Anda di halaman 1dari 12

I.

Latar Belakang

II.

Tujuan
a. Dapat menjelaskan pemisahan partikel dalam fluida menjadi fraksi masingmasing, berdasarkan kecepatan pengendapan (kecepatan terminal) dengan
proses sedimentasi
b. Menentukan waktu pengendapan optimum dalam bak sedimentasi
c. Menentukan efisiensi pengendapan
d. Menghitung kecepatan terminal dengan perhitungan slope garis singgung

III.

Dasar Teori
Sedimentasi
adalah
suatu
proses
yang
bertujuan
untuk
memisahkan/mengendapkanzat-zat padat atau tersuspensi non koloidal dalam air.
Pengendapan dapat dilakukan denganmemanfaatkan gaya gravitasi. Pada
umumnya proses sedimentasi digunakan setelah proses koagulasi dan flokulasi
yang berfungsi untuk destabilisasi dan memperbesar gumpalan/ukuran partikel,
sehingga mudah untuk diendapkan. Proses koagulasi menggunakan PAC (Poly
Aluminium Chloride) untuk mengikat kotoran atau memutus rantai pada ikatan
senyawa zat warna sehingga membentuk gumpalan. Sedangkan proses flokulasi
dengan cara menambah larutan polimer untuk memperbesar gumpalan, sehingga
relatif mudah untuk diendapkan. Bak sedimentasi ada yang berbentuk lingkaran,
bujur sangkar ataupun segi empat. Bak berbentuk lingkaran umumnya berdiameter
10,7 45,7 m dan kedalaman 3 4,3 m. Bak berbentuk bujur sangkar umumnya
mempunyai lebar 10 hingga 79 m dan kedalaman 1,8 hingga 5,8 m.bak berbentuk
segi empat umumnya mempunyai lebar 1,5 6 m, panjang bak sampai 76 m dan
kedalaman lebih dari 1,8 m (Reynold & Richards, 1996).
Berdasarkan konsentrasi dan kecenderungan partikel berinteraksi, proses
sedimentasi terbagi atas empat tipe, yaitu:
1) Sedimentasi Tipe I/Plain Settling/Discrete particle
Pengendapan partikel tanpa menggunakan koagulan. Tujuan dari unit ini
adalah menurunkan kekeruhan air baku dan digunakan pada grit chamber.
Dalam perhitungan dimensi efektif bak, faktor-faktor yang mempengaruhi
performance bak seperti turbulensi pada inlet dan outlet, pusaran arus
lokal, pengumpulan lumpur, besar nilai G sehubungan dengan penggunaan
perlengkapan penyisihan lumpur dan faktor lain diabaikan untuk
menghitung performance bak yang lebih sering disebut dengan ideal
settling basin.
2) Sedimentasi Tipe II (Flocculant Settling)
Pengendapan material koloid dan solid tersuspensi terjadi melalui adanya
penambahan koagulan, biasanya digunakan untuk mengendapkan flok-flok
kimia setelah proses koagulasi dan flokulasi. Pengendapan partikel
flokulen akan lebih efisien pada ketinggian bak yang relatif kecil. Karena
tidak memungkinkan untuk membuat bak yang luas dengan ketinggian
minimum, atau membagi ketinggian bak menjadi beberapa kompartemen,
maka alternatif terbaik untuk meningkatkan efisiensi pengendapan bak

adalah dengan memasang tube settler pada bagian atas bak pengendapan
untuk menahan flokflok yang terbentuk.
3) Hindered Settling (Zone Settling)
Pengendapan dengan konsentrasi koloid dan partikel tersuspensi adalah
sedang, di mana partikel saling berdekatan sehingga gaya antar pertikel
menghalangi pengendapan paertikel-paertikel di sebelahnya. Partikel
berada pada posisi yang relatif tetap satu sama lain dan semuanya
mengendap pada suatu kecepatan yang konstan. Hal ini mengakibatkan
massa pertikel mengendap sebagai suatu zona, dan menimbulkan suatu
permukaan kontak antara solid danliquid.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan efisiensi bak pengendapan adalah:

Luas bidang pengendapan


Penggunaan baffle pada bak sedimentasi
Mendangkalkan bak
Pemasangan plat miring

Koagulasi
Koagulasi merupakan proses kimia, yang salah satunya digunakan dalam proses
pengolahan air permukaan. Koagulasi adalah proses pencampuran bahan kimia (koagulan)
dengan air baku sehingga membentuk campuran yang homogen.
Tujuan utama koagulasi adalah pencampuran koagulan secara lebih merata atau
homogen sehingga terbentuk flok (flok adalah gumpalan lumpur yang dihasilkan dalm proses
koagulasi-flokulasi). Unit proses yang terlibat dalam proses koagulasi adalah penambahan
koagulan kimia ke dalam air baku yang mengandung koloid. Penambahan koagulan akan
mengakibatkan destabilisasi, dimana flok yang dalam keadaan stabil menjadi tidak stabil
akibat penambahan koagulan akibatnya flok akan mudah mengendap. Mekanisme
pembentukan flok dalam proses koagulasi-flokulasi dapat dilihat sebagai berikut :
Destabilisasi partikel koloid koagulasi
Pembentukan mikroflok koagulasi
Penggabungan mikroflok flokulasi
Pembentukan makroflok flokulasi
Pada prinsipnya ada 2 aspek yang penting di dalam koagulasi-flokulasi, yaitu :
a. Pembubuhan bahan kimia koagulan
b. Pengandukan bahan kimia tersebut dengan air baku
Ada 3 faktor yang menentukan keberhasilan suatu proses koagulasi, yaitu :
a. Jenis bahan kimia yang dipakai
b. Dosis pembubuhan bahan kimia

c. Pengadukan dari bahan kimia


Proses koagulasi-flokulasi diperlukan memisahkan padatan terlarut atau suspended solid
karena secara alami laju pengendapan suspended solid sangat lambat. Koagulasi merupakan
proses distabilisasi koloid dengan menetralkan muatan dari koloid. Umumnya berupa
penambahan bahan kimia bersamaan dengan energi mixing tinggi dan flok yang dihasilkan
halus. Waktu yang terjadi dalam proses koagulasi sangat cepat dan umumnya dalam hitungan
detik. Koloidhidrofil bereaksi secara cepat dengan koagulan sementara koloid hidrofob tidak
bereaksi atau lambat dengan koagulan.
2.7. Koagulan
Koagulan adalah zat kimia yang digunakan untuk pembentukan flok pada proses
pencampuran (koagulasi-flokulasi). Koagulan menyebabkan destabilisasi muatan negatif
partikel di dalam suspensi. Secara umum koagulan berfungsi untuk :
1. Mengurangi kekeruhan akibat adanya partikel koloid anorganik maupun organik
2. Mengurangi warna yang diakibatkan oleh partikel koloid di dalam air
3. Mengurangi rasa dan bau yang diakibatkan oleh partikel koloid di dalam air
Ada dua jenis bahan kimia yang umum dipakai, yaitu :
a. Koagulan garam logam, antara lain :
1) Alumminium sulfat (Al3(SO4)3.14H2O)
2) Feri chloride FeCl3
3) Fero chloride FeCl2
4) Feri sulphate Fe2(SO4)3
Pada koagulan garam logam yang sering dipakai adalah aluminium sulfat dari pada garam
besi, karena harganya yang lebih murah. Bila aluminimum sulfat ditambahkan ke air maka
ion alumunium akan terhidrasi sehingga anion yang ada dalam air akan menyerang ion
alumunium. Selanjutnya terjadi olasi (olation) di mana mikroflok yang terbentuk akan
bergabung. Hasilnya muatan elektrik dari prtikel tersebut berkurang, suspensi terdestabilisasi.
b. Koagulan polimer kationik, antara lain :
1) Poly Alumunium Chloride sering disingkat PAC (Al10(OH) 15Cl15)
2) Chitosan
3) Curie flock
Koagulan jenis polimer kationik yang sering digunakan adalah PAC. PAC merupakan polimer
pendek berantai panjang yang memiliki rumus umum kimiawi Aln(OH)mCl3n-m.
Penggunaan koagulan jenis ini akan menghasilkanlok-flok yang lebih padat dan dengan
kecepatan mengendap yang tinggi untuk fluktuasi kualitas yang besar (range pengolahan

