Anda di halaman 1dari 16

1.

Memahami dan Menjelaskan tentang Kapiler Darah


1.1 Definisi
Kapiler darah adalah jaringan pembuluh darah kecil yang membuka pembuluh
darah utama (pembuluh berdinding tipis yang berjalan langsung dari arteroid ke
venula). Kapiler ini memiliki diameter antara 4 9 mikrometer, hampir tidak cukup
besar untuk aliran sel darah merah. Zat yang terlarut lemak, seperti oksigen dan
karbondioksida, melewati kapiler ke ruang interstitial dengan berdifusi menembus sel
endotel.
[Corwin, E.J. (2009). Buku Saku Patofisologi. Jakarta: EGC. Hal: 453]
[Gibson, J. (2003). Fisiologis dan Anatomi Modern untuk Perawat. Ed. 2. Jakarta:
EGC. Hal: 126]
1.2 Fungsi
1) Tempat terhubungnya arteri dan vena
2) Wadah terjadinya pertukaran cairan, makanan, elektrolit, hormon, dan bahanbahan lainnya
3) Filtrasi pada ginjal
4) Absorbsi sekret kelenjar
5) Absorbsi nutrisi pada usus
6) Membuang sampah terhadap sel-sel disekitarnya
1.3 Ciri
1) Berukuran sangat kecil dengan diameter 5 10 mikrometer
2) Denyutnya tiak dapat dirasakan
3) Tidak mempunyai katub
4) Tersebar di seluruh permukaan tubuh
5) Jika mengalami luka, darah akan menetes
6) Bercabang-cabang
7) Tersusun atas selapis sel an sangat sempit
[www.artikelsiana.com/2014/12/pengertian-fungsi-ciri-pembuluh-kapiler.html]
1.4 Jenis
1) Kapiler Kontinu
Kapiler kontinu mendapatkan nama mereka dari fakta bahwa sel-sel pembentuk
mereka memberikan
lapisan
terus
menerus
tanpa
interupsi.
Ada
persimpangan
sangat ketat dalam
pembuluh
darah
kecil, yang hanya
memungkinkan
molekul terkecil, seperti molekul air, untuk menembus lapisan. Jenis ini
ditemukan di area tubuh seperti sistem saraf pusat, otot rangka, dan kulit.
2) Kapiler Fenestrated
1

Kapiler fenestrated
mengandung
poripori yang sangat
kecil atau bukaan
yang disebut fenestra.
Pembuluh
ini
memungkinkan
molekul kecil juga,
karena
jumlah
terbatas
nutrisi,
melewati
dinding
mereka. Mereka yang
paling sering ditemukan dalam sistem endokrin tubuh, yang mengatur
pertumbuhan dan reproduksi dan termasuk kelenjar seperti hipofisis dan tiroid.
Jenis pembuluh darah ini juga ditemukan dalam tingkat yang lebih rendah pada
organ lain, termasuk ginjal, pankreas dan usus.
3) Kapiler Sinusodial
Bentuk ini sedikit tidak teratur, tidak memiliki bentuk silinder khas dari jenis lain.
Pembuluh ini juga
dapat
fenestrated,
meskipun
karena
bentuknya yang tidak
teratur,
mereka
dikategorikan secara
terpisah.
Mereka
ditemukan
pada
organ seperti hati dan
limpa,
serta
di
sumsum tulang dan
bagian-bagian dari sistem endokrin.
1.5 Struktur

Pada rangkaian mesentrium, darah memasuki kapiler melalui arteriol dan


meninggalkan arteri melalui venula. Darah yang berasal dari arteriol akan memasuki
2

metarteriol atau arteriol terminalis dan yang mempunyai struktur pertengahan antara
arteriol dan kapiler. Sesudah meninggalkan metarteriol, darah memasuki kapiler yang
berukuran besar disebut saluran istimewa dan yang berukuran kecil disebut kapiler
murni. Sesudah melalui kapiler, darah kembali ke dalam sistemik melalui venula.
Arteriol sangat berotot dan diameternya dapat berubah beberapa kali lipat.
Metarteriol tidak mempunyai lapisan otot yang bersambungan, namun mempunyai
serat-serat otot polos yang mengelilingi pembuluh darah pada titik-titik yang
bersambungan.
Pada titik dimana kapiler murni berasal dari metarteriol, serat otot polos
mengelilingi kapiler yang disebut dengan sfingter prekapiler yang dapat membuka
dan menutup jalan masuk ke kapiler.
Venula ukurannya jauh lebih besar daripada arteriol tapi lapisan ototnya lebih
lemah.

