Anda di halaman 1dari 7

Kajian ini bertujuan untuk menelisik dampak dari interaksi vegetasi dan

cuaca pada perubahan iklim di masa depan di seluruh wilayah Afrika


Barat, dengan menggunakan model iklim regional yang disinkronisasikan
dengan vegetasi alamiah dan iklim (the RegCM4.3.4-CLM-CN-DV).
Berdasarkan batasan kondisi lateral dari MIROC-ESM dan CESM dibawah
greenhouse
gas
Representative
Concentration
Pathway
8.5,
pertambahan kepadatan vegetasi yang signifikan diproyeksikan pada
bagian selatan Sahel, dengan pertambahan index area daun dan
konservasi dari rerumputan hingga tumbuhan berkayu di sekitar 7-10 oN
Sahel. Tanpa menghiraukan cuaca, model tersebut diterapkan pada
vegetasi secara statis maupun dinamis, proyeksi ini merupakan
(menunjukkan?) sebuah peningkatan curah hujan pada wilayah timur
Sahel dan pengurangan pada wilayah baratnya. Umpan balik selama
gambaran perubahan vegetasi berlangsung cenderung menyebabkan
tanda basah (wet signal), menambah peningkatan proyeksi atau
mengalami pengurangan hujan pada JJA di area proyeksi yang
vegetasinya bertambah. Dampak yang ditimbulkan tidak dapat terabaikan
pada DJF. Umpan balik vegetasi sedikit meningkatkan pemanasan yang
diproyeksikan pada hampir sebagian Afrika Barat selama JJA, tetapi juga
memiliki efek pedinginan yang signifikan selama DJF pada wilayah dengan
perubahan vegetasi yang kuat. Perubahan di masa depan dari permukaan
aliran tergambarkan pada sejumlah arahan dari perubahan hujan.
Sementara umpan vegetasi meningkat secara dinamis, ada proyeksi
peningkatan konten air tanah dalam JJA, hal ini memiliki efek kering pada
DJF-nya. Besarnya proyeksi perubahan ET dikurangi pada JJA dan
ditambahkan dalam DJF sehubungan dengan vegetasi yang dinamis.
Sensitifitas yang tinggi dari gambaran iklim terhadap umpan balik
vegetasi yang dinamis merupakan penemuan yang utamanya terdapat
pada wilayah semi-gersang di Afrika Barat, dengan hanya sedikit tanda
pada wilayah tropis basah (wet tropic).
Kata kunci: umpan balik vegetasi dinamis, perubahan cuaca di masa
depan, Afrika Barat
Pendahuluan
Afrika Barat dipertimbangkan sebagai salah satu wilayah yang paling
dipengaruhi oleh kekeringan. Wilayah ini mengalami pengurangan
intensitas hujan selama dua setengah abad dalam kurun abad ke 20 dan
terus bertahan dengan kemarau hebat pada 1970-1980an, yang
menyebabkan kelaparan yang menghancurkan (Mortimore and Adams
2001). Kondisi pada wilayah ini sebagiannya telah diperbaiki, dengan
peningkatan curah hujan sejak akhir abad ke 20 (Prince et al.1998; Hulme
et al. 2001; Lebel and Ali 2009). Pemberian hujan buatan terutama di
wilayah agrikultur, merupakan hal yang penting sebagaimana kita pahami
bahwa variasi dan perubahan iklim regional di masa depan berkaitan pada

