Anda di halaman 1dari 26

TUGAS KELOMPOK

TEORI EKONOMI 2

PENGANGGURAN

NAMA KELOMPOK :
- M. REZKY PRATAMA ( 24212332 )
- AAN ADE SAPUTRA

KELAS : 2EB16

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA

PENGANGGURAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Keadaan Penganggur dan Setengah Pengangguran.
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil
dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga
kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang
disebabkan antara lain; perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi
atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan dalam proses
ekspor impor, dan lain-lain.
Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur terbuka, sekitar
450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia penganggur sebagian besar
(5.78 juta) adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat sebanyak 2,7 juta penganggur merasa
tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam
stabilitas nasional.
Masalah lainnya adalah jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35
jam per minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang
bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang mengakibatkan
produktivitas rendah. Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan setengah penganggur
berjumlah 38 juta orang yang harus segera dituntaskan.
B. Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja.
Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya dipengaruhi oleh
besarnya angkatan kerja. Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 100,8 juta orang. Mereka
ini didominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun) sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain, 45,33
juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya
masih rendah.
Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran tersebut adalah

keadaan kesempatan kerja. Pada tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah sebesar 91,6 juta orang.
Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada disektor pertanian, yang hingga saat ini tingkat
produktivitasnya masih tergolong rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari kesempatan kerja yang tersedia
tersebut berstatus informal.
Ciri lain dari kesempatan kerja Indonesia adalah dominannya lulusan pendidikan SLTP ke bawah. Ini
menunjukkan bahwa kesempatan kerja yang tersedia adalah bagi golongan berpendidikan rendah.
Seluruh gambaran di atas menunjukkan bahwa kesempatan kerja di Indonesia mempunyai persyaratan
kerja yang rendah dan memberikan imbalan yang kurang layak. Implikasinya adalah produktivitas tenaga
kerja rendah.
Sasaran
Sasaran yang diharapkan, dirumuskan sebagai berikut :
Menurunnya jumlah penganggur terbuka dari 0,96 pesen menjadi 5,5 persen pada tahun 2009.
Menurunnya jumlah setengah penganggur dari 28,65 persen menjadi 20 persen dari jumlah yang bekerja
pada tahun 2009.
Meningkatnya jumlah tenaga kerja formal dari 36,71 persen menjadi 60 persen dari jumlah yang bekerja
pada tahun 2009.
Menurunnya jumlah angkatan kerja usia sekolah dari 20,54 persen menjadi 15 persen pada tahun 2009.
Tingkatkan perluasan lapangan kerja dari 91,65 juta orang menjadi 108,97 juta orang. Terbangunnya
jejaring antara pusat dengan seluruh Kabupaten/kota.
Untuk mencapai hal tersebut disusun strategi, kebijakan dan program-program yang perlu terus dibahas
untuk menjadi kesepakatan semua pihak, meliputi Pengendalian Jumlah Angkatan kerja peningkatan
Kualitas angkatan Kerja; peningkatan Efektivitas Informasi Pasar Kerja dan Bursa Kerja; pembinaan
Hubungan Industrial. (Sumber: Deklarasi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia, 29 Juni 2004;
Bahan Raker Komisi VII DPR-RI dan Menakertrans, 11 Pebruari 2004). Sumber : Majalah Nakertrans
Edisi - 03 TH.XXIV-Juni 2004
C. Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik
Selain masalah upah, persoalan mendasar ketenagakerjaan di Indonesia saat ini menyangkut tingkat

pengangguran. Ini disebabkan pertambahan angkatan kerja baru jauh lebih besar dibanding pertumbuhan
lapangan kerja produktif yang dapat diciptakan setiap tahun. Pasca krisis moneter, gap tersebut semakin
membengkak tajam.
Pada tahun 1998 tingkat pengangguran mencapai 5,7 persen. Angka ini sebenarnya masih di sekitar
tingkat pengangguran natural (Natural Rate of Unemployment), suatu tingkat yang secara alamiah
mustahil dihindarkan. Ini mencakup pengangguran yang muncul karena peralihan antar kerja oleh tenaga
kerja. Dengan jumlah angkatan kerja 92,7 juta, pengangguran 5,7 persen berarti terdapat 4,5 juta orang
penganggur.
Sebenarnya tingkat pengangguran ini relatif kecil dibanding tingkat pengangguran di beberapa negara
industri maju di Eropa di tahun 90-an yang bahkan mencapai dua digit. Namun tingkat pengangguran 5,7
persen tersebut sebenarnya adalah angka pengangguran terbuka (open unemployment), yakni penduduk
angkatan kerja yang benar-benar menganggur. Di luar pengertian tersebut, terdapat sejumlah besar
penganggur yang dalam konsep ekonomi termasuk dalam kualifikasi pengangguran terselubung
(disguised unemployment), yakni tenaga kerja yang tidak bekerja secara optimal karena tidak
memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya disebabkan lemahnya permintaan tenaga kerja.
Konsep lainnya adalah under employment, yakni tenaga kerja yang jumlah jam kerjanya tidak optimal
karena ketiadaan kesempatan untuk bekerja.
Berdasarkan data BPS (Biro Pusat Statistik) sampai Mei 1997, sekitar 45 persen tenaga kerja bekerja di
bawah 35 jam per minggu atau setara dengan 25 persen pengangguran penuh. Jika ditambah angka
pengangguran terbuka 2.67 persen dan pengaruh krisis ekonomi yang berkepanjangan, total
pengangguran nyata bisa mencapai 35-40 persen. Suatu tingkat yang sangat serius dan membahayakan
dalam pembangunan nasional.
Di samping masalah tingginya angka pengangguran, yang termasuk juga rawan adalah pengangguran
tenaga terdidik, yaitu angkatan kerja berpendidikan menengah ke atas dan tidak bekerja. Fenomena ini
patut diantisipasi sebab cakupannya berdimensi luas, khususnya dalam kaitannya dengan strategi serta
kebijakan perekonomian dan pendidikan nasional.
Pola Pengangguran

Dari tabel di bawah mengungkapkan beberapa hal menarik. Pertama, pada 1998, hampir separuh (49
persen) penganggur ternyata berpendidikan menengah atas (SMTA Umum dan Kejuruan). Kedua, periode
1982-1998, terjadi peningkatan pengangguran berpendidikan menengah ke atas (SMTA, Akademi dan
Sarjana) secara signifikan dari 26 persen menjadi 57 persen, atau meningkat hampir 120 persen. Ketiga,
laju peningkatan pengangguran di sekolah menengah kejuruan lebih rendah daripada sekolah menengah
umum, baik pada menengah pertama maupun pada menengah atas. Keempat, persentase peningkatan
tingkat pengangguran berpendidikan sarjana adalah paling tinggi, yang melonjak dari 0,57 persen pada
1982 menjadi 5,02 persen pada 1998.