1.6 Mekanisme
Pertukaran zat antara darah dan jaringan melalui dinding apiler terdiri dari 2 tahap:
1) Difusi Pasif
Dinding kapiler tidak ada sistem transportasi, sehingga zat terlarut
berpindah melalui proses difusi menuruni gradien konsentrasi mereka. Gradien
konsentrasi adalah perbedaan konsentrasi antara 2 zat yang berdampingan. Difusi
zat terlarut terus berlangsung independen hingga tidak ada lagi perbedaan
konsentrasi antara darah dan sel di sekitarnya.
2) Bulk Flow
Merupakan suatu volume cairan bebas protein yang tersaring keluar
kapiler, bercampur dengan cairan interstitium di sekitarnya, dan kemudian
direabsorbsi. Bulk flow sangat penting untuk mengatur distribusi Cairan Ekstrasel
antara plasma dan cairan interstitium. Proses ini disebut bulk flow karena berbagai
konstituen cairan berpindah bersama-sama sebagai satu kesatuan.
a. Tekanan di dalam kapiler melebihi tekanan di luar sehingga cairan terdorong
keluar melalui pori-pori tersebut dalam suatu proses yang disebut ultrafiltrasi.
b. Tekanan yang mengarah ke dalam melebihi tekanan keluar, terjadi
perpindahan netto cairan dari kompartemen interstitium ke dalam kapiler
melalui pori-pori yang disebut dengan reabsorpsi.

Bulk flow dipengaruhi oleh perbedaan tekanan hidrostatik dari tekanan


osmotik koloid antara plasma dan cairan interstitium.
1.7 Faktor
Hukum Starling: Kecepatan dan arah perpindahan air dan zat terlarut antara kapiler
dan jaringan dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik dan osmotik masing-masing
kompartemen.
1) Tekanan Hidrostatik Kapiler (Pc)
Tekanan cairan/ hidrostatik darah yang bekerja pada bagian dalam dinding
kapiler. Tekanan ini mendorong cairan dari membran kapiler untuk masuk ke
dalam cairan interstitium. Secara rata-rata, tekanan hidrostatik di ujung arteriol
kapiler jaringan adalah 37 mmHg dan semakin menurun menjadi 17 mmHg di
ujung venula.
2) Tekanan Koloid Osmotik Kapiler (c) / Tekanan Onkotik
Yaitu suatu gaya akibat dispersi koloid protein-protein plasma. Tekanan ini
mendorong gerakan cairan ke dalam kapiler. Plasma mempunyai konsentrasi
protein yang lebih besar dan konsentrasi air yang lebih kecil daripada di cairan
interstitium. Perbedaan ini menimbulkan efek osmotik yang mendorong air dari
daerah dengan konsentrasi air tinggi di cairan interstitium ke daerah dengan air
yang berkonsentrasi rendah (konsentrasi protein lebih tinggi) dari palsma.
Tekanan koloid osmotik plasma rata-rata adalah 25 mmHg.
3) Tekanan Hidrostatik Cairan Interstitium (Pi)
Tekanan ini bekerja di bagian luar dinding kapiler oleh cairan interstitium.
Tekanan ini mendorong cairan masuk ke dalam kapiler. Tekanan hidrostatik cairan
interstitium dianggap 1 mmHg.
4) Tekanan Osmotik Koloid Cairan Interstitium (i)
Sebagian kecil protein plasma yang bocor keluar dinding kapiler dan
masuk ke ruang interstitum dalam keadaan normal akan dikembalikan ke dalam
darah melalui sistem limfe. Tetapi apabila protein plasma bocor secara patologis,
protein yang bocor menimbulkan efek osmotik yang akan mendorong perpindahan
cairan keluar dari kapiler dan masuk ke cairan interstitium.
Filtrasi sepanjang kapiler terjadi karena ada tenaga Starling: Perbedaan
tekanan hidrostatik intravaskuler dan interstitium, dan perbedaan tekanan koloidosmotik intravaskuler dan interstitiil. Maka aliran cairan:
K = (Pc + c) (Pi + i)
Ket: K
Pc
Pi
c
i

= Koefisien filtrasi kapiler


= Tekanan hidrostatik kapiler
= 37 mmHg
= Tekanan hidrostatik interstitial
= 17 mmHg
= Tekanan koloid-osmotik kapiler = 25 mmHg
= Tekanan koloid-osmotik interstitial = diabaikan
4

[Sherwood, L. (2001). Fisiologis Manusia dari Sel ke Sistem. Ed. 2. Jakarta:


EGC: 319 321]
2. Memahami dan Menjelaskan tentang Keseimbangan Cairan
2.1 Aspek Biokimia
Pengaturan keseimbangan cairan dapat melalui sistem endokrin, seperti sistem
hormon (ADH), aldosteron, prostaglandin, glukokortikoid, dan mekanisme rasa haus.
1) ADH
Hormon ini memiliki peran dalam meningkatkan reabsorbsi air sehingga
dapat mengendalikan keseimbangan air dalam tubuh. Hormon ini dibentuk oleh
hipotalamus di hipofisis posterior, yang mengsekresi ADH dengan meningkatan
osmolaritas dan menurunkan cairan ekstrasel.
2) Aldosteron
Hormon ini berfungsi sebagai absorbsi natrium yang disekresi kelenjar
adrenal dan tubulus ginjal. Proses pengeluaran aldosteron ini diatur oleh adanya
perubahan konsentrasi kalium, natrium, dan sistem angiotensin renin.
3) Prostaglandin
Prostaglandin merupakan asam lemak yang terdapat pada jaringan yang
berfungsi merespon radang, mengendalikan tekanan darah dan kontraksi uterus
serta mengatur pergerakkan gastrointestinal.
4) Glukokortikoid
Hormon ini berfungsi mengatur peningkatan reabsorbsi natrium dan air
yang menyebabkan volume darah meningkat sehingga terjadi retensi natrium.
5) Mekanisme Rasa Haus
Mekanisme rasa haus diatur dalam rangka memenuhi kebutuhan cairan
dengan cara merangsang pelepasan renin yang dapat menimbulkan produksi
angiotensin II sehingga merangsang hipotalamus untuk rasa haus.
2.2 Aspek Fisiologis
Pengaturan kebutuhan cairan dan elektrolit dalam tubuh diatur oleh ginjal, paru-paru,
kulit, dan gastrointestinal.
1) Ginjal
Ginjal merupakan organ yang memiliki peran cukup besar dalam mengatur
kebutuhan cairan dan elektrolit. Hal ini terlibat pada fungsi ginjal, yaitu sebagai
pengatur air, pengatur konsentrasi garam dalam darah, pengatur keseimbangan
asam basa darah, dan ekskresi bahan buangan/ kelebihan garam.
Proses pengaturan kebutuhan keseimbangan air ini diawali oleh
kemampuan bagian ginjal, seperti glomerolus, dalam menyaring cairan. Rata-rata
setiap 1 liter darah mengandung 500 cc plasma yang mengalir melalui glomerlus,
10%-nya disaring keluar. Cairan yang tersaring (flitrat glomerolus), kemudian
mengalir melalui tubulus renalis yang sel-selnya menyerap semua bahan yang
dibutuhkan. Jumlah urin yang diproduksi ginjal dapat dipengaruhi oleh ADH dan
aldosteron rata-rata 1 ml/kgBB/jam.
5

2) Paru-Paru
Organ paru-paru berperan mengeluarkan cairan dengan menghasilkan
insensible water loss 400 ml/hari. Proses pengeluaran cairan terkait dengan
respon akibat perubahan upaya kemampuan bernafas.
3) Kulit
Kulit merupakan bagian penting pengaturan cairan yang terkait dengan
proses pengaturan panas. Proses ini diatur oleh pusat pengatur panas yang disarafi
oleh vaso motorik dengan kemampuan mengendalikan arteriol kutan dengan cara
vasodilatasi dan vasokonstriksi. Proses pelepasan panas dapat dilakukan dengan
cara penguapan panas. Jumlah keringat yang dikeluarkan tergantung banyaknya
darah yang mengalir melalui pembuluh darah dalam kulit. Proses pelepasan panas
lainnya dapat dilakukan melalui cara pemancaran panas ke udara sekitar konduksi
(pengalihan panas ke benda yang disentuh), dan konveksi (pengaliran udara panas
ke permukaan yang lebih dingin).
4) Gastrointestinal
Gastrointestinal merupakan organ saluran pencernaan yang berperan dalam
mengeluarkan cairan melalui proses penyerapan dan pengeluaran air. Dalam
kondisi normal, cairan yang hilang dalam sistem ini sekitar 100 200 ml/hari.
3. Memahami dan Menjelaskan tentang Edema
3.1 Definisi
Edema adalah pembengkakan yang dapat diamati dari akumulasi cairan dalam
jaringan-jaringan tubuh. Edema paling umum terjadi pada feet (tungkai-tungkai) dan
legs (kaki-kaki), dimana ia dirujuk sebagai peripheral edema.
[www.forumsains.com/kesehatan/edema/?wap]
Edema adalah pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan interstitium.
Penimbunan terjadi ketika salah satu gaya yang bekerja melintasi dinding kapiler
menjadi abnormal karena suatu hal.
[Fisiologis Manusia, Sherwood]
3.2 Jenis
1) Berdasarkan Keadaan saat Ditekan:
a. Edema Pitting
Pada edema ini, apabila daerah yang mengalami edema ditekan, maka
akan timbul cekungan pada daerah yang ditekan, bentuknya sesuai dengan
bentuk benda yang kita gunakan untuk menekan. Sebenarnya cekungan yang
terbentuk ini dapat kembali seperti semula, tetapi membutuhkan waktu yang
cukup lama. Edema pitting ini biasanya terjadi pada kasus edema sistemik.
b. Edema Non Pitting
Edema non pitting adalah keadaan edema apabila ditekan pada bagian
edema, maka dengan segera cekungan itu akan kembali seperti semula, bahkan
tidak akan timbul bekas bahwa bagian yang terkena edema sudah ditekan.
6

