LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama
: Ny. S
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 21 tahun 9 Bulan
Alamat
Diagnosis Pre-Op
: Appendicitis Akut
Tindakan Op
: Appendectomi
Jenis Anestesi
Tanggal Masuk
: 25 September 2016
Tanggal Operasi
: 29 September 2016
: 60 Kg
TB
: 155 cm
IMT
: 24,9
(Normal)
Anamnesis
Subjektif
Keluhan Utama
Nyeri pada perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri pada perut kanan bawah dirasakan sejak 3 minggu yang lalu sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan nyeri yang dirasakan pasien tiba tiba dan terus
menerus awalnya nyeri dirasakan pada bagian tengah dan menjalar ke kanan bawah
hingga bagian belakang , nyeri memberat apabila berjalan atau bersin dan berkurang
apabila tiduran dan miring ke kiri. 2 minggu sebelum mengalami nyeri perut kanan
bawah pasien mengeluhkan bila buang air kecil terasa sakit dan terkadang merasa
nyeri di bagian punggung. Pasien mengeluhkan muntah dari 3 minggu yang lalu,
muntah berupa cairan dan sehabis muntah pasien merasa panas di daerah
tenggorokan. Pasien juga mengeluhkan kesulitan BAB, dalam 3 minggu terakhir
pasien BAB sebanyak 3x.
Riwayat Penyakit Dahulu
HT (-), DM (-), Alergi (-) Asma (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Disangkal
Riwayat Pengobatan
1 minggu setelah mengalami nyeri perut kanan bawah pasien berobat ke bidan,
pasien berobat ke bidan mengeluhkan adanya batuk tidak berdahak lalu diberikan 2
macam obat oleh bidan namun pasien lupa nama obat tersebut. 1 minggu kemudian
pasien kembali berobat ke bidan yang berbeda mengeluhkan nyeri perut kanan bawah
serta keluhan apabila BAK yang sakit, dari bidan pasien diberikan 6 jenis obat dan
pasien diminta untuk melakukan usg di RSU dan dari hasil USG didapatkan adanya
batu ginjal di bagian kanan. Kemudian setelah berobat di RSU pasien berobat ke IGD
RSUD dan didapatkan adanya appendicitis.
Objektif
B1
: RR 20 x/menit
Teeth
Tongue
Tonsil
: T0-T0
Tumor
: tidak ada
Tiroid
Tiromental distance
Trakea
Tortikolis vertebrae
: normal
Mallampati score
Pulmo
B2
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
: BP 100/80 mmHg
HR 85 x/menit
Capillary refill time
Cor
: 2 detik
:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
HASIL
11.8
35.0
87,1
29,4
33,7
15.2
13.6
175
7,6
0,134
5,6
4.02
NILAI NORMAL
11.7 15.5
35 - 47
82 - 98
27 -32
32 -37
10 - 18
10 -15
150 -400
7 -11
0,20 0,50
3,6 11,0
3,8 5,2
B3
mm
NERVUS CRANIALIS :
N. okulomotorius, troklearis, abducen (N. III, IV,VI)
Kedudukan mata saat diam : ptosis (-)
Gerakan bola mata
: nistagmus (-)
Pupil:
Bentuk, lebar, perbedaan lebar
: bulat, isokor, 3 mm
Sensorik khusus :
Pengecapan 1/3 belakang lidah : dbn
Suara serak atau parau : Menelan :
Sulit menelan air atau cairan dibandingkan padat: dbn
N. Acesorius (N.XI)
Kekuatan m. trapezius
: dbn
Kekuatan m. sternokleidomastoideus
: dbn
N. hipoglosus (N. XII)
Tidak ada kelainan