lebih besar), juga pH air olahan yang dihasilkan lebih stabil (rangenya sangat kecil) bila
terjadi kelebihan dosis.
Perbedaan dari kedua jenis koagulan ini adalah pada tingkat hidrolisisnya di dalam air.
Koagulan bahan logam mengalami hidrolisis sedangkan koagulan polimer tidak.
Koagulan yang umum dan sering digunakan pada pengelolaan air adalah seperti terlihat pada
Tabel 2.2. berikut :
Tabel 2.2. Jenis Koagulan

Sumber : Mulyadi, 2007


Zat koagulan yang paling umum digunakan dalam proses pengolahan air minum adalah
garam besi (ion Fe3+) atau alumunium (ion Al3+) yang terdapat dalam bentuk yang berbedabeda, seperti tercantum di atas dan bentuk lainnya seperti :
AlCl3, alumunium klorida dan sulfat yang bersifat basa atau alkalis.
2.8. Aluminium Sulfat (Al3(SO4)3.14H2O)
Aluminium sulfat (Al2(SO4)3.14.H2O) diturunkan dalam bentuk cair dengan konsentrasi
sebesar 5-20 %. Kandungan Al2O3 alum berkisar antara 1117 % tergantung jumlah air kristal
yang bervariasi dari 1318. Baik untuk bubuk ataupun cair, kualitas alum ditentukan dari
kadar Al2O3. Aluminium sulfat merupakan turunan alumunium yang paling luas
penggunaannya dan tersedia secara komersil dalam bentuk bubuk dan cair.
Alum sebagian besar tidak larut pada harga pH antara 5-7. Pada pH 5, alum mengurangi
membentuk ion aluminium. Pada pH 7, alum mengurangi menjadi ion aluminat.
Tabel 2.3. Karakteristik Koagulan Aluminium

Turunan Al yang lain adalah PAC yang merupakan polimer polihidroksida klorida
yang merupakan senyawa komplek antara ion Al, ion hidroksida dan ion klorida yang
membentuk molekul besar (polimer) dengan rumus Alm(OH)n(Cl)3m-n.
Keuntungan PAC dibanding alum adalah pH flokulasi yang terjadi tidak
mengakibatkan penurunan pH yang tajam dibanding alum atau pH flokulasi yang terjadi tidak
asam dibanding alum, karena dalam air PAC akan terhidrolisis membentuk flok dan ion
klorida yang terlepas akan tergabung dengan flok struktur, sehingga terhindar terbentuk HCl
sebagai produk samping, maka dalam operasionalnya koagulan ini akan menekan biaya
produksi melalui penggunaan pH adjustment.
2.9. PAC (Al10(OH)15Cl15)
Poli Aluminium Chlorida (PAC) adalah polimer komplek berantai panjang Alm(OH)n(Cl)3mn. Flok yang terbentuk lebih padat dan cepat mengendap. Koagulan polimer adalah zat yang
bisa terlarut dalam air dengan berat molekul relatif (Mr) antara 1.000 5.000.000 gr/mol
dalam proses komersil sering kali sampai 1.000.000 gr/mol yang berbentuk pola kecil
dinamik dengan ukuran beberapa ratus nanometer.
Bahan kimia flokulan polimer sering dipakai sebagai koagulan pembantu dalam
prosesflokulasi di IPA, polimer berfungsi membantu membentuk makroflok yang akan
menahan abrasi setelah terjadi destabilisasi dan pembentukan mikroflok disebabkan oleh
koagulan.
Adsorbsi koagulan pembantu pada mikroflok penting, supaya makroflok dapat terbentuk. Hal
ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik batas permukaan antara molekul dan hal ini sangat
tergantung dari komposisi air. Sesuai dengan muatan elektrostatik dalam larutan air, koagulan
pembantu dikelompokkan menjadi non ionogen, anion aktif dan kation aktif. Karakteristik
koagulan PAC dapat dilihat pada Tabel 2.4. berikut :
Tabel 2.4. Karakteristik Koagulan PAC