Edema non pitting ini biasanya terjadi pada kasus edema yang disebabkan
karena inflamasi, obstruksi pembuluh limfe, dll.
[Harrison. (1995). Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol.3 . Yogyakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC]
2) Berdasarkan Bagian Tubuh Spesifik:
a. Edema Lokal
Edema lokal ialah apabila pembengkakan terjadi pada sebagian tubuh
atau satu sisi tubuh saja, misalnya kaki bengkak, bibir bengkak, mata bengkak,
dan sebagainya.
b. Edema General
Edema general ialah apabila pembengkakan terjadi pada lebih dari satu
bagian tubuh. Edema general disebut edema anasarka apabila akumulasi cairan
yang berlebihan terjadi bersamaan dan tersebar luas di dalam semua jaringan
dan rongga tubuh yang terjadi secara bersamaan.
[mediskus.com/penyakit/edema]
3) Berdasarkan Letaknya:
a. Cerebral Edema = Edema pada otak
b. Pulmonary Edema = Edema pada paru-paru
c. Macular Edema = Edema pada mata
d. Idiopathic Edema = Belum diketahui
[www.nhs.uk/Conditions/Oedema/Pages/Introduction.aspx]
e. Skin Edema = Edema pada kulit
f. Cardiac Edema = Edema pada jantung
g. Lymphedema = Pada gagalnya sistem limfatik untuk membuang cairan dari
ruang interstitial
h. Myxedema = Kondisi langka dari edema, dimana jaringan penyambung diisi
dengan komponen seperti karbohidrat yang hidrofilik seperti hyaluronan.
Komponen ini menarik air ke dalam jaringan matriks dan membengkak secara
cepat
[www.progressivehealth.com/edema-types.htm]
i. Prepattelar Edema = Edema pada dengkul (Pre = depan ; Pattelar = dengkul)
[www.watercures.org/types-of-edema.html]
j. Hydrothorax = Edema pada rongga dada
k. Hydropericardium = Edema pada pericardium
l. Hydroperitoneum = Edema pada rongga perut
4) Berdasarkan Lamanya:
a. Edema Akut
Akut adalah istilah medis yang berarti onset mendadak. Jadi jika Anda
baru menyadari bahwa Anda memiliki edema, maka Anda kemungkinan besar
mengalami edema akut.
b. Edema Kronik
Kronis adalah istilah medis yang mengacu pada kondisi yang sedang
berlangsung atau sesuatu yang telah ada selama 6 bulan atau lebih dan bahkan
mengkin bertahun-tahun.
[www.watercures.org/types-of-edema.html]
7

3.3 Etiologi
1) Peningkatan Tekanan Kapiler
Tekanan darah berfungsi mendorong cairan dari pembuluh darah ke arah
rongga interstitial (Pringoutomo, 2002). Tekanan darah dalam kapiler bergantung
pada:
a. Tonus arteriol
b. Kebebasan aliran darah dalam vena
c. Sikap tubuh (posture)
d. Temperatur dan beberapa faktor lain
2) Penurunan Tekanan Osmotik Plasma
Tekanan osmotik koloid plasma berfungsi untuk mempertahankan cairan
agar tidak mengalir ke dalam rongga interstitial. Hal ini terutama merupakan
fungsi albumin. Albumin dihasilkan oleh hati dan apabila terdapat kerusakan pada
hati, maka dapat terjadi keadaan hipoalbuminemia. Pada sindrom nefrotik,
penyakit ginjal yang ditandai oleh proteinuria akibat peningkatan permeabilitas
membran basalis glomerolus, hipoalbuminemia terjadi karena kehilangan
berlebihan albumin dalam urin. Pada kasus kedua tersebut, hipoalbuminemia
mengakibatkan penurunan tekanan osmotik plasma, yang memungkinkan cairan
tersebut merembes ke dalam rongga interstitial (Pringoutomo, 2002).
3) Obstruksi Saluran Limfe
Cairan limfe merupakan sebagian cairan hasil metabolisme yang masuk ke
dalam pembuluh limfe. Saluran limfe ini berfungsi sebagai jalan utama aluran
cairan interstitial (Pringoutomo, 2002). Apabila terjadi obstruksi, maka dapat
terjadi edema pada bagian distal daerah obstruksi. Hal yang menyebabkan
obstruksi saluran limfe yaitu berupa kanker payudara, fibrosis pascaradiasi dan
filariasis (Himawan, 1990).
4) Peningkatan Permeabilitas Kapiler
Bertambahnya permeabilitas kapiler dapat terjadi pada:
a. Infeksi berat
b. Reaksi anafilatik
c. Keracunan akibat obat-obatan atau zat kimiawi
d. Anoxia vena yang meningkatkan akibat payah jantung
e. Kekurangan protein dalam plasma akibat albuminuria
f. Reaksi natrium an air pada penyakit ginjal tertentu
5) Gangguan Pertukaran Natrium atau Keseimbangan Elektrolit
Edema yang terjadi pada gangguan pertukaran natrium atau keseimbangan
elektrolit didahului oleh keadaan hipertonik. Selanjutnya, hipertonik akan
menahan air yang berada dalam pembuluh atau ruang interstitial.
[Himawan, S. (1990). Patologi. Jakarta: Bagian Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran]
[Pringoutomo, S., Himawan, S., dan Tjarta, A. (2002). Patologi I (Umum).
Jakarta: Sagung Seto]
8