REFLEKS FISIOLOGIS
Refleks Superficial
Dinding perut /BHR
: (+)
Cremaster
: tidak dilakukan
Refleks tendon / periostenum :
BPR / Biceps
: +/ +
TPR / Triceps
: +/ +
KPR / Patella
: +/ +
APR / Achilles
:+/+
B4
B5
Inspeksi
: Supel
Auskultasi
Perkusi
: Timpani
Palpasi
B6
: Ekstremitas
Akral hangat +/+/+/+ kemerahan, kering
Edema ///
Sianosis ///
6
Deformitas ///
Suhu axila 36.5 C
Assesment
Pasien perempuan, usia 21 tahun dengan diagnosis Appendisitis Kronik Eksaserbasi
akut ASA II Mallampati I
Planning
Jenis Pembedahan
: Appendectomi
Jenis Anestesi
Permasalahan
Permasalahan medis
Permasalahan bedah
bagian belakang
Perdarahan
Permasalahan anestesi
Dehidrasi
Dehidrasi
Muntah
Aspirasi
Persiapan Pre-Operasi
1. Persiapan pasien :
a. Informed Consent
b. Pasien puasa 6 12 jam pre op
c. Infuse RL 20 tpm
d. Tanda vital
2. Persiapan alat anestesi :
a. STATIC :
S : Scope Stetoskop, laringoskop
T : Tubes pipa trakea. ETT No. 7,0 (cuffed)
A : Airway orofaring airway support Guedel no.3
T : Tape plester
I : Introducer mandrin atau stilet
C : Connector penyambung pipa dan peralatan anesthesia
S : Sucstion, Spuit 10 cc, spray lidocain, Gel
b. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, EKG
c. Spinal set
1) Jarum spinal ujung tajam
2) Kassa, betadine dan alkohol
3) Spuit 5cc
3. Persiapan obat anestesi:
a. Lidocain 2%
b. Bupivacain 0,5%
c. Pethidin 100 mg/ 2cc amp
d. Fentanyl 0,05 mg/ cc amp
e. Propofol 200 mg/ 20 cc amp
f. Ketamin 100 mg/ cc vial
g. Succinilcholin 200 mg/ 10 cc vial
h. Tramus 10 mg/cc amp
i. Efedrin HCl 50 mg/ cc amp
j. Sulfas atropin 0,25 mg/cc amp
k. Ondansentron 4 mg/ 2cc amp
l. Aminofilin 24 mg/ cc amp
m. Dexamethason 5 mg/ cc amp
n. Adrenalin 1 mg/ cc amp
o. Neostigmin 0,5 mg/ cc amp
p. Midazolam 5 mg/ 5 cc amp
q. Ketorolac 60 mg/ 2 cc amp
r. Difenhiframin 5 mg/ cc amp
Durante Operasi
a.
b.
c.
d.
Anastesi
: Bupivacain 4 ml
Lama operasi
: 12.25 13.35
Lama anestesi
: 12.25 13.35
Obat yang digunakan
1) Pre-Medikasi
:
Inj. Ondansetron 4mg
Inj. Ranitidin 50 mg
Inj. Ketorolac 30 mg
Inj Midazolam 2 mg
Inj. Pethidin 100 mg
Inj Sulfas Atropin 0,25 mg/cc
2) Induksi Bupivacaine HCL 3 ml
3) Maintenance : O2 3 liter/menit
e. Teknik Anastesi:
1) Jam 12.25 pasien masuk kamar operasi, ditidurkan terlentang di atas meja
operasi, manset dan monitor dipasang.
2) Jam 12.30 dilakukan anastesi spinal dengan prosedur sebagai berikut:
a) Pasien diposisikan duduk tegak dan kepala ditundukkan
b) Dilakukan identifikasi di inter space L3-L4, desinfeksi lokal dan
lakukan anestesi di daerah tusukan dan diperluas menggunakan
lidocain 2 mL.
c) Dilakukan penyuntikan dengan jarum Spinocan G 27 menembus
sampai ruang subarachnoid, ditandai dengan keluarnya LCS,
barbotage positif, dimasuki induksi bupivacain 3 mL
d) Pasien diposisikan tidur telentang kembali dan pasang kanul nasal
oksigen 3L/m
e) Nilai level blok sensorik hasilnya blok setinggi vertebra toracal VI.