dampak potensial dari perubahan masa depan serta pengembangan


adaptasi dan strategi mitigasi.
Sementara itu temperatur permukaan laut telah dan sedang menunjukkan
dampak besar pada variabel curah hujan di Sahel, khususnya pada antartahunan hingga skala waktu per dekade (Giannini et al. 2003), sejumlah
besar literatur juga telah mendokumentasikan pentingnya proses dan sifat
permukaan tanah
(Nicholson 2013) termasuk kondisi vegetasi dan
kedinamisannya. Di sisi lain, iklim merupakan elemen alami yang paling
utama dalam mengontrol perubahan vegetasi (Woodward 1987; Stenseth
et al. 2002). Sementara vegetasi juga memainkan peran penting dalam
mengatur iklim regional dan dunia melalui jalur biogeofisik dan
biogeokimia
dengan memodifikasi permukaan albedo, rasio Bowen,
roughness length (kasaran panjang?), serta aliran karbon dan nitrogen
(Pielke et al. 1998; McPherson 2007; Bonan 2008; Swann et al. 2012).
Penelitian awal yang dilakukan oleh Charney (1975) mengungkapkan
bahwa reduksi vegetasi di Sahel dapat memicu peningkatan albedo dan
pengurangan curah hujan, yang kemudian dapat mendorong umpan balik
yang positif terhadap kekeringan pada wilayah ini. Reduksi curah hujan
disebabkan oleh degradasi vegetasi yang didukung oleh eksperimen
mengenai sensitivitas desertifikasi oleh Xue and Shukla (1993), dan
perpanjangan dari dampak ini melampau desertifikasi pada area dan
periode tertentu (Xue 1997). Kemarau yang diorganisir sendiri tanpa
vegetasi diperkuat oleh hasil yang diperoleh dari model konseptual
(Brovkin et al. 1998; Wang 2004) dan model numerik berbasis fisika (e.g.,
Wang and Eltahir 2000c). Tentunya desertifikasi dari green Sahara
tertangkap oleh asinkronisasi atmosfer global dan biome model (Claussen
1997) serta model sirkulasi vegetasi umum dari atmosfer hingga ke
samudra (Liu et al. 2007). Interaksi atmosfer vegetasi menunjukkan
penjelasan dari dampak serangan orbit bumi di era pertengahan Holosen
(Claussen et al. 1999; Irizarry-Ortiz et al. 2003), meskipun umpan balik
vegetasi tidak cukup kuat untuk mendorong kehancuran vegetasi secara
tiba-tiba (Krpelin et al. 2008).
Pada iklim modern, interaksi antara permukaan bumi dan atmosfer
menemukan peran penting dalam mempengaruhi variabel antar-dekade
pada curah hujan laut di Sahel selama abad ke 20 (Zeng et al. 1999; Wang
and Eltahir 2000a; Giannini et al. 2003; Wang et al. 2004; Giannini et al.
2008). Kemarau parah yang awet pada 4 dekade terakhir sebaiknya
dirawat oleh umpan balik vegetasi dan atmosfer yang baik (Wang and
Eltahir 2000c; Wang et al. 2004). Dengan menggunakan simetrik wilayah,
sinkronisasi model biosfer-atmosfer (Wang and Eltahir 2000b), Wang and
Eltahir (2000a) mengindikasikan bahwa vegetasi dinamis kemungkinan
dapat meningkatkan variabel frekuensi curah hujan yang rendah di Afrika
Barat. Kesimpulan yang sama tergambar dari penelitian yang
menggunakan simplifikasi model atmosfer-tanah-vegetasi (Zeng et al.

