Anda di halaman 1dari 27

ANALISIS PENERAPAN PENERAPAN 7 PRINSIP HAZARD

ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP)


PADA PENGOLAHAN MAKANAN
DI KATERING PRIMA SARI DAN TIDARS
TAHUN 2016

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

LOLO SINAGA
1106055450

PROGRAM STUDI GIZI


DEPARTEMEN GIZI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
MARET 2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Usaha katering merupakan usaha yang paling populer di bidang jasaboga.

Usaha katering saat ini banyak menghasilkan makanan yang enak dan lezat yang
tentunya akan banyak menarik pelanggan. Memang sudah seharusnya katering
selain menyajikan makanan dari sisi tekstur dan rasa yang nikmat juga
memperhatikan segala sisi gizi bahan makanan dan prosesnya, baik dari keamanan
pangan dan sanitasi.
Makanan yang sehat merupakan salah satu faktor penting untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga perlu diperhatikan
kualitasnya dari sisi bakteriologis, kimiawi dan fisik. Kualitas makanan harus
terjamin setiap saat, agar masyarakat sebagai konsumen dapat terhindar dari
penyakit/gangguan kesehatan serta keracunan makanan (Depkes, 2002).
Keracunan makanan menurut Gaman dan Sherington (1996) disebabkan
oleh mengonsumsi makanan yang beracun atau terkontaminasi bakteri atau
mikroorganisme. Beberapa penyebab kasus keracunan makanan diantarnya adalah
Staphylococcus aureus, Vibrio Cholera, E.coli dan Salmonella. Bakteri E.Coli
merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan maupun manusia. Sedangkan
sumber bakteri Staphylococcus aureus dapat berasal dari tangan, rongga hidung,
mulut dan tenggorokan penjaman makanan (Susanna, 2003).
Selain dari keracunan oleh mikroba biologis, keracunan makanan juga
dapat disebabkan oleh cemaran kimia. Cemaran kimia yang terjadi dikarenakan
oleh penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang tidak diizinkan. Formalin
termasuk BTP yang tidak diizinkan karena formalin merupakan larutan
formaldehid 37% yang sering digunakan untuk mengawetkan serangga atau
hewan-hewan di museum, mengawetkan mayat, dan untuk disinfektan (Clary and
Sullivan, 1992). Kontaminasi makanan juga dapat terjadi selama proses produksi
yang dimulai dari pemeliharaan, pemanenan atau penyembelihan, pembersihan

atau

pencucian,

persiapan

makanan

atau

pengolahan,

penyajian

serta

penyimpanan (Purawijaya, 1992).


Menurut Santoso (2009), sumber makanan yang menjadi penyebab kasus
keracunan makanan paling banyak berasal dari perusahaan katering yakni sebesar
65 %, disusul makanan industri kecil sebanyak 19% dan makanan yang disiapkan
rumah tangga (home prepared) sekitar 16%. Suatu laporan di amerika serikat,
kasus keracunan pangan karena bakteri 92%, virus 4%, jamur <0,1%, dan parasit
1%. Adapun bakteri penyebab terjadinya kasus keracunan Salmonella 55,1%,
botulinum 11,9%, Staphylococcus aureus 7,6% dan Shigella 7,1% (Ray, 2002
dalam Santoso, 2009).
Data dari Direktorat

Jenderal

Pemberantasan

Penyakit

Menular

menunjukkan 30% dari kasus-kasus keracunan di Indonesia disebabkan oleh


makanan yang dihasilkan oleh jasa katering (Depkes RI, 2010). Studi kasus yang
dilakukan terhadap 33 siswa/i SD 3 Sangeh, Kabupaten Badung pada tanggal 9
mei 2011 disebabkan oleh kontaminasi bakteri pathogen, dengan pola penularan
common source. (Suarjana, 2011). Penyebab KLB pangan di Indonesia tahun 2013
berasal dari masakan rumah tangga sebesar 27,38% (23 kejadian), pangan jasa
boga sebesar 16,67% ( kejadian), pangan olahan sebesar 14,38% (7 kejadian),
pangan jajanan sebesar 16,67% (8 kejadian) dan tidak diketahui sumber
penyebabnya sebesar 4,17% (2 kejadian) (BPOM RI, 2013).
Suatu survei menunjukkan bahwa jenis makanan yang menyebabkan
keracunan yang paling banyak adalah makanan utama (main meal), disusul jamur
(mushroom), dan kemudian mie. Kasus keracunan yang paling sering terjadi
adalah di perusahaan karyawan (45%), sekolah (25%) dan masyarakat umum
(20%). Total korban ini terdiri atas orang dewasa 75% dan anak-anak 25%
(Santoso, 2004).
Keamanan produk pangan merupakan sebuah persyaratan yang wajib dari
konsumen walaupun tidak tertulis. Persyaratan ini tidak dapat ditawar, bahkan
apabila suatu produk dicurigai tidak aman oleh konsumen, dan produsen tidak
dapat mendemonstrasikan sistem penarikan produk (recall procedure) yang
canggih, maka konsumen akan memberikan sanksi selamanya atau tidak membeli
produk itu selamanya. Kesadaran konsumen saat ini sudah mulai berkembang dan
meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya lembaga yang mengatur tentang
perlindungan konsumen dan juga media massa yang semakin gencar