3) Monitoring
Memastikan kondisi pasien stabil dengan monitoring vital sign setiap
lima menit
Pernafasan: O2 nasal canule 3 liter/menit
Waktu
Tekanan
Nadi
SpO2
Keterangan
12.25
Darah
120/80
80
99
99
tpm
Posisikan
12.30
120/80
90
pasien
untuk
tindakan anestesi
Penyuntikan Lidocain
mL
Induksi dengan Bupivacain
3 mL
Pemasangan kanul nasal O2
12.35
130/90
76
100
3 Lmenit
Pelaksanaan operasi
Penggantian infus HEES
500cc 20 tpm
Injeksi Midazolam 2 mg
(iv)
Injeksi Ranitidin 50 mg
(iv)
Injeksi ondansetron 4 mg
12.40
12.55
115/68
130/70
90
60
100
100
(iv)
Pelaksanaan operasi
- Pelaksanaan operasi
- Pemberian
Sulfas
Atropin 0,25mg/cc
13.15
13.30
13.35
130/75
130/70
120/80
85
83
88
100
100
100
Pelaksanaan operasi
Pemberian
PEthidin
100mg
Penggantian infus RL 500 cc
Pemberian
injeksi
Keorolac 30 mg (iv)
Operasi selesai
Pasien dipindahkan
ke
recovery room
4) Jam 13.35 operasi selesai
5) Jam 13.40 pasien dipindahkn ke recovery room dalam keadaan sadar
dengan posisi terlentang, kepala di ekstensikan, diberikan nasal kanul O 2
3 liter/menit, dan tanda vital di monitoring tiap 10 menit
Post-Operasi
Keluhan:
Mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (+)
Pemeriksaan fisik:
B1
B2
B3
B4
: terpasang kateter 16F, urine warna kuning jernih (+), produksi urin
250 cc.
10
B5
B6
Point
4 ekstermitas
2 ekstremitas
Spontan+batuk
Nafas kurang
Beda <20%
20-50%
>50%
Sadar penuh
Ketika dipanggil
Kemerahan
Pucat
Sianosis
Total
Nilai
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
Pada Pasien
Bromage Score
0
1
2
3
RR
Keterangan
11
13.40
120/80
64
22
O2 3 L/menit, Monitoring
tanda vital
13.50
125/70
62
20
14.00
120/80
64
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Anestesi Regional Spinal
II. 1. 1. Persiapan Pra-Anestesi
12
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan
tindakan tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
1
c
d
13
14
15
16
ligamentum
supraspinosum,
ligamentum
interspinosum,
17
Sadle back anestesi, yang terkena pengaruhnya adalah daerah lumbal bawah dan
segmen sakrum.
Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk thoraks
bawah, lumbal dan sakral.
Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk daerah
thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih tinggi.
18
Keuntungan
1
Respirasi spontan
Lebih murah
Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru pada pasien
dengan perut penuh
Kerugian
1
Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan
pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.
Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2.
Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
Trauma saraf
Mual-muntah
19
Gangguan pendengaran
= 4 ml / kgBB/jam
b. Sedang
= 6 ml / kgBB/jam
c. Berat
= 8 ml / kgBB/jam
20
3 Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
Kebutuhan cairan dan elektrolit pada dewasa:10
a
Na
: 1 2 mEq/kgBB/hari
: 1 mEq/kgBB/hari.
Kebutuhan kalori rata rata/ kgBB orang dewasa, dipengaruhi oleh faktor
trauma atau stress (Prawirohardjo, 2007).
II. 1. 4. Pemullihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar menjadi batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang keadaan pasien setelah anestesi dan pembedahan. Untuk
regional anestesi digunakan skor Bromage.
II. 2. Apendisitis
II. 2. 1. Pengertian
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Apendiks disebut juga umbai
cacing.
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit.
Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15 cm) dan berpangkal di sekum. Apendiks
menghasilkan lendir 1-2 ml per hari.
21
22
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan
mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan
bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding
apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini
pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses
peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus
halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan
istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang lebih
panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih
kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi
mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami
peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.
II. 2. 4. Gambaran Klinis
23
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada
umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih
ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan
jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak
dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya
karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai
dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat
dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika
meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan
atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas
dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi
m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
a. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis
meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulangulang (diare).
b. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
24
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana
gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali
anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian
akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena
ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi.
Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi
perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang
gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses
ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya.
Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis
berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa
yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan
lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
II. 2. 5. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga
pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
b. Palpasi
pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri, dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing
(Rovsing Sign), dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan
25
terasa nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg
Sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak
apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan
ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak
didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis
pelvika.
d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang
meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di
m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan
ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
pelvika.
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein
reaktif (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas
75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang
meningkat.
b. Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks.
Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian
yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari
26
27
ditekan. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai
dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri dan teraba
pembengkakan massa serta bertambahnya leukosit.