Mekanisme sedimentasi
Bila suatu slurry di endapkan dengan gaya gravitasi menjadi cairan bening dan
slurry dengan konsentrasi padatan yang tinggi, prosesnya disebut sedimentasi.
Metode untuk menentukan settling velocity dan mekanisme settling, digunakan
batch settling test menggunakan slurry dengan konsentrasi homogen dalam tabung
silinder. Seperti yang terlihat pada gambar berikut:

a. Suspensi homogen awal (original)


b. Zone pengendapan setelah beberapa waktu
c. Pemadatan zone D setelah zone B dan C tidak muncul, berubah menjadi cairan
bening dan padatan
d. Kurva/grafik tinggi antar permukaan cairan bening (z) vs waktu pengendapan
(t)
Pada saat awal dalam tabung silinder terdiri dari suspensi zone B yang homogen
dengan konsentrasi C0 (gambar 1-a). Partikel dalam zone B mulai mengendap
dengan laju homogen dan muncul cairan bening zone A (gambar 1-b). Penurunan
tinggi z konstan. Zone D mulai muncul. Setelah beberapa waktu zone B makin
berkurang, di atas zone B cairan bening zone A makin bertambah, di bawah zone
B muncul lapisan transisi C ( zone antara B dan D ) dan zone D makin bertambah.
Setelah pengendapan berakhir zone B dan C tidak muncul lagi (gambar 1-c).
Terjadi pemadatan zone D dengan ketebalan zone D dan tinggi cairan bening zone
A makin bertambah.
Perhitungan Terminal Settling Velocity
Pada gambar 1-d adalah grafik/kurve tinggi cairan bening antar permukaan (z) di
plot terhadap waktu pengendapan (t). Ditunjukan bahwa settling velocity, dimana
slope dari garis, pertama konstan, sampai pada titik kritis C. Settling velocity
dihitung dari gambar koefisien arah dari garis singgung pada gambar-d, pada saat
t1, maka dz/dt = v1. Pada titk dengan tinggi z1 dan zi intersep dari garis singgung
kurve :
Konsentrasi c1 adalah konsentrasi rata-rata suspensi pada tinggi slurry zi, dapat di
hitung dari :

Dimana c0 = konsentrasi awal slurry kg/m3 dan z0 tinggi awal slurry (pada t = 0 )
Rumus-rumus untuk menghitung terminal settling velocity partikel di dalam fluida
: a.Pengendapan di zone laminar

b. Pengendapan di zone transisi

c.Pengendapan di zone turbulen

Dimana :
g = percepatan gravitasi
Dp = diameter partikel
= densitas fluida
p= densitas partikel
CD = koefisien gerak
= viskositas fluida
Detergen
Produk yang disebut deterjen ini merupakan pembersih sintetis yang terbuat dari bahan-bahan
turunan minyak bumi. Dibanding dengan produk terdahulu yaitu sabun, deterjen mempunyai
keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh
kesadahan air.
Detergen adalah Surfaktant anionik dengan gugus alkil (umumnya C 9 C15) atau garam dari
sulfonat atau sulfat berantai panjang dari Natrium (RSO 3 Na+ dan ROSO3Na+) yang berasal
dari derivat minyak nabati atau minyak bumi (fraksi parafin dan olefin).
Setelah Perang Dunia II, detergen sintetik mulai dikembangkan akan tetapi karena gugus
utama surfaktant ABS yang sulit di biodegradabel maka pada tahun 1965 industri
mengubahnya dengan yang biodegradabel yaitu dengan gugus utama surfaktant LAS
Proses pembuatan detergen dimulai dengan membuat bahan penurun tegangan permukaan,
misalnya : p alkilbenzena sulfonat dengan gugus alkil yang sangat bercabang disintesis
dengan polimerisasi propilena dan dilekatkan pada cincin benzena dengan reaksi alkilasi
Friedel Craft Sulfonasi, yang disusul dengan pengolahan dengan basa.