menginformasikan tentang wabah penyakit yang ditimbulkan akibat dari


kontaminasi pangan (Winarno, 2012).
Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan keamanan pangan yang
zero-risk atau tanpa resiko, tetapi dirancang untuk meminimumkan resiko bahaya
keamanan pangan (Winarno, 2012). HACCP dapat juga disebut sistem penjamin
keamanan pangan dalam sebuah industri pengolahan pangan karena mempunyai
kegunaan dalam hal, yaitu : (1) mencegah penarikan produk pangan yang
dihasilkan, (2) Mencegah penutupan pabrik, (3) Meningkatkan jaminan keamanan
produk, (4) Pembenahan dan pembersihan pabrik, (5) Mencegah kehilangan
pembeli/pelanggan atau pasar, (6) Meningkatkan kepercayaan konsumen dan (7)
Mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang mungkin timbul karena masalah
keamanan produk (Sere, 2000).
Sistem HACCP dalam menjamin keamanan pangan terdiri dari tujuh
prinsip, yakni : (1) Mengidentifikasi potensi bahaya pada semua tahapan, (2)
Menentukan titik kendali untuk mengurangi atau menghilangkan bahaya, (3)
Menetapkan batas kritis, (4) Menetapkan sistem Pemantauan atau monitoring, (5)
Menetapkan tindakan perbaikan, (6) Menetapkan prosedur verifikasi dan (7)
menetapkan dokumentasi dan pencatatan.
Di Katering Prima Saridan Tidars ini belum pernah dilakukan penelitian
mengenai HACCP dalam sistem pengolahannya sehingga penulis tertarik untuk
melakukan analisis penerapan prinsip-prinsip HACCP di Katering Prima Sari,
Jakarta, Tahun 2016.
1.2.
Perumusan Masalah
Menurut Santoso (2009), sumber makanan yang menjadi penyebab kasus
keracunan makanan paling banyak berasal dari perusahaan katering yakni sebesar
65 %, disusul makanan industri kecil sebanyak 19% dan makanan yang disiapkan
rumah tangga (home prepared) sekitar 16%. Suatu laporan di amerika serikat,
kasus keracunan pangan karena bakteri 92%, virus 4%, jamur <0,1%, dan parasit
1%. Adapun bakteri penyebab terjadinya kasus keracunan Salmonella 55,1%,
botulinum 11,9%, Staphylococcus aureus 7,6% dan Shigella 7,1% (Ray, 2002).
Data dari Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular menunjukkan
30% dari kasus-kasus keracunan di Indonesia disebabkan oleh makanan yang
dihasilkan oleh jasa katering (Depkes RI, 2010).

Pada katering Prima Sari ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai
penerapan prinsip-prinsip HACCP dalam meminimalkan dan mencegah resiko
cemaran kontaminan pada olahan katering yang dapat menyebabkan keracunan
makanan sehingga dapat membahayakan konsumen yang mengonsumsinya.
1.3.
Pertanyaan Penelitian
- Bagaimana komitmen manajemen pemilik katering terhadap penerapan
-

HACCP ?
Bagaimana penerapan sistem keamanan pangan dalam segala tahap

pengolahan dibandingkan dengan prinsip-prinsip HACCP?


Apakah penyelenggaraan makanan pada Katering Prima Sari sudah

memenuhi standar HACCP yang sudah ada ?


1.4.
Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Menganalisis penerapan prinsip-prinsip Hazard Analysis Critical Control
Point (HACCP) dalam pengolahan pangan di katering Prima Sari.
1.4.2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya Standar Operasional Prosedur dan Struktur Organisasi
dalam jaminan keamanan pangan di katering HACCP.
a. Mengetahui perbandingan sistem keamanan pangan dalam segala
tahapan pengolahan dengan prinsip-prinsip HACCP.
b. Mengetahui gambaran penyelenggaraan sistem keamanan pangan di
katering Primasari.
1.5.
Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi Katering
Dapat digunakan sebagai masukan sebagai standar yang tepat untuk
Katering Prima Sari dalam pengolahan makanan yang sesuai dengan prinsipprinsip HACCP untuk menghindari kontaminasi bahaya baik secara biologis,
kimiawi dan fisik sehingga menimbulkan keracunan pangan. Manfaat lainnya
adalah untuk meningkatkan mutu dan cara pengolahan makanan yang baik.
1.5.2. Bagi Peneliti
Dapat menerapkan hasil analisis penelitian ini dalam bidang kesehatan
masyarakat dan keamanan pangan khususnya di katering Prima Sari yang sesuai
dengan prinsip-prinsip HACCP.
1.5.3. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Dapat dijadikan suatu acuan bahan dasar untuk penelitian lebih lanjut dan
dokumentasi data penelitian keamanan makana pada katering menggunakan
sistem HACCP.
1.6.
Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Katering Prima Sari dari bulan maret sampai
april tahun 2016. Penelitian ini nantinya akan mencari tahu tentang tahapan
pengelolaan makanan ditinjau dari 7 prinsip HACCP. Penelitian ini dilakukan
dengan cara melakukan observasi dan wawancara mendalam (in-depth Interview)
dengan menggunakan daftar tilik dari .... terhadap penerapan prinsip-prinsip
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada katering Prima Sari, Kota
Jakarta, Tahun 2016.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi Makanan
Pangan atau makanan menurut Undang - Undang No.7 tahun 1996 adalah

segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun
tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan
makanan atau minuman.
Makanan adalah hasil dari proses pengolahan suatu bahan pangan yang
dapat diperoleh dari hasil pertanian, perkebunan dan adanya teknologi
(Moertjipto, 1993). Makanan dalam ilmu kesehatan adalah setiap substrat yang
dapat dipergunakan untuk proses di dalam tubuh, terutama untuk membangaun
dan memperoleh tenaga bagi kesehatan sel tubuh (Irianto, 2004)
Berdasarkan cara perolehannya, pangan dapat dibedakan menjadi tiga
bagian yaitu (Saparinto dan Hidayati, 2006),
1. Makanan Segar, yaitu makanan yang belum mengalami pengolahan yang
dapat dikonsumsi langsung ataupun tidak langsung (bahan baku
pengolahan pangan), contoh: pisang dan lain-lain.
2. Makanan Olahan, yaitu makanan hasil proses pengolahan dengan cara atau
metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Makanan olahan bisa
dibedakan lagi menjadi makanan olahan siap saji dan tidak siap saji.
a. Makanan olahan siap saji adalah makanan yang sudah siap diolah dan
siap disajikan ditempat usahan atau di luar tempat usaha atas dasar
pesanan, contoh pisang goreng dan lain-lain.
b. Makanan olahan tidak siap saji adalah makanan yang sudah mengalami
proses pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan pengolahan
lanjutan untuk dapat dimakan atau diminum, contoh makanan kaleng
dan lain-lain.
3. Makanan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi
kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas
kesehatan, contoh susu rendah lemak untuk orang yang menjalani diet
lemak dan lain-lain.
2.2