3.4 Manifestasi Klinik


1) Distensi vena jugularis, peningkatan tekanan vena sentral
2) Peningkatan tekanan darah, denyut nadi penuh, kuat
3) Melambatnya waktu pengosongan vena-vena tangan
4) Edema perifer dan periorbita
5) Asites, efusi pleura, edema paru akut (dispnea, takipnea, ronki basah di seluruh
lapangan paru
6) Penambahan berat badan secara cepat; penambahan 2% = kelebihan ringan,
penambahan 5% = kelebihan sedang, penambahan 8% = kelebihan berat
7) Hasil laboratorium: penurunan hematokrit, protein serum rendah, natrium serum
normal, natrium urin rendah (< 10 mEq/24 jam)
3.5 Pemeriksaan
1) Lokasi Pemeriksaan
a. Daerah sacrum
b. Di atas tibia
c. Pergelangan kaki
2) Langkah Pemeriksaan
a. Ucapkan salam
b. Inspeksi daerah edema (simetris, apakah ada tanda-tanda peradangan)
c. Lakukan palpasi pitting dengan cara menekan dengan menguunakan ibu
jari dan amati waktu kembalinya
3) Penilaian
a. Derajat I : Kedalaman 1 3 mm dengan waktu kembali 3 detik
b. Derajat II : Kedalaman 3 5 mm dengan waktu kembali 5 detik
c. Derajat III : Kedalaman 5 7 mm dengan waktu kembali 7 detik
d. Derajat IV : Kedalaman > 7 mm dengan waktu kembali 7 detik
3.6 Penatalaksanaan
Terapi edema harus mencakup terapi penyebab yang mendasarinya yang
reversibel (jika memungkinkan). Pengurangan asupan sodium harus dilakukan untuk
meminimalisasi retensi air. Tidak semua pasien edema memerlukan terapi
farmakologis, pada beberapa pasien terapi non farmakologis sangat efektif seperti
pengurangan asupan natrium (yakni kurang dari jumlah yang diekskresikan oleh
ginjal) dan menaikkan kaki diatas level dari atrium kiri. Tetapi pada kondisi tertentu
diuretik harus diberikan bersamaan dengan terapi non farmakologis. Pemilihan obat
dan dosis akan sangat tergantung pada penyakit yang mendasari, berat-ringannya
penyakit dan urgensi dari penyakitnya. Efek diuretik berbeda berdasarkan tempat
kerjanya pada ginjal. Pemeriksaan yang dilakukan sangat mudah yakni dengan
menekan pada daerah mata kaki akan timbul cekungan yang cukup lama untuk
kembali pada keadaan normal. Pemeriksaan lanjutan untuk menentukan penyebab dari
ankle edema adalah menentukan kadar protein darah dan di air seni (urin),
pemeriksaan jantung (Rontgen dada, EKG), fungsi liver dan ginjal. Pengobatan awal
yang dapat dilakukan dengan mengganjal kaki agar tidak tergantung dan meninggikan
kaki pada saat berbaring. Pengobatan lanjutan disesuaikan dengan penyebab yang
9

mendasarinya. Pergelangan kaki bengkak bisa akibat cedera atau penyakit tulang, otot
dan sendi. Penyebabnya secara umum akibat reaksi inflamasi/peradangan di daerah
tersebut, antara lain asam urat, rheumatoid arthritis dll (Irham, 2009).
4. Memahami dan Menjelaskan tentang Asites
4.1 Definisi
Asites adalah penimbunan cairan serosa (mirip serum) di rongga peritoneum. Rongga
peritoneum mencakup rongga abdomen dan daerah panggul sampai ke rongga di
bawah diafragma, tidak termasuk ginjal. Rangga ini dilapisis oleh suatu membran
tipis yang disebut poritoneum.
[Corwin, E.J. (2009). Buku Saku Patofisiologis. Jakarta: EGC; 657]
4.2 Jenis
1) Asites Eksudatif
Biasanya terjadi pada proses peradangan (biasanya infektif, misalnya pada
tuberculosis) dan proses keganasan. Eksudat merupakan cairan tinggi protein,
tinggi LDH, pH rendah (< 7,3), rendah kadar gula, disertai peningkatan sel arah
putih.
Beberapa penyebab dari asites eksudatif: keganasan (primer maupun
metastatis), infeksi (tuberkulosis maupun peritonitis bakterial spontan),
pankreasitis, serositis, dan sindroma nefrotik.
2) Asites Transudatif
Terjadi pada sirosis akibat hipertensi portal dan perubahan bersihan
(clearance) natrium ginjal juga bisa terdapat pada konstriksi perikardium dan
sindroma nefrotik. Transudat merupakan cairan dengan kadar protein rendah (< 30
g/L), rendah LDH, pH tinggi, kadar gula normal, dan sel darah putih kurang dari 1
sel per 1000 mm3.
Beberapa penyebab dari asites transudatif: sirosis hepatis, gagal jantung,
penyakit vena oklusif, perikarditis konstruktiva, dan kwasiokor.
[Davey, P. (2005). At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga]
4.3 Etiologi
Penyebab yang paling umum dari asites adalah penyakit hati yang telah lanjut
atau sirosis. Kira-kira 80% dari kasus-kasus asites diperkirakan disebabkan oleh
sirosis. Meskipun mekanisme yang tepat dari perkembangan tidak dimengerti
sepenuhnya, kebanyakan teori-teori menyarankan portal hypertension (tekanan yang
meningkat dalam aliran darah hati) sebagai penyumbang utama. Asas dasarnya adalah
serupa pada pembentukan dari edema ditempat lain di tubuh yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan tekanan antara sirkulasi dalam (sistem tekanan tinggi) dan luar,
dalam kasus ini, rongga perut (ruang tekanan rendah). Kenaikan dalam tekanan darah
portal dan pengurangan dalam albumin (protein yang diangkut dalam darah) mungkin
bertangung jawab dalam pembentukan gradien tekanan dan berakibat pada ascites
perut. (Randi, 2009)
Faktor-faktor lain yang mugkin berkontribusi pada asites adalah penahanan
garam dan air. Volume darah yang bersirkulasi mungkin dirasakan rendah oleh sensor10