Tabel
Struktur Pengangguran Menurut Tingkat Pendidikan (%)
Pendidikan 1982 1995 1998
SD ke bawah 61.74 40.68 23.09
SLTP 11.79 16.33 19.44
SLTA Umum 12.30 24.90 32.13
SLTA Kejuruan 12.69 11.61 16.86
Diploma 0.91 2.61 3.47
- Diploma I 0.74 0.94
- Diploma II 1.87 2.53
Universitas 0.57 3.86 5.02
Sumber: Statistik Tahunan Indonesia, 1985, 1995, 1998
Beberapa Sebab
Secara kualitatif, kualitas tenaga kerja nasional meningkat disebabkan dua hal. Pertama, pembangunan
ekonomi pada tingkat tertentu berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga masyarakat lebih

mampu membiayai pendidikan formal dan mengakomodasi makanan bergizi yang membantu kualitas
tenaga kerja. Kedua, berbagai kebijakan di bidang pendidikan nasional membawa peningkatan pada
kualitas pendidikan formal angkatan kerja. Akan tetapi, pada saat angkatan kerja terdidik meningkat
dengan pesat, lapangan kerja masih didominasi sektor-sektor subsistensi yang tidak membutuhkan tenaga
kerja berpendidikan.
Ini menimbulkan gejala supply induce di mana tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar
memberi tekanan kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil, sehingga
terjadi pendayagunaan tenaga kerja terdidik yang tidak optimal.
Secara makro ini juga disebabkan transformasi struktur ekonomi dari sektor primer (pertanian) ke sektor
sekunder dan tersier (industri dan jasa) tidak diikuti transformasi penyerapan tenaga kerja. Periode 198098, penyerapan tenaga kerja sektor primer turun 9 persen menjadi 47 persen, sementara sektor sekunder
dan tersier hanya meningkat 3 persen dari 23 persen. Di lain pihak kontribusi sektor primer terhadap PDB
turun sebesar 9 persen menjadi 15 persen sementara sektor sekunder dan tersier meningkat sekitar 14
persen menjadi 27 persen.
Tampaknya gejala tersebut diakibatkan pola perkembangan industri saat ini yang kurang berbasis pada
permasalahan nasional yang sifatnya seolah labor surplus padahal karena permintaan yang kecil. Dengan
demikian, di samping membangun industri skala besar yang sifatnya padat modal dan teknologi, perhatian
juga sudah seharusnya diberikan pada pengembangan industri yang lebih berorientasi pada penyerapan
tenaga kerja terdidik yang tidak hanya jumlahnya besar tetapi juga tumbuh dengan sangat cepat.
Perlu juga penanganan serius terhadap tingginya persentase lulusan SMTA Umum yang menganggur
(lebih tinggi daripada SMTA Kejuruan). Hal ini karena pada dasarnya SMTA Umum dipersiapkan untuk
memasuki perguruan tinggi, pada hal untuk masuk ke dunia perguruan tinggi, selain tempat terbatas,
mahalnya biaya juga menjadi kendala utama.
Berbagai perubahan menyangkut penjurusan di tingkat menengah atas tampaknya tidak akan mampu
menjawab permasalahan kualitas angkatan kerja golongan pendidikan ini. Seharusnya, kurikulum SMTA
Umum sekarang mendapat proporsi keterampilan praktis sehingga bilamana lulusan SMTA tidak mampu
melanjutkan ke perguruan tinggi, paling tidak sudah memiliki bekal keterampilan yang dibutuhkan untuk

masuk dunia kerja. Apa yang terjadi sekarang adalah, mayoritas angkatan kerja berpendidikan SMTA
Umum bekerja di sektor perdagangan dan sektor informal yang produktivitasnya relatif rendah.
Selain itu, di tengah membengkaknya jumlah penganggur, ternyata lowongan kerja yang belum terisi
cenderung meningkat serta porsinya terhadap lowongan kerja relatif besar. Menurut data Sub Direktorat
Informasi Pasar Kerja, Depnaker April 1998, dari 254.032 lowongan kerja terdaftar, terdapat 15 persen
lowongan kerja yang tidak dapat terisi. Sekitar 50 persen di antaranya adalah angkatan kerja
berpendidikan sarjana dan sarjana muda, sedangkan paling rendah lulusan SD dan diploma satu (D1)
sekitar 10 persen.
Tingginya proporsi lowongan kerja untuk sarjana dan sarjana muda yang belum terisi menunjukkan
adanya kesenjangan antara kualitas penawaran tenaga kerja (dunia perguruan tinggi) dengan kualitas
permintaan tenaga kerja (dunia usaha). Kesenjangan ini memang sudah sering diangkat ke permukaan
sampai lahirnya konsep link and match.
Masalahnya, sejauh mana konsep tersebut tertuang dalam kerangka yang lebih operasional. Secara
fungsional, beberapa perguruan tinggi swasta (PTS) sudah menerapkan hal ini di mana banyak praktisi
bisnis menjadi dosen-dosen PTS, yang secara perlahan membawa perubahan pada kurikulum. Akan
tetapi, bila tidak diimbangi dengan penjembatanan secara struktural, misalnya dengan berbagai proyek
kerjasama penelitian antara dunia usaha dengan perguruan tinggi yang melibatkan mahasiswa, dosen,
peneliti dan praktisi niscaya sulit untuk mempersempit gap tersebut.
Permagangan mungkin salah satu alternatif solusi praktis dan tepat. Hal ini didasarkan bahwa dunia usaha
terkesan tertutup terhadap mahasiswa yang datang untuk melakukan kegiatan penelitian (riset) sehingga
menguatkan adanya kesenjangan tersebut. Tapi ini juga belum ditangani secara serius dan terpadu.