Industri Jasa Boga


Dalam menyajikan makanan yang siap dikonsumsi, dibutuhkan sebuah

sarana atau institusi yang mengolah makanan, yakni yang disebut dengan Industri
Jasaboga. Katering merupakan salah satu bentuk dari industri jasaboga. Dalam
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 715/Menkes/SK/V/2003, Industri
Jasaboga adalah perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan

pengelolaan makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan
(Depkes, 2003).
2.2.1. Klasifikasi Industri Jasa Boga
Berdasarkan cakupan pelayanannya, Industri Jasaboga memiliki lima
kategori (Depkes, 2003), yaitu:
a. Industri Jasaboga golongan A1
Jasaboga yang melayani kebutuhan masyarakat umum, dengan pengolahan
makanan yang menggunakan dapur rumah tangga dan dikelola oleh keluarga.
b. Industri Jasaboga golongan A2
Jasaboga yang melayani kebutuhan masyarakat umum, dengan pengolahan
makanan menggunakan dapur rumah tangga dan memperkerjakan beberapa
tenaga kerja.
c. Industri Jasaboga golongan A3
Jasaboga yang melayani kebutuhan masyarakat umum, dengan pengolahan
makanan yang menggunakan dapur khusus dan memperkerjakan beberapa tenaga
kerja.
d. Industri Jasaboga golongan B
Jasaboga yang melayani kebutuhan masyarakat khusus misalnya untuk
jemaah asrama haji, pertambangan atau pengeboran, perusahaan serta angkutan
umum dalam negeri dengan pengolahan yang menggunakan dapur khusus dalam
pengolahan makanan dan memperkerjakan tenaga kerja.
e. Industri Jasaboga golongan C
Jasaboga yang melayani kebutuhan alat angkutan umum internasional dan
pesawat udara dengan pengolahan yang menggunakan dapur khusus dan
memperkerjakan beberapa tenaga kerja.
2.2.2 Pengertian Katering
Katering berasal dari kata to cater yang berarti menyiapkan dan
menyajikan makanan dan minuman untuk umum. Seseorang yang menyiapkan
makanan dan minuman disebut dengan caterer (Fadiati 1988).
Katering adalah jenis penyelenggaraan makanan yang tempat memasak
makanan

berbeda

dengan

tempat

menghidangkan

makanan.

Bentuk

penyelenggaraan makanan ini bersifat komersial, dimana makanan jadi diangkut


ke tempat lain untuk dihidangkan, misalnya ke tempat penyelenggaraan pesta,
jamuan makan, rapat, pertemuan, kantin, atau kafetaria pada pusat Industri
(Moehyi, 1992). Menurut Pramudji (1996), usaha katering adalah suatu usaha

dalam bidang jasa boga yang memberikan jasa terhadap pemesanan makanan dan
minuman untuk jamuan makan.
Katering merupakan usaha yang paling populer di bidang Jasaboga.
Katering dapat juga didefinisikan sebagai jasa di bidang makanan yang sudah jadi
diantar langsung ke tempat pemesan. Ditinjau dari jenis tempat usaha katering
dibedakan menjadi restoran hotel, restoran, katering transportasi, outside katering
service, katering rumah sakit, school meal service, katering panti asuhan, katering
panti jompo dan katering lembaga permasyarakatan. Katering school meal service
adalah pelayanan makanan yang menyajikan hidangan untuk anak-anak sekolah
(Fadiati, 1998).
2.2.2 Klasifikasi Katering
Menurut Warsitaningsih (2009) katering pesta dibagi ke dalam tiga
kelompok, yaitu:
1. Pesta untuk kelompok profesi tertentu dengan misi kegiatan yang
dibawanya

seperti

seminar,

pameran

dan

sebagainya.

Tempat

penyelenggaraan biasanya di hotel atau restoran yang memiliki ruang


khusus untuk kelancaran kegiatan tersebut.
2. Pesta untuk kegiatan sosial seperti pesta pernikahan, makan malam,
pertunjukkan kesenian dan sebagainya
3. Pesta yang diselenggarakan khusus untuk jamuan kenegaraan, misalnya
pertemuan antar gubernur, jamuan untuk menghormati kepala negara
2.3
2.3.1

tertentu dan sebagainya


HACCP
Definisi HACCP
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Points) adalah suatu sistem

jaminan mutu yang mendasarkan kepada kesadaran atau penghayatan bahwa


hazard (bahaya) dapat timbul pada berbagai titik atau tahap produksi tertentu
(Winarno, 2012). HACCP merupakan sebuah manajemen resiko yang
menggunakan pendekatan pencegahan (preventif) terhadap tahap produksi untuk
menghasilkan makanan yang aman, berkualitas dan bermutu tinggi. Filosofi
sistem HACCP ini adalah pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan
pangan berdasarkan pencegahan preventif (preventife Measure) yang dipercayai
lebih unggul dibanding dengan cara-cara tradisional (conventional) yang terlalu
menekankan pada sampling dan pengujian produk akhir di laboratorium (Sere,
2000).
2.3.2 Sejarah HACCP

Hazard Analysis Critical Control Point atau yang dikenal dengan HACCP
dalam perkembangan telah mengalami evolusi yang panjang. Konsep ini pertama
kali diperkenalkan oleh perusahaan Pillsbury Amerika serikat yang bekerja sama
dengan US Army Nautics Research and Development Laboratories, The National
Aeronautics and Space Administration serta US Air Force Space Laboratory
Project Group dalam menghasilkan makanan yang aman untuk para astronot di
luar angkasa pada akhir tahun 1950-an hingga akhir 1960-an. Tujuan terpenting
dalam penggunaan konsep ini adalah untuk menjamin keamanan produk bagi
astronon agar tidak mudah jatuh sakit (Winarno, 2012).
Selanjutnya pada tahun 1971 dilakukan pemaparan pertama pada
masyarakat Amerika Serikat mengenai sistem HACCP yang kemudian prinsip ini
dipergunakan pertama kali pada produk komersial pada makanan Kaleng Berasam
Rendah (LACF = Low Acid Canned Food) di amerika serikat dalam Peraturan
Federal Amerika Serikat (Winarno, 2004).
Sejak FAO/WHO Codex Alimentarius Commision mengadopsi Codex
Guidelines for the Application of the HACCP System pada tahun 1993 dan Revisi
dilakukan pada Codex Code on General Principles of Food Hygiene untuk
mencakup sistem HACCP, maka sejak saat itu beberapa negara didunia, termasuk
Indonesia mulai beralih dari sistem keamanan pangan tradisional (end product
testing) menuju pengaplikasian HACCP. Pada tahun 1998 Indonesia mengadopsi
Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) System and Guidelines for
Its Application menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4852-1998) Sistem
Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control
Points-HACCP) Serta Pedoman Penerapannya (Winarno, 2004).
Setelah diadopsinya HACCP menjadi standar di berbagai negara
menjadikan HACCP sebagai suatu standar yang memiliki landasan ilmiah yang
sistematis dalam mengidentifikasi potensi-potensi bahaya tertentu serta cara-cara
pengendaliannya untuk menjamin keamanan pangan.
2.3.3 Pendekatan HACCP
Dengan program HACCP ini, pada analisa bahaya ada tiga pendekatan
penting dalam pengawasan mutu produk pangan (Winarno, 2012);
a. Food Safety/Keamanan pangan
Aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan
timbulnya penyakit atau bahkan kematian. Masalah ini umumnya
dihubungkan dengan masalah biologi, kimia dan fisika.

