dengan cara resesif mendel autosomal (tunggal) menurut penelitian.
Kemampuan metabolism obat yang berbeda beda ini dinamakan polimorfisme genetik.2,3
Polimorfisme Genetik

Polimorfisme genetik adalah ilmu tentang bagaimana faktor penentu genetik


mempengaruhi kerja obat. Respons berbagai obat bervariasi antara satu individu dengan
individu lainnya karena variasi ini biasanya mempunyai distribusi Gaussian. Dalam keadaan
normal, variasi dalam respon terhadap obat yang paling sering ditemukan dalam observasi
ialah yang mempunyai distribusi normal atau distribusi Gaussian, atau normal error curve.
Variasi respon obat sering diobservasi pada orang Caucasia. Hasil observasi menunjukkan
bahwa dalam satu populasi, respon terhadap obat-obat tersebut memperlihatkan distribusi
4

kontinu, dan populasi tersebut terbagi 2 atau lebih kelompok (dengan variasi kontinu pada
tiap kelompok) yang menunjukkan adanya suatu gen tunggal yang sangat menentukan.3,4

Gambar 1. Distribusi berbagai respons terhadap efek obat. Gambar 1-A adalah distribusi efek (respons
terhadap obat) berupa distribusi kontinu atau unimodal yang merupakan distribusi umum pada sebagian
besar obat-obatan. Gambar 1-B adalah distribusi kontinu atau polimodal yang terdapat pada respons
variasi
respon yang
berbentuk
diskontinu ini disebut polimodal (bimodal
obat-obatDistribusi
tertentu saja
yang dipengaruhi
oleh
faktor genetik.

dan trimodal) dan karena dipengaruhi oleh faktor genetik, maka disebut polimorfisme genetik
yang menunjukkan adanya polimorfisme gen tunggal. Sifat tersebut dipengaruhi oleh satu
gen tunggal (monogenik) dalam satu lokus kromosom. Dalam hal ini, individu dalam suatu
populasi terbagi menjadi 2 atau lebih golongan fenotip yang berlainan, seperti yang
ditunjukkan oleh respon obat Isoniazid dengan terdapatnya fenotip asetilator cepat dan
fenotip asetilator lambat.3 Keragaman genetik umumnya, dan khususnya polimorfisme
genetik dalam pengaruh atau respons individu terhadap obat terjadi melalui 2 proses utama
dalam tubuh, yaitu:3,4
(a) Proses farmakodinamik, yaitu dengan terjadinya proses interaksi antara molekul obat
dengan reseptornya, dan terdapat kepekaan yang abnormal dari reseptor obat terhadap
molekul obat.
(b) Proses farmakokinetik, yaitu proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi
obat. Proses ini paling banyak ditemukan pada polimorfisme klinik dalam proses
metabolisme obat, sedangkan polimorfisme genetik yang ditemukan pada proses
absorbsi, distribusi, dan ekskresi obat tidak banyak dijumpai dan diketahui.
Keragaman genetik dalam proses metabolisme adalah bentuk polimorfisme genetik
yang banyak diketahui, keragaman ini disebabkan oleh beranekaragam enzim yang berperan
dalam metabolism obat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Yang umumnya disebabkan
oleh perbedaan kuantitatif jumlah enzim karena yang dipengaruhi faktor genetik ialah sintesis
enzim, misalnya perbedaan asetilator lambat dan cepat lebih banyak disebabkan oleh faktor
perbedaan aktivitas enzim asetiltransferase karena jumlah enzim yang disintesis berbeda.3,4

Isoniazid
Isoniazid merupakan contoh yang populer dari efek obat yang disebabkan oleh faktor
genetik. Isoniazid ini adalah obat aktif dalam penanganan tuberkulosis. Obat ini mempunyai
molekul kecil (BM 137) yang larut bebas dalam air. Kerja isoniazid menghambat sebagian
besar tuberkel pada konsentrasi 0,2 mcg/mL dan bersifat bakterisidal untuk basil tuberkel
yang tumbuh aktif. Isoniazid dapat menembus kedalam makrofag dan aktif bekerja terhadap
organisme ekstra maupun intrasel.2,3
Farmakokinetik dan farmakodinamik isoniazid
Isoniazid mudah diserap saluran cerna, dengan dosis oral 300 mg ( 5 mg/kg/hr pada
anak) dapat mencapai konsentrasi plasma puncak 3 5 mcg/mL dalam 1 2 jam. Isoniazid
ini bersifat larut air, sehingga dapat berdifusi kedalam semua cairan tubuh. Metabolisme
isoniazid, khususnya terjadi asetilasi oleh N-asetiltransferase hati. Konsentrasi plasma rata
rata pada asitelator cepat adalah sepertiga hingga setengah dibandingkan asetilator lamba dan
waktu paruh masing masing kurang dari 1 jam dan 3 jam.2,3
Farmakogenetik Metabolisme Isoniazid
Proses metabolisme INH ialah dengan reaksi asetilasi yang dikatalisis oleh enzim Nasetil transferase hepar yang memperlihatkan polimorfisme genetik (enzim ini tidak dapat
diinduksi sehingga perbedaan dalam aktivitas enzim diantara individu bukan disebabkan oleh
perbedaan dalam pengobatan/pengaruh obat lain). Enzim ini berfungsi memindahkan gugus
asetil dari donor asetil (asetil koenzim A) ke obat akseptor sehingga terbentuk metabolit Nasetilisoniazid lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk dieksresikan. Adanya
perbedaan asetilasi ternyata disebabkan oleh adanya variasi genetik dari gen yang menyandi
ekspresi dari enzim N-asetilastransferase. Bagi individu yang mempunyai kelainan yang
disebabkan oleh autosomal recessive allele, berupa variasi polimorfik maka aktivitas enzim
N-asetilastransferase menjadi lambat.4
Untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat, memiliki enzim Nasetilastransferase yang jauh lebih besar daripada individu yang memiliki tipe asetilator
lambat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam
bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif sangat cepat. Sehingga obat akan memiliki
masa kerja (t ) yang pendek, yaitu 45-80 menit. Dengan demikian, maka individu tipe
asetilator cepat, memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar.4