BAB II
M AS ALAH

A. Tiap Tahun, Angka Pengangguran Indonesia Naik


Sejak 1997 sampai 2003, angka pengangguran terbuka di Indonesia terus menaik, dari 4,18 juta menjadi
11,35 juta. Didominasi oleh penganggur usia muda. Selain usia muda, pengangguran juga banyak
mencakup berpendidikan rendah, tinggal di pulau Jawa dan berlokasi di daerah perkotaan. Intensitas
permasalahan juga lebih banyak terjadi pada penganggur wanita dan pengaggur terdidik.
Pengangguran dan setengah pengangguran merupakan permasalahan di muara yang tidak bisa
diselesaikan pada titik itu saja, tapi juga harus ditangani dari hulu. Sektor di hulu yang banyak berdampak
pada pengangguran dan setengah pengangguran adalah sektor kependudukan, pendidikan dan ekonomi.
Ada tiga asumsi yang menjadi harapan untuk menurunkan pengangguran dan setengah pengangguran.
Pertama, pertumbuhan tenaga kerja rata-rata pertahun dapat ditekan dari 2,0 persen pada periode 20002005 menjadi 1,7 persen pada periode 2005-2009. Demikian juga pertumbuhan angkatan kerja, dapat
ditekan menjadi 1,9 persen pada periode 2005-2009 dari periode sebelumnya yang mencapai 2,4 persen.
Kedua, dapat ditingkatkannya pertumbuhan ekonomi menjadi 6,0 persen pada periode 2005-2009 dari
periode sebelumnya yang hanya mencapai 4,1 persen. Ketiga, transformasi sektor informal ke sektor
formal dapat dipercepat baik di daerah perkotaan maupun pedesaan terutama di sektor pertanian,
perdagangan, jasa dan industri.
B. Masalah Buruh-Pengusaha Belum Terpecahkan, Pengangguran Terus Bertambah
Kolapsnya perekonomian Indonesia sejak krisis pada pertengahan 1997 membuat kondisi
ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga tidak pernah
mencapai 7-8 persen. Padahal, masalah pengangguran erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Jika
pertumbuhan ekonomi ada, otomatis penyerapan tenaga kerja juga ada. Setiap pertumbuhan ekonomi satu
persen, tenaga kerja yang terserap bisa mencapai 400 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia

hanya 3-4 persen, tentunya hanya akan menyerap 1,6 juta tenaga kerja, sementara pencari kerja mencapai
rata-rata 2,5 juta pertahun. Sehingga, setiap tahun pasti ada sisa.
Bayangkan, pada 1997, jumlah penganggur terbuka mencapai 4,18 juta. Selanjutnya, pada 1999 (6,03
juta), 2000 (5,81 juta), 2001 (8,005 juta), 2002 (9,13 juta) dan 2003 (11,35 juta). Sementara itu, data
pekerja dan pengangguran menunjukkan, pada 2001: usia kerja (144,033 juta), angkatan kerja (98,812
juta), penduduk yang kerja (90,807 juta), penganggur terbuka (8,005 juta), setengah penganggur terpaksa
(6,010 juta), setengah penganggur sukarela (24,422 juta); pada 2002: usia kerja (148,730 juta), angkatan
kerja (100,779 juta), penduduk yang kerja (91,647 juta), penganggur terbuka (9,132 juta), setengah
penganggur terpaksa (28,869 juta), setengah penganggur sukarela .
Sebenarnya, untuk menurunkan pengangguran dan setengah pengangguran bisa saja dicapai lewa tiga
asumsi dasar, yaitu pertama, pertumbuhan tenaga kerja rata-rata pertahun ditekan dari 2,0 persen pada
periode 2000-2005 menjadi 1,7 persen pada periode 2005-2009. Demikian juga pertumbuhan angkatan
kerja, ditekan menjadi 1,9 persen pada periode 2005-2009 dari periode sebelumnya yang mencapai 2,4
persen. Kedua, pertumbuhan ekonomi ditingkatkan menjadi 6,0 persen pada periode 2005-2009 dari
periode sebelumnya yang hanya mencapai 4,1 persen. Ketiga, mempercepat transformasi sektor informal
ke sektor formal, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, terutama di sektor pertanian, perdagangan,
jasa dan industri.
Tapi pemecahan persoalan tidak semudah itu. Bicara soal ketenagakerjaan tidak akan lepas dari persoalan
buruh dan pengusaha yang tiap hari kian mencuat ke permukaan. Sejak 2000, persoalan terus datang,
hingga terpaksa harus melahirkan paket Undang Undang Serikat Pekerja, Ketenagakerjaan dan
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Selesaikan masalah? Tunggu dulu, lihatlah data
berikut:
Perselisihan Hubungan Industrial (PHI)
2001: Perkara yg Masuk (81), Jumlah Putusan (80), Sisa*) Perkara (73) *) Akumulasi dengan Sisa
perkara Bulan Sebelumnya
2002: Perkara masuk (101), Jumlah putusan (91), sisa perkara (189)
Keterangan: Data Perselisihan dari P4P tidak dibuat angka komulatif

2003: Perkara masuk (95), jumlah putusan (95), Sisa perkara (321)
Keterangan: Data Perselisihan dari P4P tidak dibuat angka komulatif
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas
Jumlah Perkara dan Tenaga Kerja yang Terkena PHK
2002: Kasus PHK (2.445), Tenaga Kerja PHK (114.933), kasus PHI (101)
2003: Kasus PHK (12.175), tenaga kerja PHK (110.145), kasus PHI (95)
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas
Pemogokan
2001: Kasus Pemogokan (174), tenaga kerja yang terlibat (109.845)
2002: Kasus pemogokan (220), tenaga kerja yang terlibat (769.142)
2003: Kasus pemogokan (146), tenaga kerja yang terlibat (61.790)
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
2001: Perkara yang masuk (2.160), jumlah putusan (1.906), sisa perkara (2.632)
*) Akumulasi dengan Sisa perkara Bulan Sebelumnya
2002: Perkara yang masuk (2.445), jumlah putusan (1.980), sisa perkara (4.415)
Keterangan: Data PHK dari P4P tidak dibuat angka komulatif
2003: Perkara yang masuk (2.175), jumlah putusan (2.098), sisa perkara (6.393)
Keterangan: Data PHK dari P4P tidak dibuat angka komulatif
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas

Jumlah Tenaga Kerja yang Terkena PHK


2002: Perkara yang masuk (114.933), jumlah putusan (98.565), sisa perkara (205.867) Keterangan:
Jumlah TK dari P4P tidak dibuat angka komulatif
2003: Perkara yang masuk (110.145), jumlah putusan (117.357), sisa perkara (223.413) Keterangan:
Jumlah TK dari P4P tidak dibuat angka komulatif
Sumber: Depnakertrans, Ditjen Binawas