b. Wholesomeness/Kebersihan
Merupakan karakteristik-karakteristik produk atau proses dalam
kaitannya dengan kontaminasi produk atau fasilitas sanitasi dan hygiene.
c. Economic Fraud/Pemalsuan
Adalah tindakan-tindakan yang ilegal atau penyelewengan yang
dapat merugikan pembeli. Tindakan ini mencakup diantaranya pemalsuan
spesies (bahan baku), penggunaan bahan tambahan yang berlebihan, berat
tidak sesuai dengan label, overglazing dan jumlah komponen yang kurang
seperti yang tertera dalam kemasan.
2.3.4 Tahapan Implementasi HACCP
A. Pembentukan Tim HACCP
Pembentukan tim HACCP harus memberikan jaminan bahwa
pengetahuan dan keahlian spesifik produk tertentu tersedia untuk
pengembangan rencana HACCP secara efektif (Winarno, 2012). Secara
optimal, hal tersebut dapat dicapai dengan pembentukan sebuah tim dari
berbagai disiplin ilmu. Apabila beberapa keahlian tidak tersedia,
diperlukan konsultan dari pihak luar (SNI HACCP, 1998).
Jumlah tim sebaiknya maksimum 5 orang dan minimum 3 orang.
Tim HACCP harus mempunyai pengetahuan yang cukup akan produk dan
prosesnya, serta mempunyai keahlian yang cukup untuk :
- Menetapkan lingkup dari rencana HACCP
- Mengidentifikasi Bahaya
- Menetapkan tingkat keakutan dan resikonya
- Mengidentifikasi CCP, merekomendasikan cara pengendalian,
-

menetapkan batas kritis, prosedur monitoring dan verifikasi.


Merekomendasikan tindakan koreksi yang tepat ketika terjadi

penyimpangan.
Merekomendasikan atau melaksanakan investigasi dan atau

penelitian yang berhubungan dengan rencana HACCP


B. Deskripsi Produk
Deskripsi yang lengkap dari produk harus digambarkan, termasuk
informasi mengenai komposisi, struktur kimia/fisika, perlakuan-perlakuan
(pemanasan,

pembekuan,

penggaraman,

pengeringan,

pengasapan),

pengemasan, kondisi penyimpanan, daya tahan, persyaratan standar,


metode pendistribusian dan lain-lain (Winarno, 2012).
C. Identifikasi Tujuan Penggunaan Produk
Identifikasi ini bertujuan untuk memberikan informasi apakah
produk tersebut didistribusikan kepada semua populasi atau hanya

populasi khusus. Tujuan penggunaan ini harus didasarkan manfaat yang


diharapkan dari produk oleh konsumen.
D. Penyusunan Diagram Alir
Penyusunan diagram alir harus dilakukan oleh tim HACCP.
Penyusunan ini harus mencakup seluruh proses pembuatan produk dari
pemasukan bahan mentah hingga bahan tersebut dihasilkan. Menurut
Winarno (2012), Diagram ini harus meliputi selutuh tahap-tahap dalam
proses secara jelas, yaitu mengenai:
- Rincian seluruh kegiatan proses termasuk inspeksi, transportasi,
-

penyimpanan dan penundaan dalam proses


Bahan-bahan yang dimasukkan kedalam proses seperti bahan baku,

pengemasan, air dan bahan kimia


Keluaran dan proses, seperti limbah: pengemasan, bahan baku,
product-in-process, produk rework, dan produk yang dibuang

(ditolak).
E. Verifikasi Diagram Alir dari Unit Produksi
Diagram alir yang sudah disusun harus diverifikasi ulang agar
sesuai dengan pelaksanaannya di lapangan. Apabila terdapat kesalahan
ataupun kekeliruan didalam diagram alir, maka tim HACCP harus
melakukan modifikasi terhadap diagram alir agar menjadi lebih sempurna
dan sesuai dengan pelaksanaanya di lapangan. Diagram alir harus
diverifikasi

kembali melalui pengamatan

aliran

proses, kegiatan

pengambilan contoh, wawancara dan pengamatan operasi rutin/nonrutin.


F. Identifikasi Bahaya (prinsip pertama)
Identifkasi Bahaya ini merupakan prinsip pertama dari HACCP,
yang mencakup identifikasi semua potensi bahaya, analisa bahaya, dan
pengembangan tindakan pencegahan (Winarno, 2012).
Bahaya adalah suatu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan
konsumen secara negatif yang meliputi bahaya biologis, kimia atau fisik
baik dari dalam, atau kondisi dari makanan yang potensi untuk
menyebabkan dampak merugikan kesehatan (Mortimore dan Wallace,
2004).
Analisa bahaya merupakan proses pengumpulan dan penilaian
informasi mengenai bahaya dan kondisi yang menyebabkan terjadinya
bahaya, untuk menentukan mana yang berdampak nyata bagi keamanan
pangan sehingga sebaiknya ditangani dalam rencana HACCP (Sugiono,

2013). Analisa bahaya dilakukan pada semua bahan baku, setiap tahapan
produksi, pengemasan, pendistribusian hingga berakhir di tangan
konsumen. Tujuan analisis bahaya untuk mengenali bahaya-bahaya yang
dapat berpotensi pada segala kegiatan dan bahan baku produk.
1) Bahaya Biologis
Bahaya Biologis dapat berupa cemaran mikroba penyebab penyakit
seperti virus, bakteri dan parasit yang dapat menyebabkan keracunan
ataupun penyakit jika dikonsumsi oleh manusia. Cemaran ini dapat
berasal dari udara, tanah, air dan tempat-tempat kotor yang lain.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bahaya
biologis, yaitu pertama adalah faktor-faktor intrinsik, seperti pH, kadar
air/aktivitas air (aw), nutrien, senyawa antimikroba, struktur biologis
dan lain-lain.