sensor dalam ginjal-ginjal karena pembentukan dari asites mungkin menghabiskan


beberapa volume dari darah. Ini memberi sinyal pada ginjal-ginjal untuk menyerap
kembali lebih banyak garam dan air untuk mengkompensasi volume yang hilang.
Beberapa penyebab-penyebab lain dari asites berhubungan dengan gradien
tekanan yang meningkat adalah gagal jantung kongestif dan gagal ginjal yang telah
lanjut yang disebabkan oleh penahanan cairan keseluruhan dalam tubuh. Pada kasuskasus yang jarang, tekanan yang meningkat dalam sistem portal dapat disebabkan
oleh rintangan internal atau eksternal dari pembuluh portal, berakibat pada portal
hypertension tanpa sirosis. Hal ini disebabkan oleh massa (atau tumor) yang menekan
pada pembuluh-pembuluh portal dari rongga perut bagian dalam atau pembentukan
bekuan (gumpalan) darah dalam pembuluh portal yang menghalangi aliran normal
dan menongkatkan tekanan dalam pembuluh (contoh, Budd-Chiari syndrome).
Ada juga pembentukan asites sebagai akibat dari kanker-kanker, yang
disebut malignant ascites. Tipe-tipe asites ini secara khas adalah manifestasimanifestasi dari kanker-kanker yang telah lanjut dari organ-organ dalam rongga perut,
seperti: kanker usus besar, kanker pankreas, kanker lambung, kanker payudara,
lymphoma, kanker paru-paru, atau kanker indung telur.
Pancreatic ascites dapat terlihat pada orang-orang dengan pancreatic atau
peradangan pankreas kronis. Penyebab yang paling umum dari pankreatic kronis
adalah penyalahgunaan alkohol yang berkepanjangan. Pancreatic asites dapat juga
disebabkan oleh pankreatitis akut serta trauma pada pankreas.
Tingkat asites dapat ditentukan oleh semikuantitatif sebagai berikut:
1) Level 1: Bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat menyeluruh
2) Level 2: Mudah diidentifikasi dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah
minimal cairan.
3) Level 3: Dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus tetapi tidak tegang
permukaan perut.
4) Level 4: Asites permagna.
4.4 Manifestasi Klinik
1) Gejala-Gejala
a. Kehilangan selera/nafsu makan (anorexia)
b. Mersa mudah kenyang atau enek (Jw.) (early satiety)
c. Mual (nausea)
d. Nafas pendek/sesak (shortness of breath)
e. Nyeri perut (abdominal pain)
f. Nyeri ulu hati atau sensasi terbakar/nyeri dada, pyrosis (heartburn)
g. Pembengkakan kaki (leg swelling)
h. Peningkatan berat badan (weight gain)
i. Sesak nafas saat berbaring (orthopnea)
j. Ukuran perut membesar (increased abdominal girth)
2) Tanda-Tanda
11

a.
b.
c.
d.

Shifting dullness atau flank dulness


Fluid thrill
Fluid wave (sedikit bermakna medis)
Puddle sign (sedikit bermakna medis)

[http://kabarindonesia.com/berita.php?
pil=3&jd=Tips+Praktis+Mengenali+Asites&dn=20081219064249]
4.5 Patofisiologi
Penumpukkan cairan asites menggambarkan kadar natrium total dalam tubuh dan
pengeluaran air. Tetapi awal terjadinya ketidakseimbangan belum jelas. Terdapat 3
teori mengenai terbentuknya asites:
1) Teori Pengisian
Mengatakan bahwa penyebab utama ketidaknormalan jumlah cairan antara
jaringan vaskuler adalah HT portal dan penurunan sirkulasi aliran darah. Hal ini
mengaktifkan renin plasma, aldosteron, dan saraf simpatis sehingga menyebabkan
retensi natrium an air.
2) Teori Overflow
Mengatakan bahwa penyebab utama ketidaknormalan adalah retensi natrium dan
air di ginjal akibat kurangnya volume darah. Teori ini terbentuk berdasarkan
observasi pada pasien sirosis yang terdapat hipervolemia intervaskuler.
3) Teori Vasodilatasi Arteri Perifer
Teori yang terakhir hipotesa mengenai vasodilatasi arteri perifer mencakup kedua
teori di atas. Teori ini mengatakan bahwa hipertensi portal mengakibatkan
vasodilatasi yang akan menyebabkan penurunan volume darah arteri. Berdasarkan
perjalanan penyakit akan terjadi peningkatan neurohumoral yang akan
mengakibatkan retensi natrium dan cairan plasma keluar. Hal ini mengakibatkan
peningkatan cairan pada cavum peritoneal. Berdasarkan teori vasodilatasi, teori
underfilling berlaku pada sirosis tahap lanjut. (Unggul Budihusodo, 2012)
4.6 Pemeriksaan
1) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik difokuskan pada tanda-tanda hipertensi dan penyakit hati kronik
(www.daherba.com, 2013)
a. Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada penyakit hati meliputi ikterik, palmar
eritem, spindernevi
b. Pada palpasi hati sulit teraba jika terdapat asites dalam jumlah yang banyak,
tapi umumnya hati membesar. Puddlesign menunjukkan terdapat sebanyak
120 ml cairan. Ketika jumah cairan peritoneal sebanyak 500 ml asites dapat
ditunjukkan dengan pemeriksaan shiftingdulness+. Gambaran gelombang
cairan biasanya tidak akurat
c. Peningkatan cairan vena jugularis menunjukkan penyebab utamanya dari
jantung. Nodul kenyal paa daerah umbilikus yang disebut sister mary joseph
nodul, jarang ditemukan tetapi umumnya menggambarkan adanya Ca
peritoneal