Sifat asetilator cepat ditentukan oleh gen dominan, sedangkan asetilator lambat oleh
gen resesif, sehingga genotype untuk seorang asetilator cepat adalah RR homozigot atau
heterozigot Rr, sedangkan asetilator lambat adalah rr.6

Gambar 2. Gambaran histogram frekuensi dari waktu paruh INH pada populasi Kaukasoid
(atas) dan pada populasi Indonesia Java (bawah).4
Hal ini akan berdampak kurang menguntungkan, karena untuk pengobatan
tuberkolosis, pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan
demikian, untuk individu tipe asetilator cepat ini, pemberian INH harus dilakukan
berulangkali karena metabolisme INH-pun sangat cepat, sehingga INH cepat dapat
menimbulkan efek setelah diminum, namun cepat hilang pula efeknya (t yang pendek). Hal
ini harus diperhatikan, karena jika obat harus diberikan secara berulangkali, dengan frekuensi
pemberian yang lebih banyak daripada individu tipe asetilator lambat, maka kemungkinan
terjadi resistensi akan cukup tinggi. Sehingga dalam pengobatannya, pemberian dosis perlu
diperhatikan untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat agar tidak terjadi resistensi.4
Jika isoniazid diberikan pada individu bertipe asetilator lambat, maka enzim Nasetiltransferase yang dimiliki tidak sebanyak enzim N-asetilastransferase yang dihasilkan
oleh individu yang memiliki tipe asetilator cepat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk
7

isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil-isoniazid yang bersifat tidak aktif
berlangsung lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t ) yang panjang yaitu 140200 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator lambat, memerlukan dosis
pengobatan yang rendah agar tidak menimbulkan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan
oleh INH. Untuk individu tipe asetilator lambat ini, pemberian INH tidak harus dilakukan
berulangkali/frekuensi yang tinggi, hal ini karena metabolisme INH berlangsung lambat,
sehingga INH dapat menimbulkan efek yang konstan dengan durasi yang lama setelah
diminum.4
Namun hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa karena obat dimetabolisme
dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif dengan kecepatan yang lambat, maka
kemungkinan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH lebih tinggi. Selain itu,
menurut studi yang telah dilakukan, individu bertipe aetilator lambat ini, memiliki
kemungkinan untuk menimbulkan efek samping, yaitu neuritis perifer yang lebih tinggi
daripada individu bertipe asetilator cepat.4
Reaksi efek samping isoniazid

Reaksi imunologis : terjadi demam dan ruam kulit kadang terjadi.

Reaksi toksisitas :

Hepatitis merupakan imbas toksik isoniazid tersering dan biasanya


asimptomatik. Hepatitis klinis disertai hilangnya nafsu makan, mual, muntah,
icterus dan nyeri kuadran kanan atas terjadi pada sebagian kecil pasien dan
dapat bersifat mematikan. Dari bukti histologis didapatkan terjadinya nekrosis
dan kerusakan hepatoseluler. Resiko terjadinya hepatitis lebih besar pada
orang dengan ketergantungan alcohol. Terjadinya hepatitis menjadikan
kontraindikasi pemakaian obat ini.3,4

Neuropati perifer terjadi pada 10 20 % pasien yang diberi dosis lebih dari
dosis normal / baku. Besar kemungkinan terjadi pada orang dengan asetilator
lambat dam dengan predisposisi seperti malnutrisi, alkoholisme diabetes,
AIDS, dan uremia. Neuropati ini terjadi karena defisiensi dari piridoksin / vit
B6 yang relative. Karena efek dari piridoksin salah satunya adalah
meningkatkan ekskresi piridoksin. Pemberian suplemen piridoksin 10 mg/hari
dapat mengurangi terjadinya efek toksik ini dan toksisitas susunan saraf pusat
seperti kurangnya daya ingat, psikosis, dan kejang.3,4
8