Pada umumnya, deterjen mengandung bahan-bahan berikut:


Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai ujung
berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi
menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel
pada permukaan bahan. Surfaktant ini baik berupa anionic (Alkyl Benzene Sulfonate/ABS,
Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS), Kationik (Garam
Ammonium), Non ionic (Nonyl phenol polyethoxyle), Amphoterik (Acyl Ethylenediamines)
Surfaktan merupakan senyawa yang larut dalam air yang dapat dibedakan atas
1)surfaktan anionik
2) surfaktan nonionik
3) surfaktan kationik dan
4) surfaktan
amfoterik. Tabel 2.1 memperlihatkan jenis-jenis surfaktan yang biasanya terdapat dalam
deterjen.
Tabel 2.1. Jenis-jenis surfaktan dalam deterjen

Sumber : Smulder, E (2002)


Builder (Permbentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara
menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air. Baik berupa Phosphates (Sodium Tri Poly
Phosphate/STPP), Asetat (Nitril Tri Acetate/NTA, Ethylene Diamine Tetra Acetate/EDTA),
Silikat (Zeolit), dan Sitrat (asam sitrat).
Builder merupakan zat yang digunakan untuk menunjang kinerja deterjen dalam pelunakan
air dengan cara membatasi kerja ion-ion kalsium dan magnesium. Builder dapat berupa
senyawa alkali yang mudah mengendap seperti natrium karbonat dan natrium silikat; agen
kompleks seperti Natrium Triphosfat atau asam nitroloacetic dan senyawa bersifat penukar
ion seperti asam polikarboksilat dan zeolit A.
Penggunaan STTP (sodium tripolifosfat) pada detergen sabun cuci sebagai builder diketahui
sebagai salah satu sumber utama pengendapan fosfat di dalam air (Bhatt, 1995). Siklus fosfat

melepaskan kalsium dan magnesium ke air dengan tujuan untuk pelarutan, pengemulsi,
pelarutannya ramah terhadap lingkungan dan berperan sebagai pengganti surfaktan. Karena
STTP berdampak membahayakan lingkungan, makazeolit A digunakan sebagai alternatif
builder detergent untuk merubah STTP.
Dibandingkan dengan fosfat, zeolit A dapat ditambahkan untuk mencegah pembentukan
kelarutan garam anorganik yang sangat sedikit, ini adalah faktor utama dalam pembentukan
lapisan kotor pada bahan tekstil.
Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan
meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat memadatkan dan
memantapkan sehingga dapat menurunkan harga.Contoh : Sodium sulfate
Bleaching Agent
Efek pemucatan (bleaching effect) dari deterjen ditimbulkan melalui cara mekanis, fisika dan
atau secara kimia khususnya melalui perubahan atau penyisihan zat pewarna terhadap objek
yang mengalami proses pemucatan. Dalam proses pencucian, efek pemucatan dapat
ditimbulkan secara paralel. Mekanisme mekanis dan fisis utamanya efektif untuk
menghilangkan partikulat atau zat-zat yang mengandung olie. Pemucatan secara kimia
dilakukan untuk menghilangkan warna dan karat yang melekat pada serat.
Bleaching agent yang banyak digunakan biasanya adalah senyawa-senyawa peroksida.
Hidrogen Peroksida terkonversi menjadi anion hidroksida intermediate aktif dalam media
alkali menjadi menurut persamaan reaksi :
H2O2 + OH- H2O + HO2Anion-anion perhidroksil dapat mengoksidasi pengotor padat dan karat. Senyawa perhidroksi
yang banyak digunakan pada deterjen adalah Natrium Perborat (NaBO3.4H2O). Senyawa
bleaching lain yang sering digunakan adalah hipoklorit. Salah satu keunggulan utama dari
natrium perborat dapat dimasukan langsung sebagai bubuk dengan hasil cucian yang putih
dan relatif aman. Sebaliknya penambahan larutan pemutih klorin dalam konsentrasi tinggi
dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan ke binatu dan menyebabkan perubahan warna.
Klorin cukup efektif digunakan sebagai pemutih dan disinfektan pada suhu yang rendah.
Additives adalah bahan suplemen/ tambahan untuk membuat produk lebih menarik, misalnya
pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan langsung
dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud komersialisasi produk.
Contoh : Enzyme, Borax, Sodium chloride, Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dipakai agar
kotoran yang telah dibawa oleh detergent ke dalam larutan tidak kembali ke bahan cucian
pada waktu mencuci (anti Redeposisi). Wangi wangian atau parfum dipakai agar cucian
berbau harum, sedangkan air sebagai bahan pengikat.
Menurut kandungan gugus aktifnya maka detergen diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Detergen jenis keras