Kedua adalah faktor

ekstrinsik, seperti suhu,

kelembaban, gas (karbon dioksida, ozon, sulfur dioksida) dan lain-lain.


Tabel 2.1 Pengelompokan Bahaya Biologis
No

Jenis Bahaya

Bakteri

Virus

Fungi

Contohnya

Biologis

Parasit, Protozoa
dan cacing

Algae (ganggang)

Salmonella spp
Clostridium perfringens
Clostridium botulinum
Listeria monocytogenes
Campylobacter jejuni
Vibrio cholera
Bacillus cereus
Hepatitis A
Rotavirus
Aspergillus flavus
Fusarium spp
Penicillium spp
Protozoa (Giardia lamblia)
Cryptosporidium parvum
Cacing bulat (Ascaris lumbricoides)
Cacing pita (Taenia saginata)
Cacing pipih (Fasciola hepatica)
Dinoflagelata
Ganggang biru-hijau
Ganggang coklat emas

Sumber : Buku HACCP dan Penerapannya dalan Industri Pangan, 2012

2) Bahaya Kimia

Bahaya kimia adalah bahaya berupa cemaran bahan-bahan kimia


yang menyebaban keracunan ataupun penyakit jika termakan manusia.
Kontaminasi bahan kimia pada makanan dapat terjadi pada setiap
tahapan produksi, dari pertumbuhan bahan baku di lapangan sampai
konsmsi produk akhir. Pengaruh kontaminasi kimia terhadap
konsumen dapat berjangka panjang (akut) seperti pengaruh makanan
yang mengandung alergen.
Bahan kimia dapat berupa bahan dari residu pestisida, logam
berbahaya, bahkan racun yang alami terdapat dalam bahan pangan itu
sendiri. Bahan pangan yang tercemar pestisida dapat disebabkan oleh
takaran yang belebihan pada bahan pangan misalnya sayuran dan
buah-buahan. Bahan makanan yang tercemar logam berbahaya
dikarenakan selalu disiram dengan air sungai yang sudah tercemar oleh
logam berat hasil dari buangan industri kimia. Bahan pangan seperti
kacang tanah yang telah berjamur mungkin ditumbuhi kapang
aspergillus flavus yang menghasilkan racun yang disebut aflatoksin.

Tabel 2.2 Bahaya kimia yang dapat mencemari makanan.


No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

Bahan Kimia
Bahan-bahan kimia pembersih: deterjen
Residu Pestisida: Fungisida, Insektisida, Herbisida, Rodentisida
Alergen
Logam beracun
Nitrit, nitrat dan senyawa N-nitroso
Polychlorinated biphenyls (PCBs)
Migrasi komponen plastik dan bahan pengemas
Residu antibiotika dan hormon
Adiktif kimia
Filotoksi-sianida, estrogen
Zootoksin

Sumber : Winarno, 2012

3) Bahaya Fisik
Kontaminasi bahaya fisik pada proses pengolahan produk dapat
disebabkan oleh pengolahan dan pengecekan yang tidak sesuai dengan
prosedur. Dalam kasus penolakan terhadap bahan pengolahan pangan
Indonesia di dunia perdagangan Internasional, kasus yang sering

terjadi adalah kontaminasi fisik yang terutama diakibatkan oleh


kotoran serangga atau biologis lainnya (Winarno, 2012). Kontaminasi
fisik ini dapat berupa pecahan gelas, logam, batu, daun, ranting kayu,
perhiasan, pasir dan lain-lain.
G. Menentukan CCP
Critical Control Point atau Titik Kendali Kritis Merupakan suatu
langkah ketika pengendalian dapat diterapkan dan sangat penting untuk
mencegah, meniadakan, atau mengurangi bahaya keamanan pangan
sampai pada tingkat yang dapat diterima (Sugiono, 2013). CCP merupakan
suatu tahapan proses ketika bahaya harus dikendalikan agar pangan yang
anda hasilkan aman untuk dikonsumsi. Tidak semua tahapan produksi
merupakan CCP, hanya tahapan tertentu saja yang dapat dijadikan CCP.
Jika terdapat sebuah bahaya dapat sebuah CCP, maka semua bahaya harus
direduksi sampai kebatas minimal atau tingkat yang aman atau bahkan
dihilangkan melalui tindakan pengendalian yang sesuai.
H. Menentukan Batas Kritis untuk Setiap CCP
Setiap CCP yang sudah ditentukan harus ditetapkan batas kritisnya
secara spesifik berdasarkan referensi dan standar teknis serta observasi
unit produksi. Batas kritis ini tidak boleh terlampaui karena sudah
merupakan toleransi yang menjamin bahwa bahaya dapat dikontrol.
Kriteria yang seringkali digunakan mencakup pengukuran-pengukuran
terhadap suhu waktu, tingkat kelembaban, pH, Aw, keberadaan chlorine,
dan parameter-parameter sensori seperti kenampakan visual dan tekstur.
Tabel 2.3 Contoh batas-batas kritis
Bahaya
Bakteri patogen
Potongan logam

Bakteri patogen
Kelebihan nitrat
Histamin

CCP
Penyimpanan sementara
bahan baku
Deteksi logam (dengan

Batas Kritis
Suhu chilling 0-4C
Serpihan/potongan logam > 0,5

metal detector)