Riwayat klasik apendisitis akut diikuti dengan adanya massa dan nyeri
di region iliaka kanan dan disertai demam mengarahkan ke diagnosis massa
atau abses periapendikuler. Kadang sulit dibedakan dengan karsinoma sekum,
penyakit Crohn, dan amuba. Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis
yang khas.
II. 2. 7. Tatalaksana
Apendektomi direncanakan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah
ditenangkan. Sebelumnya pasien diberikan antibiotika kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, sekitar 6-8 minggu
dilakukan apendektomi. Pada anak kecil dan wanita hamil dan penderita usia lanjut
jika secara konservatif tidak tidaak membaik atau berkembang menjadi abses dapat
diperyimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.
a
Apendisitis perforate
Adanya fekalit, umur, dan keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang
yang berperanan dalam terjadinya perforasi apendiks. Dilaporkan insidens
perforasi 60% pada penderita diatas usia 60 tahun. Faktor yang
mempengaruhi tingginya insiden perforasi pada orang tua adalah gejalanya
yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi berupa
penyempitan apendiks, arteriosklerosis. Insiden tinggi pada anak disebabkan
oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga
memperpanjang diagnosis, proses pendinginan yang kurang sempurna
akibat perforasi yang berlangsung cepat dan omentum yang belum
berkembang.
II. 2. 8. Diagnosis
28
29
BAB III
PEMBAHASAN
III. 1. Permasalahan Dari Segi Medik
Penegakan diagnosis bedah
Pasien Ny. S 21 tahun memeliki keluhan nyeri pada region abdomeni tengah
kemudian nyeri menjalar ke region abdomen bagian kanan bawah. Rasa sakit yang
dirasakan tiba-tiba dan terus menerus. Pada pasien ini dalam pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan pada region abdomen kanan bawah dan nyeri lepas, Nyeri
tekan titik Mc Burney (+), Rovsing sign (+), Blumberg sign (+) Psoas sign (+).
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan, dapat diambil kesimpulan bahwa pasien
didiagnosa apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut.
30
d.
e.
f.
g.
3) Maintenance
O2 nasal canul 3 L/menit
Terapi Cairan
Kebutuhan cairan yang diperlukan selama operasi dan karena trauma operasi
selama 1 jam, yang dihitung berdasarkan berat badan (BB) penderita:
BB = 60
a. Maintenance
= 4 x 10 kg = 40 cc
= 2 x 10 kg = 20 cc
= 1 x 40 kg = 40 cc
= total 100 cc/ jam
b. Stress operasi
= 6 cc/kgbb/ jam
= 6 x 60= 360 cc/jam
32
urine output,
Post operatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke recovery room. Observasi post operasi
dengan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan darah, nadi,
suhu dan respirasi). Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit
III. Permasalahan Dari Segi ASA PS
Pada pasien termasuk ASA PS II sesuai karena pasien terdapat nyeri perut
kanan bawah, dan leukositosis. Sehingga pasien dikategorikan ASA PS II.
33
BAB IV
PENUTUP
IV. 1. Kesimpulan
Ny.S, 21 tahun dengan diagnosis Apendisitis Kronik Eksaserbasi Akut. Dari
anamnesis didapatkan keluhan nyeri di perut kanan bawah yang pada awalnya
keluhan tersebut dirasakan pada ulu hati yang kemudian berpindah ke perut bagian
kanan bawah. Lokasi operasi yang dilakukan adalah di regio inguinalis dextra.
Anestesi menggunakan anaestesi regional dengan teknik anestesi spinal, Pada
pasien ini dilakukan operasi pada abdomen bagian bawah, dimana hal tersebut
merupakan indikasi anestesi spinal. Tindakan operasi dan anestesi berjalan lancar
tanpa penyulit.
IV. 2. Saran
1. Persiapan preoperative pada pasien perlu dilakukan lebih baik lagi, agar
proses anestesi dan pembedahan dapat berjalan dengan baik
2. Memperhatikan kebutuhan cairan pasien pada saat operasi berlangsung.
3. Pemantauan tanda vital selama operasi terus menerus agar dapat melihat
keadaan pasien selama pasien dalam keadaan anesthesia.
34
DAFTAR PUSTAKA
1
Tony H., (1998). Anestesi umum dalam Farmakologi dan Terapi, edisi IV. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
Morgan G.E., Mikhail M.S., (1992). Clinical Anesthesiology. 1st ed. A large
medical Book
Wim de Jong, (1996) Buku Ajar lmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta,
35