Berdasarkan data di atas, jelas masalah buruh dan pengusaha seakan juga menjadi bom waktu yang tiap
saat bisa meledak dan menghancurkan kerangka ketenagakerjaan Indonesia. Fakta hubungan buruh dan
pengusaha tidak bisa serta merta terselesaikan dengan hadirnya UU Ketenagakerjaan dan PPHI. uruh itu
hanya concern pada dua hal: PHK dan penyelesaian perselisihan,. Tentunya, tidak perlu harus
mengeluarkan UU baru yang ternyata menguntungkan pasar bebas.
Ditambah lagi, adanya pernyataan beberapa ekonom yang mengatakan, kenaikan upah minimum akan
menyumbang pengangguran sebesar satu persen, jelas menguntungkan pasar bebas itu. Jumlah buruh di
2665 perusahaan tekstil dan produksi tekstil serta terkait dengan industri tesktil dan produksi tekstil saja
mencapai 4,7 juta. Belum di industri lainnya. Pertanyaannya, apakah hak upah minimum itu berkorelasi
dengan pengangguran? Soal pengangguran itu jelas terkait dengan krisis ekonomi yang tidak bisa
diselesaikan pemerintah. 62,5 persen pangsa pasar tenaga kerja itu ada di desa. Tidak ada korelasi, dan
upah minimum bukan penyebab utama pengangguran itu.
Tuntutan kesejahteraan buruh itu, adalah hak buruh yang bisa dipahami, memang harus ada berbagai
jaminan. Tapi yang bisa di berikan saat ini adalah yang sesuai dengan dukungan ekonomi kita, itu dulu
deh. Tanpa ada kemampuan yang didukung ekonomi nasional, jelas makin hari makin terjadi PHK,
industri tidak bersaing sehingga terjadi deindustrialisasi dan jadilah pedagang. Tidak heran saat ini,
banyak industri berubah jadi trading, impor. Bagi pengusaha, itu tidak ada masalah. Tapi siapa yang akan
memberikan pekerjaan?
Soal ketenagakerjaan memang menjadi hal pokok dalam menggerakkan iklim investasi. Karena investor
akan melihat, normatif ketenagakerjaan Indonesia bagaimana, upah minimumnya, compete tidak? Jika
upah buruh naik, produktifitas tidak naik, itu namanya tidak baik dan mampu berkompetisi. UU yang
baru ini jelas memberatkan pengusaha. Investasi akan semakin tidak mampu masuk, sehingga terjadi
pengangguran yang tentunya, kesejahteraan buruhpun jadi terhambat.
Soal paketan UU Ketenagakerjaan boleh jadi harus menjadi perhatian serius. Karena berdasarkan riset
ILO (International Labour Organization) 2-3 tahun terakhir, lebih dari 60 persen angkatan kerja Indonesia
ada di sektor informal. Sisanya, ada di sektor formal, bekerja di perusahaan, pegawai negeri dan lainnya
yang memang mempunyai jaminan perlindungan, seperti tiap bulan mendapatkan gaji tetap, ada jaminan

kesehatan dan lainnya. Informal yang jumlahnya jelas lebih banyak ini, tentunya tidak mempunyai
jaminan sama sekali: satu perbandingan yang tidak sehat. Celakanya, UU Ketenagakerjaan justru
membuat pengusaha menutup perusahaannya yang kemudian menurunkan kesempatan meningkatkan
penciptaan lapangan pekerjaan. Kemungkinan, tutupnya perusahan elektronik SONY dan DOSON yang
memproduksi sepatu Reebok, akan diikuti juga perusahaan lainnya. Di sisi lain, kompetisi usaha
Indonesiapun semakin menurun. Jelas, Cina dan Thailand bukanlah kompetitor lagi. Bahkan,
kemungkinan kita akan dikejar oleh Vietnam, Laos dan Kamboja.
Soal buruh dan pengusaha, sebenarnya banyak yang bisa dilakukan pemerintah, bukan sekadar
mendapatkan win-win solution, tapi juga memperhatikan kepentingan publik. Satu contoh yang mungkin
pengusaha dan buruh lainnya juga sepakat, penggunaan keuntungan jaminan sosial tenaga kerja
(Jamsostek) untuk kepentingan buruh dan pengusaha. Janganlah pemerintah mengambil deviden dari
Jamsostek, tapi kembalikan ke buruh. Komponen pengeluaran besar buruh adalah penginapan dan
transportasi. Dana Jamsostek yang surplus sekitar satu triliun rupiah itukan bisa dikembalikan ke buruh
dengan membangun perumahan buruh yang tersebar di sekitar sentra industri. Artinya, buruh bisa save
biaya transportasi dan memberikan hidup yang lebih layak.
Bahkan, buruh sebenarnya mau berkompromi untuk menunda pemenuhan hak yang mereka tuntut. Tidak
apa-apa upah tidak dinaikkan untuk sementara. Tapi pemerintah jangan menaikkan harga barang, listrik
dan layanan publik lainnya dong. Dana Jamsostek itu juga seharusnya bisa dijadikan solusi dalam hal
kesejahteraan buruh.
Fakta tetap mengatakan, jumlah pengangguran terus bertambah. Jelas, mau tidak mau, semua mata serasa
tertuju ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) sebagai operator (pemerintah)
penyelesaian soal ketenagakerjaan ini. Untuk menanggulangi masalah penganggur dan setengah
penganggur, efek netto dari hasil pembangunan yang diperkirakan akan semakin baik di masa mendatang
perlu didistribusikan kembali kepada masyarakat dalam berbagai bentuk, antara lain terciptanya
kesempatan kerja produktif dan remunerative. Dengan cara ini, redistribusi pendapatan dalam bentuk
seperti pengalihan subsidi BBM tidak perlu lagi dilakukan, atau hanya bersifat supplemen bilamana
keadaan terlalu memaksa.