Detergen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme meskipun bahan tersebut dibuang
akibatnya zat tersebut masih aktif. Jenis inilah yang menyebabkan pencemaran air.
Contoh: Alkil Benzena Sulfonat (ABS).
Proses pembuatan ABS ini adalah dengan mereaksikan Alkil Benzena dengan Belerang
Trioksida, asam Sulfat pekat atau Oleum. Reaksi ini menghasilkan Alkil Benzena Sulfonat.
Jika dipakai Dodekil Benzena maka persamaan reaksinya adalah
C6H5C12H25 + SO3

C6H4C12H25SO3H (Dodekil Benzena Sulfonat)

Reaksi selanjutnya adalah netralisasi dengan NaOH sehingga dihasilkan Natrium Dodekil
Benzena Sulfonat
2. Detergen jenis lunak
Detergen jenis lunak, bahan penurun tegangan permukaannya mudah dirusak oleh
mikroorganisme, sehingga tidak aktif lagi setelah dipakai .
Contoh: Lauril Sulfat atau Lauril Alkil Sulfonat. (LAS).
Proses pembuatan (LAS) adalah dengan mereaksikan Lauril Alkohol dengan asam
Sulfat pekat menghasilkan asam Lauril Sulfat dengan reaksi:
C12H25OH + H2SO4

C12H25OSO3H + H2O

Asam Lauril Sulfat yang terjadi dinetralisasikan dengan larutan NaOH sehingga dihasilkan
Natrium Lauril Sulfat.
Awalnya deterjen dikenal sebagai pembersih pakaian, namun kini meluas dalam bentuk
produk-produk seperti:
1.
Personal cleaning product, sebagai produk pembersih diri seperti sampo, sabun cuci
tangan, dll.
2.
Laundry, sebagai pencuci pakaian, merupakan produk deterjen yang paling populer di
masyarakat.
3.
Dishwashing product, sebagai pencuci alat-alat rumah tangga baik untuk penggunaan
manual maupun mesin pencuci piring.
4.
Household cleaner, sebagai pembersih rumah seperti pembersih lantai, pembersih
bahan-bahan porselen, plastik, metal, gelas, dll.
Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada kain atau
objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang menyebabkan infeksi dan
meningkatkan umur pemakaian kain, karpet, alat-alat rumah tangga dan peralatan rumah
lainnya, sudah tidak diragukan lagi. Oleh karena banyaknya manfaat penggunaan deterjen,