1999), dan didukung oleh sejumlah kajian komperhensif dengan model


sirkulasi umum (GCMs) dipasangkan dengan model vegetasi dinamis
(Kucharski et al. 2013; Delire et al. 2004, 2011).
Pada skala waktu musiman dan antar-tahunan, dampak signifikan dari
umpan balik vegetasi pada curah hujan lokal tropik ditemukan dalam
eksperimen sensitifitas yang menggunakan model Meteorological Office
Hadley Centre Unified (HadAM3) (Osborne et al. 2004). Liu et al. (2006)
menemukan umpan balik vegetasi yang positif meskipun terbatas pada
beberapa area tropis melalui perkiraan analisis data observasi. Dampak
yang
sama
ditemukan
pada
asinkronisasi
model
global
atmospherebiosphere for the future climate (Jiang et al. 2011). Pada
kajian lainnya, konservasi dari sabana ke wilayah rerumputan di Sahel
mengesankan penyebab iklim panas dengan pengurangan curah hujan
yang tidak signifikan (Hoffmann and Jackson 2000), dan sebuah proyeksi
peningkatan cakupan cropland pada ekspansi hutan dari 1961-2015
menemukan penyebab pengurangan curah hujan tekait dengan
penundaaan permulaan musim hujan pada bulan Juli (Taylor et al. 2002).
Bagaimana pun kajian yang dilakukan Abiodun et al. (2008)
merekomendasikan antara deforestasi dan desertifikasi, seperti
meningkatkan aliran muson di seluruh Afrika Barat. Zheng and Eltahir
(1998) mengindikasikan bahwa deforestisasi sepanjang wilayah laut Afrika
Barat dapat menstimulasi kegagalan sirkulasi muson selama desertifikasi
antara Sahara dan Afrika Barat, dan memiliki dampak kecil pada curah
hujan regional.
Dengan menggunakan asinkronisasi model iklim regional (RCM) ditambah
dengan model vegetasi yang dinamis, Alo dan Wang (2010) menemukan
bahwa respon vegetasi terhadap perubajan iklim dan CO2 di Afrika Barat
dapat
menyebabkan
sebanding
atau
bahkan
lebih besarnya perubahan proses hidrologi relatif masa depan, dan
berkontribusi pada efek radiasi dan perubahan fisiologis CO2. Tren
berlawanan terkait curah hujan tahunan di Sahel diprediksi dalam simulasi
mereka dengan dan tanpa dinamika vegetasi, dan
ada perbedaan
dampak umpan balik vegetasi dinamis antara awal musim muson dan
puncak musim hujan (Wang dan Alo 2012). Namun demikian, untuk
mengurangi ketidakpastian dalam memahami peran umpan balik biosferatmosfer dalam respon sistem iklim terhadap perubahan antrofogenik,
maka perlu menggunakan sinkronisasi model (Wang 2004; Dekker et al.
2010; Sun and Wang 2011; Martin and Levine 2012). Contohnya, Martin
and Levine (2012) mendemonstrasikan dampak signifikasn termasuk
komponen interaksi vegetasi dalam model keluarga HadGEM2 dalam
simulasi yang dihadirkan saat ini dan nanti pada muson panas Asia.
Dibandingkan dengan asinkronisasi pendekatan pasangan yang mana
simulasi iklim dan vegetasinya berulang (misalnya setiap tahun atau
sepanjang tahun) dengan menggunakan dua model yang memiliki
parameter berbeda untuk simulasi proses yang sama oleh kedua model.

Sinkronisasi pendekatan yang menyatakan vegetasi dan iklim serta variasi


simultansinya terhadap waktu, menggunakan satu model terintegrasi
yang kemudian mengeliminasi inkonsistensi fisik yang berkaitan dengan
penggunaan dua model secara terpisah.
Terlepas dari pentingnya perubahan iklim, vegetasi yang dinamis hanya
direpresentasikan pada sejumlah GCMs yang berpartisipasi dalam simulasi
CMIP5 yang dilakukan untuk IPCC AR5. Hal ini bahkan kurang umum
antara partisipasi RCMs dalam CORDEX untuk sejumlah daerah. Dalam
kajian ini, sebuah sinkronisasi antara model vegetasi-wilayah digunakan
untuk menginvestigasi peran umpan balik vegetasi perubahan iklim di
masa depan di Afrika Barat. Sinkronisasi antara model iklim-ekosistem
menyediakan alat yang efektif untuk menyelidiki umpan balik vegetasi
pada iklim dan perubahan iklim, dan membantu mengalamatkan
ketidakpastian dalam hasil model terkait dengan penggunaan pendekatan
perangkat asinkronisasi pada studi sebelumnya. Model dan desain
eksperimen dideskripsikan pada bagian 2, sedangkan hasil simulasi
dianalisis pada bagian 3, dan ringkasan terkini dan kesimpulan disajikan
pada bagian 4
Model dan desain eksperiman
2. Model and experimental design RegCM4.3.4 dipasangkan
dengan
CLM4.0-CN-DV
Model yang digunakan pada penelitian ini adalah International Center for
Theoretical Physics (ICTP) Regional Climate Model Version 4.3.4
(RegCM4.3.4) yang dimodifikasi untuk menyertakan National Center for
Atmospheric Research (NCAR) Community Land Model version 4.0
(CLM4.0) dan CLM4.5 (Wang et al. 2015). ICTP RegCM4.3.4 (Giorgi et al.
2012) adalah model batasan area yang menggunakan hidrostatik dan
persamaan compressible dynamics yang digunakan pada koordinat sigmap vertikal dan sebuah Arakawa B-grid. Dinamis sama dengan versi
hidrostatic dari Pennsylvania State University Mesoscale Model version 5
(MM5, Grell et al. 1994). Ia mengandung skema transfer radiatif
termodifikasi untuk Community Climate Model version3 (CCM3, Kiehl et al.
1996), suatu lapisan pembatas planetari/planetary boundary layer (PBL)
yang relatif baru (Grenier and Bretherton 2001; Bretherton et al. 2004),
suatu skema konveksi kumulus (Emanuel and ivkovic-Rothman 1999),
sebuah skala skema curah hujan (Pal et al. 2000), skema aliran oceanair
yang relatif baru (Zeng and Beljaars 2005), dan dua opsi skema
permukaan tanah. Kedua opsi skema permukaan tanah adalah Biosphere
Atmosphere Transfer Scheme (BATS) (Dickinson et al. 1993) dan CLM3.5
(Oleson et al. 2008). Performa yang baik ditunjukkan khususnya dalam
simulasi pada observasi waktu musiman dan besaran rata-rata curah
hujan muson ketika CLM3.5 dipasangkan dengan RegCM3 (Steiner et al.
2009). Saat ini, CLM4 (versi terbaru dari CLM ketika penelitian