Epidemiologi
Fenotip asetilator lambat terjadi kira-kira 50% dari penduduk kulit hitam dan kulit
putih di Amerika Serikat, 40-70% pada orang Caucasian, lebih sering pada orang Eropa serta
jauh lebih sedikit orang Asia (10-20%) dan Eskimo. Distribusi isoniazid pada asetilator
lambat dan cepat (kira-kira 50% pada tiap kelompok etnik) nilainya sama pada kebanyakan
kelompok (etnik) manusia, namun pada orang-orang Jepang, lebih 90% populasi Jepang
adalah asetilasi (inaktivator) cepat.4
Manifestasi Klinik

kesemutan, membakar, atau menusuk-nusuk sensasi tajam nyeri atau kram.

ekstrim kepekaan terhadap sentuhan, sentuhan bahkan cahaya.

kehilangan keseimbangan dan koordinasi.

mati rasa, kesemutan, atau nyeri di jari kaki, kaki, kaki, tangan, lengan, dan jari-jari.

pengecilan otot-otot kaki atau tangan.

masalah buang air kecil, gangguan pencernaan, mual, atau muntah diare atau
sembelit.

pusing atau pingsan karena penurunan tekanan darah setelah berdiri atau duduk.

disfungsi ereksi pada pria atau kekeringan vagina pada wanita.

Penatalaksanaan
Terapi yang dapat diberikan adalah berupa suplementasi nutrisi. Suplementasi vitamin
E terbukti dapat mengurangkan frekuensi terjadinya gejala neuropati pada pasien. Efek yang
digunakan adalah efek antioksidan nya yang dapat memperlambat degenerasi neuron. Selain
itu, pemberian vitamin B6 turut melihatkan hasil yang baik disebabkan mekanisme kerjanya
yang bersifat neurogenesis dan neuroprotektif atau saat ini juga telah tersedia sediaan obat
INH yang telah disertai dengan Vitamin B6. Terdapat juga literatur yang menyarankan
pemberian vitamin B12 dan B9 walaupun belum terbukti efikasinya sebagai agen
neuroprotektif. Agen neuroprotektif lain yang dapat diberikan adalah Acetyl-L-Carnitine
(ALC), glutamin dan asam alfa lipoik.5

Gambar 3. Contoh sediaan obat INH yang dikombinasikan dengan Vitamin B6.
Sumber : http://medicastore.com/tbc/image/tb_vit_6.jpg
Prognosis
Pada nuropati perifer akibat penggunaan obat isoniazid memiliki prognosis baik
apabila mendapat penanganan yang segera sebelum terjadi komplikasi kronik dari
penggunaan INH jangka panjang sesuai dengan lamanya terapi tuberkulosa.
Kesimpulan
Pengetahuan mengenai farmakogenetika diperlukan untuk mengetahui adanya
keanekaragaman pengaruh obat yang ditentukan oleh faktor genetik, sehingga dapat dicegah
kemungkinan terjadinya pengaruh buruk obat dengan menghindari pemakaian obat tertentu
pada orang-orang dengan ciri-ciri genetik tertentu.
Sayangnya, tidak semua bentuk keanekaragaman genetik yang sudah umum diketahui
dan relatif mudah didiagnosis tidak selalu mempunyai makna klinik secara langsung dalam
praktek. Di luar ini semua masih banyak bentuk keanekaragaman yang belum diketahui
secara jelas, baik mekanisme terjadinya, cara pewarisannya serta makna kliniknya.
Pada pasien dengan asetilator lambat, pemberian INH dapat menyebabkan gangguan
penyerapan Vitamin B6 dan peningkatan ekresi vitamin B6. Hal ini menyebabkan defisiensi
Vitamin B6 pada tubuh pasien. Pada akhirnya defisiensi vitamin B6 pada tingkat ringan ini
menyebabkan manifestasi rasa baal atau kesemutan pada pasien. Dapat dilakukan profilaksis
pada pasien dengan asetilator lambat yang mendapat terapi INH dengan pemberian vitamin
B6. Atau saat ini juga telah tersedia sediaan obat INH yang telah disertai dengan Vitamin B6.

10

Daftar Pustaka
1. Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;
2007.
2. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi dasar & klinik vol 1. Ed 12.
Jakarta: The McGraw Hill Companies, Inc dan EGC Penerbit Buku Kedokteran;
2014.
3. Neal MJ. At a glance farmakologi medis. Ed 5. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006.
h.15.
4. Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Kumpulan kuliah farmakologi. Ed 2. Jakarta: EGC; 2009. h. 305-13.

5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Farmakologi dan terapi. Ed 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011. h. 613-5.

11

Anda mungkin juga menyukai