Kebijakan itu perlu ditempuh untuk menghindari dampak negatif yang lebih besar dari sekadar dampak
negatif, seperti yang kita alami sekarang ini. Ketidak-stabilan peta politik dan keamanan, kemungkinan
besar akan semakin parah dan mengganggu sendi-sendi pembangunan lainnya. Bila hal ini benar-benar
terjadi, Indonesia akan berada pada bibir jurang kehancuran yang sulit dihindarkan. Untuk itu seluruh
komponen bangsa, termasuk instansi-instansi pemerintah yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan
dan ketenaga-kerjaan untuk harus segera mengkonsolidasikan diri, bersama-sama mengatasi masalah ini.
Konsolidasi ini, mencakup berbagai aspek penting, antara lain: identifikasi dan pemilihan program,
pembiayaan, koordinasi pelaksanaan, pengawasan dan lain-lain. Tanpa harus mengabaikan core-programe
masing-masing instansi atau pihak terkait, aspek penanggulangan pengangguran harus dijadikan sebagai
titik perhatian. Depnaker tidak mampu mengatasi pengangguran. Yang mampu mengatasinya adalah
semua sektor, pemerintah dan masyarakat sendiri, harus bersama-sama.
Selama ini Depnakertranas sudah menyebarkan informasi dan mendorong ke arah wira-usaha. Umumnya
negara berkembang, 54-60 persen sektor informal mampu menampung pencari kerja, sebagai usaha
mandiri, kecil-menengah. Yang di dorong itu pencari kerjanya, baik lewat tenaga kerja pemuda mandiri
professional, tenaga kerja terdidik, lalu masalah pengembangan penerapan teknologi tepat guna, maupun
pola-pola pemberian kredit bank.
Selain itu, Depnakertrans juga mencoba menyentil instansi lain untuk peduli terhadap masalah
pengangguran, supaya juga bisa membuat tolak ukur, membuat gambaran: berapa sektor kerja dan tenaga
kerja yang riil ada. Seperti pertanian, dimana diharapkan mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak.
Data-data menunjukkan, sampai dengan 40 persen, sektor pertanian menyerap tenaga kerja. Kemudian
diikuti sektor kelautan. Untuk itu, departemen pertanian dan kelautan misalnya, harusnya mampu
memperluas kesempatan pekerjaan di sektor mereka sendiri.
Tapi Depnakertrans mengaku, anggaran yang dimiliki sangat terbatas untuk mendorong kesempatan kerja.
Untuk 2002 saja, Depnakertrans hanya mempunyai dana 40-41 milyar rupiah dan dibagikan ke seluruh
Indonesia. Programnya mencakup pelatihan dan upaya-upaya pendorongan ke wira-usaha. Idealnya untuk
penanggulangan penganggur ini, Depnakertrans diberikan dana sekitar 1 trilyun rupiah agar sampai
tenaga kerja sarjana bisa di tampung dan fokuskan pada pengembangan desa. Karena desa memerlukan

ahli, motivator, perencana, dinamisator masyarakat desa.


Sampai sekarang Depnakertrans juga belum mempunyai peta potensi wilayah dan pengangguran sampai
ke daerah terkecil, seperti kelurahan dan desa. Daerah tidak pernah meng-update data yang ada.
Bagaimana mungkin Depnaker bisa menjalankan programnya jika basis data saja tidak punya? Sudah
pernah di mintakan ke Pemda, seperti data penganggur, dimana, latar-belakangnya dan potensi wilayah
yang ada. Tapi tidak pernah ada. Masalahnya, Pemda hanya mengharapkan PAD, tidak pernah
memikirkan bagaimana masyarakatnya makmur, sejahtera dan berkembang dan tidak menganggur.
Dengan otonomi daerah, pemerintah pusat hanyalah pembuat kebijakan, fasilitator, pendorong dan
pemberi wacana-wacana. Praktek dan rill di lapangan, Pemdalah yang mengurusi semuanya.
Selain mempunyai Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009, Depnakertrans lewat Direktorat Jenderal
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri juga mempunyai program dan kegiatan yang
diarahkan untuk pencapaian Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja serta Program
Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja. Kegiatan yang dilaksanakan adalah:
a. Merumuskan pedoman atau petunjuk teknis, mengimplementasikan dan mensosialisasikan kebijakan
pembinaan yang bertujuan untuk :
1. Membangun sistem peningkatan kualitas tenaga kerja ;
2. Meningkatkan kualitas pelayanan di Bidang Perluasan Kesempatan Kerja dan Penempatan Kerja ;
3. Meningkatkan kerjasama dengan lembaga-lembaga nasional maupun internasional ;
4. Mendorong peranan masyarakat luas di Bidang Ketenagakerjaan meliputi pelatihan, penempatan dan
produktivitas tenaga kerja.
b. Pengembangan Kesempatan Kerja, dalam T.A. 2003 telah dilaksanakan :
1. Perluasan lapangan kerja bagi 120.561 orang meliputi :
- Pendayagunaan tenaga kerja pemuda mandiri profesional, tenaga kerja sarjana dan tenaga kerja mandiri
terdidik sebanyak 67.734 orang.
- Terapan teknologi tepat guna 4.855 orang.
- Padat karya produktif 44.317 orang.
- Penciptaan wirausaha baru 2.280 orang.

- Pembinaan dan pendayagunaan anak jalanan dan pedagang asongan 690 orang.
- Pengembangan model perluasan kerja 685 orang.
2. Penempatan Tenaga Kerja AKAD : 21.200 orang.
3. Pelatihan ketrampilan sebanyak 42.951 orang meliputi :
- Pelatihan institusional : 14.800 orang.
- Pelatihan MTU : 20.485 orang.
- Pelatihan Magang : 1.088 orang.
- Pelatihan Teknisi :1.225 orang.
- Pelatihan kewirausahaan : 2.764 orang.
- Pelatihan melalui anggaran DPKK-TKI : 2.589 orang.
4. Pelaksanaan pemagangan ke Jepang sebanyak 4.790 orang
5. Pelatihan untuk angkatan kerja khusus seperti penyandang cacat dan lanjut usia sebanyak 1.276 orang.
6. Pemberian bantuan peralatan kepada 78 lembaga pelatihan BLK/LLK dan 12 pondok pesantren.
7. Pemberian ijin tenaga kerja asing (IKTA) sebanyak 19.898 orang.
Tampaknya, semua perencanaan yang terkesan bagus itu, harus benar-benar menjadi perhatian
Depnakertrans. Apalagi, jika bicara soal ketenagakerjaan, ada beberapa tugas yang bisa dilakukan
direktoratnya: pembinaan yang menyangkut peningkatan kualitas sumber daya manusia, penempatan,
hingga SDM bisa bekerja secara produktif. SDM kita belum mampu bersaing. Untuk itu, kita upayakan
agar dengan standar kompetisi, SDM nantinya mampu mengisi lowongan pekerjaan dan bahkan
menciptakan lapangan pekerjaan.
Tidak kompetitifnya SDM Indonesia, terbukti pada lomba ketrampilan se-Asia pada dua tahun lalu. Saat
itu, Indonesia hanya memperoleh perunggu untuk kompetisi di bidang otomotif, eletronik dan lainnya itu.
Apalagi, SDM Indonesia ditempatkan pada posisi 112 dari 117 negara yang diteliti. Belum lagi bicara
soal banyaknya tenaga kerja asing yang masuk dan mengisi pekerjaan di Indonesia. Karena tenaga kerja
Indonesia belum mampu mengisinya. TKI saja masih dalam posisi menengah.
Soal penanggulangan pengangguran dan perencanaan tenaga kerja nasional seharusnya juga ada di tiap
daerah, terkait dengan semangat otonomi daerah. Sejak otonomi daerah, pusat dan daerah terputus.