mm
Aw <0,85 untuk mengendalikan

Pengeringan dengan oven

pertumbuhan bakteri pada

Penggaraman
Penerimaan bahan baku

produk kering
Sodium nitrat 200 ppm
< 25 ppm

Sumber : Winarno, 2012

I. Tetapkan Sistem Monitoring

Monitoring atau pengendalian dalam HACCP merupakan tindakan


dari pengujian atau observasi yang dicatat unit usaha untuk melaporkan
keadaan CCP. Kegiatan ini menjamin bahwa batas kritis tidak terlampaui.
Untuk menyusun prosedur monitoring, pertanyaan-pertanyaan siapa, apa,
dimana, mengapa, bagaimana dan kapan harus terjawab yakni apa yang
harus dievaluasi, dengan metode apa, siapa yang melakukan, jumlah dan
frekuensi yang ditetapkan (Winarno, 2012).
Ada lima cara monitoring CCP menurut Sudarmaji (2005) yang
penting untuk dilaksanakan antara lain: pengamatan, evaluasi, sensorik,
pengukuran sifat fisik, pengujian kimia dan pengujian mikrobiologi.
J. Tetapkan Tindakan Koreksi
Tindakan koreksi dilakukan jika terjadi penyimpangan ataupun
kesalahan serius atau kritis ditemukan atau batas kritis tertentu terlampaui
akibat dari kegagalan dan pengawasan HACCP. Menurut Sugiono (2013),
tindakan koreksi yang telah ditetapkan harus menjamin bahwa titik kendali
kritis tersebut telah dapat dikendalikan.
K. Tetapkan Prosedur Verifikasi
Sistem verifikasi mencakup berbagai aktifitas seperti inspeksi,
penggunaan metode klasik mikrobiologis dan kimiawi dalam menguji
pencemaran pada produk akhir untuk memastikan hasil pemantauan dan
menelaah keluhan konsumen. Contoh produk yang diperiksa dapat
digunakan untuk memeriksa keefektifan sistem. Namun demikian,
verifikasi tidak pernah menggantikan pemantauan. Verifikasi hanya dapat
memberikan tambahan informasi untuk meyakinkan kembali kepada
produsen bahwa penerapan HACCP akan menghasilkan produksi makanan
yang aman (ILSI-Eropa, 1996 dalam Sudarmaji, 2005).
L. Tetapkan Pencatatan Laporan dan Dokumentasi
Proses Dokumentasi merupakan tahap akhir dan tahap yang
penting dalam HACCP karena tahap ini memberikan informasi yang
dikumpulkan selama instalasi, modifikasi dan operasi sistem yang dapat
diperoleh oleh siapapun yang terlibat proses, juga dari pihak luar atau
auditor (Sudarmaji, 2005).
Tujuan dari Dokumentasi ini adalah untuk (Winarno, 2012);
1) Bukti keamanan produk berkaitan dengan prosedur dan proses yang
ada.
2) Jaminan pemenuhan peraturan.

3) Kemudahan pelacakan produk dan peninjauan catatan.


4) Rekaman pada pengukuran-pengukuran.
5) Merupakan sumber tinjauan data yang diperlukan bila ada audit.

BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFINISI
OPERASIONAL
3.1.

Kerangka Teori
Tahapan Pengelolaan Makanan

Pemilihan
Bahan
Makanan

Penyimpanan
Bahan Makanan

Persiapan dan
Pengolahan
Bahan
Makanan

Penyimpanan
Makanan Jadi

Pengangkutan
Bahan Makanan

Penyajian
Makanan

Sumber : Depkes RI, 2004


Gambar 3.1. Kerangka Teori
Menurut Depkes RI, Tahapan pengolahan bahan makanan pada suatu
instansi ataupun Industri Penyelenggaraan Makanan (Jasa Boga/Katering) terdiri
dari enam tahap, yaitu Pemilihan Bahan Makanan, Penyimpanan Bahan Makanan,
Persiapan dan Pengolahan Bahan Makanan, Penyimpanan Makanan Jadi,
Pengankutan Bahan Makanan dan Penyajian Makanan.

3.2.

Kerangka Konsep

Tahapan Pengelolaan Makanan


Pemilihan
Bahan
Makanan

Penyimpanan
Bahan Makanan

Persiapan dan
Pengolahan
Bahan
Makanan

Penyimpanan
Makanan Jadi

Pengangkutan
Bahan Makanan

Penyajian
Makanan

Penerapan 7 Prinsip HACCP


-

Identifikasi Bahaya
Menentukan Titik
Kendali Kritis
- Spesifikasi Batas Kritis
- Penetapan dan
Pelaksanaan Sistem
Gambar
3.2. Kerangka Konsep
Monitoring
- Tindakan Perbaikan
Dari kerangka konsep
akan dilakukan
- ini,
Verifikasi
Sistem analisis dengan pendekatan
Pencatatan
dan pengelolaan makanan yang ada
penerapan 7 prinsip HACCP -pada
seluruh tahapan
Dokumentasi

berlangsung di Katering Prima Sari. 7 prinsip tersebut antara lain Identifikasi

Bahaya, Menentukan Titik Kendali Kritis, Spesifikasi Batas Kritis, Penetapan dan
Pelaksanaan Sistem Monitoring, Tindakan Perbaikan, Verifikasi Sistem dan
Pencatatan dan Dokumentasi.
3.3.
Definisi Operasional
Definisi

Alat

Pemilihan

Operasional
Penyediaan

Bahan

bahan

Ukur
Daftar - Observasi
- Wawancara
tilik

Makanan

makanan

bagaimana

melalui

penerapan

prosedur dan

prinsip-prinsip

No

Variabel

Cara Ukur

Hasil Ukur
Informasi yang
lengkap

Skala
Ukur
Nominal

peraturan yang
berlaku
(Muchatob,
1991).

HACCP dalam

Dilakukan

tahapan

dengan

Pemilihan

membeli

Bahan Makanan

sendiri atau

di Katering

melalui

Prima Sari.

pemasok
(Moehyi,
1992)

Penyimpanan
2

Bahan
Makanan

Suatu tata cara

Informasi yang

menata,

lengkap

menyimpan,

bagaimana

memelihara

penerapan

bahan

prinsip-prinsip

makanan
kering dan

Daftar - Observasi
tilik - Wawancara

HACCP dalam
tahapan

basah serta

Penyimpanan

mencatat serta

Bahan Makanan

pelaporannya

di Katering

(Depkes,

Prima Sari.

Nominal

2007).
3

Persiapan dan

Daftar - Observasi
- Wawancara
tilik

Informasi yang

Pengolahan

Menyiapkan

lengkap

Bahan

makanan dan

bagaimana

Makanan

bumbu

penerapan

sebelum

prinsip-prinsip

pemasakan,

HACCP dalam

dan setelah itu

tahapan

proses

Pengolahan

kegiatan

Bahan Makanan

dengan

di Katering

Nominal

berbagai cara
pemasakan
seperti
membakar,
merebus,
mengukus,
menggoreng,

Prima Sari

mengetim
untuk
meningkatkan
citarasa
(Mukrie, 1990,
Depkes RI,
1990)

Informasi yang

Penyimpanan
Makanan Jadi

Makanan atau

lengkap

minuman yang

bagaimana

disajikan harus

penerapan

dengan wadah
yang bersih
dan aman bagi

Daftar - Observasi
tilik - Wawancara

prinsip-prinsip
HACCP dalam
tahapan

kesehatan

Penyimpanan

(Depkes RI,

Makanan Jadi di

2003)

Katering Prima

Pengangkutan

Serangkaian

Makanan Jadi

kegiatan

Daftar - Observasi
- Wawancara
tilik

Nominal

Sari.
Informasi yang
lengkap

penyaluran

bagaimana

makanan

penerapan

sesuai dengan

prinsip-prinsip

jumlah porsi

HACCP dalam

dan jenis

tahapan

makanan

Pengangkutan

konsumen

Makanan Jadi di

yang dilayani

Katering Prima

(Depkes RI,

Sari.