dilaksanakan) dengan tambahan modifikasi (Yu et al. 2014; Wang et al.


2015) dipasangkan pada RegCM4.3.4, dan hasilnya diimplementasikan di
sini (di penelitian ini?) (Wang et al. 2015).
CLM4.0 (Oleson et al. 2010) menggambarkan proses interaktif antara fisik,
kimia, dan biologi dengan ekosistem terestrial dan iklim. Hirarki
subjaringan bersarang digunakan untuk menggambarkan heterogenitas
permukaan tanag spasial, termasuk lima bagian tanah, kolom tanah/salju,
dan 16 tanaman functional types (PFTs). 15 lapisan tanah dan 5 kapisan
salju ini dibagi-bagi. Untuk mempertimbangkan mekanisme biofisik dan
biokimia pada ekosistem terestrial, CLM4.0 mengandung indikasi karbonnitrogen dinamis dari model biokimia (CN) (Thornton et al. 2002; Thornton
and Rosenbloom 2005) dan model dynamic vegetation (DV) (Levis et al.
2004). CN digunakan untuk menstimulasi siklus karbon dan nitrogen
terestrial
dan fenolofi tanaman;
DV digunakan untuk menangani
kompetisi tumbuhan, serta mendirikan dan mempertahankan suatu
tahapan dengan waktu tahunan berdasarkan pembiayaan produksi karbon
CN. Dalam perbandingan data vegetasi MODIS, CLM4.0-CN-DV telah
menunjukkan simulasi terkini dari distribusi vegetasi dengan alasan yang
baik (Gotangco Castillo et al. 2012).
Sebagai tambahan, dalam pemasangan versi umum dari CLM4.0-CN-DV
ke dalam RegCM4.3.4, peneliti telah menggabungkannya ke dalam
parameter model gross primary production (GPP) (Bonan et al. 2011),
yang mana merupakan fitur baru dari CLM4.5. modifikasi lainnya
termasuk mengembangkan skema fenologi stress-deciduous (yang
termasuk pohon gugur pada kemarau tropis dan rerumputan pada wilayah
permodelan kami) dan sebuah tambahan saringan iklim untuk pohon
tropis berdaun lebah dan hijau terus-menerus. Hasil dari pengembangan
ini dalam model offline CLM-CN-DV didokumentasikan dalam Yu et al.
(2014), dan pada pasangan model RegCM4.3.4-CLM-CN-DV dalam Wang et
al. (2015). RegCM4.3.4-CLM-CN-DV dapat digunakan dengan atau tanpa
vegetasi dinamis. Saat komponen CN-DV telah aktif, parameter vegetasi
seperti leaf area index (LAI) dan cakupan vegetasi seperti yang diprediksi
dalam model; disisi lain model yang menggunakan perolehan data
Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS)-dengan struktur
vegetasi dan distribusi yang telah ditentukan berdasarkan nilai
klimatologi. Pasangan model RegCM4.3.4-CLM-CN-DV menyediakan
peralatan yang efektif untuk meneliti dampak interaksi vegetasi-atmosfer
pada skala regional yang membutuhkan proyeksi cuaca dengan resolusi
tinggi.
2.2 metodologi dan desain eksperimen
Untuk menyelidiki dampak dari umpan balik vegetasi pada perubahan
iklim di masa depan, total 8 simulasi dilakukan. Termasuk di dalamnya 2
kelompok simulasi, masing-masing mengandung 2 pasangan. Satu