Padahal, pusat hanya pembuat kebijakan, penjabarannya ada di daerah.


Sekitar 2005, di tingkatkan sektor formal. Sehingga pada 2006, sektor informal bisa di persiapkan, dan
tahun-tahun berikutnya baru di dorong migrasi tenaga kerja di sektor informal menuju sektor formal. Ini
berarti, nasib ketenagakerjaan akan semakin memburuk sampai ada kejelasan pada 2006.
C. Tahun 2004 Pengangguran Berkurang, Tingkat Kemiskinan Kembali ke Sebelum Krisis
Jika perekonomian tumbuh lima persen pada tahun 2004, Indonesia dapat mengurangi tingkat
pengangguran dan kemiskinan. Jika berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi lima persen tahun 2004 ini,
tingkat kemiskinan Indonesia akan kembali ke posisi sebelum krisis.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 tercatat 4,3 persen. Tahun 2004 ini pertumbuhan ekonomi diperkirakan
mencapai 4,8-5,0 persen. Sementara tingkat pengangguran terbuka tahun 2003 tercatat 10 juta orang.
Tingkat kemiskinan sudah lebih baik daripada waktu krisis. Sekadar dengan mengerem investasi dan
mempergunakan subsidi langsung, tingkat kemiskinan di Indonesia sebetulnya sekarang sudah kembali ke
waktu kita mau masuk krisis, tahun 1996. Untuk tingkat pengangguran, semoga tahun ini kita dapat
menunjukkan apa artinya (pertumbuhan ekonomi) naik dari empat persen ke lima persen.
Untuk mencapai pertumbuhan lima persen, perekonomian Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan
konsumsi dan pasar dalam negeri, tetapi harus memanfaatkan ekspor, pasar luar negeri.
Selanjutnya, jika ingin kembali ke tingkat pertumbuhan ekonomi enam persen, investasi harus
digalakkan. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tujuh persen, perekonomian Indonesia harus
menggalakkan ekspor dan investasi.
Sekarang, investasi yang di lakukan baru investasi prasarana, seperti proyek sejuta rumah, proyek 700 km
jalan tol, pembangunan pembangkit tenaga listrik yang baru, pembangunan sistem irigasi, dan proyek
banjir kanal timur di Jakarta.
Tahun 2004 pemerintah menggerakkan ekspor agar pada tahun 2005 ekspor mulai meningkat dan investor
akan merasa lebih pasti lagi dalam menanamkan modalnya. Diharapkan, penanaman modal bergeser dari
sekadar pembelian reksa dana, obligasi korporasi, dan surat utang negara menuju penggunaan dana untuk
penanaman modal langsung.
Untuk tahun 2004, ekspor nonmigas ditargetkan tumbuh mencapai tujuh persen dari tahun sebelumnya.

Hal itu dapat dicapai melalui penetrasi pasar dan penguatan daya saing. Salah satu unsur penguatan daya
saing adalah pemberian fasilitas perpajakan. Tax holiday sama sekali tidak termasuk fasilitas perpajakan
yang dimaksud.
Tidak adil jika penanaman modal asing (PMA) langsung hanya diukur dari perizinan yang diberikan
BKPM. Alasannya, yang masuk ke BKPM adalah persetujuan untuk perusahaan yang meminta fasilitas.
Banyak investasi yang juga sudah masuk ke Indonesia, tetapi tidak membutuhkan fasilitas. Dalam
kenyataannya, apa lagi fasilitas yang bisa kita tawarkan kepada mereka Tidak banyak. Oleh karena itu,
sudah disiapkan angka-angka yang benar-benar dapat dipercaya dan mewakili jumlah PMA langsung
yang masuk ke Indonesia.

BAB III
P E M B AH AS AN

A. Penanggulangan Pengangguran di Indonesia


Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan
ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah
dan kurang merata. Sebaliknya pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan
pemborosan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat,
sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan dapat
menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan
potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong

peningkatan keresahan sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Pembangunan bangsa Indonesia kedepan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia Indonesia
yang sehat fisik dan mental serta mempunyai ketrampilan dan keahlian kerja, sehingga mampu
membangun keluarga yang bersangkutan untuk mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap dan
layak, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan dan pendidikan anggota keluarganya.
Dalam pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang bertumpu pada sinkronisasi kebijakan
fiskal dan moneter harus mengarah pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Untuk menumbuh
kembangkan usaha mikro dan usaha kecil yang mandiri perlu keberpihakan kebijakan termasuk akses,
pendamping, pendanaan usaha kecil dan tingkat suku bunga kecil yang mendukung.
Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
harus merupakan satu kesatuan yang saling mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan
kerja.
B. Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP).
Mengingat 70 persen penganggur didominasi oleh kaum muda, maka diperlukan penanganan khusus
secara terpadu program aksi penciptaan dan perluasan kesempatan kerja khusus bagi kaum muda oleh
semua pihak.
Berdasarkan kondisi diatas perlu dilakukan Gerakan Nasional Penanggulangan Pengangguran (GNPP)
dengan mengerahkan semua unsur-unsur dan potensi di tingkat nasional dan daerah untuk menyusun
kebijakan dan strategi serta melaksanakan program penanggulangan pengangguran. Salah satu tolok ukur
kebijakan nasional dan regional haruslah keberhasilan dalam perluasan kesempatan kerja atau penurunan
pengangguran dan setengah pengangguran.
Gerakan tersebut dicanangkan dalam satu Deklarasi GNPP yang diadakan di Jakarta 29 Juni 2004. Lima
orang tokoh dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perwakilan pengusaha, perwakilan
perguruan tinggi, menandatangani deklarasi tersebut, merekaadalah Gubernur Riau H.M. Rusli Zainal;
Walikota Pangkal Pinang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung H. Zulkarnaen Karim; Palgunadi; T.
Setyawan,ABAC; pengusaha; DR. J.P. Sitanggang, UPN Veteran Jakarta; Bambang Ismawan, Bina
Swadaya, LSM; mereka adalah sebagian kecil dari para tokoh yang memandang masalah ketenagakerjaan

di Indonesia harus segera ditanggulangi oleh segenap komponen bangsa.