Nominal

2003)
Makanan
disajikan di

Informasi yang

tempat yang

lengkap

bersih,

bagaimana

peralatan

penerapan

bersih, tidak
6

Penyajian

boleh terjadi

Makanan Jadi

kontak

Daftar - Observasi
tilik - Wawancara

langsung
dengan
makanan yang
disajikan
(Kusmayadi,

prinsip-prinsip
HACCP dalam

Nominal

tahapan
Penyajian
Makanan Jadi di
Katering Prima
Sari.

2008)

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1.

Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain

penelitian desktriptif analitik. Metode Penelitian Kualitatif (Sugiyono, 2009)


adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti
adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sumber data dilakukan secara
purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan),
analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih

menekankan makna daripada generalisasi. Teknik pengambilan sampel dalam


penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sample.
Alasan peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif untuk
mengetahui informasi secara detail, mendalam dan kompleks sesuai tujuan
penelitian yaitu bagaimana penerapan prinsip-prinsip HACCP pada katering
Prima Sari, Jakarta tahun 2016.
4.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada katering Prima Sari yang berlokasi di Jalan
Mandala Raya, Jakarta, Tahun 2016. Katering ini

termasuk dalam katering

kategori A3. Katering ini memiliki tempat dan dapur khusus dengan tenaga kerja
sebanyak 30 orang. Katering ini melayani penyelenggaraan makanan untuk
khayalak umum misalnya untuk pernikahan, event kenegaraan, rapat dan-lain-lain.
Waktu penelitian dilakukan pada bulan April - Mei 2016.
4.3.
Teknik Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data ini dilakukan oleh peneliti sendiri, dengan
teknik observasi dan wawancara mendalam, dokumentasi dan triangulasi
informasi. Teknik pengumpulan data pada penelitian kualitatif ini terdiri dari dua,
yaitu pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder.
4.4.1. Pengumpulan Data Primer
Pengumpulan data primer berasal dari hasil observasi langsung terhadap
aspek aspek yang akan diteliti serta wawancara / tanya jawab informan. Observasi
adalah kegiatan pengamatan yang bertujuan mendeskripsikan lokasi penelitian,
aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas,
dan makna kejadian dilihat dari perpekstif mereka yang terlihat dalam kejadian
yang diamati tersebut (Poerwandari, 1998). Observasi menggunakan bantuan alat
berupa kamera untuk mendokumentasikan lokasi penelitian dalam berbagai
suasana dan kondisi, segala tahapan pengolahan produk. Teknik pengumpulan
data yang kedua adalah wawancara. Wawancara merupakan pertemuan antara dua
orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab sehingga dapat
diambil makna dari suatu topik terrtentu (Esterberg, 2002). Wawancara mendalam
ini nantinya akan dibantu dengan alat perekam suara seperti tape recorder yang
akan dilakukan kepada narasumber yang memang mengetahui segala kondisi dan
proses tahapan pengolahan produk katering, yaitu owner dari katering Prima
sendiri. Kegiatan observasi dan wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar

tilik sebagai acuan yang telah diuji coba sebelumnya dengan metode isian
checklist.
4.4.2. Pengumpulan Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang tidak langsung memberikan data kepada
peneliti, misalnya penelitian harus melalui orang lain atau mencari melalui studi
literatur misalnya pada dokumen atau buku yang diperoleh berdasarkan catatancatatan yang berhuungan dengan penelitian (Sugiyono, 2005). Pengumpulan data
sekunder akan diperolah dari Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ada
dilokasi katering tersebut serta data-data tertulis seperti peraturan-peraturan dan
dokumen tertulis yang berkaitan dengan pengolahan dan pengelolaan makanan
yang berlaku di katering tersebut. Adapun data ini diperlukan untuk memperkuat
dan melengkapi informasi yang didapatkan peneliti dari data primer hasil dari
observasi dan wawancara mendalam dengan pemilik katering Prima Sari.
4.5.
Analisis Data
Kegiatan analisis data dalam penelitian kualitatif terdiri dari tiga kegiatan,
yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan konklusi
(conclusion drawing/verivication) (Sugiyono, 2007). Reduksi data yang dilakukan
adalah dengan memilih hal-hal yang pokok dan memfokuskan pada hal-hal yang
penting. Penyajian data dalam penelitian kualitatif kali ini adalah teks yang
bersifat naratif. Data yang diperoleh kemudian dikategorikan kemudian dicari
polanya dan ditarik kesimpulan.
Data hasil observasi dan wawancara yang terangkum dalam daftar tilik
serta hasil telaah data sekunder dikumpulkan untuk selanjutnya dilakukan analisis
dan disusun secara sistematis. Analisis dilakukan pada seluruh tahapan
penyelenggaraan makanan katering mulai dari tahap pemilihan bahan makanan,
penyimpanan bahan makanan, persiapan bahan makanan, dan pengolahan bahan
makanan, penyimpanan makanan jadi, distribusi makanan hingga tahap
pengemasan/penyajian makanan. Hasil analisis kemudian akan dibandingkan
dengan penerapan sistem keamanan pangan ideal, berdasarkan prinsip HACCP.
4.6.
Pengujian Keabsahan Data
Pengujian Keabsahan data yang dilakukan peneliti terdiri dari 2, yaitu
Triangulasi Teori dimana peneliti akan membandingkan informasi yang telah
diterima dengan perspektif teori yang relevan untuk mengindari bias individual
peneliti atas temuan atau kesimpulan yang dihasilkan dan triangulasi sumber data,

yakni dengan menggali kebenaran informasi melalui wawancara kepada beberapa


narasumber dan observasi langsung.

DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. (2013). Laporan Tahunan 2013 Badan Pengawas Obat dan Makanan
RI. BPOM RI: Jakarta.
Clary, J.J. dan Sullivan. J. B., (1992). Formaldehyde. Dalam : J.B. Sullivan and
G.R Krieger. Hazardous Materials Toxivology. Williams & Wilkins.
Baltimore, Hongkong, London, Munich, Philadelphia, Sydney, Tokyo.
Codex Commite in Food Hygienie. (1997). HACCP System and Guidenes for its
Application, Annexe to CAC/RCP 1-1969, Rev 3 dalam Codex
Alimentarius Commision Food Hygienie Basic Text, Food and Agriculture
Organization of United Nations, World Health Organization, Rome.
Dalam Mortimore, S and Wallace, C. 2001. HACCP. Diterjemahkan oleh
Aprinignsih dengan judul HACCP: Sekilas Pandang. Jakarta: EGC, 2004.
Daulay, Sere Saghranie. (2000). Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
dan Implementasinya dalam Industri Pangan. Widyaiswara Madya
Pusdiklat Industri. Jakarta.
Depkes RI. (1990). Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Gizi Rumah
Sakit. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Pembinaan
Kesehatan Masyarakat, Depkes RI
_________. (2002). Higiene dan Sanitasi Pengolahan Makanan. Direktorat
Surveilans dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Jakarta.
_________. (2003). Kepmenkes RI no. 175/Menkes/SK/V/2003 Tentang
Persyaratan Hygiene Sanitasi Jasaboga. Depkes RI. Jakarta

_________. (2003). Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit. Jakarta: Departemen


Kesehatan Republik Indonesia Jendral Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Gizi Masyarakat.
_________. (2004). Hygiene Sanitasi Makanan dan Minuman. Dirjen PPM dan
PL. Jakarta
_________, (2010). Pedoman Pengamatan dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa di Indonesia, Ditjem PPM & PLP: Jakarta.
Esterberg, Kristin G. (2002). Qualitative Methods in Social Research, Mc Graw
Hill: New York.
Fadiati A. 1998. Pengelolaan Usaha Boga (katering management). Depdikbud
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan: Jakarta
Gaman, P.M dan K.B. Sherrington. (1992). Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan
Nutrisi dan Mikrobiologi, Edisi Kedua. Diterjemahkan dari buku The
Science of Food, An Introduction to Food Science, Nutrition and
Microbiology oleh Murdjati Gardjito, dkk. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Irianto, K. (2004). Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis.
Bandung: Yrama Widya
Kusmayadi, Ayi dan Dadang Sukandar. (2008). Cara Memilih dan Mengolah
Makanan untuk Perbaikan Gizi Masyarakat. Deptan: Jakarta
Moehyin, Sjahmien. (1992). Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga.
Penerbit Bhratara. Jakarta.
Moertjipto, J.S. (1993). Makanan, Wujud, Variasi, dan Fungsinya Serta ara
Penyajiannya pada Orang Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Depdikbud
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-nilai Budaya: Yogyakarta.
Mukrie, N.A., dkk. (1990). Manajemen Pelayanan Gizi Institusi. Jakarta: Dasar
Depkes RI.
Poerwandari, E. Kristi. (1998). Metode Penelitian Sosial. Jakarta : Universitas
Terbuka.
Purawijaya, T. (1992). Keracunan Makanan di Indonesia. Materi Pelatihan
Singkat Keamanan Pangan, Standart dan Peraturan Pangan. PAU Pangan
dan Gizi IPB.

Ray, B, (2002). Issues on Food Safety. Paper presented at Half-day Seminar on


Value Added Products: New Paradigm & Opportunities Center for Food &
Nutrition Studies Dept. Of Food & Agric Product Technology, Fac of
Agric Technology, UGM, March 2, 2002.
Republik Indonesia. (1996). Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang : Pangan.
Lembaran Negara RI Tahun 1996, No. 99. Sekretariat Negara: Jakarta.
Santoso, Umar. (2004). Food Poisoning Outbreaks in Indonesia. Proceeding of
the 4th Asian Conference on Food & Nutrition Safety: Science, Health &
Economics. Held ILSI Southeast Asia Region, Bali International
Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Indonesia, March 2-5, 2004.
___________. (2009). Peranan Ahli Pangan dalam Mendukung Keamanan dan
Kehalalan Pangan: disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar dalam Bidang Kimia Pangan dan Hasil Pertanian pada Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Universitas Gadjah Mada:
Yogyakarta
Saparinto, C dan Hidayati, D. (2006). Bahan Tambahan Pangan. Kanisius :
Yogyakarta
Sere, Saghranie Daulay. (2000). Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
dan Implementasinya dalam Industri Pangan. Widyaiswara Madya
Pusdiklat Industri.
SNI 01-4852-1998. (1998). Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik
Kritis (HACCP) serta pedoman penerapannya. Badan Standarisasi
Nasional: Jakarta.
Suarjana, I Made., dan A.A. Gede Agung. (2013). Kejadian Luar Biasa
Keracunan makanan (Studi Kasus di SD 3 Sangeh Kabupaten Badung).
Jurnal Skala Husada Vol. 10, No. 2, September 2013 : hal 144 148.
Sudarmaji. (2005). Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard
Analysis Critical Control Point). Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 1, No.
2, Januari 2005 : hal 183 190.
Sugiono. (2013). Petunjuk Praktis Penerapan Sistem Jaminan Keamanan Pangan
Berbasis HACCP di Rumah Makan dan Restoran. LIPI Press: Jakarta.
Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABET.
Susanna, Dewi dan Budi Hartono. (2003). Pemantauan Kualitas Makanan
Ketoprak
dan Gado-Gado di Lingkungan Kampus UI Depok Melalui

Pemeriksaan Bakteriologis. Jurnal Makara Seri Kesehatan Vol. 7, No1,


Juni 2003 : hal 21 29.
Winarno, F.G. (2012). HACCP dan Penerapannya Dalam Industri Pangan,
Cetakan 3.
Winarno, FG dan Surono. (2004). GMP Cara Pengolahan Pangan yang Baik.
Bogor: M-Brio Press, Cetakan 2.
Warsitaningsih, Agnes. (2009). Handout Manajemen Usaha Boga. Program Studi
Tata Boga Jurusan PKK FPTK UPI.

Anda mungkin juga menyukai