kelompok terdiri dari inisial dan perolehan batasan kondisi dari 5 fase
Coupled Model Inter-comparison Project (CMIP5, Taylor et al. 2012) yang
digunakan pada MIROC-ESM (Watanabe et al. 2011), dan kelompok lain
terdiri dari luaran CMIP5 digunakan pada Community Earth System Model
(CESM). Pada setiap kelompok simulasi, satu pasangan disimulasi dengan
CN-DV (menggunakan RCM-CLM-CN-DV) dan yang lainnya tidak
menggunakan RCMCLM. Setiap pasangan terdiri dari simulasi hari itu juga
untuk masa 19802000 dan simulasi masa depan untuk masa 20802100.
Greenhouse gas concentrations (GHGs) didasari oleh observasi historikal
untuk saat ini dan Representative Concentration Pathway 8.5 (RCP8.5)
untuk masa depan. Jejak RCP8.5 mengabarkan tingginya level emisi
greenhouse gas (GHG) (Moss et al. 2008, 2010) dan dipilih untuk menjadi
sorotan utama pada perubahan efek CO2 dan menghasilkan perubahan
iklim pada perubahan vegetasi masa depan. Dua GCMs dipilih dengan
pertimbangan khusus. Di antara GCMs yang diikutsertakan dalam CMIP5
(Taylor et al. 2012), gaya iklim saat ini dari MIROC-ESM menghasilkan
distribusi vegetasi yang masuk akal ketika digunakan untuk menjalankan
model CLM-CNDV secara offline, berdasarkan perbandingan dengan data
observasi dari MODIS (Yu et al. 2014). Sementara keperluan data dari
CESM tidak tersedia ketika penelitianYu et al. (2014) dimulai, CLM-CN-DV
yang dijalankan dengan climate of CCSM4 (versi awal dari CESM) juga
menggambarkan observasi distribusi vegetasi dengan baik.
Eksperimen dilaksanakan pada wilayah yang merentang pada 20S35N,
32W53E dengan jarak horizontal 50-km. Terdapat 18 lapisan vertikal
dari permukaan 50 hPa. Untuk menyediakan kondisi vegetasi awal bagi
dua RCM-CLM-CN-DV pada tiap kelompok simulasi, kami pertama-tama
melakukan dua simulasi offline CLMCN-DV 200 tahunan pada seluruh
wilayah Afrika Barat untuk menyajikan wilayah vegetasi alami dalam
quasi-equilibrium dengan iklim dari dua simulasi RCM-CLM 20 tahunan
(saat ini dan nanti) yang mana vegetasi ditentukan berdasarkan kondisi
saat ini. NCAR menyediakan awalan file CN yang dideskripsikan dalam
Kluzek (2012) disisipkan pada wilayah simulasi kami dan digunakan untuk
menginisiasi dua simulasi offline CLM-CN-DV 200 tahunan. Konsentrasi
CO2 diatur pada 353.8 dan 850.0 ppm untuk simulasi offline saat ini dan
nanti. Tanah dan wilayah vegetasi yang dihasilkan pada akhir kedua
simulasi offline 200 tahunan kemudian digunakan untuk menginisiasi dua
simulasi RCM-CLM-CN-DV 200 tahunan untuk saat ini dan nanti. Untuk
menyediakan pasangan sistem vegetasi-iklim dalam pendekatan wilayah
equilibrium, eksperimen RCM-CLM-CN-DV saat ini dan nanti digilir melalui
dua kali periode 20 tahunan secara berurutan. Hanya hasil dari 20 tahun
terakhir pada masing-masing simulasi yang dianalisis. Proses ini
dihasilkan dari simulasi MIROC-ESM dan CESM secara berturut-turut.
Untuk menilai performa model dalam mensimulasi iklim saat ini, curah
hujan bulanan dan temperatur permukaan 2 m dibandingkan pada dataset
University of Delaware (UDEL) (Legates and Willmott 1990a, b). Penyajian

spasial MODIS mencangkup Plant Functional Types (PFTs) yang berbeda


(Lawrence and Chase 2007) dan jangka waktu lama LAI bulana dari Global
Inventory Monitoring and Modeling Studies (GIMMS, Tucker et al. 2005;
Zhou et al. 2001) sepanjang December 1981 to December 2000
digunakan untuk membandingkan distribusi vegetasi saat ini dari
observasi.

Anda mungkin juga menyukai