sehingga menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
modern.
Tanpa mengurangi makna manfaat deterjen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, harus
diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak negatif
baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen
yakni surfaktan dan builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak
langsung terhadap manusia dan lingkungannya.
Umumnya pada deterjen anionik ditambahkan zat aditif lain (builder) seperti golongan
ammonium kuartener (alkyldimetihylbenzyl-ammonium cloride, diethanolamine/ DEA),
chlorinated trisodium phospate (chlorinated TSP) dan beberapa jenis surfaktan seperti sodium
lauryl sulfate (SLS),sodium laureth sulfate (SLES) atau linear alkyl benzene sulfonate (LAS).
Golongan ammonium kuartener ini dapat membentuk senyawa nitrosamin. Senyawa
nitrosamin diketahui bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan kanker.
Senyawa SLS, SLES atau LAS mudah bereaksi dengan senyawa golongan ammonium
kuartener, seperti DEA untuk membentuk nitrosamin. SLS diketahui menyebabkan iritasi
pada kulit, memperlambat proses penyembuhan dan penyebab katarak pada mata orang
dewasa.
Dalam laporan lain disebutkan deterjen dalam badan air dapat merusak insang dan organ
pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan
oksigennya rendah menjadi menurun. Keberadaan busa-busa di permukaan air menjadi salah
satu penyebab kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan
demikian akan menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan
kematian.
Builders, salah satu yang paling banyak dimanfaatkan di dalam deterjen adalah phosphate.
Phosphate memegang peranan penting dalam produk deterjen, sebagai softener air. Bahan ini
mampu menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion kalsium dan magnesium.
Berkat aksi softenernya, efektivitas dari daya cuci deterjen meningkat.
Phosphate yang biasa dijumpai pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly Phosphate
(STPP). Phosphate tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu
nutrisi penting yang dibutuhkan mahluk hidup. Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak,
phosphate dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan
air, sehingga badan air kekurangan oksigen akibat dari pertumbuhan algae (phytoplankton)
yang berlebihan yang merupakan makanan bakteri.
Populasi bakteri yang berlebihan akan menggunakan oksigen yang terdapat dalam air sampai
suatu saat terjadi kekurangan oksigen di badan air dan pada akhirnya justru membahayakan
kehidupan mahluk air dan sekitarnya. Di beberapa negara, penggunaan phosphate dalam
deterjen telah dilarang. Sebagai alternatif, telah dikembangkan penggunaan zeolite dan citrate
sebagai builder dalam deterjen

Deterjen Sintetik mempunyai sifat-sifat mencuci yang baik dan tidak membentuk garamgaram tidak larut dengan ion-ion kalsium dan magnesium yang biasa terdapat dalam air
sadah. Deterjen sintetik mempunyai keuntungan tambahan karena secara relatif bersifat asam
kuat, oleh karena itu tidak menghasilkan endapan sebagai asam-asam yang mengendap suatu
karakteristis yang tidak nampak pada sabun.
Unsur kunci dari deterjen adalah bahan surfaktan atau bahan aktif permukaan, yang beraksi
dalam menjadikan air menjadi lebih basah (wetter) dan sebagai bahan pencuci yang lebih
baik. Surfaktan terkonsentrasi pada batas permukaan antara air dengan gas (udara), padatanpadatan (debu), dan cairan-cairan yang tidak dapat bercampur (minyak). Hal ini terjadi
karena struktur Amphiphilic, yang berarti bagian yang satu dari molekul adalah suatu yang
bersifat polar atau gugus ionik (sebagai kepala) dengan afinitas yang kuat untuk air dan
bagian lainnya suatu hidrokarbon (sebagai ekor) yang tidak suka air.
Deterjen Sintetik mempunyai sifat-sifat mencuci yang baik dan tidak membentuk garamgaram tidak larut dengan ion-ion kalsium dan magnesium yang biasa terdapat dalam air
sadah. Deterjen sintetik mempunyai keuntungan tambahan karena secara relatif bersifat asam
kuat, oleh karena itu tidak menghasilkan endapan sebagai asam-asam yang mengendap suatu
karakteristis yang tidak nampak pada sabun.
IV.

Anda mungkin juga menyukai