12

d. Nodul patologis supraclavicula sebelah kiri (vichow nodul) menunjukkan


adanya keganasan pada daerah abdominal bagian atas
e. Pasien dengan penyakit jantung atau SN menunjukkan anasarka
2) Pemeriksaan Laboratorium
Cairan peritoneal harus diperiksa untuk dihitung jumlah sel, pada albumin, kultur,
total protein, pewarnaan gram, dan sitologi untuk jenis asites yang tidak diketahui
penyebabnya. (www.daherba.com, 2013).
a. Indikasi: kebanyakan cairan asites transparan dan kuning minimal 10000 sel
darah merah / microliter memeberikan warna cairan asites warna pink dan
jaringan terdapat 20000 sel darah merah / microliter diperkirakan berwarna
emrah seperti darah. Hal ini mungkin berhubungan dengan traumatik pungsi
atau keganasan.
Cairan kemerahan yang berasal dari traumatik pungsi berupa darah dan cairan
akan membentuk bekuan. Cairan yang non traumatik berwarna kemerahan dan
tidak membentuk bekuan karena cairan tersebut lisis. Jumlah neutrofil >
50000 sel/microliter memberikan gambar purulent dan menunjukan infeksi.
b. Jumlah hitung sel: Cairan asites yang normal mengandung < 500
leukosit/microliter dan < 250 leukosit PMN/microliter. Inflamasi yang lain
dapat menyebabkan peningkatan sel darah putih. Jumlah netrofil > 250 sel /
microliter menunjukan adanya hepatitis bakterial. Pada peritonitis TB
dan peritoneal Carsinomatosis terhadap predominan limfosit.
c. SAAG adalah pemeriksaan terbaik untuk mengklasifikasikan asites dengan
hipertensi portal (SAAG > 1,1 g/dl) dan non portal HT (SAAG < 1,1 gr/dl).
Pengukuran nilai albumin berhubungan langsung dengan tekanan portal.
Spesimen harus diperoleh secara berkelanjutan. Ketepatan hasil SAAG + 97%
dalam mengklasifikasikan asites. Kadar albumin yang meningkat dan rendah
menjelaskan sifat asites transudat/eksudat.
d. Protein total, Dulu cairan asites dikategorikan eksudat jika jumlah
protein > 0.5 g/dl, akan tetapi ketepatan hanya 56% untuk mendeteksi
penyebab eksudat. Kadar protein total merupakan informasi tambahan pada
pemeriksaan SAAG. Peningkatan SAAG dan jumlah protein yang meningkat
pada kebanyakan kasusasites dikarenakan kongesti hati. Pada pasien-pasien
dengan asites maligna mempunyai nilai SAAG yang rendah dan kadar protein
tinggi.
e. Kultur atau pewarnaan gram, Sensitifitas kultur darah kira-kira 92 % dalam
mendeteksi pertumbuhan bakteri pada cairan asites. Pewarnaan gram
sensitifitasnya hanya 10% dalam memberikan gambaran bakteri pada
peritonitis bakterial spontan. Kira-kira diperlukan 10000 bakteri/ml agar dapat
terlihat pada pewarnaan gram. Pada peritonitis bakteri spontan nilai
konsentrasi rata-rata bakteri 1 organisme/ml.