Menurut para deklarator tersebut, bahwa GNPP ini dimaksudkan untuk membangun kepekaan dan
kepedulian seluruh aparatur dari pusat ke daerah, serta masyarakat seluruhnya untuk berupaya mengatasi
pengangguran.
Dalam deklarasi itu ditegaskan, bahwa untuk itu, sesuai dengan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, sebaiknya segera dibentuk Badan Koordinasi Perluasan Kesempatan Kerja.
Kesadaran dan dukungan sebagaimana diwujudkan dalam kesepakatan GNPP tersebut, menunjukan suatu
kepedulian dari segenap komponen bangsa terhadap masalah ketenagakerjaan, utamanya upaya
penanggulangan pengangguran. Menyadari bahwa upaya penciptaan kesempatan kerja itu bukan semata
fungsi dan tanggung jawab Depatemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, akan tetapi merupakan tanggung
jawab kita semua, pihak pemerintah baik pusat maupun daerah, dunia usaha, maupun dunia pendidikan.
Oleh karena itu, dalam penyusunan kebijakan dan program masing-masing pihak, baik pemerintah
maupun swasta harus dikaitkan dengan penciptaan kesempatan kerja yang seluas-luasnya.
Konsepsi.
Sementara itu dalam Raker dengan Komisi VII DPR-RI 11 Pebruari 2004 yang lalu, Menakertrans Jacob
Nuwa Wea dalam penjelasannya juga berkesempatan memaparkan konsepsi penanggulangan
pengangguran di Indonesia, meliputi keadaan pengangguran dan setengah pengangguran; keadaan
angkatan kerja; dan keadaan kesempatan kerja; serta sasaran yang akan dicapai. Dalam konteks ini
kiranya paparan tersebut masih relevan untuk diinformasikan.
Dalam salah satu bagian paparannya Menteri menyebutkan, bahwa pembukaan UUD 1945
mengamanatkan: "... untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa ...". Selanjutnya secara lebih konkrit pada Pasal 27 ayat (2) menyatakan
bahwa : " tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan "
dan pada Pasal 28 D ayat (2) menyatakan bahwa:" Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja". Hal ini berarti, bahwa secara
konstitusional, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan pekerjaan dalam jumlah yang cukup,

produktif dan remuneratif. Kedua Pasal UUD 1945 ini perlu menjadi perhatian bahwa upaya-upaya
penanganan pengangguran yang telah dilaksanakan selama ini masih belum memenuhi harapan, serta
mendorong segera dapat dirumuskan Konsepsi Penanggulangan Pengangguran.
Selanjutnya Menakertrans menyatakan, Depnakertrans dengan mengikut sertakan pihak-pihak terkait
sedang menyusun konsepsi penanggulangan pengangguran. Dalam proses penyusunan ini telah dilakukan
beberapa kali pembahasan di lingkungan Depnakertrans sendiri, dengan Tripartit secara terbatas (Apindo
dan beberapa Serikat Pekerja); dan juga pembahasan dengan beberapa Departemen dan Bappenas. "
Memperhatikan kompleksnya permasalahan pengangguran, disadari bahwa penyusunan konsepsi tersebut
masih perlu didiskusikan dan dikembangkan lebih lanjut dengan berbagai pihak yang lebih luas, antara
lain sangat dibutuhkan masukan dan dukungan sepenuhnya dari Anggotra DPR-RI yang terhormat
khususnya Komisi VII; masih memerlukan waktu dan dukungan biaya sehingga pada akhirnya dapat
dirumuskan suatu Konsepsi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia yang didukung oleh seluruh
komponen masyarakat", tutur Menteri Jacob Nuwa Wea.
C. Solusi Masalah Pengangguran di Indonesia
Sekitar 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah penggangur
(underemployed) bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini dan ke
depan. Sepuluh juta penganggur terbuka berarti sekitar separo dari penduduk Malaysia.
Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai kriminal dan gejolak sosial, politik dan
kemiskinan. Selain itu, pengangguran juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus
mengkonsumsi beras, gula, minyak, pakaian, energi listrik, sepatu, jasa dan sebagainya setiap hari, tapi
mereka tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan berapa ton beras dan kebutuhan lainnya harus
disubsidi setiap harinya.
Bekerja berarti memiliki produksi. Seberapa pun produksi yang dihasilkan tetap lebih baik dibandingkan
jika tidak memiliki produksi sama sekali. Karena itu, apa pun alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia
saat ini masalah pengangguran harus dapat diatasi dengan berbagai upaya.

Sering berbagai pihak menyatakan persoalan pengangguran itu adalah persoalan muara. Berbicara

mengenai pengangguran banyak aspek dan teori disiplin ilmu terkait. Yang jelas pengangguran hanya
dapat ditanggulangi secara konsepsional, komprehensif, integral baik terhadap persoalan hulu maupun
muara. Sebagai solusi pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh sebagai berikut.
Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan
remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih
tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum)
yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa
uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral),
fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas
keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang
terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.
Kebijakan Mikro
Selain itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa poin.
Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap
manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan
mengembangkan secara optimal. Dengan demikian, diharapkan setiap pribadi sanggup
mengaktualisasikan potensi terbaiknya dan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, bernilai dan
berkualitas bagi dirinya sendiri maupun masyarakat luas.
Kepribadian yang matang, dinamis dan kreatif memiliki tujuan dan visi yang jauh ke depan, berani
mengambil tantangan serta mempunyai mindset yang benar. Itu merupakan tuntutan utama dan mendasar
di era globalisasi dan informasi yang sangat kompetitif dewasa ini dan di masa-masa mendatang.
Perlu diyakini oleh setiap orang, kesuksesan yang hakiki berawal dari sikap mental kita untuk berani
berpikir dan bertindak secara nyata, tulus, jujur matang, sepenuh hati, profesional dan bertanggung jawab.
Kebijakan ini dapat diimplementasikan menjadi gerakan nasional melalui kerja sama dengan lembaga
pelatihan yang kompeten untuk itu
Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil

sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka lapangan
kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan akan berkembangnya potensi
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baik potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia maupun keuangan (finansial).
Ketiga, segera membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur. Hal itu dapat
dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio mengubah PT
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari
berbagai devisi menurut sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia
akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan rinci, keberadaaan lembaga
itu dapat disusun dengan baik.
Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang
menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Itu semua perlu segera dibahas dan
disederhanakan sehingga merangsang pertumbuhan investasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Kelima, mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan
lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat. Sampah, misalnya, terdiri
dari bahan organik yang dapat dijadikan kompos dan bahan non-organik yang dapat didaur ulang.
Sampah sebagai bahan baku pupuk organik dapat diolah untuk menciptakan lapangan kerja dan pupuk
organik itu dapat didistribusikan ke wilayah-wilayah tandus yang berdekatan untuk meningkatkan
produksi lahan. Semuanya mempunyai nilai ekonomis tinggi dan akan menciptakan lapangan kerja.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Lembaga itu dapat disebutkan
sebagai job center dan dibangun dan dikembangkan secara profesional sehingga dapat membimbing dan
menyalurkan para pencari kerja. Pengembangan lembaga itu mencakup, antara lain sumber daya
manusianya (brainware), perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), manajemen dan
keuangan. Lembaga itu dapat di bawah lembaga jaminan sosial penganggur atau bekerja sama tergantung
kondisinya.
Ketujuh, menyeleksi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Perlu seleksi lebih

ketat terhadap pengiriman TKI ke luar negeri. Sebaiknya diupayakan tenaga-tenaga terampil (skilled). Hal
itu dapat dilakukan dan diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dan Daerah.
Bagi pemerintah Daerah yang memiliki lahan cukup, gedung, perbankan, keuangan dan aset lainnya yang
memadai dapat membangun Badan Usaha Milik Daerah Pengerahan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ke luar
negeri (BUMD-PJTKI). Tentunya badan itu diperlengkapi dengan lembaga pelatihan (Training Center)
yang kompeten untuk jenis-jenis keterampilan tertentu yang sangat banyak peluang di negara lain. Di
samping itu, perlu dibuat peraturan tersendiri tentang pengiriman TKI ke luar negeri seperti di Filipina.
Kedelapan, segera harus disempurnakan kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Sistem
pendidikan dan kurikulum sangat menentukan kualitas pendidikan. Karena itu, Sisdiknas perlu reorientasi
supaya dapat mencapai tujuan pendidikan secara optimal.
Kesembilan, upayakan untuk mencegah perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan
kerja (PHK). PHI dewasa ini sangat banyak berperan terhadap penutupan perusahaan, penurunan
produktivitas, penurunan permintaan produksi industri tertentu dan seterusnya. Akibatnya, bukan hanya
tidak mampu menciptakan lapangan kerja baru, justru sebaliknya bermuara pada PHK yang berarti
menambah jumlah penganggur.
Pihak-pihak yang terlibat sangat banyak dan kompleks sehingga hal itu perlu dicegah dengan berbagai
cara terutama penyempurnaan berbagai kebijakan.
Kesepuluh, segera mengembangkan potensi kelautan kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
mempunyai letak geografis yang strategis yang sebagian besar berupa lautan dan pulau-pulau yang sangat
potensial sebagai negara maritim. Potensi kelautan Indonesia perlu dikelola lebih baik supaya dapat
menciptakan lapangan kerja yang produktif dan remuneratif.
Hal-hal yang paling sedikit yang dapat dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja bagi para
penggemar sesuai pendidikannya, keterampilannya, umurnya penganggur terbuka atau setengah
penganggur, atau orang yang baru masuk ke pasar kerja, dan sebagainya.
Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali agar dapat berfungsi
secara optimal untuk memerangi pengangguran.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil
dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga
kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Setiap penganggur diupayakan memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan
remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat Indonesia. Lebih
tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional.
Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum)
yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa
uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral),
fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas
keputusannya dengan fokus pada penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang
terkait dengan pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.
Selain itu, ada juga kebijakan mikro (khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa poin.
Pertama, pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa setiap
manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak menyadari dan
mengembangkan secara optimal.
Kedua, segera melakukan pengembangan kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil
sebagai prioritas dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ketiga, segera membangun
lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur.
Keempat, segera menyederhanakan perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang
menghambat investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Kelima, mengaitkan secara erat

(sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah perkotaan lainnya, seperti sampah,
pengendalian banjir, dan lingkungan yang tidak sehat.
Keenam, mengembangkan suatu lembaga antarkerja secara profesional. Ketujuh, menyeleksi Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) yang akan dikirim ke luar negeri. Kedelapan, segera harus disempurnakan
kurikulum dan sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Kesembilan, upayakan untuk mencegah
perselisihan hubungan industrial (PHI) dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Kesepuluh, segera
mengembangkan potensi kelautan kita. Diharapkan ke depan kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah
(reorientasi) kembali agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.
B. Kritik dan saran
Demikianlah makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita bersama. Ibarat tak ada gading yang tak
retak, tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan maka dari itu, kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan untuk perbaikan makalah selanjutnya. Terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

--------------. Tahun 2004 Pengangguran Berkurang, Tingkat Kemiskinan Kembali ke Sebelum Krisis.
Kompas. Jakarta

Daulat Sinuraya. Solusi Masalah Pengangguran di Indonesia. Suara Pembaruan Daily. 2004
Deklarasi Penanggulangan Pengangguran di Indonesia, 29 Juni 2004; Bahan Raker Komisi VII DPR-RI
dan Menakertrans, 11 Pebruari 2004.
Elwin Tobing. Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik. Media Indonesia. 2004
Levi Silalahi . Masalah Buruh-Pengusaha Belum Terpecahkan, Pengangguran Terus Bertambah.
Depnakertrans. 2004
Majalah Nakertrans Edisi - 03 TH.XXIV-Juni 2004
Muchamad Nafi. Tiap Tahun, Angka Pengangguran Indonesia Naik.Tempo Interaktif. Jakarta. 2004
Statistik Tahunan Indonesia, 1985, 1995, 1998
http://ediksosial.blogspot.com/p/pengangguran.html

Anda mungkin juga menyukai