13

f. Sitologi, Pemeriksaan sitologi sensitifitasnya hanya 58-75 % dalam


mendeteksi asites maligna.
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Foto thorax dan abdomen
a) Kenaikan diafragma dengan atau tanpa efusi pleura simphatetik (hepatic
hydrothorax) terlihat pada asites masif. Jika terdapat lebih dari 500 ml
cairan asites harus dilakukan pemeriksaan BNO.
b) Tanda-tanda beberapa tanda asites nonspesifik seperti gambar abdomen
buram, penonjolan panggul, batas PSOAS kabur, ketajaman gambar
intraabdomen berkurang. Peningkatan kepadatan pada foto tegak,
terpisahnya gambar lengkung usus halus, dan terkumpulnya gas di usus
halus.
c) Tanda-tanda berikut lebih spesifik dan dapat dipercaya. Pada 80% pasien
asites, tepi lateral hati diganti oleh dinding thorax abdomen (Hellmer sign).
Obliterasi sudut hepatik terlihat pada 80% orang sehat. Pada pelvic
penumpukan cairan pada kantung rektovesika dan dapat meluap ke fossa
paravesika. Adanya cairan memberikan gambaran kepadatan yang simetris
pada kedua sisi kantung vesika urinaria yang di sebut dogs
ear ataumickey mouse appearance. Pergeseran sekum dan kolon
ascenden kearah tengah dan pergeseran, dan pergeseran garis lemak
properitoneal kelateral terlihat pada 90% dengan asites yang signifikan.
b. USG
a) Real-time sonografi adalah pemeriksaan cairan asites yang paling mudah
dan spesifik. Volume sebesar 5-10 ml dapat dapat terlihat. Asites yang
sederhana terlihat seperti gambar yang homogen, mudah berpindah,
anechoic di dalam rongga peritoneal yang akan menyebabkan terjadinya
peningkatan akustik. Cairan asites tidak akan menggeser organ, tetapi
cairan akan berada diantara organ-organ tersebut. Akan terlihat jelas batas
organ, dan terbentuk sudut pada perbatasan antara cairan dan organ-organ
tersebut. Jumlah cairan minimal akan terkumpul pada kantung morison
dan
mengelilingi
hati
membentuk
gambar
karakteristik
polisiklik, lollipop atau arcuate appearance di karenakan cairan
tersebut tersusn secara vertikal pada sisi mesenterium.
b) Gambar sonographic tertentu menunjukan adanya asites yang terinfeksi,
inflamasi, atau adanya keganasan. Gambar tersebut meliputi echoes
internal kasar (darah), echoes internal halus (chyle), septal multiple
(peritonitis tuberkulosa, pseudomyxoma, peritonei), distribusi cairan
terlokalisir atau atipik, gumpalan lengkung usus, dan penebalan batas
antara cairan dan organ yang berdekatan.
c) Pada asites maligna lengkung usus tidak dapat mengapung secara bebas,
tetapi tertambat pada dinding posterior abdomen, melekat pada hati atau
organ lainnya atau lengkung usus tersebut dikelilingi oleh cairan yang
terlokalisir.
14

d) Kebanyakan pasien (95%) dengan keganasan peritonotis mempunyai


ketebalan dinding empedu kurang dari 3 mm. Penebalan kantung empedu
berhubungan dengan asites jinak pada 82 % kasus. Penebalan kantung
empedu secara umum akibat sirosis dan HT portal.
c. CT-Scan
Asites terlihat jelas dengan pemeriksaan CT-Scan. Sedikit cairan asites
terdapat pada ruang periheoatik kanan, ruang subhepatik posterior (kantung
morison), dan kantung douglas. Beberapa gambar pada CT-Scan menunjukkan
adanya neoplasia, hepatik, adrenal, splenik, atau lesi kelenjar limfe
berhubungan dengan adanya massa yang berasal dari usus, ovarium, atau
pankreas, yang menunjukkan adanya asites maligna.
Pada pasien dengan asites maligna kumpulan cairan terdapat pada
ruang yang lebih besar dan lebih kecil, sementara pada pasien dengan asites
benigna cairan terutama terdapat pada ruang yang lebih besar dan tidak pada
bursa omental yang lebih kecil.
d. Pemeriksaan lain
a) Laparoskopi dilakukan jika terdapat asites maligna. Pemeriksaan ini
penting untuk mendiagnosa adanya mesothelioma maligna.
b) Parasentesis abdomen adalah pemeriksaan yang paling cepat dan efektif
untuk mendiagnosa penyebab asites. Parasentesis terapetik dilakukan
untuk asites masif atau sulit disembuhkan. Pengeluaran 5 liter cairan
merupakan parasentesis dalam jumlah besar. Parasentesis total, atau
pengeluaran semua cairan asites (di atas 20 liter) dapat di lakukan secara
aman. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemberian albumin 5 g/l
pada parasentesis diatas 5 liter dapat menurukan komplikasi parasentesis
seperti gangguan keseimbangan elektrolit dan peningkatan serum kreatinin
akibat pertukaran cairan intravaskuler.
c) Transjugular intrahepatik portacaval shunt (TIPS), Metode ini dilakukan
dengan cara memasang paracarval shunt dari sisi kesisi melalui radiologis
dibawah anestesi lokal. Metode ini sering digunakan untuk asites yang
berulang.
4.7 Penatalaksanaan
1) Asites Eksudatif
Obati penyakit yang mendasari:
a. Peritonitis bakterialis:
Diberikan antibiotik. Pada asites dengan kadar protein rendah bisa diberikan
antibiotik profilaksis.
b. Pada Keganasan:
Obat keganasan yang menjadi penyebab (paling sering kanker ovarium).
Umumnya harus dilakukan parasintetis terapeutik untuk mengurangi gejala.
Pintasan peritovena dengan pembedahan (shunt LeVeen) jarang dilakukan
2) Asites Transudatif
15

Diberikan pengobatan untuk penyakit dasar, dan dapat dipertimbangkan untuk


melakukan:
a. Restriksi cairan dan garam, biasanya cukup dengan restriksi cairan sampai 1
1,5/hari dan diet tanpa tambahan garam
b. Pemberian diuretik, umumnya digunakan spironolakton dengan atau tanpa
furosemid
c. Parasintesis terapeutik untuk asites refrakter (yaitu asites yang tidak merespon
terhadap terapi diuretik atau mengalami efek samping yang tidak bisa
dihindari, hiponatremia, ensefalopati). Indikasi parasintesis: asites permagna,
ada edema tungkai, derajat Child B (pada sirosis hepatis), protombin > 40%,
bilirubin serum < 10, trombosit > 40.000, serum kreatinin < 3.

16

Anda mungkin juga menyukai